BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Cerita Seorang Bipolar Disorder Tamat

1131416181921

Comments

  • Smga mas fardan pelabuhan terakirny mas sembo! ^^
  • @jamesfernand084 – Karen itu ada sebelum aku bersama dengan pasanganku mas,, jadi pasanganku sudah memiliki Karen terlebih dahulu,, Dan lagi Karen itu masih ada hubungan Saudara,,

    @erickhidayat – mungkin saja mas,, kadang kala kekuatan seperti itu yang sulit dipercaya,, tapi kenyataannya memang ada,,,

    @Cruiser79 – makasih mas,, okeh nanti ya kalau updtae,,

    @arieat – Amin,,,

    @deltamet43d – waduh mas,, hehehehe,, kita liat saja nanti endingnya seperti apa,,,

    @kiki_h_n – hihihihihi,, sekarang mas general chek –up satu tahun berapa kali?? Seharusnyanya sih untuk kesehatan jiwa memang minimal setahun sekali kita periksa mas,,

    @miw – duh mas jangan sampai gak tidur lho,, jaga kesehatan ya mas,, maaksih sudah mau membaca,, okeh nanti kita update aku mention,,

    @Zazu_faghag – amin .. hehehehehe

    @elul – hehehehehehehe,,, nungguin dari mana mas?? Hihihihi

    @d_cetya – Hehehehehehe,,, sabar tante,,
  • Aku percaya hal itu kok @Rendesyah.
  • @erickhidayat - kalau aku masih setengah2 percaya mas,, hehehehehehehehe,,,
  • @Rendesyah‌ hmmm mulai ada titik cerah ya mas
    ??
  • mcu sih setahun sekali, tp periksa kejiwaan ga pernah masuk mcu ya. kayaknya mesti diusulin sama c bos biar pas mcu ada tes kejiwaan juga.
  • udah biasa ngalong mas
    tapi pas paginya bobo dwehh hihihi
  • Rasa bersalah bila tiap update namaku akan pasti disebut but me? :) sorry ya @Rendesyah‌ but i dont know what to say...

    Jalan penceritaan kamu udah amat bagus... Ada peningkatan which i really like ;) keep up the good work.

    Aku cintakan cerita ini! Semuanya heheh... The knowledge yg kamu berikan untuk semua cerita kamu sangat aku hargai. 1 yg paling terkesan, aku tidak menangis bila membaca cerita Sembo ini heheheh...

    Jadi teringat filem Korea A Moment To Remember... Kisah gimana si suami menangani isteri yg ada Skizo. Very2 sad movie.
  • edited July 2014
    @GeryYaoibot95 – iya mas,, heheheheehehehehe

    @kiki_h_n – MCU aja setahun sekali,, motor setahun 4 kali,, hehehehehehe,,, kalau bisa sih setahun 2 kali mas,, fisik dan jiwa,,

    @miw – hihihihihi,, istirahat mas habis nglong,,

    @Adra_84 – Hehehehehehe,,, Iya mas gpp ko,, aku makasih sering di kasih jempol,,, ini maksimal yang bisa saya buat mas,, makasih mas sudah mau membaca cerita ini,,

    @AlexanderAiman – Okeh
  • BAGIAN 15

    Tuhan, Aku Mau Hidup

    Pagi yang dingin, aku terbangun dari mimpi buruk dan merasa telah tercabik-cabik oleh rasa sakit yang nyaris melumpuhkan akalku. Rasa sakit itu menderita seperti ribuan jarum neraka yang tidak hanya menusuk seluruh kepala, tetapi juga seluruh tubuhku. Aku nyaris tidak mampu menggerakkan tubuhku. Aku ingin menjerit kesakitan dan berteriak sekuat-kuatnya, tetapi suaraku tercekat di tenggorokan. Aku meletakkan kepalaku di atas bantal. Keinginan untuk membenturkan kepala ke dinding sangat kuat. Suara-suara yang menyuruhku bunuh diri itu datang lagi memenuhi kepalaku, memekakkan telinga dan membuatku kehabisan napas. Aku mulai merasakan gelombong histeria menyelimuti dan menenggelamkanku dalam keputusasaan serta rasa pedih yang tidak tertahankan. Lidahku kelu untuk menjerit. Aku ingin marah dan merasa putus asa, tetapi yang tersisa hanyalah pedih yang tidak dapat kulukiskan.

    “Ya Allah, aku mau hidup,,,”

    Sudah sebulan aku menjalani pengobatan dengan dokter Roy Nusa, tetapi kondisiku tetap tidak membaik. Kantor tidak memberikan respons positif seperti yang diharapkan dokter Roy Nusa. Obat yang diberikan dokter Roy Nusa membuatku tidur sepanjang hari. Kalau pun aku tidur, aku seperti orang mabuk, meski aku tidak tahu persis mabuk itu seperti apa. Tubuhku rasanya melayang-layang, jalanku tidak bisa lurus seperti kapal oleng. Aku kehilangan keseimbangan, bahkan aku pernah merosot jatuh dari motor saat diboncengkan Mas Fardhan, Mas Fardhan terpaksa membawa motor dengan satu tangan memegangiku dan satu tangan memegang setang motor. Aku semakin sering jatuh pingsan . Dakam sehari, aku pernah mencapai rekor pingsan 36 kali. Setiap kali aku kehilangan keseimbangan, tubuhku melemas seperti tidak bertulang, pandanganku mengabur, lalu dunia seakan gelap. Emosiku sering memuncak, terutama setiap kali sms dari Priya yang menghakimiku. Sering kali aku menganggap Priya lebih pantas disebut gila daripada aku. Ia sama sekali tidak punya perasaan, padahal telah diperingatkan oleh teman-temanku yang lain agar tidak menggangguku.

    Aku memaksakan tubuhku untuk bertahan. Seperti orang kesurupan, aku mulai mengirimkan sms kepada teman-temanku mencari alamat psikiater. Rasa sakitku sudah di luar batas kekuatan. Kalau aku tidak segera ditolong oleh psikiater yang lebih ahli dari dokter Roy Nusa, aku bisa benar-benar berlari ke dapur dan mengiris tanganku sendiri atau meminum semua obat dari kotak obat hanya untuk mati. Beberapa sms ku terjawab, namun mereka tidak tahu di mana aku harus menemui psikiater, selain ke rumah sakit. Seorang teman kantorku, Mbak Aya memberikan nomor telepon seorang psikolog bernama Bu Nia yang bersedia menolongku dengan free. Aku memutuskan menelepon Bu Nia, namun sayang beliau sedang sibuk dan baru bisa menemuiku besok. Di saat itu Mas Arif meneleponku dan ia mengatakan bahwa sahabatnya yang bernama Rivi sedang mengantarkan sahabatnya yang merupakan Psikiater untuk pindah tugas ke Rumah Sakit Paru dr Ario Wirawan Salatiga. Aku di beri nomor telepon Rivi dan segera untuk menguhubunginya. Aku ragu-ragu menghubungi Rivi, setahuku biaya Psikiater cukup mahal. Di dompetku sekarang hanya ada uang Rp 500.000,-. Aku menangis dan meminta Mas Fardhan meneleponku. Mas Fardhan selalu menjadi keranjang sampahku, tempatku mengeluarkan semua emosi, berteriak, memaki bahkan menangis. Ia tetap sabar meladeniku. Mas Fardhan satu-satunya orang yang menegrtiku, mas fardhan menelepon dan berusaha menenangkanku, tetapi tidak berhasil. Aku tetap merasakan kepanikan dan rasa sakit yang luar biasa. Aku merasa seperti orang gila. Dalam keputusasanku, aku memutuskan mencari dokter saai itu juga. Aku butuh pertolongan.

    Setelah berputar-putar tidak tentu arah, akhirnya aku ke rumah sakit tempat dokter Roy Nusa praktik. Seperti sudah diatur oleh takdir, dokter Roy Nusa tidak buka praktik hari itu. Beliau sedang keluar negeri. Aku termangu, duduk di ruang tunggu rumah sakit, dan tidak tahu harus berbuat apa. Semua terasa gelap, duniaku seperti berhenti. Akhirnya aku menelepon Rivi dan ia memberikan alamat rumah di Salatiga, ia mengatakan bahwa Mas Arif sudah bercerita tentang diriku dan baru kemarin datang bersama sahabat-sahabatnya untuk mengantar dokter Dhio yang akan aku temui hari ini. Tepat pukul 13.00 WIB aku sampai di sebuah rumah yang sangat nyaman karena banyaknya pohon-pohon besar tumbuh, aku merasa aneh karena aku ingin bertemu dengan psikiater, namun di depan rumah tertulis Rumah ODHA. Aku disambut oleh seorang pria yang menurutku sangat tampan, aku mengatakan kalau aku sudah ada janji dengan Rivi untuk bertemu dengan dokter Dhio. Aku berkenalan dengan Rivi kemudian lelaki tampan yang menyambutku bernama Dirga. Rivi segera memanggil dokter Dhio, kemudian muncul tiga orang bersama Rivi dan seorang anak perempuan bernama Rara, meraka adalah Boggi, Yoga dan terakhir aku bersalaman dengan dokter Dhio. Setelah bersalaman dokter Dhio langsung mengajakku ke sebuah ruangan prakteknya. Tertulis dr. Dhio Pratama Putra, Sp.KJ di atas meja prakteknya, ruangan ini tidak terlalu luas, tetapi sangat nyaman, selain sebuah meja tempat konsultasi, ada juga sebuah kursi malas seperti yang biasa berada di ruang pskiater dalam film-film.

    Dokter Dhio memberiku setumpuk kertas yang harus kuisi. Namun aku bersikeras tidak mau mengisinya, tetapi dokter Dhio mengatakan kalau aku harus mengisi sebuah formulir itu. Aku berusaha menenangkan diri, menatap tumpukan kertas di depanku dan bersiap-siap mengisinya. Woodworth’s Eysisk’s Inventory Questioner, ada sekitar 132 pertanyaan yang harus kujawab. Aku menarik napas panjang dan mulai merasa letih. Aku mengeluh karena saat ini aku merasa sedang histeris dan frustrasi, tetapi aku justru diharuskan menjawab pertanyaan. Aku ingin melatakkan telepon, bangkit dan pergi, tetapi ada sesuatu yang menahanku. Aku sudah ada di sini. Aku mau hidup, aku sedang mencari pertolongan. Mau tidak mau aku harus mengisi semua kuesioner karena hanya ini satu-satunya jalan untuk bisa menolongku. Aku mengisinya dengan sangat cepat, ketika aku menyerahkannya kepada dokter Dhio, ia menatapku tidak percaya. Kami berbasi-basi sebentar, dokter Dhio sedang diberikan kepercayaan untuk menjadi Kepala Bidang Medik di Rumah Sakit Rumah Sakit Paru dr Ario Wirawan Salatiga, sebelumnya dokter Dhio bertugas di Rumah Sakit Stroke Nasional/RSUP Bukittinggi. Dokter Dhio masih terlihat muda, ia seumuran dengan usiaku, suaranya yang menyejukkan hati belum lagi tampangnya yang menurutku tampan. Setelah itu aku mulai berceloteh tentang rasa sakitku, tetapi langsung dipotong oleh dokter Dhio. Ia ingin membahas isian kuesioner terlebih dahulu. Dokter Dhio mengulang beberapa pertanyaan yang tidak kujawab dan membahasnya bersama. Dokter Dhio menuntunku hingga aku bisa menentukan jawaban yang pas, lalu ia menjelaskan alasan aku harus mengisi kuesioner tersebut.

    “Begini Mas, seperti bila kita ingin tahu apakah kita menderita diabetes atau tidak, kita harus menjalani beberapa tes laboratorium baru kita tahu hasilnya. Dalam ilmu kejiwaan pun sama, kuesioner inilah tes laboratoriumnya. Saya baru bisa menentukan Mas sakit apa dari hasil jawaban-jawaban Mas. Semua ada nilainya,,”

    Dokter Dhio mulai menghitung nilai dari setiap isianku, lalu menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Ia menatapku,, “Sekarang silakan Mas ceritakan apa yang Mas mau ceritakan,,”

    Seperti banjir, mengalirlah semua cerita hidupku. Aku menangis, marah, histeris. Semua yang menyesakkan dadaku seperti tertumpahkan. Tiga jam aku berbicara tanpa henti, sementara dokter Dhio hanya duduk tenang di kursinya, menatapku sambilo sesekali menyondorkan tisu. Setelah aku kehabisan kata-kata, aku menyandarkan punggungku yang penat ke sandaran kursi, menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Aku merasa letih, sangat letih.

    Dokter Dhio menarik napas panjang dan menegakkan tubuhnya. “Mendengar cerita mas, saat ini saya punya satu kata........ Luar Biasa. Luar Biasa Mas masih hidup dan normal. Saya anggap Mas waras karena datang ke depan saya, menceritakan konflik yang demikian pelik dan rumit yang tidak semua orang sanggup melewatinya. Mas patut bangga dengan diri Mas sendiri,,” dokter Dhio tersenyum,, “ saya sendiri belum tentu sanggup kalau jadi Mas,,”

    Aku mendesah,, “Saya capek Dok. Capek sekali,,”

    “Tentu saja. Siapa pun akan capek kalau jadi Mas,,”

    Aku mencodongkan tubuh,, “Jadi sekarang tolong katakan, saya ini sakit apa?? Apa saya gila?? Apa saya schizofrenia??”

    Dokter Dhio tersenyum,,”Menderita gangguan jiwa bukan berarti gila, Mas”

    “Berarti benar kalau jiwa saya terganggu??”

    “Apa Mas terlihat seperti orang gila?? Apa Mas merasa gila?? Mas tidak gila, tetapi Mas menderita gangguan kejiwaan yang.......” dokter Dhio terdiam sesaat,,, “Kalau dibiarkan terus bisa mengarah ke gila.......”

    Aku mencermati wajah dokter Dhio, sedikit berharap ia sedang bercanda,,, “jadi??”

    “Mas berada ditengah-tengah,,” dokter Dhio menggambar sebuah garis,, “Ujung yang ini adalah milik orang-orang gangguan kejiwaan seperti depresi, paranoid dan sebagainya. Ini disebut gangguan jiwa tidak murni atau non-psychosis. Ujung yang satu adalah milik orang-orang dengan gangguan jiwa yang lebih besar seperti schizofrenia, orang gila yang sering Mas lihat dipinggir jalan tanpa pakaian atau mengamuk di rumah sakit jiwa. Ini disebut gangguan jiwa murni atau psychosis. Mas ada di tengah-tengah, namanya bipolar, bipolar disorder. Dari hasil Woodworth’s Eysisk’s Inventory Questioner yang Mas Jawab, semuanya ada sebelas skor di mana salah satunya adalh skor tentang kejujuran. Saya bisa mengatakan kalau Mas positif seorang bipolar disorder.”

    Bipolar disorder. Rasanya nama itu tidak asing bagiku?? Rasanya aku pernag menonton film atau entah membaca di mana tentang bipolar disorder.

    “Jadi bipolar disorder itu ada di antara gangguan jiwa murni dan tidak murni?? Berarti bisa condong atau berubah ke salah satunya??”

    “Ya, itu bisa terjadi,,”

    “Jadi saya bisa menjadi benar-benar gila atau schizofrenia??”

    “Ya, bila tidak ditangani,,”

    “Apa sebenarnya bipolar disorder itu dok??”

    “Bipolar disorder atau disebut juga manic-depressive bisa digolongkan sebagai penyakit otak yang juga merupakan penyakit gangguan kejiwaan. Hal ini menyebabkan perubahan-perubahan yang tidak biasa pada suasana hati, energi, tingkat-tingkat aktivitas dan kemampuan melakukan tugas-tugas haria. Seseorang yang mengidap bipolar disorder biasanya sering merasa euphoria berlebihan atau mania dan mengalami depresi yang sangat berat. Periode mania dan depresi ini bisa berganti dalam hitungan jam, minggu, maupun bulan. Ini semua tergantung kondisi masing-masing pengidap. Ia ditandai dengan perubahan mood alam perasaan yang sanagt ekstrem, yaitu berupa depresi dan mania. Pengambilan istilah bipolar disorder mengacu pada suasana hati penderitanya yang dapat berganti secara tiba-tiba, antara dua atau bi dan kutub polar yang berlawanan, yaitu kebahagian dan kesedihan ekstrem. Pada umumnya, setiap orang pernah mengalami suasana hati yang baik dan suasana hati yang buruk. Akan tetapi, seseorang yang menderita bipolar disorder memiliki mood yang ekstrem, yaitu pola perasaan yang mudah berubah secara drastis. Suatu ketika, seorang penderita bipolar disorder bisa merasa sangat antusias dan bersemangat atau mania. Namun, ketika mood-nya berubah buruk, ia bisa sangat depresi, pesimis, putus asa, bahkan sampai mempunyai keingainan bunuh diri seperti yang Mas alami,,” dokter Dhio menerangkan panjang lebar.

    Aku hanya termangu, berusaha menyerap semua keterangan dokter Dhio yang panjang lebar itu, dan menelaahnya di otakku. Semua penjelasan dokter Dhio rasanya lebih masuk akal dari pada diagnosis schizofrenia dokter Roy Nusa.

    “saya hampir didiagnosa sebagai seorang schizofrenia”

    “Dulu gangguan jenis ini sering disalah diagnosis dengan gangguan schizofrenia. Hal ini karena manifestasi penampakan klinik atau gejala gangguan bipolar disorder sering kali mirip dengan gangguan jiwa lainnya, terutama schizofrenia dan gangguan depresi,”

    Dokter Dhio kembali menggambar garis lurus,,”Bila ini garis normal, bipolar disorder akan naik turun dari mania ke depresi sepanjang waktu,,” dokter Dhio menggambar grafik gelombang nak-turun yang melewati garis normal..”Seorang schizofrenia, akan beraa di salah satunya saja, terus menerus mania atau depresi, tidak pernah berada di garis normal seperti bipolar disorder,,”

    “Apa penyebab bipolar disorder, dok??”

    “Penyebabnya sendiri masih diperdebatkan sampai sekarang. Bisa karena faktor genetik, fisiologis, lingkungan, biologi otak, depresi atau peristiwa kehidupan yang menyebabkan stres. Secara teknis, bipolar disorder terjadi karena kekacauan pada sirkuit neurotransmisi di otak yang menyebabkan sistem neuroregulasi tergangu,,”

    Dokter Dhio melihat kebingungan di wajahku. Ia melanjutkan,, “Jadi begini, otak kita terdiri dari bermiliar-miliar sel saraf yang secara konstan menyampaikan informasi dari sel satu ke sel lainnya. Untuk menjaga kestabilan arus informasi dari sel-sel, maka otak menghasilkan cairan yang dinamakan neurotransmiter. Sebagai organ yang berfungsi menghantarkan rangsang, otak membutuhkan neurotransmiter atau saraf pembawa pesan dan isyarat dari otak ke bagian tubuh lain dalam menjalankan tugasnya. Neropinephrine, dopamine dan serotonin adalah beberapa jenis neurotransmiter yang penting dalam penghantaran impuls saraf. Dua neurotransmiter yang diperlukan otak untuk memegeng peran penting dalam kesehatan emosional adalah dopamine dan serotonin. Bipolar disorder disebabkan ketidakseimbangan key chemicals atau cairan kimia utama dalam otak kita, jika salah satu dari susunan neurotransmiter itu tidak seimbang, maka akan mengakibatkan bipolar disorder. Sebagai contoh, seorang pengidap bipolar disorder dengan kadar dopamine tinggi dalam otaknya akan merasa sangat bersemangat, agresif dan percaya diri. Keadaan inilah yang disebut fase mania atau manic, kebalikan dengan fase depresi, fase ini terjadi ketika kadar cairan kimia utama otak itu menurun di bawah normal, sehingga penderita merasa tidak bersemangat, pesimis, bahkan memiliki keinginan untuk bunuh diri yang besar,,” Dokter Dhio menarik napas panjang,, “Penjelasan saya terlalu rumit ya??”

    Aku menggeleng,, “Tidak sama sekali, intinya bipolar disorder itu hampir mirip seperti dua kepribadian yang bertolak belakang dalam satu tubuh ya dok?? Satu sisi energik, sedangkan sisi lain depresif. Apa tadi?? Mania dan depresi ya?? Tolong jelaskan kepada saya detailnya, apa dan bagaimana fase mania dan bagaimana fase depresi??”

    Dokter Dhio menatapku,, “Apa tidak terlalu melelahkan buat Mas kalau harus saya terangkan semua sekarang??”

    “Tidak,,” gelengku tegas,, “Saya harus mendapatkan penjelasan itu langsung dari dokter. Ketika saya didiagnosis schizofrenia, saya memang mencari di internet tentang itu. Itu pun akan saya lakukan dengan bipolar disorder ini, tetapi saya mau tahu dari dokter,,”

    “Begini saja Mas,,” dokter Dhio melihat arloji di pergelangan tangannya,, “Mas sudah hampir lima jam di sini, mas tampak letih sekali. Bagaimana kalau soal itu akan saya jelaskan lain kali?? Sekarang bagaimana perasaan Mas?? “

    Aku baru tersadar oleh lamanya aku di ruangan dokter. Gila!! Berapa banyak biaya yang harus kubayar untuk konsultasi ini?? Aku teringat uang Rp 500.000,- yang tersisa di dompetku. Akhirnya dengan wajah letih dan menyerah, aku menatap wajah dokter Dhio yang sedang mencermati wajahku serta menunggu reaksiku atas vonis yang ia jatuhkan dan yang ada hanya kehampaan.

    “Sejak kapan bipolar disorder ini dok??” Hanya pertanyaan itu yang berhasil keluar dari bibirku.

    Dokter Dhio menyandarkan punggungnya ke kursi. Ia pun tampak penat setelah lebih lima jam mendengarkan cerita, keluh kesah dan histeriaku.

    “Kalau mendengar cerita Mas, penyakit ini saya prediksi dimulai sejak dini, mungkin sejak Mas berumur 10 tahun, dan mungkin saja bisa kurang. Dari kandungan seorang Ibu, mungkin Mas sudah membawa genetik ketidakstabilan,,” lanjut dokter Dhio sambil menghela napas begitu dalam.

    “Semuda itu.........” gumamku,,, “Dan karena ini saya selalu merasa ingin bunuh diri dan dihantui mimpi buruk di sepanjang hidup saya??”

    Aku merasa kosong. Kekosongan yang luar biasa. Rasa kosong yang bisa dikatakan sebagai sebuah kesadaran akan keprasahan bahwa aku seolah-olah sudah tahu dan itu bukan masalah besar. Setelah aku kaji semua, penyakit itulah yang tanpa sadar telah membuat hidupku selama 36 tahun ini berantakan tidak tentu arah. Berapa banyak keputusan salah yang sudah kuambil dalam hidupku hanya karena ketidakstabilan emosiku??

    Dokter Dhio mencodongkan tubuh seolah ingin memperpendak jarak dan berkata,, “ Saya telah bertemu dengan ratusan pasien dalam profesi saya, tapi jujur baru kali ini saya bertemu seorang pasien seperti Mas,,” dokter Dhio menatapku dengan tatapan penuh rasa ingin tahu,,, “Saya sangat penasaran ingin tahu bagaimana Mas bisa bertahan selama sekitar kurang lebih 26 tahun dalam situasi yang bahkan tidak bisa terbayangkan oleh saya,,,” dokter Dhio menggelengkan kepalanya,,”Mas datang menemui saya, menceritakan semuanya kepada saya dengan susunan kalimat yang begitu normal, tersenyum dan menertawakan kepedihan dan rasa sakit Mas, di mana mungkin sebagaian besar orang sudah mencapai batas kewarasannya?? Bagaimana Mas melalau rasa sakit yang menggerogoti fisik dan jiwa Mas dan tidak membiarkan orang lain, setidaknya orang-orang terdekat tahu kondisi Mas yang sebenarnya,,”

    Saat itu dengan letih aku hanya mampu menjawab,,”Orang-orang tahu saya sakit kok, dok. Mereka hanya tidak tahu sesakit apa saya. Saya bukan tidak pernah mencoba menceritakan lebih jauh tentang sakit dan penderitaan saya, tapi sebagian besar yang saya terima hanyalah penghakiman kalau Tuhan memberi saya rasa sakit dan penderitaan, itu artinya saya bukan orang baik karena dihukum dengan sakit dan penderitaan itu, sedangkan sebagian yang lain terlalu sibuk untuk menyuruh saya bersabar dan memaksa saya kuat tanpa pernah benar-benar mencoba memahami bagaimana perjuangan saya, menjalani semua ini adalah bagian dari usaha saya untuk sabar dan kuat. Jadi lebih baik saya menyimpannya sendiri,,”

    Sungguh menyentuh ketika dokter Dhio tersenyum dan berkata yang entah dari mana aku yakin kalau itu tulus, lepas dari profesinya sebagai dokter,, “Saya tidak butuh waktu lama untuk tahu kalau Mas adalah orang yang luar biasa. Sungguh bodoh mereka yang tidak bisa melihat itu. Jangan biarkan penghakiman itu menghancurkan kekuatan luar biasa yang Tuhan berikan kepada Mas untuk bertahan sampai sekarang,,”

    Aku tergugu, dokter Dhio baru saja memberiku sebuah semangat luar biasa. Aku menarik napas panjang,,”dok, apa saya bisa sembuh??”

    “Bicara tentang kesembuhan, ada dua macam kesembuhan, yaitu sembuh medis dan sembuh sosial. Sembuh sosial artinya bisa sembuh tanpa obat dan kembali ke masyarakat seperti biasa. Ini biasanya pada kasus gangguan jiwa tidak murni atau non-psychosis seperti depresi, fobia dan sebagainya. Sdangkan sembuh medis adalah sembuh yang harus melalui terapi dan pengobatan yang intens, biasanya dalam waktu jangka yang lama. Ini biasanya terjadi pada kasus ganguan jiwa murni atau psychosis seperti schizofrenia. Semakin dini seseorang menderita bipolar disorder, maka risiko penyakit akan lebih berat, kronik, bahkan refrakter. Pada dasarnya bipolar disorder tidak bisa disembuhkan secara total, tetapi bisa dikontrol. Inlah sembuh medis. Seperti penyakit kronis lain, bipolar disorder butuh perawatan jangka panjang, bahkan sepanjang hidup. Bipolar disorder harus diobati secara continue tidak boleh putus. Kalau putus, fase normal akan memendek sehingga kekambuhan semakin sering. Adanya fase normal pada gangguan bipolar disorder sering mengakibatkan buruknya kepatuhan untuk berobat karena dikira sudah sembuh, padahal tidak. Ketika kita mengira itu sudah sembuh, bipolar bisa muncul kembali,,”

    “Jadi maksud dokter, saya harus terus berobat??”

    “Secara teori iya, meskipun ada kasus-kasus tertentu yang di luar kontrol manusia. Secara medis, penderita bipolar disorder harus mengonsumsi obat jangka panjang. Dokter biasanya memberikan terapi obat selama lima tahun. Setelah itu, kita coba untuk menghentikannya. Kemungkinan kambuh pada pasien yang menjalani terapi obat ini sekitar 30%. Obat-obatan itu akan membantu menyeimbangkan kondisi mania dan depresi pasien. Dengan pengobatan yang tepat, bipolar disorder dapat dikontrol dengan baik. Sayangnya, penggunaan obat bukannya tanpa efek samping. Menurut saya dukungan dan semangat dari keluarga serta orang terdekat adalah obat yang paling mujarab daripada obat-obatan medis. Mas harus percaya pada campur tangan Tuhan dalam setiap kesembuhan,,”

    “Justru yang aku tidak punya dok,,” aku mendesah.

    “Mas harus membicarakan semua ini kepada keluarga, Mas tidak bisa menjalankan ini sendirian,,”

    Aku tersenyum getir,,”Selama ini saya sudah melewati badai dalam hidup saya sendirian. Saya tidak yakin keluarga saya akan peduli. Kantor saya saja tidak peduli,,” Aku mendesah,,, “Saya harus jujur dok. Di dompet saya hanya ada uang Rp 500.000,- saya tidak tahu berapa biaya yang harus saya keluarkan, apalagi bila saya harus menjalani pengobatan secara continue seperti yang dokter bilang. Dokter juga sudah tahu kalau saya mengalami kesulitan keuangan. Utang saya karena mantan pasangan hidup saya yang kedua sangat besar, saya kehilangan rumah. Mungkin lebih baik saya berhenti dan membiarkan penyakit ini membunuh saya pelan-pelan.”

    Dokter Dhio menatapku lekat dan lama,, “Saya tidak mau Mas berhenti berjuang. Saya akan bebaskan pengobatan” dokter Dhio mencondongkan tubuhnya kerahku,, “Tetapi saya tidak bisa membantu dari segi obat. Saya akan semaksimal mungkin meracik obat yang termurah tanpa mengubah kualitasnya, tetapi tolong saya,, Jangan berhenti berjuang Mas,,”

    Aku tercekat. Ada isak yang tertahan ditenggorokanku. Air mata sudah memenuhi kedua bola mataku,, “dokter serius?? Tapi kenapa??”

    Jawaban yang sangat sederhana. “Karena saya mau Mas sembuh. Saya mau melihat Mas bangkit kembali. Mas tampan dan manis, Mas laki-laki yang kuat dan hebat di mata saya. Saya tidak mau keterbatasan dana menghalangi Mas untuk bisa kembali kepada masyarakat dan menunjukkan betapa kuatnya Mas. Saya akan bantu semaksimal mungkin,,”

    “Saya...... tidak tahu........ harus.......berkata apa......” Aku berusaha menahan diri agar tidak menangis lagi. “Hanya Tuhan yang bisa membalas kebaikan dokter,,”

    “Saya percaya bila saya menanamkan kebaikan, saya juga akan mendapatkan kebaikan,” dokter Dhio tersenyum dan mengulurkan tanganya menjabat tanganku,, “Mas orang yang hebat. Yakini itu,,”

    Sebelum pulang dokter Dhio mengajak aku makan bersama sahabat-sahabatnya, aku merasa iri dengan kehidupan mereka. Pantas dokter Dhio sangat tidak terlihat kaget ketika mengetahui bahwa pasanganku adalah seorang laki-laki, sebab sahabat yang sudah dinggapnya keluarga ini adalah pasangan Gay. Ternyata mereka menamai rumah ini dengan “Rumah ODHA” sebagai tempat untuk organisasi sosial yang sudah mereka rintis membantu para penyandang HIV dan AIDS di Jawa Tengah. Makan malam terasa hangat, Rivi menceritakan hubungannya dengan Mas Arif dan aku tahu mereka adalah sahabat kecil hingga sekarang. Hari itu aku bersyukur mendapatkan seorang teman baru yang begitu hangat Rivi, Dirga, Yoga dan dokter Boggi serta sahabat baruku dokter Dhio.

    Lebih mudah bagiku menerangkan pada kantor kalau aku menderita kanker daripada harus menerangkan kepeda mereka kalau aku terserang penyakit otak yang sama saja dengan gangguan jiwa. Penyakit jiwa, sampai saat ini masih dianggap sebagai penyakit memalukan, menjadi aib bagi si penderita dan keluarganya. Masyarakat kita menyebut penyakit jiwa pada tingkat yang kronis seperti hilang ingatan, dengan sebutan yang sangat kasar seperti gila atau sinting. Salah kaprah pengertian dan pemahaman tentang penyakit jiwa ini, mungkin karena ketidaktahuan masyarakat pada masalah-masalah kejiwaan dan kesehatan mental. Ketidaktahuan ini mengakibatkan persepsi keliru bahwa penyakit kejiwaan merupakan aib bagi si penderita maupun bagi keluarganya. Si penderita harus mendapatkan penghakiman dari masyarakat, bahkan banyak yang dikucilkan. Lebih parah lagi jika ditelantarkan keluarganya. Selain itu, ada anggapan keliru di masyarakat bahwa penderita gangguan jiwa hanya mereka yang menghuni rumah sakit jiwa atau orang sakit jiwa yang berkeliaran di jalanan. Gangguan jiwa bisa dialami siapa saja, baik disadari atau tidak. Orang yang tampaknya sehat secara fisik pun bukan tidak mungkin sebenarnya menderita ganguan jiwa.

    Aku harus dihadapkan pada kenyataan dan orang-orang di sekelilingku. Rasa sakitku ini menjadi cobaan, semua membawaku ke tepi jurang kehancuran. Aku sadar dengan diagnosis dokter kalau aku adalah seorang penderita gangguan jiwa. Aku mungkin harus menelan hujatan, cacian, sumpah serapah, hinaan, rasa takut, luka, pedih, kehilangan, putus asa, kecewa, amarah, dan semua rasa terburuk yang bisa dirasakan hati manusia. Kalau aku berdiri di batas yang diciptakan orang lain, penghakiman bahwa Tuhan memberiku rasa sakit dan penderitaan, itu artinya aku bukan orang baik dan benar, tetapi karena dihukum dengan sakit dan penderitaan. Apa yang disebut “baik” dan “ benar” bagi manusia mungkin berbeda dengan apa yang menjadi kuasa Tuhan. Itulah yang menjadi masalah beratku. Ada saat-saat di mana aku memang pingsan puluhan kali dalam sehari, ketakutan, gemetaran, sesak napas, sampai sakit kepala yang tidak tertahankan, tetapi ada pula saat-saat di mana aku terlihat dengan sehat. Itu yang tidak bisa diterima oleh orang-orang di kantorku. Aku mengalami kendala dalam mendapatkan izin sakit. Meskipun dokter Roy Nusa dan dokter Dhio dengan suka rela memberiku surat izin sakit sebayak apa pun yang kuperlukan, tetapi memperbaharuinya setiap tiga hari sekali sangat menyiksaku.

    Aku harus bolak-balik Solo – Salatiga hanya untuk selembar surat izin sakit setiap tiga hari sekali. Itu memakan waktu, biaya dan yang terberat adalah tenaga. Aku beruntung memiliki Mas Fardhan dengan kesabaran dan cintainya, juga sahabat-sahabat serta sepupuku Dendy yang selalu setia memberiku semangat. Mas Harry bahkan rela bolak-balik tiga hari sekali mengembalikan surat izinku ke dokter dan mengantarkannya ke kantor. Padahal dokter Dhio dan aku menharapkan pihak kantor datang menemui dokter untuk mendapatkan kejelasan lebih lanjut tentang penyakitku. Kantor bisa memberiku cuti sakit dari hasil keterangan dokter, sehingga aku tidak perlu bolak-balik ke dokter hanya untuk selembar surat izin. Mas Fardhan datang khusus daru Balikpapan untuk bertemu dengan dokter Dhio, sebagaimana beberapa sahabatku yang suka rela bertemu dokter Dhio untuk menanyakan kondisiku yang sebenarnya. Mas Fardhan banyak bertanya tentang penyakitku secara detail. Sebagai seseorang yang mengaku sangat mencintaiku. Mas Fardhan merasa harus terlibat dalam proses penyembuhanku.

    “Bipolar disorder ini pada waktu tertentu terdiri dari peninggian suasana atau mood perasaan serta peningkatan enegri dari aktivitas mania atau hipomania. Pada waktu lain bisa berupa penurunan suasana perasaan serta pengurangan energi dan aktivitas atau depresi. Mood yang dimaksud dalam bipolar disorder adalah alam perasaan yang menetap dan dirasakan secara internal dalam bentuk suasana hati depresi yang dapat memengaruhi perilaku dan persepsi seseorang terhadap lingkungannya. Perasaan ini timbul pada episode atau keadaan mood di waktu tertentu dan biasanya terjadi sangat cepat dan berlangsung seumur hidup” terang dokter Dhio kepadaku dan Mas Fardhan ketika kami bersama-sama datang menemuinya.

    “Sebetulnya ada beberapa banyak episode atau mood dalam bipolar disorder ini dok??” tanyaku.

    “Ada lima mood dalam bipolar disorder. Pertama, depresi, Mas akan merasa sangat sedih dan menganggap diri Mas negatif, lalu menarik diri dari lingkungan. Kedua, mania, yaitu jika merasa sangat senang dan bersemangat sampai-sampai Mas ingin melakukan banyak aktivitas sekaligus tanpa berpikir panjang. Tiga, hipomania yang terjadi saat mas merasa cukup senang, tetapi masih bisa mengontrol keinginan. Empat, eutumia yaitu saat suasana hati berada dalam keadaan biasa dan normal. Lima campuran yaitu gabungan dari depresi dan mania,”

    “Saya pernah mengalami semua itu, dok...” gumamku.

    “Kalau ada lima mood, kenapa disebut bipolar disorder, dok?? Bukankah bi itu dua??” tanya Mas Fardhan.

    “Pada intinya, bipolar disorder terdiri dari dua mood utama yang dominan, yaitu mania dan depresi. Pada manic atau mania, gejala-gejalanya sudah cukup berat hingga mengacaukan hampir seluruh pekerjaan dan aktivitas sosial. Harga diri membumbung tinggi dan terlalu optimis, perasaan mudah tersinggung dan mudah curiga. Bertolak belakang dengan hipomanic, gejala pada depresi terjadi sebaliknya. Suasana hati diliputi perasaan depresif, tidak ada minat dan semangat, aktivitas berkurang, pesimis dan timbul perasaan bersalah dan tidak berguna.”

    “Berapa lama fase depresi itu bisa berlangsung, dok??” tanya Mas Fardhan lagi.

    “Fase depresi biasanya berlangsung minimal selama dua minggu, tetapi bisa terus berkepanjangan bila tidak ada bantuan. Bila perasaan depresi sudah menimbulkan keinginan untukbunuh diri, berarti sudah masik dalam depresif derajat besar,”

    Mas Fardhan menarik napas panjang, wajahnya sangat serius. “Tolong jelaskan kepada saya gejala-gejala dari dua fase itu dok. Agar saya bisa mengenalinya,,”

    Dokter Dhio tersenyum. “Saya senang ada orang yang sangat peduli kepada Mas Sembo. Memang memberikan sebuah semangat seperti inilah yang ia butuhkan. Ya kan, Mas Sembo??”

    Aku mengangguk. Jujur aku terharu dengan kepedulian Mas Fardhan yang melebihi orang lain dalam masalah penyakitku. Aku tahu ia melakukannya karena ia mencintaiku. Tetapi bukankah akan lebih mudah baginya untuk pergi meninggalkan orang dengan penyakit kejiwaan seperti aku dan melanjutkan hidupnya sendiri?? Sementara itu, di sisi lain ia juga sedang dipusingkan dengan masalah rumah tangganya yang sedang dalam proses perceraian.

    “Jadi begini Mas Fardhan, pada bipolar disorder terjadi dua episode yaitu fase mania dan depresi yang bergantian. Gejala fase manic yang mudah diamati, antara lain suasana hati gembira berlebihan, aktivitas meningkat, ekspansif, mudah tersinggung, hiperaktif, berbicara sangat cepat, ide meloncat-loncat, kebutuhan tidur berkurang, harga diri berlebihan, perhatian mudah teralihkan, memiliki pertimbangan buruk, sikap berlebihan terhadap sesuatu, berlaku implusif dan bisa mengalami gejala psychotic seperti delusi dan halusinasi. Gejala dari fase depresi antara lain perasaan murung atau sedih, mudah menangis, minat dan kegembiran hilang, kelelahan, nafsu makan terganggu, gangguan tidur baik itu insomnia atau hipersomnia, putus asa, pesimis, merasa tidak berguna, sulit konsentrasi, berat badan naik atau turun secara bermakna, merasa bersalah dan yang terparah adalah sering berpikir untuk bunuh diri.”

    “Apa ada tanda-tanda khusus kalau mau bunuh diri??” tampak kepanikan di wajah Mas fardhan.

    “Mungkin Mas Sembo yang lebih tahu,,” dokter Dhio menatapku.

    “Secara fisik saya merasa sakit kepala luar biasa, jantung berdebar, kelelahan fisik dan kurang tidur. Saya akan berbicara tentang perasaan ingin bunuh diri atau ingin mati. Saya akan merasa sangat putus asa, merasa tidak berdaya dan tidak seorang pun mau membantu saya. Saya juga merasa menjadi beban bagi keluarga maupun teman-teman. Kadang saya suka menulis suatu pesan atau puisi tentang kematian,” Aku terdiam lama. “Sekarang saya merasa sangat bersyukur telah melewati semua fase itu.”

    “ Ya.....Mas sangat beruntung tidak jatuh ke dunia hitam. Orang bipolar disorder cenderung mudah jatuh ke hal-hal yang negatif seperti minuman keras dan narkoba untuk mengurangi rasa sakit dan kondisi depresinya, mereka cenderung melakukan sesuatu yang membahayakan jiwanya,” dokter Dhio menatapku kagum... “Mas Sembo benar-benar harus bersyukur”

    “Bagaimana dengan rasa sakit dan amnesia yang pernah saya rasakan, dok??”

    “Penderita bipolar disorder memang sering mengalami komplikasi pada organ tubuh lain yang disebabkan sugesti buruk terhadap kesehatannya. Apalagi Mas juga seseorang penderita psikosomatis. Penderita sering merasakan sakit dan nyeri yang hebat tanpa alasan. Hal ini menyebabkan risiko lebih tinggi untuk terkena penyakit lainnya. Sedangkan amnesia atau lupa ingatan, pada waktu tertentu memang salah satu gejala dari bipolar disorder.”

    “Jadi, kejadian ketika Sembo sempat amnesia itu karena sakitnya dok?? Beberapa orang sempat menuduh karena ilmu hitam saya,” Mas Fardhan tertawa getir. “ Dan sebagian yang lain menganggap Sembo berbohong,”

    “Itu karena bipolar disorder-nya Mas Fardhan,” dokter Dhio tersenyum.

    “Lalu bagaimana dengan terapi penyembuhan bipolar disorder ini, dok?? Sembo bercerita kalau secara teori bipolar disorder adalah penyakit seumur hidup,,”

    “Jujur, bipolar disorder membutuhkan waktu terapi yang lama, karena memang tidak bisa disembuhkan total. Mas juga jangan melupakan kebesaran Tuhan. Bila Tuhan berkehendak sembuh, pasti sembuh. Biasanya, penderita bipolar disorder harus mengonsumsi obat setiap hari, tetapi saya tidak merekomendasikan itu. Sayangnya, absen minum obat sehari saja bisa menyebabkan kekambuhan. Umumnya, pengobatan bipolar disorder ini biasa dilakukan dalam tiga fase. Pertama fase tata laksana akut dengan memberikan obat mood stabilizer yang efektif sesuai dengan kondisi penderita. Tujuannya agar gejala-gejala segera dapat dikendalikan. Selanjutnya, psikoedukasi tentang bipolar untuk pasien dan keluarganya. Hal ini sudah kita jalankan meski dari pihak keluarga Mas belum ada yang datang,,”

    “Fase selanjutnya apa dok??”

    “Fase tata laksana berkelanjutan. Fase ini dimulai fase pertama sudah tercapai, artinya Mas Sembo tidak memerlukan lagi perbaikan bermakna atau selama kurang dari dua bulan Mas Sembo tidak mengalami depresi. Tujuan fase ini agar gejala bipolar benar-benar hilang dan mencegah kekambuhan. Obat tetap harus dikonsumsi dan saya berharap Mas bisa tetap melakukan aktivitas seperti biasa. Prosesnya bisa berlangsung selama dua sampai enam bulan, tetapi bisa juga lebih singkat atau lama tergantung Mas sendiri. Kalau kambuh, Mas harus kembali ke fase awal,,”

    “Yang jadi masalah adalah kembali ke aktivitas seperti biasa ini, dok. Saya bisa melakukan aktivitas lain, tapi demi Tuhan saya tidak sanggup ke kantor.”

    Dokter Dhio menarik napas panjang dan dalam,,, “Ya, itu sulitnya. Beberapa orang kantor Mas sudah datang ke sini. Saya sudah menjelaskan kepada mereka, tetapi memang tidak mudah memberikan penjelasan tentang beratnya kondisi sakit kejiwaan kepada orang awam.”

    “Lalu solusi apa yang terbaik tentang masalah kantor ini dok??” tanya Mas Fardhan.

    “Melihat trauma Mas Sembo yang sangat dalam tentang kantor, memang sebaiknya Mas cuti panjang dari kantor sampai Mas merasa sanggup kembali ke sana. Karena memaksa Mas ke kantor hanya akan membuat keadaan lebih buruk. Semoga ada kebijakan khusus dari kantor tentang ini. Saya akan bantu semaksimal saya,,”

    “Oh ya,,” potong Mas Fardhan. “ Ada masalah baru dok. Sembo ini harus segera pindah dari rumahnya. Selama sakit, ia sudah tidak berinteraksi dengan tetangganya dan itu cukup menimbulkan masalah. Mumpung belum terlanjur, kalau hendak pindah, ke mana sebaiknya ia pindah?? Maksud saya ke lingkungan seperti apa??”

    “Saya sarankan ke lingkungan yang membuat Mas Sembo merasa nyaman, Nah, lingkungan apa yang membuat Mas Sembo merasa nyaman??” Ketika aku menyebutkan ruka dengan alasan lingkungan yang tidak usil, dokter Dhio hanya mengangguk. “Selama itu membuat Mas merasa paling nyaman, saya setuju. Mungkin dengan tinggal di ruko, mas bisa buka usaha dan itu bisa menjadi obat. Ini juga berkaitan dengan fase pengobatan terakhir, fase pemiliharan. Fase ini lebih terfokus pada pemeliharan suasana hati. Mas Sembo yang sudah stabil, agar Mas bisa kembali ke fungsi kehidupan yang sesungguhnya dan berusaha keras mencegah kekambuhan. Caranya dengan menyesuaikan obat, mulai dosis, efek samping serta intervensi psikososial. Prosesnya bisa sangat lama dan tidak bisa dibatasi. Dalam hal ini, peran keluarga sangat besar. Monitoring dan dukungan keluarga ibarat obat kedua bagi Mas Sembo. Saya tahu. Mas memiliki sahabat-sahabat yang luar biasa, sepupu Mas seperti Dendy sangat luar biasa, tetapi saya masih berharap ada peran keluarga inti dalam hal ini”

    Aku dan Mas Fardhan saling berpandangan, keluarag inti?? Hanya Tuhan yang bisa membantuku membawa keluargaku berperan dalam kesembuhanku. Semoga...................

    Selanjutnya, aku disibukkan dengan kerepotanku mencari rumah kontrakan baru karena aku harus segera keluar dari rumahku. Tidak kusangka, pada suatu senja selepas mahgrib, dalam keadaan hujan deras, ketika aku baru pulang mencari rumah kontrakan, Mamah datang. Sms-ku yang menceritakan kondisiku kepada Ratih, puti Bulik Mur, ternyata berhasil membawa Mamah datang ke Solo. Mamah segera menceramahiku panjang lebar karena telah berhujan-hujanan mencari kontrakan rumah. Keesokan harinya, tanpa membuang waktu lagi, aku membawa Mamah menemui dokter Dhio. Cukup lama mereka berbincang, sebelum akhirnya aku menemui dokter Dhio sendiri. Tanpa basa-basi, aku bertanya hasil percakapan dokter Dhio dengan Mamah.

    Dokter Dhio menghela napas panjang,, “Jujur, saya menyerah kalau sola itu Mas. Beliau bersikeras dengan stigma kalau Mas tidak sepantasnya sakit seperti ini. Penderitaan Mas tidak seberat penderitaannya yang lahir dari keluarga miskin, hamil di luar nikah dan sebaginya. Saya sudah berusaha menerangkan kepada beliau kalau penyakit ini tidak bisa dinilai dari satu sisi saja” dokter Dhio mendesah,, “Saran saya, jangan berharap banyak dari Ibu Mas Sembo,,”

    Dokter Dhio benar, aku tidak bisa berharap banyak dari Mamah. Meskipun aku telah mengumpulkan puluhan artikel tentang bipolar disorder dan menjilidnya serta meminta Mamah untuk membaca semuanya, tetap saja yang kurasakan Mamah tidak pernah bisa mengerti penderitaanku. Tidak mudah menjelaskan hal ini, apalagi kepada Mamah yang selalu merasa bahwa ia adalah orang yang paling menderita daripada aku. Ia bahkan tidak pernah tahu bagaimana aku menjalani hidupku!!

    Bagaimana aku bisa menjelaskan ke Mamah tentang penderitaan rasa sakitku yang tidak bisa diukur dan dirasakan secara fisik karena memang tidak tampak melukai tubuh?? Perasaan sakit dan pedih ini ada dalam pikiran dan perasaanku yang tidak akan pernah dimengerti Mamah. Aku membaca dalam sebuah artikel dr. Andrew Slaby, seorang psikiater ternama, mencoba menjelaskan rasa sakit menderita gangguan jiwa atau depresi itu seperti ini,,, “Bayangkan nyeri fisik terhebat yang pernah Anda rasakan, patah tulang, sakit gigi, atau sakit bersalin, lipat dan gandakan sepuluh kali dan bayangkan Anda tidak tahu penyebabnya, barulah Anda mungkin dapat mengira-ngira seberapa menyiksanya depresi itu” Atau seperti yang ditulis oleh dr. Francis Mark Mondimore,, “bipolar disorder itu bagaikan siluman yang dapat menyelinap mendatangi korbannya dengan berjubahkan gelapnya kesedihan, tetapi kemudian menghilang selama bertahun-tahun lantas datang kembali dengan berjubahkan mania yang terang benderang, tetapi berapi-api.”

    Itulah gambaran bagaimana rasanya menderita bipolar disorder yang tidak lain merupakan penyakit gangguan jiwa. Betapa pedih dan bertanya menanggung beban derita jiwa. Belum lagi aku harus menanggung beban mental atas pandangan negatif dari lingkunganku, baik itu tetangga maupun kantor. Bagi Mamah, akan lebih mudah kalau aku menderita kanker, stroke atau lupus daripada bipolar disorder. Padahal sebenarnya, apa bedanya orang yang sakit jiwa dengan orang yang sakit fisik?? Sama-sama menderita!! Bahkan derita jiwa jauh lebih berat dan menyiksa dibanding derita fisik yang paling besar sekalipun. Aku merasa seakan Mamah malu mempunyai seorang anak yang menderita ganguan jiwa. Adakah alasan logis dan rasional untuk merasa malu karena aku menderita kelainan jiwa?? Seperti halnya Mamah malu mengakuiku sebagai anaknya di depan keluarga suaminya. Aku ingat betapa sakit hatiku pada pernikahan adik bungsuku, Mamah terang-terangan tidak mengakuiku sebagai anaknya. Aku bahkan tidak diizinkan mengiringi pengantin. Di depan tamu, Mamah dengan santainya mengatakan kalau pernikahan itu adalah pernikahan anak bungsunya, anaknya yang ketiga, bukan yang keempat!! Aku tidak pernah masuk hitungan. Aku tidak pernah ada dan bahkan setelah 36 tahun, tidak juga ia mengakuiku sebagai anak!!

    Padahal yang kubutuhkan dari Mamah hanyalah pengakuan dan penerimaannya sebagai anaknya di tengah-tengah keluarganya, keyakinan kalau aku berada di antara orang-orang yang mencintaiku. Apakah dosaku menjadi anak haram?? Apakah dosaku menjadi bagian dari masa lalu yang selalu ingin Mamah hapus?? Selama 36 tahun, aku diam. Tetapi dalam kondisiku yang sakit sekarang, yang kubutuhkan selain pengobatan medis adalah perhatian, pengertian, dukungan, cinta dan kasih sayang Mamah. Perhatian dan kasih sayang tulus keluarga dan orang-orang terdekatku yang akan sangat membantu proses pemulihan kondisi jiwaku. Semua tidak kudapatkan dari Mamah dan keluarganya, tetapi justru dari Mas Fardhan, Dendy, Mas Harry dan sahabat-sahabatku. Dendy menulis di waal facebook-ku, “Sepertinya sudah cukup lengkap perpustakaan pribadimu sehingga tidak ada lagi yang tersisa buatku menyusun cerita soal tetek-bengek hidup buatmu. Dan sudah cukup lengkap juga apotik pribadimu, menyediakan obat untuk segala macam rasa sakit. Tapi kurasa ada hal yang tidak bisa diletakkan dalam lemari buku dan lemari obat. Hal-hal yang hanya ada ketika kita percaya. Percaya kalau masih ada orang-orang yang peduli dan menerima kita dalam kondisi apa pun. Orang-orang yang diam-diam sibuk merayu Tuhan demi kebahagian kita setiap malam. Cepat sembuh ya Mas.... aku tahu sakitnya tidak ringan, tapi aku tidak peduli karena aku sudah terlalu lama menunggumu buat makan bersama lagi”

    Aku menangis membacanya, Dendy adalah satu-satunya keluargaku yang selalu siap ketika aku butuhkan. Aku juga terus menangis ketika dukungan dari begitu banyak teman di facebook-ku terus mengalir setelahnya. Ketika aku pindah rumah ke sebuah ruko, begitu banyak teman yang dengan suka rela membantuku. Teman-teman SMP-ku sampai teman kuliah datang silih berganti menjenguk dan memberiku semangat, bahkan ada yang khusus dari semarang hanya untukku. Aku tidak habis bersyukur dan berdoa kepada Tuhan atas semua rahmat dan kebaikan-Nya kepadaku. Aku mulai belajar menerima kalau dalam hidup, begitu banyak yang tidak mampu kuubah dan kuminta. Ketika ada begitu banyak yang tidak bisa kudapatkan, apa yang dapat kupasksakan?? Segalanya di luar kendaliku sebagai manusia. Sungguh betapa sulitnya menjadi seseorang yang bisa tetap bersyukur, tidak menyalahkan siapa pun, tidak berharap dari siapa pun bahkan dari orang yang kucintai, memaafkan mereka yang menzalimi aku di tengah deraan rasa sakit tidak terperi, dan badai yang menghantam tiada akhir seperti ini, Benar-benar perjuangan yang tiada akhir.

    Aku mungkin tidak punya keluarga, tetapi aku punya banyak orang di luar keluargaku yang menyayangiku. Apalagi perlahan kehadiran Mas Fardhan dan usaha Dendy berhasil mendekatkan kembali dengan keluarga dari pihak Papahku. Bude Ari menunjukkan kepedulian yang sangat besar pada kondisiku, juga Om Jodi. Sekarang hanyalah tinggal bagaimana meyakinkan kantor tentang kondisiku yang tidak memungkinkan untuk kembali ke kantor dalam waktu dekat. Tuhan mendengar doaku. Suatu pagi di awal Bulan Juni 2013, aku merasakan sakit luar biasa. Aku kehabisan obat. Dengan perasaan kacau tidak karuan aku memutuskan untuk nekat pergi ke tempat praktik dokter Dhio. Mas Fardhan yang pagi itu meneleponku, sebelumnya melarangku pergi karena khawatir dengan keadaanku, tetapi aku nekat. Entah pikiran dari mana, aku sempat berpesan kepada Dendy sebelum aku pergi.

    “Den, kalau sampai siang nanti aku tidak menelepon atau memberimu kabar, berarti aku kenapa-kenapa. Tolong kamu telepon Mas Harry atau Freny,,”

    Di atas motor, aku mulai merasakan kepalaku berkunang-kunang. Keseimbanganku mulai kacau. Kepalaku seperti dihantam ribuan palu. Tubuhku mulai berasa tidak bertulang. Aku melihat perempatan lampu merah di depan sana dan sadar aku tidak bisa mencapainya. Sedetik sebelum aku jatuh dalam kegelapan yang pekat dan terlempar dari motor, aku hanya sempat berucap dalam hati,, “Ya Tuhan, aku mau hidup,,” Lalu semua tidak terlihat lagi.
  • penjelasan ilmu medis yg kompleks menyelimuti penderitaan sembo
  • kangen rivi yg sexseh, hahaha
    yah, udah mau selesai ya om? abis ini apa lagi?
Sign In or Register to comment.