BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Cerita Seorang Bipolar Disorder Tamat

1101113151621

Comments

  • @Rendesyah hmmm iya mas coba dibikin happy story gtu dikit ajaaa
  • @Brendy – Maaf ya mas kalau ceritanya seperti ini,,

    @erickhidayat – bukan tidak ada siklus untuk mengakhiri mas,, namun apa yang kubuat cerita ini berdasarkan kisah dari seseorang,, dia bercerita dan aku harus menulis apa yang diceritakan,, sama halnya seperti teman-teman disini yang mau ada sebuah kebahagian walaupun sedikit,, namun apa daya hanya seperti itu yang bisa kuberikan,,

    @kiki_h_n – makasih ya mas masih setia membaca cerita ini,,, yah kata-katanya dalam tentang ikhlas,, sebuah hal yang sulit juga buat aku untuk ikhlas,,, hihihihihi

    @arieat – yah mungkin banyak yang menilai kisah ini mendrama,, tapi ini sungguh dirasakan oleh seseorang,,, hehehehehe,, makasih ya mas masih mau membaca cerita ini,,,

    @Cruiser79 – maaksih mas kritiknya,,, saya juga maunya seperti apa dan teman-teman inginkan,, tetapi sekali lagi cerita ini berdasrkan kisah nyata,, ada narasumber,, seseorang inilah yang bercerita,, jadi inilah yang maksimal menurutku,, mohon maaf kalau masih jauh dari yang diinginkan,,

    @Needu – heheheheh,, ditunggu kelanjutannya aja ya mas,, kita lihat nanti,,

    @3ll0 – semoga segera mas,, hihihihi

    @GeryYaoibot95 – kita tunggu saja mas kelanjutan cerita ini,,,
  • BAGIAN 11

    Suatu pagi yang cerah di awal tahun 2010, aku dan Zaenal berencana jalan-jalan. Setelah berbulan-bulan menghadapi situasi keuangan yang terus memburuk, rasanya aku ingin sekedar berjalan-jalan menghidup udara segar. Ketika aku mencoba melangkah, aku sama sekali tidak bisa menggerakkan tubuh. Setiap kali aku mencoba bergerak, sakitnya tidak tertahankan. Air mataku menetes menahan rasa sakit yang luar biasa. Zaenal menghampiri dan mencoba menggandengku berjalan. Aku menjerit kesakitan. Tubuhku serasa ditusuk jutaan jarum beracun, aku menjerit kesakitan. Aku merasa nyeri pada bagian punggung dan mati rasa di separuh bagian bawah tubuhku. Aku mencoba menggerakkan kakiku untuk melangkah, tetapi sakitnya luar biasa. Aku mulai menangis. Zaenal mencoba membantuku berbaring, tetapi aku terlalu kesakitan sehingga memilih untuk setiap berdiri dibantu oleh Dendy. Zaenal berlari ke tetangga meminjam mobil. Susah payah aku mencoba masuk ke dalam mobil. Seandainya aku boleh memilih, mungkin saat itu aku memilih mati agar tidak perlu merasakan rasa sakit yang luar biasa. Aku mengerang dan menjerit kesakitan selama perjalanan ke rumah sakit. Aku tidak berani bergerak sama sekali karena gerakan sekecil apa pun rasanya sakit luar biasa.

    Sesampainya di rumah sakit, Zaenal bukannya membawaku ke Unit Gawat Darurat tetapi malah mendaftarkanku ke dokter saraf, aku terpaksa duduk di ruang tunggu selama hampir setengah jam karena rumah sakit sedang sibuk. Air mataku rasanya kering, tidak tahan menahan sakit., akhirnya aku jatuh pingsan dan dilarikan ke UGD. Aku diberi suntikan penahan rasa sakit, lalu menjalani rontgen dan pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) tulang belakang. Dokter juga melakukan diskografi, yaitu pemeriksaan menggunakan jarum yang disuntikkan ke dalam bantalan tulang belakang,kemudian dimasukkan cairan kontras. Semua itu menguras habis tenaga dan air mataku.

    “ Mas mengalami cedera tulang belakang tidak lengkap atau incomplete spinal coard injury. Mas mengalami cedera bagian sebagian tulang belakang. Mas masih mampu merasakan, tetapi tidak mampu bergerak atau bergerak terbatas. Dalam hal ini, ada juga kasus sebaliknya. Seseorang mampu bergerak, tetapi tidak mampu merasakan. Hal ini disebabkan jumlah kerusakan serabut saraf setiap penyandang berbeda. Saya melihat ada pergeseran atau salah letak lempengan (disc inter vertebrae) antar ruas tulang belakang karena mengalami penekanan. Mas akan mengalami ganguan gerak,,”

    Dokter belum bisa memastikan apa aku bisa lumpuh tanpa pemeriksaan lebih lanjut. Dokter menanyakan apakah aku memiliki riwayat kecelakaan atau jatuh. Aku teringat ketika Ardi mendorongku sangat keras hingga jatuh dan punggungku tertusuk ujung tempat tidur kayu jati, tetapi itu sudah terjadi sekitar enam tahun yang lalu. Menurut dokter, mungkin saja itu efek dari cedera yang tidak segera dirasakan atau mungkin kuabaikan. Efek itu seperti rasa nyeri di punggung, sakit bila membungkuk, mengangkat beban, pegal dan sebagainya. Dokter memeberiku opsi untuk mengatasinya, yaitu dengan obat-obatan anti-inflamasi, fisioterapi dan injeksi atau operasi. Aku memilih alternatif pertama. Aku tidak ingin dioeprasi. Selain masalah biaya, aku takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dengan operasi. Selama seminggu aku dirawat di rumah sakit dan hanya boleh tidur di atas papan kayu. Aku juga harus menggunakan korset penyangga punggung. Saat itu, tidak ada keluargaku yang peduli, kecuali Tante Dija dan Dendy yang selalu memberiku semangat via telepon, sms atau seperti Dendy yang memilih untuk sementara tinggal bersamaku. Bude Ari juga sempat menjengukku, tetapi keluargaku yang lain tidak ada yang datang. Aku berusaha tegar dan kuat. Untunglah Tuhan memberikanku teman dan sahabat yang luar biasa. Banyak teman dan sahabatku datang dan memberi semangat untuk terus bangkit dan berjuang. Namun, tidak sedikit yang mencemooh keadaanku sebagai hukuman Tuhan.

    Aku bersyukur mempunyai sepupu dan sahabat seperti Dendy. Ia untuk sementara tinggal dirumahku dan merawatku selama Zaenal tidak ada. Zaenal hanya datang kalau aku mengirimi biaya tiket. Sisa pinjamanku habis untuk biaya beroba, bahkan aku terpaksa menambah pinjamanku menjadi Rp 50.000.000,-. Aku benar-benar mengalami cobaan hidup yang luar biasa. Aku harus belajar bergerak, merangkak, bangkit dan berjalan. Semua kulalui dengan air mata, kepedihan, dan rasa sakit. Saat itu, aku merasa begitu dekat dengan Tuhan. Aku mencoba mengucapkan puji dan syukurku kepada Tuhan. Tuhan tidak hanya mengajariku menjadi bayi kembali, tetapi telah mengingatkanku betapa berharganya tubuhku. Aku tidak hanya belajar bergerak, tetapi aku juga belajar arti berjuang. Aku tidak hanya belajar duduk, tetapi aku juga belajar artu kebaikkan. Aku tidak hanya belajar berjalan, tapi aku juga belajar arti keikhlasan. Aku seperti diingatkan kalau aku tidak memiliki apa pun di dunia ini. Semua adalah milik Tuhan dan aku kembali kepada-Nya. Aku belajar dan berjuang lebih keras lagi untuk mengikhlaskan semua yang memang bukan milikku, termasuk hidupku.

    Tuhan telah memberikan hidup dengan tangis, tawa, luka dan bahagia. Tuhan juga telah memberiku waktu untuk tetaqp hidup. Karenanya, aku percaya Tuhan akan memberiku waktu lebih lama lagi untuk memaknai hidupku dengan sesuatu yang lebih baik. Sungguh suatu mukjizat yang luar biasa ketika sebulan lebih aku hanya bisa berbaring, kini aku mulai bisa berjalan kembali. Untuk beberapa lama, aku memang tidak bisa duduk sehingga terpaksa bekerja di kantor dengan berdiri. Dendy dengan setia mengantar jemputku ke kantor. Selama beberapa bulan, aku juga harus menggunakan penyangga punggung, tetapi semua itu tetap aku syukuri. Sungguh, Mahakuasa Tuhan. Kejadian itu membuatku lebih pasrah, tegar dam ikhlas dalam menjalani hidupku termasuk menjalani kisah percintaanku dengan Zaenal yang tidak berujung. Aku mulai belajar menerima kondisiku sebagai orang kedua dalam kehidupan Zaenal. Aku mulai belajar lebih menegakkan kepalaku dengan santun dalam menghadapi hujatan dan cemoohan orang. Aku juga belajar menerima Zaenal sebagai pasangan hidupku dengan segala keikhlasan yang masih terus kupelajari. Aku harus rida dan ikhlas pada pilihan hidup yang telah kupilih, apa pun konsekuensinya.

    Utangku semakin besar. Kondisi keuangaku pun terus memburuk. Aku selalu berharap Zaenal bisa membantu meringankan sedikit bebanku, tetapi kenyataannya sama sejakli tidak. Kami semakin sering bertengkar dan yang menyedihkan, Zaenal makin menjauh dari Tuhan. Ia sering menghujat Tuhan atas penderitaan dalam hidupnya. Aku sangat sedih melihat keadaannya. Bagiku, tidak ada yang lebih menyedihkan daripada kehilangan iman. Kondisi ini diperparah dengan jatuhnya Zaenal dari kereta ketika menuju Solo. Kakinya pincang dan harus berjalan menggunakan tongkat. Zaenal mulai menghujat Tuhan. Baginya, lebih baik tidak ber-Tuhan dan tidak beriman. Aku menangis..........

    “ Hentikan, Mas. Jangan menghujat Tuhan. Istigfar. Mas punya iman dan harus punya iman. Iman memegang peran penting dalam kehidupan kita. Iman adalah alat paling ampuh untuk membentengi diri dari segala pengaruh dan bujukan yang menyesatkan. Iman juga sebagai pendorong kita melakukan segala kebaikan. Iman adalah pegangan hidup. Bila kita beriman, kita tidak akan mudah putus asa dan akan selalu di jalan kebaikan karena berpegang pada petujuk Tuhan. Jangan sampai kehilangan iman Mas. Terutama iman kepada Tuhan,,”

    Zaenal menatapkulekat-lekat,,, “ Kamu laki-laki baik, Sam. Kamu terlalu sempurna buatku. Aku tidak pantas mendapatkanmu. Kalau kamu mau pergi, aku bisa mengerti,,”

    Aku tergugu. Berkali-kali bahkan mungkin ratusan kali dalam tiga tahun ini, aku ingin meninggalkan Zaenal. Meninggalkan ketidakpastian hubungan kami. Tetapi sekarang?? Saat aku sudah mulai merasa ikhlas dengan keadaanku dan saat Zaenal sedang dalam kondisi terpuruk seperti ini, sanggupkah aku meninggalkannya?? Sanggupkah aku bersikap egois demi kebahagianku sendiri?? Aku memeluknya dan menangis. Zaenal hanya diam dan membeku dalam pelukanku. Tatapannya kosong. Aku terus membujuknya untuk tidak berhenti berjuang, bersyukur dan tidak berhenti percaya pada kebaikan, kejujuran dan ketulusan. Aku memintanya untuk memandang dunia ini dengan hati. Bukankah begitu banyak keajaiban kecil yang tidak pernah kita sadar?? Tuhan tidak pernah menutup mata. Tuhan melihat dan pertolongan-Nya sangatlah dekat. Bagiku, hidup adalah sebuah perjalanan panjang dengan waktu yang singkat, dan itu tidak mudah untuk dijalani. Bukankah mencapai mimpi memang tidak pernah mudah?? Kesulitan selalu datang sebelum kemudahan. Kegagalan datang sebelum keberhasilan. Itulah cara Tuhan mengajarkan kita arti berjuang, mengingatkan kita untuk selalu berjiwa besar dan belajar dari kesalahan. Bukankah penderitaan akan membuat kebahagian kecil menjadi tidak ternilai?? Tidak ada jalan buntu dalam hidup ini, kecuali kematian. Selama kita masih hidup, jalan itu masih akan selalu ada. Bagiku, berhenti berjuang adalah sebuah kegagalan. Zaenal menatapku dan tertawa sinis. Ia mengatakan kalau laki-laki yang kuharapkan sudah mati. Sorot matanya dingin. Saat itulah aku tidak lagi mengenali Zaenal. Ia telah berubah, tidak ada lagi kehangatan dan kebaikan di sorot matanya. Aku merasakan jarak antara kami semakin terbentang jauh. Zaenal semakin tidak tergapai.

    Sudah dua kali lebaran Zaenal tidak bersamaku. Tahun ini, aku sangat ingin berlebaran dengannya. Jauh-iauh hari, aku sudah membelikannya tiket untuk pulang ke Solo, tetapi Zaenal selalu beralasan sakit sehingga tidak bisa ke Solo. Entah kenapa, aku tidak bisa lagi memercayainya. Sudah terlalu sering Zaenal membohongiku dengan alasan sakit. Seminggu sebelum lebaran, aku berusaha memohon agar ia datang, tetapi ia justru marah-marah. Aku terus membujuknya. Aku akan mengirim tiket dan menjemputnya di bandara. Zaenal pernah bercerita kalau selama sakit, ia diabaikan keluarganya. Ia memang tinggal bersama ibunya sejak sakit, tetapi ibunya terlalu sibuk. Aku tidak mengerti kenapa ia tidak mau ke Solo, padahal aku bisa merawatnya, tetapi Zaenal bersikeras tidak mau pulang.

    Kami terus-menerus berdebat sampai aku nyaris putus asa. Aku merasa letih dengan seluruh hidupku bersama Zaenal. Zaenal telah merampas semua kebahagian yang seharusnya bisa kumiliki. Ia selalu mengatakan kalau ia mencintaiku, tetapi kenyataannya ia tidak pernah menunjukkan cinta itu dalam perbuatan. Aku menangis, aku berjuang keras untuk tidak jatuh dalam keputusasaan. Aku harus kuat. Sekuat apa aku bertahan dan mencoba ikhlas, ternyata aku jatuh juga. Semua mencapai batas kekuatanku. Aku makin tertekan dan tenggelam dalam rasa frustasi yang menyebabkan emosiku sering memuncak. Fase depresiku semakin tidak terkendali. Aku sering merasakan kesedihan dan menangis tanpa sebab. Terkadang aku kesulitan tidur, tetapi terkadang pula aku terlalu banyak tidur sehingga tidak mau bangun. Aku semakin menarik diri dari pergaulan dan kehilangan rasa percaya diri. Biasanya aku menyukai buku, musi, dan film, tetapi kini aku membenci semuanya. Aku merasa pesimis, putus asa, tidak ada yang bersedia membantu, tidak bernilai atau berharga dan tidak diinginkan. Pekerjaanku di kantor terganggu. Aku mulai memiliki respons lambat saat berbicara, kesulitan berkonsentrasi, selalu berpikiran tidak jelas dan bingung. Saat sendirian, aku begitu merasa tidak berdaya dan benar-benar berpikir untuk bunuh diri.

    Setelah lama berdebat, akhirnya Zaenal setuju untuk ke Solo tiga hari sebelum lebaran. Zaenal memintaku membangunkannya shubuh karena ia akan naik pesawat pada penerbangan pertama. Setelah sholat shubuh, aku terus menelepon Zaenal tetapi tidak juga diangkat. Akhirnya aku memutuskan untuk menelepon ibunya. Setelah beberapa kali tidak juga diangkat, tiba-tiba diangkat oleh Empi. Jantungku langsung berdebar kencang. Tanpa basa-basi Empi langsung memaki-makiku. Aku mengingatkannya kalau ini bulan puasa, jadi berbicaralah yang baik. Sumpah serapahnya makin menjadi. Aku mematikan telepon dan air mataku mengalir tanpa henti. Ketika matahari sudah terbit, Zaenal menelepon, tetapi semua sudah percuma karena ia sudah ketinggalan pesawat. Aku tidak tahu apakah ia benar-benar tidak terbangun oleh suara teleponku yang tiada henti atau memang sengaja tidak bangun.

    Zaenal mengatakan kalau ia akan segera ke bandara, siapa tahu masih ada pesawat lain. Aku menunggu sampai sore, tetapi tetap tidak ada kabar. Sekali ia meneleponku dari bandara dan memintaku mentrasfer sejumlah uang untuk membeli tiket. Dalam cuaca hujan, pergi mentrasfer uang yang diminta Zaenal. Sampai malam Zaenal juga tidak ada kabar. Aku mulai mengkhawatirkannya. Aku kelabakan menelepon bandara karena telepon Zaenal tidak aktif. Aku menelepon meminta tolong petugas bandara untuk mencari mobil Zaenal yang mungkin ada di tempat parkir, tetapi hasilnya nihil. Semalaman, aku tidak bisa tidur dan tenggelam dalam kecemasan dan depresi. Pagi hari sekitar pukul 08.00, Zaenal baru meneleponku, ia bercerita kalau ia sudah pergi ke bandara, tetapi tidak sanggup masuk karena pingsan di dalam mobil. Aku mengatakan kalau aku meminta petugas mencarinya, tetapi tidak menemukan mobilnya. Zaenal pun berkelit dengan mengatakan kalau ia parkir di luar bandara. Jauh di lubuk hatiku, aku tahu Zaenal berbohong, kebohongan yang sudah sering dilakukan tetapi aku abaikan. Aku merasa kebohongan ini harus dihentikan. Aku menelepon Dendy dan memintaku untuk diantarkan ke bandara, aku memesan tiket hari itu juga. Aku menelepon Zaenal dan mengabarkan kalau aku akan ke Jakarta. Zaenal marah dan menyumpahiku celaka kalau aku nekat ke Jakarta.

    Aku tertegun karena tidak menyangka Zaenal akan mengatakan hal itu kepadaku. Ia menyumpahiku celaka. Aku matikan handphone-ku, aku duduk termenung di bandara dan menangis. Aku menyadari begitu banyak kebohongan Zaenal. Ia memilih berlebaran bersama keluarganya, Dian dan anak-anaknya. Ia hanya mempermainkanku. Hatiku hancur, hubungan kami sudah lama berubah menjadi nereka. Akulah yang terlalu bodoh dan buta karena tidak segera mengakhirinya. Dendy yang akan pulang ke Yogyakarta, tempat keluarganya berlebaran, menyuruhku menelepon tantenya yang seorang paranormal. Kenyataan yang kudengar, Zaenal sehat-sehat saja. Ia hanya menipuku. Sebaiknya aku melepaskan semua hal tentangnya yang membuatku tercabik-cabik antara rasa percaya atau tidak. Aku tidak percaya paranormal, tetapi Jauh di lubuk hati kecilku, aku tahu yang dikatakan itu benar. Selama ini aku hanya dibodohi dan dipermainkan. Cinta yang sellau kuagung-agungkan tidak lebih dari tipuan semu. Masih belum cukuplah semua ini untuk membuatku membuka mata tentang siapa sebenarnya Zaenal??

    Aku jatuh ke lubang depresi yang semakin dalam. Aku tidak bisa melakukan apa-apa selain mengunci diri di kamar dan menangis. Yang ada dalam kepalaku hanyalah kematian. Aku pesimis, putus asa, sendirian, merasa tak berharga dan tidak diinginkan. Dua hari lebaran aku hanya terbaring dan menangis di kamar. Aku tidak pergi shalat idul fitri. Seluruh tubuh dan hatiku seperti mati rasa. Aku menutup semua jendela dan pintu. Aku mengabaikan setiap ketukan pintu, suara telepon, dan sms. Aku mengisolasi diriku sendiri. Zaenal mengirim sms yang isinya menuduhku telah mendoakan Empi jelek karena setelah Empi memaki-makiku lewat telepon, ia kecelakaan dan tangannya patah. Sms-sms Zaenal selanjutnya sangat menyakitkan hati, ia menyalahakanku atas penderitaannya. Aku hanya bisa diam tidak mengerti, aku bukan dukun atau penyihir, bahkan aku bukan Tuhan yang mengirimkan azab dan kesengsaraan kepada orang lain. Kadang-kadang aku berpikir Zaenal yang gila dan ia menyeretku dalam kegilaannya. Ingin aku berteriak balas memakinya, tetapi aku terlalu letih untuk melakukannya.

    Sementara itu, orang bank mulai berdatangan menagih cicilan rumah dan motor yang harus kubayar. Dana yang seharusnya kugunakan untuk membayar semua cicilan itu, sudah kutransfer kepada Zaenal untuk biaya tiket yang tidak pernah terwujud dengan kehadirannya. Aku benar-benar merasa gila. Aku nekat menelepon Mamah meminta bantuan keuangan. Mamah yang sudah sejak beberapa tahun terakhir terasa makin asing bagiku, bersedia menolongku. Sejujurnya, aku berharap tidak hanya bantuan secara materi, tetapi juga dukungan moral dan kasih sayang darinya. Namun, Mamah seperti tidak mengerti. Zaenal pun seolah tidak peduli dengan kondisi keuanganku. Ia hanya mengeluhkan keadaannya, menghujat Tuhan dan marah-marah melalui telepon maupun sms. Kemarahan dan kekesalanku pada sikap Zaenal yang kuanggap sangat egois, tidak dewasa dan tidak bertanggung jawab makin memuncak. Aku sering ketakutan mendengar suara-suara dan takut sendirian sehingga Dendy sampai tidur di kamarku. Saat itu, aku sedang mengalami gejala psychotic halusinasi, melihat atau mendengar sesuatu yang tidak nyata. Di waktu-waktu tertentu, aku sesak napas dan merasakan sakit kepala tidak tertahankan. Dalam keadaan kacau, entah bisikan iblis mana yang kemudian membawaku menemui Pak Kuwat.

    Pak Kuwat adalah seorang paranormal terkenal yang pernah kukenal dari Mas Harry. Seorang bipolar disorder bisa mempunyai kepercayaan yang tidak realistik pada kemampuan seseorang dan memiliki kepercayaan palsu. Pak Kuwat bisa membantuku membalas dendam kepada Zaenal, tetapi betapa Tuhan Maha Penyayang, Pak Kuwat sudah bertobat. Ia justru mengajariku kekosongan hatiku yang sakit dengan sentuhan-sentuhan iman yang menyejukkan. Aku mulai rajin membaca Alquran, berzikir dan makin mendekatkan diri kepada Tuhan. Semua sms dan telepon Zaenal yang isinya hanya menghujat, menyalahkan dan membuatku terluka kuabaikan. Pak Kuwat memintaku melupakan zaenal karena ia benar-benar bukan sosok pasangan yang baik. Aku juga menemui Mas Teguh, seorang teman kuliahku yang juga anak indigo. Mas Teguh juga memberiku semangat dengan wejengan-wejengan yang bijak.

    “ Sem aku mengenal kamu saat kuliah, ketika pertama melihat kamu, kamu itu orang yang kuat. Aku melihat kekuatan itu dari dalam diri kamu Sem. Pasangan kamu tidak pantas ditunggu, lanjutkan saja hidup kamu Sembo. Tuhan tidak tidur. perbanyak ibadah, maknai kembali arti sabar dan ikhlas Sem. Jadikan sabar itu sebagai penolong. Semua ujian yang berhasil Kami lewati ini bukan hukuman. Percayalah, siapa saja yang dikehendaki Tuhan menjadi orang baik, maka ia akan diberi cobaan, baik cobaan dalam bentuk kesenangan maupun kesusahan,,”

    Aku mulai mendalami kembali Islam, membaca banyak buku. Aku belajar bersabar, tawakal dan ikhlas. Aku sudah memutuskan untuk menjual rumahku agar aku bisa terbebas dari utang dan memulainya dari nol. Aku mulai menawarkan rumahku. Aku menikmati persahabatanku yang makin dekat dengan Mas Harry. Kami sering emnghabiskan waktu bersama. Mas Harry juga meminjamiku sejumlah uang untuk membayar utangku sedikit demi sedikit. Perlahan-lahan aku mulai bangkit, kesehatanku mulai pulih. Aku mulai tenang dan keluar dari fase depresiku. Ketika aku sudah mulai menata hidupku kembali, tiba-tiba Zaenal datang. Hari itu sudah malam, aku dan Dendy sedang bercakap=-cakap dan bergurau di kamar ketika Zaenal tiba-tiba mengirimi sms. Ia mengatakan kalau melihatku dari jendela dan minta tolong dibukakan pintu. Aku kaget karena ternyata Zaenal ada di luar rumah dan mengawasi kami. Aku dan Dendy tidak berani mengintip lewat jendela. Zaenal beberapa kali meneleponku, tetapi tidak kuangkat. Aku melarang Dendy untuk membuka pintu. Aku tidak mau bertemu dengan Zaenal. Sampai pagi, aku tidak bisa tidur. Ketika Shubuh tiba, Dendy memanggil dan mengajakku keluar rumah.

    Ya Tuhan, pohon manggaku yang sedang rimbun berbuah, kini dipenuhi kertas post-id berwarna kuning. Di setiap buah, batang, juga di setiap rantingnya. Seluruh dinding depan rumahku yang bercat hijau juga berubah warna menjadi kuning oleh tempelan post-id. Jumlahnya mungkin ratusan. Isinya semua hampir sama, “ aku cinta kam, Sam,,”,, “ Maafkan aku Sam,,”,, “Aku kangen kamu, Sam “,, “Kamu laki-laki terbaik dihidupku” dan puluhan kata-kata permintaan maaf lainnya. Aku menyuruh Dendy mengambil kertas-kertas yang masih terjangkau, sedangkan yang terlalu sulit dijangkau kuabaikan saja. Zaenal terus mengirimiku sms berisi penyesalan dan permintaan maaf. Sampai menjelang siang, aku tidak menjawab sms Zaenal. Dendy memberitahuku kalau tas dan sepatu Zaenal ada di halaman, itu artinya ia masih ada disekitar rumah. Zaenal terus mengirimi sms senada sampai akhirnya aku luluh. Tuhan Maha Pengampun, maka sudah seharusnya aku memberikan kesempatan kepadanya. Aku menjawab sms-nya dan bersedia bertemu. Tidak lama kemudian, Zaenal muncul. Tubuhnya tampak kurus, mata cekung, wajah pasi dan penampilan lusuh. Semua kata marah yang telah kupersiapkan, tertelan kembali ditenggorakan. Zaenal memeluk kakiku dan menangis seperti anak kecil meminta maaf.

    Ia menceritakan kondisinya yang terkena kencing batu dan harus dioperasi, tapi ia tidak punya biaya. Ia marah kepada Tuhan yang memberinya semua kesulitan dan melampiaskan kemarahan, kekecewaan dan rasa frustasinya kepadaku. Ia terus bersimpuh dikakiku untuk meminta maaf.

    “Aku tidak tahu dengan cara apa aku bisa mendapatkan maafmua,,” Zaenal meraih tanganku,, “Aku janji akan berubah, Sam. Aku tidak mau kehilanganmu. Tolong kasihani aku. Aku sadah rusak iman sekarang. Hanya kamu yang bisa membawaku kembali ke jalan Tuhan, Sam. Tolong aku,,”

    “Mas, hanya diri kita sendiri yang bisa membawa kita kepada Tuhan. Orang lain hanya bisa memberi semangat, menasihati, memebri saran, mengajak bahkan mungkin menceramahi. Bila hati kita tidak terketuk, kita tidak punya niat dan usaha, sama saja....... Aku bukan ahli agama,,”

    “ Ya aku sungguh malu sama kamu Sam, kamu begitu tegar, begitu kuat dan selalu ingat kepada Tuhan. Sedangkan aku?? Tolong aku Sam. Jangan biarkan aku kehilangan iman, jangan biarkan aku kehilangan Tuhanku. Aku mohon...........” Zaenal menangis seperti anak kecil dikakiku dan hatiku luluh.

    Aku tidak tahu apakah aku ini naif, bodoh, sembrono atau terlalu baik. Aku memaafkan Zaenal. Aku membiarkan zaenal tinggal di rumahku selama beberapa hari. Aku mengabaikan protes Mas Harry, Dendy dan sahabat-sahabatku. Ya Tuhan aku letih dengan semua ujian ini. Rumah belum juga laku, sementara cicilan harus terus kubayar. Zaenal tidak bisa membantu. Pekerjaan kantorku terbengkalai, pikiranku kembali kacau. Malam hari aku sering menangis sendirian, menangisi hidupku, rasa sakitku yang makin tak tertahankan dan semua kesalahan yang telah kujalani. Aku tidak sanggup berbuat apa-apa selain pasrah dan terus berusaha untuk tetap hidup dan waras. Aku tidak mau dilarikan ke rumah sakit bagian kejiwaan. Ya Tuhan, ingin kuhapus air mata ini yang tidak kunjung berhenti, tetapi bagaimana caranya??
  • BAGIAN 12

    Solo 2011

    Hari-hari berlalu seperti mimpi buruk yang semakin sering menghantui tidurku. Dendy kembali ke Yogyakarta karena kesibukannya. Setiap bulan aku dipusingkan dengan tagihan-tagihan utang yang semakin menumpuk. Aku tidak tahu bagimana caranya bisa melewati setiap bulan dan tetap menjadi waras. Seperti biasa, Zaenal tidak membantuku, jutru aku yang lebih sering membantunya membayar ini dan itu. Aku letih, tetapi aku tidak bisa berkata apa-apa. Bagaimanapun juga, zaenal sudah menjadi pasangan hidupku. Seburuk apa pun dia, aku harus menerima kondisinya. Keputusanku memaafkan zaenal mengecewakan banyak orang, salah satunya Mas Harry. Sore itu, kami bertemu di sebuah restoran. Mas Harry memberondongku dengan kekecewaan. Kenapa hanya karena Zaenal menempeli pohon mangga dan tembok rumahku dengan kata cinta, lalu aku kembali kepadanya?? Zaenal datang dan pergi sesukanya seakan aku ini tempat persinggahan. Aku terdiam. Pikiran-pikiran itu sering melintas dalam pikiranku. Sudah empat tahun aku menjalani hidup dengan Zaenal, tetapi aku belum pernah merasakan hidup bersamanya seperti pasangan=pasangan lainnya. Ia datang dan pergi sesukanya, mengatur hidupku seperti seorang diktator. Ia membuatku kehilangan sahabat dan keluargaku. Ia menciptakan kondisi agar aku hanya bergantung kepadanya tanpa bisa berbagi dengan orang lain. Kalau Zaenal tahu aku diam-diam menemui Mas Harry, ia pasti marah besar. Aku menatap Mas Harry dan meminta maaf karena telah mengecewakannya.

    Mas Harry tampak letih, ia mengatakan kalau sebenarnya ia sudah memiliki pacar, bahkan hampir bertunangan. Ia berniat menikah dengan pacarnya yaitu Santhy. Namun sekarang hubungan mereka merenggang, keluarganya tidak setuju. Ia anak keluarga orang kaya, sedangkan Mas Harry hanya PNS biasa. Aku terkejut mendengar cerita Mas Harry. Mas Harry menatapku, wajahnya yang selalu tampak keras, kali ini terlihat lembut. Aku merasa seperti disiram seember air es ketika mendengar pengakuan Mas Harry yang telah lama mengagumidan berharap kepadaku. Mas Harry sellau baik kepadaku dan selalu ada untukku, tetapi aku tidak pernah mengira rasa yang ia rasakan lebih dari sekedar sahabat. Wajahku pasi dan Mas Harry melihat itu. Ia buru-buru meraih tanganku, menggenggamnya lembut. Aku merasa ada air mata mulai menetes di pipiku.

    Mas harry memintaku untuk tidak menangis. Ia berharap aku memikirkan kembali hubunganku dengan zaenal yang tidak rasional. Ia terlalu menyanyangiku hingga tidak rela melihatku dibohongi terus-menerus. Aku menutup wajahku dengan dua tangan. Kepalaku serasa mau pecah, aku tergugu kehilangan kata. Haruskah aku berpisah dengan Zaenal?? Empat tahun kulalui dengan penuh air mata dan perjuangan. Aku tidak tahu lagi apa yang kubutuhkan dalam hidupku ini. Setelah berpisah, dari restoran aku segera kembali ke rumah. Aku masih tidak percaya dengan semua yang dikatakan Ma Harry. Ya mungkin aku terlalu buta dan naif. Aku tidak memikirkanperasaan Mas Harry.Aku egois. Mas Harry selalu ada setiap kali aku minta datang. Aku merasa bisa minta tolong apa saja kepadanya karena aku yakin bahwa tidak ada yang spesial di antara kami. Aku tidak pernah melihatnya sebagai laki-laki gay, tetapi setelah pengakuannya, aku mulai menyadari kalau Mas Harry hanyalah manusia biasa yang memiliki rasa cinta. Setelah kejadian itu persahabatanku dengan Mas Harry terlihat canggung, tetapi lama-kelamaan persahabatan kami kembali normal dan erat. Kami tidak pernah membicarakan perasaan kami lagi. Mas Harry adalah sahabatku tertawa, menangis, berkeluh kesah dan bercanda. Setiap kali aku membutuhkan teman bicara, hanya kepadanyalah aku bisa bicara tanpa merasa harus sungkan atau malu.

    Suasana kantor juga tidak kunjung membaik, kinerjaku terus menurun. Aku semakin sering jatuh sakit. Berkali-kali keluar masuk rumah sakit karena kondisiki yang menurun tanpa tahu apa penyebabnya. Dokter tidak pernah bisa menemukan jawaban atas kondisiku sehingga aku hanya bisa beranggapan semua karena cytomegalovirus yang kuidap, padahal bipolar disorder sering terjadi komplikasi organ tubuh lainnya yang disebabkan oleh sugesti buruk terhadap kesehatan. Bipolar disorder membuat penderitanya berisiko lebih tinggi terhadap penyakit tiroid, sakit kepala, jantung, diabetes, kegemukan dan penyakit-penyakit fisik lainnya. Penderita Bipolar disorder juga sering mengalami rasa sakit dan nyeri tanpa alasan. Ketidakjelasan penyakitku membuat teman-teman kantor sering beranggapan aku berpura-pura sakit. Di kantorku, aku merasa tidak punya sahabat dekat untuk bisa berbagi penderitaan. Aku cukup dekat dengan Mbak Widhi, tetapi itu pun tidak seakrab aku dengan sahabat-sahabatku di luar kantor. Aku hanya merasa sayang dengan seseorang teman kantorku yang bernama Priya. Ia anak baru, pindahan dari kalimantan. Anaknya lemah dalam pendirian, penakut, perasa dan sulit bergaul sehingga aku merasa iba kepadanya. Aku dekat dengannya agar ia tidak merasa sendirian di kantor barunya.

    Awalnya Priya cukup dekat denganku, tetapi tekanan dari rekan-rekan sekantor membuatnya menarik diri. Ia hanya berani berbicara denganku secara diam-diam. Aku heran mengapa ia harus merasa setakut itu kepada teman-teman kantor yang kuanggap memang sudah waktunya bersifat jahil. Priya terlalu banyak mendengarkan omongan orang dan tidak bisa memilih kebenaran dengan sesuatu yang hanya gosip belaka. Akhirnya, aku memilih bersikap cuek di kantor dan tidak merasa perlu untuk dekat dengan siapa pun, toh aku punya banyak sahabt di luar kantor. Salah satunya adalah Freny. Ia teman SMP ku yang sudah lama tidak berjumpa. Kami bertemu kembali di facebook. Freny rajin membaca catatan-catatanku di facebook dan berkomentar. Ia sangat baik dan tulus sehingga membuatku sayang kepadanya melebihi sahabat-sahabatku yang lain.

    Lebaran tahun 2011, aku bersyukur ketika Zaenal memutuskan untuk berlebaran di Solo. Setelah sekian lama, aku merasakan kembali rasanya berlebaran dengan pasangan hidupku sendiri. Meskipun zaenal terlihat dingin dan tidak acuh, aku tidak peduli. Aku hanya ingin merasa bahagia, walau sesaat. Sungguh hari-hari yang membahagiakan, meskipun semu. Aku benar-benar tidak menyangka. Kebahagian yang baru saja kurasakan akan segera berakhir begitu cepat. Sudah beberapa kali aku menunggak pembayaran cicilan rumah, sehingga sudah dua kali aku mendapatkan surat peringatan dari bank. Aku memohon dan menangis kepada Zaenal agar menolongku, tetapi Zaenal tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya berjanji, berjanji dan berjanji. Di tengah keputusasaanku karena ancaman sitaan bank, aku memperbesar pinjaman di bank lain dengan jaminan SK PNS-ku menjadi Rp 95.000.000,-. Benar-benar keputusan nekat karena aku hampir kehilangan gajiku untuk mencicilnya, tetapi aku tidak punya pilihan lain.

    Juli 2011 aku ambruk. Dokter menyatakan aku terserang tifus. Aku harus dirawat di rumah sakit, tetapi aku menolak karena tidak punya biaya. Siapa yang akan merawatku?? Dendy sedang melanjutkan kuliahnya sehingga tidak bisa menemaniku, namun ia selalu meneleponku setiap harinya. Freny yang selalu baik hati berhasil membujuk Mbak Umi, sahabatnya yang tinggal tidak jauh dari rumahku, untuk datang membawakanku makanan setiap pagi. Benar-benar kebaikkan luar biasa yang kuterima dari Tuhan. Zaenal selalu beralasan sibuk, tidak ada biaya dan sakit sehingga tidak datang menjengukku. Alasan-alasan yang semakin sering aku hafal dan semakin kuragukan kebenarannya. Ia lagi-lagi membiarkanku sendirian dalam rasa sakitku. Sakit tifus membuatku berbaring tidak berdaya. Aku kembali merenungkan apa itu rasa sakit. Sakit memang bisa menjadi sesuatu yang sangat menyebalkan, tetapi entah kenapa, semakin benci akupada sakit, semakin sering Tuhan memberiku sakit. Aku tidak pantas marah kepada Tuhan kan?? Di antara demam, mual dan sakit kepala yang membuatku tidak bisa tidur, aku mencoba mencari “sesuatu” di balik “ kenapa Tuhan memberiku sakit?? “ ku menemukan banyak jawaban yang menakjubkan.

    Sakit membuatku bersyukur akan sehat. Klise kedengarannya, tetapi ini benar. Sakit membuatku lebih memaknai, menghargai, merenungkan dan menyadari hidup. Sakit memberiku banyak waktu untuk memutar ulang kaleidoskop hidupku. Apa saja yang sudah kulakukan selama aku hidup dan saat aku sehat?? Apakah sesuatu yang baik dan berguna ataukah sesuatu yang hanya membuang-buang waktu dan membawa keburukan?? Sakit membuatku mengagendakan kembali semua hal-hal buruk yang harus kuperbaiki dan kutinggalkan saat aku sehat nanti. Sakit membuatku lebih banyak mengingat, menyebut nama-Nya dan mencintai Tuhan. Bagiku, sakit adalah detoks jiwaku. Sakit adalah salah satu cara Tuhan merindukanku mensyukuri banyak hal kecil yang tidak pernah kusadari sebelumnya.

    Setelah dua minggu aku terbaring sakit, Zaenal datang menjengukku. Aku kembali merasa bersyukur, aku merasakan perubahan sikap Zaenal yang terlihat lebih dingin dan tidak peduli. D i waktu-waktu tertentu, saat aku memergokinya sedang menatapku, aku melihat sorot kejam di matanya. Suatu malam, ketika aku masih lemah karena tifus, Solo dilanda gempa kecil, saat itu kami sedang berbaring di kamar. Zaenal langsung melompat berlari meninggalkanku yang saat itu masih dalam kondisi lemah. Ia tidak kembali menolongku seperti lima tahun lalu. Aku terpaku di tempat tidur menyaksikan Zaenal berlari keluar. Perlahan, aku mencoba bangkit berdiri dan berjalan keluar. Zaenal berada di jalan bersama para tetanggaku. Ia tidak menyadari kalau aku tidak ada di sana. Sengaja aku berdiri mematung di pintu rumah, tidak peduli seandainya langit rumah runtuh menimpaku. Seorang tetangga memberitahu Zaenal tentang keberadaanku di pintu rumah. Namun, bukannya menghampiri untuk menolongku, ia malah berteriak,, “Goblok!! Ngapain kamu disitu??” Aku nyaris menangis. Hatiku sakit melihat ketidakpedulian dan kekasaran zaenal. Dendy datang menghampiri dan membantuku berjalan. Ia memintaku untuk sabar. Saat itu, aku menyadari cinta kami sudah berakhir. Zaenal benar-benar hanya mempermainkanku, ia tidak peduli kepadaku. Empat tahun hidup dengannya hanyalah sandiwara yang ia mainkan untuk kepentingannya sendiri. Setelah ia mendapatkanku dan hartaku, aku tidak lagi berharga baginya. Zaenal bukan lagi seorang laki-laki yang dulu mengemis cinta kepadaku. Aku benar-benar telah diperdaya dengan mulut manis dan rayuannya. Aku ingin penderitaan hubungan kami berakhir.

    Aku berjuang keras untuk cepat pulih dari sakitku. Zaenal kembali ke Yogyakarta dan aku kembali sendirian. Agustus 2011, aku mulai dikejar-kejar surat peringatan ketiga dari bank. Aku menelepon Zaenal untuk datang ke Solo melakukan rescheduling ulang pada pihak bank. Hanya zaenal yang bisa melakukannya karena pinjaman itu atas namanya. Namun Zaenal tidak kunjung datang dengan 1001 alasan. Kami bertengkar dan terus bertengkar. Suatu hari di awal September, Zaenal marah karena aku paksa datang ke Solo, ia mengatakan kalau ia akan ke Solo mengendarai mobilnya. Sms terakhirnya memaki-makiku dan mengatakan agar aku tidak menyesal kalau terjadi sesuatu dengannya di perjalanan. Zaenal tidak pernah datang, handphone-nya aktif, tetapi sms dan teleponku tidak pernah dijawab. Dony, adik bungsu zaenal, tidak tahu di mana Zaenal berada. Begitu juga dengan Eki yang kuminta tolong untuk mencari Zaenal. Saat itu aku cemas kalau terjadi sesuatu yang menimpa Zaenal. Dony sampai berkeliling jakarta untuk mencari Zaenal. Penjelasan Dony menyiratkan kalau zaenal bukanlah laki-laki baik yang bertanggung jawab. Dua hari kemudian, Eki bertemu dengan Zaenal dikantirnya dan ia sehat-sehat saja. Ia sengaja tidak menerima sms dan teleponku. Dengan gaya sombong dan arogan, ia meminta Eki agar tidak ikut campur masalah kami. Eki sangat marah ketika menceritakan semuanya kepadaku via telepon. Eki mengatakan kalau Zaenal bukanlah laki-laki yang bertanggung jawab dan sama sekali tidak peduli kepadaku.

    Aku marah, kecewa dan sakit hati, tetapi aku berusaha meredam emosiku. Aku terus mengirimi Zaenal sms memohon agar ia datang ke Solo dan mencoba meneleponnya berkali-kali, terserah ia amsih mau peduli denganku atau tidak. Aku juga tidak peduli andai ia mau berpisah denganku. Aku hanya minta agar ia bersedia menandatangani persetujuan rescheulling agar rumahku tidakperlu masuk dalam proses pelelangan pihak bank, tetapi sms dan teleponku tidak satu pun ia gubris. Beberapa waktu berikutnya, aku mendengar berita kalau ia sudah mempunyai lak-laki lain dari Bandung. Ia bahkan sudahhidup bersama. Hatiku hancur ketika aku menelepon Ibu zaenal yag mengatakan kalau Zaenal sehat-sehat saja dan bahagia dengan istrinya dan anak-anaknya. Aku berusaha tegar. Selama ini Zaenal mengaku sedang sakit dan tidak bisa berjalan. Mobilnya tertimpa dahan pohon.

    Zaenal bersikeras tidak akan pulang kalau aku tidak mengatakan siapa yang memberi tahuku tentang hubungannya dengan laki-laki Bandung. Ia sama sekali tidak peduli dengan status rumahku yang terkatung-katung. Aku meminta Zaenal agar tidak menjadi pengecut dengan bersembunyi dariku. Aku hanya minta Zaenal menyelesaikan status hubungan kami dan penandatanganan di depan notaris untuk melepas kuasa atas rumahku. Zaenal menolak datang. Ia bersikeras kalau aku memfitnahnya. Ia memaksa memberi tahu siapa yang menuduhnya memiliki hubungan dengan laki-laki di Bandung. Ia sama sekali tidak peduli dengan hubungan kami dan soal rumahku. Setelah dua bulan mengabaikan telepon dan sms ku, Zaenal memaki-maki lewat telepon. Ia menuduhku kerasukan setan, aku mencoba mengajaknya berbicara baik-baik, tetapi ia memutuskan telepon. Berkali-kali aku mencoba menghubunginya, tetapi handphone-nya tidak diaktifkan. Akhirnya aku kembali menggunakan akun facebook untuk mengirimi pesan. Zaenal membalas pesanku yang isinya menghujat Tuhan. Ia meminta Tuhanku membuktikan kebenaran. Aku hanya bisa mengucapkan istigfar membaca tulisannya.

    Sejak itu, komunikasiku dengan Zaenal kembali terputus, Freny dan Mas Agus, Kakak ipar Freny, berusaha membantuku untuk negosiasi dengan Bank agar pelelangan rumahku ditunda. Mas Agus bahkan bersedia menebus rumahku, tetapi semua langkah sia-sia karena kredit atas nama Zaenal. Semua opsi membutuhkan tanda tangannya. Kondisi fisikku belum pulih benar dari tifus, makin melemah. Atas saran beberapa teman, aku mencoba pergi ke paranormal. Siapa tahu mereka bisa membantuku membawa Zaenal ke Solo untuk menyelasaikan urusannya dengan pihak Bank. Dari sekian banyak paranormal yang kutemui, aku mendapat jawaban yang sama. Zaenal laki-laki brengsek yang telah menipuku sekian lama. Setelah hartaku habis, ia tidak merasa perlu untuk bertahan denganku. Zaenal tidak akan datang untuk bertanggung jawab. Aku merupakan slaah satu korbannya. Zaenal telah mengguna-gunai aku selama ini. Semuanya menyuruhku melupakan Zaenal. Pada dasarnya, aku tidak percaya paranormal. Aku tidak mau menerima begitu saja perkataan mereka. Aku terus berusaha menghubungi Zaenal tanpa kenal menyerah. Aku juga mengiklankan ruamhku yang sejak tahun lalu memang sudah niat aku kujual, tetapi belum juga laku. Aku bahkan menawarkan rumahku kepada Om Tono.

    Pada saat yang bersamaan, aku diperkenalkan oleh Nuril, seorang teman SMP-ku dengan Mas Fardhan. Mas fardhan juga seorang paranormal keturunan Ambon yang berdomisili di Balikpapan. Nuril mengenal Mas fardhan karena anak sulungnya pernah disembuhkan dari penyakit langka yang tidak bisa disembuhkan dokter. Kami berkenalan via telepon. Entah kenapa aku merasa cocok dengan Mas fardhan. Tidak seperti paranormal lain yang memintaku melupakan zaenal, mas Fardhan justru menyuruhku mengingat Zaenal karena katanya, semakin keras dan semakin sering aku mencoba melupakannya, aku akan semakin ingat. Setelah semua emosi, kemarahan dan air mataku habis, aku akan berhenti mengingat Zaenal dengan sendirinya. Mas Fardhan bahkan memintaku untuk terus berkomunikasi dengannya setiap hari. Aku menikmati percakapan kami yang yang tiga kali sehari itu. kami tidak selalu membicarakan zaenal, tetapi juga sering mebahas hal lain yang sedikit menghibur kegundahan hatiku. Mas fardhan menyuruhku mengancam zaenal dengan melaporkan hubungan gay nya denganku dan dengan laki-laki di Bandung kepada atasannya. Trik itu berhasil. Zaenal ketakutan kemudian menghubungiku via sms. Zaenal berjanji akan datang dengan syarat aku tidak melaporkannya ke atasan.

    Aku mulai merasa jijik dengan tingkah zaenal. Ia tidak lebih dari ular berkepala dua yang licik. Bagaimana bisa selama ini aku mencintai manusia sepertinya?? Ia kembali merayuku, tetapi tidak kuhiraukan. Zaenal marah, memaki-maki dan menuduhku berniat menghancurkannya. Sikapnya berubah-ubah, terkadang ia manis merayuku, lalu marah dan berbalik menyerangku dengan kata-kata kasar. Begitu terus yang terjadi selaam satu bulan. Zaenal melakukan segala cara untuk berkomunikasi denganku, tetapi tidak mau datang ke Solo. Kalau ia takut dilaporkan ke atasan, untuk apa ia bermanis-manis, sementara ia tetap tidak mau bertanggung jawab kepada pihak bank. Keluarga Mamah telah berunding akan ditebus oleh Om Tono, tetapi kami kesulitan mengeluarkan jaminan sertifikat rumah tanpa kehadiran Zaenal. Aku nyaris putus asa. Saat itulah, Mas Fardhan menyuruhku datang ke Balikpapan. Ia akan membuka auraku dan membantuku semaksimal mungkin dengan izin Tuhan.

    Aku tidak butuh waktu lama untuk berpikir. Seperti ada doronganyang kuat dalam diriku untuk mengiyakan. Aku seperti orang yang kerasukansesuatu sehingga aku mau pergi ke Balikpapan, sebuah kota asing di seberang pulau. Aku tidak mengenal siapa pun selain Mas Fardhan yang hanya kukenal via telepon. Aku tidak memiliki biaya untuk ke sana sehingga aku nekat menjual satu-satunya hartaku untuk biaya ke Balikpapan. Dendy yang sempat kutemui sebelum aku berangkat, terperangah kaget dengan keputusanku. Mereka mengkhawatirkanku karen aku tidak kenal siapa pun di Balikpapan. Dendy takut terjadi apa-apa denganku disana. Aku menenangkan mereka dan meminta mereka mendoakanku. Aku pergi ke Balikpapan bukan untuk mendapatkan cinta Zaenal kembali, tetapi hanya utntuk mencari keadilan. Dendy memelukku erat sebelum kami berpisah, seakan-akan aku pergi untuk tidak kembali lagi.

  • BAGIAN 13

    Hampir pukul 22.00 WITA aku mendarat di Bandara Sepinggan Balikpapan. Mbak Indah, istri Mas Fardhan yang menjemputku di bandara karena Mas Fardhan sedang ada urusan. Pertama bertemu dengan Mbak Indah aku melihat perempuan setengah baya yang cukup menarik dalam balutan jilbab modis. Meski aku sedikit bergidik dengan sorot matanya yang terasa menyimpan banyak kepalsuan, tetapi secara penampilan iya kelihatan baik. Aku terkejut ketika ia mulai bicara, aku tidak pernah membedakan strata sosial dan tidak pernah melecehkan orang yang berpendidikan lebih rendah dari pada aku, tetapi ketika Mbak Indah mulai berbicara dengan banyak kata kotor sana sini, aku mengurut dada. Ya Tuhan, di dunia mana akutelah terdampar?? Kalau Mbak Indah saja seperti ini, bagaimana dengan Mas Fardhan?? Seperti apakah dia?? Diam-diam aku menyesali mengapa Nuril tidak memberi tahu aku lebih awal.

    Rumah mereka terletak di tengah kota Balikpapan, rumah yang sangat besar dan indah, nyaris seperti gambaran rumah orang-orang kaya di sinetron. Mas Fardhan sedang bermain keyboard ketika aku datang. Ia hanya mengenakan kaos putih sederhana, bawahan sarung dan toi haji di kepalanya. Tubuhnya tinggi besar dan gagah. Kulitnya kecokelatan dengan mata sipit seperti keturunan Tionghoa dan kumis yang lumayan lebat. Sekilas ia terlihat garang, apalagi dengan suaranya yang keras bila berbicara. Mas Fardhan mencoba membuatku santai dengan mengajakku bercakap-cakap, tetapi aku tetap saja merasa tegang dan takut. Mas fardhan sempat memeriksa garis tanganku, lalu menyuruhku bergantian pakaian karena hendak ia obati. Aku sendiri tidak mengerti mengapa ia merasa perlu mengobatiku. Aku sudah sembuh dari tifus. Aku datang bukan untuk berobat, tetapi untuk meminta bantuan agar Zaenal datang ke Solo. Aku tidak kuasa menolak, bibirku terasa kelu untuk bertanya.

    Mas Fardhan menyuruhku berbaring diatas karpet dan mulai melakukan terapi seperti yang biasa dilakukan ahli refleksi. Aku merasakan sakit yang tidak terkira. Mas Fardhan tidak peduli dengan ringisan kesakitan dan teriakanku. Dalam hati, aku memakinya sebagai orang yang tidak berperasaan, hampir satu jam aku dibuat babak belur oleh rasa sakit, barulah Mas Fardhan berhenti. Aku duduk tanpa tenaga, mataku menyorotkan kalau aku datang bukan untuk babak belur. Mas Fardhan tidak bisa membiarkanku bertemu zaenal kalau aku tidak diobati terlebih dahulu.

    “Kamu diguna-guna, dipelet, disantet”

    Aku marah mendengarnya karena Mas Fardhantidak memberi tahuku sebelumnya. Menurut Mas fardhan, kalau aku tahu sebelumnya, aku pun tidak akan datang ke Balikpapan. Selama ini, sudah banyak paranormal yang mengatakan kalau aku diguna-guna, dipelet atau disantet, tetapi aku tidak pernah percaya. Kini ketika Mas Fardhan yang berbicara, kenapa aku malah peduli?? Aku meminta Mas Fardhan memberitahuku siapa yang telah melakukan itu, tetapi Mas Fardhan tidak mau memberi tahu. Yang penting, aku harus lepas terlebih dahulu dari guna-guna, pelet dan santet itu. Saat pertama melihat fotoku di facebook, Mas Fardhan mengatakan kepada Nuril kalau aku ini mayat hidup dan jiwaku sudah lama mati.

    “ Sembo, dalam surat Al Falaq dijelaskan kalau kita harus berlindung kepada Allah SWT dari kekuatan sihir para penyihir yang meniupkan sihir pada buhul-buhulnya. Kekuatan black magic atau sihir untuk mengirim guna-guna dan santet memang disebut dalam Alquran. Ini berarti kekuatan sihir itu memang ada menurut Islam. Aku tahu, kamu orang yang snagat di sayang oleh Allah SWT. Kalau orang lain yang diserang, aku tidak tahu bagaimana ia bisa bertahan. Saat aku tadi melihatmu berdiri di pintu masuk rumah ini, aku melihat betapa sakit dan hancurnya kamu secara mental. Hanya kuasa Allah SWT, yang menjadikanmu kuat bertahan, aku hanya ingin membantumu”

    “Aku tidak mau menjadi orang syirik dan musyrik Mas, aku sudah banyak melanggar aturan agama,,”

    “ Aku pun tidak ingin menjadikanmu syirik apalagi musyrik. Sebenarnya, Alquran telah menyediakan penangkal yang manjur. Bukankah ia adalah petunjuk dan obat penawar serta rahmat bagi orang-orang yang beriman?? Baca kembali surat Al Israa ayat 82 dan Fushilat ayat 44. Rasullah pun telah mengajarkan kepada umatnya tentang cara-cara membentengi dan mengobati diri dari hal-hal yang demikian dengan doa-doa dari Alquran dan As-Sunnah yang disebut ruqyah”

    Aku menatap tatapan mata Mas Fardhan yang lembut, ada keteduhan, keteguhan dan kebaikkan di sana. Mas Fardhan menjelaskan kalau pengobatan tidak akan berjalan mudah. Semua yang di kirim ke tubuhku sudah belasan tahun. Ada orang yang mengirimiku, yang satu adalah pelet dan guna-guna untuk membuatku selalu menuruti apa maunya, sedangkan yang satu lagi yaitu santet untuk membuatku mati. Mas Fardhan memintaku percaya kalau ia bukan dukun. Ia berpegangan hanya kepada Allah SWT dan Alquran, ia akan membantuku melafalkan zikir-zikir dan me-ruqyah. Sekujur tubuhku lemas tidak berdaya. Mas Fardhan memberiku segelas air putih untuk menenangkanku dan menyuruhku beristirahat. Aku mengangguk, tetapi sepanjang malam itu aku sama sekali tidak bisa tidur. bayangan tentang guna-guna dan pelet memang sempat terlintas di kepalaku. Santet mati?? Siapa yang begitu tega ingin membunuhku?? Aku tidak bisa membayangkannya. Ya Tuhan, aku datang jauh-jauh ke Balikpapan hanya untuk mencari keadilan, membawa Zaenal kembali ke Solo untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, bukan untuk mengetahui kenyataan pahit tentang guna-guna, pelet dan santet, Apa bisa kutemukan keadilan itu di sini?? Aku jadi meragukan keputusanku datang ke Balikpapan.

    Keesokan harinya kami menikmati makan siang seadanya, Mbak Indah masih dengan BBM-nya berkata “Tuh, kalau ada perempuan atau laki-laki yang mau sama Fardhan ambil aja. Aku enggak butuh laki-laki seperti dia,,”

    Aku melirik Mas Fardhan yang diam saja seperti tidak peduli dengan omongan istrinya. Ia hanya mengingatkan istrinya kalau mereka ada undangan pernikahan atasan Mas Fardhan setelah Dzuhur. Mbak Indah bangkit untuk mandi dan berdandan dengan muka bersungut-sungut. Mas Fardhan mengajakku ikut, tetapi aku menolak karena tidak membawa pakaian yang pantas untuk pergi ke pesta pernikahan. Mbak Indah memaksaku untuk ikut dengan menggunakan baju Mas Fardhan. Akhirnya aku setuju untuk ikut. Sepanjang perjalanan aku melihat betapa sabarnya Mas Fardhan menghadapi Mbak Indah yang terus mengomel dan menyalahkannya untuk banyak hal. Di pesta pernikahan pun, mereka berjalan sendiri-sendiri, tidak tampil mesra seperti layaknya suami istri. Aku semakin terkejut ketika orang-orang menanyakan siapa aku dan dengan santainya Mbak Indah mengatakan kalau aku adalah pasangan gay Mas Fardhan.

    “Biarin aja,,” tukas Mbak Indah tidak acuh,, “ Siapa tahu kamu beneran nanti bisa menjadi pasangan dengan Mas fardhan,,”

    Aku menatap wajah Mas Fardhan yang datar tanpa emosi. Hatiku miris melihatnya. Apakah laki-laki ini begitu tidak ada harga dirinya di depan istrinya?? Bukan sekali dua kali aku melihat Mbak Indah merendahkan bahkan menghina Mas Fardhan. Tidak hanya didepanku, tetapi di depan setiap orang dan pasien Mas Fardhan yang datang. Aku mengelus dada prihatin, tetapi laki-laki itu tetap diam dan tidak ada kemarahan diwajahnya. Aku tahu, meskipun ia diam, tetapi hatinya tercabik-cabik oleh rasa malu, sakit hati dan merasa direndahkan.

    Kejadian-kejadian selanjutnya, aku bercerita berdasarkan kisah yang dikisahkan orang-orang kepadaku. Aku tidak banyak mengingat, bahkan banyak hal yang terlewatkan karena aku dalam kondisi tidak sadar. Malam harinya selepas Sholat Isya, Mas Fardhan mulai melakukan ruqyah kepadaku. Ia melafadzkan ayat-ayat Alquran ke telingaku. Tubuhku seperti terbakar api dan sakit yang luar biasa. Aku menjerit-jerit kesakitan sampai aku tak sadarkan diri. Setelah aku sadar, mas Fardha mengajakku duduk menenangkan diri. Mas Fardhan menjelaskan kalau proses ruqyah terpaksa dihentikan karena fisikku sangat lemah. Kami ngobrol berdua. Mas Fardhan banyak bertanya tentang zaenal. Aku pun menceritakna semua kisahku dengan Zaenal. Aku berharap Zaenal mengambil keputusan untuk berpisah denganku baik-baik dan bertanggung jawab soal rumahku yang hanya bisa di rechedulling atau ditebus dengan tanda tangannya. Mas Fardhan meminta nomor Zaenal, menurut Mas Fardhan, Zaenal menyepelekanku karena ia menganggapku sendirian. Mas Fardhan akan membelaku dengan bertindak sebagai kakak yang menuntut tanggung jawabnya. Aku merasa terharu pada kebaikkan Mas Fardhan. Setelah menyuruhku tidur karena wajahku sudah pucat pasi. Malam itu, untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahu, aku bisa tertidur lelap tanpa mimpi.

    Esok harinya, aku kembali di ruqyah sampai pingsan dan kelelahan. Sorenya, aku diajak jalan-jalan ke Pantai Melawai, menikmati jagung bakar dan wedang ronde dilnajutkan dengan aneka ikan bakar. Aku tidak terlalu menikmatinya karena selain seluruh tubuhku sakit, aku merasa ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang melarangku kembali ke Solo esok hari. Selepas dari pantai kami kembali ke rumah. Mas Fardhan kembali melakukan ruqyah terakhir, kemudian membuka auraku. Setelah semua ritual itu, kami bercakap-cakap di ruang tamu. Mas Fardhan banyak bertanya tentang masa kecilku dan kehidupanku selama ini. Aku menceritakan semua masa laluku kepada Mas Fardhan. Ia juga bercerita tentang dirinya yang lahir dari keluarga taat beragama, tetapi selama bertahun-tahun ia justru menjadi seorang pejudi dan pemabuk. Tujuh tahu lalu, ia bertemu Habib, gurunya ketika beliau mengobati seseorang tetangga yang kesurupan. Sejak itu, Habib sering datang dan ia semakin tertarik ilmu pengobatan. Ia kemudian belajar dengan Habib dan memutuskan untuk berhenti mabuk dan berjudi.

    Aku mencermati wajah Mas Fardhan yang penuh guratan kepahitan sehingga membuatnya tampak lebih tua dari usianya yang 46 tahun. Ia tampak letih dan menyimpan jutaan kepedihan di balik raut wajahnya yang selalu tenang dan sikapnya yang sabar. Entah kenapa, aku merasa begitu dekat dengannya meski baru tiga hari kami benar-benar bertemu, setelah sebelumnya kami hanya berkomunikasi via telepon. Mas Fardhan tiba-tiba bertanya tentang sosok laki-laki tua yang selalu menyertaiku dan meminta Mas Fardhan untuk mengobatiku. Dari ciri-ciri fisiknya, aku yakin kalau yang dimaksud Mas Fardhan adalah Yangkakung. Mataku mencari sosoknya di sekeliling ruangan, tetapi tidak ada siapa pun selain aku dan Mas Fardhan. Keletihanku karena habis di ruqyah kembali mengilukan tulang. Aku menyandarkan tubuh di kursi ruang tamu, masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan Mas Fardhan. Rasanya sulit percaya kalau almarhum Yangkakung bisa berkomunikasi dengan Mas Fardhan.

    Aku bangkit menuju dapur membuat kopi kental manis kesukaan Mas Fardhan dan teh manis untuuku. Sambil menikmati minuman, kami kembali bercakap-cakap. Aku banyak bertanya tentang dunia pengobatan dan barang-barang ajaib yang dikirimkan orang kepadaku. Mas Fardhan menjelaskan kalau tidak menjadi jaminan orang yang rajin salat dan beribadah tidak akan “kemasukan”. Manusia ada kalanya lemah dan ketika ada celah sedikit yang terbuka, hal-hal seperti itu bisa masuk. Sekarang pelet dan santet yang dikirim kepadaku telah dikembalikan kepada pengirimnya.

    “Aku merasa kosong........” Aku terdiam. Ya......aku merasa kosong tidak ada lagi kegelisahan, ketakutan, kecemasan dan semua rasa yang tadinya menghantui setiap langkahku. Aku merasa damai untuk pertama kalinya...”Dan damai.....”

    “Alhamdulillah,,” senyum Mas Fardhan,, “Aku ingin melihatmu bahagia. Mulai sekarang, anggaplah aku sebagai kakakmu, orang yang mencintaimu. Kamu memiliki tempat istimewa di dalam sini,,” Mas Fardhan menekan dadanya.

    Aku terkejut mendengar istilah “mencintai”. Kami lalau berdebat tentang arti cinta yang menurutku tidak bisa dikotak-kotakkan. Mas Fardhan bingung menjelaskan maksud perkataannya. Ia hanya mengatakan kalau aku ini spesial dan istimewa baginya. Ketika aku menanyakan alasannya, mas Fardhan tertawa, mengacak rambutku dengan rasa sayang yang dapat kurasakan mengalir setiap sel ditubuhku. Aku tiba-tiba teringat pada sikap Mbak Indah. Entah dari mana kelancanganku muncul. Aku bertanya kepada Mas Fardhan apa ia mencintai Mbak Indah. Mas Fardhan terdiam, tatapannya menerawang jauh ke langit-langit ruang tamu seakan mencari suatu jawaban di sana. Mas Fardhan mengatakan kalau sudah kewajibannya menyanyangi istri, jawabnya terasa jujur, mas Fardhan terdiam dengan mata yang menerawang kosong. Sat itu, hatiku tersentuh, Ingin rasanya memberi sebuah pelukan. Ia tampak begitu kesepian dan sendirian. Mas Fardhan menatapku kaget ketika aku memintanya membuka topeng. Aku bisa melihat topeng kemunafikan dan kepalsuan rumah tangga yang harmonis. Sampai kapan ia akan menipu dirinya sendiri dan semua orang dengan pura-pura bahagia?? Mas Fardhan mendesah, wajahnya muram. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia mengakui pada dunia kalau ia telah gagal menjadi imam bagi keluarganya. Mas Fardhan bertanya tentang arti cinta bagiku dan seperti apa cintaku kepada Zaenal.

    “ Cinta itu kesabaran, kebaikan , bukan kebohongan, kesombongan, apalagi kekerasan. Bukan pula keegoisan dan dendam. Cinta tidak akan mencerna dan menghina kekhilafan orang yang dicintainya. Cinta tidak menyevarkan keburukan dan kekejian kepada pasangannya. Mencintai adalah meletakkan kebahagian kita di dalam kebahagian pasangan kita. Mencintai tidak akan pernah melukai dengan sengaja. Di dalamnya, ada rasa syukur yang tidak ternilai kepada Tuhan yang Maha Pecinta. Aku tidak tahu apa yang kurasakan kepada Zaenal itu benar-benar cinta atau bukan. Jujur aku sering merasa tidak sadar dengan apa yang kulakukan dan kurasakan selama aku bersama Zaenal. Andai aku benar-benar mencintai seseorang............ seperti itulah cintaku. Cinta memiliki sebuah kekuatan terbesar dalam hidup yang bisa menggerakkan sisi terlemah manusia. Kekuatan yang bisa menjadi anugerah, tetapi juga bisa menjadi bencana,,,,”

    “Kamu kesini untuk mencari cintamu yang hilang?? “

    Aku tersenyum pahit,, “Aku tidak bisa memaksa sebuah rasa cinta. Zaenal tidak mencintaiku, setidaknya bukan ia yang kuharapkan dan kubanyanhkan tentang cinta. Aku datang untuk memperjuangakan hidup dan masa depanku,,”

    Mas Fardhan menanyakan harapanku. Aku hanya mengharapkan tiga hal yaitu cinta, kebahagian dan keadilan. Mas Fardhan meraih tanganku dan mengenggamnya erat. Ia berjanji atas nama Tuhan akan memperjuangkannya untukku. Aku menceramati wajah mas Fardhan. Sungguh aneh, aku merasa seperti telah lama mengenalnya dan ia telah menjadi bagian dari diriku, dari jiwaku. Aku menyadari rasa simpati dan rasa sayang mengaliri setiap sel di darahku. Mas Fardhan laki-laki yang baik, aku bisa melihatnya dengan mata hatiku. Tanpa sadar, air mataku menitik ketika mengucapkan terima kasih. Ia membuatku merasa dihargai sebagai manusia.

    Siang itu, dua jam sebelum kepulangaku ke Solo, tiba-tiba aku diserang sakit kepala yang sangat parah. Sakit kepala itu berpindah-pindah dari kanan ke kiri, ke belakang, sampai dahi, lalu berputar kembali. Mas Fardhan mencermatiku, lalumenyuruhku duduk. Aku tidak yakin bisa pulang ke Solo. Seluruh tubuhku seperti digunduli ribuan besi seberat puluhan kilo. Melihat keadaanku, Mas Fardhan membatalkan tiket kepulanganku. Aku hanya mengangguk, lalu jatuh dalam kegelapan. Aku pingsan. Mas Fardhan kembali me-ruqyah-ku. Aku menjerit, meronta, dan kesakitan luar biasa. Aku pingsan berkali-kali. Aku muntah-muntah. Wajahku pucat pasi. Aku mulai merasa ketakutan luar biasa. Kata mereka yang melihatku, mataku tampak nanar. Aku menjerit-jerit dan meronta-ronta seperti orang gila. Selama itu, Mas Fardhan dengan setia mendampingiku. Kondisiku menurun drastis, antara sadar dan tidak sadar selama berjam-jam. Mas Fardhan menelepon Mbak Widhi teman kantorku untuk mengurus perpanjangan izinku. Mas Fardhan menelepon Dendy dan memberi tahu kalau aku tidak jadi pulang. Aku mulai kehabisan napas seperti ditindih beban yang luar biasa berat di dada. Seluruh tubuhku terasa remuk dan paans terbakar. Kesadaranku terus menurun.

    Aku melihat air mata di mata Mas Fardhan. Ia memelukku yang terbaring lemah di tempat tidur. Aku tidak pernah membayangkan orang seperti Mas Fardhan menangis. Air matanya kini jatuh membasahi pipiku. Ia terus melafalkan ayat-ayat Alquran ditelingaku sambil menggenggam tanganku yang lemah terkulai. Napasku makin lemah, Mas Fardhan bangkit, lalu menelepon Zaenal untuk memberi tahu kalau aku sakit. Mas fardhan menutup teleponnya. Wajahnya merah padam penuh kemarahan karena sikap zaenal yang dingin dan tidak peduli. Ia kemudian menelepon Nuril dan Dendy kembali dan mengabarkan kalau aku kritis. Mas Fardhan akan menunggu sampai pukul 03,00 pagi. Kalau aku belum sadar, ia akan membawaku ke rumah sakit. Nuril dan Dendy berusaha menenangkan Mas Fardhan. Nuril dan Dendy serta teman-teman akan membacakan surat yasin untukku malam itu. Mas Fardhan menutup kedua wajahnya dengan tangan, membiarkan air matanya mengalir di sela-sela jarinya. Di usianya yang menjelang 46 tahun, banyak pasien yang sudah ia sembuhkan, tetapi belum pernah ia merasakan kesedihan seperti ini. Kesedihan yang mengilukan tulangnya. Aku menyentuh hatinya pada bagian yang terdalam dan terlembut, tempat yang sudah lama membeku, bahkan nyaris memfosil.

    Mas Fardhan dengan setia duduk di sisi tempat tidur dan mengenggam jemariku. Ia lebih sering melafalkan ayat-ayat Alquran ke telingaku. Sesekali ia mengajakku bercakap-cakap tentang hidupnya yang seperti panggung sandiwara. Baru sekali ini ia terlihat secara emosional dengan pasiennya. Ia memebriku semangat untuk kembali hidup, mengingatkankuketiga keingananku cinta, kebahagian dan keadilan. Ia terus memohon agar aku untuk berjuang hidup. Jam 03.00 dini hari, aku tersadar dan mulai bisa bernapas lebih baik. Aku melihat kelegaan yang luar biasa di sorot mata Mas fardhan. “ Ya Allah........Alhamdulliah kamu sadar Sembo. Jangan begini lagi ya,,” Ia mengecup keningku,,, “ Aku sayang kamu. Kamu membuatku nyaris gila. Aku hampir membawamu ke rumah sakit,,” Kata-katanya terdengar tulus. Aku hanya diam dan mencoba memercayai ketulusan yang terpancar dari sorot mata, raut wajah dan suaranya. Mas Fardhan tidak terdengar garang lagi. Ia melihat letih dan sedih.

    Saat itu aku merasa Zaenal tidak penting lagi. Aku seperti berdiri di depan jendela berkaca buram tyang tiba-tiba terbentang lebar setelah sekian lama terkunci. Aku melihat segala yang dulu tersembunyi dari mataku, segala yang dulu hanya bayangan samar, bahkan tidak terlihat sama sekali. Duniaku bukan hanya Zaenal. Aku seperti berdiri di depan cermin dan menemukan bayangan yang terpantul bukanlah diriku lagi. Aku tidak lagi melihat tatapan putus asa seorang pecandu cinta yang begitu ingin berhenti, tapi tidak tahu bagaimana caranya. Aku tidak lagi melihat sosok kesepian yang berdiri di tengah keramaian, tetapi tetap saja merasa sendirian. Bayangan itu tidak lagi terpaku di batas dunia yang berbeda. Tidak ada tempat yang terhormat, indah dan layak di mata dunia. Aku melihat sosok yang bukan lagi pelengkap dan bukan lagi bayangan Zaenal. Aku seperti merasa terpaku di tepi jurang, menatap ke bawah dan akhirnya meluncur jatuh. Aku bersiap hancur ketika kurasakan semua akan berakhir dalam kehampaan. Hidup seperti menangkapku kembali ke dalam ketulusan yang tidak pernah kusangka. Kini aku merasa, melepaskan Zaenal tidak lagi melukai dan membuatku menemukan bahwa tidak ada yang lebih kuasa dari Tuhan. Aku berharap keadilan itu ada dan hidup akan mengembalikan semua yang bukan menjadi haknya. Aku memaafkan zaenal. Sebagaimana kehilangan Zaenal, kemungkinan kehilangan rumahku juga tidak lagi melukaiku. Aku masih hidup dan itu semua tidak lepas dari kuasa Tuhan. Masih banyak orang yang menyayangiku dengan tulus. Aku merasa bahagia untuk beberapa saat. Air mataku mengalir seperti anak sungai di pipiku yang pucat. Ms Fardhan menghapus dengan jarinya dan menegaskan kalau aku tidak sendirian.

    Kesehatanku berangusr pulih, Mas Fardhan membuatku terharu dengan perhatian dan kasih sayangnya. Kami tidak hanya berbagi cerita, tetapi juga membuka hati kami masing-masing. Aku mulai bisa melihat bagaimana kehidupan Mas Fardhan yang sebenarnya. Ia berjuang untuk kembali ke jalan Tuhan dengan mendalami dunia pengobatan, lepas dari kebiasaan berjudi dan mabuk. Namu disisi lain, mabk indah dengan hijabnya terus tenggelam di dunia hitam, berjudi, mabuk dan melakukan bisnis-bisnis haram. Aku melihat betapa sabarnya Mas Fardhan menghadapi mulut beracun Mbak Indah yang tidak ada hentinya mencela dan menghinanya kepada siapa pun dan di mana pun. Tanpa perasaan, Mbak Indah bahkan menawarkan Mas Fardhan ke siapa pu yang mau mengambil Mas Fardhan, seakan-akan ia hanyalah barang rongsokan. Htiku miris melihat kondisi keluarganya yang tidak terurus. Kami semakin dekat. Setiap hari, di sela-sela pengobatanku kami bercakap-cakap tentang kehidupan masing-masing. Mas Fardhan juga bercerita kalau ia sudah dua kali menelepon zaenal. Pertama memberi tahu kalau aku sakit dan yang kedua untuk memaki-makinya. Aku terharu mendengar ceritanya. Selama ini, tidak pernah ada yang membelaku seperti Mas Fardhan. Ia bimematahkan kaKI Zaenal, membuatnya kesakitan atau sekarat kalau aku ingin membalas sikap Zaenal.

    Iangin rasanya aku mengiyakan semua tawaran Mas Fardhan, tetapi aku tidak bisa. Buka itu keadilan yang kuharpkan. Kalau aku melakukan semua hal yang ditawarkan Mas Fardhan, aku akan sama buruknya dengan Zaenal. Aku yakin, aku datang saatnya ia membayar semua perbuatannya kepadaku. Tuhan yang akan melakukan itu, bukan aku, bukan juga Mas Fardhan. Aku percaya keadilan Tuhan. Mas Fardhan harus menghidupkan jiwaku yang telah lama mati. Menurutnya, manusia mempunyai raga atau tubuh, hati dan jiwa. Selama bertahun-tahun aku telah membunuh jiwaku. Aku hanya hidup dengan tubuh dan hati tanpa jiwa yang membuatku rentan dimasuki hal-hal negatif seperti pelet dan sebagainya. Jiwa itu pelindung, manusia tidak bisa hidup tanpa jiwa. Sebelum aku membunuh jiwaku, aku adalah seseorang yang bahagia dan ceria, tapi tidak dengan topeng, lalu aku menampilakn senyum dan kecerian palsu, sementara hatiku menangis. Menurut Mas Fardhan aku membunuh jiwaku sejak penolakan Mamah mengakuiku sebagai anak dan meninggalnya Yangkakung. Aku terdiam mas Fardhan benar. Aku memakai topeng hampir di sepanjang hidupku. Aku pergi ke kantor dengan senyum dan kecerian. Aku menampilkan sosok yang kuat dan tegar menghadapi badai demi badai dalam hidupku, tetapi jauh di lubuk hatiku, aku lemah hancur tidak berdaya. Aku kehilanagn mimpi, cita-cita dan semangatku.

    Aku merenungkan semua ucapan Mas Fardhan. Aku tahu ia benar. Aku mungkin memang telah membunuh jiwaku sendiri. Aku telah hidup bertahun-tahun tanpa pernah peduli dengan diriku yang mati rasa. Aku telah merobotkan diriku sendiri, memprogram diriku hingga hidup seperti robot, merangkak bangun setiap pagi, otomatis tersennyum saat harus tersenyum, tertawa saat harus tertawa, tetapi aku telah kehilangan diriku sendiri. Aku menjadi seseorang yang diminta orang lain, bukan menjadi seseorang yang kuinginkan. Sehari sebelum aku kembali ke Solo, aku mengizinkan Mas Fardhan mengembalikan kembali jiwaku yang selama ini tersembunyi tepat di lubuk hatiku. Aku tidak bisa mengingat prosesnya secaar detail karena aku dalam kondisi kesurupan. Aku hanya bisa melihat rekaman videonya. Aku seperti orang kerasukan, berubah menjadi sosok anak kecil yang pemalu dan menolak keluar dari tempat persembunyian. Aku berbicara seperti anak kecil, Mas Fardhan dengan sabar membujuk jiwa kanak-kanakku keluar dan bersatu dengan bagian dari diriku yang telah dewasa. Kami akan kuat bersama, saling menjaga dan melindungi.

    Setelah proses itu aku tidak bisa mengingat seorang pun di Solo yang sedang menungguku, tetapi jika benar aku memiliki pekerjaan sahabat dan keluarga di sana itu artinya aku harus kembali ek Solo. Meski rasa takut itu menghantamku seperti dihantam gada baja, aku harus kembali ke tempatku berasal. Aku harus mengucapkan selamat tinggal pada Balikpapan. Tapi haruskah aku mengucapkan selamat tinggal kepada Mas Fardhan?? Seperti bisa membaca pikiranku, mas fardhan meraih tanganku,, “ Jangan ucapkan selamat tinggal kepadaku Sembo. Suatu saat bila Tuhan mengizinkan dan memberi jalan, aku akan datang menemuimu...” Mas Fardhan meletakkan jemariku didadanya,, “ Tempatmu ada disini, di hatiku. Selalu.... Bukan dalam kotak-kotak di seluruh hatiku,,”

    Aku teringat sebuah ungkapan.... “ Tatkala aku telah mencintai, kau akan sellau mencinta, sebab apa yang ada di dalam pikiranmu mungkin saja pergi, namun apa yang ada dalam hatimu tetap tinggal untuk selamanya”

    Itulah yang kurasakan sekarang. Mas Fardhan telah menempatkan dirinya di tempat istimewa dalam hariku, hanya dalam waktu delapan hari. Bukankah cinta bisa datang begitu saja seperti kilat siang hari yag terik?? Begitu pula yang terjadi, aku merasa lelah menjadi bagian dari jiwaku. Aku tidak tahu apa aku mencintainya atau tidak. Kehadirannya telah menyembuhkan lukaku. Kehadirannya telah membuka mata hatiku dan mata jiwaku. Aku telah melepaskan Zaenal dari pikiran, hati, dan hidupku untuk selamanya. Aku terbebas dari rasa sakit mencintai Zaenal dan kini mungkin akan terbelenggu rasa sakit yag berbeda karena Mas Fardhan, Ya Tuhan apakah takdir sedang mempermainkanku??
  • apdetannya mantep nih. panjang bener.
    jadi selama ini sembo sakit secara klinis dan nonklinis yah. kesel ma zaenal mau enaknya aja. sembo juga terlaku baik. mas fardhan apa bakal jadi pasangan sembo?

    Tatkala aku telah mencintai, kau akan selalu mencintai
    sebab apa yang ada di dalam pikiranmu mungkin saja pergi, namun apa yang ada dalam
    hatimu tetap tinggal untuk selamanya---->> sukaaaaaaaaaa (y)
  • semakin menarik, suka ma cara mas fardhan.

    Suka ma ungkapan ini

    “ Tatkala aku
    telah mencintai, kau akan sellau mencinta, sebab
    apa yang ada di dalam pikiranmu mungkin saja
    pergi, namun apa yang ada dalam hatimu tetap
    tinggal untuk selamanya”
  • Wow! Hidup seseorg ngak ada yg tau. Ttap bersyukur dlm keadaan apapun. Semga akhir ny indah mas.. Amiin. ^^
  • Ini kisah nyata kan..
    jadi penasaran sama tokoh aslinya, seperti apa sih tampang si zaenal yang sok itu, jadi gatel pengen nonjok.. X(

    Titip salam buat Sembo.. :D
  • wow, makin dalam bahasanya dan makin dalam dunia nya sembo.
  • wow, makin dalam bahasanya dan makin dalam dunia nya sembo.
  • Moga ini menjadi awal yang baik buat Sembo [-O<
  • nahh lhooo...dah lama ngikutin nih storyy (pembaca gak tau diri)..baru sekarang ngoment *sorrybang*
    mention ya bang...ceritanya always ku baca bang^^
  • @kiki_h_n – wah masih dibaca ceritaku,, terharu,, hehehehe,, makasih ya mas masih membaca ceritaku,,,

    @arieat – iya mas wajahku juga semakin menarik,, hahahahaha,, makasih ya mas sudah membaca ceritaku hingga saat ini,,

    @Zazu_faghag – Amin,, makasih ya sudah membaca cerita ini,,,

    @elul – hehehehehe,, iya nyata ko,, mau tahu Zaenal ya?? Hihihihihi,,, makasih mas sudah mau membaca ceritaku,,

    @erickhidayat – makasih mas ya masih setia dengan cerita-ceritaku,, love love dah,,

    @3ll0 – Amin,,, makasih ya sudah membaca ceritaku,, hehehehehe,,

    @bumbu – hadeh si ade yang satu ini,,, hihihihi,, nyatai aja kali de,, tenang aku lagi baca ceritamu,, maaksih ya sudah membaca cerita ini,,
Sign In or Register to comment.