BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Cerita Seorang Bipolar Disorder Tamat

11517192021

Comments

  • Keren. Detail dan penjelasan bipolar disordernya oke banget. makin nambah ilmu nih. Suka, dua jempol buat mas @rendesyah (y) (y)

    Yah, udah mau tamat ya? tamatnya itu sembo di masa sekarang ya? Ada prediksi ga ato sedikit narasi prediksi tentang bipolarnya sembo di masa datang? ^^
  • Mantap. Menjawab pertanyaan mengenai apa itu Bipolar Disorder dengan baik. Memang tak ada yang lebih menderita dari sakit psikis.
  • Wah, smua ny berkaitan.. Kereeeen (y)
  • Kak. Aku mau tnya. Alasan apa yg membuat suatu penyakit d golongkan 'penyakit' dlm ilmu kejiwaan? Misalnya gay. Itu udah bkan penyakit d ilmu jiwa. Tpi knpa *menurut yg aku bca* org yg berfoto dg gaya memonyongkan bibir itu sudah dianggap penyakit jiwa?
  • bro namaku blm dihapus. trims
  • @shuda2001 – Makasih Mas Sudah Mau Membaca Cerita Ini,,,

    @d_cetya – Iya Tante,, hehehehehe,, Maunya Apa??

    @kiki_h_n – Iya Mas,, Iya sudah mau tamat,, heheheheh,, kita liat saja ya lanjutannya seperti apa,, untuk saat ini mungkin hanya sampai Sembo di tahun 2014,, makasih ya mas masih setia,,

    @Needu – Iya mas,, ternyata sakit psikis itu lebih sakit,, makasih sudah mau membaca cerita ini,,

    @Zazu_faghag – Seseorang dikatakan memiliki penyakit jiwa kalau sudah melakukan berbagai rangkaian tes,, seperti Sembo dikatakan menderita sebuah penyakit Bipolar Disorder setelah ia mengisi Woodworth’s Eysisk’s Inventory Questioner,,,
    “Begini Mas, seperti bila kita ingin tahu apakah kita menderita diabetes atau tidak, kita harus menjalani beberapa tes laboratorium baru kita tahu hasilnya. Dalam ilmu kejiwaan pun sama, kuesioner inilah tes laboratoriumnya. Saya baru bisa menentukan Mas sakit apa dari hasil jawaban-jawaban Mas. Semua ada nilainya,,”

    Tapi makasih ya mas sudah mau membaca,,

    @totalfreak – sory mas lupu,, soalnya ke copy,, tapi sudah diabis ko,, tenang,,

  • BAGIAN 16

    Aku masih hidup, hanya itu yang terus kuucapkan seperti litani dalam hatiku di tengah rasa sakit yang luar biasa merobek-robekku. Ya Tuhan, terima kasih aku masih hidup. Kakiku hanya patah, Ya kakiku hanya patah, tetapi rasa sakitnya melebihi rasa sakit yang bisa kubayangkan. Aku menangis dan menjerit, bahkan merintih sampai membuat Mas Harry, orang pertama yang datang setelah ditelepon polisi, menyingkir keluar sambil menahan tangis tidak tega melihatku di ruang UGD Rumah Sakit Angkatan Udara yang terletak tidak jauh dari tempatku terlempar dari atas motor. Mas Harry kembali duduk di sampingku ketika aku menanyakan apakah ia sudah menghubungi Dendy. Mas Harry menenangkanku. Ia mengatakan kalau dendy akan datang siang hari, sementara Freny dalam perjalanan menuju kemari dan Mas Fardhan akan segera ke Solo begitu dapat tiket pesawat. Mas Harry menarik napas panjang. Wajahnya keruh. Ia mengatakan kalau baru saja menelepon Mamah. Wajah Mas Harry memerah, itu tandanya ia sedang marah atau jengkel pada sesuatu.

    Aku lalu bertanya,, “Mamah bilang apa??”

    “Kamu tahu, kan?? Dari dulu aku tidak pernah suka dengan Mamahmu. Dimataku, ia selalu menjadi seseorang perempuan munafik. Selama ini aku diam saja melihat bagaimana ia memperlakukanmu seperti bukan anaknya, melimpahkan semua masalahmu kepada teman-temanmu........Hmmm bukan berarti aku merasa direpaotkan lho Sem,,”

    Aku memaksakan sebuah senyuman di antara ngilu di kaki dan hatiku yang lebih memilukan.

    “Coba, apa pernah Mamahmu mengucapkan terima kasih kepada teman-temanmu yang selalu ada setiap kali kamu sakit?? Di mana ia saat kamu harus bolak-balik puluhan kali ke UGD karena pingsan atau enggak bisa napas?? Di mana ia saat kamu lumpuh, gemetar kesakitan, terpuruk mau bunuh diri??” Mas Harry menarik naaps panjang, emosi mengusai suaranya yang selalu lantang.

    Aku menyentuh tangannya lembut,, “Sudahlah mas, enggak usah bahas itu. Mamaku bilang apa tadi??”

    “Ia sedang sibuk.”

    Aku tertawa getir nyaris histeris. Jawaban yang khas dari Mamah. Aku tertawa sekaligus menangis. Air mataku membanjiri membasahi pipiku. Mas Harry mengenggam tanganku,, “ Mamahmu tidak pernah punya hati, Sem. Ingin rasanya kuceramahi tentang arti menjadi seorang Ibu.”

    Aku meringis kesakitan,,”Mas enggak bilang apa-apa kan??”

    “Aku Cuma bialng. ‘Terserah Mamah, saya Cuma melakukan kewajiban memberi tahu Mamah kalau Sembo kecelakaan dan kakinya patah’”

    Aku tidak berkata apa-apa lagi. Sudah sangat lama aku berhenti berharap Mama akan mengganggapku cukup penting dalam hidupnya. Aku teringat ucapan dokter Dhio tentang Mamah,,”Ibu Mas hanya bisa melihat deritanya sendiri. Orang sepertinya tidak bisa memahami penderitaan Mas. Ditambah lagi Mas itu seperti sebuah noda yang kalau bisa dihapus sudah dihapus bersih-bersih dari hidupnya. Lebih mudah bagi saya meyakinkan seribu orang daripada meyakinkan orang seperti Ibu Mas. Saya rasa jiwanya sama sakitnya seperti Mas, hanya bedanya Mas cukup sadar dan waras untuk mau berobat, sedangkan beliau tidak”

    Kaki kananku harus digips selama tiga bulan, setelah itu baru di evaluasi apakah perlu dilakukan operasi atau tidak, begitu opsi dokter. Selama di rumah sakit, teman-temanku bergantian datang menjagaku, Mulai Mas Harry, Freny, Dendy dan juga Nuril. Mas Fardhan baru bisa datang di hari kedua setelah aku di rumah sakit karena tidak mendapatkan tiket pesawat. Empat hari di rumah sakit, dokter mengizinkan aku pulang. Selama di rumah Mas Fardhan yang merawatku. Atas saran Nuril aku dibawa ke seorang sinse. Biaya pengobatannya cukup mahal, tetapi aku lega karena aku tidak perlu mengenakan gips yang membuat sekujur kaki kananku meradang karena alergi. Dengan pengobatan dari sinse dan terapi yang rutin dilakukan Mas Fardhan, kakiku lebih cepat pulih daripada hanya mengandalkan obat dokter. Dokter Dhio sempat tiga kali menengokku di rumah sakit dan rajin menanyakan kondisiku via sms, begitu pula Mas Arif yang meneleponku setiap hari. Lebih dari seminggu setelah kecelakaan, barulah Bulik Mur tahu kalau aku kecelakaan dan memaksa Mamah datang ke Solo. Aku tidak tahu untuk apa Mamah datang. Toh ia tidak tampak khawatir sama sekali. Ia bahkan tidak mau merawatku yang setiap malam menjerit-jerit kesakitan karena ramuan obat dari sinse dan membiarkan Mas Fardhan yang merawatku. Pada saat itu, baru kurasakan benar-benar rasa cinta Mas Fardhan kepadaku. Sayang, ia tidak bisa lama di Solo. Dua hari setelah Mamah datang, Mas Fardhan kembali ke Balikpapan. Sehari setelah Mas Fardhan pergi, Mamah pun kembali ke Jakarta dan tidak pernah lagi menanyakan keadaanku.

    Pada hari ulang tahunku yang ke-36 tahun, aku dikejutkan dari Freny, Dendy dan Nuril serta Mas Harry yang masing-masing membelikanku sebuah kue. Aku meniup lilin dari empat kue itu dengan penuh pengharapan akan masa depan yang lebih baik. Begitu banyak ucapan selamat, baik via sms, telepon juga media facebook. Aku merasa bahagia dan dicintai banyak orang. Kondisiku cukup mengundang simpati teman-teman kantor. Mereka datang menjengukku, kecuali Priya. Sayang sekali tidak ada respons yang lebih baik dari kantor, bahkan sempat ada keraguan apakah aku benar-benar mengalami kecelakaan atau tidak. Hal ini membuat Mas Harry geram hingga menemui atasanku, tetapi tidak cukup membuat kantor memberikan cuti yang kuharapkan.

    Bulan Juli Mas Fardhan kembali ke Solo. Saat itu, keluarga Mamah mulai ribut mempertanyakan hubungan kami, begitu juga sahabat-sahabatku. Aku tahu secara norma, nilai baik masyarakat maupun agama hubungan kami dinilai salah. Meskipun Mas Fardhan telah berpisah ranjang dengan Mbak Indah sejak bulan Desember 2011 dan menggugat cerai sejak Januari 2012 dan hidup tanpa cinta selama pernikahan berjalan hampir tujuh tahun lamanya, tetapi mungkinkah ia menerangkan kepada semua orang tentang keadaannya itu?? Aku terlalu diletihkan oleh kondisiku sehingga sering kali status Mas Fardhan kuabaikan. Aku menerima keberadaannya seperti anugerah terbaik dari Tuhan yang datang begitu saja dalam hidupku. Mas Fardhan sangat baik dan sabar terhadapku. Ia jauh lebih mengerti bagaimana harus menghadapi kondisi mania maupun depresiku. Ia hadir seperti setetes embun yang meringankan dahagaku di padang sahara.

    Bukan sekali-dua kali, bahkan sering sekali aku mempertanyakan keberadaannya dalam hidupku. Situasi dan kondisi yang mengingatkanku kepada Zaenal sering memicu rasa takut dan traumaku. Setiap kali itu terjadi, Mas Fardhan selalu sabar menenangkan dan membuatku kembali menyerahkan semua kepada Tuhan. Tidak ada sesuatu yang kebutulah di dunia ini, bahkan jatuhnya sehelai daun dari ranting pasti ada sebab dan maksudnya. Tuhan tidak mungkin mempertemukanku dengan Mas Fardhan tanpa sesuatu sebab, yang harus kucari jawaban dan kutemukan hikmahnya. Apa dan bagaimana pun kehadiran Mas Fardhan yang salah di mata orang banyak, tidak bisa membuatku untuk tidak bersyukur. Mas Fardhan membuatku menemukan penyakit yang sudah puluhan tahun tidak kutemukan jawabannya. Mas Fardhan setia menemaniku hari demi hari menjalani semua kepedihan, rasa sakit, penderitaan, hujatan, caci maki dan ketidakpercayaan orang-orang tentang penyakitku. Mas Fardhan adalah orang pertama yang menyatakan dirinya ada buatku apa pun kondisiku.

    Seorang bipolar disorder sering memiliki pertimbangan buruk dan aku telah menjalani begitu banyak penderitaan karena aku memiliki pertimbangan buruk. Aku telah dua kali gagal dalam menjalani kehidupan bersama dengan pasanganku. Aku kehilangan rumah, memiliki banyak utang dan sekarang haruskah aku menghadapi hujatan dan cacian karena terlibat hubungan dengan seseorang laki-laki yang masih berstatus suami orang?? Mas Fardhan dengan sabar meyakinkanku kalau ia tidak seperti Zaenal. Aku tidak tahu apa aku harus menangis atau tertawa bahagia. Zaenal melukaiku lebih dalam dari yang kukira. Sampai detik ini, aku belum mendapatkan keadilan yang kuharapkan dari Tuhan atas perbuatan Zaenal kepadaku. Aku masih sellau berkutat dengan rasa sakit, amarah dan kebencian yang terkadang menenggelamkanku ke dalam depresi. Di mana keadilan itu Tuhan??

    Aku menatap Mas Fardhan yang teduh. Mas Fardhan bukan laki-laki yang kuinginkan. Ia seorang perokok berat, tetapi ia rela berhenti merokok untukku. Ia berkumis dan ia rela mencukur habis semua kumisnya karena aku benci laki-laki berkumis. Ia bukan seorang yang suka membaca, tetapi ia sudah menjadi seseorang pembaca buku yang luar biasa selama beberapa bulan ini. Aku melihat Mas Fardhan berjuang keras untuk berubah. Hari demi hari aku melihat perubahan itu. Dokter Dhio beberapa kali menyinggung hubunganku dengan Mas Fardhan. Bisa dibilang, dokter Dhio sangat mendukung hubungan kami. Menurutnya, kami pasangan yang cocok. Aku membutuhkan seseorang yang super sabar, super mengerti dan super mau mengalah. Dokter Dhio melihat Mas Fardhan memiliki itu semua karena tidak mudah mendampingi seorang bipolar.

    “Soal status itu hanya tinggal masalah waktu Mas,” wajah dokter Dhio berubah serius,, “saya sebagai dokter Mas juga tidak mengizinkan dan membiarkan Mas terjebak lagi dalam hubungan yang tidak jelas seperti dengan Zaenal. Saya melihat Mas Fardhan serius dan sekrang hanya menunggu proses hukumnya saja,,” dokter Dhio mencermatiku,, “Mas Sembo mau dengar saran saya?? Obat mujarab bagi Mas yang melebihi semua obat yang bisa saya berikan, hanyalah pendamping hidup yang baik. Seseorang yang membuat Mas merasa aman, dilindungi dan dicintai. Seseorang yang selalu ada buat Mas dalam situasi dan kondisi apa pun, mencintai dan menerima Mas. Saya tahu Mas punya banyak sahabat yang luar biasa, tetapi kehadiran mereka tidak cukup. Mereka punya keterbatasan dan Mas harus segera mencari pasangan hidup,,”

    “Dan kandidat dokter adalah Mas Fardhan??”

    “Saya tidak tahu apakah Mas memiliki calon lain yang lebih sesuai atau lebih Mas cintai. Saya hanya sebagai penilai. Mas sudah gagal dua kali. Kenapa?? Karena kedua pasangan Mas yang terdahulu tidak tahu dan tidak mengerti kalau Mas seorang bipolar disorder. Mas sudah bisa melihat sendiri betapa sulitnya membuat orang lain bisa memahami siapa Mas sebagai seorang bipolar disorder, tetapi Mas Fardhan bisa. Hanya itu yang saya lihat sebagai dokter, lepas dari siapa dan bagaimana ia. Saya hanya melihatnya dari satu sisi bahwa ia siap mendampingi seorang bipolar disorder.”

    Aku tahu dokter Dhio benar, sangat benar. Obat termujarab bagiku hanyalah kehadiran seseorang yang mencintaiku apa adanya, bukan seseorang yang mencoba untuk mengubahku atau menjadikanku seseorang yang lain. Sebagai seseorang bipolar disorder, satu-satunya hal yang stabil dariku adalah ketidakstabilan. Itu faktanya. Seorang bipolar disorder dalam hitungan detik bisa berubah dari seorang mania menjadi seorang depresi, atau sebaliknya. Aku sebagai seorang bipolar disorder terjebak dalam ketidakstabilan itu dan hanya seseorang yang sangat stabil dalam mencintaiku yang akan sanggup bertahan. Sejujurnya, aku sudah jera terlibat pada sebuah rasa yang hanya menjadikanku possesive, takut kehilangan, juga terjebak dalam jutaan kekhawatiran yang akhirnya hanya akan menenggelamankanku pada kondisi depresi. Aku tidak tahu apakah aku sanggup merasakan semua rasa yang penuh guncangan seperti itu lagi. Guncangan yang akan membawaku ke dalam kondisi mania dan depresi yang berganti-ganti begitu cepat. Aku belum siap merasakan luka dari sebuah hubungan. Penderita bipolar disorder bisa menjadi sangat egois dalam kondisinya yang tidak stabil. Bisakah seorang egois mencintai dan dicintai??

    Aku bukan tidak tahu atau tidak sadar kalau Mas Fardhan mencintaiku dan berharap banyak dariku. Aku hanya terlalu takut untuk membuka hatiku kembali. Aku membiarkannya seperti aku membiarkan keberadaan banyak orang. Aku tidak berani berharap ia akan selalu ada karena aku sudah terlalu banyak kehilangan. Aku berusaha mempersiapkan diri untuk sebuah kehilangan apabila tiba saatnya Mas Fardhan sadar kalau aku seorang bipolar disorder. Aku harus bisa menghadapinya dengan tawa, tanpa sakit hati seperti ketika Mas Harry menyatakan kejujurannya. Mas Harry takut jatuh cinta kepadaku karena aku seorang laki-laki yang terlalu sempurna hingga tiba-tiba aku berubah menjadi sosok yang tidak bisa dimengerti. Hidup bersamaku akan selalu menjadi sebuah drama. Mas Harry mencintaiku, tetapi aku juga tahu kalau ia tidak siap mencintai seorang bipolar disorder sepertiku.

    “Aku takut menghadapimu bila kamu sedang meledak-ledak Sem. Bukan sekali-dua kali aku berpikir untuk menjadikanmu pasangan hidupku, tetapi aku berharap kamu bisa lebih stabil, lebih bisa mengendalikan diri kamu. Lebih........”

    Pada akhirnya, Mas Harry berharap aku menjadi seseorang yang lain. Aku seorang laki-laki yang bisa disebut sempurna bila sempurna itu ada. Cukup tampan, manis, pintar, baik, enak diajak berbicara, setia, jujur, tidak meminta banyak, mandiri dan sederet pujian lain. Namun sayangnya, aku seorang bipolar disorder. Adakah seseorang yang siap memberi, memberi dan memberi?? Mas Fradhan dengan kekerasan kepala dan hatinya berusaha membuktikan kepadaku. Ia nekat mendatangi kantorku, menceramahi atasanku tentang ketidakpedulian kantor terhadap kondisi sakitku,, “Apakah kantor ini harus menunggu Mas Sembo, maaf meninggal dulu..... baru kantor ini mau peduli??” kata- kata itu terbukti efektif. Sorenya, atasanku segera datang ke rumah dan memberiku izin cuti sampai akhir tahun. Aku tidak perlu lagi dipusingkan dengan surat izin sakit dan tahun depan aku bisa kembali ke kantor seeprti biasa.

    Mas Fardhan adalah orang pertama yang memberiku semangat atas keputusanku untuk belajar tidak minum obat. Mas fardhan dengan sabar menemaniku berjuang dengan rasa sakit, emosi yang tidak stabil, dan mood yang berubah-ubah. Ia memelukku saat aku menangis, tertawa bersamaku, bersabar menjadi tempat luapan kemarahanku yang meledak-ledak, dan tetap memelukku walau aku menjerit-jerit sekeras apa pun. Sejak Bulan Juli 2013, aku mulai belajar dari ketergantunganku minum obat. Memang tidak bisa sepenuhnya, ada saat-saat dimana aku terpaksa meminumnya karena sudah tidak sanggup dengan rasa sakit yang mengoyak kepalaku ketika aku jatuh dalam fase depresi dan tidak bisa memejamkam mata sama sekali. Perlahan frekuensinya mulai berkurang. Aku mulai bisa menjalani hidupku tanpa tergantung sepenuhnya dengan obat. Mas Fardhan dengan sabar menerapi kakiku. Ia melatihku menggunakan kruk, belajar berjalan selangkah demi selangkah, hingga akhirnya aku mulai bisa berjalan dengan lebih baik.

    “Aku ini bekas pemabuk, pejudi main perempuan atau laki-laki, hidup di dunia yang kotor dan hitam. Ketika aku bertemu kamu, aku hanyalah seorang munafik yang sok mengenal kehidupan dan menasihati orang. Padahal itu hanyalah tong kososng yang berbunyi nyaring. Aku menceramahi, menasihati dan mengobati hidup orang lain, sedangkan hidupku sendiri berantakan. Aku munafik dan kamu menelanjangi kemunafikanku,,”

    Mas Fardhan menatapku lekat-lekat,, “Bertahun-tahun aku hidup tanpa tujuan. Hanya sekedar makan, minum, dan memenuhi kebutuhan duniawi. Aku nyaris tidak pernah mensyukuri hidupku. Aku membiarkan rumah tanggaku hancur berantakan dari awal, istriku tidak bahagia dan memperlakukanku seperti sampah. Aku membanggakan diriku sebagai orang yang sabar dengan semua itu., padahal kebohongan besar. Aku bukan sedang bersabar, aku hanya diam dan tidak melakukan apa pun. Aku tidak peduli, vakum, dan diam hanya karena aku terlalu malas untuk mengubah hidupku agar menjadi lebih baik,”

    Mas Fardhan menarik naaps panjang,, “Lalu kamu datang. Seorang laki-laki lemah yang sakit. Seorang laki-laki yang dengan berani memperjuangakan hidupnya tanpa kenal arti menyerah. Seorang laki-laki yang sendirian tanpa siapa pun, tapi tidak pernah kenal takut. Aku yang tidak pernah kenal apa itu rasa sakit, penderitaan, kepedihan, belajar banyak darimu. Melihatmu, apa aku tidak malu kepada diriku sendiri?? Tuhan telah memberiku begitu banyak dalam hidupku, dunia yang gemerlap, keluarga, teman, kehidupan duniawi yang menyenangkan dan melenakan, tapi apa aku pernah mensyukurinya sekali saja dalam hiduku,,”

    Aku melihat begitu banyak emosi terluap di wajah yang biasanya selalu tenang nyaris tanpa ekspresi. “Aku tidak pernah benar-benar berjuang sekali saja dalam hidupku. Aku mendapatkan semua yang aku mau dengan begitu mudah. Bahkan ketika aku telah letih dengan dunia hitam. Tuhan mengirimkanku Habib untukku. Semua begitu mudah bagiku, mengalir begitu saja seperti air. Tapi kamu?? Tidak pernah ada yang mudah bagimu. Aku belum pernah bertemu dengan seseorang yang harus terus berjuang di sepanjang hidupnya. Aku melihat hidupmu yang begitu kaya dan penuh warna. Kamu memaknai setiap perjalanan hidupmu dengan luar biasa. Dan salahkah aku kalau aku jatuh cinta kepadamu?? Salahkah aku kalau aku ingin berjuang sekali saja dalam hidupku untuk sesuatu yang bermakna?? Kamu adalah anugerah terindah dalam hidupku.”

    Aku tidak tahu harus tertawa atau terharu karenanya. Mas Fardhan yang kukenal sama sekali bukan orang yang romantis. Ia kaku dan kikuk. Ia laki-laki lugu yang tersembunyi di balik tubuhnya yang tinggi besar. Seorang laki-laki yang terlalu bodoh dalam kesabarannya. Dan sekarang aku melihat sisi lain dari seorang Fardhan. Aku melihat bara di matanya yang biasanya tenang. Aku melihat kesungguhan di suaranya yang biasanya datar. Dan aku melihat ketulusannya, kejujurannya.

    “Kamu yang telah bersabar selama hampir setahun ini mengajariku tentang arti cinta dan hidup. Kamu yang telah bersedia dengan suka rela memberi orang yang sudah hampir mati rasa ini kesempatan untuk mengenal apa arti cinta dan hidup. Aku ini bukan laki-laki yang pantas untuk laki-laki luar biasa sepertimu, tetapi aku akan memantaskan diriku agar aku pantas untukmu.”

    Mata Mas Fardhan berkaca-kaca, suaranya tersendat oleh haru. “Aku tahu kamu menerima banyak hujatan, cacian, juga kehilangan banyak sahabatmu hanya karena menerimaku dalam hidupmu. Aku tahu kamu ditekan oleh keluarga Ibumu karena kedekatan kita, tapi kamu menerimaku dengan baik. Kamu menghadapi semua dengan kesabaran yang luar biasa. Kamu tidak menyalahkanku dan tetap memberiku kesempatan. Aku selalu ingat kata-katamu kalau Tuhan Maha Pengampun, lalu kenapa kita yang hanya manusia tidak menjadi pemaaf?? Klaau Tuhan saja mau memberi kesempatan kepada hamba-Nya sebelum ajal, kenapa kita yang hanya manusia merasa bisa menjadi hakim dari hidup orang lain dan tidak mau memberi kesempatan kepada orang lain untuk berubah?? Semua orang membutuhkan kesempatan kedua, karena kesempatan yang sama tidak akan datang dua kali. Hanya sekali Tuhan mengirimkan seseorang sepertimu dalam hidupku dan aku tidak akan membiarkan kesempatan itu lewat.”

    Akhirnya aku menyerah pada rasa yang diberikan Tuhan. Aku menyerah pada hidupku yang pada akhirnya kubiarkan mengalir. Aku tahu, akan masih banyak ujian, tantangan dan cobaan di depan mataku sebagai seorang bipolar disorder. Aku terus berjuang agar aku “lulus” melewati semua ujian kehidupan ini. Aku ingin menjadi pemenang untuk hidupku. Aku ingin sebuah hidup yang berarti dan dapat memberi kebaikan bagi orang lain. Aku tidak berharap menjadi lilin yang hanya bisa menerangi orang lain, tapi terbakar habis. Aku tidak berharap menjadi cermin yang hanya bisa memantulkan bayangan semu dari keindahan. Aku ingin menjadi seseorang yang benar-benar “indah”, tidak perlu di semua mata manusia, tapi cukup di mata mereka yang kucintai dan terutama hanya di dalam kuasa Tuhan. Sampai saat ini, beberapa orang masih menganggapku seeprti kuman penyakit yang harus disingkirkan. Masih banyak pula orang yang menganggapku aneh. Aku tidak bisa menyenangkan hati semua orang, sebaik apa pun aku telah berusaha. Aku juga masih tetap tidak bisa memaksa Mamahku untuk memahami siapa aku dan masalahku seperti yang kuinginkan. Ketika Idul Fitri tiba dan Mas Fardhan sengaja datang dari Balikpapan untuk bertemu kleuargaku, sikap Mamah sangat melukai hatiku.

    Ketika tanpa sengaja keluarga Mamah yang sengaja datang ke rukoku untuk menyidang kasus kedekatanku dengan Mas Fardhan bertemu dengan Om Agung dan Tante Dija dari kelurga Papah, Mamh berusaha menghasut mereka agar tidak menerima kehadiran Mas Fardhan. Namun, keluarga Papah justru sangat terbuka menerima kehadiran Mas Fardhan dalam hidupku, bahkan mereka setengah mendorongku untuk menerima Mas Fardhan. Sambil setengah bercanda, Dendy yang juga sepupuku berkata,,,

    “Siapa lagi orang yang bisa bersabar menghadapi bipolar disorder seeprtimu kalau bukan Mas Fardhan??”

    Aku bersyukur, keluarga Papahku memang jauh lebih memahamiku. Mereka menerimaku sebagai seorang bipolar disorder dengan tangan terbuka. Mereka belajar memahamiku, memberi semangat dan dukungan yang kuperlukan. Bahkan Bude Ari yang semasa mudanya tidak terlalu peduli dengan keadaanku, kini sangat peduli dengan penyakitku. Papahku sendiri menyempatkan diri menengokku ke Solo dan menitipkanku kepada Mas Fardhan. Tidak ada hujatan atau penghakiman seperti yang kuterima dari keluarga Mamah. Keluarga Papah memberiku kepercayaan kalau aku bisa pulih dan bangkit kembali bersama doa, usaha, ikhtiar, juga keprasahanku kepada Tuhan. Idul Fitri tahun 2013 itulah aku belajar untuk lebih ikhlas dalam hidup. Ikhlas bahwa tidak semua yang kuharpkan akan dapat kucapai. Butuh waktu, kesabaran dan usaha keras untuk meyakinkan keluarga Mamahku kalau aku butuh pengertian, dukungan dan bantuan mereka. Aku telah menjelskan begitu jujur, terbuka dan apa adanya tentang masalahku kepada mereka. Ketika pada akhirnya mereka tetap saja tidak mengerti, aku harus menyikapinya dengan jiwa besar dan lapang dada. Tanggung jawab penyembuhan diriku sepenuhnya ada di pundakku, bukan tanggung jawab orang lain, bukan Mas Fradhan, dokter Dhio, keluarga Papahku, sahabatku ataupun keluarga Mamahku. Aku sendiri yang harus berjuang menghilangkan stigma negatif masyarakat yang terlanjur melekat kuat terhadap penderita bipolar disorder ataupun penderita gangguan jiwa yang lain.

    Aku memang tidak bisa menghilangkan stigma negatif itu dengan mudah karena sudah mengakar kuat di masyarakat, baik di pedesan maupun di perkotaan, di lingkungan masyarakat tradisional maupun modern. Namun aku selalu berharap bisa memberikan pemahaman proposional tentang penyakitku kepada masyarakat dengan harapan stigma negatif itu bisa dikikis, diminimalisasi sampai akhirnya di hapus. Orang-orang seperti kami bukan untuk dibuang, dijauhi bahkan dikucilkan. Kami bukan orang gila, kami hanyalah orang sakit yang membutuhkan dukungan dan kasih sayang, sama seperti penderita penyakit fisik lain. Aku harus bisa menyikapi stigma negatif tersebut dengan sikap positif. Aku tidak boleh membiarkan sikap dan pandangan negatif masyarakat terhadapku memengaruhi dan mendikte kehidupanku. Aku mempunyai kekuasaan dan kendali penuh untuk menentukan sikap dan tindakan terbaik yang akan dan harus kulakukan. Aku tidak boleh menyia-nyiakan waktu dan menenggelamkan diriku dalam penyesalan kenapa aku harus terlahir sebagai seorang penderita bipolar disorder. Semua yang kumiliki adalah pilihan yang kupilih.

    Apa kesamaanku dengan Abraham Lincoln, Winston Curchill, Theodore Rosevelt, Vincent van Gogh, Ernest Miller Hemingway, Edgar Allan Poe, Charles Dicksen, Johann Goethe, Leo Tolstoy, Charles Baudelaire, Ludwig van Beethoven, Richard Dreyfuss, Paul Gascoigne, Mel Gibson, Linda Hamlton, Axl Rose, Sidney Sheldon, Frank Sinatra, Mike Tyson, Jean-Claude Damme, Vincent Willem van Gogh, Yasunari Kawabata, Iris Shun-Ru Chang, Virginia Woolf dan Catherine Zeta-Jones?? Mereka sama-sama didiagnosis sebagai penyandang bipolar disorder. Kita tahu mereka semua adalah orang-orang hebat di bidangnya masing-masing. Aku mungkin tidak pernah bisa sehebat orang-orang itu. Tetapi aku akan buktikan kepada sahabat-sahabatku, orang-orang yang dikirimkan Tuhan untuk mencintaiku dengan tulus, mereka yang telah ada untukku dalam suka dan duka, mereka yang telah percaya kepadaku, mereka yang tetap menyayangiku sebagaimana adanya kalau aku bisa bangkit untuk mereka.

    Aku juga bisa membuktikan kepada orang-orang yang telah menghujat, menghakimi, membuangku seperti sampah, orang-orang seperti Priya yang hanya bisa melihatku dari sudut keegoisannya sendiri kalau aku bisa bangkit. Juga untuk Mamah, yang sampai 36 tahun tidak pernah mau dengan jujur mengakuiku sebagai anak yang ia lahirkan kalau aku bukan seorang anak haram yang bisa dicampakkan begitu saja. Di matanya, aku mungkin tidak pernah sehebat ia. Tetapi ia tidak pernah menjadi seorang bipolar disorder yang bangkit dari keterpurukan. Aku ingin suatu hari nanti, entah itu Mas Fardhan atau bukan, seseorang yang akan dijodohkan Tuhan untuk menjadi pendamping hidupku bakan berkata dengan bangga,, “Aku mencintai seorang bipolar disorder dan aku bangga kepadanya karena ia seorang yang hebat.”

    Aku telah melalui musim semi yang luar biasa dalam hidupku, musim panas yang mendewasakanku, musim gugur yang meruntuhkanku dalam kesabaran yang nyaris tidak terbatas, dan musim dingin yang menjadikanku lebih bijak dan ikhlas dalam menyikapi hidup. Aku optimis dan percaya pada keadilan Tuhan. Suatu saat nanti, cinta, kebahagian dan keadilan itu akan kudapatkan. Akan datang musim semi yang baru untukku, yang penuh dengan pengharapan bahwa hidup ini indah dan patut kita syukuri. Tuhan hanya dari-Mu aku datang dan hanya kepada-Mu aku akan kembali. Kutunggu kau, wahai musim semiku........”

    “....Dan kami jadikan sebagian kamu sebagai cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar?? Dan Tuhanmu Maha Melihat,,”
  • EPILOG

    Laki-laki itu menyandarkan tubuhnya yang letih ke sandaran kursi. Akhirnya selesai juga. Dua bulan ia menceritakan semua kepedihan, luka, duka, air mata, senyum dan tawa. Dan kini selesailah semuanya. Sebuah cerita perjalanan hidup itulah perwujadan siapa dirinya sebagai manusia, seorang laki-laki, seorang gay dan seorang penyandang bipolar disorder.

    Fase gelap itu boleh datang dan menenggelamkannya lagi seperti 36 tahun ini. Kini ia tidak perlu lagi takut karena ia tahu, setelah fase gelap akan datang fase yang terang benderang, semua akan terlihat indah. Itulah hidup, gelap dan terang, suka dan duka, mania dan depresi, itulah ia sebagai seorang bipolar disorder. Hitam itu masihlah tetap kelam, tetapi dibaliknya ada cahaya kecil yang akan menjadi terang benderang bersama kesabaran, perjuangan dan ikhtiar serta keikhlasan. Seperti yang dikatakan seorang bijak, daya tahan pun tidak bertahan. Konyolnya, ketahanan itu bertahan di tempat ketika segala sesuatu menjadi sulit dan hampir tidak mampu ia jalani. Ia berpikir bisa menahan rasa sakit dan kesulitan hidup itu sendiri. Bertahun-tahun ia menanamkannya di dalam diri sendiri, “Aku bisa melewati ini. Aku kuat.” Dan jika seseorang pernah mencobanya, mereka akan tahu bahwa kita tidak bisa bertahan begitu terus menerus untuk waktu yang sangat lama. Itu hanyalah bagian dari kesombongannya sebagai manusia. Sekarang sudah saatnya laki-laki itu mengakui kelemahannya sebagai manusia dan menyerahkan segalanya kembali kepada Tuhan.

    Sebagaimana dikatakan Ajahn Brahm dalam bukunya “Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya”, sakit adalah bagian dari hidup. Ketika kebanyakan manusia mulai berpikir bahwa sakit itu salah, sakit itu penghenti atau penghalang bagi banyak hal, sakit adalah hukuman mengerikan dari Tuhan. Sakit adalah sejenis interupsi yang tidak menyenangkan bagi apa yang seharusnya dikerjakan, atau berpikir bahwa penyakit harus disingkirkan segera agar bisa kembali ke kehidupan normal lagi, maka saat itu manusia telah melewatkan makna besar dari sakit. Sakit hadir untuk menjadi guru. Sakit adalah salah satu cara Tuhan bagi manusia yang merindukan dekat dengan-Nya.

    Sakit telah menjadi gurunya nyaris selama hidup, sebagaimana masalah juga telah menjadi gurunya. Meski masalah itu benar-benar tidak tertahankan dan seperti tiada habisnya, laki-laki itu belajar sesuatu darinya. Ketika ia mengalami sesuatu yang sulit ditanggung, ia harus menganggap hal itu sebagai guru. Hidup ini tidaklah mudah, tapi bukankah Tuhan lebih tahu apa yang baik bagi hamba-Nya meski mungkin tidak terasa menyenangkan buatnya?? Guru-guru inilah yang mengajari si laki-laki bahwa hidup dalam hidup ada banyak hal yang tidak bisa di ubah. Ia belajar untuk menerimanya. Ketika ada sesuatu yang tidak bisa lagi ia ubah, apa yang dapat ia lakukan?? Segalanya di luar kendalinya sebagai manusia. Laki-laki itu tidak ingin sakit, tapi Tuhan telah memberinya sakit. Laki-laki itu tidak ingin kesulitan, tapi ia harus hidup dalam begitu banyak kesulitan. Apalagi yang bisa ia lakukan selain hanya belajar rendah hati, lebih banyak bersyukur, lebih berempati kepada orang lain. Laki-laki itu benar-benar belajar untuk tidak menyalahkan siapa pun. Ia belajar untuk tidak lagi berharap apa yang kehidupan berikan kepadanya, tapi apa yang bisa ia berikan saat ia masih hidup. Bagaimana ia bisa menjalani hidup yang berarti dan luar biasa, bukan hanya “biasa-biasa” saja.

    Dengan menceritakan semua kisah hidupnya, laki-laki itu belajar melepaskan dan membiarkan semua berllau. Ketika ia dikhianati oleh orang-orang yang mengaku mencintainya, disakiti oleh orang yang dianggap sebagai sahabat, diabaikan oleh keluarganya, ketika ia dikecewakan, dihujat, dihina, dan dihakimi oleh mereka yang sama sekali tidak tahu siapa dirinya, ia hanya harus belajar memaafkan mereka, membuang kemarahan dan dendam. Jika ia tidak belajar memaafkan mereka, tidak membuang kemarahan dan dendamnya, maka mereka akan selalu melukainya lagi dan lagi, bahkan meski hanya dengan memikirkannya. Itu artinya ia akan menjadi bagian dari mereka yang merugi. Hidup Cuma satu kali, apakah ia bisa membiarkannya jatuh dalam kerugian?? Memaafkan bukan berarti menyetujui. Laki-laki itu tetap tidak bisa menyetujui kezaliman yang mereka lakukan kepadanya dengan cara apa pun, tetapi itu telah terjadi. Ia hanya ingin mereka tidak lagi melukai siapa pun dan belajar dari kezaliman yeng mereka lakukan agar tidak melakukan kezaliman yang sama kepada orang lain. Sangatlah mudah menerima kebaikan dalam hidupnya, tapi menerima kezaliman dan memaafkannya adalah perjuangan. Laki-laki itu telah berhenti berharap mereka akan mengerti siapa seberanya dirinya. Ia berhenti berharap mereka akan baik kepadanya sebagaimana ia telah berusaha memberikan yang terbaik untuk mereka. Laki-laki itu belajar untuk lebih ikhlas bersama kesabaran.

    Ketika laki-laki itu belajar memaafkan kezaliman yang mereka lakukan kepadanya, ia juga belajar menerima berbagai kesulitan dalam hidup seperti sakit, utang, kepedihan, luka, kecewa dan segala hal kesulitan lain. Ia belajar mensyukurinya. Dengan semua kezaliman dan kesulitan itu, ia telah diberi kesempatan oleh hidup untuk tumbuh dan belajar. Ketika ia telah berhasil melalui semuanya, laki-laki itu melihat ada harapan, jalan, kemudahan, kebaikan di dalam setiap kesulitan yang tidak semua orang mampu menjalaninya. Laki-laki itu tersenyum. Ia kini bisa memberi ucapan selamat kepada dirinya sendiri bahwa ia telah dipilih Tuhan untuk menjalaninya sebagai sesuatu yang tidak ternilai hikmahnya. Laki-laki itu kini bisa melihat pantulan dirinya sendiri di cermin, bukan sebagai “korban”, bukan sebagai “pembawa masalah”, tapi sebagai “pemenang” untuk dirinya sendiri. Kebaikan dan kejahatan itu bagaikan bunga dan ilalang. Tidak seorang pun mampu menyingkirkan semua ilalangnya karena akan selalu tmbuh, tidak peduli meskipun ia harus menghabiskan seumur hidupnya untuk mencabut, membabat, bahakan membakarnya. Ia hanya bisa menumbuhkan lebih banyak bunga dan merawatnya agar terus hidup dan menebarkan keharuman. Bila dizinkan, ia berharap ilalang itu akan mati seiring dengan doa dan ikhtiarnya.

    Laki-laki itu menarik napas panjang, terima kasih yang snagat tulus ia ucapkan dalam hati kepada ia yang telah mengkhianatinya, yang telah mencoba menghancurkannya, sahabat yang telah melukainya begitu dalam, mereka yang telah menghujat, menghina, menghakimi dan berbicara buruk tentangnya. Semua kezaliman yang mereka lakukan kepadanya adalah guru terbaik yang telah diberikan Tuhan. Laki-laki itu merasa tidak perlu rendah diri karena telah menjalani semuanya. Bukankah Tuhan hanya memberikan ujian tersulit bagi mereka yang Dia anggap mampu?? Ia tidak malu karena telah jujur pada dunia dan kepada dirinya sendiri bahwa ia telah melakukan banyak kesalahan dalam hidupnya. Ia tidak sempurna dan tidak akan pernah menjadi sempurna. Ia seorang penderita bipolar disorder. Sungguh sangat disayangkan, kejujuran akan “ketidaksempurnaannya” membuat beberapa orang yang ia anggap sahabat merasa berhak melukai, menghujat, menghina dan menghakiminya. Sungguh menyedihkan ketika banyak manusia merasa perlu memakai topeng sebagai “orang baik yang sempurna”, bahkan bersembunyi di balik topeng “keimanan”. Sementara itu, hati, perkataan dan perbuatannya tidak mencerminkan apa-apa selain kebohongan publik.

    Tuhan yang berhak menilai kebaikan dan keimanannya. Perlukah baginya pengakuan dari mereka yang tidka pernah melihat jauh ke dalam lubuk hatinya selain hanya opini yang mereka ciptakan tentang siapa dirinya?? Laki-laki itu bukan mereka, ia tidak merasa berhak menialai atau menghakimi siapa pun. Ia bahkan tidak punya keberanian untuk melukai siapa pun dengan sengaja. Ia patut merasa bangga kepada dirinya sendiri bila begitu banyak orang membencinya karena “perbedaan” itu.

    Kehidupan sudah memberi begitu banyak apa yang tidak terduga dan kita impikan. Semua datang sebagai misteri dan kejutan ketika laki-laki itu sudah tidak mengharapkannya. Ia belajar memahami bahwa tidak ada yang abadi di dunia. Bahkan cinta dan persahabatan tidak akan bertahan selamanya. Semua akan tiba waktunya, ia harus mengikhlaskannya. Kepada orang-orang yang tulus menyelipkannya dalam doa-doa terbaik mereka, orang-orang yang tulus menyayanginya apa adanya, ia hanya ingin mengucapkan terima kasih dan bersyukur karena Tuhan telah menghadirkan mereka ke dalam hidupnya sebagai anugerah. Terima kasih karena mereka masih ada untuknya sampai detik ini.

    Laki-laki itu beranjaknya dari tempat duduknya, ia bangkit dan berdiri di depan cermin, lalu berkata kepada dirinya sendiri, “Aku seorang bipolar disorder. Setelah kulihat cahaya kecil itu, kini aku melihat cakrawala baru. Bipolar disorder hanyalah sebuah nama. Aku laki-laki biasa yang hanya memiliki sedikit perbedaan dengan laki-laki lain. Bipolar disorder atau apa pun namanya, bukanlah namaku. Di saat aku telah siap untuk menerima sakit, kesulitan kepedihan, bahkan kematian sebagai bagian dari hidup, saat itulah aku telah siap juga untuk hidup......”

    Solo, 2014


  • owh ts kaw membuatkuh mewek lagiiihh
    ceritanya sangat memotivasi

  • owh ts kaw membuatkuh mewek lagiiihh
    ceritanya sangat memotivasi

  • owh ts kaw membuatkuh mewek lagiiihh
    ceritanya sangat memotivasi
  • huah, akhirnya selesai juga *ambil tissue lap air mata
    tetap semangat ya mas sem :)

    terserah om aja, aku kn cuma baca :D
  • Cuman bisa berdo'a semoga Mas Sembo mendapatkan kebahagiannya setelah ini n bisa bersatu dgn Mas Fardhan..


    Ohya apa kabarnya Ardi n Zaenal sekarang?


    Buat Mas Rende Terima Kasih atas ceritanya n ditunggu kisah selanjutnya.
    th_102.gif
  • waw... endingnya bikin mata berkaca2. apalagi epilognya, bahasanya enak banget dibaca. ada beberapa kalimat yang kiki suka, boleh di copas mas @rendesyah?

    ditunggu karya selanjutnya..
Sign In or Register to comment.