BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Cerita Seorang Bipolar Disorder Tamat

1111214161721

Comments

  • BAGIAN 14


    Ya Tuhan, rasa apa ini?? Rasa yang perlahan menyusup di antara kesadaranku dan menyesakkan dadaku. Aku merasa tercabik-cabik ketika harus memasuki ruangan chek-in Bandara Sepinggan. Aku menatap Mas Fardhan dari balik kaca dengan air mata yang tanpa kusadari menetes membasahi pipiku yang makin tirus karena telah banyak kehilangan berta badan. Sorot mata Mas Fardhan penuh luka. Ada kepedihan di sana dan air mata yang mengaburkan matanya yang kelam. Sesuatu seperti tercabut dariku ketika Mas Fardhan memelukku. Aku tidak ingin melepaskan pelukannya. Aku ingin selamanya berlabuh di dada bidangnya. Aku ingin menyandarkan segela keletihanku dan berlindung dalam rasa aman yang selalu ada bersamanya. Ya Tuhan, ada apa di antara kami?? Kenapa takdir begitu kelam mempermainkan hati kami?? Aku ingin begitu berlari ke arahnya dan bukan kembali ke Solo.

    Sambil duduk di dalam pesawat, aku menatap senja yang mulai turun dari balik jendela. Aku menyaksikan keindahan langit biru yang berubah menjadi ungu lembayung dan keemasan. Keindahan yang memilukan hati dan tidak pernah kubayangkan saat pertama kali menginjakkan kaki di Balikpapan. Begitu berat rasanya meninggalkan kota ini, seolah seluruh hatiku tertinggal di sana dan menjadi milik seseorang laki-laki yang telah menjadi milik orang lain, mimpi buruk yang berulang dari Zaenal. Freny dan Nuril telah menungguku di Bandara, aku nyaris tidak bisa menggerakkan kakiku turun. Aku ingin kembali ke Balikpapan. Aku menatap kedua sahabatku itu dengan rasa asing. Ya Tuhan, benarkah mereka sahabatku?? Aku seperti tidak mengenal mereka. Solo seperti asing bagiku. Freny dan Nuril bergantian memelukku dengan gembira, tetapi hatiku kosong. Aku tidak bisa mengingat jalan menuju rumahku, bahkan tidak bisa mengingat rumahku sendiri. Ketika Dendy, sepupuku memelukku sambil tertawa bahagia, aku merasa hampa. Aku berusaha bersikap biasa seolah mereka bukan orang asing bagiku, tetapi hatiku makin tercabik-cabik. Aku membagikan oleh-pleh yang kubawa, bercerita dengan riang, tetapi hatiku sakit. Aku seperti tengah memerankan sebuah tokoh pementasan sandiwara. Aku berpura-pura menjadi diriku yang tidak kukenali.

    Aku bertahan dengan sandiwaraku sampai keesokan malam, aku merasa semakin rapuh dan terkadang berubah menjadi anak-anak, berbicara seperti anak-anak, bukan seorang dewasa berumur 35 tahun. Aku merasa sakit. Aku pun menangis. Aku ingin mengingat, tetapi aku tidak bisa. Aku takut pada semua hal termasuk kamarku sendiri. Aku terjatuh nyaris pingsan. Rasa sakit dan sesak yang begitu hebat menghantam dadaku. Malam itu kondisiku kembali drop. Aku tidak bisa bernapas. Mas Fardhan berkali-kali menelepon Freny dan Dendy untuk meminta tolong agar membawa Sembo ke rumah Nuril. Aku mengurung diri di kamar Nuril. Aku tidak mau bertemu siapa pun dari mereka. Nuril membawaku ke rumah ibunya di Solo agar aku bisa lebih tenang di tengah-tengah orang baru, tetapi itu pun tidak membantuku. Aku hanya ingin bertemu Mas Fardhan. Dalam pelukan Nuril, aku menceritakan semua yang kurasakan tentang mas Fardhan.

    Nuril memintaku agar tidak menghakimi cintaku kepada Mas Fardhan. Cinta itu datang karena Tuhan. Nuril mengingatkanku pada kondisi keluarga Mas Fardhan dan bagaimana menderitanya keluarga Mas Fardhan. Nuril pernah tinggal bersama mereka selama satu bulan. Nuril mengatakan kalau mungkin aku adalah jawaban dari doa-doa Mas Fardhan selama ini. Mas Fardhan membutuhkan cinta yang tulus dalam hidupnya. Sejak bertemu Habib dan mendalami agama serta dunia pengobatan, ia terus berharap bisa menjadi imam yang terbaik bagi keluarganya. Mbak Indah tetap tidak bisa dibawa ke dunia yang lebih baik. Tujuh tahun Nuril melihat mas Fardhan berjuang, mas Fardhan sudah bercerita kepada Nuril kalau ia mencintaiku. Aku bersikeras tidak mau terjebak dalam sutuasi yang sama seperti dengan Zaenal. Nuril mengatakankalau aku tidak tahu rahasia Tuhan. Ia memintaku untuk tidak membinih cintaku dan membiarkan cinta itu berkembang sebagaimana seharusnya. Sekarang yang terpenting bagiku adalah menyatukan jiwa kembali agar aku bisa kembali ke kantor dan bisa menjalani hidup seperti biasanya. Aku juga harus mengembalikan ingatanku.

    Dua hari kemudian aku pulang ke rumah, Dendy berkata kalau sahabat-sahabatku dari SMP berkunjung ke rumah dan ingin melihat kondisiku. Mereka meninggalkan foto kami yang terakhir agar aku bisa mengingat mereka. Aku menangis, aku punya teman-teman yang baik dan menyayangiku. Aku harus bersyukur kepada Tuhan. Aku memutuskan bahwa ingat ataupun tidak, aku akan menjadi Sembo yang dulu mereka kenal. Nuril menemui Mbak Widhi, menceritakan kondisiku dan meminta pengertian dari kantor. Nuril dan Mas Fardhan juga menelepon beberapa teman dekatku. Dibantu semangat Mas Fardhan yang rajin meneleponku, juga Freny, Nuril dan Dendy yang selalu berusaha datang setiap hari bergantian ke rumahku perlahan aku mulai pulih. Aku mulai belajar mengenali diriku sendiri.

    Pada suatu siang, aku dikejutkan oleh kedatangan Nuril dan Mas Fardhan. Seperti mimpi aku melihat sosok yang tinggi besar itu berdiri di pintu rumahku. Aku seperti kehilangan tenaga, duduk di kursi. Mas fardhan tersenyum kepadaku dan berkata kalau ia memenuhi janjinya. Senyum dan sorot matanya yang meneduhkan hati mengingatkanku pada penggalan syair Khalil Gibran “Apabila cinta memanggilmu, ikutilah ia walau jalannya terjal berliku-liku. Dan apabila sayapnya merangkulmu, pasrah dan menyerahlah kepadanya walau pedang yang tersembunyi di sayap itu melukaimu. Dan jika ia bicara padamu, percayalah walau ucapannya membuyarkan mimpimu, bagai angin utara mengobrak-abrik pertamanan.”

    Betapa aku merindukan Mas Fardhan. Saat itu aku menyerah pada rasa yang menggelora hatiku, aku biarkan ia memulukku sedemikian erat seakan tidak ingin ia lepaskan. Mas Fardhan khusus datang untukku, untuk membantu kesembuhanku agar aku bisa kembali mengingat dan bisa kembali ke kantor. Sorenya, mas Fardhan memanggil mbak Widhi ke rumah untuk melihat keadaanku yang takut kepada orang lain yang tidak kukenal dan meminta agar ia membantuku di kantor. Pada saat bersamaan, Priya mengirimi sms yang isinya menghakimiku dan membuatku menjadi shock. Priya yang selama ini kusayangi, tidak kusangka begitu jahat memperlakukanku, membuatku semakin ketakutan pergi ke kantor. Mas Fardhan menemui ketua RT dan meminta izin untuk tinggal di rumahku selama beberapa hari. Esok harinya, ia mendampingiku ke kantor. Ia menungguku di kantin dengan sabar, sementara itu aku hanya meringkuk di sudut meja, takut bertemu banyak orang. Mereka semua seperti sosok yang menakutkan dimataku. Teman-temanku juga berhati-hati mendekatiku. Mas Fardhan terus memberikan semangat lewat sms. Hanya sampai menjelang Dzuhur aku bertahan. Aku dibantu Mbak Yanti, seorang teman yang mendekatiku dengan hati-hati dan penuh kelembutan. Aku keluar dari kantor, tetapi di tempat parkir aku jatuh pingsan dan kepalaku pasti sudan membentur aspal kalau Mas Fardhan tidak segera sigap menangkap tubuhku yang terkulai. Aku dibawa masuk dan dibaringkan di sofa sampai sadar. Di rumah, Mas Fardhan bercerita kalau ia sempat bertemu dan berbincang-bincang dengan beberapa teman-teman kantorku. Menurut Mas Fardhan masih banyak teman-teman kantor yang menaruh simpati kepadaku.

    Aku ingat pandangan Priya dan beberapa temanku yang seolah menghakimi dan meragukan sakitku. Mas Fardhan menggenggam tanganku dan mengingatkanku kalau aku tidak bisa berharap semua orang menyukaiku. Wajar bila selalu ada orang yang iri, menurut Mas fardhan aku akan selalu terlihat berbeda karena aku punya aura yang membuat orang tertarik kepadaku. Ini bukan masalah siapa yang benar dan siapa yang salah, tapi aku hanya berada di tempat yang salah. Ibarat warna, bila teman-temanku berwarna kuning aku berwarna merah. Aku menjadi terlihat mencolok, tapi kalau aku berada di antara mereka yang juga berwarna merah, aku akan baik-baik saja. Kami mulai berbicara tentang arti bersyukur karena tidak semua orang tahu caranya bersyukur, termasuk Mas fardhan. Mas Fardhan tidak sadar kalau sudah memiliki segalanya dalam hidup, tapi tidak mensyukurinya. Mas Fardhan tidak acuh dengan sekitar, tidak peduli dengan situasi rumah tangga dan hidupnya. Mas Fardhan mengatakan kalau hanya aku yang berani berkata jujur. Habib bahkan Ibunya sendiri tidak berani. Menurutnya, kuasa Tuhan dan hatiku yang bersih jauh dari prasangka membuatku masih tetap hidup setelah di santet mati. Aku juga orang yang jujur. Itulah yang terpancar dari diriku, yang membuat orang iri kepadaku. Mas Fardhan memintaku tidak berkecil hati karena berbeda. Justru itu anugerah yang harus disyukuri.

    Selama dua hari selanjutnya, Mas Fardhan terus menemaniku ke kantor sampai aku merasa cukup kuat untuk berangkat sendiri ke kantor. Mas Fardhan juga yang membesarkan hatiku agar mengabaikan sms-sms dan sikap Priya yang menyakitkan hati. Kami banyak berbincang tentang kehidupan masing-masing, kepedihan dan topeng yang harus kami kenakan demi bertahan hidup. Mas Fardhan laki-laki yang baik dan telah berjuang untuk kembali kejalan yang benar. Aku tercengang mendengar kisah hidupnya. Bagaimana ia berjuang, dari seorang remaja religius dari Ambon yang datang ke Makkasar untuk melanjutkan sekolah, tetapi justru menjadi seseorang remaja pemberontak yang bergaul dengan rokok, minuman keras, judi, kehidupan malam. Mas Fardhan merantau ke Jakarta sebagai seorang tukang parkir, preman, tukang pukul sampai menjadi seorang debt collector di sebuah bank swasta. Mas Fardhan berkenalan dengan Mbak indah, seorang penyanyi bar, menikah tanpa cinta hanya karena situasi, kondisi dan nafsu. Mereka pergi ke Balikpapan dengan harapan mencari kehidupan yang lebih baik, tetapi justru tenggelam dalam kegelapan. Bertahun-tahun sebagai group leader transportasi di sebuah perusahaan pertambangan, ia mengumpulkan uang hanya untuk berfoya-foya dengan perempuan bahkan laki-laki, judi, dan minuman keras. Mbak Indah pun tidak ada bedanya, tenggelamnya dalam dunia yang mengerikan itu.

    Selama menikah Mas Fardhan tidak merasa mempunyai istri. Ia dan Mbak Indah hidup sendiri-sendiri. Mereka hanya bertemu untuk mabuk, berjudi dan berhubungan seks. Setelah bertemu Habib tujuh tahun lalu, sisi hati Mas Fardhan yang sudah lama merindukan Tuhan perlahan tersentuh. Hanya dalam waktu enam bulan, Habib berhasil membuatnya berhenti minum dan berjudi. Mas Fardhan juga mulai belajar pengobatan. Tujuh tahun Mas Fardhan mencoba menyentuh hati Mbak Indah, tetapi tidak pernah bisa. Terlihat sorot mata putus asa di mata hitamnya. Ia belajar mengaji sedangkan Mbak Indah berjudi di sebelahnya. Sejak penghasilannya menurun karena tidak lagi terjun di dunia hitam, Mbak indah semakin menganggapi Mas Fardhan tidak ada harganya. Panti pijat milik Mas Fardhan menghasilkan banyak uang, tetapi Mbak Indah hanya menganggap Mas Fardhan sebagai laki-laki tidak berguna yang tidak bisa memberinya banyak materi. Aku termenung mengingat bagaimana perlakuan Mbak Indah terhadap mas Fardhan yang tidak manusiawi. Mas Fardhan bukan suami, bukan laki-laki, bukan kepala keluarga, apalagi seorang imam di mata Mbak Indah. Mbak indah merendahkan Mas Fardhan kepada siapa pun dan di mana pun. Aku risi melihatnya. Aku jengkel melihat sikap diam Mas Fardhan yang menurutnya adalah sebuah kesabaran dan penembusan dosa di masa lalu. Mas Fardhan tidak mau berjuang lagi, Ia pasrah dan tidak lagi peduli dengan hidup. Aku meyakinkan Mas Fardhan kalau setiap orang pantas mendapat kehidupan yang lebih baik.

    Aku melihat ada cahaya di mata yang kelam itu. Tadi pagi, aku terharu melihat matanya berkaca-kaca ketika aku menyapanya selamat pagi dengan senyum. Seumur hidup, ia belum pernah diperlakukan begitu baik dan hangat. Hatinya tidaklah beku, aku melihat ada kelembutan dan kebaikkan di sana, hanya saja tidak seorang pun pernah menyentuhnya. Aku melihat bagaimana Mas Fardhan dengan mudah mengambil hati sahabat-sahabatku, sepepuku dan aku. Sayang Mas Fardhan tidak bisa lama menemaniku di Solo, ia harus segera kembali ke Balikpapan. Ketika hendak balik ke Balikpapan, Mas Fardhan memintaku untuk kuat. Ia ingin aku sellau mengingatnya di hati. Mas Fardhan menjauhkan tubuhku seakan ingin bisa mencermatiku, merekam wajahku dalam ingatannya.

    “Berjanjilah kamu tidak akan jadi pahlawan kesiangan bagi orang lain. Kamu terlalu baik kepada orang lain, sama seperti kamu telah terlalu baik kepadaku. Kamu juga harus baik kepada dirimu sendiri. Janji??”

    Aku mengangguk dan meminta Mas Fardhan berjnaji mengikuti kata hati. Mas Fardhan banyak belajar dariku tentang kehidupan. Ia akan membuka semua topengnya dan menjadi Fardhan yang pantas untuuku. Ia bersyukur Tuhan telah mempertemukan kami. Aku adalah anugerah terindah yang diberikan Tuhan. Kami berpelukkan dan seperti tidak ingin berpisah. Aku tidak tahu lagi apakah batasan cinta kami salah atau benar. Saat itu, semua aturan, norma dan etika seperti mengabur dari benak dan hati kami. Rasa sayang itu terlalu kuat dan aku membiarkannya mengalir, membiarkannya rasa itu mengaliri hati kami dan kami mensyukurinya sebagai anugerah terindah dari Tuhan. Menatap sosoknya yang tinggi besar itu berlalu meninggalkanku, aku merasakan separuh naapsku terbawa olehnya.

    Awal Desember 2011, Pakde No meninggal mendadak. Semua keluarga dari Mamah berkumpul. Pada saat itu aku pun merasa rapuh, kondisi fisikku menurun secara drastis. Aku sempat menceritakan tentang Zaenal dan kisah perjalananku ke Balikpapan kepada keluarga Mamah setelah pemakaman, tetapi respons mereka mengecewakan. Aku merasa mereka, terutama Mamah tidak responsif dengan kondisiku. Mas Fardhansatu-satunya orang yang memberiku kekuatan meski hanya via telepon. Kami bisa berbicara berjam-jam tanpa merasa jemu. Aku berusaha menasihati Mas Fardhan agar bisa memperbaiki hubungannya dengan Mbak Indah, aku mengajarinya tentang cinta, ketulusan, kejujuran dan hidup. Mas Fardhan memberiku semangat dalam menghadapi Zaenal yang terus menerorku dengan menyebarkan fitnah antara aku dan Mas Fardhan. Zaenal bahkan mengintervensi keluarga Mamah agar aku mau kembali kepadanya. Bulik Mur dan Mamah sempat datang sebelum beliau kembali ke Jakarta dan mengatakan kalau rumahku akan ditebus oleh Om Tono, tetapi dengan syarat aku harus membangun rumah di tanah warisan milik Mamah yang terletak di daerah terpencil. Aku menerima tawaran Om Tono untuk menjual rumahku, tetapi aku tidak bisa menyanggupi untuk tinggal di tanah Mamah. Selain sangat jauh, kondisi fisikku pun terus menurun. Mas Fardhan melarangku tinggal di tanah warisan Mamah karena secara fisik maupun psikis, aku belum siap.

    Zaenal terus membuat janji akan menyelesaikan urusan Bank, tetapi nyatanya semua palsu. Ia sempat menjanjikan akan datang setelah Natal 2011. Aku, Bulik Mur dan pihak bank sudah menunggu dengan notaris, tetapi zaenal tidak muncul. Ia benar-benar seorang penipu dan pengecut. Aku merasa bahwa diriku sendiri, bagaimana bisa selama 13 tahun aku buta pada sifatnya ini. Untungnya, Bank mau memberiku penangguhan sampai akhir tahun 2011. Tahun Baru 2012, mas Fardhan kembali datang ke Solo. Zaenal sempat mengirimi sms mengucapkan selamat tahun baru, tetapi tidak satu pun kubalas smsnya. Bagiku, Zaenal sudah tiada, sudah kubuang jauh dari relung hati dan hidupku. Tempatnya perlahan mulai terisi oleh Mas Fardhan dengan segala kesabaran dan kesederhanaanya yang jauh berbeda dari Zaenal. Bersama Mas Fardhan, aku merasa aman dan nyaman. Aku merasa dapat menjadi diriku sendiri. Selama dua minggu dirumahku, kami mempelajari sifat masing-masing dan menemukan begitu kuat ikatan hati kami. Mas Fardhan memutuskan untuk bercerai dengan Mbak Indah, bukan semata karena aku, tetapi karena ingin mengubah hidupnya, lepas dari semua kemaksiatan yang dilakukan Indah.

    Mas Fardhan menelepon zaenal dan mengatakan kalau aku laki-laki yang luar biasa berharga dan berhati bersih. Mas Fardhan terang-terangan mengakui kalau ia jatuh cinta kepadaku. Dengan arogan, Zaenal mengatakan kalau Mas Fardhan tidak akan bisa merebutku darinya, tetapi Mas Fardhan mengajaknya bersaing secara jujur. Zaenal masih mencoba menelepon dan memengaruhiku lewat keluarga Mamah dan teman-temanku, tetapi aku bergeming. Aku semakin yakin untuk melepasnya dari hati, jiwa dan pikiranku untuk selamanya. Februari 2012, dengan bantuan Mas Fardhan, rumahku bisa ditebus Om Tono tanpa tanda tangan Zaenal. Mas Fardhan berhasil meyakinkan pihak bank kalau Zaenal tidak akan menuntut. Akhirnya, sertifikat rumah bisa kleuar dengan suratnya dari notaris yang melimpahkan tanggung jawab kepadaku dan keluarga. Aku diberi kesempatan tetap tinggal di rumahku sampai bulan Mei. Zaenal sempat mengatakan kepada Bulik Mur kalau ia akan menebus rumahku dengan syarat aku kembali kepadanya, tetapi aku menolak. Aku diberi kesempatan sampai Bulan Mei untuk mencari uang dan menebus rumahku atau Om Tono akan menjualnya. Bulik Mur masih memaksa agar aku membangun rumah di tanah warisan Mamah, tetapi aku menolak karena kondisiku yang tidak sanggup menempuh jarak jauh setiap hari.

    Bulik Mur menegaskan kalau aku harus punya rumah, tetapi uang sisa penjualan rumah tidak akan cukup untuk membeli rumah. Bulik Mur memintaku mengupayakan menebus rumah itu karena sebenarnya Om Tono tidak berniat membelinya. Aku merasa heran dengan sikap Bulik Mur yang mengatakan kalau Om Tono batal membeli rumahku, padahal sudah disepakati bersama. Aku curiga ada intervensi Zaenal dalam hal ini. Setelah kejadian itu, aku dikejutkan sebuah berita. Tanpa sepengetahuanku, tanah yang seharusnya diwariskan kepadaku itu dijual diam-diam. Ketika aku minta penjelasan dari Mamah, ternyata uang itu ada di pihak Bulik Mur. Uang penjualan tanah itu akan diserahkan kalau aku memberikan jaminan BPKB motor yang masih tergadai di pengadaian. Sementara itu, sisa pembayaran rumahku yang dijual akan dibayarkan kalau aku sudah keluar dari rumah. Saat itu aku merasa dikhianati keluargaku sendiri.

    Om Jodi adik Bapakku, suatu hari berkunjung bersama Arla, saudara sepupuku yang belum pernah kutemui sebelumnya. Mas Fardhan sengaja datang dari Balikpapan agar bisa bertemu Om Jodi. Mas Fardhan menceritakan semua kisahku dengan Zaenal yang terkadang seperti di luar logika. Om Jodi percaya kalau Yangkakung memang menjagaku karena beliau juga merasakan itu. Tiga hari Om Jodi dirumahku. Sehari sebelum beliau pulang, beliau ingin ke rumah Mas Handoyo. Tadinya aku takut bertemu dengan Mas Handoyo. Sudah hampir lima tahun kami bersitegang karena Zaenal dan nyaris tidak pernah berkomunikasi kecuali sms saat lebaran. Tidak disangka, Mas Handoyo bersedia datang ke rumahku. Berkat keberadaan Mas Fardhan dan penjelasannya semua kesalahpahaman kami selama bertahun-tahun bisa terselesaikan. Om Jodi dan Mas Handoyo bersyukur aku telah lepas dari zaenal. Mereka bahkan menitipkanku kepada Mas Fardhan agar menjagaku.

    Aku merasa bahagia dengan kehadiran Mas fardhan karena aku bisa kembali dekat dengan keluarga Papah. Di saat bersamaan, kondisiku justru semakin drop. Aku berkali-kali pingsan. Sakit kepalaku semakin parah sehingga berkali-kali aku harus izin sakit. Suasana kantor semakin asing bagiku, terutama tekanan dari Priya yang sangat keterlaluan. Ia tega menuduhku pura-pura sakit dan mengatakan kalau aku makan gaji buta. Namun, aku justru bersyukur kepada Tuhan karena telah memberiku rasa sakit sehingga aku bisa tahu siapa yang sebenarnya temanku dan siapa yang bukan. Beberapa teman kantor bergantian menengokku, kecuali Priya dan mereka yang meragukan sakitku. Aku bersyukur banyak teman yang memeberiku semangat agar tidak memedulikan Priya. Ia ditekan oleh beberapa orang yang tidak suka kepadaku dan melampiaskan kemarahannya kepadaku. Aku berusaha menyingkirkan Priya dari pikiranku meski sangat sulit. Sejujurnya aku merasa sedih dan sakit hati karena telah dikhianati sahabatku sendiri.

    Suatu pagi di awal bulan Februari 2012, ketika aku hendak berangkat ke kantor, aku didera perasaan sakit luar biasa. Mas Fardhan baru tiba kemarin siang dari Balikpapan. Setiap kali mas Fardhan mengunjungiku di Solo, aku bisa menampilkan topeng “baik-baik saja”, tetapi pagi ini aku tidak sanggup lagi. Semua sudah di ujung batas kekuatanku. Aku tidak sanggup memaksakan diri untuk bangun. Mas Fardhan berdiri di pintu kamar dan menyuruhku merangkak. Aku tertegun. Aku merasa mendapat kekuatan baru karena rasa malu dan penasaranku atas ucapan Mas Fardhan. Aku tidak mau Mas Fardhan melihat kelemahanku dan rasa sakit yang telah kusembunyikan bertahun-tahun. Sambil memaksakan sebuah senyuman, aku bangkit dan pergi mandi. Air selalu memberiku kekuatan baru. Ketika aku sudah rapi, aku menemui Mas fardhan yang sedang duduk merokok di ruang tamu. Ternyata Mas Fardhan tahu kalau setiap pagi aku harus merangkak bangun dari tempat tidur dan memaksakan diri berangkat kerja.

    Kedatangan Mas Fardhan ke Solo kali ini diundang oleh suara yang didengarnya seusai shalat tahajud. Suara itu menyuruhnya pergi melihat keadaanku. Ia melihatku berbaring gelisah menahan sakit dan terpaksa merangkak bangun untuk pergi ke kantor. Tiga hari berturut-turut ia melihat keadaanku selalu sama. Ia penasaran, lalu memutuskan untuk datang ke Solo. Mas Fardhan sedih menatapku, aku tergugu dan tanpa sadar air mataku mengalir.

    “Tembok pertahanan diri yang kamu bangun begitu kokoh Sembo. Gila!! Aku mencoba merasakan apa yang kamu rasakan dan aku tidak sanggup. Bagaimana kamu bisa menjalani rasa sakit seperti itu selama bertahun-tahun?? Masya Allah, izinkan aku mencoba untuk meruntuhkannya. Itu bukan kamu yang sebenarnya, Sembo. Kalau kamu mengatakan ‘Aku mengenakan topeng,’ kamu merasa tidak mengenakan topeng, tapi kamu mengurung jiwamu yang ada dibalik sebuah tembok yang luar biasa kokoh. Kamu seperti robot yang kamu perlukan untuk bertahan menjalani satu hari. Kamu melukai dirimu sendiri. Semua sarafmu bisa rusak. Tolong jangan begini, Sembo. Biarkan aku meruntuhkan tembokmu, jadilah dirimu sendiri,,”

    Menurut mas Fardhan, pelan-pelan aku sedang membunuh diriku sendiri. Entah sampai kapan fisikku bisa bertahan. Aku terdiam dan merenungkan semua ucapan Mas Fardhan. Selama bertahun-tahun, aku telah bertahan dan membiarkan tidak seorang pun tahu kondisiku, termasuk Ardi dan Zaenal. Mas Fardhan mengingatkanku kalau setiap manusia punya daya tahan fisik dan punya batas. Aku sudah hampir di ujung batas kekuatanku. Mas Fardhan bersikeras akan menghancurkan tembok pertahanan yang telah kubangun. Aku tidak bisa selamanya menjadi pengecut yang bersembunyi di balik tembok. Padahal di balik itu, aku rapuh, penakut dan lemah. Aku mulai merasakan amarah dan emosi mengusai diriku. Mas fardhan terus berbincang tentang Ardi, Zaenal, Priya dan semua hal yang menyakitkan hatiku sampai akhirnya aku tidak tahan lagi mendengarnya. Aku menjerit marah. Ketika Mas Fardhan mendekatiku, aku mendorong dan menonjok mukanya dengan kencang. Mas Fardhan berusaha memeluk dan menenangkanku yang mulai histeris, tetapi aku terus meronta. Aku menjerit menangis dan histeris. Aku terus meronta sampai kehabisan tenaga dan terkulai dipelukan Mas Fardhan. Mas Fardhan mencium kepalaku, mengusap punggungku dengan lembut, dan membisikkan minta maaf. Matanya berkaca-kaca, ia menjelaskan kalau ia harus membuatku mengeluarkan semua kemarahanku yang selama ini terpendam.

    Aku terisak setelah sekian lama aku bisa melepaskan emosi, kemarahan, kepedihan dan kesakitanku. Mas Fardhan sengaja memancing emosiku agar lepas. Mas Fardhan membujukku pergi ke dokter. Kami menemui beberapa dokter, mulai dokter penyakit dalam sampai dokter saraf, tetapi tetap tidak menemukan jawaban yang pasti. Setelah lelah dari dokter yang satu ke dokter yang lain tanpa menemukan kejelasan tentang penyakitku, aku bertemu dengan dokter Asri.

    “Saya sudah memeriksa. Data riwayat rekam medis Mas. Saya bingung sebetulnya Mas sakit apa. Memang cytomegalovirus akut bisa menyebabkan banyak hal dan itu harus diperiksa lebih lanjut. Sementara ini, saya lebih condong Mas menderita psikosomatis dan depresi sedang,,”

    “Apa itu psikosomatis??”

    “psikosomatis adalah kumpulan gejala penyakit yang dirasakan pada badan dan fisik, tetapi penyababnya dari kondisi psikis, terutama karena depresi. Apabila Mas depresi berat, Mas tidak mungkin datang ke saya dan mengatakan kalau Mas sakit. Acuannya, Mas sudah gila. Bila depresi riangan, Mas tidak akan sesakit dan semenderita sekarang,,”

    Dokter Asri merujukku ke dokter spesialis kejiwaan di rumah sakit negeri agar biayanya tidak besar. Bersama Mas Fardhan, aku menemui dokter Roy Nusa, spesialis kejiwaan di sebuah Rumah Sakit Negeri. Awalnya aku merasa ngeri melihat kumpulan pasien di ruang tunggu yang menurutku tidak ada yang normal. Ada laki-laki berpenampilan punk yang tidak henti-hentinya menggoyangkan tubuh maju mundur. Ada perempuan setengah baya yang tatapannya kosong sambilo memainkan rambutnya. Ada laki-laki lain yang sibuk hilir mudik dengan gelisah. Ada gadis muda yang terus menggumamkan kata-kata tidak jelas, entah kepada siapa. Tidak ada yang berpenampilan bersih dan rapi sepertiku. Aku merasa seperti makhluk ajaib di situ. Mas Fardhan mengenggam tanganku dan berusaha menenangkanku.

    “Jangan takut, ada aku,,” bisiknya.

    Akhirnya tiba giliranku, tetapi Mas Fardhan tidak diijinkan masuk. Dokter Roy Nusa masih cukup muda. Aku menceritakan rasa sakitku juga penyebab mengapa aku dirujuk menemui dokter Roy Nusa. Dokter Roy Nusa memintaku menceritakan kisah hidupku secara garis besar. Aku menceritakan semuanya secara singkat selama kurang lebih satu jam. Selama itu, dokter Roy Nusa terus menatapku heran sambil menggelengkan kepala. Ketika akhirnya aku berhenti bercerita, dokter Roy Nusa menarik napas sangat panjang.

    “Saya harus mengajungkan empat jempol untuk Mas. Luar biasa, baru kali ini saya bertemu pasien dengan konflik yang luar biasa pelik seperti Mas yang bahkan masih bisa menceritakan kepada saya dengan begitu baik dan terperinci. Sementara ini, saya setuju dengan diagnosa dokter Asri. Mas menderita psikosomatis dan depresi. Saya tertarik untuk lebih jauh mempelajari Mas. Saya ingin tahu bagaimana Mas bisa melewati semua konflik dengan begitu kuat, padahal kebanyakan orang sudah tidak sanggup. Saya melihat kemungkinan Mas menderita schizofrenia.”

    Aku shock, sekujur tubuhku seperti lemah tidak bertulang. Aku sering mendengar tentang schizofrenia dari film-film kriminologi, para pembunuh berdarah dingin atau psikopat sebagain besar adalah penderita schizofrenia. Schizofrenia merupakan ganguan mental yang serius. Sudah separah itukah aku?? Dokter Roy terus berbicara menerangkan tentang schizofrenia.

    “Schizofrenia adalah kumpulan gejala penyakit yang bervariasi. Pada umumnya, penyakit ini ditandai dengan penyimpangan mendasar pada pikiran, persepsi, serta perasaan yang tidak wajar, meskipun kemampuan intelektual tetap terpelihara. Schizofrenia meruapakan gangguan mental yang serisu dan ditandai dengan hilangnya kontak dengan realistis atau psychosis, halusinasi, delusi atau keyakinan palsu, berpikir, bertingkah laku dan punya hubungan sosial yang kacau. Penyebab schizofrenia belum dapat dipastikan tetapi gangguannya tampak jelas secara bilogis. Schizofrenia kebanyakan muncul pada orang yang rapuh secara bologis. Tekanan lingkungan sekitar seperti kehidupan yang penuh ketegangan atau penuh masalah dan pelecehan mendasar dapat memicu serangan dan kambuhnya schizofrenia pada orang yang rapuh itu,,”

    Aku bercerita kepada dokter Roy Nusa kalau aku memang merasakan ada dua mata suara yang terus berbicara di kepalaku. Hal yang menakutkan bagiku saat ini adalah kantor. Dari awal pindah ke Solo, aku selalu merasa salah tempat. Situasi kantor yang tidak kondusif semakin melelahkanku. Sering terpikir untuk mengundurkan diri, tetapi aku juga harus realistis. Aku butuh uang dari pekerjaan sehingga aku harus tetap bertahan. Aku menunggu keajaiban, tetapi tidak juga datang. Kebencianku pada kantor begitu besar, sampai aku tidak sanggup kembali ke kantor apalagi setelah kejadian dengan Priya. Aku benar-benar tidak mengerti salahku. Ia ditekan oleh beberapa teman kantor dan terus menyalahkanku. Aku merasa terteror dan terintimidasi olehnya. Kantor adalah tempat yang paling mengerikan buatku. Setiap kali aku hendak berangkat ke kantor, aku seperti seorang pesakitan yang harus menemui algojo untuk dieksekusi. Menurut dokter Roy Nusa, aku mengalami delusi berupa keyakinan palsu yang menganggap kantor adalah sebuah tempat mengerikan. Aku merasa yakin kalau masuk kantor, aku akan tertekan dan disakiti oleh teman-temanku.

    Apakah artinya itu aku positif schizofrenia?? Dokter Roy Nusa belum bisa memastikan, meskipun banyak gejala yang mengarah kesana. Tetapi di pihak lain, aku bisa berbicara dengan sangat jelas, runtut dan terarah. Aku bisa memahami benar perasaanku. Aku sangat waras, bahkan melebihi orang-orang waras. Aku juga tidak bertingkah laku aneh, bingung, berpenampilan acak-acakan, atau berperilaku ekstrim. Dokter Roy Nusa menanyakantentang kejadian empat tahun lalu, ketika aku kehilangan kemampuan berbicara selama beberapa hari. Dokter Roy Nusa menyayangkan sikap keluarga yang menolakku diobservasi lebih lanjut. Dokter Roy Nusa hanya menatapku, menggelengkan kepala dan mengatakan kalau aku pribadi yang kuat.

    “Mas datang kesini dengan suka rela, bahkan Mas ingin mencari kesembuhan. Dalam kasus orang gangguan jiwa, jangankan membawa dirinya ke dokter untuk berkonsultasi, memahami dirinya sendiri saja tidak bisa. Saya akan memberi Mas Obat. Semoga obat ini bisa membantu mengurangi rasa sakit Mas, tetapi obat untuk rasa benci itu hanyalah diri Mas sendiri”

    “Ya saya tahu. Semua kembali pada keikhlasan saya menerima kenyataan. Seandainya saya punya pilihan lain, saya pasti sudah mengundurkan diri,” aku mendesah,,,, “Berapa lama saya bisa sembuh dan kembali ke kantor dok??”

    Dokter Roy Nusa tidak bisa memastikan. Ia pernah punya pasien yang ketakutan dengan kantornya dan baru bisa kembali setelah dua tahun. Ia tertarik untuk mempelajari kasusku lebih lanjut, tetapi karena di Rumah Sakit ini ada keterbatasan waktu ia tidak punya praktik pribadi, dokter Roy Nusa menyarankanku untuk mencari dokter spesialis kejiwaan atau psikiater yang memiliki praktek pribadi. Aku mendesah, sudah terbayang mahalnya biaya yang harus kukeluarkan kalau aku harus menemui psikiater pribadi. Aku mengeluhkan sikap kantor yang tidak koorperatif karena secara fisik aku terlihat sehat.

    “Itulah susahnya penyakit karena gangguan kejiwaan. Bagi sebagian besar masyarakat yang dinamakan sakit hanyalah sakit fisik yang mengharuskan kita berbaring tidak berdaya. Saya akan buatkan ijin cuti Mas selama satu bulan. Kita lihat respons kantor seperti apa.”

    Keluar dari ruang praktik dokter Roy Nusa, aku merasa seperti kehilangan separuh nyawaku. Pikiranku kacau. Schizofrenia. Betapa mengerikan!! Bagaimana orang-orang disekelilingku bisa memahami itu?? Mas Fardhan memeluk, menghibur dan menguatkanku dengan segala kesabaran dan kebaikkannya. Aku merasa sedikit terhibur, tetapi aku tidak mau menjadi seorang schizofrenia!!

    Dendy menghiburku,, “Aku sering berhalusinasi , sering bicara sendiri, aku bahkan punya teman khayalan. Aku juga schizofrenia dong Mas,,” Ia tertawa

    Aku dan Dendy bagaikan bumi dan langit, Dendy adalah sepupuku sekaligus sahabatku yang selalu lurus dan rasional, sedangkan aku selalu implusif dan irasional. Meski begitu, Dendy menjadi sepupu dan sahabatku yang jujur.

    “Mas selalu lebih kuat dari apa yang dikata orang. Pikiran Mas akan menjadikan siapa diri Mas. Please come back. Aku mau melihat Mas Semboku yang dulu, yang selalu tersenyum dan bangkit setiap kali Mas jatuh, yang selalu optimis menjalani hidup sepahit apapu. Aku akan membantu semampuku Mas. Jangan menyerah hanya karena schizofrenia yang belum tentu benar,,” Dendy tersenyum,,, “Di mataku, Mas selalu menjadi Kakakku yang gila. Segila apapun, Mas Sembo tetaplah Sembo, selamanya Kakakku. Suatu hari nanti, aku akan melihatmu bangkit, kembali ke kantor dengan kepala tegak. Tidak lagi menghiraukan siapa pun yang sama sekali tidak mengerti siapa Mas. Aku yakin itu,,”

    Kami berpelukan. Saat itulah, aku merasa sangat bersyukur kepada Tuhan. Aku mendapat banyak anugerah di balik setiap cobaanku. Aku tidak perlu sedih hanya karena seorang Priya atau karena apa pun. Aku memiliki Mas Fardhan, Mas Harry, Nuril, Freny dan sahabat-sahabat ku yang lain. Mereka ada buatku, mereka sayang kepadaku, mereka melihatku dari apa yang terpancar dalam hatiku. Tidak semua orang seberuntungku. Tuhan selalu ada untukku bahkan di kala aku mengabaikan dan meninggalkan-Nya. Tuhan tidak memberiku segala yang kuminta, tetapi memberikan yang kubutuhkan, dan bila Tuhan menghadirkan cinta seseorang dalam hidupku, aku akan mencintainya karena cintaku kepada Tuhan........
  • masih dong mas, kan banyak dapet ilmu. sayang kalo ceritanya dilewatin. pokonya ceritanya harus tamat yah mas. hehehe.

    psikosomatis dan schizofrenia.. penyakit kejiwaan mengerikan gt yah. perlu ga setiap orang tes kejiwaan?
  • masss fardhann..!! hihiji

    mention terus ya banggg^^ suka2 jangan di tamatin dulu...buat panjangggggggggggggg.. panjangggghgg....ceritanya seru!!
  • Semoga Mas Fardhan gak seperti Zaenal,awalnya baik lama kelamaan jadi jahat....
  • Kepada para calon dokter, para orangtua yang ingin anaknya menjadi dokter, dan untuk kita sendiri, dokter Indonesia. Sebagai pengingat alasan kita memilih profesi ini.... *Well done FK UNAIR, IDI dan POGI Surabaya...*

  • kenapa zaenal gak mati aja sih, udah matre, egois pula huuu
    om bisa singkirin zaenal kayak ardi nggak, hehehe
    *semoga mas fardhan jadi orang terakhir di hidupnya mas sem N yg sungguh2 menyayanginya
  • @d_cetya ini mah kisah nyata, gak misa main bunuh2 sembarangan :P tapi setuju juga sih :D semoga mas fardhan gak kayak zaenal
  • ternyata @Rendesyah dokter kandungan yah? obstetri dan ginekolog? tapi kok ga buka praktek malah jadi peneliti?
  • ternyata @Rendesyah dokter kandungan yah? obstetri dan ginekolog? tapi kok ga buka praktek malah jadi peneliti?
  • oh iya mau nanya gimana dulu proses adopsi karen? banyak gay yg mau punya anak tapi ga mau nikah. daripada nyakitin istri kan mending adopsi anak aja
  • iya aku tau ko' @elul kn emang ceritanya om Ren real story semua, kn aku bilang kalau bisa :P

    ayo mana toby ma momond cepetan di up :P
  • gkgkgk... nnti deh @d_cetya kalo sudah nulis, sekarang lagi males :D
  • hadeh, dasar @elul kapan km gak malesnya? perasaan males terus deh xixixi
  • iyah, sembo bisa melewati semua ini kalau bukan kekuatan jiwa yang lebih mirip 'demi god' atau ada seseorang yang melindungi.
Sign In or Register to comment.