It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
sembo kok hidupnya keluar masuk RS terus...
aku ndak mudeng nama penyakit yg diderita oleh sembo...
Salut bikin getar baca nie story...
@3ll0 – Iya mas,,,tapi mau gimana lagi saya menulis juga berdasarkan apa yang dikatakan narasumber,, jadi seperti itu,,, hihihihi
@arieat – Semoga ya mas,,,,
@erickhidayat – Iya mas sangat begitu berat,, tapi saya yakin dengan sembo menjalani itu dengan kuat,,,
@Zazu_faghag – Iya sabar ko yang ng-update,,,
@d_cetya – iya mbak,,, hehehehe,, maaf lupa melulu,,,
@Needu – Hehehe,, iya mas sabar ditunggu ya ceritaku,,, selamat membaca ceritaku ya mas,,, mampir juga ke tiga ceritaku yang sudah selesai,,, Makasih banyak mau membaca cerita ini
@elul – yang pasti aku bercerita berdasarkan narasumberku,,, hehehehe,, jadi bisa dikatakan ini nyata mas,,,
@GeryYaoibot95 – Iya maaf ya tragis,,,
@Needu
@marobmar
@hantuusil
@lian25
@jokerz
@khieveihk
@Brendy
@Just_PJ
@nakashima
@timmysuryo
@adindes
@Bonanza
@handikautama
@kiki_h_n
@dak
@Zazu_faghag
@ramadhani_rizky
@Gabriel_Valiant
@Syeoull
@totalfreak
@Yogatantra
@erickhidayat
@adinu
@z0ll4_0II4
@the_angel_of_hell
@Dhika_smg
@LordNike
@aii
@Adra_84
@the_rainbow
@yuzz
@tialawliet
@Different
@azzakep
@danielsastrawidjaya
@tio_juztalone
@Brendy
@arieat
@dhanirizky
@CL34R_M3NTHOL
@don92
@alamahuy
@jokerz
@lian25
@drajat
@elul
@Flowerboy
@Zhar12
@pujakusuma_rudi
@Ularuskasurius
@just_pie
@caetsith
@ken89
@dheeotherside
@angelsndemons
@bayumukti
@3ll0
@jamesfernand084
@arifinselalusial
@GeryYaoibot95
@OlliE
@callme_DIAZ
@san1204
@Bintang96
@d_cetya
@catalysto1
@Monster_Swifties
@arya404
“Mas sudah memutuskan menerima Zaenal??” Dendy tersedak dan buru-buru meminum teh manisnya.
Lama ia terdiam menatapku. Lidahnya terasa kelu. Dendy meminum teh manisnya lagi sebelum menjawab,, “Aku bingung harus berbicara apa. Apakah aku harus memberi Mas selamat atau aku harus bersedih atas keputusan Mas?? Jujur bukan keputusan seperti itu yang kuharapkan darimu Mas,,”
Aku tertunduk memainkan mi goreng di mangkuk dengan garpu. “Aku sendiri tidak tahu kenapa aku mau melakukannya. Semua seperti di luar kesadaranku,,” Aku mendesah, lalu meletakkan garpuku, selera makanku sudah hilang.
“Kalau aku tidak kenal Mas, aku pasti mengira Mas lagi mabuk, Mas mengambil keputusan untuk hidup bersama dengan Zaenal?? Kamu sadar enggak sih, Mas??”
Aku menggeleng lemah. “Aku enggak tahu. Sampai sekarang, rasanya aku masih merasa mimpi. Mungkin begitu ya, orang dalam pengarug drugs atau narkoba. Padahal aku enggak pernah menyentuh barang-barang seperti itu. Kenapa aku bisa kayak orang mabuk dan linglung begitu??”
“Ya Allah Mas!! Jangan-jangan Mas diguna-guna...” Dendy meminum teh manisnya sampai habis, seakan ia sangat kehausan.
“Kenapa Mas baru cerita sekarang??” Dendy memesan segelas teh manis lagi kepada pelayan restoran. “Ya, aku tahu. Pasti Mas takut aku akan mencegahmu kan??”
Aku menganggak,,, “Ya...mungkin,,”
“Jelas saja aku akan mencegahmu mas!! Kamu sadar enggak Mas, kamu mengorbankan segalanya untuk sesuatu yang tidak pasti. Hubungan seperti Mas itu tidak memiliki ikatan hukum, kamu tidak bisa menuntut ia kalau sesuatu terjadi,,”
“Aku membuat surat perjanjian,,” Aku menyodorkan surat perjanjian yang kubuat bersama Zaenal kepada Dendy.
“ Tanpa saksi yang jelas, tanpa pengesahan secara hukum. Hanya materai?? Kamu dibodohi Mas,,” Dendy menarik napas panjang,,, “Aku sayang kamu Mas. Jujur aku menyayangkan keputusan Mas, terutama untuk kehidupanmu. Aku tahu kamu sendiri tidak nyaman. Aku tahu Mas butuh keluarga utuh seperti pasangan gay yang hidup bersama, apakah Zaenal menjamin semuanya Mas, rasa aman, materi dan tanggungjawab?? Kamu justru menempatkannya pada situasi yang membuatmu akan dihujat orang. Apa Mas lupa pada janji Mas dulu?? Mas lahir dari keluarga broken home, Mas dulu pernah berjanji walaupun hidup bersama dengan laki-laki tapi tidak akan menempatkan Mas di posisi seperti dulu, tapi kenapa Mas sekarang melakukannya?? Ada apa dengan kamu Mas?? Aku merasa ini tidak seperti kamu. Selama ini aku mengira Mas orang yang rasional, tapi sekarang Mas membiarkan diri Mas terbawa oleh emosi dan egoisme, kamu belum gila kan Mas?? “
“ Please........” Aku memohon kepada Dendy,,, “Tolong jangan ceramahi aku lagi. Aku capek. Aku tahu, aku bodoh. Aku mungkin memang sudah gila,,” aku nyaris menangis,,,,
“Ya sudahlah semua sudah terjadi. Bagaimanapun juga aku harus memberimu selamat. Sekarang kamu sudah menjadi seorang pasangan dari orang yang kamu cintai. Aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk Mas,,” Dendy memelukku,,, “ Selamat ya Mas...”
“Terima kasih,,” entah kenapa aku merasa sangat tidak bahagia karenanya.
Hanya sebulan aku menikmati masa indah bersama Zaenal. Zaenal mondar-mandir Jakarta-Solo setiap akhir pekan. Bulan Agustus, Zaenal ditugaskan di Sulawesi Barat. Dua hari pertama, komunikasi kami masih lancar, namun ketika ia dalam perjalanan menuju Desa Pattidi yang terletak sekita lima kilometer arah selatan Kota Mamuju, komunikasi kami tiba-tiba terputus. Aku menunggu kabarnya selama dua hari, tetapi tak ada berita. Akhirnya, Zaenal pernah berpesan kalau aku membutuhkan sesuatu, aku disuruh telepon Empi. Ketika aku baru saja menyebutkan namaku, semua sumpah serapah, caci maki dan kata-kata kotor keluar dari mulut Empi. Aku menghapus air mataku yang nyaris tumpah, lalu pamit kepada teman kantorku untuk pulang cepat karena tidak enak badan. Aku pergi ke rumah Dendy dan menangis disana. Empi terus menerorku dengan telepon dan sms yang tak satu pun aku jawab. Dendy mendengarkan semua ceritaku dengan sabar, ketika aku sudah mulai kehabisan air mata, handphone-ku berbunyi lagi. Kali ini bukan Empi, tapi Zaenal.
Aku segera mengangkat telepon Zaenal dan memberondong dengan banyak pertanyaan. Zaenal menjelaskan kalau ia mengalami kecelakaan dan tidak sadar diri selama beberapa lama. Handphone-nya rusak. Ia baru saja diantar sampai Mamuju dan membeli handphine baru agar bisa menghubungiku. Aku menanyakan keadaannya, Zaenal bilang kalau ia sudah baik-baik. Aku lalu menceritakan semua tentang Empi. Zaenal marah mendengar ceritaku, ia lalu menelepon Empi dan kelihatannya mereka bertengkar hebat. Empi sms dengan kata-kata kasar yang isinya menuduhku sebagai laki-laki pengadu dan tukang adu domba. Zaenal meneleponku dan mengatakan kalau ia meminta Empi untuk meminta maaf, tetapi Empi tidak mau. Zaenal mengancam akan putus hubungan persaudaraan kalau Empi tidak mau minta maaf.
Aku merasa bersalah. Setelah kejadiaan itu, Zaenal sering sekali mengungkit-ungkitnya. Hubungan kami juga memburuk, terutama ketika Dian tiba-tiba sms menanyakan apa benar aku sudah membuat Zaenal kembali menjadi Gay, dan apa benar aku sudah hidup bersama dengan Zaenal. Hubungan kami pun terus memburuk dan Zaenal jarang ke Solo. Menjelang lebaran, aku meminta Zaenal untuk pulang saat lebaran. Betapa sakit hatiku ketika Zaenal menolak dengan alasan ia sudah lama tidak lebaran dengan keluarganya. Aku memohon, tetapi Zaenal tetap tak peduli. Ia justru mematikan handphone-nya. Ketika aku mencoba menghubunginya kembali, handphonenya tidak aktif. Aku terduduk di lantai wartel, tempatku menelepon, karena baterai handphone-ku mati. Laki-laki penjaga wartel mendekati dan membantuku berdiri. Aku mencoba berdiri, tetapi kemudian aku pingsan. Ketika aku sadar, ia memberiku segelas teh manis hangat yang langsung kuteguk hingga tandas. Aku baru ingat kalau aku belum makan apa-apa dari kemarin. Penjaga wartel, yang aku lupa siapa namanya, menawarkan untuk mengantarku pulang. Sesampainya di rumah, aku kembali ambruk dan tidur seharian. Aku menangis sepanjang hari sambil terus mencoba menelepon Zaenal, tetapi tidak berhasil. Aku merasa kesepian dan sendirian hingga aku memutuskan untuk menelepon Mas Harry.
Aku menggambarkan Mas Harry sebagai seorang laki-laki berpenampilan kasar dengan gaya bicara meledak-ledak, blak-blakan, berhati batu dan sedikit egois. Namun, dibalik penampilannya yang seperti itu tersimpan hati yang baik dan rapuh seperti perempuan. Ia memang terkadang labil, sedikit emosional, tetapi di lain waktu bisa menjadi sangat tenang dan terkontrol. Mas Harry orang yang paling mengkritikku dengan keras. Aku tahu ia tidak bermaksud jahat, ia melakukannya karena peduli kepadaku, bahkan mungkin menyanyangiku lebih dari yang ia akui. Hubungan kami terlihat rumit dan unik, tetapi sebenarnya sangat sederhana. Ia sahabat lelakiku yang terbaik. Kepadanya, aku tidak sungkan meminta tolong dan aku tahu aku bisa memercayainya. Ia juga menganggapku sebagai laki-laki istimewa dalam hidupnya. Laki-laki yang digambarkan sempurna dengan kelebihan dan kekuranganku. Menurutnya, semua laki-laki gay atau wanita seharusnya merasa beruntung bila mendapatkanku. Meski begitu, ia tidak cukup berani meraihku menjadi miliknya, bahkan seandainya aku memberi kesempatan. Mas Harry merasa sudah cukup berbahagia dengan menjadi seseorang yang ada disisiku kala aku ingin menangis, sakit, dan membutuhkan teman bicara.
Proses perkenalanku kami sangat unik. Aku mengenalnya sebagai sahabat Ardi. Seseorang yang kuanggap setali tiga uang dengan Ardi. Bagaimana tidak, setiap hari aku melihat ia hadir dirumahku dan pergi bersama Ardi setiap malam. Aku tahu Ardi pergi untuk bermain dengan laki-laki lain. Hubungan kami awalnya tidak pernah baik, bisa dikatakan aku membencinya dan aku tidak pernah merasa berniat munafik dengan bersikap ramah kepadanya. Hampir setahun, setiap hari aku bertemu dengannya tanpa pernah bertegur sapa. Percakapan pertama kami dimulai ketika kebulatanku untuk berpisah dengan Ardi sudah mencapai puncak. Suatu malam aku menelepon dan memintannya datang menemuiku di rumah sepupuku Dendy. Aku tidak banyak berharap ia akan datang karena ia teman Ardi. Apa mungkin ia mau menolongku untuk berpisah dengan Ardi?? Tapi tidak ada salahnya aku mencoba. Tak disangka, Mas Harry mau datang.
Ternyata Mas Harry tidak sekasar yang kubayangkan, ia cukup sopan, ramah bahkan koorperatif. Ia menjadi pendengar yang baik ketik aku menceritakan kondisi kehidupanku dengan Ardi yang sebenarnya sudah ia tahu. Mas Harry membenarkan semua kisah yang aku ketahui tentang Ardi. Satu hal yang aku sukai dari sikpanya saat itu, ia tidak memihak. Ia berdiri di posisi netral, ia hanya mengatakan sebuah kebenaran tanpa pernah bermaksud memperkeruh suasana, seperti yang dilakukan teman-teman Ardi yang lain. Sejak saat itu hubungan kami menjadi lebih dekat. Seperti ada sebuah ikatan di antara kami. Tanpa pernah kami bahas, sesungguhnya Mas Harry memahamiku dan sebaliknya akupun memahaminya. Kami menjadi sahabat tanpa pernah terlalu jauh merecoki urusan masing-masing. Kami saling mengingatkan, tertawa bersama, menangis bersama, bertengkar, berdiskusi, berbeda pendapat dalam banyak hal, dan itu tidak kami dapatkan dari orang lain. Kami adalah dua orang yang jauh berbeda, tetapi justru saling mengisi. Kami saling menghargai perbedaan. Aku berharap, persahabatan kami bisa abadi selamanya, bila saja keabadian itu ada.
Mas Harry datang begitu aku meneleponnya. Aku menceritakan tentang hubunganku dengan zaenal, alasanku memilih Zaenal, perubahan Zaenal, kekecewaanku dan semuanya. Ia mendengarkan ceritaku dalam diam sambil terus mengisap rokoknya. Setelah aku selesai bercerita, ia menyondorkan teh manis yang tadi kubuatkan untuknya kepadaku. Aku meminumnya seteguk, lalu menatap Mas Harry dengan putus asa dan mulai menangis. Mas Harry meraih tanganku dan menggenggamnya. Ia menawariku pergi ke Jakarta mencari Zaenal. Ia kaget karena aku tidak tahu alamat tempat tinggal Zaenal. Ia berkesimpulan kalau aku telah di-pelet dengan ilmu hitam. Aku segera menyangkalnya karena menurutku Zaenal tak mungkin melakukannya. Mas Harry menanggapi ketidakpercayaanku dengan sinis. Baginya, hati orang tak ada yang tahu.
Aku merenungkan kata-kata Mas Harry selama beberapa hari. Zaenal tak ada kabar. Aku tersiksa dengan sakit kepala, insomnia dan perasaan putus asa yang kurasakan seperti mencekik leher. Pernah suatu ketika aku merasa tak tahan dengan rasa sakitku saat mengendarai motor berkeliling kota Solo sampai kehabisan bensin, lagi-lagi aku menelepon Mas Harry. Mas Harry datang menjemputku dengan membawa bensin. Ia mengikutiku sampai rumah dan menemaniku ngobrol. Kehadiran Mas Harry sedikit menenangkanku, tetapi ketika ia sudah pulang, aku kembali kesulitan tidur, dihantui mimpi buruk dan sakit kepala yang tak tertahankan. Aku mulai dilanda kecemasan, panik, paranoid untuk hal-hal yang tidak jelas, bahkan histeris di waktu-waktu tertentu.
Delapan hari sejak terakhir aku mendengar kabar dari zaenal, aku terduduk di kursi kantorku. Aku melamun, pikiranku kosong. Eki meneleponku dan memberi kabar tentang Zaenal. Sebelumnya, aku memang sempat menelepon dan menyuruhnya mencari Zaenal. Menurut Eki, zaenal sudah seminggu tidak masuk kantor, Eki sudah mencoba menelepon ke rumah ibunya dan diberi tahu oleh pembantunya kalau zaenal sakit. Eki menyesali keputusan kami dan memintaku membatalkan semua apa perjanjiang dengan Zaenal, tetapi aku bersikeras tidak mau membahasnya dan meminta Eki untuk terus mencari kabar tentang Zaenal. Demi aku, Eki mau melakukannya.
Lama aku merenungi percakapanku dengan Eki. Aku hanyut dalam pikiranku sendiri sampai tidak sadar sudah waktu pulang kantor. Beberapa temanku berpamitan pulang, tetapi tidak kuhiraukan. Tatapanku kosong dan tiba-tiba aku merasakan seluruh tubuhku lunglai. Ketika sadar, aku sudah berada di rumah sakit, menurut cerita teman-teman aku terus menangis dan berteriak histeris. Aku kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta bagian kejiwaan. Aku dinyatakan mengalami depresi berat. Aku bahkan tak bisa mengenali Mas Handoyo dan Bude Ari yang kemudian datang ke rumah sakit. Mas Handoyo membaca semua isi sms-ku, percakapanku dengan Zaenal semuanya kusimpan. Ia juga menelepon Eki untuk menanyakan kebenaran berita kalau aku telah berhubungan dengan dengan Zaenal. Mas Handoyo marah kepada Zaenal yang tidak bertanggung jawab. Ia coba menghubungi Zaenal, tetapi tidak juga mendapat jawaban karena handphone Zaenal semua tidak aktif. Mas Handoyo berpesan kepada Eki agar mengupayakan Zaenal datang ke Yogyakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Aku membisu. Aku tak bisa berbicara selama tiga hari. Aku hanya menatap kosong semua orang yang datang menjengukku juga teman-teman kantorku dan Mas Harry yang bergantian di rumah sakit. Ketika Mama dan Bulik Mur datang di hari kedua, aku masih membisu. Dokter menyatakan aku mengalami tekanan mental yang berat sehingga harus ditangani psikiater. Mama menolak keras, ia tidak mau menerima kenyataan kalau aku sudah di ambang batas kewarasanku. Satu-satunya yang membuatku belum dikatakan gila hanyalah aku masih mau mandi dan memerhatikan kebersihan diriku sendiri. Pada hari ketiga, Zaenal datang bersama Eki. Aku hanya menatapnya kosong. Zaenal tampak terpincang-pincang. Kata Eki, ia terserang stroke ringan. Zaenal duduk disampingku, menyuapi makan dan terus mencoba mengajakku bercakap-cakap. Tak henti-hentinya ia meminta maaf kepadaku dan menjelaskan kalau ia terserang demam tinggi dan tidak ingat mengisi baterai handphone-nya. Ketika Eki datang kerumahnya dan mengabarkan kalau aku masuk rumah sakit. Zaenal langsung memaksakan diri untuk datang.
Malam itu juga, Mama dan Bulik Mur memaksaku pulang meski dokter melarang. Mama juga tidak memberi kabar kepada Mas Handoyo sehingga ketika Mas Handoyo datang ke rumah sakit, ia mendapati kamarku kosong. Mas Handoyo sangat marah dan merasa tidak dihargai. Sejak itu, hubunganku dengan Mas Handoyo memburuk selama bertahun-tahun, kesalahpahaman yang nyaris tak pernah kami selesaikan. Sesampainya di rumah Mamah menceramahi zaenal tentang kondisiku. Mamah berhasil membuat zaenal berjanji untuk datang pada hari lebaran. Mamah sempat menegur Zaenal, kalau ia sampai tega menyakitiku setelah tahu kisaj hidupku, itu artinya ia bukan manusia. Zaenal kembali ke Jakarta keesokan harinya dengan alasan pekerjaan. Tetapi kemudian, aku mendengar dari Eki kalau ternyata Zaenal menunggu Dian di rumah sakit. Aku marah besar. Kami bertengkar hebat di telepon sampai akhirnya aku nyaris mengiris nadiku dengan pisau kalau tidak dihalangi Mamah. Aku merasakan emosiku mulai sangat labil dan meledak-ledak. Kemungkinan, saat itu aku sedang dalam fase mania yang membuat si penderita mudah marah dan tersinggung sehingga sering kali berbuat sesuatu yang berisiko tinggiatau cenderung melakukan hal-hal yang dapat membahayakan jiwa penderita.
Harapanku untuk bisa Shalat Idul Fitri bersama zaenal pupus. Meskipun aku telah berusaha mencarikan dan membelikan tiket peswat, Zaenal baru tiba di Solo pada malam lebaran hari pertama. Keesokan harinya, Mama kembali ke Jakarta dengan alasan sudah ada Zaenal yang menemaniku. Malam lebaran kedua, Dian menelepon dan mengabari kalau Dinda sakit paans. Dian mencaci makiku, sementara Zaenal hanya diam. Keesokan harinya, Zaenal memaksa kembali ke Jakarta dan aku memaksa untuk ikut. Zaenal menolak, sementara aku bersikeras dengan harapan dapat bertemu dengan keluarga Zaenal. Kami bertengkar hebat sampai Bulik Mur datang kerumahku dan menengahi pertengkaran kami. Zaenal akhirnya mengalah, membiarkanku ikut bersamanya. Aku dan Zaenal ke jakarta dengan bus karena hanya kendaraan itu yang ada saat lebaran. Perjalanan panjang yang macet selama 27 jam kami tempuh dalam kebisuan. Zaenal bersikap sangat dingin, membuatku terpaksa menahan isakku. Aku terlalu malu untuk menangis didepannya. Hatiku sakit.
Zaenal mengantarkanku ke rumah Mamah. Tanpa banyak basa-basi, ia langsung meninggalakanku begitu saja di sana. Sejak saat itu, handphonenya kembali tidak aktif. Mamah mengomel tiada henti, membuat sakit kepalaku makin tak tertahankan. Aku makin tenggelam dalam rasa frustasi. Pada hari kedua setelah Zaenal tak ada kabar, aku menelepon Tante Dija sambil menangis. Aku meminta tante Dija menjemputku karena kau sudah tidak tahan mendengar omelan Mamah tentang Zaenal. Tak lama kemudian, Tante Dija menjemputku, Mama membiarkanku pergi karena pada malam harinya, beliau ada acara arisan dengan keluarga suaminya di rumah. Kehadiranku hanya akan mempersulit Mamah. Di dalam mobil Tante Dija, sepanjang perjalanan ke rumah tante Dija yang dulu pernah kutinggali, aku menangis dan menceritakan segalanya. Sesampainya di rumah Tante Dija, aku pingsan dan jatuh sakit. Tante Dija dan Om Agung berunding untuk mencoba menemui Zaenal dan keluarganya. Tante Dija bahkan menelepon Om Tono untuk bersama-sama menemui keluarga Zaenal dan meminta tanggung jawab. Ketika handphone Zaenal aktif, Tante Dija menyampaikan keinginan keluarga untuk bertemu Zaenal dan keluarga. Zaenal tampak panik dan segera berjanji untuk menemuiku di rumah Tante Dija malam itu juga.
Malam itu Zaenal datang, Om Agung yang tak pernah menyukaiku sejak dulu, segera menginterogasinya. Begitu juga dengan Om Tono via telepon. Pada intinya keluargaku menyayangkan semua sudah kami lakukan dan menyalahkan Zaenal atas depresi yang aku alami. Aku baru saja selesai melewati sebuah proses perpisahan dengan Ardi yang panjang dan meletihkan, Zaenal justru memperburuk keadaan dengan memtuskan hidup bersama denganku. Om Agung bersikeras ingin membatalkan semua apa yang sudah aku jalani dengan Zaenal, tetapi Zaenal menolak. Zaenal berjanji akan bertanggung jawab. Beberapa hari, ia tidak nmenghubungiku karena sibuk mengurus anaknya yang sakit. Ketika Om Agung ingin bertemu dengan keluarga Zaenal, zaenal beralasan kalau ibunya sedang sakit dan sebagainya. Seharusnya, saat itu aku sudah menyadari kalau ada yang tidak beres dengan niat Zaenal untuk menjalin hubungan denganku. Aku lebih banyak diam daripada ikut memberondong Zaenal dengan pertanyaan. Seharusnya aku merasa sakit hati dan kecewa dengan semua jawaban Zaenal yang terkesan mengada-ada, tetapi entah kenapa, hatiku seperti dibutakan. Aku tidak berkutik didepannya. Ketika Zaenal mengajakku keluar untuk makan malam, aku menurut saja.
Kami makan malam di sebuah kafe tenda yang saat itu sedang menjamur di Jakarta. Aku memilih sepotong roti bakar keju, sedangkan Zaenal memesan soto betawi kegemarannya. Sejujurnya, aku tidak berselera makan. Menatap wajahnya yang tanpa dosa membuat hatiku terluka lagi. Aku merasa marah kepada diriku sendiri. Terbayang dimataku, kemarahan Mas Handoyo, ucapan Eki, omelan Mamah, nasihat tante Dija dan Om Agung. Apa sih yang sedang kupertahankan dengan zaenal?? Kehidupan macam apa yang sedang kujalani?? Apa yang kuharapkan dari laki-laki seperti zaenal?? Ia tidak lebih baik dari Ardi. Kehidupan yang ia berikan kepadaku bahkan lebih menyakitkan. Aku benar-benar terjerumus ke dalam lubang kepedihan. Keluar dari mulut buaya, tetapi terjebak ke kandang harimau. Zaenal meraih jemariku dan meminta maaf. Aku hanya menatapnya, mencoba menerka apa yang ada di pikiran laki-laki di depanku ini. Sembilan tahun kupikir sudah cukup untuk mengenalnya dan mengetahui seberapa benar ia mencintaiku, tetapi nyatanya tidak. Aku tidak pernah tahu dan tak pernah bisa menebak jalan pikirannya. Dulu, Ardi seperti memiliki dua kepribadian ganda antara sikap baik dan sikap kasarnya. Kini saat menatap Zaenal, entah kenapa aku bergidik. Aku teringat pada sikap dinginnya selama 27 jam di atas bus. Laki-laki itu bisa sangat kejam, keputusan kami adalah kekeliruaan besar. Aku meminta untuk mengakhiri hubungan kami. Di mataku, Zaenal belum siap dengan konsekuensinya dari apa yang telah ia pilih. Aku menyuruhnya kembali kepada Dian.
“ Aku yang salah, Sam, Aku yang menyeretmu. Perkawinanku dengan Dian sudah lama hancur. Kamu tidak terlibat apa-apa dalam kehancuran itu. Aku akan tetap bercerai dari Dian. Aku akan buktikan itu. Beri aku waktu, Sam,,”
Zaenal terus meminta maaf. Ia berjanji akan berjuang lebih keras lagi karena ia sungguh-sungguh mencintaiku. Aku hanya menyerah pada kegigihannya dan menyadari kebodohanku yang selalu memaafkannya. Ya, aku selalu memaafkan zaenal. Entah kenapa, ia sellau bisa membuatku luluh, seakan-akan masih selalu tersisa tempat dihatiku untuk ia lukai, tetapi kali ini aku sungguh mulai berpikir tentang hubungan kami yang makin terasa menyakitkan dan menyesakkan. Sebetulnya bukan masalah materi yang kupikirkan, tetapi sikap Zaenal yang tidak menunjukkan tanggung jawabnya sebagai seorang pasangan dan sosok yang kubutuhkan, terutama setelah kegagalanku dengan Ardi. Bagaimana hubungan kamibisa berjalan baik kalau hanya bertemu dalam dua hari satu malam setiap dua minggu sekali?? Bagaimana komunikasi bisa berjalan lancar kalau Zaenal sering menghilang tak bisa dihubungi?? Ia seperti hidup dalam dunia yang tak kukenal. Hubungan kami seperti hanya sebuah perzinaan yang tidak ada artinya... Ya Tuhan aku lelah.....
Tante Dija mengajakku ke rumah Tante Dien, seorang dokter sekaligus terapis herbal yang tinggal hanya beberapa rumah dari Tante Dija. Aku diterapi oleh Tante Dien dan banyak diajak berdialog. Tante Dien seorang janda cerai, suaminya berselingkuh dengan sahabatnya dan kini mereka hidup bertetangga. Sungguh ironis, Tante Dien mengajakku bertemu dengan temannya, dokter Elvida, seorang dokter, terapis dan seorang pembaca aura. Tempat praktik dokter Elvida juga merupakan tempat praktik Tante Dien yang terletak di daerah cempaka putih. Dokter Elfida seorang wanita cantik dan halus, wajahnya seperti peranakan Arab. Aku diterapi menggunakan batu-batuan panas yang ditempelkan di tubuh, lalu dokter Elvida membaca auraku dan aura Zaenal. Menurut dokter Elfida, aku orang yang sangat disayang Tuhan karena hatiku yang bersih. Hidupku memang tidak mudah, tapi aku akan selalu diberi kemudahan di balik setiap kesulitan. Aku sendiri tidak merasa hatiku bersih karena orang yang hatinya bersih tak akan memiliki pasangan gay yang masih beristri. Aku bertanya kepada dokter Elfida, apakah aku akan berpisah atau tidak.
“Semua keputusan ada ditanganmu, Sayang. Saya hanya bisa bilang kalau kamu terjebak dilingkaran setan. Zaenal sulit lepas dari istrinya karena istrinya keras hati. Kamu terlalu baik untuk terseret di dalam permasalahan mereka yang tidak akan ada habisnya. Di luar lingkaran mereka, kamu masih punya banyak kesempatan, tetapi itu terserah kamu. Apabila kamu bertahan, saran saya di situlah kamu harus belajar artinya ikhlas. Ikhlas dalam segala hal,,,,”
Ikhlas..... sebuah kata sederhana yang terkadang sangat mudah untuk diucapkan, tetapi sungguh sangat dalam makna pemahamannya. Pemahamanku tentang ikhlas dimulai saat niat, dijalani dengan usaha, doa, dan ikhtiar dalam sebuah proses panjang dan dimaknai dalam sebuah akhir bersama penyerahan kita kepada Tuhan. Ikhlas adalah saat kita sudah tidak berharap apapun dari manusia dan hanya menyerahkan segalanya kepada kuasa Tuhan. Bisakah aku menjalani ikhlas itu dalam niatku hidup bersama dengan zaenal?? Dalam usaha, doa dan ikhtiarku untuk bisa mempertahankan semua?? Bisakah aku menyerahkan semua kepada kuasa Tuhan?? Bisakah aku berhenti berharap Zaenal akan menjadi pasangan hidupku yang baik bagiku?? Bisakah aku berhenti berharap ia akan segera menyelesaikan semua urusannya dengan Dian agar bisa bersamaku?? Bisakah aku mewujudkan itu semua??
Bagaimana kalu ternyata semua harapanku hanya harapan semu belaka?? Bagaimana kalau ternyata di luar sana, masih ada harapan bagiku untuk memulai kehidupan baru yang jauh lebih baik?? Bagaimana kalu aku sekarang hanya sedang membodohi diriku sendiri, terjebak dalam janji dan sumpah semu belaka?? Begitu banyak yang menhantui pikiranku. Pikiran-pikiran itu membuatku menerima tawaran tante Dija dan Tante Dien untuk mulai memikirkan perpisahan, Tante Dien bahkan hendak menjodohkanku dengan temannya yang memang gay dan sudah tujuh tahun hidup sendiri. Namanya Arif, ia seorang pengusaha yang cukup berhasil. Laki-laki yang baik, beriman, dan bertanggung jawab. Ia berpisah dengan pasangannya karena ada perbedaan keyakinan. Aku menerima perjodohan itu. Sayang kami belum sempat bertemu selama aku di jkaarta. Kami hanya sempat berbicara singkat di telepon. Aku sendiri jujur kepada Zaenal tentang perjodohan itu. Aku berharap dengan adanya perjodohan ini. Zaenal akan terpacu semangatnya untuk berbuat lebih banyak dalam membuktikan kesungguhannya kepadaku. Zaenal sendiri diam tak bereaksi apa pun tentang perjodohan itu. Ia seperti sudah merasa kalah. Mungkin kedengarannya seperti sebuah permainan yang aneh. Aku sudah berjanji hidup bersama, tetapi dijodohkan dengan orang lain. Hidupku memang aneh.
Andai saja hidup semudah jalan cerita seperti dalam sebuah film, sinetron atau telenovela yang meski penuh intrik dan hiruk pikuk dengan masalah yang begitu rumit, tetapi selalu berakhir happy ending. Sayang hidup tidak selalu seperti itu. Hidu membuat kita harus banyak belajar tentang kesabaran, perjuangan, dan keikhlasan. Sabar yang tiada batas dan bahkan mungkin tak berujung.
Ikhlas..... sebuah kata sederhana yang terkadang sangat mudah untuk diucapkan, tetapi
sungguh sangat dalam makna pemahamannya. ---> suka sama kata2nya (y)
sembo seperti jatuh pada kesalahan yang sama. dan masih beruntung karna orang2 sekitarnya perhatian banget.
Sebuta itukah tentang cinta? Tanpa memandang sekeliling yg banyak menjadi korban kebodohan tentang cinta.
Dari sisi gue sbg reader, setuju ama yang diatas... Sejujurnya, gue berharap banyak dari cerita ini... Tapi penderitaan itu terlalu dieksplor menurut gue, sehingga gue bertanya naas banget yah kalo ada yg hidup seperti itu...
Just curious, apakah author ingin menampilkan tokoh yg "menikmati" posisi dizolimi? Krn dgn beruntunnya penderitaan yg dialami tokoh utama seharusnya menjadikan dia berkepribadian kuat. Tp yg gue baca justru penggambaran tokoh utama malah makin lemah-selemah2nya dan tidak mau keluar dr penderitaan itu...
Alasan "pribadinya terlalu baik" malah terbaca seolah menikmati disakitin
Krn biasanya dari yg gue baca org2 yg memiliki alter, memang mengalami masa suram sewaktu kecil, namun setelah dewasa, penderitaan itu tidak dlm berupa dizolimi terus... Krn bentuk perlawanan yg muncul adalah dgn munculnya alter dlm dirinya yg lebih kuat
Ato mungkin alter tokoh utama sangat terlambat munculnya?
Hanya author yg tau... Anyway keep writing bro...