BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Cerita Seorang Bipolar Disorder Tamat

17810121321

Comments

  • @Rendesyah aman aman, hahhaahahah kaka bisa tau cimanggis? , ceritanya mash complicated ka
  • @rendesyah
    ada satu pertanyaan yang timbul di saya..
    how far this story affecting you coz u the one who made ..
    im young enaff 2 enjoy ur story and old enough knowing that ur story hd been impacting me in a bad way..
    saya sedikit paham akan kompetensi km d medic, tapi ini cukup berat buat pembaca *saya* yang mengikuti dan menikmati karyamu..
  • @d_cetya – hehehehehehehehehehehehe,, maaf ya,,

    @erickhidayat – Yah mas hutannya udah pada ditebang jadi kebun sawit,,, hahahahahahaahaha,, kabar baik-baik aja kan mas,,,

    @arieat – iya nih mas jadi campur aduk,,,

    @Zazu_faghag – iya istilah-istilah kedokterannya belum keluar,, hehehehehe,, mungkin di akhir-akhir cerita akan dimasukan,,,

    @kiki_h_n – waduh mas foto profilnya,, hehehehehehehe,,,

    @handikautama –okeh mas,,

    @mustaja84465148 – semangat ko mas tiap hari,,, mencoba untuk menyelesaikan cerita ini meski lg ribet,,,

    @3ll0 – Cerita belum selesai mas,, hehehehehe,, semoga ada bahagia,,

    @GeryYaoibot95 – tahulah mas cimanggis,,, depok,,, hahahahaha,,, iya mas lagi berusaha menceritakan penyebabnya hingga sembo bipolar mas,,, sabar ya,,,

    @Rizal_acank – makasih mas pertanyaannya,, seberapa jauh cerita ini mempengaruhi saya,, cerita ini banyak mempengaruhi saya bertindak dan berbuat lebih mendalam kepada teman-teman yang terkena bipolar,, 15 Juta orang Indonesia memiliki kasus yang bipolar seperti dalam cerita,, dalam hal bagaimana mereka para bipolar tetap bertahan hidup menjadi sebuah pelajaran yang berarti mas,, bila memang tulisan ini membuat mas menjadi buruk saya mohon maaf,, karena tidak ada mksud untuk seperti itu,,, terimakasih ya mas atas masukannya,,,
  • BAGIAN 8

    Awal tahun 2000, aku mengajukan surat permohonan mutasi ke Solo . Pada awalnya, atasanku keberatan karena karierku akan terhenti di Solo. Niatku sudah bulat, Keluargaku di Solo lebih berarti daripada apa pun, aku telah lama kehilangan Ardi. Ardi sendiri tidak terlalu antusias dengan keputusanku ke Solo, ia gembira tetapi lebih terasa sebagai suati kewajiban. Kewajiban untuk bergembira.

    Zaenal beberapa kali mencoba mengubah keputusanku. Ia memaksa,memohon, bahkan menangis memintaku mengubah keputusan, tetapi aku bergeming. Untukapa mempertahankan cinta semu?? Ia harus bertanggung jawab pada kandungan isterinya. Aku sendiri harus melanjtkan hiduku. Aku bertekad akan memperbaiki semua. Aku akan menjadi pasangan Ardi yang terbaik, semahal apapun harganya. Hidup adalah pilihan dan aku memilih melakukan segala yang terbaik untuk hidupku dengan Ardi.

    Beberapa hari setelah aku memutuskan untuk pindah, Zaenal meneleponku di ruangan kantor dan memintaku menemuinya di studio. Studio adalah ruangan musik milik anggota marching band departemenku. Dulu aku sering berkunjung ke sana bersama Zaenal sekedar menonton orang-orang berlatih musik dan mengobrol. Ruangan studio kosong, hanya ada Zaenal di sana. Zaenal menggandeng dan menyuruhku duduk di kursi. Ia sendiri duduk di depan keyboard dan mulai memainkan beberapa nada. Ia menatapku dengan sorot mata sarat akan kesedihan

    “ Aku mencipatalan lagu ini khusus untuk kamu, sam,,”

    ................... Kurasa banyak waktu terlewat, adakah rasa rindumu diriku,, Khayalanku melayang jauh ke sana,, Seakan kau ada selamanya selalu disampingku,, Kuungkapkan perasaanku padamu,, Ku tahu ada jawaban ragu di hatimu,, Khayalanku melayang jauh ke sana,, seakan kau ada selamanya selalu di sampingku,, Jangan ada kata-kata membuatku kecewa,, Jadikan diriku satu untukmu seutuhnya,, Kuyakin cinta kita tidak kan terkikis ..................

    Lama aku tersendat dalam haru. Baru sekali ini dalam hidupku seseorang menciptakan sebuah lagu khusus untukku. Ada rasa tersanjung dalam hatiku. Tanpa kusadari. Air mataku menetes membasahi pipi.

    “ Aku akan selalu mencintaimu, Sam..” Zaenal mengulurkan sebuah kaset. “ Aku merekam lagu ini untukmu. Tolong terima dan kenanglah aku,,”

    Tuhan kenapa harus ada awal bila ternyata hanya akan berakhir?? Aku tidak sanggup menentang mata Zaenal. Kalau aku biarkan tatapan kami bertemu, aku takut akan berubah pikiran. Aku takut pada hatiku sendiri yang terus menjerit-jerit ingin bersama Zaenal. Aku hanya sanggup mengucapkan terima kasih seraya menahan isak.

    6 April 2000,,, Hari terakhir sebelum kepindahanku ke Solo, aku berpamitan dengan semua temanku. Bu Peni sudah seperti Ibu bagiku. Eki dan Eli berjanji akan datang ke rumahku sepulang kantor untuk melepas kepergianku, sedangkan Zaenal meminta waktu untuk makan siang. Kami makan siang di Mal Metropolitan, tidak begitu jauh dari rumah Tante Dija.

    Selama makan, kami tidak banyak bicara. Aku hanyut dalam lamunanku sendiri, membayangkan besok pagi semua akan kutinggalkan. Zaenal larut dalam pikirannya sendiri. Ia tiba-tiba menanyakan tentang sebuah cerita pendek yang pernah kami baca.

    “ Cerita tentang dua orang yang saling mencintai dan sepakat untuk tidak bertemu selama beberapa tahun. Mereka berjanji akan bertemu pada suatu tanggal tertentu dan tempat tertentu. Bila saat itu mereka masih saling mencintai, mereka akan memperjuangakan cinta mereka,,”

    Aku mengangguk. Cerpen itu kubaca beberapa tahun lalu di sebuah majalah remaja. Aku lupa siapa penulisnya, tetapi cerpen itu merupakan salah satu favoritku. Aku ingat pernah menceritakan isi cerpen itu kepada Zaenal. Dalam cerpen itu, dikisahkan sepasang kekasih yang sepakat untuk menguji cinta mereka dengan berpisah sementara waktu dan bertemu kembali di waktu yang mereka tentukan untuk melihat apakah mereka masih menyimpan perasaan yang sama.

    Zaenal memintaku melakukan hal yang sama. Aku pikir ini hanya antusiasmi ia saja. Belum tentu dalam perjalanan kami nanti, janji itu akan kami ingat. Zaenal mengatakan kalau tempat dan tanggal yang kami pilih haruslah spesial dan tidak banyak berubah seiring waktu. Ia mengusulkan gedung bersejarah, candi, atau tempat bersejarah yang tidak akan banyak berubah. Aku lebih menyukai struktur bangunan candi Hindu daripada candi Budha. Bagiku, candi Hindu lebih eksotis dan magis. Jadi, aku memilih Prambanan. Zaenal memilih tanggal yang spesial dan hanya terjadi empat tahun sekali, yaitu 29 Februari 2004.

    Zaenal merobek dua lembar kertas dari agendanya, menulis kata “Prambanan” dan tanggalnya di masing-masing kertas. Kami menandatangani tiap kertas, lalu menyimpannya di dalam dompet. Zaenal mengantarku sampai depan kompleks, kami berjabat tangan dengan canggung. Zaenal menatapku lama. Aku tidak sadar telah menangis hingga wajah Zaenal tampak kabur. Laki-laki itu melingkarkan lengannya di tubuhku dan memeluk erat. Entah mengapa, gerakan yang semula dimaksudkan untuk menenangkanku, justru membuatku menangis lebih keras. Isakanku semakin tidak terkendali dan terbata meminta maaf.

    Zaenal menjawab dengan merapatkanku ke dadanya hingga wajahku yang berlinang air mata menempel di kemejanya. Aku bisa mendengar detak jantung Zaenal yang kuat dan teratur serta mencium aroma segar bajunya yang bersih. Aku ingin berada di sana, dalam pelukan Zaenal selamanya. Hangat, aman dan terlindungi. Aku sadar , seharusnya aku menarik diri. Aku tahu ini tidak akan berlangsung selamanya. Aku memerintahkan diriku untuk mundur dan melepaskan diri dari pelukan Zaenal. Zaenal mengusap air mata di pipiku.
    “ Aku akan selalu mencintaimu, Sam. Tunggu aku. Aku akan datang mencarimu. Kamu akan selamanya menjadi cahaya kecilku. Kita akan bertemu lagi, Sam,,,”

    Aku menangis sepanjang malam hingga mataku bengkak dan aku juga masih terus menangis ketika mobil yang membawaku ke Solo perlahan menjauh meninggalkan Jakarta. Aku telah belajar banyak di sana, tentang hidup, cinta dan pilihan. Belum genap dua tahun aku di Jakarta, tetapi Jakarta telah mendewasakan. Jakarta menjadikanku lebih hidup.

    Solo justru terasa asing bagiku, mungkin karena ketiga sahabatku telah menikah. Kami jarang punya waktu bertemu. Suasana rumah Ardi juga terasa sangat tidak nyaman. Kakaknya Ardi, Ayah dan Ibunya jarang tersenyum. Aku kehilangan tawa dan canda di rumah Om Agung. Rumah Ardi terasa formal dan dingin. Ku merasa sangat tertekan.

    Kantor baruku berbeda dengan kantor di Jakarta. Orang-orang dengan kultur Jawa yang penuh basa-basi membuatku kurang nyaman. Aku merindukan ritme Jakarta yang cepat dan aktif. Ku cepat merasa bosan di kantorku yang tidak banyak pekerjaan. Kantorku jauh dari tempat berjualan makanan dan rata-rata teman kantorku pulang untuk makan siang. Alhasil , aku sering sendirian di kantor pada jam makan siang.

    Makanan di rumah Ardi pun sangat terbatas. Sepulang kantor, aku sering kali mendapati tidak ada makanan terhidang di meja karena sudah habis. Akhirnya aku sering menyimpan biskuit untuk mengganjal perut. Ardi tidak banyak berubah. Ia tidak peduli dengan diriku, apalagi setelah ia harus mulai masuk kerja, aku merasa sendirian dan kesepian. Aku merasa seperti seekor anak domba di kandang serigala. Fase depresi makin sering menyerang menenggelamkanku tanpa sebab. Sungguh meletihkan jika hanya berpura-pura bahagia di saat seperti itu.

    Zaenal sering mengirimiku surat dengan menggunakan nama lain. Ia selalu perhatian dengan keadaanku. Sesekali, ia juga meneleponku dari kantor. Perhatian Zaenal sedikit menopang semangatku untuk bertahan. Kalau bukan karena dukungan Zaenal, suara-suara yang menyuruhku bunuh diri mungkin akan berhasil membuatku bunuh diri. Aku terus berusaha bertahan mengatasi perasaan depresi dan frustasi, terlebih menghadapi sikap kasar dan ketidakpedulian Ardi terhadap diriku. Suatu malam aku dan Ardi bertengkar untuk sesuatu yang sepele. Tidak disangka Ardi tega menendang perutku hingga aku terjatuh dan membabi buta.

    Aku berlari keluar kamar dan bertemu dengan Ibunya Ardi, namun setelah aku menceritakan semuanya, beliau justru mengatakan aku berbohong. Aku menahan sakit hati, aku berlari keluar rumah tanpa peduli hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB, tidak seorang pun di rumah yang menyusulku, kecuali Simbah. Simbah menangis, Simbah menyusul dan membujukku pulang, tetapi aku menolak. Aku nekat menembus udara malam yang dingin dan jalanan sepi sekitar enam kilometer untuk mencapai jalan besar.

    Sesampainya di jalan besar, aku masuk wartel dan menelepon Mas Handoyo, meminta tolong untuk dijemput. Mas Handoyo segera menjemputku. Ia sangat marah melihat keadaanku, Mas Handoyo membawakuke rumah Bude Ari dan langsung menelepon Ardi. Sikap Ardi dan keluarganya yang sama sekali tidak mau tahu membuat Mas Handoyo kecewa. Mas Handoyo lagi-lagi memintaku segera berpisah dengan Ardi. Keesokan paginya Ardi datang menjemputku di rumah Bude Ari. Aku ingin menolak, tetapi sebagai seorang pasangan hidupArdi aku harus ikut Ardi. Mas Handoyo tidak bisa menahanku sehingga aku harus kembali ke rumah Ardi. Aku diceramahi oleh Ibunya Ardi seakan-akan aku seorang pencari sensasi dan memfitnah anak kesayangannya. Aku hanya diam dan tidak berani membantah sepatah kata pun.

    Hari-hari berlalu dalam kepedihan dan kesedihan. Suara-suaraku yang menyuruhku bunuh diri makin sering menghantuiku. Aku kembali dihantui mimpi buruk, sakit kepala yang tidak tertahan dan insomnia. Aku tidak tahu yang membuatku masih bisa bertahan di rumah itu. Aku tetap kuat dan sehat meski menahan beban pikiran, sakit hati dan sakit kepala dan insomnia sepanjang hari. Namun saat Ardi kepanggil untuk Prajabatan kondisiku memburuk, tekanan darahku rendah dan kembali aku sering pinsan.

    Sebelum pergi prajabatan, Ardi berpesan kepada Ibunya agar untuk rajin mengantarku kontrol ke dokter ketika tekanan darahku rendah. Namun kenyataannya beliau tidak pernah meluangkan waktu. Aku pergi ke dokter sendirian dan tidak mengadu soal itu kepada Ardi. Aku tidak pernah mengadu kepada Ardi tentang sikap kasar, dingin dan sinis keluarganya terhadapku. Semua aku simpan rapat, aku telan bersama air mataku setiap malam.

    Di bulan Agustus tahun 2000 aku benar-benar merasa sakit di kepalaku, tetapi Ibunya Ardi tidak mau mengantarku ke dokter. Seorang tetangga yang kasihan melihat keadaanku memaksaku dan mengatarku ke rumah sakit. Sampai Rumah sakit setelah pemeriksaan dokter aku mengalami kejang-kejang, kehabisan tenaga dan sakit tidak terkira. Dokter memutuskan untuk memberiku obat penenang agar aku dapat istirahat. Setelah aku kembali ke rumah, Ardi menyarankan kepadaku agar mencari seorang perawat yang dapat merawatku. Namun rencana itu ditentang oleh Ibunya. Ibunya justru menyalahkan aku dan mengatakan aku manja dan tidak tahu diri, tetapi aku bersikeras karena akan memabntuku ketika rasa sakit itu muncul. Tidak lama kemudian Ardi membawakanku perawat sekaligus orang membantuku bernama Silvi. Anaknya cukup baik, telaten dan rajin. Ia sering menghiburku setiap aku mendapat perlakuan buruk dari keluarga Ardi. Ia kerap kali ingin mengadu kepada Ardi tetapi aku selalu melarangnya.

    Suatu hari, ketika cucian aku dan Ardi tidak kunjung kering akibat hujan aku meminta Ardi untuk memebeli pakaian kerja untuknya. Ardi justru menolak dan menyuruhku menggunakan mesin cuci milik Ibunya untuk mengeringkan pakaian kami. Awalnya aku menolak karena takut, tetapi Ardi memaksa. Benar saja, ketika Silvi menggunakan pengering mesin cuci, Ayah marah-marah dan memaki Silvi karena telah lancang. Aku hanya mampu mengelus dada di dalam kamar.

    Sore harinya, Silvi mengadu kepada Ardi. Ardi marah besar mendenra laporan Silvi tentang sikap keluarganya selama ini. Ardi bertengkar dengan Ibu dan Kakak perempuannya. Puncaknya, Kakak perempuannya mengungkit-ungkit kalau aku suka menitipkan air minum di lemari es, masalah jatah makanan dan segala hal kecil yang membuatku tidak tahan mendengarnya. Bahkan Kakak perempuan Ardi menyalahkan diriku karena telah membuat adiknya menjadi seorang gay. Dalam kemarahan Ardi nekat membeli lemari es, mesin cuci dan menyuruhku mengambil jasa catering untuk makanan kami sehari-hari karena aku tidak memiliki peralatan dan tempat untuk memasak sendiri.

    Keluarga Ardi semakin menekan. Aku nyaris tidak tahan. Suatu pagi lagi-lagi Ardi bertengkar dengan Ibunya yang tidak mau mengantarku ke dokter. Aku dimaki-maki oleh Ayahnya Ardi. Aku dianggap lelaki lemah, aku dianggap penyebab Ardi menjadi gay dan dianggap sebagai orang yang tidak tahu diri yang mendidik Ardi untuk melawan orang tuanya. Aku tertegun mendengar makian Ayah. Mendidik?? Sejak kapan seorang pasangan seperti aku mendidik Ardi?? Bukan kah itu tugas orang tua kepada anak dan guru kepada murid??

    “ Setahu saya yang punya kewajiban mendidik bukan saya pak,,” sahutku sopan.

    Jawabanku membuat Ayah makain marah. Kalau tidak dilerai oleh Simbah yang menangis, entah jadi apa aku. Saat itu aku tahu, aku tidak tahan dengan suasana rumah. Aku bisa tambah gila dan benar-benar bunuh diri. Aku harus pergi. Aku menyuruh Silvi segera mengemasi barang-barang dan menelepon Ardi. Aku sudah tidak tahan dan memutuskan untuk keluar dari rumahnya, terserah Ardi akan tetap tinggal aku ikut.

    Kami bertengkar dan berdebat panjang lebar. Akhirnya, Ardi menyerah dan berjanji sepulang kerja akan langsung mencari rumah kontrakan. Malam itu juga kami pindah rumah. Ibu dan Ayah sama sekali tidak mau menemui kami, tetapi kami tetap berpamitan baik-baik. Aku tetap menaruh hormat kepada keduannya. Bagaimana pun sikap mereka selama ini, mereka tetap orangtuaku.

    Rumah kontrakan kami terletak cukup jauh dari rumah Ardi, letaknya nyaris di pedesaan. Rumahnya lumayan bersih dengan tiga kamar dan terletak di kompleks perumahan. Aku merasa bahagia dan seperti terlepas dari beban berat. Sayangnya, Silvi tidak betah tinggal di daerah terpencil sehingga ia pamit pulang kampung. Saat itu Mamaku datang berkunjung bersama adik bungsuku yang sedang libur sekolah. Suatu sore sepulang kantor, aku mendapat Mama menyambutku dengan wajah murung dan marah. Beliau bercerita kalau tadi Ibu dan Ayah datang dan mengatakan aku ini “ kere munggah bale”,,, suatu istilah dalam bahasa jawa yang bisa diterjemahkan sebagai orang miskin yang naik ke atas dipan alias pura-pura kaya. Mamaku sakit hati. Beliau marah dan menuduhku meminta segala kemewahan.

    “ Kemewahan apa sih Mah??” tanyaku bingung menatap sekeliling rumah kontrakanku yang sederhana. Kami bahkan tidak punya kursi untuk duduk.

    “ Mesin cuci, kulkas dan kompor gas ini!!”

    Masya Allah, aku mengelus dada.

    “ Itu Ardi yang beli, Ma. Bukan karena Sem minta. Dan itu semua karena kami perlu barang-barang itu.

    Orangtua Ardi sama sekali tidak mengaku ketika dikonfirmasi soal itu oleh Ardi. Tidak lama kemudian Mama kembali ke Jakarta.

    Sikap kasar Ardi makin menjadi-jadi sejak kami pindah. Ia bisa marah-marah, memaki, memukul, menendang dan mendorong dengan kasar hanya karena masalah sepele. Pernah aku di dorong hingga punggungku tertujuk ujung tempat tidur yang terbuat dari kayu. Semua tetanggaku ditempat baru menganggap aku adalah adiknya Ardi. Suatu saat aku pernah lari meminta pertolongan Ketua RT karena dipukuli dan dicekik.

    Beberapa bulan kemudian, aku mendapat kabar dari Zaenal kalau akan ada sebuah Unit Pengelola Teknis (UPT) baru di kota Solo. Aku berharap karierku mengalami kemajuan dengan mendaftar ke UPT tersebut. Aku memotivasi Ardi untuk mengambil kursus dan ujian sertifikasi menjadi Pejabat Penerbit Surat Keterangan Sah Hasil Hutan (SKSHH) yang sekarang dikelola oleh kabupaten karena otonomi daerah. Sebuah peluang yang bagus, mungkin dengan mendapat jabatan bagus, sifat pemarahnya bisa hilang.

    Ardi lulus ujian dan segera diangkat menjadi pejabat SKSHH pertama di Provinsi Jawa Tengah tepatnya di Kabupaten Boyolali. Sementara itu aku diterima di UPT yang baru dan menjadi orang kepercayaan atasanku yang baru. Pak Zikra. Pak Zikra seorang laki-laki yang baik, karismatik, cerdas dan pemimpin yang adil. Sayangnya kedekatanku dengan Pak Zikra membuat Ardi kembali bersikap possesive seperti semasa pacaran dahulu. Semua orang ia curigai, termasuk sahabat-sahabatku. Sahabat-sahabat aku sering dimaki-maki hanya karena bertemu denganku. Kami jadi sering bertengkar dan Ardi mulai sering memukul. Puncaknya, ketika Ardi menjemputku di kantor dan aku berada di ruangan Pak Zikra yang sedang menandatangani beberapa surat. Ardu=i masuk dengan sangat tidak sopan, menggebrak meja, dan meludahi Pak Zikra.

    “Suruh Kakakmu minta maaf, Sem” Pak Zikra menatapku dengan simpati,, “Kalau kamu ada apa-apa, jamberapapun kamu telepon saya ya,,” pesannya.

    Malam itu kami bertengkar hebat. Ardi memukulku dan hampir mencekikku tanpa memedulikan diriku. Dalam keadaan panik aku menelepon Pak Zikra, menangis meminta tolong. Ardi merebut handphoneku dan membantingnya sampai hancur. Ia menuduhku menelepon pacarku. Ardi mencekik leherku. Aku tersengal-sengal berusaha melepaskan diri.

    “ Bu....nuh..sa...ja aku!! “ jeritku susah payah.

    Ardi kemudian mendorongku sampai jatuh ke kamar belakang dan menguncinya dari luar. Aku menggedor-gedor pintu, menangis dan memohon, tetapi Ardi tidak peduli. Rupanya, malam itu juga Pak Zikra mengirim teman-teman kantorku untuk menolong, tetapi ditahan oleh Ketua RT dan para warga. Baru keesokan paginya, ketika Ardi sudah pergi meninggalkan rumah, aku ditolong. Untungnya kunci pintu kamar belakang masih tergantung di pintu.

    Aku mengungsi di rumah seorang sahabatku. Sore itu juga, aku berangkat ke Jakarta dengan biaya kantor. Selama di Jakarta aku tinggal di rumah Mama. Ardi terus berusaha menghubungiku, Ardi sempat mengancam akan membakar kantorku, merusak dan segala ancaman lain. Aku dan Mama sepakat untuk kemali ke Solo. Mama ikut bersamaku untuk bertemu dengan keluarga Ardi.

    Aku pulang ke rumah kontrakan bersama Mama, Ardi menunjukkan sikap dingin kepadaku dan sikap tidak hormat kepada Mama. Keesokan paginya, Mama yang tidak tahan dengan sikap Ardi memintaku mengantarkan beliau ke rumah Bude Tyas, istri Pakdhe No, kakak Mamaku. Sepulang kantor, aku berjanji akan menjemput beliau. Sayangnya hujan turun, sementara aku tidak lagi memiliki handphone untuk menghubungi Ardi. Kami pun pulang terlambat.

    Benar saja, sesampainya di rumah Ardi sudah menyambutku dengan kemarahan. Ia memaki-maki sebagai orang yang tidak tahu diri yang pergi dari rumah tanpa pamit. Aku dan Mama sudah berusaha memberikan penjelasan mengapa kami terlambat, tetapi Ardi tidak mau mendengar dan bahkan memukulku. Mama yang melihatku dipukul berusaha melerai, tetapi justru didorong Ardi hingga jatuh. Kemarahanku pun memuncak melihat Mama jatuh. Aku segera berlari keluar rumah dan berteriak minta tolong. Tetangga segera datang, tetapi Ardi menyangkal dan meminta maaf kepadaku dan Mama. Ia bahkan meminta maaf kepada Mama seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Malam itu, Ardi memintaku melayaninya. Aku menolak karena kepalaku sakit luar biasa. Ardi marah dan pergi.

    “ Kalau kamu enggak mau aku akan jajan,,”

    Aku diam saja. Kubiarkan ia pergi. Ardi kembali dini hari sambil bernyanyi riang dan berkata kalau ia sudah puas. Aku tahan sakit isakku sampai Ardi berangkat kekantor. Aku menulis surat kepada Ardi kalau aku pamit pergi meninggalkan rumah. Setelah itu, aku menemui Ketua RT dan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan Ardi. Jujur itu lebih baik, walaupun akibatnya akan berdampak sangat menyakitkan bagi diriku. Aku juga berpamitan karena sudah kuputuskan untuk pergi dari rumah. Aku mengungsi tinggal di rumah Bude Tyas. Malam harinya, bersama Mama dan Bulik Mur, aku menemui orangtua Ardi.

    Ibunya Ardi menyambut dengan dingin, sementara bapak dan kakaknya Ardi sama sekali tidak menunjukkan batang hidungnya. Bulik Mur menjelaskan semua duduk perkaranya dan meminta kebijakan dari Ibunya Ardi untuk menasihati Ardi. Aku menjelaskan kepada Ibu mengapa aku pergi dari rumah. Aku juga telah meninggalakn surat pamit. Namun tatapan Ibu sangat kejam dan dingin. Beliau menganggap kalau aku mungkin pantas dipukul. Sikapnya membuat Bulik Mur marah. Tepat saat itu, Ardi masuk dan matanya merah. Ia menunjuk hidungBulek Mur dengan kasar. Ia menyuruh Bulik Mur diam sambil menggebrak meja. Wajah Bulik Mur merah padam, beliau langsug berdiri dan mengajakku pulang. Bulik Mur menatap Ibu dan meminta beliau untuk mengajari Ardi sopan santun.

    Aku menulis sebuah surat untuk berpisah dengan Ardi, sebelum Mama kembali ke Jakarta, beliau sempat menyarankanku untuk pindah agama kalau agamaku menyusahkan. Aku hanya tersenyum. Aku menghargai setiap agama dan aku anggap semua agama itu baik. Islam adalah agama pilihanku. Mama menatapku dengan sangsi. Aku bisa memahaminya. Beliau meninggalkan Islam karena merasa tidak ada seorang pun yang seagama mau mengulurkan tangan kepadanya ketika ia terpuruk. Beliau meniali Islam dari manusia yang ia temui, bukan dari Islam itu sendiri. Aku menjelaskan Islam kepada Mama semampuku. Mama bingung kenapa aku tidak menjelaskan hal itu kepada Ibunya Ardi. Aku menghormati Ibunya Ardi dan tidak ingin bertengkar. Mama menyerahkan keputusan ditanganku. Baginya aku lebih tahu yang terbaik dalam hidupku. Aku memeluk Mama. Untuk pertama kalinya aku merasa kembali menyanyangi perempuan ini. Bagaimanapun ia tetap Mamaku.

    Saat itu aku ada dinas untuk pembahasan anggaran oleh kantor pusat dan aku bertemu dengan Zaenal. Saat senggang kami mampir ke Monas dan menikmati pemdangan senja di sana. Aku menyinggung tentang kemungkinan hubungan kami. Jujur, aku hanya ingin menguji ia saja. Belum terlintas dikepalaku hendak menjalin hubungan yang lebih dari sekedar teman. Aku hanya ingin tahu, apakah ia masih mencintaiku seperti dulu atau tidak. Zaenal mengaku masih mencintaiku, tetapi ia bercerita kalau ia sedang konsentrasi dengan kariernya. Perceraian akan berdampak buruk pada kariernya. Tidak disangka kata-katanya sangat menyakitkan hatiku.

    “ Aku masih mencintaimu, tapi semua sudah berbeda sekarang. Aku sekarang diangkat menjadi Sekretaris Kepala Biro Perencanaan. Semua sedang berjalan dengan baik dikantorku. Aku tidak mau merusaknya dengan hubungan kita. Dian sendiri tidak mau berbagi. Maafkan aku Sam,,”

    Aku seperti seseorang yang telah dibuai setinggi langit dengan cinta dan perhatian. Ia sempat membuatku berpikir tentang cinta sejati, tentang soulmate dan belahan jiwa. Ketika aku sudah berada di puncak impianku tentang harapan bisa bersama cinta sejatiku, ia menjatuhkanku ke bawah hingg hancur berkeping-keping. Seakan belum cukup, ketika aku kembali ke rumah Mama aku mendapati rumah Mama kedatangan tamu dari pihak Papa tiriku. Mama malu mengakuiku.

    Di depan semua orang, Mama mengatakan kalau aku hanyalah keponakan yang datang dari Solo. Aku yang selama ini berpikir kalau akhirnya Mama bisa menerimaku, harus menelan pil pahit kenyataan. Mama tidak pernah mau mengakuiku. Ketika semua tamu sudah pulang, sepupuku Dendy yang sedang berada di rumah Mama marah besar kepada Mama. Ia tidak terima pada sikap Mamaku yang tidak mengakuiku sebagai anak kandungnya. Aku berusaha menenangkan hati Dendy, biarlah aku mengalah saja. Keesokan harinya, aku kembali ke Solo.

    Aku pindah ke rumah Bude Ari atas permintaan Mas Handoyo. Itu juga membuatku lebih nyaman. Aku merasa sangat merepotkan keluarga Bude Tyas ketika tinggal disana. Ardi tidak terima untuk berpisah denganku, ia bahkan bersedia meminta maaf kepadaku dan Pak Zikra. Sementara itu aku mulai kesulitan keuangan, saat itu pula Ardi mengajak bertemu denganku dan meminta maaf dan bersedia mengubah sikap dan perilakunya. Ia juga bersedia menjalani konsultasi dan terapi ke psikologi dan psikiater.

    Keputusanku untuk kembali dengan Ardi ternyata membawa dampak yang kurang baik untuk karierku di kantor. Pak Zikra memindahku ke bagian yang lain, entah apa alasannya. Bu Tuti yang tadi menjadi sahabatku sekarang berbalik memusuhiku, Pihak kantor mulai mencium aku bukanlah pria normal yang menjalin hubungan dengan perempuan. Ternyata setelah aku selidiki mereka sering diteror oleh Ardi sehubungan dengan kasusku. Dengan kekuasaannya, ia membuatku dikucilkan dan banyak kehilangan kesempatan dalam pekerjaan.

    Namun Tuhan Maha Adil. Meski aku ditekan sedemikian rupa di kantor, masih banyak sahabat yang diam-diam mendukungku di belakang Bu Tuti. Mereka tetap memberikan dukungan untuk bertahan, bahkan ada seseorang temanku yang terang-terangan menentang ketidakadilan Bu Tuti terhadapku. Puncaknya, datanglah surat kaleng yang membeberkan ketidakadilan itu. Sampai hari ini, aku tidak tahu siapa yang menulis surat kaleng yang jelas-jelas membelaku. Kasus surat kaleng itu sampai menghebohkan kantor pusat. Aku dipanggil Pak Zikra. Bu Tuti terang-terangan menuduhku yang telah menulis surat kaleng itu. Untungnya, Pak Zikra dan seluruh kantor tidak percaya. Pak Zikra membelaku di depan forum kalau aku tidak mungkn menulis surat kaleng itu. Sayang sekali, tidak lama setelah itu, Pak Zikra harus pindah tugas ke Jakarta. Aku merasa kehilangan beliau sebagai atasan.

    Awal Mei 2003 aku dan Ardi menempati rumah baru kami yang dibangun di atas tanah warisan Ardi di daerah kota.Di mata orang yang tahu akan kehidupanku kami seperti keluarga kecil gay yang harmonis dan mapan. Tidak ada seorang pun yang tahu kalau aku harus kerja keras membiayai rumah tangga dengan standar kehidupan mewah yang diinginkan Ardi. Setiap pendapatan di luar gaji yang didapatkan Ardi, tidak pernah ia serahkan kepadaku dengan alasan ia tabung untuk masa depan. Akhirnya, untuk mencukupi biaya rumah tangga aku berjualan pakaian, tas, dan sepatu berkeliling Solo.

    Sungguh ironis, Semua orang yang tahu tentang kehidupanku dengan Ardi tahu kalau Ardi berpenghasilan besar, sedangkan aku harus berpanas-panasan dengan motor setiap jam makan siang menawarkan dagangan. Aku juga bekerja kepada Ardi untuk membantu membuat laporan keuangan setiap bulan. Aku mengurus kehidupan kami berdua dengan sangat baik. Aku menjadi pendamping Ardi layaknya seorang istri, suami, ayah, ibu, pembantu sekaligus pencari nafkah. Sementara itu, tidak satu pun janji yang tertuang dalam perjanjian ditepati oleh Ardi.

    Akhir tahun 2003, Ardi mulai jarang pulang dengan alasan sibuk di kantor. Ia juga mulai menunjukkan gejala tidak sehat dalam berhubungan intim. Ia seperti orang yang selalu haus untuk berhubungan intim. Aku mulai merasa seperti budak yang harus siap melayaninya setiap waktu dan setiap saat. Aku bahkan pernah diseret pulang dari kantor hanya untuk melayani nafsunya. Hatiku hancur luluh lantah diperlakukan seperti binatang. Aku menangis dan memohon agar Ardi mau berpisah denganku. Silakan ia mencari perempuan atau laki-laki lain yang lebih bisa melayani nafsunya, tetapi ceraikan aku. Namun Ardi selalu menolak.

    Aku selalu ketakutan dan kesakitan setiap kali Ardi memaksaku berhubungan intim. Rasanya seperti terbenam di neraka dunia bila memang mereka dunia itu ada. Kalau sudah begitu, Ardi akan memaki-makiku sebagai laki-laki frigid. Aku hanya bisa diam dan menelan semua air mataku. Aku sudah tidak tahan dengan tekanan-tekanan berat dalam hidupku hingga akhirnya aku jatuh sakit. Aku didiagnosis menderita tifus. Aku mengalami sakit kepala yang lebih tidak tertahankan dibandingkan beberapa tahun ini. Badanku terus menerus turun. Ketika aku sudah sembuh dari tifus, sakit kepalaku justru semakin menjadi . Sering kali aku terpaksa membenturkan kepalaku ke dinding karena tidak tahan menahan sakit.

    Aku pergi ke dokter penyakit dalam, dokter saraf, dan banyak dokter untuk mencari jawaban atas sakitku, tetapi nihil. Suatu ketika, aku menjalani CT-Scan otak. Petugas CT-Scan menyarankan aku untuk tes virus TORCH (Toxoplasma, Rubella, CMV, Herpes). Hasilnya benar-benar di luar dugaanku. Aku terjangkit cytomegalovirus (CMV) akut, suatu virus yang menyerang saraf dan sistem kekebalan tubuh. CMV memiliki dampak besar pada parameter kekebalan tubuh di kemudian hari dan dapat berkontribusi pada peningkatan morbiditas dan kematian. Hasil tesku menunjukkan angka yang buruk. Hasil IgB atau imnuoglobulin (zat anti yang ada dalam tubuh) infeksi lama mencapai 7,4, sedangkan dikatakan negatif bial <4. Angka IgM atau Imunoglobulin infeksi baru alias infeksi aktif mencapai 456. Hasil IgM <0,7 negatif, >0,7-<0,9 equivocal, >0,9 positif. Pada kondisi orang lain, angka tersebut sudah cukup membuat shock, tetapi aku masih sadar dan hidup.

    Aku berusaha tegar menjalani berbagai macam pengobatan. Setiap hari, Ardi selalu pulang malam bahkan pagi. Ia juga sering berpaitan ke luar kota. Pada suatu waktu, aku pernah iseng menyampaikan kepada Ardi tentang keinginanku berfoto berdua sebagai kenang-kenangan seandainya aku mati. Dengan atusias, Ardi memabwaku ke seorang pemilik salon dan spa yang tidak lain adalah kekasihnya. Erlin, Erlin berusia jauh diatasku dan Ardi. Sosoknya seksi dengan wajah berias montok. Tampak bekas-bekas suntikan silikon di hidung dan dagunya. Aku tidak tahu yang membuat Ardi tertarik kepada perempuan seperti Erlin. Tentu saja aku menolak, aku tahu Ardi berselingkuh dengan Erlin, tetapi aku diam saja. Aku terlalu letih untuk mempermasalahkan ketidaksetiaan Ardi. Aku anggap semua adalah hukuman yang dulu pernah mencintai Zaenal.

    Februari 2004,

    Benar-benar awal tahun yang berat bagiku. Om Hari orang yang sudah kuanggap sebagai ayahku, meninggal karena penyakit liver. Kematian Om Hari sempat membuat kondisi tubuhku down, sehingga aku tidak bisa menghadiri pemakamannya di Jakarta. Lubang besar hatiku yang selama ini kuabaikan kembali menganga lebar menyisakan kepedihan dan kesedihan luar biasa. Dalam keadaan berduka ini, aku teringat janjiku kepada Zaenal.

    29 Februari 2004,,,

    “ Hai....” aku menyapa Zaenal yang sibuk mengabadikan keindahan Candi Prambanan dengan kameranya. Jantungku berdebar kencang ketika perlahan sosok itu menoleh, menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki, lalu berhenti dimataku. Tampak sorot kagum dan rindu dimatanya.

    Aku menyandarkan tubuhku ke dinding candi. Mataku menatap jauh ke langit. Zaenal mencermatiku dari ujung kaki hingga kepala dan berlama-lama menatap wajahku. Ia berbisik kalau aku masih tetap manis dan tampan seperti dulu. Aku berusaha tidak terusik dengan tatapannya. Debar-debar itu sudah tidak ada lagi. Kami mulai berbasa-basi saling bertukar kabar. Aku sudah menepati janji untuk datang dan kini aku mau pamit pulang.

    Zaenal meraih tanganku,, “Tunggu dulu. Kamu masih cinta aku kan Sam?? “

    Aku berpaling,, “ Apa itu masih berarti??”

    “ Ya..” Zaenal menatapku lekat.

    Aku menggeleng lemah,,, “Kamu tidak tahu apa itu cinta Bang...”

    “ Terus saja salahkan aku Sam. Waktu kamu datang ke Jakarta tempo hari, jujur aku bingung. Semua seperti mimpi bagiku ketika tiba-tiba kamu datang dan mengatakan hendak berpisah dengan Ardi, sementara....................”

    “ Sementara kamu sudah melanjutkan hidupmu...” Tidak kusangka bisa segetir itu.

    Zaenal menatapku,, “ Aku tidak pernah berhenti mencintaimu, Sam. Tidak pernah sedetik pun. ketika kamu pergi dari jakarta dengan luka di matamu, aku mendengar kamu tidak jadi berpisah dan jatuh sakit. Semua itu membuatku semakin yakin. Aku akan memperjuangkannya, apa pun resikonya,,” Zaenal menatapku penuh keyakinan.

    Aku sendiri tidak ingin menjawab apa-apa. Aku lebih memikirkan masa depan ku dengan Ardi dari pada masa depan yang tidak jelas. Zaenal tidak bisa berhenti mencintaiku. Aku menegaskan kalau semua sudah berlalu. Zaenal terus meminta kesempatan untuk membuktikan cintanya.

    Aku mendesah, menekan nyeri yang ada di dadaku. Aku tidak sanggup lagi mendengar kata-kata Zaenal yang diucapkan dengan penuh perasaan. Aku tidak ingin lagi terbuai dengan harapan semu. Aku berpamitan untuk pulang, Zaenal melepasku dengan enggan, tetapi ia tidak menahanku. Ia membiarkanku pergi. Aku tahu, tatapannya tidak pernah lepas dariku sampai aku hilang dari pandangannya.

    Sejak itu Zaenal kembali intens menghubungiku, menelepon atau tiba-tiba muncul di kantor dan rumahku begitu saja. Berkali-kali aku marah dan mengusirnya, tetapi Zaenal seperti tidak peduli. Ardi menerima kehadiran Zaenal di rumah dengan baik, bahkan cenderung tidak peduli. Ia sibuk dengan dunianya sendiri. Aku berusaha bersikap sewajar mungkin setiap kali Zaenal datang berkunjung, tetapi hatiku sangat terusik oleh kehadirannya. Zaenal seperti mimpi buruk yang diam-diam menyelusup di tengah-tengah lelap tidurku.

    Pertengahan tahun 2004, rumahku sering diteror telepon gelap dari orang-orang yang tidak dikenal. Mulai banyak perempuan dan laki-laki yang datang ke rumah mencari Ardi dengan tujuan tidak jelas. Setiap kali Ardi kuajak berkomunikasi, ia hanya marah-marah sehingga aku lebih memilih diam. Pernah Ardi pulang dengan pipi lebam babak belur. Tengah malam ia bersama sahabatnya Anto, mengecet ulang mobilnya dengan pilox. Sikapnya benar-benar aneh seperti ketakutan dikejar-kejar orang.

    Suatu pagi, aku baru saja selesai mandi dan bersiap-siap hendak berangkat ke kantor. Namun didepan ada dua wanita yang mencariku, aku merasa tidak mengenal mereka. Perasaanku mengatakan kalau mereka adalah salah satu dari sekian banyak perempuan dan laki-laki yang mencari Ardi. Mereka menyambut uluran tanganku dan menyebut nama masing-masing. Rita dan Hesti. Keduanya berwajah biasa-biasa saja dan bukan jenis wajah yang dapat dengan mudah diingat, mereka saling berpandangan seakan ragu.

    Keduanya mengaku sebagai adik dari Wisnu, tunangan Erlin. Erlin berselingkuh dengan Ardi selama setahun. Wisnu sudah berkali-kali memberi peringatan kepada Ardi, tetapi tidak digubris. Wisnu ingin bertemu denganku utuk memberikan bukti-bukti perselingkuhan Ardi. Aku menolak, tetapi setelah Rita menceritakan kembali aku merasa iba dan akhirnya aku menerima dengan syarat aku akan ditemani sepupuku Dendy. Aku ingat wajah Ardi yang babak belur, mobil yang di pilox, teror-teror via telepon. Aku segera menelepon Dendy dan memintanya datang keesokan harinya.

    Akhirnya aku bertemu dengan Wisnu dan beberapa anak buahnya. Dalam hati, aku terus-menerus berdoa meminta perlindungan kepada Tuhan. Wisnu bersikap baik dan ramah padaku. Ia justru tampak simpati pada kondisi kehidupanku. Wisnu menyodorkan amplop yang berisi rekaman video dan foto-foto hubungan Ardi dan Erlin. Aku hanya menatap amplop itu tanpa berniat menyentuhnya sama sekali. Lebih baik aku tidak melihatnya. Akhirnya, kami sepakat untuk menemui orangtua Ardi.

    Ibu Sarti menanggapi dengan dingin, bukti-bukti berupa kaset video dan foto-foto. Beliau bersikeras Ardi adalah anak baik dan hanya difitnah. Semua hanya rekayasa. Beliau mengusir kami.

    “ Sem,,,,” Ibu Sarti menatapku... “ Tega kamu ya....”

    Aku ingin membantah tetapi aku memilih diam. Berbicara kepada seorang ibu yang memuja anaknya sama saja seperti bicara pada tembok. Aku pamit pulang. Wisnu dan anak buahnya mengantarku dan Dendy pulang. Sesampai dirumah, Ardi sudah duduk di ruang tamu, Aku bisa melihat raut wajahnya menyesal. Tanpa pikir panjang, aku ambil segelas air dari atas meja dan kusiramkan ke muka Ardi.

    “ Aku minta maaf “,, Ardi nyaris tidak berani menatap wajahku. Ia mertaih jemariku dan berlutut dikakiku. “ Aku memang pernah bersama Erlin. Tapi aku bersumpah sudah mengakhiri hubungan kami, kamu percaya kan kepadaku?? “

    Aku tidak tahu harus menjawab apa,, “ Aku ingin pisah dengan kamu Mas,,”

    “ Tidak,, tidak aku mohon,,” Ardi terus mencium kakiku,, “ Aku minta maaf. Jangan sampai kita berpisah, jangan sampai Ibu tahu semua ini. Aku mohon,,,”

    Hatiku mati rasa. Aku mengiyakan permintaan maaf Ardi. Meski aku tahu Ardi akan mengulang kesalahannya lagi dan lagi, tetapi aku memilih diam. Aku letih. Diam-diam aku menuruti nasihat dari sahabat-sahabatku dengan mencoba mendatangi ulama, paranormal, psikolog. Mencoba mencari pemecahan dari permasalahan kehidupanku, tetapi tidak pernah ada hasilnya. Sikap Ardi semakin menjadi-jadi, ia bahkan terang-terangan membiarkan Erlin beberapa kali menjemputnya di rumah kami. Aku menemukan pesan-pesan singkat mesra dari Erlin juga beberapa laki-laki lain.

    Rumah kami sudah seperti neraka dengan telepon dari perempuan dan laki-laki yang tidak ada habisnya. Belum lagi Ardi mulai sering berganti nomor handphone, saluran telepon di rumah dicabut dan kunci-kunci rumah diganti. Ardi jarang pulang dan kalaupun pulang kami hanya bertengkar. Kondisi ini terus berjalan selama setahun. Entah bagaimana aku bisa bertahan dengan kondisi seperti itu, aku sendiri tidak tahu. Lebaran tahun 2005 aku bertemu kembali dengan Revan dan Adistia, anak Mbak Vita yang sudah sejak kecil tidak pernah bertemu lagi. Mereka rupanya ingin berlebaran di Solo.

    Beberapa hari setelah lebaran, Zaenal meneleponku memberi tahu kalau Ardi pamit dari kantor dan sedang berada di rumah Erlin. Entah dorongan apa yang merasukiku. Aku bersama Revan dan Adistia menyusul Ardi ke rumah Erlin. Amanda anak sulung Erlin, mulanya menyangkal keberadaan Ardi, tetapi aku melihat motor Ardi terparkir di garasi rumah Erlin. Aku menemukan Ardi dan Erlin sedang bermesraan di dalam kamar. Ardi segera berlari setelah melihatku dengan motornya, Erlin sendiri melakukan hal yang sama melarikan diri dengan mobilnya. Hatiku kosong melihat kepergian keduanya. Mataku kering tanpa air mata.

    Sambil berdiri di rumah Erlin , aku menelepon Ibunya Ardi, lagi-lagi beliau tidak percaya dengan ceritaku. Aku lalu menelepon Mas Handoyo. Atas saran Mas Handoyo, malamnya ditemani Mas Handoyo dan Adistia menemui orangtua Ardi, tetapi tidak dibukakan pintu . Kami mendatangi kepala dukuh setempat, tetapi mereka tidak berani membantu karena orangtua Ardi adalah orang terkemuka dan punya nama di daerah tersebut. Lagi-lagi aats saran Mas Handoyo, keesokan harinya ditemani Adistia aku membuat laporan kepolisian atas tuduhan perzinaan. Sebelum membuat laporan kepolisian, aku terlebih dahulu membuat laporan kepada Pak Sangaji atasan Ardi.

    Saat membuat laporan , aku mulai menyadari betapa lemahnya menjadi kaum gay. Petugas kepolisian menanggapi laporanku dengan setengah hati bahkan cenderung melecahkanku. Aku sebagai hamba hukum yang datang mencari keadilan dan membutuhkan bantuan justru diperas secara halus dan dilecehkan , baik dengan kata-kata maupun dengan perbuatan. Adistia yang tidak sabar hampir meledak karena marah, tetapi aku menahannya. Aku hadapi sikap tidak etis dari oknum polisi itu dengan dingin, tetapi sopan. Ketika mereka mengeluhkan kurangnya tenaga pengetik, aku menawarkan diri untuk mengetik berita acara pemeriksaanku. Ketika mereka mengeluhkan tinta printer yang sudah habis, aku menawarkan dengan sopan meng-print sendiri di rental. Sikap dingin, tetapi sopan dan tegasku itu rupanya melunakkan mereka. Setelah berjam-jam aku merasa dipermainkan, mereka akhirnya bersedia memproses kasusku.

    Orangtua Ardi dan Ardi beberapa kali meneleponku agar mencabut laporan kepolisian, tetapi aku menolak. Orangtua Ardi sangat marah dan mencaci makiku. Aku sendiri tidak peduli, Ardi harus diberi pelajaran. Hanya itu yang ada dikepalaku. Dua hari kemudian, Ardi kembali ke rumah. Kami bertengkar hebat, Ardi masih saja menyangkal hubungannya dengan Erlin. Aku tidak bisa menahan diri sampai pingsan karena sesak napas dan terpaksa dilarikan ke rumah sakit.

    Melihat kondisiku, atas saran dokter, Adsitia dan Mas Handoyo aku berusaha cooling down selama sekitar seminggu. Atasan Ardi menemuiku dan memohon demi kepentingan instansi tempat kami bekerja agar aku mencabut laporan kepolisian. Letih dengan semuanya dan karena itikad damaiku, November 2005 aku mencabut laporan setelah sebelumnya aku, Ardi dan Erlin menandatangani perjanjian damai disaksikan pihak kepolisian.

    Hanya beberapa hari semua bisa kembali tenang. Pada pertengahan Desember, Ardi justru meminta bantuanku untuk melindungi dirinya dari kejaran Erlin. Aku tidak percaya begitu saja dengan cerita Ardi. Aku menelepon Erlin untuk bertemu bertiga dengan Ardi. Begitu Ardi tahu, ia marah besar dan menolak keras. Hal itu makin menguatkan kecurigaanku kepada Ardi. Diam-diam, aku menelepon Erlin dan memintanya bertemu empat mata denganku.

    Dari cerita Erlin dan fakta-fakta yang ia sodorkan di depan mataku, ternyata Ardi membohongi kami berdua. Ardi sekarang sudah menjalin hubungan dengan laki-laki lain yang bernama Pram. Ketika kami menemui Pram, Pram mengaku sudah tidak berhubungan lagi dengan Ardi karena Ardi sekarang sedang menjalin hubungan dengan Sidiq. Aku benar-benar dibuat frustasi dengan begitu banyaknya nama perempuan dan laki-laki yang disodorkan didepan mataku sebagai selingkuhan Ardi.

    Saat itulah, Mama datang dan menawariku berlibur ke Bali atas biaya adikku yang sudah diangkat menjadi PNS di Departemen Keuangan. Aku menerima tawaran itu, yang kuanggap sebagai kesempatan bagiku untuk Ardi instropeksi diri dan serius memikirkan masa depan hubungan kami. Hanya tiga hari aku berada di Bali, tetapi Ardi bukannya instropeksi diri, ia justru bersenang-senang. Berdasrakan laporan teman-temanku, Ardi membawa laki-laki lain ke rumah selama aku pergi. Ardi terus menyangkal sehingga hubungan kami makin parah. Aku memilih diam, Ardi pun begitu. Kami seperti dua orang yang asing satu sama lain.

    Suatu hari, Ardi berpamitan pergi ke Jepara untuk urusan kantor. Aku mengiyakan saja. Esoknya, tanpa sengaja ketika aku sedang berjalan-jalan ke Gramedia Slamet Riyadi, aku melihat mobil Ardi melintas di jalan. Aku segera menelepon atasan Ardi dan mendapat jawaban kalau Ardi sudah beberapa hari tidak masuk kantor. Tak berapa lama Erlin menelepon mengajakku mencari Ardi berkeliling Solo. Entah apa yang ada dipikiranku saat itu sehingga mengiyakan ajakannya. Kami keluar masuk hotel mencari Ardi, tetapi hasilnya nihil. Erlin lalu mengajakku menemui Sidiq yang dikabarkan menjalin hubungan dengan Ardi. Ela tinggal diperbatasan Klaten-Solo. Rumahnya cukup besar dan juga merupakan tempat kos.

    Berbeda dengan Erlin yang lebih tua dari kami, Sidiq adalah laki-laki muda yang tampan dengan bentuk tubuh yang sangat menggiurkan. Ia hanya tertawa mendengar cerita Erlin tentang Ardi. Sidiq menjelaskan kalau ia tidak pernah berhubungan dengan Ardi karena tahu Ardi sudah memiliki pasangan gay. Sidiq juga memberitahu kami kalau kemarin ia bertemu dengan Ardi didepan minimarket, Ardi mengaku terburu-buru hendak ke bandara karena akan pergi ke Bali melalui Yogya. Berdasrkan informasi Sidiq aku dan Erlin pergi ke Yogya dan mendapatkan fakta kalau Ardi memang pergi ke Bali bersama seorang laki-laki bernama Ilham dan akan kembali dengan penerbangan pagi dua hari lagi.

    Bersama Erlin, aku kembali menemui orangtua Ardi. Sungguh tidak disangka, kali ini sikap Ibunya Ardi lebih lunak. Beliau bahkan membenarkan hubungan Ardi dengan Ilham yang merupakan anak pengusaha di Solo yang masih berstatus Mahasiswa berumur 20 tahun. Ibu menyerahkan segala keputusan kepada diriku.

    Dengan bantuan temannya Erlin yang merupakan polisi, kami merencanakan penjebakan Ardi di bandara. Benar-benar seperti kisah penangkapan buron yang sering kulihat di televisi. Aku melihat Ardi ditangkap dan digelandang masuk ke mobil polisi bersama Ilham. Sementara itu Erlin terus berteriak-teriak memukuli Ardi dan aku hanya diam menonton semuanya dengan hati yang hampa tanpa rasa.

    Berdasarkan keterangan Ilham, ternyata mengaku masih sendiri. Ilham mau diajak berkali-kali ke hotel dan bahakn telah tidur dirumahku saat aku pergi ke Bali. Ardi menunjukan sikap yang arogan dan bersikeras hendak bersama Ilham. Ku tidak mengucapkan sepatah katapun selain berlalu pergi. Aku memutuskan menandatangani perjanjian damai. Untuk apa lagi aku mempertahankan Ardi?? Di Luar halaman kantor polisi aku bertemu Anto, sahabat baik Ardi sejak kecil, tempat Ardi menyembunyikan mobilnya selama di Bali. Anto sempat meminta maaf, tetapi aku hanya tersenyum dingin.

    Aku pikir Ardi tidak akan pulang, tetapi ternyata ia pulang. Aku bertanya tentang hubungannya dengan Erlin dan Ilham. Ardi mengatakan kalau itu bukan urusanku. Aku menjerit pedih. Ketika aku bertanya apakah Ardi pernah melakukan hubungan intim dengan Ilham, ia bersikeras menyangkal, tetapi aku terus mendesaknya agar bicara jujur.

    Mata Ardi membara, ekspresinya membuatku ngeri. Ia berteriak keras kalau ia telah tidur dengan bayak laki-laki dan perempuan dan mereka semua lebih hebat daripada aku. Ardi memakiku sebagai laki-laki yang membosankan. Aku terhuyung. Air mataku berlinang. Sedetik kemudian aku terpuruk di lantai menahan nyeri di dada. Wajah Ardi memucat. Sesaat ada sesal dimatanya. Ia pergi meninggalkanku yang terisak pedih dengan luka yang menganga lebar di hati. Ardi tidak pulang malam itu.

    Beberapa hari kemudian ia pulang dengan bersikap manis kepadaku. Aku diam tidak meyapanya. Selepas mahgrib, Erlin datang bersama keluarganya. Sungguh menggelikan karena Ardi bersembunyi di kamar dan tidak mau menemui mereka. Aku menemui mereka di teras rumah dengan sopan menanyakan maksud kedatangan mereka. Erlin bercerita kalau Ardi membawanya untuk operasi membalik posisi rahim agar ia tidak bisa hamil. Ardi memaksa Erlin melakukan aborsi dan bayi itu dikubur dihalaman belakang rumahku. Malam itu, Erlin sengaja datang karena ingin menengok makam bayinya dan meminta tanggung jawab Ardi yang berjanji akan memperbaiki posisi rahimnya kembali.

    Sat itu, rasanya seluruh langit runtuh di atas kepalaku. Mas Harry, sahabat Ardi yang juga merupakan teman kantornya baru saja datang. Aku menyurunya memaksa Ardi agar mau keluar menemui keluarag Erlin. Atas desakanku, akhirnya Ardi bersedia mengakui perbuatannya dan berjanji akan bertanggung jawab kepada Erlin dan keluarganya. Aku juga meminta Erlin dan Ardi berdamai. Setelah mengucapkan janjinya, Ardi pergi bersama Mas Harry, aku membiarkan Erlin ke halaman belakang rumahku untuk mencari makam bayinya. Aku tidak mau tahu apakah Erlin menumukan mkam itu atau tidak. Ku berdiam diri di kamar sambil menahan tangis. Erlin mengetuk pintu kamarku, lalu memeluk kakiku sambil menangis.

    “ maafkan aku ya dik sembo,, Selama ini aku termakan omongan Ardi yang bilang kalau Dik Sembo itu hanya pelampiasannya saja, dan laki-laki kasar dan jahat. Dik Sembo katanya juga sekarat, sudah mau meninggal sehingga tidak bisa melayaninya. Aku benar-benar minta maaf. Aku tidak menyangka hati dik Sembo begitu baik,,,Aku minta maaf,,,”isaknya

    Aku memaksa Erlin berdiri dan tersenyum,,” Sudahlah Mbak, yang sudah berlalu biarkanlah berlalu. Pesanku banyaklah berdoa untuk.....bayi itu. Kasihan ia tidak berdosa apa-apa,,” terisak, Kakak perempuannya segera memeluknya. Ayah Erlin menghampiri dan menjabat tangaku.

    “ Sebenarnya kami kaget ketika kami tahu pasangan Ardi bukan perempuan, tetapi laki-laki. Namun Nak Sembo adalah laki-laki yang berhati mulia. Kami atas nama sekeluarga Erlin meminta maaf, kami doakan kebahagian untuk nak Sembo,,”

    Aku hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Sepeninggalan mereka aku menangis sejadi-jadinya. Aku merasa hancur di tanah, lalu terinjak-injak hingga remuk tidak berbentuk. Aku telah menempa diriku dengan kesabaran yang nyaris tidak tertahankan untuk kujalani lagi. Aku berjuangdengan segala daya yang ku punya untuk mempertahankan kehidupanku dengan Ardi. Ibarat membangun sebuah istana di aats pasir, semua perlahan terisap musnah.

    Esoknya aku mengajak Ardi makan malam di luar. Aku merasa perlu berbicara serius dengan dirinya tentang hubungan kami. Ardi mengaku kalau memang tidak bisa menahan hawa nafsunya untuk berhubungan intim sesering mungkin dengan seseorang entah itu laki-laki atau perempuan. Aku mengatakan kalau lebih baik kami berpisah bila Ardi tidak mau merubah kebiasan buruknya. Ardi diam tidak menjawab ketika aku mengajukan opsi berpisah.

    Ketika aku mengatakan apa salahku, Ardi menatapku lembut dan sedih. Ia berkata aku tidak bersalah apa-apa. Ardi mengulurkan tangan dan mengenggam tanganku erat.

    “ Aku minta maaf Sem. kamu laki-laki yang baik, kamu pendamping hidupku yang baik. Kamu manis dan tampan, pintar dan............” mata Ardi berkaca-kaca “ Kamu sempurna.....” bisiknya.

    Aku tersedu,,,, " Lalu kenapa Mas?? Apa kita tidak bisa memperbaiki semuanya lagi?? “

    Ardi menarik napas panjang,,,, “ Aku tidak tahu,,jujur aku tidak tahu,,, Aku tidak bisa mengontrol diriku.....”

    Ardi memang tidak bisa mengontrol dirinya sendiri. Ia tertangkap sedang berbuat asusila dengan penjual jamu di ruangan kerja kantor. Sementara itu, ia masih mengejar-ngejar Ilham dengan alasan akan berpisah denganku. Hari-hari lambat bergulir, aku merasa sudah mencapai batas kepenatanku. Ya Tuhan apalagi yang masih kunanti?? Kenapa aku masih bertahan dengan Ardi?? Ya Tuhan bagaimana aku bisa terus bertahan dengan ketegaran yang semakin menipis?? Tuhan tengah menegurku. Aku pernah mencintai Zaenal bertahu-tahun yang lalu dan aku harus membayarnya dengan semua pengkhianatan Ardi yang seeprti tiada habisnya. Aku telah berusaha menebus dosa dan kesalahanku dengan mencoba menjadi pendamping hidup yang terbaik untuk Ardi, tetapi semua itu seperti tidak ada gunanya. Ya Tuhan, dimana dapat kubeli tegar itu??
  • edited June 2014
    Sebelumnya saya mohon maaf bila cerita ini membuat pembaca menjadi buruk,, di dalam cerita ini tidak ada maksud untuk membuat perilaku seseorang menjadi buruk,,, saya hanya berusaha menceritakan sebab awal seseorang terkena bipolar,,, berbeda dengan cerita-cerita sebelumnya, dimana penyakit yang menjadi obyek cerita seperti kanker atau lupus yang dari awal sudah tahu penyebabnya,, ataupun HIV dan AIDS yang sudah tahu sebab dan akibatnya,, Bipolar secara psikis jadi saya harus tahu mengapa seseorang menjadi bipolar,, Istilah-istilah kedokteran memang belum saya masukan karena ini masih awal cerita seorang sembo menjadi bipolar,, Di akhir cerita nanti baru akan banyak istilah-istilah kedokteran yang nanti saya masukan tentang bipolar disorder,,, terimakasih buat teman-teman yang masih mau membaca,,,,

    @marobmar
    @hantuusil
    @lian25
    @jokerz
    @khieveihk
    @Brendy
    @Just_PJ
    @nakashima
    @timmysuryo
    @adindes
    @Bonanza
    @handikautama
    @kiki_h_n
    @dak
    @Zazu_faghag
    @ramadhani_rizky
    @Gabriel_Valiant
    @Syeoull
    @totalfreak
    @Yogatantra
    @erickhidayat
    @adinu
    @z0ll4_0II4
    @the_angel_of_hell
    @Dhika_smg
    @LordNike
    @aii
    @Adra_84
    @the_rainbow
    @yuzz
    @tialawliet
    @Different
    @azzakep
    @danielsastrawidjaya
    @tio_juztalone
    @Brendy
    @arieat
    @dhanirizky
    @CL34R_M3NTHOL
    @don92
    @alamahuy
    @jokerz
    @lian25
    @drajat
    @elul
    @Flowerboy
    @Zhar12
    @pujakusuma_rudi
    @Ularuskasurius
    @just_pie
    @caetsith
    @ken89
    @dheeotherside
    @angelsndemons
    @bayumukti
    @3ll0
    @jamesfernand084
    @arifinselalusial
    @GeryYaoibot95
    @OlliE
    @callme_DIAZ
    @san1204
    @Bintang96
    @d_cetya
    @catalysto1
    @Rizal_acank
    @Monster_Swifties
    @arya404
    @mustaja84465148
    @Sho_Lee
  • Nyesek bgt ya...
    Aghhh makin galau
  • kok qw ngerasa aneh? begitu kuatnya sembo dg perlakuan ardi, sedangkan sembo di ombang ambingkan perasaan, hebat Sembo bisa tahan n kuat,,,,
  • ini adalah faktor ekstrinsik yang sudah melebih batas kemampuan orang normal. jarang ada bisa tahan dengan hubungan dan kondisi keluarga seperti ini. ini lebih dari sekedar kata berat.
  • bagi @rendesyah tentu sangat berat ketika menghadirkan latar belakang multiyears dan berbagai macam tokoh yg saling melengkapi

    Akan menunggu istilah kedokteran yg jd trademark rendensyah
  • semoga sem tetap tabah, tegar n kuat,, semangaaattt :'(
  • Kalo jd sembo aku udah kabur dri rmah dan menghlang tanpa jejak.
  • pp nya lucu kan? hehehe.

    wah, sem bener2 kuat ngadepin ardi. apa sih sebenernya alasan sem sampai ga bisa ninggalin ardi?
    udah mau mulai cerita bipolar nya yah. ditunggu lanjutan ceritanya. ^^
  • Duh ya sembo sembo... Hatimu tuh ya oalaaaahhhh........
    Tapi setia n perasaanmu patut ku acungkan jempol.
  • dok... aku punya sesuatu untuk dokter... pm aku alamat email dong...
  • sesek napas sku bacanya.... like a usual.
Sign In or Register to comment.