It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Lnjt yg cpet y mas. Thanks udah d mention.
@3ll0 – sip mas,, maaf updatenya lama-lama terus,,,makasih ya,,
@mustaja84465148 – amin semoga kita lebih bisa bijaksana ya mas,, oh iya maaf belum baca cerita mu mas,, nanti kalau sudah agak lowong tak baca ya mas,,,
@elul – hehehehehehe,, emang aku kalau cerita seperti itu ya mas?? Heheheheh,, makasih ya mas sudah mau membaca cerita ini,,.
@handikautama – Okeh,,,,
@arieat – rasa apa tuh mas?? Hehehehe,, makasih lho mas masih mau membaca ceritaku,,
@Sho_Lee – Gak ada maksud menguras airmata mas,, memang bercerita tentang bipolar disorder harus diceritakan dari awal seperti apa mas,, tapi makasih ya mas sudah mau membaca ceritaku,,
@kiki_h_n – Yupz selalu bersyukur dengan kehidupan kita yang lebih baik ya mas kikiy,, hehehehehe,, yupz selalu jaga kesehatan ko,, tenang aja,, hehehehehe
@CL34R_M3NTHOL – hehehehehe,, aku sudah ada yang punya,, hahahahahaha
@GeryYaoibot95 – wah orang cimanggis toh,, heheheheheh,, gimana cimanggis aman??
@Zazu_faghag – Berbeda seperti apa nih?? Heheheheh,, iya ini akan dilanjut ko,,
@tio_juztalone – hahahahaha,, makasih mas,,, masih jauh dari sempurna kho,,,
@marobmar
@hantuusil
@lian25
@jokerz
@khieveihk
@Brendy
@Just_PJ
@nakashima
@timmysuryo
@adindes
@Bonanza
@handikautama
@kiki_h_n
@dak
@Zazu_faghag
@ramadhani_rizky
@Gabriel_Valiant
@Syeoull
@totalfreak
@Yogatantra
@erickhidayat
@adinu
@z0ll4_0II4
@the_angel_of_hell
@Dhika_smg
@LordNike
@aii
@Adra_84
@the_rainbow
@yuzz
@tialawliet
@Different
@azzakep
@danielsastrawidjaya
@tio_juztalone
@Brendy
@arieat
@dhanirizky
@CL34R_M3NTHOL
@don92
@alamahuy
@jokerz
@lian25
@drajat
@elul
@Flowerboy
@Zhar12
@pujakusuma_rudi
@Ularuskasurius
@just_pie
@caetsith
@ken89
@dheeotherside
@angelsndemons
@bayumukti
@3ll0
@jamesfernand084
@arifinselalusial
@GeryYaoibot95
@OlliE
@callme_DIAZ
@san1204
@Bintang96
@d_cetya
@catalysto1
@Rizal_acank
@Monster_Swifties
@arya404
@mustaja84465148
@Sho_Lee
Zaenal membuktikan kata-katanya, ia menemaniku di ruangan ketika baru saja aku hendak meninggalkan kantor.
“Abang”.. aku terhuyung mundur dan buru-buru berpegangan pada meja didekatku.
Begitu menatapku, sorot matanya penuh kerinduan yang nyata hingga aku merasakan tubuhku menggigil seketika. Ya Tuhan, barub aku sadari kalau ternyata aku sangat merindukan Zaenal, padahal kami baru tiga hari tidak bertemu.
“ Aku memenuhi janjiku kalau cintaku bukan cuma sekedar cinta lokasi “ Zaenal melangkah mendekat. Aku buru-buru meraih tasku. Aku tidak ingin menjadi tontonan teman-teman dikantorku, bisa bertambah masalahku jika itu terjadi. Zaenal berkata kalau ia hampir gila karena merindukanku. Ketika ruangan sudah agak sepi ia meraih jemariku dan memanggilku dengan sebutan “Sam”.
Aku dengan cepat menarik tanganku, “ Namaku bukan Sam “
“Aku yang akan memanggilmu” Sam, karena nama itu mengingatkanmu kepada Mbak Vita yang kamu sayangikan?? Aku suka nama ini dan hanya akan ada satu orang di dunia ini yang akan memanggilmu Sam,,”
Lidahku kelu. Aku tidak menyangka Zaenal begitu memerhatikan semua detail cerita tentang hidupku. Sam adalah panggilan yang diberikan oleh Mbak Vita untukku. Zaenal kembali meraih jemariku dan kali ini aku membiarkannya. Ia memintaku membiarkan apa yang terjadi antara aku dan dia berjalan apa adanya.
“ Tidak ada yang terjadi di antara kita,,’ aku mencoba terdengar tegas dan yakin meski pada kenyataannya aku meragukan itu.
“ Jangan membohongi diri sendiri,,” ekspresi Zaenal tampak keras.
Aku teringat pada salah satu syair Khalil Gibran “ Cinta yang terhina dalam ketelanjangannya lebih bernakna daripada cinta yang mencari kemenangan dalam penyemaran,,” Penyamaran yang kini dilukiskan Zaenal sebagai membohongi diri sendiri. Bukankah itu yang harus kulakukan. Membohongi diri sendiri demi kebaikan.
“ Aku sudah memiliki Ardi dan abang sudah beristri. Apa ini kurang jelas?? “
“ Kita tidak bisa memilih kepada siapa kita akan jatuh cinta,,”
“ Aku tidak mencintaimu!!”
Zaenal menatapku lekat “ Ya. Kau mencintaiku seperti aku mencintaimu. Kau hanya belum menyadarinya.
Awalnya, dengan ragu aku berusaha lari dari persoalan Zaenal, tetapi Zaenal tidak pernah memberiku kesempatan untuk menghindar. Ia selalu mengikutiku seperti bayangan, ia ada ke mana pun aku menoleh. Ia membuatku gila dengan perhatian, kebaikan, kata cinta yang tanpa malu ia teriakan begitu saja dikantor walaupun ruangan sepi, puisi, surat, foto dan lukisan yang ia buat untukku. Menghindari dan mengabaikannya justru meletihkanku secara fisik dan psikis. Aku jadi mengerti makna syair Khalil Gibran,, “Sekarang aku tahu bahwa ada sesuatu yang lebih tinggi daripada langit, dan lebih dalam daripada lautan, dan lebih asing daripada kehidupan dan kematian sekaligus. Jika aku tahu sekarang rasa apa yang sebelumnya aku tidak tahu. Itulah Cinta,,”
Kondisi Jakarta yang masih rawan setelah lengsernya Presiden Soeharto seperti menguntungkan Zaenal. Letak kantor kami yang berada di tepat di sebelah Gedung MPR-DPR RI membuat kantor selalu terkena dampak rincuh demonstrasi dan kerusuhan. Halamn kantor dipenuhi tentara anti hura-hura, para bonek, mahasiswa dan demonstran. Aku yang terbiasa dengan Yogyakarta dan Solo yang tenang akhirnya menyerah pada keadaan. Aku membiarkan Zaenal mengantar-jemput dan mengikuti kemana pun aku pergi seperti bayangan.
Malam itu, 1 November 1998 adalah puncak keletihanku. Satu setengah bulan sudah usia janji hidup bersamaku dengan Ardi, tetapi hubungan kami tidak juga membaik. Kehadiran Zaenal semakin memperburuk keadaan. Aku meletakkan tasku di ranjang dan menghempaskan tubuhku ke ranjang dengan lega. Rasanya ketahanan fisikku nyaris ambruk, sakit kepalaku, juga insomnia-ku tidak kunjung sembuh selama bertahun-tahun. Aku hampir memejamkan mata ketika Tante Dija memanggilku, memberi tahu ada telepon untukku.
Terdengar suara Wanita yang asing di telingaku dan meminta bicara denganku. Wanita itu menanyakan bagaimana Ardi sebagai kekasih yang sudah terikat denganku dan apa aku tahu kelakukan Ardi di luar rumah. Ketika aku menanyakan identitasnya, ia bilang kalau ia Adiknya Tirta, pacar gelap Ardi. Aku membanting telepon dan terduduk lemas di kursi samping meja telepon. Beberapa detik kemudian telepon berdering lagi. Sekarang seorang wanita mengaku Riri. Ia mencari Ardi utuk meminta pertanggungjawaban. Riri mengaku hamil dua minggu atas perbuatan Ardi. Kali ini aku benar-benar shock. Gagang telepon jatuh dari tanganku. Tangisku pecah tidak terkendali. Sementara itu, telepon terus berdering.
Aku dengar Tante Dija menginterogasi wanita yang mengaku bernama Riri itu. Riri adalah adiknya Tirta, Riri mengaku bahwa Tirta adalah kakaknya dan ia tahu antara Tirta dan Ardi memiliki hubungan sejak awal ketika aku memutuskan hidup bersama dengan Ardi. Riri mengenal Ardi ketika Tirta mengajaknya kesebuah pub, disitu Riri dan dan Ardi mulai bermain dibelakangku. Riri mengaku kalau ia tahu Ardi memiliki pasangan hidup seorang pria dan menurutnya Ardi berkata bahwa aku frigid dan tidak memuaskannya. Ardi merasa puas ketika ia melakukannya dengan Tirta dan Riri. Ardi mengajak Riri dan Tirta ke Solo, tetapi ketika tahu Riri hamil, Ardi menyuruh Riri dan Tirta kembali ke Jakarta dengan janji akan segera menyusulnya. Sejak itu, Ardi tidak bisa dihubungi. Sambil menangis, Riri bercerita kalau ia ditemani Tirta sudah menemui oarangtua Ardi, tetapi mereka tidak mau membantunya.
Tante Dija menutup telepon dengan marah. Telepon terus berdering tanpa henti. Tante Dija mencabut kabelnya, lalu memelukku. Tante Dija menceritakan kecurigaannya selama aku prajabatan di Bogor. Selama tinggal di rumah tante Dija beberapa kali memergoki Ardi berbicara mesra di telepon. Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri dari tangisku. Aku lalu menelepon ibunya Ardi dan menceritakannya semua.
Tak disangka ibunya Ardi justru menyuruhku berpisah dengan Ardi, kalau akau tidak mau berpisah dengan Ardi aku harus menerima semuanya. Tidak penting benar atau tidaknya Ardi menghamili Riri dan bermain gila dengan Tirta. Intinya menurut Ibunya Ardi aku harus menerima Ardi sebagai pasangan hidup ku apa adanya. Kalu aku terima, Ibunya Ardi akan membereskan segalanya. Lama aku termenung setelah Ibunya Ardi mematikan telepon. Kalau aku mengharapkan kata maaf atau dukungan, aku kalah. Tante Dija bertanya apa aku mau berpisah. Kalau aku berpisah keluarga akan mendukung. Aku terisak pelan dan menggeleng dengan tegas. Aku tidak akan berpisah dengan Ardi dan menunjukkan kegagalan membina hubungan untuk berumahtangga dengan Ardi yang baru berlangsung satu setengah bulan.
Riri dan Tirta terus menerorku, sementara Ardi terus menyangkal hubungannya dengan Riri dan Tirta. Sikap orangtua Ardi yang masa bodoh semakin membuatku frustasi. Om Agung dan Tante Dija memang memberiku semangat, tetapi kesibukan mereka membuat janji jarang bercakap-cakap lama. Aku merasa sendirian, terpukul dan mulai tenggelam dalam fase yang kemudian ku tahu sebagai fase depresi dari penyakit bipolar disorder. Saat itulah, perhatian dan kasih sayang yang diberikan Zaenal terasa sebagai obat terbaik yang ada kalau aku tidak ingin lebih dalam jatuh dalam kehancuran. Surat-surat dari sahabat-sahabatku yang biasanya selalu menghiburku, tidak bisa lagi membuatku tenang.
“ Aku ingin pergi dari sini...............” aku mengaduk-aduk minumanku dengan gugup.
Belakangan ini, aku sering merasa gugup dan gelisah. Aku sering merasa seperti tercekik tidak bisa bernapas. Kemacetan Jakarta, teror-teror Riri dan Tirta, dan sikap Ardi dan keluarganya seperti menekanku jatuh ke lubang keptusasaan yang dalam. Aku kurang tidur dan takut untuk tidur. Setiap kali aku memejamkam mata, aku selalu bermimpi buruk dan sulit bangun. Kondisi ini kuketahui dengan sebutan “somnambulisme”, mimpi burukku saat remaja yang sudah cukup lama tidak pernah kualami. Sekarang mimpi-mimpi buruk itu berulang kembali setiap malam. Jutaan tangan hitam mencengkeram dan menjatuhkanku ke lubang gelap yang tidak berdasar. Aku menjerit dan meronta mencoba sekuat tenaga untuk bangun, tapi seakan ada sosok besar yang menindih dadaku hingga aku tidak bisa bangun.
Aku menelepon Zaenal dan meminta untuk bertemu di sebuah restoran. Aku bercerita tentang keputusanku. Zaenal menatapku, mencondongkan tubuhnya, lalu menciumku. Aku terpaku di tempat. Ciuman Zaenal mula-mula terasa lembut, lalu berangsur panas menyalakan api di tubuhku. Sesaat aku hampir lupa segalanya, lupa kepada Ardi, lupa kepada kepedihanku, lupa pada perasaan berdosaku. Yang ada saat itu hanyalah Zaenal. Betapa aku mencintai laki-laki itu. Aku ingin menjerit, tapi tidak sepatah kata pun keluar dari bibirku. Aku hanya membeku seperti patung dan merasa kejang. Zaenal menarik diri. Ia menenggelamkan wajahnya di kedua telapak tangan. Aku membeku. Aku tidak bisa menangis. Hatiku seolah telah batu. Aku merasa hampa, kosong, sesaat aku mengira diriku telah mati. Aku hampir tidak bisa merasakan apa-apa. Gerakan tertahan di bahu Zaenal mampu menyadarkanku. Zaenal mengangkat wajahnya, matanya basah. Ia meminta maaf dengan suara serak.
Aku hanya mengangguk. Lidahku terasa kelu. Aku terhuyung bangkit ke toilet restoran. Di dalam toilet, barulah setitik air mata jatuh membasahi pipiku. Aku terisak pelan dan jatuh terduduk di lantai kamar mandi. Oh Tuhan, apa yang telah aku lakukan?? Berciuman dengan laki-laki yang bukan pasangan hidupku. Kenapa, Tuhan?? Kenapa ini harus terjadi kepadaku?? Kenapa aku harus cinta kepada laki-laki yang tak boleh kucintai?? Apa yang telah terjadi dengan kewarasanku?? Kenapa aku bisa menjadi gila begini??
Tak pernah terlintas dalam benakku bahwa pertemuan ini akan menyingkap rahasia hatiku. Saat itu, aku hanya membutuhkan penghiburan setelah kenyataan menyakitkan kalau Ardi telah mengkhianati janji untuk hidup bersama dan mengoyak hatiku. Kini, apa bedanya aku dengan Ardi?? Aku membalas pengkhianatan Ardi dengan pengkhianatan, aku sama menjijikannya dengan Ardi. Aku menghapus air mataku dengan kasar, aku bangkit. Buat apa air mata ini?? Toh semua telah terjadi. Aku telah menjadi seorang pengkhianat. Menangis tidak akan mengurangi dosaku.
Saat aku kembali ke toilet, Zaenal tampak sedang melamun. Tatapannya berpaling ke arahku. Kami saling bertatapan. Air mataku menitik tanpa bisa kutahan. Tangan Zaenal terulur menghapus air mataku. Aku diam. Aku menyesal, sangat menyesal!! Telah bertahun-tahun aku menjunjung tinggi prinsip moral dan kehormatanku, tetapi dalam sekejap kuhancurkan semuanya.
“ Aku mencintaimu Sam. Seumur hidupku, baru empat kali aku sungguh-sungguh menangis. Pertama, waktu ayahku meninggal. Kedua, ketika adikku meninggal. Ketiga, ......” Ia tampak ragu,, “ Waktu Galih meninggalkanku dan sekarang............” Zaenal menatapku lekat-lekat. Ada kepedihan disuaranya. “ Karena aku harus mencintai laki-laki yang sudah memiliki pasangan hidup,,”
Aku diam membisu, aku marah kepada diriku sendiri karena telah membiarkan Zaenal menciumku. Zaenal menertawakan kepolosanku. Ia tidak menyesal menciumku karena ia mencintaiku sejak pertama kali melihatku naik bus 18. Ia telah mengikutiku selama berhari-hari sebelum akhirnya kami bertemu di prajabatan. Ia melihatku berjalan, berlari, tertawa, tersenyum,melamun hanya untuk meyakinkan diri kalau ia mencintaiku. Berkali-kali ia berusaha mengingatkan dirinya kalau aku telah menjadi milik orang lain, tapi tidak pernah bisa. Ia benar-benar tidak bisa mundur. Ini bukan pengkhianatan karena ia merasa mengkhianati cinta siapa pun.
Aku memalingkan wajah. Bagiku, pengkhianatan tetaplah pengkhianatan, apa pun alasannya. Aku memutuskan untuk tidak bertemu dengan Zaenal. Wajahku yang nyaris menangis membuatnya menyetujui permintaanku.
Aku menghindari Zaenal sebisaku. Aku tahu Zaenal masih mengikutiku diam-diam, tetapi setiap kali ia mencoba mendekatiku, aku berlari menghindar. Kejadian di restoran benar-benar memukulku. Aku merasa jijik kepada diriku sendiri. Ya, kami memang tidak melakukan apa-apa, tetapi kami berciuman. Mungkin bagi sebagian besar orang di zaman modern ini, terutama di kota besar seperti Jakarta, affair adalah sesuatu yang wajar terjadi, tetapi tidak bagiku. Aku memang tidak dibesarkan dalam lingkungan yang agamis, tetapi selalu ada kontrol moral yang kujunjung tinggi selama ini. Zaenal mengacaukan semua itu. Menenggelamkanku ke dalam kegelapan. Aku sangat tersiksa dan ingin keluar dari semua. Aku ingin bercerita kepada seseorang, tetapi aku malu. Sangat malu. Apa pandangan orang tentangku??
Di saat seperti ini, aku sangat merindukan sahabat-sahabatku di Solo. Hanya surat-surat mereka yang selalu menghiburku. Tanggapan mereka tentang keberadaan Zaenal berbeda-beda. Yang paling kuingat adalah ucapan Erika dulu “ Dengan cara kita mencintai pasangan kita ini, suatu saat kita akan merasa jenuh, capek dan di saat itu pula seakan-akan kita enggak peduli dengan pasangan kita. Atau di saat pasangan kita mulai takluk, kita malah siap-siap untuk membalas semua yang pernah mereka lakukan kepada kita,,” Apakah aku sedang bersiap-siap membalas apa yang dilakukan Ardi dengan membiarkan perasaanku kepada Zaenal berkembang?? Kedatangan Ardi ke Jakarta untuk meminta maaf bahkan tidak bisa membuatku merasa lebih bahagia.
Ardi tampak resah dan gugup. Ia meminta maaf. Aku menatap laki-laki yang telah berjanji hidup bersama dengan hampa. Dulu aku pernah mengira kalau aku mencintai Ardi, tapi kini aku sadar kalau itu bukanlah rasa cinta. Ardi pernah menjadi satu-satunya laki-laki di hati dan hidupku. Sewindu mengenal Ardi bukanlah waktu yang singkat. Kami pernah mengalami semua rasa manis, tapi kenapa semuanya hancur berantakan?? Kenapa ketika hidup bersama dengannya kami bisa begini?? Ardi memintaku untuk melupakan semua dan memulai dari awal, Aku mendesah. Hatiku terasa mati rasa, kosong dan hampa. Ardi telah mengakui kesalahannya dengan jujur. Sejuta pertanyaan dikepalaku tentang Riri dan Tirta lenyap begitu saja. Berhakkah aku terus menghakimi Ardi, sementara aku sendiri tidak sanggup mengakui kesalahanku yang telah aku perbuat?? Aku juga telah mengkhianatinya.
Tidak mudah membangun kembali sesuatu yang nyaris runtuh. Jarak yang terbentang antara aku dan Ardi membuat keadaan semakin sulit. Meskipun aku telah memaksakan diriku setiap minggu pulang ke Solo, tetapi komunikasi kami tetap macet. Ardi sibuk dengan bisnis jual beli mobil, membuak rental playstation dan video game. Ia jarang punya waktu untuk menengokku ke Jakarta. Kalau aku tidak memaksakan diri untuk pulang, kami bisa menjadi orang asing satu sama lain. Puncaknya ketika aku kembali menemukan surat-suart cinta dari seorang laki-laki di laci meja kerja Ardi ketika aku pulang ke Solo. Kami bertengkar sampai aku merasa lelah dan memutuskan untuk diam.
Ketika aku kembali ke Jakarta, seperti kerasukan setan, aku membiarkan diriku dekat dengan Zaenal. Kami memang hanya berbincang, makan bersama, sesekali pergi nonton dan berjalan-jalan ke mall. Aku sebenarnya sadar telah bermain api. Sering kali hatiku menjerit. Oh Tuhan, bisakah aku menghentikan ini semua dan mulai segalanya dari awal?? Saat itu aku nyaris tidak bisa lagi mengenali diriku sendiri. Ini bukan aku. Bukan aku. Bagaimana mungkin aku dapat mengkhianati Ardi bersama laki-laki yang telah beristri. Seorang laki-laki yang baru kukenal dalam hitungan bulan. Ia bukan aku.
Lalu siapa?? Siapa laki-laki yang telah membuang harga diri, kehormatan,prinsip dan nilai moral yang selama ini dijunjung tinggi itu ke kaki Zaenal?? Siapa laki-laki yang kemudian terpuruk di sudut kamar mandi dengan air mata yang tidak bisa berhenti mengalir dan terus mencoba menggosok tubuhnya dengan air dan sabun, berharap itu mencuci bersih tubuhnya dari noda dan dosa?? Bila ia bukan aku, lalu siapa dia?? Di mana aku?? Aku sudah tidak ada. Ku sudah mati. Dan Zaenal yang telah membunuhku.,
Zaenal membunuhku dengan menanamkan benih cinta yang seharusnya tidak boleh tumbuh. Benih terlarang yang kemudian tumbuh seperti benalu di hati dan jiwaku, menggerogoti dan mengisap semua sari kehidupanku hingga tidak ada lagi yang tersisa. Kesucian, kebaikan, kesetian, kejujuran, semua mati. Lalu kenapa aku membiarkan benih itu disemai dihatiku?? Kenapa aku tidak melangkah mundur ketika sesal mulai berkecamuk dalam diri?? Kenapa aku terus melangkah maju??
Mungkinlah karena aku telah menghabiskan senagian besar waktuku untuk mencari cinta?? Aku begitu ingin merasakan cinta , membutuhkan cinta, dan mencari-carinya, tetapi aku tidak jua kunjung menemukannya.
Ketika cinta itu tiba-tiba datang dihadapanku, mengetuk pintu hatiku yang sunyi dan berkata “ Ini aku datang. Ambil dan nikmatilah, Aku milikmu “ Di saat seperti ini, mana mungkin aku mengatakan “ Jangan sekarang. Kapan-kapan saja,,”
Zaenal membawaku menemui Mama. Ia bersikeras agar kami memperbaiki hubungan sebagai Ibu dan anak. Mulanya terasa canggung, Tetapi kemudian aku mendapati diriku bisa lebih mudah memahami Mama. Mama hanyalah seseorang yang berjuang seumur hidupnya untuk mengubah nasib agar jadi lebih baik. Dengan keterbatasan yang kumiliki, aku mencoba membantu keuangan Mama. Aku mencoba menempatkan diriku sebagai anak dan kakak dari ketiga adikku. Aku berharap suatu saat kami bisa menjadi sebuah keluarga dalam arti yang sebenarnya.
Zaenal membuatku tersenyum dan tertawa. Zaenal mendengarkan semua ceritaku, membuatku merasa spesial setiap hari. Kami menemukan banyak hal yang sama-sama kami sukai. Musik, puisi, hidup, lukisan, film, dan segala hal bisa kami perbincangkan dan perdebatkan bersama. Zaenal mengajakku berkeliling Jakarta dengan kendaraan umum, bertemu para seniman jalanan, pelukis Blok M, juga teman-teman fotografernya. Zaenal memperkenalkanku pada kehidupan yang tidak pernah kukenal sebelumnya. Ia membiarkanku menjadi diriku sendiri. Bersamanya aku merasa hidup sangat hidup.
Kemudian datanglah surat dari Dendy. Surat yang sangat panjang dan penuh dengan nasihat. Secara emosional, Dendy bisa memahami perasaanku. Tidak seorang pun mampu menghindar dari perasaan yang sangat abstrak dan semua orang berhak untuk merasakan kebahagian. Tapi di sisi lain, ia memintaku untuk berpikir rasional dan proposional, mengingat status kami masing-masing. Sebagai sepupu dan sahabat yang sangat memikirkan dan sayang kepadaku, ia tidak bisa berpura-pura memahami atau tidak mengingatkan saat melihatku berjalan ke arah yang keliru. Ia mendukungku, namun hanya sebatas toleransi emosional.
Aku merenungi surat Dendy selama berhari-hari, menangis setiap malam dan merasakan sakit kepala yang hebat hingga meremukkan kepalaku setiap hari. Aku memutuskan bersembunyi dari Zaenal. Aku merasa seperti seorang buronan yang berusaha menghindari para polisi dan intel. Setiap hari aku seperti sedang berlari maraton ratusan kilo. Setiap kembali ke rumah aku merasa sangat letih. Zaenal mengirimiku puluhan surat dan puisi yang tidak pernah kubaca. Aku berusaha lebih rajin menelepon Ardi dan mengiriminya surat. Aku melakukan segala hal yang bisa kulakukan untuk mengusir pergi Zaenal dari kepalaku, terutama hatiku. Aku frustasi, depresi dan tidak seorang pun tahu apalagi mengerti. Aku sendirian dan letih.
Senja itu, aku tidak bisa menghindar ketika Zaenal sudah duduk di sampingku di dalam bus yang membawaku pulang. Aku tidak mungkin melompat turun dari bus yang sudah melaju. Aku hanya bisa membiarkannya di sana. Ia terlihat letih, kusut dan jauh lebih kurus sejak terakhir aku melihatnya. Zaenal menulis di buku agenda, merobek dan menjejalkannya ke tanganku. Aku tidak ingin membacanya, tetapi melihat wajahnya yang putus asa, akhirnya aku membacanya. Zaenal menuliskan kalau hanya aku yang diingatnya ketika ia jatuh sakit.
Aku menatap Zaenal, ia mengatakan kalau hatinya sakit. Ia mengajakku turun dari bus dengan setengah menyeretku. Kami berdiri di trotoar tepi jalan, di tengah lalu lalang manusia dan lampu kota Jakarta yang gemerlap mengalahkan jutaan bintang di langit. Zaenal menghadapkan tubuhku ke arahnya. Kami berdiri berhadapan. Zaenal membuang tatapannya ke langit malam yang terang benderang oleh lampu kota jakarta.
Zaenal tidak bisa memilih kepada siapa ia akan jatuh cinta. Ia tidak ingin jatuh cinta kepadaku. Ia ingin membuang semua rasa ini. Harinya terasa mgilu ketika membayangkan aku bersama Ardi. Ia memintaku untuk berhenti bersikap munafik dan jujur pada perasaanku sendiri kalau aku pun tidak bahagia seperti dia. Aku terkejut ketika Zaenal dengan nekat berteriak kalau ia mencintaiku.
Beberapa orang yang lewat tertawa, bersiul, berwajah jutek dan mengomentari kami. Mukaku merah padam. Aku sangat malu. Kudorong Zaenal dan bergegas meninggalkannya. Zaenal mengejarku, tangnnya yang kuat mencekal lenganku. Ia menyentakkan tubuhku menghadapnya. Kami kembali berhadapan , ia berkata kalau ia tidak akan pernah melepaskanku. Aku dan siapa pun orang di dunia ini tidak punya hak untuk memaksanya berhenti mencintaiku.
Itulah Zaenal. Nekat, pantang menyerah, dan gila-gilaan. Anehnya, aku tidak bisa menolak untuk pertama kalinya dalam hidupku. Aku merasa dicintai dan dihargai sebagai seorang laki-laki. Zaenal bisa membangkitkan impian terliar dari orang sepolosku. Ia mmapu membuat segala hal yang menjadi tampak begitu berarti. Aku yang bertahu-tahun bertahan pada kehormatannya dan harga diri, jatuh dengan begitu mudah ke dalam pelukannya. Ia telah mengubahku. Ia membuatku lebih hidup dan berarti. Cinta terlarang yang tumbuh di antara kami tidak dapat dicegah lagi. Cinta itu bahkan tumbuh semakin besar, berakar dan tidak bisa dicabut dengan cara apa pun.
Cinta kami sesalah apapun sangat indah. Sungguh aneh, cinta yang tumbuh di atas dosa, pengkhianatan dan dusta bisa seindah itu. Apakah semua yang terlarang justru terlhat sangat indah sehingga membuat banyak manusia berusaha menggapainya meski tahu itu terlarang?? Cinta kami bertahan di antara cemooh. Aku mengabaikan semua. Cinta telah membuat kami buta dan bahkan tuli hingga tidak bisa lagi melihat kenyataan dan mendengar jeritan hati nurani kami sendiri. Aku bersikeras tidak mau melakukan kontak fisik dan Zaenal menghargaiku.
Ketika aku mulai merasa letih dengan kemunafikan dan kebohonganku sendiri, Mas Abimanyu tiba-tiba meneleponku. Lama aku terdiam mendengar suaranya di seberang sana yang seperti datang dari dunia lain yang tidak kukenali lagi. Aku tercekat mendengar suara Mas Abimanyu. Ia mengucapkan selamat atas kehidupanku bersama Ardi dengan nada getir. Ia hanya ingin melihatku bahagia. Aku sudah membuat sebuah pilihan dalam hidupku dan ia selalu berdoa semoga itu pilihan yang terbaik. Ia tidak ingin melihatku menangis, baginya tidak mudah melupakan seseorang seperti aku. Sebelum ia menutup telepon ia berbisik,, ”Berbahagialah, Sem. Kebahagianmu akan jadi kebahagianku juga.......”
Lama setelah Mas Abimanyu meneutup teleponnya, aku terkenang kembali pada masa lalu. Bagaimana aku bisa tegas membuat pilihan antara ia dan Ardi, lalu kenapa sekarang aku tidak bisa?? Sering kali aku menyinggung tentang masa depan hubungan kami kepada Zaenal. Mau sampai kapan kami terjebak dalam hubungan yang tidak bermasa depan ini?? Semua itu membuatku maju-mundur dari Zaenal. Kami seperti dua anak kecil yang bermain kejar-kejaran, aku berlari dan Zaenal mengajarku. Aku sedang melakukan permainan yang berbahaya.
Aku tidak bisa terus-menerus seperti ini. Aku tersiksa. Aku mengingatkan Zaenal kalau kami telah berbohong kepada banyak orang, kepada pasangan kami, pada hidup kami, kepada diri kami sendiri. Bagiku, aku hanya pelengkap bagi Zaenal. Semua surat, puisi dan kata-kata cinta itu tidak membuktikan apa-apa. Zaenal selalu sibuk memperingatkanku agar tidak lupa menjaga kerahasian hubungan kami dan agar aku bisa memahami posisinya bila suatu saat semua terbongkar. Kalau dunia sampai tahu, ia harus mengingkari keberadaanku demi karier, demi istri, anak dan keluarganya.
Zaenal hanya peduli pada karier dan keluarga, tapi sama sekali tidak peduli denganku. Bagaimana denganku?? Aku juga punya karier dan keluarga. Aku juga tidak mau semua itu hancur, kenapa ia tawarkan semua ini kepadaku?? Betapa egoisnya Zaenal?? Tidak cukup baginya memiliki satu pasangan hidup yaitu istrinya. Ia ingin keduanya, tapi tidak mau menanggung resikonya. Zaenal membantah semua tuduhanku dan berkata kalau ia sangat mencintaiku, bukan sebagai pelengkap hidup. Ia terlalu mencintaiku sehingga setelah ia bertemu denganku, ia bahkan tidak sanggup menyentuh istrinya.
Bibirku mengatup rapat, menahan jeritan yang ingin kuteriakkan keras-keras. Oh, Tuhan mengapa aku harus jatuh cinta kepada laki-laki ini?? Mengapa kubiarkan diriku mencintainya begitu dalam, sampai-sampai seandainya Zaenal memintaku untuk meninggalkan Ardi, akan kulakukan itu?? Tetapi Zaenal tidak mau itu. Zaenal tidak mau menjadikanku satu-satunya pasangan hidup yang sah. Zaenal tidak mau melepaskanku, tetapi juga tidak mau melepaskan istrinya. Apa artiku bagi Zaenal?? Aku hanya pelengkap dalam hidup Zaenal!! Aku hanya membodohi diriku sendiri.
Aku meminta Zaenal untuk tidak menggangguku lagi. Kalau benar ia mencintaiku, ia harus melepaskanku. Aku harus melanjutkan hidupku, aku mau kuliah lagi. Aku mau bahagia bersama Ardi. Zaenal memohon agar aku tidak pergi. Aku berpaling dan bergegas melangkah pergi meninggalkan Zaenal yang termangu direstoran tempat kami makan siang. Zaenal mengejarku, tapi aku terus melangkah tanpa peduli. Zaenal menarikku, mencekal lenganku begitu erat hingga aku meringis kesakitan. Aku berusaha meronta dari cekalannya. Aku merasa sangat letih, Zaenal lalu berteriak,, “ Aku akan menceraikan istriku. Aku akan bercerai dari istriku. Kamu dengar itu Sam?? Demi kamu, aku akan bercerai!! “
Kata-kata Zaenal yang akan mencraikan istrinya terus terngiang di telingaku. Menghantuiku setiap waktu. Mengganggung konsentrasiku yang sedang mengumpulkan informasi untuk melanjutkan kuliah. Pada saat yang bersamaan, departemen tempatku bekerja kembali membuka lowongan untuk pegawai baru. Ibunya Ardi memintaku menolong Ardi agar bisa lolos dalam setiap tes. Kebetulan aku menjadi salah satu seorang panitia penerimaan pegawai baru. Aku menghadap atasanku dan para pejabat yang berkompetensi untuk meminta bantuan mereka. Entah karena mereka menyukai cara kerjaku atau pribadiku, mereka semua bersedia membantuku.
Disatu sisi, Zaenal memenuhi janjinya. Ia menunjukkan salinan permohonan cerainya. Sebagai PNS, aku tahu betapa sulitnya proses perceraian. Aku tahu semua akan memakan waktu lama. Aku tidak ingin terbuai pada harapan yang tidak jelas. Aku memilih konsentrasi pada hidupku sendiri.
Ardi akhirnya lulus tes berkat bantuanku. Pak Giri, Kepala Bagian Penempatan Pegawai secara khusus memanggilku dan menawarkan daerah Kalimantan untuk penempatan Ardi. Aku sampaikan hal itu kepada Ibunya Ardi. Beliau meminta posisi di Solo atau Yogyakarta dengan alasan tidak sanggup berpisah dari Ardi. Aku sudah mengemukakan kemungkinan karier Ardi di Solo tidak akan sebagus apabila ia mengambil posisi di luar jawa, tetapi Ibu tetap bersikukuh. Ardi tidak pernah berminat menjadi pegawai, hanya mengikuti semua yang dikatakan Ibunya. Akhirnya,dengan sedikit malu kuceritakan semua itu kepada Pak Giri yang sempay menyayangkan keputusan Ardi. Ardi mendapatkan posisi di Kabupaten Boyolali, sebuah daerah perbatasan dengan Surakarta/Solo.
22 Desember 1999, tepat pada hari Ibu. Zaenal tiba-tiba meneleponyaris tidak mampu nku dengan nada mendesak ingin bertemu denganku secepatnya. Kami bertemu di hutan kecil depan departemen kami. Zaenal nyaris tidak mampu menatap mataku. Ia tampak gelisah dan tidak henti-hentinya mengusap rambutnya dengan gugup. Sikapnya membuatku ikut gelisah.
Sesaat kulihat matanya berkaca-kaca. Ia tiba-tiba meminta maaf hingga membuatku menatap curiga. Jantungku tiba-tiba berdebar tidak karuan. Zaenal meraih tanganku dan menciumnya. Ia terus bersumpah bahwa ia khilaf. Ia menarik napas panjang, sesuatu yang nyaris tidak pernah ia lakukan selama aku mengenalnya satu setengah tahun ini.
“Dian hamil”
Zaenal mengucapkannya cukup lirih, tetapi itu seperti bom bagiku. Aku hanya mampu menatapnya tanpa sanggup berkata-kata. Kata-katanya yang tidak pernah menyentuh Dian sejak bertemu denganku masih terngiang di telingaku. Aku sungguh bodoh memercayainya.
“Jangan dekati aku lagi,,” bisiku parau menahan tangis.
“ Sam, aku minta maaf. Aku khilaf malam itu. Aku sudah minta Dian untuk mengugurkannya. Jangan tinggalkan aku, Sam. Kumohon,,”
Aku menatap Zaenal dengan perasaan jijik.
“ Kamu minta Dian mengugurkan kandungannya?? “ desisku marah.
“ Kamu gila dan menjijikkan!! Jangan jadi pengecut, Bang!! Jangan ganggu aku lagi,,” Aku berlari meninggalkan Zaenal. Air mataku menderas seperti anak sungai. Hatiku hancur. Mimpi-mimpi yang pernah kurajut bersama Zaenal buyar berantakan. Aku sungguh bodoh. Aku tidak menyadari kalau segala sesuatu yang nyata, sepahit apa pun, justru akan lebih manis dibanding impian yang bisa setiap detik sirna. Aku jatuh sakit, badanku menggigil tdak karuan. Aku terus menerus merasa mual dan tidak bisa menebus makanan.
Setelah beberapa hari terbaring di rumah, aku memaksakan diri untuk bangkit dan masuk kantor. Jam makan siang, aku pergi makan bersama dengan Ibu Peni dan Eki untuk makan siang, meskipun aku tidak bisa menelan apa-apa. Ketika aku hendak memasuki lift kembali ke ruanganku di lantai sembilan, tiba-tiba semua terasa gelap bagiku. Aku pingsan di pelukan Eki. Saat aku tersadar, aku telah terbaring di atas ranjang poliklinik departemenku.
Aku mencoba minum, tetapi tersedak. Bu Peni membantuku berbaring kembali. Lagi-lagi aku pingsan dan Zaenal menggendongku ke poliklinik. Aku menatap sekeliling dan menemukan ruangan penuh sesak oleh teman-teman seruanganku. Zaenal menghampiriku dan duduk di samping ranjang. Ia meraih tanganku dan menggenggamnya tanpa peduli sekeliling,, “ Kamu membuatku khawatir setengah mati,,” katanya.
Sebuah perasaan hangat mengaliri hatiku. Tatapanku bertemu dengan Zaenal. Sudah hampir seminggu kami tidak bertemu. Sorot mata zaenal berbicara begitu banyak melebihi kata-kata yang mungkin terucap. Kami berdua seolah melupakan orang-orang di sekeliling yang dengan diam-diam menyingkir pergi meninggalkan kami berdua. Zaenal menyentuh lembut dahiku. Badanku demam dan merasa mual.
Zaenal mengantarku pulang dengan meminjam mobil kantor. Di perjalanan, kami tidak banyak bicara. Keesokan harinya, Bu peni memaksaku untuk melakukan tes darah di laboratorium. Aku sempat menolak dengan alasan mungkin hanya masuk angin. Pingsan sudah menjadi langgananku sejak SMA, tetapi Bu Peni bersikeras hingga aku menyerah. Sore hari sepulang kantor, aku ke poliklinik untuk mengambil hasil tesku. Aku terkejut karena Zaenal juga sedang ada di sana. Zaenal mencermati wajahku yang masih tampak pucat. Ia mengkhawatirkan keadaanku. Aku mengatakan kalau kedatanganku hanya untuk mengambil hasil tes darah pagi tadi.
Aku meninggalkan Zaenal untuk mengambil hasil tesku. Mbak Nina, petugas poliklinik tersenyum menyambutku bahkan menjabat tanganku. Hasil tes darahku baik-baik saja, hanya tekanan darah ku sangat rendah. Aku berjalan linglung, beberapa kali pingsan hari ini membuatku memiliki perasaan berkecamuk di dalam hati dan pikiran. Hubunganku dengan Ardi belum juga membaik, Ardi sibuk dengan dirinya sendiri, sedangkan aku berencana kuliah semester depan. Aku punya karier yang cukup menjanjikan. Aku duduk di bangku luar poliklinik sambil memijat-mijat kecil tanganku, mencoba merasakan kehidupan yang sedang tumbuh di dalamnya. Hidup adalah pilihan. Aku harus segera memilih.......
Zaenal berjongkok di depanku. Wajahnya cemas. Aku mencermati wajah yang selama ini kupikir telah menjadi pusat hidupku. Rasa cinta ini mungkin masih ada, tetapi tiba-tiba kusadari itu tidak penting lagi. Seperti tersambar kilat di siang bolong, saat itulah aku tahu apa yang harus kupilih. Tuhan telah menunjukkan jalan kepadaku, apa yang harus kulakukan untuk hidupku. Aku memberi tahu Zaenal bahwa kalau aku ingin pergi darinya. Wajah Zaenal memucat. Aku menatap Zaenal dan mencermati setiap sentimeter wajahnya.
“ Hidup adalah pilihan, Bang. Dan inilah pilihanku, melepas mimpi tentang cinta kita. Aku akan pindah ke Solo, tempat Pasangan hidupku Ardi dan keluargaku berada,,”
*lap air mata
segala sesuatu yang nyata, sepahit
apa pun, justru akan lebih manis
dibanding impian yang bisa setiap
detik sirna.
ini kata2 yang sangat dalam ... long road through the deep dark forest
Ah. Makin runyam nih .
"hidup adalah pilihan dan inilah pilihanku..."