It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
"Teng....teng...."
Lonceng apel pagi. Aku bangun dengan agak malas. Masih ngantuk. Semalam kurang tidur. Rudi, Haris dan ryo tampak sudah bangun. Membereskan tempat tidur masing-masing. Aku pun melakukan hal yang sama. Trik dari ryo melipat selimut cukup membantuku. Sebentar saja aku telah bisa melipat dengan cepat.
(Obiet mode on)
Dengan berbalut handuk. Aku, rudi dan haris kembali menuju bak mandi tempat peralatan kami berada. Seperti bisa Rio bergerak menuju WC yang katanya mau BAB.
Haris dan rudi tampak santai melucuti handuk yang tadi menutupi bagian bawah tubuhnya. Handuk digantung di atas pipa panjang yang ada diatas pinggiran bak mandi.
Mereka tampak polos tanpa selembar benang pun. Penis haris tampak besar walau tidak tegang. Sunat dan rimbun. Sementara kepunyaan rudi. Gemuk. Berisi. Dengan bulu yang dipotong rapi.
Melihat mereka telanjang bulat fikiranku kembali melayang pada kejadian semalam. Dua tubuh ini berpadu. Saling sentuh. Saling lumat. Aku kembali terangsang. Benda diantara selangkaku mengembang.
Sial.... Kenapa aku bisa kayak gini? Kembali pertanyaan itu muncul diotakku. Apa aku ini gay? Tidakkkkk....
"kamu lagi horny ya nino? Itumu tegang tuh"
Malu..malu... malu bener aku mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut rudi.
"oh...eh.... Iya nih udah 2 minggu nih nggak mimpi basah" kataku beralasan sambil menutupi dengan kedua tanganku.
"ya udah kalo gitu di coli aja tuh di wc biar nggak kepikiran?" usul haris.
"nggak ah, takut ntar belajar badan jadi lemas" ujarku lagi.
" loh kok mandinya pake celana pendek gitu rio?"
Pertanyaan sama yang kutanyakan pada ryo waktu saat pertama aku mandi bareng dengannya ditanyakan lagi oleh haris
"em...aku aku nggak biasa mandi rame-rame gini no" ujarnya dengan alasan yang sama.
"wow....kakinya mulus banget ryo? Kayak kaki cewek tuh" rudi berseloroh.
Ryo tampak cemberut menerima gurauan itu. Disiramkannya segayung air bak yang dingin karena hari masih pagi ketubuh rudi. Karena tubuh rudi kaget akibat perubahan tubuhnya, saat air tersebut mengenai tubuhnya rudi menjerit-jerit. Sesaat mengundang perhatian beberapa teman yang juga mandi saat itu.
"kamu nggak tak aturan asrama ini ya?"
Suara berat yang menyebalkan itu mengisi ruang indra pendengaran kami. Senior hitam yang menghukumku waktu itu kini berdiri disamping kami.
"iya bang maaf"Jawab kami.
Ku pikir senior itu marah karena kami bercanda saat mandi. Ternyata bukan hal itu yang peyebabnya.
"saat mandi dilarang memakai pakaian tauk!" ucapan itu diarahkan kepada ryo.
"iya bang saya minta maaf"
"sekarang bukak! Setelah itu kamu push up 50 kali"
Ryo tak membantah. Dibukanya penutup tubuh terakhirnya. Kemudian telungkup dilantai kamar mandi yang kotor dan basah itu. Mulai menghitung. Bergerak turun naik melakukan push-up. Kami pun hanya bisa diam. Tak bisa berbuat banyak. Saat ryo menyelesaikan hitungannya.
"Untuk kamu! Temui aku ditempat biasa nanti malam" ujar senior itu kepada haris sambil berlalu pergi.
Ryo kembali berdiri. Kini tubuh putihnya benar-benar polos. Tubuh itu tampak bersih dan berkulit halus tanpa cacat dari ujung rambut sampai keujung kaki. Aku terpesona melihat sosok polos ryo. Tak pernah aku merasakan hal ini pada cowok mana pun.
Akkkkk.....aku benar-benar bingung dengan hal ini. Kenapa?? Kenapa aku bisa tertarik dengannya?. Padahal ryo itu seorang cowok sama seperti diriku.
Tapi aku terpana pada benda di antara selangkanya itu. Kulihat haris dan rudi juga memandang kearah yang sama. Penis ryo tampak kecil. Disekitarnya ditumbuhi bulu yang jarang. Sepertinya baru tumbuh. Yang bikin uniknya lagi penis itu berwarna hitam. Sangat kontras dengan warna kulitnya yang putih.
Saat ryo menyadari benda rahasianya jadi objek penglihatan kami. Aku, rudi dan haris cepat-cepat memalingkan pandangan. Pura-pura sibuk mau mandi. Hal ini kami lakukan ntuk menjaga perasaan ryo agar dia tak merasa di mindee memiliki penis kecil. Kini terjawab sudah semua pertanyaan, kenapa ryo mandi selalu memakai celana pendek.
Hari ini masih seperti hari-hari kemarin. Kegiatan yang menguras tenaga dan otak. Latihan fisik seperti seorang militer. Teori-toeri didalam ruangan kelas. Cukup menyita waktuku. Usai acara makan siang aku bisa sedikit bernafas lega. Ada waktu untukku beristirahat sebelum mengikuti latihan tinju bersama pak edwar sore nanti.
Ku luruskan kedua kakiku diatas ranjang. Terasa rileks. Aku teringat pada kertas tipis bersampul biru milik ryo. Belum sempat ku baca. Padahal aku berjanji akan memberikan opini pada tulisannya yang ada dikertas bersampul biru itu. Ku ambil dari lemari dan kembali ke sisi semula. Lembar pertama.
**** Hot Water by : Ryo ****
Napas kevin tersengal-sengal saat tiba di pintu gerbang kampus. Ini hari pertamanya resmi menyandang status mahasiswa. disekitarnya ada beberapa orang cewek dan cowok beratribut sama dengannya yaitu baju kaus berwarna kuning dengan bahan murahan bertuliskan nama universitas tempatnya menuntut ilmu. seperti baju kaus partai yang dibagikan khusus tuk rakyat miskin. Bahan baju kaus ini juga biasa banyak dipakai sebagai saringan pembuatan tahu. bagian bawah ditutupi oleh celana panjang berwarna putih. Tas yang terbuat dari bahan daun pandan berisi 2 butir telur, 1 buah terung,dan 1 papan pete. Disamping itu juga diharuskan memakai topi pandan yang biasa di pakai petani. Rambut di potong pendek. Sementara untuk cewek rambutnya diberi pita warna-warni. Semua tampak tergesa-gesa. hari menujukkan pukul 6:30
"Bukan sudah dibilang semua harus sudah hadir jam 7:00 wib waktu kampus, kenapa terlambat"
Wajah-wajah berpakaian kuning itu semua tertunduk.
*********************
Terasa mulai mengasikan. Kuteruskan membaca. Membuatku semakin penasaran. Tak terasa lembar demi lembar halaman kulibas dengan kedua indra penglihatanku. Tak mau berhenti ingin tahu bagaimana akhir kisah di tulisan ini.
Ternyata ryo tidak bercanda kalo dia punya bakat menulis. Hasil karyanya ini memberi kepuasan tersendiri padaku saat menyelesaikannya membaca. Berbagai intrik diramu dengan baik. gaya penulisan yang tidak monoton. Aku benar-benar terkesan. Kuletakkan kembali kertas bersampul biru itu di lemari. Aku bergerak menyiapkan peralatan tinju dan berganti kostum.
Aku berjanji dalam hati kan memuji tulisannya nanti dan memberinya dukungan.
"bagus nino! Lagi....lagi... Agak merendah!"
"hug...jeb sesekali berengi dengan upper cut"
Pak edwar memberikan intruksi ditengah latihan. Pak edwar sangat sabar melatihku. Beliau begitu bersemangat. Sepertinya beliau benar-benar berharap banyak akan kesuksesanku. Karena kesuksesanku di bidang tinju adalah kebanggaan bagi kampus ini.
"ini foto-foto alumni kampus ini yang berprestasi dibidang tinju"
Terang pak edwar setelah kami menyelesai sesion pertama latihan. dihadapanku terpampang bingkai-bingkai foto yang berjejer rapi menempel disalah satu dinding ruang latihan.Pada beberapa foto, ada petinju yang tengah mengacungkan piala. Sementara tangan yang satu lagi mengangkat sabuk juara.
Ada juga petinju yang wajahnya bonyok berlumuran darah. Beberapa bagian wajah kelihatan bengkak. Tapi ada senyum di bibir petinju itu. Salah satu tangannya di angkat oleh wasit. Lambang sebuah kemenangan.
"Sudah tiga tahun ini, kampus kita tidak lagi memenangkan kejuaran tinju. Bapak sangat berharap kamu bisa mewujutkan itu gilang. Karena bapak yakin dengan potensi yang ada dalam dirimu"
Aku terenyuh mendengar penuturan pak edwar. Begitu besar harapannya padaku. Karena itu aku berjanji tak akan mengecewakan beliau. Kepercayaannya membuatku bertekat untuk latihan lebih giat lagi.
Ruang kecil di pojok yang bertuliskan "jurnalistik" diatas pintunya itu terlihat terang benderang. Kuketok pintunya . Tanpa menunggu jawaban dari dalam kubuka grendelnya dan masuk. Ryo tengah duduk di bangku dekat meja tulis.
"Mengganggu Ryo?" tanyaku berbasa-basi.
"Ah...enggak kok nino. Masuk aja dan duduk disini"
Ujarnya memintaku duduk dikursi yang ada dihadapannya. Ryo mengoret-oret sesuatu pada buku yang ada dihadapannya. Aku hanya diam. Duduk manis menunggunya menyelesaikan perkerjaan. Kertas putih bersampul biru berada di pangkuanku.
"Sory ya nino jadi nunggu. Ada tulisan tadi yang mampir di otakku. Takut nanti lupa jadinya aku catat"
"nggak masalah ryo"
Jawabku sambil meletakannya kertas bersampul biru miliki ryo diatas meja. Ryo mengamati sesaat kertas itu sebelum kemudian melontarkan pertanyaan.
"jadi bagaimana menurutmu nino?"
Wajah ryo tampak serius menunggu jawaban dariku. Sepertinya iya penasaran menunggu hasilnya. Tiba-tiba muncul ide ngerjain ryo.
"ya gitulah......"
"ya gitulah gimana gil?" tanyanya semakin penasaran
"ya gitulah ryo, bagus banget tulisanmu. Sampai-sampai aku nggak berhenti-berhenti bacanya sebelum tamat" ujarku datar.
Sialan kamu nino, ku fikir ya gitulah apa? Ternyata ya gitulah bagus"
Wajahnya tampak cemberut pura-pura marah. Aku tertawa melihatnya. Melihat aku tertawa, ryo ikutan tertawa. Raut kebahagiaan terlukis di wajahnya. Aku merasa senang karena telah bisa membuatnya bahagia.
"nino?! libur minggu ini kamu ada acara nggak?
"Nggak, emangnya ada apa ryo? Tanya ku
"Kamu nginap dirumahku ya? Orang tuaku merayakan hari ulang tahun perkawinan mereka " ajak ryo
Mata sipitnya yang teduh membuatku langsung mengiyakan ajakannya menginap. Ryo tampak senang sekali. Aku pun merasakan hal yang sama. Ajakan darinya itu seperti ungkapan kepercayaannya menjadikanku seorang sahabat.
Sebuah mobil mewah parkir dihalaman gedung kampus. Pengendaranya seorang pria berumur sekitar 45 tahun. Memakai seragam. Hitam hitam. Tampak gagah. Saat aku dan ryo sampai didekat mobil. Dengan cepat pria berpakaian seragam itu membukakan pintu mobil. Sepertinya dia sangat menghormati ryo.
Ruang dalam mobil itu begitu lega. Interiornya juga lux. Ada mini bar. Sterio set . Televisi layer datar. Seperangkat PS 3. Kursi yang sangat empuk. Aku jadi teringat dengan sofa ruang tamu dirumahku. Kalah empuk. Dan juga tidak ada robekan-robekan kecil disana sini. Aku merasa seperti orang kaya sehari. Sirkulasi dalam mobil ini juga begitu nyaman. Udara AC mobil ini yang kata orang bisa menimbulkan efek rumah kaca kebocoran ozon, begitu sejuk membelai permukaan kulit tubuhku.
Aku benar-benar sangat menikmati perjalanan ini. Pemandangan dikanan kiri sepandang perjalanan membuat mataku segar. Tak seperti saat aku memakai bis atau kereta api. Otakku tak bisa diajak berkonsentrasi menikmati pemandangan sekitar. Pikiran Cuma satu saat itu. Kapan ya sampainya? Agar bisa terbebas dari siksaan yang didapat sepanjang perjalanan.
Mobil semakin mendekati tempat tujuan kami. Kediaman ryo. Suasana kota. Tapi begitu nyaman. Udaranya juga bagus di sini. Melewati daerah perumahan yang mewah, laju mobil mulai melambat. Rumah disini besar-besar. Besarnya hampir sebesar gedung-gedung pemerintahan. Pekarangannya juga luas. Aku berfikir pasti rumah-rumah sebesar itu dihuni oleh keluarga besar juga.
Didepan salah satu rumah berpagar tinggi mobil berhenti. Tiba-tiba pintu pagar terbuka dengan sendirinya. Sebuah pos jaga kecil tampak disamping pintu pagar tersebut. Sekilas ku lihat ada monitor tv di dalam pos tersebut. Dua orang berseragam menjaga pos. Saat mobil kami melewatinya kedua penjaga tampak menaruh hormat.
Halaman rumput yang luas memenuhi hampir ¾ halaman rumah ini. Bunga-bunga dan berbagai macam jenis pohon menghiasinya. Sesampai di depan pintu utama rumah terdapat bundaran air mancur yang cukup besar. Aku benar-benar ternganga. Apalagi melihat bangunan besar bergaya eropah yang terbentang di hadapanku. Bangunan itu sangat besar sekali.
"Iya" jawab ryo singkat.
Tiba-tiba perasaan minder mengeruak disekelilingku. Aku merasa tak pantas berteman dengan ryo. Apalagi untuk menjadi sahabatnya. Perbedaan strata di antara kami bagaikan sebuah jurang yang sangat dalam dan lebar memisahkan.
"Ayo masuk nino"
Ujar ryo saat kami berada di depan pintu besar bergaya itali. Lantai serambi ruangan itu dilapisi oleh keramik yang sangat halus buatanya. Berwarna crem. Aku ragu. Sepatu dekilku pasti akan mengotori lantai itu. Harga satu petak lantai ini mungkin bisa untuk membeli 10 buah sepatu yang ku pakai. Aku jongkok didepan lantai serambi untuk membuka sepatu dekilku.
" Udah.. Jangan dibuka"
" Ta...tapi ryo"
Belum sempat aku membuka sepatu Ryo sudah menarik tanganku masuk kedalam rumah. Aku tak bisa berbuat banyak. Sepatu dekilku menginjak lantai keramik mahal itu.
Bagian dalam rumah itu membuat mulutku semakin ternganga. Sofa empuk berbahan dasar kulit. Bergaya eropah seperti yang kulihat di film yang kutonton dirumah tetanggaku dikampung hadir disini. Permadani tebal. Yang kalau di injak bisa membuat kaki kita tenggelam didalamnya. Lampu-lampu Kristal yang menyilaukan mata. Lemari besar dari bahan kayu jati asli. Guci-guci cina dari abad pertengahan. Lukisan para pelukis ternama. Peralatan elektronik terbaru. Semuanya begitu mewah.
Seorang wanita paruh baya berdandan cantik muncul dari ruang dalam.
"O....My baby....udah pulang"
Sang wanita menghampiri. Memeluk ryo. Mencium pipi kanan kiri dan kening. Ryo tampak risih diperlakukan seperti itu di hadapan ku.
"Mi.... ini nino teman kampus ryo"
Sang wanita anggun itu menoleh ke arahku. Aku merasa nggak enak diperhatikan olehnya. Berbagai perasaaan bercampur aduk. Malu. Segan. Rendah diri dan hal negative lainnya.
"Oh jadi ini yang namanya nino, ryo banyak cerita tentang kamu ke tante"
Senyum ramah wanita anggun yang ternyata mami ryo menghapus rasa minderku. Mami ryo tampak senang dengan kehadiranku disini. Aku merasa benar-benar diterima disini. Ketakutan sirna. Ternyata perbedaan statusku tak membuat mami ryo memandangku sebelah mata. Dia sangat menghargaiku.
" Tante tinggal dulu yang nino"
" Ayo nino kita ke kamarku diatas"
"eh....iya"
Kami melewati tangga beton melingkar yang di alasi karpet merah. Beberapa ruangan besar terdapat di lantai dua. Ryo menuju salah satu pintu ruangan itu. Membukanya.
"Ayo masuk nino"
Sebuah ruangan 8x8 meter. Seluruh lantai di lapisi permadani berwarna biru. Dinding kamar juga dilapisi kertas dinding berwarna senada. Sebuah ranjang kayu jati berukuran besar. Peralatan elektronik terbaru. Kulkas kecil. Lemari besar yang memenuhi hampir salah satu bagian dinding ruang kamar. Jendela kaca besar yang mengarah ke halaman belakang bangunan. Beranda dengan satu set kursi kayu. Sangat jauh berbeda dengan kamarku yang kecil dengan perlengkapan sederhana. Yang harus berbagi dengan adik laki-lakiku tercinta.
Lampu ruangan yang gelap tiba-tiba menyala saat rombongan beberapa pria seumuran bapakku masuk keruangan tamu rumah ryo.
"Happy brisday.... Happy brisday.... Happy brisday....to you"
Suara serempak para pembantu, mami ryo, ryo dan aku mengisi seluruh sudut ruang tamu itu. Sebuah kue tar besar tepat berada ditengah kami. Terletak diatas sebuah meja yang memiliki roda. Pria gagah yang memiliki tekstur wajah mirip ryo berdiri dihadapan kue tar yang terdapat berpuluh lilin kecil di atasnya. Aku merasa pernah mengenal sosok pria ini. Ku coba mengingat-ingat. Ohya aku ingat. Saat menonton salah satu acara di stasiun televise beliau ada disana sebagai nara sumber. Beliau adalah salah satu orang penting di pemerintahan. Dan dia ternyata papi ryo. Ditiupnya seluruh lilin. Agak kesulitan karena jumlah lilin yang begitu banyak. Api akhirnya semua lilin bisa di padamkan.
Pelukan dan ciuman diberikan mama ryo dan ryo pada papinya. Ucapan selamat ulang tahun.
"Oh ya ini nino pa" ryo memperkenalkan.
"Jadi kamu yang namanya nino sang petinju itu ya?"
Papa ryo bergerak membuat gerakan seperti seorang petinju profisional. Kemudian menjabat tanganku. Aku merasa tersanjung, ryo menceritakan tentang ku kepada kedua orang tuanya. Dan kedua orang tuanya tampak respek kepada ku.
Berbagai macam hidangan yang sebagian besar belum pernah ku lihat ada di atas meja panjang. Kami semua duduk mengelilingi meja tersebut. Setelah dipersilahkan seluruh tamu yang hadir menyantap hidangan yang ada. Sebagian besar tamu yang hadir saat itu adalah rekan-rekannya papi ryo.
"Ryo bagaimana kuliahmu?"
"Baik pi"
"Masih sering nulis ryo" Tanya seorang teman papi ryo.
Belum sempat ryo menjawab papinya sudah mendahului. Menanyakan pertanyaan lain pada ku. Ryo tergagap mengurungkan niatnya ntuk menjawab pertanyaan sang tamu.
"Kabarnya sebelum kuliah dikampus itu kamu memenangkan beberapa pertandingan tinju nino?"
"iya om"
"Wah kamu hebat ya" ujar papi ryo memuji.
Aku hanya dibisa tersenyum. Nggak enak ama ryo yang agak terdiskriminasi karena hobinya menulis tak di anggap oleh papinya di depan orang banyak.
"memang harus gitu kalo jadi seorang lelaki. Yang jantan gitu. Jangan Cuma bisa duduk dibelakang meja. mengetik hal-hal nggak penting di komputer"
Kata-kata sindiran tajam itu benar-benar tertuju langsung ke ryo. Dan sindiran itu langsung dari mulut papinya didepan orang banyak. Aku benar-benar merasa tidak enak. Serba salah rasanya. Ryo mengajakku menginap di rumahnya bukan untuk dipermalukan. Wajah ibu ryo tampak datar. Seolah-olah hal itu sesuatu yang biasa.
" Kalo gitu, untuk memeriahkan acara hari ini. gimana kalo kita semua yang hadir disini
Mengikuti pertandingan tinju langsung yang akan di peragakan oleh para anak muda kita ini"
Sial?! Apalagi ini! Aku benar-benar bingung dan nggak tahu harus berbuat apa. Semua mata tertuju kepada aku dan ryo. Ryo tampak dingin. Wajahnya datar tanpa ekspresi.
Dihalaman belakang rumah yang luas, disamping kolam renang. Rekan-rekan papi ryo membentuk lingkaran kecil. Aku dan ryo yang berada di tengah lingkaran membuka baju kami. Jauh sekali perbedaan tubuh kami. Badanku yang berotot karena sering latihan tampak besar dibanding tubuh kurus ryo.
"Ayo....ayo....." Teriakan semua penonton.
Salah seorang rekan papi ryo bertindak sebagai wasit pertandingan ini. Ryo mendekatiku sebelum pertandingan. Berbisik.
" Kamu harus serius nino"
"Tapi ryo...."
Dia tak mengindahkan ucapanku. Berbalik ketempat awalnya berdiri.
" MULAI"
Aku dengan setengah hati melayani pukulan-pukulan dari ryo. Terlalu mudah. Kutangkis semua serangan darinya. Riuh penonton semakin menjadi. Wajah ryo tampak berang. Kobaran angkara terlukis diwajah manisnya. Aku nggak tega merusak wajah itu
" Ayo nino lawan aku"
Pukulannya menbabi buta. Aku berusaha menghindar dan menangkis.
"NINO AYO'
Setengah berteriak. Ryo mendorong dadaku. Tiba-tiba emosi memuncak.
Huk?.
Sebuah pukulan yang cukup keras bersarang kepipi ryo. Ryo langsung ambruk. Badannya terbanting rata dengan tanah. Penonton bersorak. Aku tersadar. Berusaha untuk meraih tubuh ryo. Belum sempat aku melakukannya. Wasit pertandingan menggangkat tangan kananku. Mengacungkan keudara tanda kemenangan. Semua bertepuk tangan atas kemenangan ku.
Semua yang hadir disitu mengucapkan selamat pada kemenangan ku. Terutama papi ryo yang tampak senang dengan suguhan pertandingan itu. Ryo bangkit. Berjalan terseok-seok menuju bagian dalam rumah. Tak sedikit pun iya berpaling memandang kearah yang hadir. Aku cemas ryo kenapa-napa. Kucoba mengeruak diantara kerumunan ntuk mengejar ryo. Tapi papi ryo menahanku tuk merayakan kemenanganku bersama teman-temannya.
Perjalanan kembali menuju kampus terasa lama dan menjemukan. Seluruh fasilitas mewah di atas mobil ini tak bisa meredam kegundahanku. Sejak usai pertandingan tinju semalam tak sepatah kata pun keluar dari mulut ryo.
Pelipis bagian samping dekat mata sebelah kanannya tampak legam. Berkali-kali aku berusaha meminta maaf atas kejadian semalam. Ryo benar-benar beku.