It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
tinggal di gubuk kecil. Mereka sangat miskin
sehingga setiap hari mereka harus memotong dua
ikat kayu bakar dan memanggulnya di punggung
mereka untuk dijual di pasar. Suatu hari pasutri tersebut turun dari gunung dengan
membawa kayu bakar. Mereka meletakkan satu ikat di halaman dan
merencanakan untuk menjualnya di pasar agar
uangnya dapat dibelikan beras. Sedangkan ikatan
lainnya, mereka letakkan di dapur untuk digunakan
sendiri. Ketika mereka bangun keesokan harinya, ikatan
yang mereka letakkan di halaman secara misterius
hilang. Tidak ada yang dapat mereka lakukan,
kecuali menjual ikatan yang seharusnya akan
digunakan sendiri oleh mereka. Pada hari itu juga, mereka memotong dua ikat kayu
bakar seperti biasanya. Mereka meletakkan satu
ikat di halaman untuk dijual dan satu ikat lagi untuk
digunakan sendiri. Tetapi keesokan harinya, ikatan
kayu bakar itu kembali hilang. Kejadian seperti ini
terulang terus menerus, dan suaminya mulai berpikir ada yang aneh dibalik peristiwa ini. Pada hari kelima, dia membuat lubang di dalam
ikatan kayu bakar yang diletakkan di halaman
tersebut dan menyembunyikan diri di dalamnya. Dari luar, ikatan kayu bakar tersebut terlihat seperti
biasanya. Tengah malam, sebuah tali yang sangat besar turun
dari langit, menempel pada ikatan kayu bakar
tersebut dan kemudian terangkat ke atas langit,
dengan sang suami yang masih berada dalam
ikatan kayu bakar tersebut. Setibanya di surga, dia melihat seorang tua
berambut putih, yang kelihatannya sangat baik,
mendekati ikatan tersebut. Orang tua tersebut melepaskan ikatan kayu bakar
tersebut dan menemukan pria tersebut di dalamnya,
dan bertanya, ”Orang lain hanya memotong satu ikat
kayu bakar setiap harinya. Mengapa kamu
memotong dua ikat?” Sang suami memberi hormat dan berkata,”Kami
tidak punya uang. Itulah alasannya mengapa isteri
saya dan saya memotong dua ikat kayu bakar
setiap harinya. Satu ikat untuk digunakan sendiri
dan satu ikat lagi kami bawa ke pasar untuk dijual.
Sehingga kami dapat membeli beras untuk memasak bubur.” Orang tua tersebut tersenyum dan berkata kepada
pemotong kayu tersebut dengan nada yang sangat
ramah,” Saya telah tahu sejak lama bahwa kalian
adalah pasangan yang baik hati dan selalu hidup
hemat dan bekerja keras. Saya akan memberikan
kepada kalian sebuah barang berharga. Bawalah barang ini dan dia akan memberikan apa pun yang
kalian perlukan dalam hidup ini.” Setelah orang tua tersebut selesai berbicara,
datanglah tujuh peri, membawa pemotong kayu
tersebut ke tempat yang sangat indah. Atap emas
dan genteng yang berkilau, menyilaukan mata pada
saat dia masuk kedalamnya, sehingga dia tak dapat
membuka matanya. Di dalam istana tersebut terdapat banyak barang
terpajang yang belum pernah dia lihat sebelumnya.
Kantong uang dalam berbagai bentuk dan ukuran
digantung di satu ruangan. Peri tersebut bertanya
kepadanya,”Mana yang anda sukai? Pilihlah apapun
yang anda sukai dan bawalah pulang ke rumah.” Pemotong kayu tersebut sangat senang. ”Saya ingin
kantong uang tersebut, kantong yang penuh dengan
barang berharga. Berikan pada saya kantong yang
bulat dan penuh tersebut.” Dia memilih yang terbesar dan membawanya. Seketika, orang tua berambut putih tersebut masuk
dan dengan ekspersi aneh di wajahnya berkata
kepada pemotong kayu tersebut, ”Kamu tidak boleh
mengambil yang satu itu. Saya akan memberikan
kantong yang kosong kepada kamu. Setiap hari
anda dapat mengambil satu tael perak dan tidak boleh lebih.” Pemotong kayu tersebut dengan enggan
menyetujui. Dia mengambil kantong uang yang
kosong tersebut, dengan bergantung pada tali
tersebut, dia kemudian turun ke bumi. Setibanya di rumah, dia memberikan kantong uang
tersebut kepada isterinya dan menceritakan
keseluruhan kejadian tersebut. Isterinya sangat germbira. Setiap hari, mereka pergi
untuk memotong kayu seperti biasanya. Tetapi
ketika mereka kembali ke rumah, mereka akan
mengunci pintu dan membuka kantong uang
tersebut, yang secara cepat sebongkah perak akan
bergemerincing keluar. Sebongkah perak tersebut benar-benar pas satu
tael. Setiap hari satu tael perak dan tidak lebih,
akan keluar dari kantong tersebut. Isterinya
kemudian menyimpannya setiap hari, satu tael demi
satu tael. Waktu berlalu. Suatu hari suaminya berkata,”Mari
kita beli lembu.” Isterinya tidak setuju. Beberapa hari kemudian,
suaminya berkata kembali, ”Bagaimana jika kita beli
lahan beberapa hektar?” Isterinya juga tidak setuju. Beberapa hari berlalu,
dan isterinya kemudian mengajukan usul, “Mari kita
beli pondok jerami yang kecil.” Suaminya sudah sangat ingin memakai uang yang
telah mereka tabung dan berkata, ”Karena kita telah
memiliki banyak uang, mengapa kita tidak bangun
saja rumah bata yang besar?” Isterinya tidak dapat menghalangi suaminya dan
secara enggan menyetujui ide tersebut. Suaminya kemudian menggunakan uang tersebut
untuk membeli batu bata, ubin dan kayu dan
menyewa tukang kayu dan tukang bangunan. Sejak
saat itu, mereka tidak pernah lagi pergi ke gunung
untuk memotong kayu bakar lagi. Kemudian tibalah hari, dimana simpanan uang perak
mereka hampir kering, tetapi rumah baru tersebut
belum juga selesai. Telah lama dalam pikiran
suaminya untuk meminta kantong uang tersebut
menghasilkan uang perak yang lebih banyak. Dengan tanpa sepengetahuan isterinya, dia
membuka kantong tersebut untuk kedua kalinya
dalam hari tersebut. Dan secara cepat, sebongkah
perak kedua bergemerincing keluar. Dia membuka
kantong tersebut untuk ketiga kalinya, dan
mendapatkan uang perak ketiganya dalam hari tersebut. Dia kemudian berpikir, ”Jika terus menerus seperti
ini, rumah ini akan selesai dengan cepat!” Dia telah melupakan peringatan orang tua berambut
putih tersebut. Tetapi ketika dia membuka kantong
uangnya untuk yang keempat kalinya, kantong
tersebut kosong! Tidak ada perak atau apapun yang
keluar. Kantong tersebut telah menjadi sebuah kantong tua.
Ketika dia berbalik untuk melihat rumah batanya
yang belum selesai, rumah tersebut juga telah
hilang. Yang tertinggal hanyalah gubuk tua. Pemotong kayu tersebut merasa sangat sedih. Isterinya datang dan menghiburnya, ”Kita tidak
dapat bergantung pada kantong uang ajaib. Mari kita
kembali ke gunung dan memotong kayu bakar. Ini
cara terbaik untuk menghidupi diri kita.” Sejak saat itu, pasutri tersebut kembali ke gunung
untuk memotong kayu bakar dan hidup dan bekerja
seperti dahulu kala.
burung. Si induk menetaskan beberapa telor menjadi
burung-burung kecil yang indah dan sehat. Si induk
pun sangat bahagia dan merawat mereka semua
dengan penuh kasih sayang. Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Burung-
burung kecil inipun mulai dapat bergerak lincah.
Mereka mulai belajar mengepakkan sayap, mencari-
cari makanan untuk kemudian mematuknya. Dari beberapa anak burung ini tampaklah seekor
burung kecil yang berbeda dengan saudaranya yang
lain. Ia tampak pendiam dan tidak selincah saudara-
saudaranya. Ketika saudara-saudaranya belajar
terbang, ia memilih diam di sarang daripada lelah
dan terjatuh, ketika saudara-saudaranya berkejaran mencari makan, ia memilih diam dan menantikan
belas kasihan saudaranya. Demikian hal ini terjadi
seterusnya. Saat sang induk mulai menjadi tua dan tak sanggup
lagi berjuang untuk menghidupi anak-anaknya, si
anak burung ini mulai merasa sedih. Seringkali ia
melihat dari bawah saudara-saudaranya terbang
tinggi di langit. Ketika saudara-saudarnya dengan
lincah berpindah dari dahan satu ke dahan yang lain di pohon yang tinggi, ia harus puas hanya dengan
berada di satu dahan yang rendah. Ia pun merasa
sangat sedih. Dalam kesedihannya, ia menemui induknya yang
sudah tua dan berkata, “Ibu, aku merasa sangat
sedih, mengapa aku tidak bisa terbang setinggi
saudara-saudaraku yang lain, mengapa akau tidak
bisa melompat-lompat di dahan yang tinggi aku
hanya bisa berdiam di dahan yang rendah?” Si induk pun merasa sedih dan dengan air mata ia
berkata, “Anakku, engkau dilahirkan dengan sayap
yang sempurna seperti saudaramu, tapi engkau
memilih merangkak menjalani hidup ini sehingga
sayapmu menjadi kerdil.” Hidup adalah kumpulan dari setiap pilihan yang kita buat. Pilihan kita hari ini menentukan bagaimana hidup kita di masa
depan.Kita memiliki kebebasan memilih tetapi
setelah itu kita akan dikendalikan oleh pilihan kita,
jadi berpikirlah sebelum berbuat, sadari setiap
konsekuensi dari pilihan yang kita buat.
yang sedang melewati
lembah permen lolipop. Di tengah lembah itu
terdapat jalan setapak yang
beraspal. Di jalan itulah Bob dan Bib berjalan kaki bersama. Uniknya, di kiri-kanan jalan lembah itu terdapat
banyak permen lolipop yang
berwarni-warni dengan aneka rasa. Permen-permen
yang terlihat seperti
berbaris itu seakan menunggu tangan-tangan kecil
Bob dan Bib untuk mengambil dan menikmati kelezatan mereka. Bob sangat kegirangan melihat banyaknya permen
lolipop yang bisa diambil.
Maka ia pun sibuk mengumpulkan permen-permen
tersebut. Ia mempercepat
jalannya supaya bisa mengambil permen lolipop
lainnya yang terlihat sangat banyak didepannya. Bob mengumpulkan sangat
banyak permen lolipop yang ia simpan di dalam tas
karungnya. Ia sibuk mengumpulkan permen-permen
tersebut tapi sepertinya permen-permen tersebut
tidak pernah habis maka ia memacu langkahnya
supaya bisa mengambil semua permen yang dilihatnya. Tanpa terasa Bob sampai di ujung jalan lembah
permen lolipop. Dia melihat
gerbang bertuliskan “Selamat Jalan”. Itulah batas
akhir lembah permen
lolipop. Di ujung jalan, Bob bertemu seorang lelaki
penduduk sekitar. Lelaki itu bertanya kepada Bob, “Bagaimana perjalanan kamu di lembah permen
lolipop? Apakah permen-permennya lezat? Apakah
kamu mencoba yang rasa jeruk? Itu rasa yang
paling disenangi. Atau kamu lebih menyukai rasa
mangga? Itu juga sangat lezat.” Bob terdiam mendengar pertanyaan lelaki tadi. Ia
merasa sangat lelah dan
kehilangan tenaga. Ia telah berjalan sangat cepat
dan membawa begitu banyak permen lolipop yang
terasa berat di dalam tas karungnya. Tapi ada satu
hal yang membuatnya merasa terkejut dan ia pun menjawab pertanyaan lelaki itu, “Permennya saya
lupa makan!” Tak berapa lama kemudian, Bib sampai di ujung
jalan lembah permen lolipop.
“Hai, Bob! Kamu berjalan cepat sekali. Saya
memanggil-manggil kamu tapi kamu sudah sangat
jauh di depan saya.” “Kenapa kamu memanggil saya?” tanya Bob. “Saya ingin mengajak kamu duduk dan makan
permen anggur bersama. Rasanya lezat sekali.
Juga saya menikmati pemandangan lembah, indah
sekali!” Bib bercerita panjang lebar kepada Bob.
“Lalu tadi ada seorang kakek tua yang sangat
kelelahan. Saya temani dia berjalan. Saya beri dia beberapa permen yang ada di tas saya. Kami
makan bersama dan dia banyak menceritakan hal-
hal yang lucu. Kami tertawa bersama.” Bib
menambahkan. Mendengar cerita Bib, Bob menyadari betapa
banyak hal yang telah ia
lewatkan dari lembah permen lolipop yang sangat
indah. Ia terlalu sibuk
mengumpulkan permen-permen itu. Tapi pun ia
sampai lupa memakannya dan tidak punya waktu untuk menikmati kelezatannya karena ia begitu
sibuk memasukkan semua permen itu ke dalam tas
karungnya. Di akhir perjalanannya di lembah permen lolipop,
Bob menyadari suatu hal
dan ia bergumam kepada dirinya sendiri, “Perjalanan
ini bukan tentang berapa banyak permen yang telah
saya kumpulkan. Tapi tentang bagaimana saya
menikmatinya dengan berbagi dan berbahagia.” Ia pun berkata dalam hati, “Waktu tidak bisa diputar
kembali.” Perjalanan di lembah lolipop sudah
berlalu dan Bob pun harus melanjutkan kembali
perjalanannya.
perampokan, dia sudah dipenjara selama satu tahun
dan tidak ada seorang pun yang pernah datang
menjenguknya. Ketika menyaksikan narapidana lainnya dalam
selang waktu tertentu selalu saja ada orang yang
datang menjenguk dan menghantarkan segala
macam makanan enak, mata Liu Gang menjadi
gatal, maka dia lalu menulis surat kepada ibunya
dan meminta mereka untuk datang, bukan demi makanan enak, hanya karena rindu pada mereka
saja. Namun setelah tiada terhingga lembar surat yang
dikirimkannya bagaikan tenggelam di laut saja, Liu
Gang akhirnya mengerti kalau ayah ibunya tidak
menginginkannya lagi. Dalam kesedihan dan
keputus-asaannya, dia kembali menulis selembar
surat, di dalamnya dikatakan jika ayah ibunya masih belum datang juga, maka mereka akan kehilangan
anaknya ini untuk selama-lamanya. Ini bukan
lampiasan kekecewaan, tetapi dikarenakan
beberapa orang terpidana hukuman berat sudah
beberapa kali mengajaknya untuk melarikan diri dari
penjara, hanya saja dia belum berani mengambil keputusan, namun sekarang pendeknya ayah dan
ibu sudah tidak menginginkannya, tiada lagi yang
menjadi ganjalan batin, jadi apa lagi yang harus
dikhawatirkannya? Cuaca hari ini sangat dingin. Bertepatan pada saat
Liu Gang secara diam-diam sedang membicarakan
rencana pelarian dengan beberapa orang
narapidana, tiba-tiba ada orang berteriak: “Liu Gang,
ada orang datang menjengukmu!” Siapa pula ini?
Ketika masuk ke dalam ruang kunjungan, Liu Gang tertegun, itu adalah ibunya. Setahun tidak bertemu,
ibunya sudah berubah sampai sulit dikenal lagi.
Orang yang berusia tidak sampai 50 tahun, semua
rambutnya sudah beruban, punggungnya juga
bongkok seperti udang, badannya kurus kerempeng
bagai tidak berbentuk manusia lagi, pakaiannya lusuh dan koyak sana sini, sepasang kakinya tidak
beralas dan penuh dengan debu dan bercak darah,
di sampingya diletakkan dua buah karung goni yang
sudah koyak. Kedua ibu dan anak ini saling berpandangan,
sebelum Liu Gang sempat membuka mulut, air mata
ibunya sudah mengalir turun, sambil menyeka air
mata, ibunya berkata: “Xiao Gang, suratmu sudah
ibu terima, jangan menyalahkan ayah dan ibu, tetapi
ayah dan ibu benar-benar tidak bisa menyempatkan diri untuk datang, ayahmu …. dia jatuh sakit dan ibu
harus merawatnya, lagipula perjalanan ke sini
sangat jauh ….” Pada saat ini, seorang pembina
narapidana masuk dengan membawa semangkuk
besar mi telur yang panas-panas dan berkata
dengan antusias: “Ibu, makan dulu semangkuk ini, nanti baru lanjutkan perbincangannya.” Ibu Liu
segera berdiri, tangannya terus menggosok
tubuhnya keras-keras: “Tidak boleh, tidak boleh
begitu.” Pembina menyorongkan mangkuk ke
tangan orang tua ini dan berkata sambil tersenyum:
“Ibuku juga ada seusia anda, apakah kurang pantas jika ibu makan semangkuk mi dari anaknya?” Ibu
Liu tidak menolak lagi, dia menundukkan kepala dan
segera menyantap mi itu dengan lahap, seakan
sudah beberapa hari tidak makan saja. Setelah ibunya siap makan, Liu Gang melihat pada
sepasang kaki yang bengkak dan penuh bercak
darah dari kaki yang luka, tanpa tertahankan
bertanya: “Ibu, apa yang terjadi dengan kakimu?
Mana sepatu ibu?” Sebelum ibunya menjawab,
pembina yang menjawab dengan nada suara dingin: “Ibumu datang dengan jalan kaki, sepatunya sudah
tergesek koyak.” Berjalan kaki? Dari rumah sampai ke sini ada 500 –
600 kilometer, juga ada satu ruas merupakan jalan
gunung yang sangat panjang. Liu Gang perlahan-
lahan berjongkok dan pelan-pelan mengelus
sepasang kaki yang tidak berbentuk lagi itu: “Ibu,
mengapa ibu tidak naik bus saja? Kenapa tidak membeli sepasang sepatu?” Ibu menarik kakinya dan berkata seakan tidak ambil
peduli: “Naik bus apa, lebih baik jalan kaki saja.
Tahun ini terjadi wabah penyakit babi, beberapa ekor
babi yang ada di rumah mati semua, udara juga
sangat kering, panen tanaman di ladang tidak baik
jadinya, ada lagi …. ayahmu sakit dan perlu pengobatan, itu menghabiskan sangat banyak uang
…. jika kesehatan tubuh ayahmu cukup baik, kami
sejak lama sudah datang menjengukmu, jadi jangan
menyalahkan ayahmu.” Pembina itu menyeka air matanya dan diam-diam
ke luar dari ruangan. Liu Gang bertanya sambil
menundukkan kepalanya: “Apakah tubuh ayah
sudah sehat?” Liu Gang menunggu sangat lama, namun tiada
jawaban, ketika menonggakkan kepala, dia melihat
ibunya sedang menyeka air matanya, namun
mulutnya mengatakan: “Mata ibu masuk pasir,
kamu bertanya akan ayahmu? Oh, dia sudah mau
sembuh …. Dia meminta ibu menyampaikan kepadamu agar jangan terlalu memikirkannya, kamu
harus baik-baik membina diri agar nantinya menjadi
orang baik-baik.” Waktu kunjungan sudah habis. Pembina masuk
kembali dengan kedua tangan memegang
setumpukan uang dan berkata: “Ibu, ini adalah
sedikit uang dari kami beberapa orang pembina
penjara, anda jangan pulang lagi dengan berkaki
telanjang, jika tidak, Liu Gang akan merasa sangat sedih.” Sepasang tangan ibu Liu Gang terus terayun dan
berkata: “Mana boleh begitu, anakku di sini sudah
cukup merepotkan kalian, jika ibu mengambil uang
kalian, bukankah akan memperpendek umur ibu
nantinya?” Pembina berkata dengan suara bergetar: “Sebagai
anak, Li Gang tidak dapat membuat anda menikmati
kehidupan ini, malah membuat orangtua khawatir
dan mencemaskannya, membuat ibu berjalan
dengan kaki telanjang sepanjang ratusan kilometer
sampai ke sini, jika membiarkan ibu pulang dengan kaki telanjang, apakah anak anda ini masih
tergolong manusia?” Liu Gang tidak dapat menahan diri lagi, dengan
suara parau memanggil: “Ibu!” Kemudian tidak dapat
melanjutkan kata-kata lagi, saat ini di luar jendela
juga terdengar banyak suara tangisan, itu
merupakan suara para terpidana yang diundang oleh
pembina untuk ikut menyaksikan. Pada saat ini, ada seorang penjaga masuk ruangan
dan pura-pura berkata dengan enteng: “Jangan
menangis lagi, ibu datang melihat anak adalah
peristiwa bahagia, semuanya harus senang, mari
saya lihat makanan enak apa yang dibawa oleh ibu.”
Sambil berkata dia mengambil karung dan menuangkannya ke lantai, ibu Liu Gang tidak
sempat mencegah, semua isi sudah
dikeluarkannya, seketika semua orang tertegun. Isi karung pertama ternyata semuanya adalah roti
dan sejenisnya, semuanya sudah pecah-pecah dan
keras bagai batu, lagipula ukurannya besar kecil.
Tidak usah dikatakan lagi, ini pasti hasil dari ibu Liu
Gang mengemis sepanjang perjalanan ke sini. Ibu
Liu Gang merasa malu sekali, sepasang tangannya memegang keras pada ujung bajunya dan
bergumam: “Anakku, jangan salahkan ibu telah
melakukan pekerjaan ini, sebab di rumah sama
sekali tidak ada satu pun barang berharga lagi …” Liu Gang bagaikan tidak mendengar perkataan
ibunya ini, dia terus memandang lurus pada benda
yang dituangkan dari karung goni kedua, itu adalah
sebuah guci abu tulang manusia. Liu Gang bertanya
dengan termangu-mangu: “Ibu, ini apa?” Wajah ibu
Liu Gang tampak kebingungan, dia mengulurkan tangan untuk memeluk guci tersebut: “Bukan apa-
apa…” Liu Gang merebutnya bagaikan gila, dengan
tubuh gemetar berkata: “Ibu, apa ini?” Ibu Liu Gang terduduk tanpa bertenaga, kepala
dengan rambut ubannya bergetar hebat. Sejenak
kemudian, dia berkata dengan susah payah: “Itu
adalah …. ayahmu! Demi mencari uang agar dapat
datang menjengukmu, dia bekerja siang malam,
akhirnya tubuhnya tidak tahan dan jatuh sakit. Sebelum wafat, dia mengatakan sangat sedih
karena dalam masa hidupnya tidak dapat datang
menjengukmu, maka dia meminta ibu agar sesudah
mati dapat membawanya datang menjengukmu dan
melihatmu untuk terakhir kalinya…” Liu Gang berteriak dengan hati sangat sedih seakan
hatinya terkoyak: “Ayah, saya akan merubah diri …”
Kemudian terdengar suara “buuuk”, Liu Gang sudah
berlutut, kepalanya terus dianggukkan ke lantai.
“Buuuuk, buuuk”, terlihat semua orang di luar
ruangan ikut berlutut dengan suara tangisan memenuhi langit….
bis didepan Chase Plaza, untuk membawaku
pulang, bertemu dengan kedua anak-anakku yang
masih berusia 2 tahun dan 9 bulan. Mikhail dan Fara
namanya. Cuaca menggerahkan tubuhku. Penat seharian kerja, dengan segala masalah yang
ada selama bekerja. Sudah seminggu ini aku selalu
lupa menanyakan keadaan kedua anakku Entah
menanyakan sudah makan siang atau belum,
bagaimana keseharian mereka, atau hanya sekedar
memainkan telfon untuk mendengarkan suara sang buah hatiku, si sulung Mikhail yang sudah banyak
bicara. Bahkan aku juga lupa bahwa saat ini kedua
buah hati tercinta sedang sakit flu. Aku terlalu sibuk
sehingga sempat melupakan mereka. Tapi ah, aku
pikir aku meninggalkan buah hati bersama
orangtuaku dan pengasuhnya. Jadi, untuk apa aku pusingkan akan hal itu? Jahatkah aku? Aku rasa betul, aku jahat. Tapi aku lebih
mementingkan pekerjaanku
daripada keluargaku. Aku termenung. Tadi pagi sebelum berangkat aku
lagi-lagi lupa membekalkan suami dengan dua
potong roti omelete kesukaannya. Aku juga lupa
membekalkan teh hangat manis dimobilnya. Aku
sempat merajuk gara-gara suamiku menanyakan
sarapan rutinnya untuk dimobil. Aku kan cape Mas, aku kan harus siapkan bekal anak-anak sebelum
mereka dititipkan ketempat Oma-nya. Aku kan
harus selesaikan cucian sebelum aku mandi tadi
pagi. Dan sejuta alasanku untuk tidak lagi dibahas
masalah sarapan rutin mobil. Dan ini sudah terjadi
selama satu minggu pula. Ah, aku juga melupakan kebiasaanku yang disukai suami, ternyata. Bahkan,
aku lupa minta maaf dengan kelakuanku seminggu
ini. Bahkan, akupun lupa Shalat sudah seminggu ini !!!
Alangkah ajaibnya diriku. Tapi kurasa Tuhan
mengerti. Begitu pikirku selama dikantor. Dan
akupun tenggelam dengan pekerja anku dikantor. Saat itu jam sudah menunjukkan pukul 5.25 sore,
langit mendung, dengan udara lembab. Haus. Aku
lupa minum sebelum pulang tadi. Mestinya aku
sediakan segelas minum untuk bekalku
diperjalanan. Aku membutuhkan 2 jam perjalanan
dari kantor sampai rumahku di Bintaro. Lagi-lagi, alasan sibuk yang membuatku lupa membawa gelas
hijauku yang dulu biasa “tidur” dalam tasku. Pada saat itulah mataku tertuju dengan 2 orang
kakak beradik, anak pengamen jalanan. Tidak
beralas kaki, kotor dan kumuh. Usia mereka sekitar
4 dan 2 tahun. Mataku tertuju dengan sang adik.
Wajahnya kuyu. Kotor dan diam. Terlihat wajah
manisnya walaupun kurasa anak kecil itu tidak pernah mandi. Tidak beralas kaki. Terlihat ada luka
ditelapak kakinya yang mungil, semungil telapak
kaki buah hatiku Mikhail. Sang adik tertawa saat
seorang wanita muda memberikan pecahan Rp.
2000 kepada kakaknya. Alangkah senangnya si
kakak. Diberikan selembar kepada sang adik, dan sang a dikpun menerima dengan hati riang.
Dipandangnya uang lembaran Rp. 1000 itu sambil
bernyanyi kecil. Ah, dia menyanyikan lagu masa
kecilku dulu. Balonku ada lima, rupa-rupa warnanya.
Aku membayangkan buah hatiku Mikhail
menyanyikan lagu itu. Pasti tangannya tidak lepas dari pipiku, karena pada bait lagu “dor” buah hatiku
selalu memukul pipiku. Aku tersenyum pada si kecil. Suaranya. Ya,
suaranya masih pula cadel. Tangan kanannya
memegang lembaran seribuan, tangan kirinya
memegang alat musik kecrekan dari tutup botol.
Alangkah polos wajahnya. Sang kakak duduk
ditrotoar sambil menghalau lalat yang berseliweran dikepala adik. Kutahu, pasti dia tidak keramas. Uh,
mandi saja mungkin jarang apalagi mencuci rambut? Tiba-tiba saja, waktu sudah menunjukkan pukul 5.35
sore. Belum gelap. Tapi aku tak tahu sudah berapa
bis jurusanku yang terlewatkan karena
kekhusyukanku memandang 2 bocah polos
didepanku?. Aku rogoh dompetku. Duh, makin
menipis. Aku harus beli susu sang buah hatiku yang kecil. Aku juga harus beli alat kosmetikku yang
sudah hancur dimainkan anak sulungku. Pokoknya
aku memang harus beli hari ini. Tapi pemandangan
didepanku meluluhkan hatiku. Kuambil selembar
duapuluh ribuan dan kuberikan kepada sang kakak.
Terkejut, tentu saja. Sang adik tidak kalah terkejut. Sambil teriak, sang adik bertanya pada kakaknya:
aku bisa makan hari ini ya kak ya. Hhh.. aku
tersenyum pilu. Begitu bahagianya mereka
menerima lembaran dariku. Aku tegur kakaknya “kamu berdua belum makan?”
Pertanyaanku dijawab dengan sebuah anggukan
kepala yang pelan. Saat itu juga aku menitikkan air
mata. Aku kasihan sekali. Adiknya tidak memakai
celana apapun. Bahkan aku bisa melihat bahwa
adiknya seorang perempuan. Beberapa orang yang sedang menunggu bis, menjadikan percakapanku
dengan bocah-bocah itu sebagai tontonan mereka.
Beberapa ada yang memberikan selembar 5000an.
Ah, Jakarta ! “Kamu mau makan? Mau saya belikan makanan?”
Lagi-lagi pertanyaanku dijawab dengan sebuah
anggukan kecil. Sang adik tersenyum kepadaku.
Ah, polosnya senyuman itu. Tanpa beban. Tanpa
arti. Tapi yang kutahu, senyuman itu senyuman
bahagia dari kepolosannya. Aku ajak mereka ke sebuah warung nasi Padang didekat Chase Plaza,
kantorku. Aku tawarkan makanan sesuka mereka.
Raut wajah mereka memucat. Aku mengerti,
mereka sudah lapar dan dahaga. Kupandangi
mereka makan. Duh, lahapnya. Aku sendiri tidak
makan seharian tadi, karena lagi-lagi kesibukanku dikantor. Apakah aku sudah sedemikian kuatnya
sehingga aku mampu melupakan makan siang,
mampu melupakan kewajibanku sebagai istri dan
ibu dari 2 orang buah hati terkasih? Aku ambil rokok mentholku, dan kuhisap perlahan.
Duh, rokok tidak pernah lepas dariku, seakan dialah
pasangan hidupku. Kuperhatikan sang adik. “Siapa
nama kamu?” Jawaban malu-malu keluar dari
bibirnya “Ririn, Ibu”. Ah, namanya Ririn. Sebuah
nama indah. Tapi kenapa nasibnya tidak indah?. Aku melamun.
Tiba-tiba saja aku jadi cengeng luar biasa.
Airmataku menitik. Duh, sejahat inikah yang
namanya Jakarta? Hingga mampu menciptakan dua
orang bocah yang sedang makan dihadapanku
menjadi pengamen jalanan dengan alat kecrekan seadanya ditengah-tengah gedung tinggi? Bahkan,
celana dalampun mereka tidak punya. Mungkin
punya, tapi cuma beberapa. Aku tidak menanyakan
hal itu. Kurasa tidak perlu. Bodohnya aku !. “Kamu rumah dimana?” Aku tidak mendapatkan
jawaban. Hanya gelengan kepala si kecil. Ah,
mereka tidak punya rumah. Rumah mereka di
bedeng kardus, dekat stasiun Senen. “Jalan kaki
dan numpang bis dari Senen untuk ngamen” kata
sang kakak. Aku melamun. Kuhisap rokokku dalam- dalam. Rumah kardus? Pengap? Tanpa orang tua?
Nyamuk? Penyakit? Kotoran dimana-mana? Adakah
yang peduli dengan masa depan Ririn kecil? Adakah
yang peduli? Kenapa mereka ada di Jakarta?
Kenapa bisa bertemu denganku disini? Tiba-t iba saja lamunanku buyar. “Ibu, terima kasih
kami sudah makan enak”.
Mataku berkaca-kaca. “Ya, sama-sama. Semoga
kamu kenyang dan senang” jawabku berat. Ririn
kecil tersenyum. Kurasa ia kekenyangan. Keringat
didahinya berbicara. Lalu ia mulai memainkan kecrekan gembelnya. Bunyinya tidak beraturan.
Tidak ada nada sama sekali. Hanya suara cadelnya
yang membuatku tersenyum. Aku berkaca-kaca.
Senangnya bisa memberikan arti buat mereka. “Ibu,
jangan melamun. Aku mau nyanyi buat Ibu”. Ah,
menyanyi? Buatku? Apa istimewanya aku?. Aku tertegun. Suara cadel itu. Suara polos itu. Mereka
menyanyikan sebuah lagu untukku. Aku tidak
mengerti lagunya. Tapi terdengar indah ditelingaku.
Ah, aku diberi hadiah: lagu !. “Sekarang kamu berdua pulang. Masih ada yang
merindukan kamu berdua. Ini bekal buat dijalanan”.
Aku berikan selembar duapuluh ribuan, seliter air
mineral, roti manis dan sandal buat kedua bocah itu.
Kebesaran. Tapi tidak apa. Mereka senan g sekali
memakai sandal baru. Aku pandangi kedua bocah dengan senyum. Mereka berlarian mengejar bis.
Entah kemana lagi mereka pergi. Mencari uang
lagikah? Atau pulang kerumah kardus mereka di
pinggiran stasiun Senen seperti ucapan mereka
tadi? Aku terharu, air mataku menetes. Ah
Jakarta… jahat sekali kamu. Sudah jam 7 lewat 10. Aku pasti terlambat sekali
sampai rumah ibuku. Aku harus menjemput buah
hatiku dan setelah itu pulang kerumahku. Aku duduk
dalam bis. Terdiam. Aku lagi-lagi meneteskan
airmata. Apakah aku ditegur Tuhan? Apakah aku
disentil olehNya? Mata polos itu. Mata polos itu menegurku, Tuhan. Aku lupa bersyukur dengan apa yang telah
diberikanNya untukku. Aku lupa dengan anak-
anakku. Aku lupa dengan suami dan tanggung
jawabku sebagai ibu dan istri. Mata Ririn kecil
menusukku tajam. Aku ditegur olehnya. Oleh mata
kecil polos tanpa duka itu. Fara kecil tertidur dipangkuanku. Mikhail, buah
hatiku yang sulung dengan mesra mem ainkan
rambut Papanya. “Papa, hari ini aku sudah bisa
belajar mewarnai. Hari ini aku tadi makannya
banyak. Aku tadi mau minum obat. Aku hari ini jadi
anak Papa yang pintar”. Celotehannya yang cadel membuatku tersenyum berkaca-kaca. “Mikhail
enggak mau cerita dengan Mama?” tanyaku.
“Mikhail enggak mau cerita dengan Mama. Mama
kan mama yang sibuk”. Bahkan si sulungpun kini
sudah mulai menjauh dariku. Dia malah lebih
sayang dengan Papanya. Suamiku. Duh, rasanya seperti tertusuk jarum. Sakit. Tapi aku diam. Ini
memang semua salahku. Tertidur. Mikhail dan Fara tertidur sudah. Tanggapan
akan ceritaku dari suami, hanya tersenyum.
Bijaksana sekali. “Itulah teguran Allah untukmu.
Maka bersujudlah. Mohon ampun padaNya”. Malam
itu juga aku Shalat. Memohon ampun pada yang
Kuasa atas kemalasanku sebagai Ibu. Mohon ampun telah melupakanNya. Kupandang kedua wajah polos buah hatiku tercinta.
Pulas. Tampak genangan liur dibantal mereka. Far a
tersenyum. Buah hati kecilku itu kalau tidur
memang suka tersenyum kecil. Sayangnya Mama… Setetes air mata kembali mengalir dipipiku. Entah
siapa kedua bocah yang kutemui sore tadi sepulang
kantor, entah siapa Ririn kecil yang memandangku
polos, entah siapa yang telah menyanyikan sebuah
lagu untukku disebuah warung nasi. Yang aku tahu,
mata lugu itu telah menegurku dengan sangat tajam. Terima kasih Allah, telah mengirimkan dua bocah
kecil, miskin tiada arti, untuk merubah hidupku.
Mungkinkah mereka Engkau kirim untukku?
suka belajar, sifatnya baik. Pada suatu hari ketika
Yan Hui sedang bertugas, dia melihat satu toko kain
sedang dikerumunin banyak orang. Dia mendekat
dan mendapati pembeli dan penjual kain sedang
berdebat. Pembeli berteriak: “3×8 = 23, kenapa kamu bilang
24? “Yan Hui mendekati pembeli kain dan berkata:
“Sobat, 3×8 = 24, tidak usah diperdebatkan lagi”. Pembeli kain tidak senang lalu menunjuk hidung
Yan Hui dan berkata: “Siapa minta pendapatmu?
Kalaupun mau minta pendapat mesti minta ke
Confusius. Benar atau salah Confusius yang berhak
mengatakan”. Yan Hui: “Baik, jika Confusius bilang kamu salah,
bagaimana?” Pembeli kain: “Kalau Confusius bilang saya salah,
kepalaku aku potong untukmu. Kalau kamu yang
salah, bagaimana?” Yan Hui: “Kalau saya yang salah, jabatanku
untukmu”. Keduanya sepakat untuk bertaruh, lalu pergi
mencari Confusius. Setelah Confusius tahu duduk
persoalannya, Confusius berkata
kepada Yan Hui sambil tertawa: “3×8 = 23. Yan Hui,
kamu kalah. Kasihkan jabatanmu kepada dia.”
Selamanya Yan Hui tidak akan berdebat dengan gurunya. Ketika mendengar Confusius bilang dia
salah, diturunkannya topinya lalu dia berikan kepada
pembeli kain. Orang itu mengambil topi Yan Hui dan berlalu
dengan puas.Walaupun Yan Hui menerima penilaian
Confusius tapi hatinya tidak sependapat. Dia
merasa Confusius sudah tua dan pikun sehingga dia
tidak mau lagi belajar darinya. Yan Hui minta cuti
dengan alasan urusan keluarga. Confusius tahu isi hati Yan Hui dan memberi cuti padanya. Sebelum
berangkat, Yan Hui pamitan dan Confusius
memintanya cepat kembali setelah urusannya
selesai, dan memberi Yan Hui dua nasehat : “Bila
hujan lebat, janganlah berteduh di bawah pohon.
Dan jangan membunuh.” Yan Hui bilang baiklah lalu berangkat pulang. Di dalam perjalanan tiba2 angin kencang disertai
petir, kelihatannya sudah mau turun hujan lebat.
Yan Hui ingin berlindung di bawah pohon tapi tiba2
ingat nasehat Confusius dan dalam hati berpikir
untuk menuruti kata gurunya sekali lagi. Dia
meninggalkan pohon itu. Belum lama dia pergi, petir menyambar dan pohon itu hancur. Yan Hui terkejut,
nasehat gurunya yang pertama sudah terbukti. Apakah saya akan membunuh orang? Yan Hui tiba
dirumahnya sudah larut malam dan tidak ingin
mengganggu tidur istrinya. Dia menggunakan
pedangnya untuk membuka kamarnya. Sesampai
didepan ranjang, dia meraba dan mendapati ada
seorang di sisi kiri ranjang dan seorang lagi di sisi kanan. Dia sangat marah, dan mau menghunus
pedangnya. Pada saat mau menghujamkan
pedangnya, dia ingat lagi nasehat Confusius, jangan
membunuh. Dia lalu menyalakan lilin dan ternyata
yang tidur disamping istrinya adalah adik istrinya. Pada keesokan harinya, Yan Hui kembali ke
Confusius, berlutut dan berkata: “Guru, bagaimana
guru tahu apa yang akan terjadi?” Confusius berkata: “Kemarin hari sangatlah panas,
diperkirakan akan turun hujan petir, makanya guru
mengingatkanmu untuk tidak berlindung dibawah
pohon. Kamu kemarin pergi dengan amarah dan
membawa pedang, maka guru mengingatkanmu
agar jangan membunuh”. Yan Hui berkata: “Guru, perkiraanmu hebat sekali,
murid sangatlah kagum.” Confusius bilang: “Aku tahu kamu minta cuti
bukanlah karena urusan keluarga. Kamu tidak ingin
belajar lagi dariku. Cobalah kamu pikir. Kemarin
guru bilang 3×8=23 adalah benar, kamu kalah dan
kehilangan jabatanmu. Tapi jikalau guru bilang
3×8=24 adalah benar, si pembeli kainlah yang kalah dan itu berarti akan hilang 1 nyawa. Menurutmu,
jabatanmu lebih penting atau kehilangan 1 nyawa
yang lebih penting?” Yan Hui sadar akan kesalahannya dan berkata :
“Guru mementingkan yang lebih utama, murid malah
berpikir guru sudah tua dan pikun. Murid benar2
malu.” Sejak itu, kemanapun Confusius pergi Yan Hui
selalu mengikutinya.
Aku merungut sambil beringsut setengah malas.
Beginilah nasib jadi anak satu-satunya di rumah.
Sejak bang Edo kuliah di Jakarta, akulah yang jadi
tempat mama minta tolong. Biasanya bang Edolah
yang mengantar mama ke supermarket, ke pengajian, atau sekadar membawakan tas mama
yang pulang dari kantor. Rajin ya ? Memang begitulah abangku yang satu itu. Sedang
aku ? Wuih, biasanya aku dengan bandelnya
menghindar. Tapi sekarang aku sudah tidak bisa lari
lagi. “Ki, anterin mama ke rumahnya bu Dedi ya ? Ada
arisan.”
Aku hanya bisa menghembuskan nafas panjang.
Aduh, rasanya malas sekali harus menghabiskan
berjam-jam bersama ibu-ibu. Belum lagi nanti
ditodong pertanyaan, “Mana nih calonnya? Kan kuliahnya sudah tingkat akhir…”. Risih saja ditanya
hal-hal semacam itu.
“Mmm, ini Ma. Kiki mau belajar, nanti ujian.” “Yah,
Ki. Kan cuma sebentar. Paling dua jam…” “Soalnya
bahannya banyak banget, Ma. Nanti Kiki dapat nilai
jelek lagi.” “Ya, sudah. Mama pergi sendiri…” Aku menunduk sambil pergi. Rasanya tidak enak
melihat sinar kecewa di mata mama. Memang,
sejak papa meninggal, mama makin sering minta
ditemani ke mana-mana. Mungkin mama kesepian.
Di hari kerja, mama disibukkan dengan urusan
kantornya. Sedang di akhir pekan, mama selalu minta ditemani anak-anaknya. Kalau bang Edo sih
anak manis. Dia mau saja menuruti keinginan
mama. Kalau aku dilarang pergi di akhir pekan,
rasanya seperti hukuman. Maklumlah aktivis.
Kesempatan ada di rumah tidak terlalu banyak. Aku masuk ke dalam kamarku dan mulai membuka
buku. Sebetulnya aku tidak bohong sih. Memang
akan ada ujian. Tapi sebenarnya masih dua minggu
lagi. Jadi aku tidak bohong kan? Aku berusaha
berkonsentrasi memahami apa yang tertulis di buku
tebal itu. Entah kenapa pikiranku malah melayang- layang. Dari jauh terdengar derum mobil mama
menjauh dari rumah. Ada perasaan bersalah yang
menyelip di hatiku. Akhir pekan berikutnya, bang Edo pulang ke
Bandung. Aku sih biasa-biasa saja. Tapi, mama
senang sekali. Semalam sebelumnya, mama
memasakkan semua masakan kesukaan bang Edo.
Ah, dasar anak kesayangan. Tapi aku tidak iri.
Biarkan saja. Setidaknya akhir pekan ini aku bebas berkeliaran. Tugas jadi pendamping mama diambil
alih bang Edo untuk minggu ini. “Ki, kenapa sih kamu nggak mau nganterin
mama ?”, tanya bang Edo sambil mencomot sebuah
pisang goreng dari atas meja. Aku hanya melirik
sekilas dari komik yang sedang aku baca. “Ya,
biarin aja. Mama kan udah gede. Pergi sendiri kan
juga bisa.” “Masa kamu nggak kasian ? Mama tuh sedih banget
lho sama kelakuan kamu.”
“Kata siapa ?”
“Mama sendiri yang bilang.”
“Kan bisa dianter supir. Masa abang nggak ngerti
sih ? Urusanku kan banyakjuga.” “Huu… Mana, cuma baca komik gitu !” Aku cuma bisa nyengir tersindir. Tak lama
kemudian abang pergi bersama mama. Kelihatannya
mereka akan pergi ke resepsi pernikahan. Habis,
bajunya rapi sekali. Tawaran untuk ikut seperti biasa
aku tolak. “Ki, mama minta tolong dong…”
Aku menyumpalkan tangan ke telinga. Aduh,
mama…. Belum sempat aku menjawab, mama
sudah melongok ke dalam kamar. Aku hanya bisa
meringis.
“Ki, tolong ambilin berkas kerja mama di bu Joko dong.” “Lho, kok bisa ada di bu Joko, Ma ?” “Iya,
tadi habis pulang dari kantor, mama mampir dulu ke
sana. Kayaknya berkas-berkas itu ketinggalan deh
di sana. Soalnya di mobil udah nggak ada. Bisa
nggak kamu ambilin ?” Aku melongo. Rasanya ingin teriak. Kali ini aku
benar-benar sibuk !
Besok ada dua tugas yang harus dikumpulkan.
Belum lagi sorenya ada
ujian akhir. Mana sempat mampir-mampir ke rumah
orang ? Mana sudah malam begini… “Aduh, Mama…. Kiki bener-bener sibuk… Besok
ada ujian dan
tugas-tugas yang harus dikumpulin. Jadi…” “Ya,
udah kalo kamu nggak mau.”, balas mama dengan
ketus.
Aku hanya bisa menghembuskan nafas dan kembali mengerjakan tugasku.
“…Kamu tuh memang nggak pernah kasihan sama
Mama…”, bisik mama lirih dengan sedikit terisak. Suara mama sedikit sumbang. Sepertinya mama
sedang terkena flu. Aku menatap langit-langit
dengan lesu. Dengan lemas akhirnya aku
memanggil mama. “Iya deh Ma… Biar Kiki yang
pergi…” Gelap. Gelap sekali. Apalagi banyak lampu jalanan
yang sudah mati.
Jalanan jadi tidak jelas terlihat. Capek rasanya
harus berusaha
melihat. Itulah sebabnya aku tidak suka menyetir
malam-malam. Rumah Bu Joko sebenarnya tidak jauh dari rumah
kami. Tapi karena sudah malam, palang-palang
jalan di kompleks itu sudah diturunkan dan tidak ada
penjaganya. Jadinya, aku harus mengambil jalan
memutar yang letaknya cukup jauh. Kalau tidak
salah, satu-satunya palang yang tidak ditutup ketika malam adalah… Ah, dari sini belok kiri.
Astaghfirulllah… Ternyata ditutup juga… Aku
membaringkan kepalaku di atas kemudi. Rasanya
penat sekali. Entah, harus masuk ke kompleks ini
lewat jalan yang mana. Akhirnya kususuri
perumahan itu jalan demi jalan. Semuanya terkunci. Setelah setengah jam berputar-putar, barulah aku
menemukan jalan masuknya. Jalan itu begitu
sempit. Jika ada dua mobil berpapasan dari arah
yang berlawanan, pastilah salah satunya harus
mengalah. Rasanya lega sekali ketika sampai di depan rumah
bu Joko. Kutekan
belnya sekali, tidak ada jawaban. Dua kali, tetap
tidak ada jawaban.
Tiga kali, empat kali, hasilnya tetap sama. Aku
menunduk lesu. Jangan-jangan Mereka sudah tidur… Hampir saja
aku berbalik pulang.
Tapi kata-kata mama terngiang di kepalaku. “Tolong
ya Ki… Soalnya
berkas-berkas itu mau mama pakai untuk presentasi
besok pagi.” Akhirnya dengan menelan setumpuk rasa malu,
kutekan lagi bel rumah mereka sambil
mengucapkan salam keras-keras. Dari belakang aku mendengar suara berdehem.
Aduh, ada hansip. Aku
menangguk basa-basi. Aduh, mama ! Bikin malu
saja ! “Oh, kertas apa ya ?”, tanya bu Joko dengan
mata setengah mengantuk. Dasternya melambai-
lambai kusut. Aku jadi tidak enak sendiri menganggu malam-malam begini.
Menit-menit selanjutnya, kami berdua mencari-cari
berkas yang dikatakan mama. Tidak hanya di ruang
tamu. Tapi juga di ruang tengah, ruang makan dan
dapur. Soalnya tadi mama juga mampir di tempat-
tempat itu. Ternyata tetap saja hasilnya nihil. Lalu aku menelepon ke rumah.
“Ma, berkasnya nggak ada tuh. Mama simpan di
map warna apa ?”
“He..he…he…Udah ketemu, Ki. Ternyata sama bi
Isah diturunin dari mobil terus ditaruh di meja
makan.” “Tau gitu kenapa nggak telpon Kiki ! Kiki kan bawa
handphone !”
“Wah, maaf Ki… Mama nggak tahu kamu bawa
handphone. Mama kira…”
“Ah, udahlah ! Mama nyusahin Kiki aja !”
Aku lantas membanting gagang telepon dengan sedikit kejam. Aku berbalik dan menemukan bu
Joko menatapku dengan tatapan ngeri. Aku
memaksakan sebuah enyum, minta maaf lalu pamit
secepatnya. Setengah ngebut aku memacu mobilku. Hujan rintik-
rintik membuat ruang pandangku semakin sempit.
Nyaris jam dua belas malam. Hah, dua jam terbuang
percuma. Kalau dipakai untuk mengerjakan tugas,
mungkin sekarang sudah selesai… Dasar mama … Brakkk!!! Tiba-tiba terdengar suara yang sangat
keras. Bunyinya seperti kaleng yang robek. Sesaat
aku merasa semuanya semakin gelap. Aku tidak
bisa lagi membedakan mana atas dan bawah.
Sekujur tubuhku seperti dihimpit dari berbagai arah.
Sejenak kesadaranku seperti lenyap. Penduduk-penduduk sekitar mulai berdatangan.
Mereka membantuku keluar dari mobil yang
sepertinya ringsek parah. Mataku dibasahi sesuatu.
Ketika kusentuh, rasanya lengket. Ya Tuhan,
darah… Tubuhku lebih gemetar karena takut
daripada karena sakit. “Neng, nggak apa-apa neng ?”, tanya seseorang.
Aku berusaha berdiri walau sempoyongan. Kucoba
menggerakkan tangan, kaki, serta mencek apakah
semuanya masih ada. Kupejamkan mata dan
berusaha mencari sumber sakit. Sepertinya tubuhku
baik-baik saja. Tidak ada yang patah. Aku menatap rongsokan mobilku dengan tidak
percaya. Ternyata aku
menabrak sebuah truk besar yang sedang diparkir di
pinggir jalan.
Sumpah, aku tidak melihatnya sama sekali tadi ! “Neng, nggak apa-apa ?”, ucap seseorang
mengulangi pertanyaannya. Aku berusaha
menjawab. Tapi yang terasa malah sakit dan darah.
Orang di hadapanku lalu mengucap istighfar.
Barulah aku sadar apa yang menyebabkannya.
Darah segar berlomba mengucur dari mulutku. Lidahku… Aku langsung tak sadarkan diri. Ketika tersadar, aku sudah berada di rumah sakit.
Rasa nyeri mengikuti dan menghajarku tanpa
ampun. Air mata menetes dari mataku… Ya Tuhan,
sakit sekali…. “Udah, Ki. Jangan banyak bergerak. Dokter bilang
kamu butuh banyak
istirahat.”
Aku hanya bisa menatap mata mama yang sembab
tanpa bisa menjawab sepatah kata pun. Hanya bisa
mengeluarkan suara merintih yang menyedihkan. Mama ikut menangis mendengarnya. Aku hanya
bisa mengira-ngira. Dan dokter pun
membenarkannya. Kecelakaan itu tidak
mencederaiku parah. Tidak ada tulang yang patah,
tidak ada luka dalam. Hanya satu, lidahku nyaris
putus karena tergigit olehku ketika tabrakan terjadi. Akibatnya aku lidahku harus dijahit. Sayangnya tidak ada bius yang bisa meredakan
sakitnya. Setelah itupun dokter tidak yakin aku bisa
berbicara selancar sebelumnya. Tangisku meluber
lagi. Yang langsung teringat adalah setumpuk kata-
kata dan perilaku kasar yang selama ini kulontarkan
pada mama. Ini betul-betul hukuman dari Tuhan … Walau sepertinya hanya luka ringan, namun
sakitnya teramat sangat. Setiap kali jarum
disisipkan dan benangnya ditarik, sepertinya
nyawaku dirobek dan dikoyak-koyak. Aku hanya
bisa melolong tanpa bisa melawan. Apa boleh buat.
Kata dokter kalau lukanya di tempat lain, sakitnya mungkin bisa diredam dengan bius. Tapi tidak bisa
jika lukanya di lidah. Hari-hari selanjutnya betul-betul siksaan.
Lupakanlah tentang kuliah,
tugas atau ujian. Untuk minum saja aku tersiksa.
Aku menjerit-jerit
tiap ada benda yang harus melewati mulutku. Agar
tubuhku tidak kekurangan cairan, tubuhku dipasangi infus. Aku
hanya bisa menangis. Menangis karena sakit, dan
penyesalan. Selama aku dirawat, mamalah yang
dengan telaten menungguiku. Dengan sabar ia
membantuku untuk apapun yang aku perlukan. Kami hanya bisa berkomunikasi lewat sehelai
kertas. Berkali-kali aku tuliskan, “Mama, maafkan
Kiki…” Mama juga sudah berkali-kali mengatakan
telah memaafkan aku. Tapi tetap saja rasa
bersalah itu tak kunjung hilang. Ini benar-benar
peringatan keras dari Tuhan. Aku benar-benar malu. Walau aktif di
kegiatan keagamaan,
ternyata nilai-nilai itu belum benar-benar mengalir
dalam darahku. Aku tersenguk-senguk setiap ingat
bagaimana cara aku memperlakukan mama. Bagaimana mungkin aku merasa diberatkan dengan
permintaannya padahal aku sudah menyusahkannya
seumur hidup? Tuhan, ampuni aku… Aku benar-
benar telah membelakangi nuraniku sendiri….
Jangan biarkan aku mati sebagai anak durhaka….
Kukira penderitaanku berakhir jika sudah diizinkan pulang ke rumah. Ternyata hukuman ini belum
berakhir di situ. Bulan-bulan selanjutnya aku harus
berlatih mengucapkan kata-kata yang selama ini
mengalir mudah dari bibirku. Kembali lagi mama
membimbingku belajar bicara seperti yang ia
lakukan ketika aku kecil. Himpitan penyesalan itu baru hilang ketika kata-kata
itu berhasil
kuucapkan walau patah-patah. “Mama… Maafkan kiki..
Timah adalah tetangga kami. Dia salah seorang
penerima program Subsidi Langsung Tunai (SLT)
yang kini sudah berakhir. Yu Timah adalah penerima
SLT yang sebenarnya. Maka rumahnya berlantai
tanah, berdinding anyaman bambu, tak punya sumur sendiri. Bahkan status tanah yang di tempati gubuk
Yu Timah adalah bukan milik sendiri. Usia Yu Timah sekitar lima puluhan, berbadan kurus
dan tidak menikah. Dia sebatang kara. Dulu setelah
remaja Yu Timah bekerja sebagai pembantu rumah
tangga di Jakarta. Namun, seiring usianya yang
terus meningkat, tenaga Yu Timah tidak laku di
pasaran pembantu rumah tangga. Dia kembali ke kampung kami. Para tetangga bergotong royong
membuatkan gubuk buat Yu Timah bersama
emaknya yang sudah sangat renta. Gubuk itu
didirikan di atas tanah tetangga yang bersedia
menampung anak dan emak yang sangat miskin itu. Meski hidupnya sangat miskin, Yu Timah ingin
mandiri. Maka ia berjualan nasi bungkus. Pembeli
tetapnya adalah para santri yang sedang mondok di
pesantren kampung kami. Tentu hasilnya tak
seberapa. Tapi Yu Timah bertahan. Dan nyatanya
dia bisa hidup bertahun-tahun. Kemarin Yu Timah datang ke rumah saya. Saya
sudah mengira pasti dia mau bicara soal tabungan.
Inilah hebatnya. Semiskin itu Yu Timah masih bisa
menabung di bank perkreditan rakyat syariah di
mana saya ikut jadi pengurus. Tapi Yu Timah tidak
pernah mau datang ke kantor. Katanya, malu sebab dia orang miskin dan buta huruf. Dia menabung
Rp5.000 atau Rp10 ribu setiap bulan. Namun
setelah menjadi penerima SLT Yu Timah bisa setor
tabungan hingga Rp 250 ribu. Dan Saldo terakhir Yu
Timah adalah Rp 650 ribu. Yu Timah biasa duduk menjauh bila berhadapan
dengan saya. Malah maunya bersimpuh di lantai,
namun selalu saya cegah. ”Pak, saya mau mengambil tabungan,” kata Yu
Timah dengan suaranya yang kecil. ”O, tentu bisa. Tapi ini hari Sabtu dan sudah sore.
Bank kita sudah tutup. Bagaimana bila Senin?” ”Senin juga tidak apa-apa. Saya tidak buru-buru.” ”Mau ambil berapa?” tanya saya. ”Enam ratus ribu, Pak.” ”Kok banyak sekali. Untuk apa, Yu?” Yu Timah tidak segera menjawab. Menunduk,
sambil tersenyum malu-malu. ”Saya mau beli
kambing kurban, Pak. Kalau enam ratus ribu saya
tambahi dengan uang saya yang di tangan, cukup
untuk beli satu kambing.” Saya tahu Yu Timah amat menunggu tanggapan
saya. Bahkan dia mengulangi kata-katanya karena
saya masih diam. Karena lama tidak memberikan
tanggapan, mungkin Yu Timah mengira saya tidak
akan memberikan uang tabungannya. Padahal saya
lama terdiam karena sangat terkesan oleh keinginan Yu Timah membeli kambing kurban. ”Iya, Yu. Senin besok uang Yu Timah akan
diberikan sebesar enam ratus ribu. Tapi Yu,
sebenarnya kamu tidak wajib berkurban. Yu Timah
bahkan wajib menerima kurban dari saudara-saudara
kita yang lebih berada. Jadi, apakah niat Yu Timah
benar-benar sudah bulat hendak membeli kambing kurban?” ”Iya Pak. Saya sudah bulat. Saya benar-benar ingin
berkurban. Selama ini memang saya hanya jadi
penerima. Namun sekarang saya ingin jadi pemberi
daging kurban.” ”Baik, Yu. Besok uang kamu akan saya ambilkan di
bank kita.” Wajah Yu Timah benderang. Senyumnya ceria.
Matanya berbinar. Lalu minta diri, dan dengan
langkah-langkah panjang Yu Timah pulang. Setelah
Yu Timah pergi, saya termangu sendiri. Kapankah
Yu Timah mendengar, mengerti, menghayati, lalu
menginternalisasi ajaran kurban yang ditinggalkan oleh Kanjeng Nabi Ibrahim? Mengapa orang yang
sangat awam itu bisa punya keikhlasan demikian
tinggi sehingga rela mengurbankan hampir seluruh
hartanya? Pertanyaan ini muncul karena umumnya
ibadah haji yang biayanya mahal itu tidak mengubah
watak orangnya. Mungkin saya juga begitu. Ah, Yu Timah, saya jadi malu. Kamu yang belum
naik haji, atau tidak akan pernah naik haji, namun
kamu sudah jadi orang yang suka berkurban. Kamu
sangat miskin, tapi uangmu tidak kau belikan
makanan, televisi, atau pakaian yang bagus.
Uangmu malah kamu belikan kambing kurban. Ya, Yu Timah. Meski saya dilarang dokter makan
daging kambing, tapi kali ini akan saya langgar.
Saya ingin menikmati daging kambingmu yang
sepertinya sudah berbau surga. Mudah-mudahan
kamu mabrur sebelum kamu naik haji.
divonis kanker paru-paru oleh dokter. Kisah
kehidupannya yang sebelumnya sering dia bangga-
banggakan kini serasa hancur tiada arti lagi. Doni
tahu kanker paru-paru merupakan penyebab
kematian paling utama dibandingkan kanker-kanker lainnnya. Namun tak ingin lama-lama tenggelam
dalam kesedihan, dicobanya segala cara untuk
menyembuhkan penyakit yang tengah menggerogoti
tubuhnya itu, bahkan dia tak segan-segan
mengeluarkan uang banyak untuk mendapatkan
perawatan terbaik di salah satu rumah sakit ternama di luar negeri. Berbagai pengobatan dan sesi
kemoterapi telah dilaluinya. Namun keberuntungan
tak berpihak padanya. Keadaannya tak kunjung
membaik, bahkan hanya semakin memburuk.
Kanker stadium IV kini bercokol di paru-parunya.
Keluarganya mencoba untuk memberikan motivasi dan semangat agar dia tak menyerah. Satu ketika dia menemukan alamat seseorang yang
konon katanya mampu menyembuhkan kanker
ganas sekalipun. Doni mendatangi kediaman orang
tersebut, diceritakannya tentang riwayat
penyakitnya kepada Pak Syukur, nama orang itu,
yang berjanji akan berusaha untuk menyembuhkan Doni. Waktu berlalu, meskipun kondisi Doni mulai agak
membaik tapi kanker itu masih bersarang di
tubuhnya. Doni menyadari waktunya yang semakin
menipis. “Tak adakah pengobatan lain yang bisa
membantuku, Pak?” tanya Doni saat rasa ketakutan
akan kematian mulai menguasai benaknya. “Aku
sering mendengar tentang keberhasilan anda dalam
menyembuhkan pasien-pasien lainnya… Lalu apa
yang terjadi denganku?” Pak Syukur menghembuskan napas, dan mencoba
untuk menyabarkan Doni, “Nak Doni, aku hanyalah
seorang manusia biasa yang hanya bisa berupaya
untuk memberikan pengobatan terbaik untuk pasien-
pasienku.”, “Aku mungkin telah membantu
meringankan sakit itu, namun keajaibanlah yang telah menyembuhkan mereka.” tambahnya pelan. “Keajaiban?” sesaat Doni tertegun. “Seandainya di
dunia ini ada dijual keajaiban, aku rela membayar
berapa pun meski harus menghabiskan seluruh
hartaku.” sahut Doni lemah meratapi
ketidakberuntungannya. Pak Syukur berpikir sejenak lalu beliau mulai
menuliskan sesuatu dan menyerahkannya kepada
Doni. “Datangilah tempat ini, Nak Doni.”, “Tempat
dimana mungkin kamu bisa membeli keajaiban itu.” “Be.. benarkah?” tanya Doni ragu, ia takkan mudah
percaya hal mustahil seperti itu. “Cobalah kau datangi, tak ada salahnya kan?” “Seandainyapun tempat ini memang benar menjual
keajaiban, lalu dengan apa aku bisa membelinya,
Pak?” Kembali Pak Syukur menyerahkan selembar
catatan yang lain. “Bacalah setibanya engkau di
tempat itu.” Pada awalnya Doni tidak memperdulikannya, namun
berselang beberapa hari akhirnya dia mendatangi
juga tempat yang dimaksud oleh Pak Syukur.
Akan tetapi betapa terkejutnya Doni setelah
mendapatkan tempat yang menjadi tujuannya
ternyata adalah sebuah masjid kecil yang indah. Doni mengambil lembaran kertas yang satu lagi dan
membaca pesan yang tertulis di dalamnya. ‘Sesungguhnya kamu bisa mendapatkan keajaiban
itu dimana saja dan kapan saja. Tetapi alangkah
baiknya jika engkau mencarinya langsung di
rumahNya… Dan untuk bayarannya? Sekarang
berbaliklah dan cobalah memposisikan dirimu
sebagai seseorang yang hendak menikmati sebuah karya seni yang tak sedikitpun bagian akan
terlewatkan oleh pandanganmu… Bukalah matamu,
nak…’ Doni membalikkan tubuhnya, dilihatnya sebuah
panti untuk penderita cacat berdiri tepat di seberang
jalan. Beberapa pengemis dan anak jalanan di
sepanjang jalan tak luput pula dari perhatiannya,
mereka mencoba menghampiri beberapa orang yang
berseliweran demi meminta sedikit rejeki untuk sesuap nasi. Kembali Doni melanjutkan membaca
catatan Pak Syukur. ‘… Berdoa, memohonlah dengan tulus kepada Sang
Pemberi Keajaiban dan lakukanlah kebaikan dalam
hidupmu, anakku. Begitulah harga yang mungkin
bisa kau berikan untuk mendapatkan keajaiban yang
kau cari. Dan niscaya bila Dia berkehendak,
keajaiban itupun akan datang…’ Masih terus dibacanya pesan yang tertulis di kertas
itu. Dan tanpa Doni sadari, setetes dua tetes air
mata kini membasahi pipinya. Dia mencoba
mengingat-ingat kapan terakhir kali dia bersujud
menghadapNya? Akh… Tak bisa diingatnya lagi…
Dan diapun menyadari betapa alpanya dia selama ini. Doni mulai mengisi hari-hari tak lagi hanya untuk
mengobati penyakit yang menderanya, kini diapun
taat melaksanakan ibadah dan banyak membantu
orang-orang yang membutuhkan. Dia tak lagi hanya
peduli akan dirinya sendiri, melainkan mulai melihat
orang-orang lain di sekitarnya. Beberapa hal yang terabaikan olehnya selama bertahun-tahun. Hari berganti minggu… Minggu berganti bulan… Di suatu hari yang cerah, lima bulan semenjak Doni
menginjakkan kakinya pertama kali di masjid kecil
itu… Kini ia terbaring lemah di sebuah pembaringan
rumah sakit, sudah tiga hari ini kondisi
kesehatannya benar-benar menurun. Bayangan
peristiwa-peristiwa beberapa bulan terakhir berkelebat di benaknya. Doni memandang Pak Syukur yang duduk di sisi
tempat tidur, Doni memang sengaja memintanya
datang. Ia tersenyum, “Bapak masih ingat kejadian beberapa bulan lalu
saat aku bertanya-tanya apakah aku bisa
menemukan sebuah keajaiban yang dapat
menghilangkan penyakitku?” Pak Syukur
mengangguk pelan, “Menemukan mesjid yang indah
dan tenteram itu, telah membuka mataku betapa lalainya aku selama ini. Sejak hari itu aku
mendekatkan diri padaNya, aku banyak berdoa,
memohon ampunan dan rahmatNya. Tak lupa aku
menyumbangkan sebagian penghasilanku untuk
menolong mereka yang membutuhkan bantuan.”
sesaat Doni terdiam, ia mencoba meredam rasa sakit yang berkecamuk di dadanya. “Untuk semua
yang telah aku lakukan, telah aku berikan beberapa
bulan ini, Allah ternyata masih tak berkenan
memberikan keajaiban itu untukku.” ujarnya dengan
nada getir. Doni kembali memandang lelaki tua bersahaja yang
masih setia menemaninya, “Tapi aku tak bersedih,
pak…” lanjutnya, “Aku tak marah atas apa yang
menimpaku, dan aku tak menyesal telah berbuat
kebaikan pada mereka meskipun awalnya aku
mengharapkan sebuah kesembuhan dari Allah sebagai balasannya. Kini aku merasa lebih tenang,
lebih bahagia, dan lebih dekat padaNya.” Meskipun terlihat pucat namun di wajahnya
terpancar senyum kebahagiaan itu, “Pesan terakhir
bapak di catatan yang aku baca lima bulan lalu, lagi-
lagi membuka mataku untuk yang kedua kalinya…” Sore itu, dengan didampingi istri dan anaknya, Doni
mengehembuskan nafas terakhir dengan tenang. ‘Dan pesanku yang terakhir, nak. Tak semua orang
cukup beruntung bisa mendapatkan keajaiban
dariNya. Dan bila engkau termasuk di antara yang
tak beruntung itu, janganlah bersedih, janganlah
kecewa. Karena engkau sendiri pun akan
memberikan keajaiban-keajaiban untuk kaum-kaum tak mampu yang membutuhkan begitu banyak
keajaiban demi mempertahankan kelangsungan
hidup mereka. Dan itu, tak kalah berharganya…’ Sebaiknya kita memberi sama halnya seperti kita
akan menerima, dengan riang, cepat, dan tanpa
keraguan;
Karena sesungguhnya tidak ada karunia dari
manfaat yang menempel pada jari-jari kita.
apa-apa. Bahkan ia tidak memiliki dirinya sendiri
ketika masih dalam kandungan ibunya. Sebagai
anak budak belian, ia sudah dijadikan jaminan untuk
melunasi hutang majikan orang tuanya.
Ia jarang bertemu ibunya kecuali pada malam hari dimana ibunya harus berjalan sejauh dua belas
kilometer hanya untuk bertemu anaknya selama
satu jam. Ia tidak mempunyai kesempatan belajar,
karena pada jaman itu, para budak belian tidak
diperbolehkan belajar menulis dan membaca.
Namun, tanpa diketahui siapa pun, ia belajar membaca dan menulis. Dalam waktu singkat, ia
sudah membuat malu teman-temannya yang berkulit
putih dalam hal pelajaran.
Pada usia 21 tahun, ia melarikan diri dari
perbudakan dan bekerja sebagai seorang pesuruh di
New York dan New Bedford. Di Mantucket, ia berpidato, mendesak dihapuskannya perbudakan.
Kesan yang ditimbulkannya sedemikian baik
sehingga ia diangkat menjadi agen Lembaga Anti
Perbudakan di Massachussetts.
Sementara ia berpindah-pindah dari satu tempat ke
tempat lainnya untuk memberikan ceramah, ia tetap belajar. Ia kemudian dikirim ke Eropa untuk
berpidato dan menjalin persahabatan dengan
beberapa orang Inggris yang kemudian memberinya
750 dolar untuk menebus kebebasannya sebagai
seorang budak.
Ia menerbitkan surat kabar di Rochester dan kelak memimpin New Era di Washington. Bertahun-tahun
lamanya ia menjadi kepala District of Columbia dan
bisa menandingi setiap orang kulit putih mana pun.
dermaga sebuah desa kecil di pesisir meksiko
ketika sebuah perahu kecil dengan seorang nelayan
merapat. Dalam perahu kecil itu ada beberapa ikan
tuna yellowfin berukuran besar. Orang amerika itu
memuji si nelayan meksiko mengenai kualitas ikan- ikannya, dan bertanya berapa lama waktu yang
dibutuhkan untuk menangkapnya. Nelayan neksiko
itu menjawab, “hanya sebentar”.
Orang amerika itu lalu bertanya kenapa dia tidak
melaut dan menangkap lebih banyak ikan.
Nelayan meksiko itu mengatakan bahwa ia sudah mendapatkan cukup banyak ikan untuk memenuhi
kebutuhan keluarganya yang mendesak. Orang
amerika itu bertanya “tetapi apa yang anda dapatkan
dengan sisa hari anda?”
Nelayan meksiko itu menjawab, “saya tidur larut
malam, menangkap ikan sebentar, bermain dengan anak-anak saya, tidur siang dengan istri saya,
Maria, berjalan-jalan ke desa setiap sore, di mana
saya menyesap anggur dan bermain gitar bersama
teman-teman saya, saya punya kehidupan yang
sibuk dan penuh, senor (tuan).”
Orang amerika itu berujar dengan bangga, “saya punya gelar M.B.A. dari Harvrad university dan
mungkin bisa membantu anda. Anda seharusnya
menghabiskan lebih banyak waktu menangkap ikan
dan dengan hasilnya, membeli perahu yang lebih
besar, dan dengan hasil dari perahu yang lebih
besar itu, anda bisa membeli beberapa buah perahu. Akhirnya anda mungkin akan mempunyai armada
perahu penangkap ikan. Ketimbang menjual hasil
tangkapan anda kepada seorang tengkulak, anda
langsung menjual saja kepada pengolah, dan
akhirnya anda akan memiliki pabrik pengalengan
anda sendiri. Anda akan mengontrol produknya, pemrosessannya, dan distribusinya. Anda akan
perlu meningkatkan desa nelayan pesisir yang kecil
ini, dan pindah ke mexico city, lalu ke los angeles,
dan akhirnya ke new yok, di mana anda akan
mengelola perusahaan anda yang sedang
berkembang”. Nelayan meksiko itu bertanya, “tetapi senor, berapa
lama dibutuhkan untuk semuanya itu?”
Orang amerika itu menjawab, “mungkin lima belas
sampai dua puluh tahun”.
“tetapi setelah itu apa, senor?”.
Orang amerika itu tertawa dan berujar, “itulah bagian baiknya. Kalau waktunya tepat, anda akan
mengumumkan IPO dan menjual saham perusahaan
anda kepada public, dan menjadi kaya raya. Anda
akan menghasilkan jutaan dollar!”
“jutaan, senor? Setelah itu apa?”
Orang amerika itu berujar, “lalu anda akan pensiun. Pindahlah ke suatu desa nelayan kecil di mana
anda akan tidur samapai larut malam, menangkap
ikan sebentar, bermain dengan anak-anak anda,
tidur siang bersama istri anda, berjalan-jalan ke
desa setiap sore, di mana anda bisa menyesap
anggur dan bermain gitar dengan teman-teman anda.”
hutan dekat sungai. Namun, kera yang satu ini
mempunyai sifat yang tidak terpuji. Ia licik, suka
memperalat temannya untuk kepentingan dirinya. Kera bersahabat dengan kura-kura karena ada yang
diharapkan dari kura-kura. Bila bepergian ke suatu
tempat, kera selalu naik di atas punggung kura-kura
dengan berbagai alasan: capek, kakinya sakit dan
alasan yang lain. Kura-kura tak pernah sakit hati.
Kura-kura menurut saja. Kemampuan kera mengambil hati membuat kura-kura luluh dan selalu
dekat dengan kura-kura. “Tanpa bantuan makhluk
lain, tak mungkin kita bisa hidup,” bisik hatinya. Jika di tengah perjalanan ditemukan pohon yang
sedang berbuah, kera dengan gesit memanjat pohon
itu, sementara kura-kura disuruhnya menunggu di
bawah. Setelah perutnya kenyang, barulah kera
ingat temannya yang sedang menunggu di bawah.
Hanya buah-buah yang jelek dan kulit-kulitnya yang dilempar ke bawah sambil mengatakan, “Wah kura-
kura, buahnya jelek-jelek dan sudah banyak yang
dimakan kelelawar sehingga tinggal kulitnya saja.
Terima saja ini untukmu.” Hidup mengembara dari hari ke hari telah membuat
mereka bosan. Pada suatu hari, datanglah musim
kemarau panjang. Hujan tidak kunjung datang.
Pohon-pohon di hutan banyak yang layu dan tidak
berbuah. Kera dan kura-kura sedang berteduh di
bawah pohon di pinggir sungai sambil berpikir tentang apa yang harus dilakukan menghadapi
situasi seperti itu. Kera membuka percakapan. “Kura-kura, apa yang
harus kita lakukan menghadapi musim kemarau
ini?” tanyanya kepada si kura-kura. Kura-kura tidak
menjawab karena memang kura-kura tidak mampu
berpikir yang berat-berat. Akhirnya, kera
melanjutkan pembicaraannya, “Sebaiknya kita menanam pisang, sebentar lagi musim hujan akan
datang.” “Saya setuju,” jawab kura-kura. “Dari mana bibitnya?” tanyanya kepada kera. “Begini
saja, kita menunggu di tepi sungai ini. Pada musim
hujan, banyak manusia membuang anak pisang ke
sungai. Nanti kalau ada yang hanyut kita ambil.”
Mereka berdua setuju. Mula-mula mereka bekerja
keras membuka hutan untuk ditanami pohon pisang. Setelah tanahnya siap, datanglah musim hujan.
Sepanjang hari mereka di tepi sungai menunggu
pohon pisang yang hanyut. Tidak seberapa lama
dari jauh tampak pohon pisang hanyut. Kera
berteriak, “Kura-kura cepat berenang kamu! Ambil
batang pisang itu! Saya takut air dan tak bisa berenang.” “Kalau berenang saya jagonya.” kata kura-kura
menyombongkan diri. “Kamulah yang beruntung bisa berenang, sedang
aku tidak pandai berenang. Kalau aku pandai
berenang, tidaklah engkau perlu bersusah-susah
mengambil batang pisang itu. Aku tentu akan
membantumu,” ujar kera dengan licik. Mendengar ucapan kera itu, hati kura-kura menjadi
terharu. Oleh karena itu, ia segera berenang menarik
batang pisang itu ke tepi sungai. Batang pisang itu
dikumpulkan satu per satu. Setelah cukup banyak
barulah ditanam. Mereka membagi dua setiap
batang pisang sama Panjang agar adil. Bagian atas diambil si kera dan bagian bawah diberikan kepada
kura-kura. Kera rupanya tahu bahwa buah pisang
selalu ada di bagian atas. Oleh karena itu, ia
mengambil bagian atas. Beberapa waktu mereka bekerja menanam pohon
pisang. Kura-kura rajin sekali memelihara
tanamannya, sedangkan tanaman si kera tentu saja
mernbusuk dan mati sernua. Setelah kebun pisang milik kura-kura berbuah dan
buahnya mulai masak, datanglah kera bertandang.
“Hai kura-kura, tidakkah kau lihat pisangmu telah
masak di pohon,” tanya kera bersemangat. “Ya, saya lihat, hanya saya tak mampu memanjat
untuk memetiknya,” jawab kura-kura. “Apakah artinya kita bersahabat, kalau saya tidak
dapat membantumu,” kata kera. Dalam hati kera, muncul akal liciknya, lebih-lebih
Perulnya sudah mulai terasa lapar. Kera
menawarkan diri untuk membantu kura-kura
memanen pisangnya. Kurakura setuju. Dengan
gesit, kera memanjat pohon pisang yang telah
ranum buahnya. Di atas pohon ia makan sepuas- puasnya, sedangkan kura-kura (si pemilik kebun)
dilupakannya. Ia menunggu dengan hati yang
mendongkol. Kadang-kadang, kera melemparkan
kulit kepada kura-kura. Hal itu dilakukannya setiap
hari, sampai kebun itu habis buahnya. Sejak itu, kura-kura merasa sakit hati. Namun, apa
yang bisa dilakukannya? Sebagai makhluk Tuhan
yang lemah, ia hanya bisa berdoa semoga yang
curang dan khianat mendapat murka Tuhan. Mereka
berpisah untuk waktu yang agak lama. Kura-kura
selalu menghindar jika mendengar suara kera. Pada suatu hari yang panas, udara menjadi kering.
Buah-buahan di hutan semakin berkurang. Para
satwa di hutan banyak yang kelaparan dan
kehausan. Apalagi kera yang rakus itu. Ia berjalan
gontai mencari teman senasib sepenanggungan.
Lalu ia beristirahat di bawah pohon yang rindang, di atas sebuah batu. Karena lapar dan haus, kera tidak
sadar bahwa yang diduduki itu adalah punggung si
kura-kura yang sedang beristirahat pula. Karena
udara panas, kura-kura menyembunyikan kepalanya
di bawah punggungnya yang keras itu. Si kera
kemudian berteriak memanggil sahabalnya, “Kura- kuraaaaa……., di mana kamu, Kemarilah! Kita
sudah lama tidak bertemu” Terdengarlah suara dari bawah pantat si kera,
“Uuuuuuwuk…..”. Kera berteriak lagi, “Ooooo…. kura-kuraaa…,
kemarilaaah! Aku ingin bertemu denganmu.”
Terdengar lagi suara dari pantatnya,
“Uuuuuuuwuk….”. Kera marah sekali. Ia mengira, suara itu adalah
suara alat kelaminnya yang mengejeknya.
Sebenarnya, suara itu adalah suara kura-kura yang
didudukinya. Dengan geram, ia mengancam alat
kelaminnya sendiri. “Jika kamu mengejekku lagi
akan aku hancurkan!” ancamnya. Kemudian, ia berteriak lagi, “Kura-kuraaaaaaaaaaa…”. Mendengar
suara itu marahlah si kera. la mengambil batu, lalu
alat kelaminnya dipukul berkali-kali. Kera
menjeritjerit kesakitan, sambil terus memukulkan
batu itu ke arah alat kelaminnya. Kura-kura
menjulurkan kepalanya. Ia ingin menolong, tetapi sudah terlambat. Kera sahabatnya yang licik itu
telah mati.
untuk saya. Sebuah tragedi besar terjadi dalam
hidup saya oleh sebuah pengkhianatan dan fitnah
yang dilakukan teman dekat saya. Tahun itu, saya
baru saja terkena PHK akibat krisis moneter yang
memorak porandakan perusahaan tempat saya bekerja sebelumnya. Saya terdampar di sebuah
pabrik bakery yang manajemennya masih
tradisional. Saya tak hendak berkisah tentang siapa dia dan apa
yang dilakukannya. Permasalahannya telah
membaur dan berkelindan dengan masalah-masalah
lain yang membuat keadaan bertambah keruh. Akibat kejadian itu berikut kondisi-kondisi psikologis
yang kurang baik, saya sempat mengidap penyakit
semacam insomnia selama setahun lebih. Saya
sangat sulit tidur. Dalam sehari, tak jarang saya
hanya mampu lelap selama lima belas menit.
Kadang-kadang, saya berangkat tidur jam delapan malam, namun belum juga bisa tidur hingga adzan
shubuh. Ada kalanya tidur selama setengah jam di
awal malam dan selebihnya, sampai pagi, jangan
harap bisa pejam ini mata. Saat itu, yang saya
butuhkan adalah teman ngobrol. Saya ingin ada
orang yang bisa saya ajak berbagi. Suatu sore, saya melihat ada karyawan baru,
namanya Yatiman. Pertama kali saya melihatnya,
langsung tumbuh perasaan benci. Kenapa? Dia
sangat mirip dengan teman saya yang baru saja
mengkhianati dan memfitnah saya. Tidak hanya
wajahnya yang mirip, tetapi juga tutur katanya, suaranya, bahkan cara berjalannya. Potongan
rambutnya pula, rambut lurus gaya mandarin. Jujur, setiap melihatnya, saya lantas teringat
dengan teman saya tersebut, dan karenanya, saya
menjadi sangat benci. Apa lacur, kendati saya
berusaha menjaga jarak, dia justru ‘ditakdirkan’ lebih sering berada di dekat saya. Ia berada dalam satu group dengan saya. Bahkan, di mess, ia berada tepat di samping saya. Ini berarti, ia lebih sering tidur di samping saya. Seiring dengan waktu, saya mulai berusaha menata
hati dan memperbaiki sikap padanya. Apalagi, saya
tak melihat sedikit pun hal buruk padanya. Ia jujur,
jenaka, dan ramah. Hampir setiap malam, sebelum
tidur, seraya bertelekan pada lengannya, ia bertanya
dan bercerita macam-macam kepada saya. Potongan-potongan hidup dan episode masa lalunya
menjadi puzzle yang semakin kita bisa
menghubungkan, maka semakin menariklah itu.
Pun, saya jadi mengenal Yatiman dari cerita-
ceritanya yang beranjak usang. Lama-lama, sikap saya mencair. Tanpa sadar, kami
menjadi teman ngobrol yang bahkan tak jarang
mengusik tidur teman lain dan membuat mereka
menghardik, “Ssst… Sudah malam! Jangan berisik!” Yang saya suka dari Yatiman adalah sikapnya yang empatik.
Yatiman adalah seorang teman yang
istimewa untuk saya. Kendati lelah setelah bekerja
seharian, ia tak bosan mendengar cerita saya
dengan gaya empatiknya yang luar biasa. Ia mau
bersabar mendengar cerita-cerita saya, keluhan- keluhan saya yang saya ulang-ulang hampir setiap
malam. Volume suara saya yang semula tinggi
berangsur-angsur turun –karena khawatir
mengganggu yang lain– hingga akhirnya berubah
menjadi bisik-bisik. Kadang-kadang dalam keadaan setengah lelap setengah terjaga, ia masih menyempatkan diri menanggapi dengan “oo… jadi
begitu?”, “Terus?”, “Wah… hebat!”, “Mm… jadi gitu,
ya?” Terus terang, saya merasa nyaman. Humor-
humornya kadang garing dan agak-agak gagap,
tetapi saya tertawa dan terhibur. Tahun 1999, ia
pindah kerja ke Lampung. Proses pepindahannya
terbilang mendadak. Saya menangis. Saya tak bisa
membayangkan bagaimana sepinya jika dia tak ada. Alangkah panjang malam-malam saya karena tak ada teman cerita. Toh, seperti ia katakan, hanya jasad kami berpisah, sedangkan hati tetap dekat. Saat berpisah, kami berpelukan lamaaa… tanpa mampu saling berucap. Suara kami cekat di
tenggorokan. Saat itu, saya mati-matian menahan
linangan air mata. Barulah setelah mobil yang
membawanya berlalu, saya menghambur ke kamar
mandi dan menuntaskan isak di sana. Lamaaa…. Hampir dua jam saya menangis tanpa suara di
kamar mandi. Teman-teman yang lain maklum dan
tidak berusaha menghentikan tangis saya. Tak juga
mereka mengetuk pintu kamar mandi. Mereka tahu
saya sedang bersedih dengan kesedihan yang luar
biasa. Sesudah hari itu, cukup lama saya melupakan kesedihan. Setiap melihat bekas lemari pakaian Yat, hati saya terserobot rasa haru dan rindu. Setiap makan siang, saya selalu terkenang makan bersamanya seraya ngobrol banyak hal. Kendati masih ada teman-teman yang lain, namun rasanya semua jadi tak lengkap. Darinya, sungguh, saya belajar banyak cara memberi perhatian pada orang lain. Saya selalu berharap bisa menjadi ‘dirinya untuk saya’ pada setiap orang yang saya kenal. Saya ingin… selalu menjadi teman yang istimewa untuk semua orang di mana hal itu bisa dilakukan dengan hal-hal sederhana, sesederhana yang dilakukan Yatiman pada saya.
lamaran seorang pekerja untuk menebang
pohon di hutannya. Karena gaji yang dijanjikan
dan kondisi kerja yang bakal diterima sangat
baik, sehingga si calon penebang pohon itu pun
bertekad untuk bekerja sebaik mungkin. Saat mulai bekerja, si majikan memberikan
sebuah kapak dan menunjukkan area kerja yang
harus diselesaikan dengan target waktu yang
telah ditentukan kepada si penebang pohon. Hari pertama bekerja, dia berhasil merobohkan 8
batang pohon. Sore hari, mendengar hasil kerja
si penebang, sang majikan terkesan dan
memberikan pujian dengan tulus, “Hasil kerjamu
sungguh luar biasa! Saya sangat kagum dengan
kemampuanmu menebang pohon-pohon itu. Belum pernah ada yang sepertimu sebelum ini.
Teruskan bekerja seperti itu”. Sangat termotivasi oleh pujian majikannya,
keesokan hari si penebang bekerja lebih keras
lagi, tetapi dia hanya berhasil merobohkan 7
batang pohon. Hari ketiga, dia bekerja lebih
keras lagi, tetapi hasilnya tetap tidak
memuaskan bahkan mengecewakan. Semakin bertambahnya hari, semakin sedikit pohon yang
berhasil dirobohkan. “Sepertinya aku telah
kehilangan kemampuan dan kekuatanku,
bagaimana aku dapat
mempertanggungjawabkan hasil kerjaku kepada
majikan?” pikir penebang pohon merasa malu dan putus asa. Dengan kepala tertunduk dia
menghadap ke sang majikan, meminta maaf
atas hasil kerja yang kurang memadai dan
mengeluh tidak mengerti apa yang telah terjadi. Sang majikan menyimak dan bertanya
kepadanya, “Kapan terakhir kamu mengasah kapak?” “Mengasah kapak? Saya tidak punya waktu
untuk itu, saya sangat sibuk setiap hari
menebang pohon dari pagi hingga sore dengan
sekuat tenaga”. Kata si penebang. “Nah, disinilah masalahnya. Ingat, hari pertama
kamu kerja? Dengan kapak baru dan terasah,
maka kamu bisa menebang pohon dengan hasil
luar biasa. Hari-hari berikutnya, dengan tenaga
yang sama, menggunakan kapak yang sama
tetapi tidak diasah, kamu tahu sendiri, hasilnya semakin menurun. Maka, sesibuk apapun, kamu harus meluangkan waktu untuk
mengasah kapakmu, agar setiap hari bekerja
dengan tenaga yang sama dan hasil yang
maksimal. Sekarang mulailah mengasah kapakmu dan
segera kembali bekerja!” perintah sang majikan.
Sambil mengangguk-anggukan kepala dan
mengucap terimakasih, si penebang berlalu dari
hadapan majikannya untuk mulai mengasah
kapak. Sama seperti si penebang pohon, kita pun
setiap hari, dari pagi hingga malam hari,
seolah terjebak dalam rutinitas terpola.
Sibuk, sibuk dan sibuk, sehingga seringkali
melupakan sisi lain yang sama pentingnya,
yaitu istirahat sejenak mengasah dan mengisi hal-hal baru untuk menambah
pengetahuan, wawasan dan spiritual. Jika
kita mampu mengatur ritme kegiatan seperti
ini, pasti kehidupan kita akan menjadi
dinamis, berwawasan dan selalu baru !