BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Mari Berbagi Kisah Inspiratif

1464749515298

Comments

  • Zaman dahulu kala, ada sepasang suami istri yang
    tinggal di gubuk kecil. Mereka sangat miskin
    sehingga setiap hari mereka harus memotong dua
    ikat kayu bakar dan memanggulnya di punggung
    mereka untuk dijual di pasar. Suatu hari pasutri tersebut turun dari gunung dengan
    membawa kayu bakar. Mereka meletakkan satu ikat di halaman dan
    merencanakan untuk menjualnya di pasar agar
    uangnya dapat dibelikan beras. Sedangkan ikatan
    lainnya, mereka letakkan di dapur untuk digunakan
    sendiri. Ketika mereka bangun keesokan harinya, ikatan
    yang mereka letakkan di halaman secara misterius
    hilang. Tidak ada yang dapat mereka lakukan,
    kecuali menjual ikatan yang seharusnya akan
    digunakan sendiri oleh mereka. Pada hari itu juga, mereka memotong dua ikat kayu
    bakar seperti biasanya. Mereka meletakkan satu
    ikat di halaman untuk dijual dan satu ikat lagi untuk
    digunakan sendiri. Tetapi keesokan harinya, ikatan
    kayu bakar itu kembali hilang. Kejadian seperti ini
    terulang terus menerus, dan suaminya mulai berpikir ada yang aneh dibalik peristiwa ini. Pada hari kelima, dia membuat lubang di dalam
    ikatan kayu bakar yang diletakkan di halaman
    tersebut dan menyembunyikan diri di dalamnya. Dari luar, ikatan kayu bakar tersebut terlihat seperti
    biasanya. Tengah malam, sebuah tali yang sangat besar turun
    dari langit, menempel pada ikatan kayu bakar
    tersebut dan kemudian terangkat ke atas langit,
    dengan sang suami yang masih berada dalam
    ikatan kayu bakar tersebut. Setibanya di surga, dia melihat seorang tua
    berambut putih, yang kelihatannya sangat baik,
    mendekati ikatan tersebut. Orang tua tersebut melepaskan ikatan kayu bakar
    tersebut dan menemukan pria tersebut di dalamnya,
    dan bertanya, ”Orang lain hanya memotong satu ikat
    kayu bakar setiap harinya. Mengapa kamu
    memotong dua ikat?” Sang suami memberi hormat dan berkata,”Kami
    tidak punya uang. Itulah alasannya mengapa isteri
    saya dan saya memotong dua ikat kayu bakar
    setiap harinya. Satu ikat untuk digunakan sendiri
    dan satu ikat lagi kami bawa ke pasar untuk dijual.
    Sehingga kami dapat membeli beras untuk memasak bubur.” Orang tua tersebut tersenyum dan berkata kepada
    pemotong kayu tersebut dengan nada yang sangat
    ramah,” Saya telah tahu sejak lama bahwa kalian
    adalah pasangan yang baik hati dan selalu hidup
    hemat dan bekerja keras. Saya akan memberikan
    kepada kalian sebuah barang berharga. Bawalah barang ini dan dia akan memberikan apa pun yang
    kalian perlukan dalam hidup ini.” Setelah orang tua tersebut selesai berbicara,
    datanglah tujuh peri, membawa pemotong kayu
    tersebut ke tempat yang sangat indah. Atap emas
    dan genteng yang berkilau, menyilaukan mata pada
    saat dia masuk kedalamnya, sehingga dia tak dapat
    membuka matanya. Di dalam istana tersebut terdapat banyak barang
    terpajang yang belum pernah dia lihat sebelumnya.
    Kantong uang dalam berbagai bentuk dan ukuran
    digantung di satu ruangan. Peri tersebut bertanya
    kepadanya,”Mana yang anda sukai? Pilihlah apapun
    yang anda sukai dan bawalah pulang ke rumah.” Pemotong kayu tersebut sangat senang. ”Saya ingin
    kantong uang tersebut, kantong yang penuh dengan
    barang berharga. Berikan pada saya kantong yang
    bulat dan penuh tersebut.” Dia memilih yang terbesar dan membawanya. Seketika, orang tua berambut putih tersebut masuk
    dan dengan ekspersi aneh di wajahnya berkata
    kepada pemotong kayu tersebut, ”Kamu tidak boleh
    mengambil yang satu itu. Saya akan memberikan
    kantong yang kosong kepada kamu. Setiap hari
    anda dapat mengambil satu tael perak dan tidak boleh lebih.” Pemotong kayu tersebut dengan enggan
    menyetujui. Dia mengambil kantong uang yang
    kosong tersebut, dengan bergantung pada tali
    tersebut, dia kemudian turun ke bumi. Setibanya di rumah, dia memberikan kantong uang
    tersebut kepada isterinya dan menceritakan
    keseluruhan kejadian tersebut. Isterinya sangat germbira. Setiap hari, mereka pergi
    untuk memotong kayu seperti biasanya. Tetapi
    ketika mereka kembali ke rumah, mereka akan
    mengunci pintu dan membuka kantong uang
    tersebut, yang secara cepat sebongkah perak akan
    bergemerincing keluar. Sebongkah perak tersebut benar-benar pas satu
    tael. Setiap hari satu tael perak dan tidak lebih,
    akan keluar dari kantong tersebut. Isterinya
    kemudian menyimpannya setiap hari, satu tael demi
    satu tael. Waktu berlalu. Suatu hari suaminya berkata,”Mari
    kita beli lembu.” Isterinya tidak setuju. Beberapa hari kemudian,
    suaminya berkata kembali, ”Bagaimana jika kita beli
    lahan beberapa hektar?” Isterinya juga tidak setuju. Beberapa hari berlalu,
    dan isterinya kemudian mengajukan usul, “Mari kita
    beli pondok jerami yang kecil.” Suaminya sudah sangat ingin memakai uang yang
    telah mereka tabung dan berkata, ”Karena kita telah
    memiliki banyak uang, mengapa kita tidak bangun
    saja rumah bata yang besar?” Isterinya tidak dapat menghalangi suaminya dan
    secara enggan menyetujui ide tersebut. Suaminya kemudian menggunakan uang tersebut
    untuk membeli batu bata, ubin dan kayu dan
    menyewa tukang kayu dan tukang bangunan. Sejak
    saat itu, mereka tidak pernah lagi pergi ke gunung
    untuk memotong kayu bakar lagi. Kemudian tibalah hari, dimana simpanan uang perak
    mereka hampir kering, tetapi rumah baru tersebut
    belum juga selesai. Telah lama dalam pikiran
    suaminya untuk meminta kantong uang tersebut
    menghasilkan uang perak yang lebih banyak. Dengan tanpa sepengetahuan isterinya, dia
    membuka kantong tersebut untuk kedua kalinya
    dalam hari tersebut. Dan secara cepat, sebongkah
    perak kedua bergemerincing keluar. Dia membuka
    kantong tersebut untuk ketiga kalinya, dan
    mendapatkan uang perak ketiganya dalam hari tersebut. Dia kemudian berpikir, ”Jika terus menerus seperti
    ini, rumah ini akan selesai dengan cepat!” Dia telah melupakan peringatan orang tua berambut
    putih tersebut. Tetapi ketika dia membuka kantong
    uangnya untuk yang keempat kalinya, kantong
    tersebut kosong! Tidak ada perak atau apapun yang
    keluar. Kantong tersebut telah menjadi sebuah kantong tua.
    Ketika dia berbalik untuk melihat rumah batanya
    yang belum selesai, rumah tersebut juga telah
    hilang. Yang tertinggal hanyalah gubuk tua. Pemotong kayu tersebut merasa sangat sedih. Isterinya datang dan menghiburnya, ”Kita tidak
    dapat bergantung pada kantong uang ajaib. Mari kita
    kembali ke gunung dan memotong kayu bakar. Ini
    cara terbaik untuk menghidupi diri kita.” Sejak saat itu, pasutri tersebut kembali ke gunung
    untuk memotong kayu bakar dan hidup dan bekerja
    seperti dahulu kala.
  • Ini adalah kisah yang dialami oleh sebuah keluarga
    burung. Si induk menetaskan beberapa telor menjadi
    burung-burung kecil yang indah dan sehat. Si induk
    pun sangat bahagia dan merawat mereka semua
    dengan penuh kasih sayang. Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Burung-
    burung kecil inipun mulai dapat bergerak lincah.
    Mereka mulai belajar mengepakkan sayap, mencari-
    cari makanan untuk kemudian mematuknya. Dari beberapa anak burung ini tampaklah seekor
    burung kecil yang berbeda dengan saudaranya yang
    lain. Ia tampak pendiam dan tidak selincah saudara-
    saudaranya. Ketika saudara-saudaranya belajar
    terbang, ia memilih diam di sarang daripada lelah
    dan terjatuh, ketika saudara-saudaranya berkejaran mencari makan, ia memilih diam dan menantikan
    belas kasihan saudaranya. Demikian hal ini terjadi
    seterusnya. Saat sang induk mulai menjadi tua dan tak sanggup
    lagi berjuang untuk menghidupi anak-anaknya, si
    anak burung ini mulai merasa sedih. Seringkali ia
    melihat dari bawah saudara-saudaranya terbang
    tinggi di langit. Ketika saudara-saudarnya dengan
    lincah berpindah dari dahan satu ke dahan yang lain di pohon yang tinggi, ia harus puas hanya dengan
    berada di satu dahan yang rendah. Ia pun merasa
    sangat sedih. Dalam kesedihannya, ia menemui induknya yang
    sudah tua dan berkata, “Ibu, aku merasa sangat
    sedih, mengapa aku tidak bisa terbang setinggi
    saudara-saudaraku yang lain, mengapa akau tidak
    bisa melompat-lompat di dahan yang tinggi aku
    hanya bisa berdiam di dahan yang rendah?” Si induk pun merasa sedih dan dengan air mata ia
    berkata, “Anakku, engkau dilahirkan dengan sayap
    yang sempurna seperti saudaramu, tapi engkau
    memilih merangkak menjalani hidup ini sehingga
    sayapmu menjadi kerdil.” Hidup adalah kumpulan dari setiap pilihan yang kita buat. Pilihan kita hari ini menentukan bagaimana hidup kita di masa
    depan.Kita memiliki kebebasan memilih tetapi
    setelah itu kita akan dikendalikan oleh pilihan kita,
    jadi berpikirlah sebelum berbuat, sadari setiap
    konsekuensi dari pilihan yang kita buat.
  • Alkisah ada dua orang anak laki-laki, Bob dan Bib,
    yang sedang melewati
    lembah permen lolipop. Di tengah lembah itu
    terdapat jalan setapak yang
    beraspal. Di jalan itulah Bob dan Bib berjalan kaki bersama. Uniknya, di kiri-kanan jalan lembah itu terdapat
    banyak permen lolipop yang
    berwarni-warni dengan aneka rasa. Permen-permen
    yang terlihat seperti
    berbaris itu seakan menunggu tangan-tangan kecil
    Bob dan Bib untuk mengambil dan menikmati kelezatan mereka. Bob sangat kegirangan melihat banyaknya permen
    lolipop yang bisa diambil.
    Maka ia pun sibuk mengumpulkan permen-permen
    tersebut. Ia mempercepat
    jalannya supaya bisa mengambil permen lolipop
    lainnya yang terlihat sangat banyak didepannya. Bob mengumpulkan sangat
    banyak permen lolipop yang ia simpan di dalam tas
    karungnya. Ia sibuk mengumpulkan permen-permen
    tersebut tapi sepertinya permen-permen tersebut
    tidak pernah habis maka ia memacu langkahnya
    supaya bisa mengambil semua permen yang dilihatnya. Tanpa terasa Bob sampai di ujung jalan lembah
    permen lolipop. Dia melihat
    gerbang bertuliskan “Selamat Jalan”. Itulah batas
    akhir lembah permen
    lolipop. Di ujung jalan, Bob bertemu seorang lelaki
    penduduk sekitar. Lelaki itu bertanya kepada Bob, “Bagaimana perjalanan kamu di lembah permen
    lolipop? Apakah permen-permennya lezat? Apakah
    kamu mencoba yang rasa jeruk? Itu rasa yang
    paling disenangi. Atau kamu lebih menyukai rasa
    mangga? Itu juga sangat lezat.” Bob terdiam mendengar pertanyaan lelaki tadi. Ia
    merasa sangat lelah dan
    kehilangan tenaga. Ia telah berjalan sangat cepat
    dan membawa begitu banyak permen lolipop yang
    terasa berat di dalam tas karungnya. Tapi ada satu
    hal yang membuatnya merasa terkejut dan ia pun menjawab pertanyaan lelaki itu, “Permennya saya
    lupa makan!” Tak berapa lama kemudian, Bib sampai di ujung
    jalan lembah permen lolipop.
    “Hai, Bob! Kamu berjalan cepat sekali. Saya
    memanggil-manggil kamu tapi kamu sudah sangat
    jauh di depan saya.” “Kenapa kamu memanggil saya?” tanya Bob. “Saya ingin mengajak kamu duduk dan makan
    permen anggur bersama. Rasanya lezat sekali.
    Juga saya menikmati pemandangan lembah, indah
    sekali!” Bib bercerita panjang lebar kepada Bob.
    “Lalu tadi ada seorang kakek tua yang sangat
    kelelahan. Saya temani dia berjalan. Saya beri dia beberapa permen yang ada di tas saya. Kami
    makan bersama dan dia banyak menceritakan hal-
    hal yang lucu. Kami tertawa bersama.” Bib
    menambahkan. Mendengar cerita Bib, Bob menyadari betapa
    banyak hal yang telah ia
    lewatkan dari lembah permen lolipop yang sangat
    indah. Ia terlalu sibuk
    mengumpulkan permen-permen itu. Tapi pun ia
    sampai lupa memakannya dan tidak punya waktu untuk menikmati kelezatannya karena ia begitu
    sibuk memasukkan semua permen itu ke dalam tas
    karungnya. Di akhir perjalanannya di lembah permen lolipop,
    Bob menyadari suatu hal
    dan ia bergumam kepada dirinya sendiri, “Perjalanan
    ini bukan tentang berapa banyak permen yang telah
    saya kumpulkan. Tapi tentang bagaimana saya
    menikmatinya dengan berbagi dan berbahagia.” Ia pun berkata dalam hati, “Waktu tidak bisa diputar
    kembali.” Perjalanan di lembah lolipop sudah
    berlalu dan Bob pun harus melanjutkan kembali
    perjalanannya.
  • Liu Gang adalah seorang terpidana kasus
    perampokan, dia sudah dipenjara selama satu tahun
    dan tidak ada seorang pun yang pernah datang
    menjenguknya. Ketika menyaksikan narapidana lainnya dalam
    selang waktu tertentu selalu saja ada orang yang
    datang menjenguk dan menghantarkan segala
    macam makanan enak, mata Liu Gang menjadi
    gatal, maka dia lalu menulis surat kepada ibunya
    dan meminta mereka untuk datang, bukan demi makanan enak, hanya karena rindu pada mereka
    saja. Namun setelah tiada terhingga lembar surat yang
    dikirimkannya bagaikan tenggelam di laut saja, Liu
    Gang akhirnya mengerti kalau ayah ibunya tidak
    menginginkannya lagi. Dalam kesedihan dan
    keputus-asaannya, dia kembali menulis selembar
    surat, di dalamnya dikatakan jika ayah ibunya masih belum datang juga, maka mereka akan kehilangan
    anaknya ini untuk selama-lamanya. Ini bukan
    lampiasan kekecewaan, tetapi dikarenakan
    beberapa orang terpidana hukuman berat sudah
    beberapa kali mengajaknya untuk melarikan diri dari
    penjara, hanya saja dia belum berani mengambil keputusan, namun sekarang pendeknya ayah dan
    ibu sudah tidak menginginkannya, tiada lagi yang
    menjadi ganjalan batin, jadi apa lagi yang harus
    dikhawatirkannya? Cuaca hari ini sangat dingin. Bertepatan pada saat
    Liu Gang secara diam-diam sedang membicarakan
    rencana pelarian dengan beberapa orang
    narapidana, tiba-tiba ada orang berteriak: “Liu Gang,
    ada orang datang menjengukmu!” Siapa pula ini?
    Ketika masuk ke dalam ruang kunjungan, Liu Gang tertegun, itu adalah ibunya. Setahun tidak bertemu,
    ibunya sudah berubah sampai sulit dikenal lagi.
    Orang yang berusia tidak sampai 50 tahun, semua
    rambutnya sudah beruban, punggungnya juga
    bongkok seperti udang, badannya kurus kerempeng
    bagai tidak berbentuk manusia lagi, pakaiannya lusuh dan koyak sana sini, sepasang kakinya tidak
    beralas dan penuh dengan debu dan bercak darah,
    di sampingya diletakkan dua buah karung goni yang
    sudah koyak. Kedua ibu dan anak ini saling berpandangan,
    sebelum Liu Gang sempat membuka mulut, air mata
    ibunya sudah mengalir turun, sambil menyeka air
    mata, ibunya berkata: “Xiao Gang, suratmu sudah
    ibu terima, jangan menyalahkan ayah dan ibu, tetapi
    ayah dan ibu benar-benar tidak bisa menyempatkan diri untuk datang, ayahmu …. dia jatuh sakit dan ibu
    harus merawatnya, lagipula perjalanan ke sini
    sangat jauh ….” Pada saat ini, seorang pembina
    narapidana masuk dengan membawa semangkuk
    besar mi telur yang panas-panas dan berkata
    dengan antusias: “Ibu, makan dulu semangkuk ini, nanti baru lanjutkan perbincangannya.” Ibu Liu
    segera berdiri, tangannya terus menggosok
    tubuhnya keras-keras: “Tidak boleh, tidak boleh
    begitu.” Pembina menyorongkan mangkuk ke
    tangan orang tua ini dan berkata sambil tersenyum:
    “Ibuku juga ada seusia anda, apakah kurang pantas jika ibu makan semangkuk mi dari anaknya?” Ibu
    Liu tidak menolak lagi, dia menundukkan kepala dan
    segera menyantap mi itu dengan lahap, seakan
    sudah beberapa hari tidak makan saja. Setelah ibunya siap makan, Liu Gang melihat pada
    sepasang kaki yang bengkak dan penuh bercak
    darah dari kaki yang luka, tanpa tertahankan
    bertanya: “Ibu, apa yang terjadi dengan kakimu?
    Mana sepatu ibu?” Sebelum ibunya menjawab,
    pembina yang menjawab dengan nada suara dingin: “Ibumu datang dengan jalan kaki, sepatunya sudah
    tergesek koyak.” Berjalan kaki? Dari rumah sampai ke sini ada 500 –
    600 kilometer, juga ada satu ruas merupakan jalan
    gunung yang sangat panjang. Liu Gang perlahan-
    lahan berjongkok dan pelan-pelan mengelus
    sepasang kaki yang tidak berbentuk lagi itu: “Ibu,
    mengapa ibu tidak naik bus saja? Kenapa tidak membeli sepasang sepatu?” Ibu menarik kakinya dan berkata seakan tidak ambil
    peduli: “Naik bus apa, lebih baik jalan kaki saja.
    Tahun ini terjadi wabah penyakit babi, beberapa ekor
    babi yang ada di rumah mati semua, udara juga
    sangat kering, panen tanaman di ladang tidak baik
    jadinya, ada lagi …. ayahmu sakit dan perlu pengobatan, itu menghabiskan sangat banyak uang
    …. jika kesehatan tubuh ayahmu cukup baik, kami
    sejak lama sudah datang menjengukmu, jadi jangan
    menyalahkan ayahmu.” Pembina itu menyeka air matanya dan diam-diam
    ke luar dari ruangan. Liu Gang bertanya sambil
    menundukkan kepalanya: “Apakah tubuh ayah
    sudah sehat?” Liu Gang menunggu sangat lama, namun tiada
    jawaban, ketika menonggakkan kepala, dia melihat
    ibunya sedang menyeka air matanya, namun
    mulutnya mengatakan: “Mata ibu masuk pasir,
    kamu bertanya akan ayahmu? Oh, dia sudah mau
    sembuh …. Dia meminta ibu menyampaikan kepadamu agar jangan terlalu memikirkannya, kamu
    harus baik-baik membina diri agar nantinya menjadi
    orang baik-baik.” Waktu kunjungan sudah habis. Pembina masuk
    kembali dengan kedua tangan memegang
    setumpukan uang dan berkata: “Ibu, ini adalah
    sedikit uang dari kami beberapa orang pembina
    penjara, anda jangan pulang lagi dengan berkaki
    telanjang, jika tidak, Liu Gang akan merasa sangat sedih.” Sepasang tangan ibu Liu Gang terus terayun dan
    berkata: “Mana boleh begitu, anakku di sini sudah
    cukup merepotkan kalian, jika ibu mengambil uang
    kalian, bukankah akan memperpendek umur ibu
    nantinya?” Pembina berkata dengan suara bergetar: “Sebagai
    anak, Li Gang tidak dapat membuat anda menikmati
    kehidupan ini, malah membuat orangtua khawatir
    dan mencemaskannya, membuat ibu berjalan
    dengan kaki telanjang sepanjang ratusan kilometer
    sampai ke sini, jika membiarkan ibu pulang dengan kaki telanjang, apakah anak anda ini masih
    tergolong manusia?” Liu Gang tidak dapat menahan diri lagi, dengan
    suara parau memanggil: “Ibu!” Kemudian tidak dapat
    melanjutkan kata-kata lagi, saat ini di luar jendela
    juga terdengar banyak suara tangisan, itu
    merupakan suara para terpidana yang diundang oleh
    pembina untuk ikut menyaksikan. Pada saat ini, ada seorang penjaga masuk ruangan
    dan pura-pura berkata dengan enteng: “Jangan
    menangis lagi, ibu datang melihat anak adalah
    peristiwa bahagia, semuanya harus senang, mari
    saya lihat makanan enak apa yang dibawa oleh ibu.”
    Sambil berkata dia mengambil karung dan menuangkannya ke lantai, ibu Liu Gang tidak
    sempat mencegah, semua isi sudah
    dikeluarkannya, seketika semua orang tertegun. Isi karung pertama ternyata semuanya adalah roti
    dan sejenisnya, semuanya sudah pecah-pecah dan
    keras bagai batu, lagipula ukurannya besar kecil.
    Tidak usah dikatakan lagi, ini pasti hasil dari ibu Liu
    Gang mengemis sepanjang perjalanan ke sini. Ibu
    Liu Gang merasa malu sekali, sepasang tangannya memegang keras pada ujung bajunya dan
    bergumam: “Anakku, jangan salahkan ibu telah
    melakukan pekerjaan ini, sebab di rumah sama
    sekali tidak ada satu pun barang berharga lagi …” Liu Gang bagaikan tidak mendengar perkataan
    ibunya ini, dia terus memandang lurus pada benda
    yang dituangkan dari karung goni kedua, itu adalah
    sebuah guci abu tulang manusia. Liu Gang bertanya
    dengan termangu-mangu: “Ibu, ini apa?” Wajah ibu
    Liu Gang tampak kebingungan, dia mengulurkan tangan untuk memeluk guci tersebut: “Bukan apa-
    apa…” Liu Gang merebutnya bagaikan gila, dengan
    tubuh gemetar berkata: “Ibu, apa ini?” Ibu Liu Gang terduduk tanpa bertenaga, kepala
    dengan rambut ubannya bergetar hebat. Sejenak
    kemudian, dia berkata dengan susah payah: “Itu
    adalah …. ayahmu! Demi mencari uang agar dapat
    datang menjengukmu, dia bekerja siang malam,
    akhirnya tubuhnya tidak tahan dan jatuh sakit. Sebelum wafat, dia mengatakan sangat sedih
    karena dalam masa hidupnya tidak dapat datang
    menjengukmu, maka dia meminta ibu agar sesudah
    mati dapat membawanya datang menjengukmu dan
    melihatmu untuk terakhir kalinya…” Liu Gang berteriak dengan hati sangat sedih seakan
    hatinya terkoyak: “Ayah, saya akan merubah diri …”
    Kemudian terdengar suara “buuuk”, Liu Gang sudah
    berlutut, kepalanya terus dianggukkan ke lantai.
    “Buuuuk, buuuk”, terlihat semua orang di luar
    ruangan ikut berlutut dengan suara tangisan memenuhi langit….
  • Sore, pulang kantor, seperti biasa aku menunggu
    bis didepan Chase Plaza, untuk membawaku
    pulang, bertemu dengan kedua anak-anakku yang
    masih berusia 2 tahun dan 9 bulan. Mikhail dan Fara
    namanya. Cuaca menggerahkan tubuhku. Penat seharian kerja, dengan segala masalah yang
    ada selama bekerja. Sudah seminggu ini aku selalu
    lupa menanyakan keadaan kedua anakku Entah
    menanyakan sudah makan siang atau belum,
    bagaimana keseharian mereka, atau hanya sekedar
    memainkan telfon untuk mendengarkan suara sang buah hatiku, si sulung Mikhail yang sudah banyak
    bicara. Bahkan aku juga lupa bahwa saat ini kedua
    buah hati tercinta sedang sakit flu. Aku terlalu sibuk
    sehingga sempat melupakan mereka. Tapi ah, aku
    pikir aku meninggalkan buah hati bersama
    orangtuaku dan pengasuhnya. Jadi, untuk apa aku pusingkan akan hal itu? Jahatkah aku? Aku rasa betul, aku jahat. Tapi aku lebih
    mementingkan pekerjaanku
    daripada keluargaku. Aku termenung. Tadi pagi sebelum berangkat aku
    lagi-lagi lupa membekalkan suami dengan dua
    potong roti omelete kesukaannya. Aku juga lupa
    membekalkan teh hangat manis dimobilnya. Aku
    sempat merajuk gara-gara suamiku menanyakan
    sarapan rutinnya untuk dimobil. Aku kan cape Mas, aku kan harus siapkan bekal anak-anak sebelum
    mereka dititipkan ketempat Oma-nya. Aku kan
    harus selesaikan cucian sebelum aku mandi tadi
    pagi. Dan sejuta alasanku untuk tidak lagi dibahas
    masalah sarapan rutin mobil. Dan ini sudah terjadi
    selama satu minggu pula. Ah, aku juga melupakan kebiasaanku yang disukai suami, ternyata. Bahkan,
    aku lupa minta maaf dengan kelakuanku seminggu
    ini. Bahkan, akupun lupa Shalat sudah seminggu ini !!!
    Alangkah ajaibnya diriku. Tapi kurasa Tuhan
    mengerti. Begitu pikirku selama dikantor. Dan
    akupun tenggelam dengan pekerja anku dikantor. Saat itu jam sudah menunjukkan pukul 5.25 sore,
    langit mendung, dengan udara lembab. Haus. Aku
    lupa minum sebelum pulang tadi. Mestinya aku
    sediakan segelas minum untuk bekalku
    diperjalanan. Aku membutuhkan 2 jam perjalanan
    dari kantor sampai rumahku di Bintaro. Lagi-lagi, alasan sibuk yang membuatku lupa membawa gelas
    hijauku yang dulu biasa “tidur” dalam tasku. Pada saat itulah mataku tertuju dengan 2 orang
    kakak beradik, anak pengamen jalanan. Tidak
    beralas kaki, kotor dan kumuh. Usia mereka sekitar
    4 dan 2 tahun. Mataku tertuju dengan sang adik.
    Wajahnya kuyu. Kotor dan diam. Terlihat wajah
    manisnya walaupun kurasa anak kecil itu tidak pernah mandi. Tidak beralas kaki. Terlihat ada luka
    ditelapak kakinya yang mungil, semungil telapak
    kaki buah hatiku Mikhail. Sang adik tertawa saat
    seorang wanita muda memberikan pecahan Rp.
    2000 kepada kakaknya. Alangkah senangnya si
    kakak. Diberikan selembar kepada sang adik, dan sang a dikpun menerima dengan hati riang.
    Dipandangnya uang lembaran Rp. 1000 itu sambil
    bernyanyi kecil. Ah, dia menyanyikan lagu masa
    kecilku dulu. Balonku ada lima, rupa-rupa warnanya.
    Aku membayangkan buah hatiku Mikhail
    menyanyikan lagu itu. Pasti tangannya tidak lepas dari pipiku, karena pada bait lagu “dor” buah hatiku
    selalu memukul pipiku. Aku tersenyum pada si kecil. Suaranya. Ya,
    suaranya masih pula cadel. Tangan kanannya
    memegang lembaran seribuan, tangan kirinya
    memegang alat musik kecrekan dari tutup botol.
    Alangkah polos wajahnya. Sang kakak duduk
    ditrotoar sambil menghalau lalat yang berseliweran dikepala adik. Kutahu, pasti dia tidak keramas. Uh,
    mandi saja mungkin jarang apalagi mencuci rambut? Tiba-tiba saja, waktu sudah menunjukkan pukul 5.35
    sore. Belum gelap. Tapi aku tak tahu sudah berapa
    bis jurusanku yang terlewatkan karena
    kekhusyukanku memandang 2 bocah polos
    didepanku?. Aku rogoh dompetku. Duh, makin
    menipis. Aku harus beli susu sang buah hatiku yang kecil. Aku juga harus beli alat kosmetikku yang
    sudah hancur dimainkan anak sulungku. Pokoknya
    aku memang harus beli hari ini. Tapi pemandangan
    didepanku meluluhkan hatiku. Kuambil selembar
    duapuluh ribuan dan kuberikan kepada sang kakak.
    Terkejut, tentu saja. Sang adik tidak kalah terkejut. Sambil teriak, sang adik bertanya pada kakaknya:
    aku bisa makan hari ini ya kak ya. Hhh.. aku
    tersenyum pilu. Begitu bahagianya mereka
    menerima lembaran dariku. Aku tegur kakaknya “kamu berdua belum makan?”
    Pertanyaanku dijawab dengan sebuah anggukan
    kepala yang pelan. Saat itu juga aku menitikkan air
    mata. Aku kasihan sekali. Adiknya tidak memakai
    celana apapun. Bahkan aku bisa melihat bahwa
    adiknya seorang perempuan. Beberapa orang yang sedang menunggu bis, menjadikan percakapanku
    dengan bocah-bocah itu sebagai tontonan mereka.
    Beberapa ada yang memberikan selembar 5000an.
    Ah, Jakarta ! “Kamu mau makan? Mau saya belikan makanan?”
    Lagi-lagi pertanyaanku dijawab dengan sebuah
    anggukan kecil. Sang adik tersenyum kepadaku.
    Ah, polosnya senyuman itu. Tanpa beban. Tanpa
    arti. Tapi yang kutahu, senyuman itu senyuman
    bahagia dari kepolosannya. Aku ajak mereka ke sebuah warung nasi Padang didekat Chase Plaza,
    kantorku. Aku tawarkan makanan sesuka mereka.
    Raut wajah mereka memucat. Aku mengerti,
    mereka sudah lapar dan dahaga. Kupandangi
    mereka makan. Duh, lahapnya. Aku sendiri tidak
    makan seharian tadi, karena lagi-lagi kesibukanku dikantor. Apakah aku sudah sedemikian kuatnya
    sehingga aku mampu melupakan makan siang,
    mampu melupakan kewajibanku sebagai istri dan
    ibu dari 2 orang buah hati terkasih? Aku ambil rokok mentholku, dan kuhisap perlahan.
    Duh, rokok tidak pernah lepas dariku, seakan dialah
    pasangan hidupku. Kuperhatikan sang adik. “Siapa
    nama kamu?” Jawaban malu-malu keluar dari
    bibirnya “Ririn, Ibu”. Ah, namanya Ririn. Sebuah
    nama indah. Tapi kenapa nasibnya tidak indah?. Aku melamun.
    Tiba-tiba saja aku jadi cengeng luar biasa.
    Airmataku menitik. Duh, sejahat inikah yang
    namanya Jakarta? Hingga mampu menciptakan dua
    orang bocah yang sedang makan dihadapanku
    menjadi pengamen jalanan dengan alat kecrekan seadanya ditengah-tengah gedung tinggi? Bahkan,
    celana dalampun mereka tidak punya. Mungkin
    punya, tapi cuma beberapa. Aku tidak menanyakan
    hal itu. Kurasa tidak perlu. Bodohnya aku !. “Kamu rumah dimana?” Aku tidak mendapatkan
    jawaban. Hanya gelengan kepala si kecil. Ah,
    mereka tidak punya rumah. Rumah mereka di
    bedeng kardus, dekat stasiun Senen. “Jalan kaki
    dan numpang bis dari Senen untuk ngamen” kata
    sang kakak. Aku melamun. Kuhisap rokokku dalam- dalam. Rumah kardus? Pengap? Tanpa orang tua?
    Nyamuk? Penyakit? Kotoran dimana-mana? Adakah
    yang peduli dengan masa depan Ririn kecil? Adakah
    yang peduli? Kenapa mereka ada di Jakarta?
    Kenapa bisa bertemu denganku disini? Tiba-t iba saja lamunanku buyar. “Ibu, terima kasih
    kami sudah makan enak”.
    Mataku berkaca-kaca. “Ya, sama-sama. Semoga
    kamu kenyang dan senang” jawabku berat. Ririn
    kecil tersenyum. Kurasa ia kekenyangan. Keringat
    didahinya berbicara. Lalu ia mulai memainkan kecrekan gembelnya. Bunyinya tidak beraturan.
    Tidak ada nada sama sekali. Hanya suara cadelnya
    yang membuatku tersenyum. Aku berkaca-kaca.
    Senangnya bisa memberikan arti buat mereka. “Ibu,
    jangan melamun. Aku mau nyanyi buat Ibu”. Ah,
    menyanyi? Buatku? Apa istimewanya aku?. Aku tertegun. Suara cadel itu. Suara polos itu. Mereka
    menyanyikan sebuah lagu untukku. Aku tidak
    mengerti lagunya. Tapi terdengar indah ditelingaku.
    Ah, aku diberi hadiah: lagu !. “Sekarang kamu berdua pulang. Masih ada yang
    merindukan kamu berdua. Ini bekal buat dijalanan”.
    Aku berikan selembar duapuluh ribuan, seliter air
    mineral, roti manis dan sandal buat kedua bocah itu.
    Kebesaran. Tapi tidak apa. Mereka senan g sekali
    memakai sandal baru. Aku pandangi kedua bocah dengan senyum. Mereka berlarian mengejar bis.
    Entah kemana lagi mereka pergi. Mencari uang
    lagikah? Atau pulang kerumah kardus mereka di
    pinggiran stasiun Senen seperti ucapan mereka
    tadi? Aku terharu, air mataku menetes. Ah
    Jakarta… jahat sekali kamu. Sudah jam 7 lewat 10. Aku pasti terlambat sekali
    sampai rumah ibuku. Aku harus menjemput buah
    hatiku dan setelah itu pulang kerumahku. Aku duduk
    dalam bis. Terdiam. Aku lagi-lagi meneteskan
    airmata. Apakah aku ditegur Tuhan? Apakah aku
    disentil olehNya? Mata polos itu. Mata polos itu menegurku, Tuhan. Aku lupa bersyukur dengan apa yang telah
    diberikanNya untukku. Aku lupa dengan anak-
    anakku. Aku lupa dengan suami dan tanggung
    jawabku sebagai ibu dan istri. Mata Ririn kecil
    menusukku tajam. Aku ditegur olehnya. Oleh mata
    kecil polos tanpa duka itu. Fara kecil tertidur dipangkuanku. Mikhail, buah
    hatiku yang sulung dengan mesra mem ainkan
    rambut Papanya. “Papa, hari ini aku sudah bisa
    belajar mewarnai. Hari ini aku tadi makannya
    banyak. Aku tadi mau minum obat. Aku hari ini jadi
    anak Papa yang pintar”. Celotehannya yang cadel membuatku tersenyum berkaca-kaca. “Mikhail
    enggak mau cerita dengan Mama?” tanyaku.
    “Mikhail enggak mau cerita dengan Mama. Mama
    kan mama yang sibuk”. Bahkan si sulungpun kini
    sudah mulai menjauh dariku. Dia malah lebih
    sayang dengan Papanya. Suamiku. Duh, rasanya seperti tertusuk jarum. Sakit. Tapi aku diam. Ini
    memang semua salahku. Tertidur. Mikhail dan Fara tertidur sudah. Tanggapan
    akan ceritaku dari suami, hanya tersenyum.
    Bijaksana sekali. “Itulah teguran Allah untukmu.
    Maka bersujudlah. Mohon ampun padaNya”. Malam
    itu juga aku Shalat. Memohon ampun pada yang
    Kuasa atas kemalasanku sebagai Ibu. Mohon ampun telah melupakanNya. Kupandang kedua wajah polos buah hatiku tercinta.
    Pulas. Tampak genangan liur dibantal mereka. Far a
    tersenyum. Buah hati kecilku itu kalau tidur
    memang suka tersenyum kecil. Sayangnya Mama… Setetes air mata kembali mengalir dipipiku. Entah
    siapa kedua bocah yang kutemui sore tadi sepulang
    kantor, entah siapa Ririn kecil yang memandangku
    polos, entah siapa yang telah menyanyikan sebuah
    lagu untukku disebuah warung nasi. Yang aku tahu,
    mata lugu itu telah menegurku dengan sangat tajam. Terima kasih Allah, telah mengirimkan dua bocah
    kecil, miskin tiada arti, untuk merubah hidupku.
    Mungkinkah mereka Engkau kirim untukku?
  • Yan Hui adalah murid kesayangan Confusius yang
    suka belajar, sifatnya baik. Pada suatu hari ketika
    Yan Hui sedang bertugas, dia melihat satu toko kain
    sedang dikerumunin banyak orang. Dia mendekat
    dan mendapati pembeli dan penjual kain sedang
    berdebat. Pembeli berteriak: “3×8 = 23, kenapa kamu bilang
    24? “Yan Hui mendekati pembeli kain dan berkata:
    “Sobat, 3×8 = 24, tidak usah diperdebatkan lagi”. Pembeli kain tidak senang lalu menunjuk hidung
    Yan Hui dan berkata: “Siapa minta pendapatmu?
    Kalaupun mau minta pendapat mesti minta ke
    Confusius. Benar atau salah Confusius yang berhak
    mengatakan”. Yan Hui: “Baik, jika Confusius bilang kamu salah,
    bagaimana?” Pembeli kain: “Kalau Confusius bilang saya salah,
    kepalaku aku potong untukmu. Kalau kamu yang
    salah, bagaimana?” Yan Hui: “Kalau saya yang salah, jabatanku
    untukmu”. Keduanya sepakat untuk bertaruh, lalu pergi
    mencari Confusius. Setelah Confusius tahu duduk
    persoalannya, Confusius berkata
    kepada Yan Hui sambil tertawa: “3×8 = 23. Yan Hui,
    kamu kalah. Kasihkan jabatanmu kepada dia.”
    Selamanya Yan Hui tidak akan berdebat dengan gurunya. Ketika mendengar Confusius bilang dia
    salah, diturunkannya topinya lalu dia berikan kepada
    pembeli kain. Orang itu mengambil topi Yan Hui dan berlalu
    dengan puas.Walaupun Yan Hui menerima penilaian
    Confusius tapi hatinya tidak sependapat. Dia
    merasa Confusius sudah tua dan pikun sehingga dia
    tidak mau lagi belajar darinya. Yan Hui minta cuti
    dengan alasan urusan keluarga. Confusius tahu isi hati Yan Hui dan memberi cuti padanya. Sebelum
    berangkat, Yan Hui pamitan dan Confusius
    memintanya cepat kembali setelah urusannya
    selesai, dan memberi Yan Hui dua nasehat : “Bila
    hujan lebat, janganlah berteduh di bawah pohon.
    Dan jangan membunuh.” Yan Hui bilang baiklah lalu berangkat pulang. Di dalam perjalanan tiba2 angin kencang disertai
    petir, kelihatannya sudah mau turun hujan lebat.
    Yan Hui ingin berlindung di bawah pohon tapi tiba2
    ingat nasehat Confusius dan dalam hati berpikir
    untuk menuruti kata gurunya sekali lagi. Dia
    meninggalkan pohon itu. Belum lama dia pergi, petir menyambar dan pohon itu hancur. Yan Hui terkejut,
    nasehat gurunya yang pertama sudah terbukti. Apakah saya akan membunuh orang? Yan Hui tiba
    dirumahnya sudah larut malam dan tidak ingin
    mengganggu tidur istrinya. Dia menggunakan
    pedangnya untuk membuka kamarnya. Sesampai
    didepan ranjang, dia meraba dan mendapati ada
    seorang di sisi kiri ranjang dan seorang lagi di sisi kanan. Dia sangat marah, dan mau menghunus
    pedangnya. Pada saat mau menghujamkan
    pedangnya, dia ingat lagi nasehat Confusius, jangan
    membunuh. Dia lalu menyalakan lilin dan ternyata
    yang tidur disamping istrinya adalah adik istrinya. Pada keesokan harinya, Yan Hui kembali ke
    Confusius, berlutut dan berkata: “Guru, bagaimana
    guru tahu apa yang akan terjadi?” Confusius berkata: “Kemarin hari sangatlah panas,
    diperkirakan akan turun hujan petir, makanya guru
    mengingatkanmu untuk tidak berlindung dibawah
    pohon. Kamu kemarin pergi dengan amarah dan
    membawa pedang, maka guru mengingatkanmu
    agar jangan membunuh”. Yan Hui berkata: “Guru, perkiraanmu hebat sekali,
    murid sangatlah kagum.” Confusius bilang: “Aku tahu kamu minta cuti
    bukanlah karena urusan keluarga. Kamu tidak ingin
    belajar lagi dariku. Cobalah kamu pikir. Kemarin
    guru bilang 3×8=23 adalah benar, kamu kalah dan
    kehilangan jabatanmu. Tapi jikalau guru bilang
    3×8=24 adalah benar, si pembeli kainlah yang kalah dan itu berarti akan hilang 1 nyawa. Menurutmu,
    jabatanmu lebih penting atau kehilangan 1 nyawa
    yang lebih penting?” Yan Hui sadar akan kesalahannya dan berkata :
    “Guru mementingkan yang lebih utama, murid malah
    berpikir guru sudah tua dan pikun. Murid benar2
    malu.” Sejak itu, kemanapun Confusius pergi Yan Hui
    selalu mengikutinya.
  • “Ki… Tolongin mama sebentar dong.”
    Aku merungut sambil beringsut setengah malas.
    Beginilah nasib jadi anak satu-satunya di rumah.
    Sejak bang Edo kuliah di Jakarta, akulah yang jadi
    tempat mama minta tolong. Biasanya bang Edolah
    yang mengantar mama ke supermarket, ke pengajian, atau sekadar membawakan tas mama
    yang pulang dari kantor. Rajin ya ? Memang begitulah abangku yang satu itu. Sedang
    aku ? Wuih, biasanya aku dengan bandelnya
    menghindar. Tapi sekarang aku sudah tidak bisa lari
    lagi. “Ki, anterin mama ke rumahnya bu Dedi ya ? Ada
    arisan.”
    Aku hanya bisa menghembuskan nafas panjang.
    Aduh, rasanya malas sekali harus menghabiskan
    berjam-jam bersama ibu-ibu. Belum lagi nanti
    ditodong pertanyaan, “Mana nih calonnya? Kan kuliahnya sudah tingkat akhir…”. Risih saja ditanya
    hal-hal semacam itu.
    “Mmm, ini Ma. Kiki mau belajar, nanti ujian.” “Yah,
    Ki. Kan cuma sebentar. Paling dua jam…” “Soalnya
    bahannya banyak banget, Ma. Nanti Kiki dapat nilai
    jelek lagi.” “Ya, sudah. Mama pergi sendiri…” Aku menunduk sambil pergi. Rasanya tidak enak
    melihat sinar kecewa di mata mama. Memang,
    sejak papa meninggal, mama makin sering minta
    ditemani ke mana-mana. Mungkin mama kesepian.
    Di hari kerja, mama disibukkan dengan urusan
    kantornya. Sedang di akhir pekan, mama selalu minta ditemani anak-anaknya. Kalau bang Edo sih
    anak manis. Dia mau saja menuruti keinginan
    mama. Kalau aku dilarang pergi di akhir pekan,
    rasanya seperti hukuman. Maklumlah aktivis.
    Kesempatan ada di rumah tidak terlalu banyak. Aku masuk ke dalam kamarku dan mulai membuka
    buku. Sebetulnya aku tidak bohong sih. Memang
    akan ada ujian. Tapi sebenarnya masih dua minggu
    lagi. Jadi aku tidak bohong kan? Aku berusaha
    berkonsentrasi memahami apa yang tertulis di buku
    tebal itu. Entah kenapa pikiranku malah melayang- layang. Dari jauh terdengar derum mobil mama
    menjauh dari rumah. Ada perasaan bersalah yang
    menyelip di hatiku. Akhir pekan berikutnya, bang Edo pulang ke
    Bandung. Aku sih biasa-biasa saja. Tapi, mama
    senang sekali. Semalam sebelumnya, mama
    memasakkan semua masakan kesukaan bang Edo.
    Ah, dasar anak kesayangan. Tapi aku tidak iri.
    Biarkan saja. Setidaknya akhir pekan ini aku bebas berkeliaran. Tugas jadi pendamping mama diambil
    alih bang Edo untuk minggu ini. “Ki, kenapa sih kamu nggak mau nganterin
    mama ?”, tanya bang Edo sambil mencomot sebuah
    pisang goreng dari atas meja. Aku hanya melirik
    sekilas dari komik yang sedang aku baca. “Ya,
    biarin aja. Mama kan udah gede. Pergi sendiri kan
    juga bisa.” “Masa kamu nggak kasian ? Mama tuh sedih banget
    lho sama kelakuan kamu.”
    “Kata siapa ?”
    “Mama sendiri yang bilang.”
    “Kan bisa dianter supir. Masa abang nggak ngerti
    sih ? Urusanku kan banyakjuga.” “Huu… Mana, cuma baca komik gitu !” Aku cuma bisa nyengir tersindir. Tak lama
    kemudian abang pergi bersama mama. Kelihatannya
    mereka akan pergi ke resepsi pernikahan. Habis,
    bajunya rapi sekali. Tawaran untuk ikut seperti biasa
    aku tolak. “Ki, mama minta tolong dong…”
    Aku menyumpalkan tangan ke telinga. Aduh,
    mama…. Belum sempat aku menjawab, mama
    sudah melongok ke dalam kamar. Aku hanya bisa
    meringis.
    “Ki, tolong ambilin berkas kerja mama di bu Joko dong.” “Lho, kok bisa ada di bu Joko, Ma ?” “Iya,
    tadi habis pulang dari kantor, mama mampir dulu ke
    sana. Kayaknya berkas-berkas itu ketinggalan deh
    di sana. Soalnya di mobil udah nggak ada. Bisa
    nggak kamu ambilin ?” Aku melongo. Rasanya ingin teriak. Kali ini aku
    benar-benar sibuk !
    Besok ada dua tugas yang harus dikumpulkan.
    Belum lagi sorenya ada
    ujian akhir. Mana sempat mampir-mampir ke rumah
    orang ? Mana sudah malam begini… “Aduh, Mama…. Kiki bener-bener sibuk… Besok
    ada ujian dan
    tugas-tugas yang harus dikumpulin. Jadi…” “Ya,
    udah kalo kamu nggak mau.”, balas mama dengan
    ketus.
    Aku hanya bisa menghembuskan nafas dan kembali mengerjakan tugasku.
    “…Kamu tuh memang nggak pernah kasihan sama
    Mama…”, bisik mama lirih dengan sedikit terisak. Suara mama sedikit sumbang. Sepertinya mama
    sedang terkena flu. Aku menatap langit-langit
    dengan lesu. Dengan lemas akhirnya aku
    memanggil mama. “Iya deh Ma… Biar Kiki yang
    pergi…” Gelap. Gelap sekali. Apalagi banyak lampu jalanan
    yang sudah mati.
    Jalanan jadi tidak jelas terlihat. Capek rasanya
    harus berusaha
    melihat. Itulah sebabnya aku tidak suka menyetir
    malam-malam. Rumah Bu Joko sebenarnya tidak jauh dari rumah
    kami. Tapi karena sudah malam, palang-palang
    jalan di kompleks itu sudah diturunkan dan tidak ada
    penjaganya. Jadinya, aku harus mengambil jalan
    memutar yang letaknya cukup jauh. Kalau tidak
    salah, satu-satunya palang yang tidak ditutup ketika malam adalah… Ah, dari sini belok kiri.
    Astaghfirulllah… Ternyata ditutup juga… Aku
    membaringkan kepalaku di atas kemudi. Rasanya
    penat sekali. Entah, harus masuk ke kompleks ini
    lewat jalan yang mana. Akhirnya kususuri
    perumahan itu jalan demi jalan. Semuanya terkunci. Setelah setengah jam berputar-putar, barulah aku
    menemukan jalan masuknya. Jalan itu begitu
    sempit. Jika ada dua mobil berpapasan dari arah
    yang berlawanan, pastilah salah satunya harus
    mengalah. Rasanya lega sekali ketika sampai di depan rumah
    bu Joko. Kutekan
    belnya sekali, tidak ada jawaban. Dua kali, tetap
    tidak ada jawaban.
    Tiga kali, empat kali, hasilnya tetap sama. Aku
    menunduk lesu. Jangan-jangan Mereka sudah tidur… Hampir saja
    aku berbalik pulang.
    Tapi kata-kata mama terngiang di kepalaku. “Tolong
    ya Ki… Soalnya
    berkas-berkas itu mau mama pakai untuk presentasi
    besok pagi.” Akhirnya dengan menelan setumpuk rasa malu,
    kutekan lagi bel rumah mereka sambil
    mengucapkan salam keras-keras. Dari belakang aku mendengar suara berdehem.
    Aduh, ada hansip. Aku
    menangguk basa-basi. Aduh, mama ! Bikin malu
    saja ! “Oh, kertas apa ya ?”, tanya bu Joko dengan
    mata setengah mengantuk. Dasternya melambai-
    lambai kusut. Aku jadi tidak enak sendiri menganggu malam-malam begini.
    Menit-menit selanjutnya, kami berdua mencari-cari
    berkas yang dikatakan mama. Tidak hanya di ruang
    tamu. Tapi juga di ruang tengah, ruang makan dan
    dapur. Soalnya tadi mama juga mampir di tempat-
    tempat itu. Ternyata tetap saja hasilnya nihil. Lalu aku menelepon ke rumah.
    “Ma, berkasnya nggak ada tuh. Mama simpan di
    map warna apa ?”
    “He..he…he…Udah ketemu, Ki. Ternyata sama bi
    Isah diturunin dari mobil terus ditaruh di meja
    makan.” “Tau gitu kenapa nggak telpon Kiki ! Kiki kan bawa
    handphone !”
    “Wah, maaf Ki… Mama nggak tahu kamu bawa
    handphone. Mama kira…”
    “Ah, udahlah ! Mama nyusahin Kiki aja !”
    Aku lantas membanting gagang telepon dengan sedikit kejam. Aku berbalik dan menemukan bu
    Joko menatapku dengan tatapan ngeri. Aku
    memaksakan sebuah enyum, minta maaf lalu pamit
    secepatnya. Setengah ngebut aku memacu mobilku. Hujan rintik-
    rintik membuat ruang pandangku semakin sempit.
    Nyaris jam dua belas malam. Hah, dua jam terbuang
    percuma. Kalau dipakai untuk mengerjakan tugas,
    mungkin sekarang sudah selesai… Dasar mama … Brakkk!!! Tiba-tiba terdengar suara yang sangat
    keras. Bunyinya seperti kaleng yang robek. Sesaat
    aku merasa semuanya semakin gelap. Aku tidak
    bisa lagi membedakan mana atas dan bawah.
    Sekujur tubuhku seperti dihimpit dari berbagai arah.
    Sejenak kesadaranku seperti lenyap. Penduduk-penduduk sekitar mulai berdatangan.
    Mereka membantuku keluar dari mobil yang
    sepertinya ringsek parah. Mataku dibasahi sesuatu.
    Ketika kusentuh, rasanya lengket. Ya Tuhan,
    darah… Tubuhku lebih gemetar karena takut
    daripada karena sakit. “Neng, nggak apa-apa neng ?”, tanya seseorang.
    Aku berusaha berdiri walau sempoyongan. Kucoba
    menggerakkan tangan, kaki, serta mencek apakah
    semuanya masih ada. Kupejamkan mata dan
    berusaha mencari sumber sakit. Sepertinya tubuhku
    baik-baik saja. Tidak ada yang patah. Aku menatap rongsokan mobilku dengan tidak
    percaya. Ternyata aku
    menabrak sebuah truk besar yang sedang diparkir di
    pinggir jalan.
    Sumpah, aku tidak melihatnya sama sekali tadi ! “Neng, nggak apa-apa ?”, ucap seseorang
    mengulangi pertanyaannya. Aku berusaha
    menjawab. Tapi yang terasa malah sakit dan darah.
    Orang di hadapanku lalu mengucap istighfar.
    Barulah aku sadar apa yang menyebabkannya.
    Darah segar berlomba mengucur dari mulutku. Lidahku… Aku langsung tak sadarkan diri. Ketika tersadar, aku sudah berada di rumah sakit.
    Rasa nyeri mengikuti dan menghajarku tanpa
    ampun. Air mata menetes dari mataku… Ya Tuhan,
    sakit sekali…. “Udah, Ki. Jangan banyak bergerak. Dokter bilang
    kamu butuh banyak
    istirahat.”
    Aku hanya bisa menatap mata mama yang sembab
    tanpa bisa menjawab sepatah kata pun. Hanya bisa
    mengeluarkan suara merintih yang menyedihkan. Mama ikut menangis mendengarnya. Aku hanya
    bisa mengira-ngira. Dan dokter pun
    membenarkannya. Kecelakaan itu tidak
    mencederaiku parah. Tidak ada tulang yang patah,
    tidak ada luka dalam. Hanya satu, lidahku nyaris
    putus karena tergigit olehku ketika tabrakan terjadi. Akibatnya aku lidahku harus dijahit. Sayangnya tidak ada bius yang bisa meredakan
    sakitnya. Setelah itupun dokter tidak yakin aku bisa
    berbicara selancar sebelumnya. Tangisku meluber
    lagi. Yang langsung teringat adalah setumpuk kata-
    kata dan perilaku kasar yang selama ini kulontarkan
    pada mama. Ini betul-betul hukuman dari Tuhan … Walau sepertinya hanya luka ringan, namun
    sakitnya teramat sangat. Setiap kali jarum
    disisipkan dan benangnya ditarik, sepertinya
    nyawaku dirobek dan dikoyak-koyak. Aku hanya
    bisa melolong tanpa bisa melawan. Apa boleh buat.
    Kata dokter kalau lukanya di tempat lain, sakitnya mungkin bisa diredam dengan bius. Tapi tidak bisa
    jika lukanya di lidah. Hari-hari selanjutnya betul-betul siksaan.
    Lupakanlah tentang kuliah,
    tugas atau ujian. Untuk minum saja aku tersiksa.
    Aku menjerit-jerit
    tiap ada benda yang harus melewati mulutku. Agar
    tubuhku tidak kekurangan cairan, tubuhku dipasangi infus. Aku
    hanya bisa menangis. Menangis karena sakit, dan
    penyesalan. Selama aku dirawat, mamalah yang
    dengan telaten menungguiku. Dengan sabar ia
    membantuku untuk apapun yang aku perlukan. Kami hanya bisa berkomunikasi lewat sehelai
    kertas. Berkali-kali aku tuliskan, “Mama, maafkan
    Kiki…” Mama juga sudah berkali-kali mengatakan
    telah memaafkan aku. Tapi tetap saja rasa
    bersalah itu tak kunjung hilang. Ini benar-benar
    peringatan keras dari Tuhan. Aku benar-benar malu. Walau aktif di
    kegiatan keagamaan,
    ternyata nilai-nilai itu belum benar-benar mengalir
    dalam darahku. Aku tersenguk-senguk setiap ingat
    bagaimana cara aku memperlakukan mama. Bagaimana mungkin aku merasa diberatkan dengan
    permintaannya padahal aku sudah menyusahkannya
    seumur hidup? Tuhan, ampuni aku… Aku benar-
    benar telah membelakangi nuraniku sendiri….
    Jangan biarkan aku mati sebagai anak durhaka….
    Kukira penderitaanku berakhir jika sudah diizinkan pulang ke rumah. Ternyata hukuman ini belum
    berakhir di situ. Bulan-bulan selanjutnya aku harus
    berlatih mengucapkan kata-kata yang selama ini
    mengalir mudah dari bibirku. Kembali lagi mama
    membimbingku belajar bicara seperti yang ia
    lakukan ketika aku kecil. Himpitan penyesalan itu baru hilang ketika kata-kata
    itu berhasil
    kuucapkan walau patah-patah. “Mama… Maafkan kiki..
  • Ini kisah tentang Yu Timah. Siapakah dia? Yu
    Timah adalah tetangga kami. Dia salah seorang
    penerima program Subsidi Langsung Tunai (SLT)
    yang kini sudah berakhir. Yu Timah adalah penerima
    SLT yang sebenarnya. Maka rumahnya berlantai
    tanah, berdinding anyaman bambu, tak punya sumur sendiri. Bahkan status tanah yang di tempati gubuk
    Yu Timah adalah bukan milik sendiri. Usia Yu Timah sekitar lima puluhan, berbadan kurus
    dan tidak menikah. Dia sebatang kara. Dulu setelah
    remaja Yu Timah bekerja sebagai pembantu rumah
    tangga di Jakarta. Namun, seiring usianya yang
    terus meningkat, tenaga Yu Timah tidak laku di
    pasaran pembantu rumah tangga. Dia kembali ke kampung kami. Para tetangga bergotong royong
    membuatkan gubuk buat Yu Timah bersama
    emaknya yang sudah sangat renta. Gubuk itu
    didirikan di atas tanah tetangga yang bersedia
    menampung anak dan emak yang sangat miskin itu. Meski hidupnya sangat miskin, Yu Timah ingin
    mandiri. Maka ia berjualan nasi bungkus. Pembeli
    tetapnya adalah para santri yang sedang mondok di
    pesantren kampung kami. Tentu hasilnya tak
    seberapa. Tapi Yu Timah bertahan. Dan nyatanya
    dia bisa hidup bertahun-tahun. Kemarin Yu Timah datang ke rumah saya. Saya
    sudah mengira pasti dia mau bicara soal tabungan.
    Inilah hebatnya. Semiskin itu Yu Timah masih bisa
    menabung di bank perkreditan rakyat syariah di
    mana saya ikut jadi pengurus. Tapi Yu Timah tidak
    pernah mau datang ke kantor. Katanya, malu sebab dia orang miskin dan buta huruf. Dia menabung
    Rp5.000 atau Rp10 ribu setiap bulan. Namun
    setelah menjadi penerima SLT Yu Timah bisa setor
    tabungan hingga Rp 250 ribu. Dan Saldo terakhir Yu
    Timah adalah Rp 650 ribu. Yu Timah biasa duduk menjauh bila berhadapan
    dengan saya. Malah maunya bersimpuh di lantai,
    namun selalu saya cegah. ”Pak, saya mau mengambil tabungan,” kata Yu
    Timah dengan suaranya yang kecil. ”O, tentu bisa. Tapi ini hari Sabtu dan sudah sore.
    Bank kita sudah tutup. Bagaimana bila Senin?” ”Senin juga tidak apa-apa. Saya tidak buru-buru.” ”Mau ambil berapa?” tanya saya. ”Enam ratus ribu, Pak.” ”Kok banyak sekali. Untuk apa, Yu?” Yu Timah tidak segera menjawab. Menunduk,
    sambil tersenyum malu-malu. ”Saya mau beli
    kambing kurban, Pak. Kalau enam ratus ribu saya
    tambahi dengan uang saya yang di tangan, cukup
    untuk beli satu kambing.” Saya tahu Yu Timah amat menunggu tanggapan
    saya. Bahkan dia mengulangi kata-katanya karena
    saya masih diam. Karena lama tidak memberikan
    tanggapan, mungkin Yu Timah mengira saya tidak
    akan memberikan uang tabungannya. Padahal saya
    lama terdiam karena sangat terkesan oleh keinginan Yu Timah membeli kambing kurban. ”Iya, Yu. Senin besok uang Yu Timah akan
    diberikan sebesar enam ratus ribu. Tapi Yu,
    sebenarnya kamu tidak wajib berkurban. Yu Timah
    bahkan wajib menerima kurban dari saudara-saudara
    kita yang lebih berada. Jadi, apakah niat Yu Timah
    benar-benar sudah bulat hendak membeli kambing kurban?” ”Iya Pak. Saya sudah bulat. Saya benar-benar ingin
    berkurban. Selama ini memang saya hanya jadi
    penerima. Namun sekarang saya ingin jadi pemberi
    daging kurban.” ”Baik, Yu. Besok uang kamu akan saya ambilkan di
    bank kita.” Wajah Yu Timah benderang. Senyumnya ceria.
    Matanya berbinar. Lalu minta diri, dan dengan
    langkah-langkah panjang Yu Timah pulang. Setelah
    Yu Timah pergi, saya termangu sendiri. Kapankah
    Yu Timah mendengar, mengerti, menghayati, lalu
    menginternalisasi ajaran kurban yang ditinggalkan oleh Kanjeng Nabi Ibrahim? Mengapa orang yang
    sangat awam itu bisa punya keikhlasan demikian
    tinggi sehingga rela mengurbankan hampir seluruh
    hartanya? Pertanyaan ini muncul karena umumnya
    ibadah haji yang biayanya mahal itu tidak mengubah
    watak orangnya. Mungkin saya juga begitu. Ah, Yu Timah, saya jadi malu. Kamu yang belum
    naik haji, atau tidak akan pernah naik haji, namun
    kamu sudah jadi orang yang suka berkurban. Kamu
    sangat miskin, tapi uangmu tidak kau belikan
    makanan, televisi, atau pakaian yang bagus.
    Uangmu malah kamu belikan kambing kurban. Ya, Yu Timah. Meski saya dilarang dokter makan
    daging kambing, tapi kali ini akan saya langgar.
    Saya ingin menikmati daging kambingmu yang
    sepertinya sudah berbau surga. Mudah-mudahan
    kamu mabrur sebelum kamu naik haji.
  • Kabar buruk itu sampai juga di telinga Doni. Dia
    divonis kanker paru-paru oleh dokter. Kisah
    kehidupannya yang sebelumnya sering dia bangga-
    banggakan kini serasa hancur tiada arti lagi. Doni
    tahu kanker paru-paru merupakan penyebab
    kematian paling utama dibandingkan kanker-kanker lainnnya. Namun tak ingin lama-lama tenggelam
    dalam kesedihan, dicobanya segala cara untuk
    menyembuhkan penyakit yang tengah menggerogoti
    tubuhnya itu, bahkan dia tak segan-segan
    mengeluarkan uang banyak untuk mendapatkan
    perawatan terbaik di salah satu rumah sakit ternama di luar negeri. Berbagai pengobatan dan sesi
    kemoterapi telah dilaluinya. Namun keberuntungan
    tak berpihak padanya. Keadaannya tak kunjung
    membaik, bahkan hanya semakin memburuk.
    Kanker stadium IV kini bercokol di paru-parunya.
    Keluarganya mencoba untuk memberikan motivasi dan semangat agar dia tak menyerah. Satu ketika dia menemukan alamat seseorang yang
    konon katanya mampu menyembuhkan kanker
    ganas sekalipun. Doni mendatangi kediaman orang
    tersebut, diceritakannya tentang riwayat
    penyakitnya kepada Pak Syukur, nama orang itu,
    yang berjanji akan berusaha untuk menyembuhkan Doni. Waktu berlalu, meskipun kondisi Doni mulai agak
    membaik tapi kanker itu masih bersarang di
    tubuhnya. Doni menyadari waktunya yang semakin
    menipis. “Tak adakah pengobatan lain yang bisa
    membantuku, Pak?” tanya Doni saat rasa ketakutan
    akan kematian mulai menguasai benaknya. “Aku
    sering mendengar tentang keberhasilan anda dalam
    menyembuhkan pasien-pasien lainnya… Lalu apa
    yang terjadi denganku?” Pak Syukur menghembuskan napas, dan mencoba
    untuk menyabarkan Doni, “Nak Doni, aku hanyalah
    seorang manusia biasa yang hanya bisa berupaya
    untuk memberikan pengobatan terbaik untuk pasien-
    pasienku.”, “Aku mungkin telah membantu
    meringankan sakit itu, namun keajaibanlah yang telah menyembuhkan mereka.” tambahnya pelan. “Keajaiban?” sesaat Doni tertegun. “Seandainya di
    dunia ini ada dijual keajaiban, aku rela membayar
    berapa pun meski harus menghabiskan seluruh
    hartaku.” sahut Doni lemah meratapi
    ketidakberuntungannya. Pak Syukur berpikir sejenak lalu beliau mulai
    menuliskan sesuatu dan menyerahkannya kepada
    Doni. “Datangilah tempat ini, Nak Doni.”, “Tempat
    dimana mungkin kamu bisa membeli keajaiban itu.” “Be.. benarkah?” tanya Doni ragu, ia takkan mudah
    percaya hal mustahil seperti itu. “Cobalah kau datangi, tak ada salahnya kan?” “Seandainyapun tempat ini memang benar menjual
    keajaiban, lalu dengan apa aku bisa membelinya,
    Pak?” Kembali Pak Syukur menyerahkan selembar
    catatan yang lain. “Bacalah setibanya engkau di
    tempat itu.” Pada awalnya Doni tidak memperdulikannya, namun
    berselang beberapa hari akhirnya dia mendatangi
    juga tempat yang dimaksud oleh Pak Syukur.
    Akan tetapi betapa terkejutnya Doni setelah
    mendapatkan tempat yang menjadi tujuannya
    ternyata adalah sebuah masjid kecil yang indah. Doni mengambil lembaran kertas yang satu lagi dan
    membaca pesan yang tertulis di dalamnya. ‘Sesungguhnya kamu bisa mendapatkan keajaiban
    itu dimana saja dan kapan saja. Tetapi alangkah
    baiknya jika engkau mencarinya langsung di
    rumahNya… Dan untuk bayarannya? Sekarang
    berbaliklah dan cobalah memposisikan dirimu
    sebagai seseorang yang hendak menikmati sebuah karya seni yang tak sedikitpun bagian akan
    terlewatkan oleh pandanganmu… Bukalah matamu,
    nak…’ Doni membalikkan tubuhnya, dilihatnya sebuah
    panti untuk penderita cacat berdiri tepat di seberang
    jalan. Beberapa pengemis dan anak jalanan di
    sepanjang jalan tak luput pula dari perhatiannya,
    mereka mencoba menghampiri beberapa orang yang
    berseliweran demi meminta sedikit rejeki untuk sesuap nasi. Kembali Doni melanjutkan membaca
    catatan Pak Syukur. ‘… Berdoa, memohonlah dengan tulus kepada Sang
    Pemberi Keajaiban dan lakukanlah kebaikan dalam
    hidupmu, anakku. Begitulah harga yang mungkin
    bisa kau berikan untuk mendapatkan keajaiban yang
    kau cari. Dan niscaya bila Dia berkehendak,
    keajaiban itupun akan datang…’ Masih terus dibacanya pesan yang tertulis di kertas
    itu. Dan tanpa Doni sadari, setetes dua tetes air
    mata kini membasahi pipinya. Dia mencoba
    mengingat-ingat kapan terakhir kali dia bersujud
    menghadapNya? Akh… Tak bisa diingatnya lagi…
    Dan diapun menyadari betapa alpanya dia selama ini. Doni mulai mengisi hari-hari tak lagi hanya untuk
    mengobati penyakit yang menderanya, kini diapun
    taat melaksanakan ibadah dan banyak membantu
    orang-orang yang membutuhkan. Dia tak lagi hanya
    peduli akan dirinya sendiri, melainkan mulai melihat
    orang-orang lain di sekitarnya. Beberapa hal yang terabaikan olehnya selama bertahun-tahun. Hari berganti minggu… Minggu berganti bulan… Di suatu hari yang cerah, lima bulan semenjak Doni
    menginjakkan kakinya pertama kali di masjid kecil
    itu… Kini ia terbaring lemah di sebuah pembaringan
    rumah sakit, sudah tiga hari ini kondisi
    kesehatannya benar-benar menurun. Bayangan
    peristiwa-peristiwa beberapa bulan terakhir berkelebat di benaknya. Doni memandang Pak Syukur yang duduk di sisi
    tempat tidur, Doni memang sengaja memintanya
    datang. Ia tersenyum, “Bapak masih ingat kejadian beberapa bulan lalu
    saat aku bertanya-tanya apakah aku bisa
    menemukan sebuah keajaiban yang dapat
    menghilangkan penyakitku?” Pak Syukur
    mengangguk pelan, “Menemukan mesjid yang indah
    dan tenteram itu, telah membuka mataku betapa lalainya aku selama ini. Sejak hari itu aku
    mendekatkan diri padaNya, aku banyak berdoa,
    memohon ampunan dan rahmatNya. Tak lupa aku
    menyumbangkan sebagian penghasilanku untuk
    menolong mereka yang membutuhkan bantuan.”
    sesaat Doni terdiam, ia mencoba meredam rasa sakit yang berkecamuk di dadanya. “Untuk semua
    yang telah aku lakukan, telah aku berikan beberapa
    bulan ini, Allah ternyata masih tak berkenan
    memberikan keajaiban itu untukku.” ujarnya dengan
    nada getir. Doni kembali memandang lelaki tua bersahaja yang
    masih setia menemaninya, “Tapi aku tak bersedih,
    pak…” lanjutnya, “Aku tak marah atas apa yang
    menimpaku, dan aku tak menyesal telah berbuat
    kebaikan pada mereka meskipun awalnya aku
    mengharapkan sebuah kesembuhan dari Allah sebagai balasannya. Kini aku merasa lebih tenang,
    lebih bahagia, dan lebih dekat padaNya.” Meskipun terlihat pucat namun di wajahnya
    terpancar senyum kebahagiaan itu, “Pesan terakhir
    bapak di catatan yang aku baca lima bulan lalu, lagi-
    lagi membuka mataku untuk yang kedua kalinya…” Sore itu, dengan didampingi istri dan anaknya, Doni
    mengehembuskan nafas terakhir dengan tenang. ‘Dan pesanku yang terakhir, nak. Tak semua orang
    cukup beruntung bisa mendapatkan keajaiban
    dariNya. Dan bila engkau termasuk di antara yang
    tak beruntung itu, janganlah bersedih, janganlah
    kecewa. Karena engkau sendiri pun akan
    memberikan keajaiban-keajaiban untuk kaum-kaum tak mampu yang membutuhkan begitu banyak
    keajaiban demi mempertahankan kelangsungan
    hidup mereka. Dan itu, tak kalah berharganya…’ Sebaiknya kita memberi sama halnya seperti kita
    akan menerima, dengan riang, cepat, dan tanpa
    keraguan;
    Karena sesungguhnya tidak ada karunia dari
    manfaat yang menempel pada jari-jari kita.
  • Fred Douglas benar-benar memulai hidupnya tanpa
    apa-apa. Bahkan ia tidak memiliki dirinya sendiri
    ketika masih dalam kandungan ibunya. Sebagai
    anak budak belian, ia sudah dijadikan jaminan untuk
    melunasi hutang majikan orang tuanya.
    Ia jarang bertemu ibunya kecuali pada malam hari dimana ibunya harus berjalan sejauh dua belas
    kilometer hanya untuk bertemu anaknya selama
    satu jam. Ia tidak mempunyai kesempatan belajar,
    karena pada jaman itu, para budak belian tidak
    diperbolehkan belajar menulis dan membaca.
    Namun, tanpa diketahui siapa pun, ia belajar membaca dan menulis. Dalam waktu singkat, ia
    sudah membuat malu teman-temannya yang berkulit
    putih dalam hal pelajaran.
    Pada usia 21 tahun, ia melarikan diri dari
    perbudakan dan bekerja sebagai seorang pesuruh di
    New York dan New Bedford. Di Mantucket, ia berpidato, mendesak dihapuskannya perbudakan.
    Kesan yang ditimbulkannya sedemikian baik
    sehingga ia diangkat menjadi agen Lembaga Anti
    Perbudakan di Massachussetts.
    Sementara ia berpindah-pindah dari satu tempat ke
    tempat lainnya untuk memberikan ceramah, ia tetap belajar. Ia kemudian dikirim ke Eropa untuk
    berpidato dan menjalin persahabatan dengan
    beberapa orang Inggris yang kemudian memberinya
    750 dolar untuk menebus kebebasannya sebagai
    seorang budak.
    Ia menerbitkan surat kabar di Rochester dan kelak memimpin New Era di Washington. Bertahun-tahun
    lamanya ia menjadi kepala District of Columbia dan
    bisa menandingi setiap orang kulit putih mana pun.
  • Seorang wirausahawan Amerika sedang berada di
    dermaga sebuah desa kecil di pesisir meksiko
    ketika sebuah perahu kecil dengan seorang nelayan
    merapat. Dalam perahu kecil itu ada beberapa ikan
    tuna yellowfin berukuran besar. Orang amerika itu
    memuji si nelayan meksiko mengenai kualitas ikan- ikannya, dan bertanya berapa lama waktu yang
    dibutuhkan untuk menangkapnya. Nelayan neksiko
    itu menjawab, “hanya sebentar”.
    Orang amerika itu lalu bertanya kenapa dia tidak
    melaut dan menangkap lebih banyak ikan.
    Nelayan meksiko itu mengatakan bahwa ia sudah mendapatkan cukup banyak ikan untuk memenuhi
    kebutuhan keluarganya yang mendesak. Orang
    amerika itu bertanya “tetapi apa yang anda dapatkan
    dengan sisa hari anda?”
    Nelayan meksiko itu menjawab, “saya tidur larut
    malam, menangkap ikan sebentar, bermain dengan anak-anak saya, tidur siang dengan istri saya,
    Maria, berjalan-jalan ke desa setiap sore, di mana
    saya menyesap anggur dan bermain gitar bersama
    teman-teman saya, saya punya kehidupan yang
    sibuk dan penuh, senor (tuan).”
    Orang amerika itu berujar dengan bangga, “saya punya gelar M.B.A. dari Harvrad university dan
    mungkin bisa membantu anda. Anda seharusnya
    menghabiskan lebih banyak waktu menangkap ikan
    dan dengan hasilnya, membeli perahu yang lebih
    besar, dan dengan hasil dari perahu yang lebih
    besar itu, anda bisa membeli beberapa buah perahu. Akhirnya anda mungkin akan mempunyai armada
    perahu penangkap ikan. Ketimbang menjual hasil
    tangkapan anda kepada seorang tengkulak, anda
    langsung menjual saja kepada pengolah, dan
    akhirnya anda akan memiliki pabrik pengalengan
    anda sendiri. Anda akan mengontrol produknya, pemrosessannya, dan distribusinya. Anda akan
    perlu meningkatkan desa nelayan pesisir yang kecil
    ini, dan pindah ke mexico city, lalu ke los angeles,
    dan akhirnya ke new yok, di mana anda akan
    mengelola perusahaan anda yang sedang
    berkembang”. Nelayan meksiko itu bertanya, “tetapi senor, berapa
    lama dibutuhkan untuk semuanya itu?”
    Orang amerika itu menjawab, “mungkin lima belas
    sampai dua puluh tahun”.
    “tetapi setelah itu apa, senor?”.
    Orang amerika itu tertawa dan berujar, “itulah bagian baiknya. Kalau waktunya tepat, anda akan
    mengumumkan IPO dan menjual saham perusahaan
    anda kepada public, dan menjadi kaya raya. Anda
    akan menghasilkan jutaan dollar!”
    “jutaan, senor? Setelah itu apa?”
    Orang amerika itu berujar, “lalu anda akan pensiun. Pindahlah ke suatu desa nelayan kecil di mana
    anda akan tidur samapai larut malam, menangkap
    ikan sebentar, bermain dengan anak-anak anda,
    tidur siang bersama istri anda, berjalan-jalan ke
    desa setiap sore, di mana anda bisa menyesap
    anggur dan bermain gitar dengan teman-teman anda.”
  • Seekor kera dan seekor kura-kura hidup di sebuah
    hutan dekat sungai. Namun, kera yang satu ini
    mempunyai sifat yang tidak terpuji. Ia licik, suka
    memperalat temannya untuk kepentingan dirinya. Kera bersahabat dengan kura-kura karena ada yang
    diharapkan dari kura-kura. Bila bepergian ke suatu
    tempat, kera selalu naik di atas punggung kura-kura
    dengan berbagai alasan: capek, kakinya sakit dan
    alasan yang lain. Kura-kura tak pernah sakit hati.
    Kura-kura menurut saja. Kemampuan kera mengambil hati membuat kura-kura luluh dan selalu
    dekat dengan kura-kura. “Tanpa bantuan makhluk
    lain, tak mungkin kita bisa hidup,” bisik hatinya. Jika di tengah perjalanan ditemukan pohon yang
    sedang berbuah, kera dengan gesit memanjat pohon
    itu, sementara kura-kura disuruhnya menunggu di
    bawah. Setelah perutnya kenyang, barulah kera
    ingat temannya yang sedang menunggu di bawah.
    Hanya buah-buah yang jelek dan kulit-kulitnya yang dilempar ke bawah sambil mengatakan, “Wah kura-
    kura, buahnya jelek-jelek dan sudah banyak yang
    dimakan kelelawar sehingga tinggal kulitnya saja.
    Terima saja ini untukmu.” Hidup mengembara dari hari ke hari telah membuat
    mereka bosan. Pada suatu hari, datanglah musim
    kemarau panjang. Hujan tidak kunjung datang.
    Pohon-pohon di hutan banyak yang layu dan tidak
    berbuah. Kera dan kura-kura sedang berteduh di
    bawah pohon di pinggir sungai sambil berpikir tentang apa yang harus dilakukan menghadapi
    situasi seperti itu. Kera membuka percakapan. “Kura-kura, apa yang
    harus kita lakukan menghadapi musim kemarau
    ini?” tanyanya kepada si kura-kura. Kura-kura tidak
    menjawab karena memang kura-kura tidak mampu
    berpikir yang berat-berat. Akhirnya, kera
    melanjutkan pembicaraannya, “Sebaiknya kita menanam pisang, sebentar lagi musim hujan akan
    datang.” “Saya setuju,” jawab kura-kura. “Dari mana bibitnya?” tanyanya kepada kera. “Begini
    saja, kita menunggu di tepi sungai ini. Pada musim
    hujan, banyak manusia membuang anak pisang ke
    sungai. Nanti kalau ada yang hanyut kita ambil.”
    Mereka berdua setuju. Mula-mula mereka bekerja
    keras membuka hutan untuk ditanami pohon pisang. Setelah tanahnya siap, datanglah musim hujan.
    Sepanjang hari mereka di tepi sungai menunggu
    pohon pisang yang hanyut. Tidak seberapa lama
    dari jauh tampak pohon pisang hanyut. Kera
    berteriak, “Kura-kura cepat berenang kamu! Ambil
    batang pisang itu! Saya takut air dan tak bisa berenang.” “Kalau berenang saya jagonya.” kata kura-kura
    menyombongkan diri. “Kamulah yang beruntung bisa berenang, sedang
    aku tidak pandai berenang. Kalau aku pandai
    berenang, tidaklah engkau perlu bersusah-susah
    mengambil batang pisang itu. Aku tentu akan
    membantumu,” ujar kera dengan licik. Mendengar ucapan kera itu, hati kura-kura menjadi
    terharu. Oleh karena itu, ia segera berenang menarik
    batang pisang itu ke tepi sungai. Batang pisang itu
    dikumpulkan satu per satu. Setelah cukup banyak
    barulah ditanam. Mereka membagi dua setiap
    batang pisang sama Panjang agar adil. Bagian atas diambil si kera dan bagian bawah diberikan kepada
    kura-kura. Kera rupanya tahu bahwa buah pisang
    selalu ada di bagian atas. Oleh karena itu, ia
    mengambil bagian atas. Beberapa waktu mereka bekerja menanam pohon
    pisang. Kura-kura rajin sekali memelihara
    tanamannya, sedangkan tanaman si kera tentu saja
    mernbusuk dan mati sernua. Setelah kebun pisang milik kura-kura berbuah dan
    buahnya mulai masak, datanglah kera bertandang.
    “Hai kura-kura, tidakkah kau lihat pisangmu telah
    masak di pohon,” tanya kera bersemangat. “Ya, saya lihat, hanya saya tak mampu memanjat
    untuk memetiknya,” jawab kura-kura. “Apakah artinya kita bersahabat, kalau saya tidak
    dapat membantumu,” kata kera. Dalam hati kera, muncul akal liciknya, lebih-lebih
    Perulnya sudah mulai terasa lapar. Kera
    menawarkan diri untuk membantu kura-kura
    memanen pisangnya. Kurakura setuju. Dengan
    gesit, kera memanjat pohon pisang yang telah
    ranum buahnya. Di atas pohon ia makan sepuas- puasnya, sedangkan kura-kura (si pemilik kebun)
    dilupakannya. Ia menunggu dengan hati yang
    mendongkol. Kadang-kadang, kera melemparkan
    kulit kepada kura-kura. Hal itu dilakukannya setiap
    hari, sampai kebun itu habis buahnya. Sejak itu, kura-kura merasa sakit hati. Namun, apa
    yang bisa dilakukannya? Sebagai makhluk Tuhan
    yang lemah, ia hanya bisa berdoa semoga yang
    curang dan khianat mendapat murka Tuhan. Mereka
    berpisah untuk waktu yang agak lama. Kura-kura
    selalu menghindar jika mendengar suara kera. Pada suatu hari yang panas, udara menjadi kering.
    Buah-buahan di hutan semakin berkurang. Para
    satwa di hutan banyak yang kelaparan dan
    kehausan. Apalagi kera yang rakus itu. Ia berjalan
    gontai mencari teman senasib sepenanggungan.
    Lalu ia beristirahat di bawah pohon yang rindang, di atas sebuah batu. Karena lapar dan haus, kera tidak
    sadar bahwa yang diduduki itu adalah punggung si
    kura-kura yang sedang beristirahat pula. Karena
    udara panas, kura-kura menyembunyikan kepalanya
    di bawah punggungnya yang keras itu. Si kera
    kemudian berteriak memanggil sahabalnya, “Kura- kuraaaaa……., di mana kamu, Kemarilah! Kita
    sudah lama tidak bertemu” Terdengarlah suara dari bawah pantat si kera,
    “Uuuuuuwuk…..”. Kera berteriak lagi, “Ooooo…. kura-kuraaa…,
    kemarilaaah! Aku ingin bertemu denganmu.”
    Terdengar lagi suara dari pantatnya,
    “Uuuuuuuwuk….”. Kera marah sekali. Ia mengira, suara itu adalah
    suara alat kelaminnya yang mengejeknya.
    Sebenarnya, suara itu adalah suara kura-kura yang
    didudukinya. Dengan geram, ia mengancam alat
    kelaminnya sendiri. “Jika kamu mengejekku lagi
    akan aku hancurkan!” ancamnya. Kemudian, ia berteriak lagi, “Kura-kuraaaaaaaaaaa…”. Mendengar
    suara itu marahlah si kera. la mengambil batu, lalu
    alat kelaminnya dipukul berkali-kali. Kera
    menjeritjerit kesakitan, sambil terus memukulkan
    batu itu ke arah alat kelaminnya. Kura-kura
    menjulurkan kepalanya. Ia ingin menolong, tetapi sudah terlambat. Kera sahabatnya yang licik itu
    telah mati.
  • Tahun 1997 adalah tahun yang luar biasa berat
    untuk saya. Sebuah tragedi besar terjadi dalam
    hidup saya oleh sebuah pengkhianatan dan fitnah
    yang dilakukan teman dekat saya. Tahun itu, saya
    baru saja terkena PHK akibat krisis moneter yang
    memorak porandakan perusahaan tempat saya bekerja sebelumnya. Saya terdampar di sebuah
    pabrik bakery yang manajemennya masih
    tradisional. Saya tak hendak berkisah tentang siapa dia dan apa
    yang dilakukannya. Permasalahannya telah
    membaur dan berkelindan dengan masalah-masalah
    lain yang membuat keadaan bertambah keruh. Akibat kejadian itu berikut kondisi-kondisi psikologis
    yang kurang baik, saya sempat mengidap penyakit
    semacam insomnia selama setahun lebih. Saya
    sangat sulit tidur. Dalam sehari, tak jarang saya
    hanya mampu lelap selama lima belas menit.
    Kadang-kadang, saya berangkat tidur jam delapan malam, namun belum juga bisa tidur hingga adzan
    shubuh. Ada kalanya tidur selama setengah jam di
    awal malam dan selebihnya, sampai pagi, jangan
    harap bisa pejam ini mata. Saat itu, yang saya
    butuhkan adalah teman ngobrol. Saya ingin ada
    orang yang bisa saya ajak berbagi. Suatu sore, saya melihat ada karyawan baru,
    namanya Yatiman. Pertama kali saya melihatnya,
    langsung tumbuh perasaan benci. Kenapa? Dia
    sangat mirip dengan teman saya yang baru saja
    mengkhianati dan memfitnah saya. Tidak hanya
    wajahnya yang mirip, tetapi juga tutur katanya, suaranya, bahkan cara berjalannya. Potongan
    rambutnya pula, rambut lurus gaya mandarin. Jujur, setiap melihatnya, saya lantas teringat
    dengan teman saya tersebut, dan karenanya, saya
    menjadi sangat benci. Apa lacur, kendati saya
    berusaha menjaga jarak, dia justru ‘ditakdirkan’ lebih sering berada di dekat saya. Ia berada dalam satu group dengan saya. Bahkan, di mess, ia berada tepat di samping saya. Ini berarti, ia lebih sering tidur di samping saya. Seiring dengan waktu, saya mulai berusaha menata
    hati dan memperbaiki sikap padanya. Apalagi, saya
    tak melihat sedikit pun hal buruk padanya. Ia jujur,
    jenaka, dan ramah. Hampir setiap malam, sebelum
    tidur, seraya bertelekan pada lengannya, ia bertanya
    dan bercerita macam-macam kepada saya. Potongan-potongan hidup dan episode masa lalunya
    menjadi puzzle yang semakin kita bisa
    menghubungkan, maka semakin menariklah itu.
    Pun, saya jadi mengenal Yatiman dari cerita-
    ceritanya yang beranjak usang. Lama-lama, sikap saya mencair. Tanpa sadar, kami
    menjadi teman ngobrol yang bahkan tak jarang
    mengusik tidur teman lain dan membuat mereka
    menghardik, “Ssst… Sudah malam! Jangan berisik!” Yang saya suka dari Yatiman adalah sikapnya yang empatik.
    Yatiman adalah seorang teman yang
    istimewa untuk saya. Kendati lelah setelah bekerja
    seharian, ia tak bosan mendengar cerita saya
    dengan gaya empatiknya yang luar biasa. Ia mau
    bersabar mendengar cerita-cerita saya, keluhan- keluhan saya yang saya ulang-ulang hampir setiap
    malam. Volume suara saya yang semula tinggi
    berangsur-angsur turun –karena khawatir
    mengganggu yang lain– hingga akhirnya berubah
    menjadi bisik-bisik. Kadang-kadang dalam keadaan setengah lelap setengah terjaga, ia masih menyempatkan diri menanggapi dengan “oo… jadi
    begitu?”, “Terus?”, “Wah… hebat!”, “Mm… jadi gitu,
    ya?” Terus terang, saya merasa nyaman. Humor-
    humornya kadang garing dan agak-agak gagap,
    tetapi saya tertawa dan terhibur. Tahun 1999, ia
    pindah kerja ke Lampung. Proses pepindahannya
    terbilang mendadak. Saya menangis. Saya tak bisa
    membayangkan bagaimana sepinya jika dia tak ada. Alangkah panjang malam-malam saya karena tak ada teman cerita. Toh, seperti ia katakan, hanya jasad kami berpisah, sedangkan hati tetap dekat. Saat berpisah, kami berpelukan lamaaa… tanpa mampu saling berucap. Suara kami cekat di
    tenggorokan. Saat itu, saya mati-matian menahan
    linangan air mata. Barulah setelah mobil yang
    membawanya berlalu, saya menghambur ke kamar
    mandi dan menuntaskan isak di sana. Lamaaa…. Hampir dua jam saya menangis tanpa suara di
    kamar mandi. Teman-teman yang lain maklum dan
    tidak berusaha menghentikan tangis saya. Tak juga
    mereka mengetuk pintu kamar mandi. Mereka tahu
    saya sedang bersedih dengan kesedihan yang luar
    biasa. Sesudah hari itu, cukup lama saya melupakan kesedihan. Setiap melihat bekas lemari pakaian Yat, hati saya terserobot rasa haru dan rindu. Setiap makan siang, saya selalu terkenang makan bersamanya seraya ngobrol banyak hal. Kendati masih ada teman-teman yang lain, namun rasanya semua jadi tak lengkap. Darinya, sungguh, saya belajar banyak cara memberi perhatian pada orang lain. Saya selalu berharap bisa menjadi ‘dirinya untuk saya’ pada setiap orang yang saya kenal. Saya ingin… selalu menjadi teman yang istimewa untuk semua orang di mana hal itu bisa dilakukan dengan hal-hal sederhana, sesederhana yang dilakukan Yatiman pada saya.
  • aku terkesan dengan cerita Yu Timah ...
  • Alkisah, seorang pedagang kayu menerima
    lamaran seorang pekerja untuk menebang
    pohon di hutannya. Karena gaji yang dijanjikan
    dan kondisi kerja yang bakal diterima sangat
    baik, sehingga si calon penebang pohon itu pun
    bertekad untuk bekerja sebaik mungkin. Saat mulai bekerja, si majikan memberikan
    sebuah kapak dan menunjukkan area kerja yang
    harus diselesaikan dengan target waktu yang
    telah ditentukan kepada si penebang pohon. Hari pertama bekerja, dia berhasil merobohkan 8
    batang pohon. Sore hari, mendengar hasil kerja
    si penebang, sang majikan terkesan dan
    memberikan pujian dengan tulus, “Hasil kerjamu
    sungguh luar biasa! Saya sangat kagum dengan
    kemampuanmu menebang pohon-pohon itu. Belum pernah ada yang sepertimu sebelum ini.
    Teruskan bekerja seperti itu”. Sangat termotivasi oleh pujian majikannya,
    keesokan hari si penebang bekerja lebih keras
    lagi, tetapi dia hanya berhasil merobohkan 7
    batang pohon. Hari ketiga, dia bekerja lebih
    keras lagi, tetapi hasilnya tetap tidak
    memuaskan bahkan mengecewakan. Semakin bertambahnya hari, semakin sedikit pohon yang
    berhasil dirobohkan. “Sepertinya aku telah
    kehilangan kemampuan dan kekuatanku,
    bagaimana aku dapat
    mempertanggungjawabkan hasil kerjaku kepada
    majikan?” pikir penebang pohon merasa malu dan putus asa. Dengan kepala tertunduk dia
    menghadap ke sang majikan, meminta maaf
    atas hasil kerja yang kurang memadai dan
    mengeluh tidak mengerti apa yang telah terjadi. Sang majikan menyimak dan bertanya
    kepadanya, “Kapan terakhir kamu mengasah kapak?” “Mengasah kapak? Saya tidak punya waktu
    untuk itu, saya sangat sibuk setiap hari
    menebang pohon dari pagi hingga sore dengan
    sekuat tenaga”. Kata si penebang. “Nah, disinilah masalahnya. Ingat, hari pertama
    kamu kerja? Dengan kapak baru dan terasah,
    maka kamu bisa menebang pohon dengan hasil
    luar biasa. Hari-hari berikutnya, dengan tenaga
    yang sama, menggunakan kapak yang sama
    tetapi tidak diasah, kamu tahu sendiri, hasilnya semakin menurun. Maka, sesibuk apapun, kamu harus meluangkan waktu untuk
    mengasah kapakmu, agar setiap hari bekerja
    dengan tenaga yang sama dan hasil yang
    maksimal. Sekarang mulailah mengasah kapakmu dan
    segera kembali bekerja!” perintah sang majikan.
    Sambil mengangguk-anggukan kepala dan
    mengucap terimakasih, si penebang berlalu dari
    hadapan majikannya untuk mulai mengasah
    kapak. Sama seperti si penebang pohon, kita pun
    setiap hari, dari pagi hingga malam hari,
    seolah terjebak dalam rutinitas terpola.
    Sibuk, sibuk dan sibuk, sehingga seringkali
    melupakan sisi lain yang sama pentingnya,
    yaitu istirahat sejenak mengasah dan mengisi hal-hal baru untuk menambah
    pengetahuan, wawasan dan spiritual. Jika
    kita mampu mengatur ritme kegiatan seperti
    ini, pasti kehidupan kita akan menjadi
    dinamis, berwawasan dan selalu baru !
Sign In or Register to comment.