It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
bernama Rudi Suparto ini terbang ke Amerika
Serikat demi mencari uang lebih. Namun
ternyata, mantan sales manager ini tak bisa
mendapat pekerjaan yang lebih baik selain
tukang cuci piring di sebuah restoran. Awal kehidupannya di Amerika Serikat terbilang
tidak mudah bagi pria kelahiran Surabaya, Jawa
Timur ini. Betapa tidak, ia sebenarnya tidak bisa
berbahasa Inggris. Alhasil, hanya tukang cuci
piringlah yang bisa dijadikan nafkah
penghidupannya di tahun-tahun pertama di negeri Paman Sam ini. “Sedih sekali
sebenarnya waktu itu. Saya tidak biasanya
memegang sampah dan kotoran makanan,”
kisah Rudi. Luar biasanya, kondisi menyedihkan ini tidak
membuat Rudi pantang menyerah. Justru ia
menjadikan keadaannya itu sebagai bahan
pelajaran sehingga pada akhirnya ia mengetahui
cara memasak dan seluk beluk restoran. Ketekunan dan kegigihannya selama beberapa
tahun tersebut akhirnya menghasilkan sebuah
restoran cepat saji miliknya sendiri, yang diberi
nama Wok Express. Restoran ini terletak di
jalan utama kompleks kasino, Las Vegas,
Amerika Serikat. Ibarat kacang yang tak lupa akan kulitnya, Rudi
pun ikut membantu sesama imigran asal
Indonesia. Seluruh karyawannya adalah orang
Indonesia, dan hanya juru masaknya saja yang
warga China. Meski sudah memiliki kehidupan mapan di
Amerika, Rudi tetap berencana untuk
menghabiskan masa tuanya di Indonesia.
Karena itu, ia selalu berusaha berbahasa
Indonesia dengan anak-anaknya supaya bahasa
ibu mereka tidak hilang. Pencapaian Rudi Suparto ini membuktikan
bahwa setiap peluh kerja keras di bidang apa
pun bila ditekuni dengan niat baik dapat
berbuahkan kesuksesan yang manis. Selain itu,
apa yang dilakukan Rudi juga patut dicontoh.
Sejauh apa pun kita melalang buana dan apalagi menuai keberhasilan di negeri orang, layaknya
kita tidak melupakan kampung halaman. Luar
Biasa!
Cruise, Demi Moore, dan Jack Nicholson, di As
Good as It Gets (2 Oscar) bersama Jack
Nicholson, Men of Honor bersama Robert de Niro di mana ia dinominasikan meraih Oscar
keduanya, dan sejumlah film lain. Gooding lahir di New York pada 2 Januari 1968.
Keluarganya pindah ke Los Angeles saat
Gooding berusia empat tahun. Di kota ini grup
band ayahnya meraih kesuksesan dengan
single lagunya yang populer, Everybody Plays
the Fool. Tetapi sukses itu berujung buruk karena sang ayah meninggalkan mereka. Dengan orangtua tinggal separuh, sekolah
Gooding jadi berantakan. Ia berkali-kali pindah
sekolah. Meski begitu, saat duduk di bangku
SMA ia mulai mengembangkan bakat seninya
dengan ikut kegiatan drama sekolah. Selain drama ia juga ikut kegiatan ekstra
kulikuler cross country dan juga break dance.
Kemampuannya bermain break dance
tertangkap pemandu bakat Hollywood yang
kemudian mengajaknya main sebagai pembuka
pertunjukan penyanyi Lionel Richie dan Paula Abdul pada tahun 1984. Berkat break dance
juga ia tampil sebagai penari pada pembukaan
Olimpiade Los Angeles 1984. Meski seni peran ia tekuni dengan baik, selepas
SMA ia malah berlatih beladiri Jepang. Saat itu
prospeknya di dunia akting belum ia dapatkan.
Namun usaha kerasnya akhirnya membawa
hasil. Pada tahun 1986 ia mendapat peran
pertama di serial televisi Hill Street Blues meski hanya dua episode. Setelah itu ia berperan kecil
dalam beberapa serial televisi lain, termasuk
salah satunya serial McGyver yang terkenal itu. Ia mulai main di layar lebar tahun 1988 melalui
film Coming to America. Ia berperan menjadi
figuran seorang anak yang tengah dicukur.
Lama kelamaan perannya makin besar sampai
main cukup panjang di film Boyz n the Hood
(1991). Film ini masuk nominasi peraih Oscar untuk sutradara terbaik dan skenario terbaik dan
Gooding ikut menjadi sorotan karena berperan
baik sebagai Tré Styles. Dari sinilah
kebintangannya mulai kelihatan. Sejak itu ia
mendapat berbagai tawaran untuk main dengan
sejumlah bintang film besar. Sukses memang sudah ia raih saat ini. Namun
waktu krusialnya, menurut Gooding, saat di
SMA. Ia begitu serius belajar drama tak peduli apa halangannya. “Waktu terberat
adalah saat SMA, (saat itu) saya tak punya
pekerjaan dan selalu kesulitan. Saya pergi
untuk audisi baik naik bis atau jalan kaki
(karena tak punya uang),” katanya. Terbukti
kerja keras tak pernah sia-sia
baru beranjak dewasa. Namanya Edo. Dia sangat
tinggi, jangkung, bahkan di antara teman-temannya,
Edo lah yang paling tinggi. Karena lehernya yang
paling panjang itu membuatnya menjadi anak yang
sombong. Sering dia mengajak teman-teman jerapahnya untuk lomba makan daun-daun di pohon
yang dahannya sangat tinggi. Dan sudah dapat
ditebak, Edo lah si pemenang perlombaan itu.
Berkali-kali dia memenangkan perlombaan makan
daun dari puncak pohon, membuat Edo semakin
besar kepala saja. Dia merasa anak yang paling hebat di kawasan padang rumput itu. Sampai –
sampai dia tidak menghormati para sesepuh
jerapahnya. Dia sering mengejek para jerapah-
jerapah tua itu dengan sebutan “leher bengkok”,
karena memang mereka sudah beranjak tua.
Sedangkan si Edo masih muda, secara fisik dia masih kuat, leher masih tegak, jenjang dan tinggi. Pernah satu hari Edo dimintai tolong oleh seorang
sesepuh jerapahnya; “Nak, tolong ambilkan nenek
daun yang segar di ranting ujung pohon itu yaa..
nenek ingiiiiiiiiiin sekali makan daun-daun yang
masih muda, hijau, lunak dan segar itu, tapi nenek
tidak bisa menjangkau sampai ke ujung pohon itu, Tolong ya, nak Edo..” Lalu dengan sombongnya Edo
menjawab nenek jerapah itu, “Aduh, nenek jerapah
bagaimana sih, sudah tua jangan bawel deh, udah
lah makan daun yang bisa nenek jerapah jangkau
sendiri saja lah!!! Salah sendiri nggak bisa ambil
daun di pucuk pohon!!”. Lalu nenek jerapah itu pun pergi dengan kecewa, melihat kelakuan Edo, si
jerapah jangkung yang sombong. Tidak hanya nenek jerapah itu saja yang ditolak
permintaan tolongnya. Pernah juga ada seekor anak
burung yang terjatuh, saat si burung kecil itu sedang
belajar terbang. Burung kecil itu tersangkut di dahan
pohon paling ujung. Edo pun dengan sombong
menolak permintaan teman-temannya untuk menolong si burung kecil itu. Jawaban Edo pada
saat itu, “Ahhh.. dasar anak burung bodoh, punya
sayap kok nggak bisa terbang, malah jatuh. Siapa
suruh terbang kalau ngga bisa terbang.” Lalu Edo
meninggalkan begitu saja, dan akhirnya teman-
teman Edo yang berusaha menolong burung kecil itu. Sampai pada suatu hari, si Edo saat berjalan- jalan
sendiri di padang rumput, dia sedang asik
melenggang bak anak yang sombong. Lehernya
tegak lurus ke atas, dengan kepala terangkat. Lalu
berhenti di suatu gundukan. Edo tidak sadar, bahwa
yang dia injak gundukan itu adalah seekor kura- kura. Seekor kakek kura-kura yang sudah berumur
setengah abad. Lalu, si kakek kura-kura berusaha
keras mengangkat tubuhnya dan berjalan maju
selangkah, bermaksud agar Edo merasa jika di
bawah kakinya berdiri menginjak seekor kura-kura.
Lalu Edo sedikit tersandung. “Aduhhh!!”. Edo malah tidak bereaksi untuk minta maaf bahwa dia telah
menginjak tempurung kakek kura-kura itu.
Sebaliknya, dia malah marah-marah. “Dasar kura-
kura peyot, aku jadi mau terjatuh nih.” Tidak puas
dengan cukup berkata-kata, Edo pun langsung
menendang tempurung kakek kura-kura, yang akhirnya kakek kura-kura terlempar beberapa
jengkal. Lalu kakek kura-kura hanya ringan menasihati Edo,
“Anak muda, janganlah kamu sombong. Kamu
masih muda, tubuhmu masih kuat, sebaiknya
sayangilah sesama makhluk hidup ciptaanNya.
Suatu hari nanti, kamu juga akan menjadi tua, pasti
akan banyak yang lebih hebat dan kuat darimu.” Lalu Edo cuek begitu saja sambil tidak
memperdulikan nasihat kakek kura-kura. Tidak lama
kemudian, awan mendung datang. Mendung yang
begitu tebal, langit yang sebelumnya biru cerah
menjadi abu-abu kelabu. Di padang rumput itu masih
tertinggal Edo dan si kakek kura-kura yang berjalan sangat lambat menuju ke tepi di bawah pepohonan.
Seakan masih ingin memperlihatkan kesombongan
dan kekuatannya, Edo malah tidak bergegas pergi
meninggalkan padang rumput yang hendak diguyur
hujan. Dia hanya ingin menunjukkan kehebatannya
ke kakek kura-kura, bahwa dia tinggi gagah di tengah padang rumput yang luas, dengan
melenggang santai dan sombong, sambil dirinya
membandingkan si kura-kura yang pendek dan
lambat berjalan. Lalu hujan sangat deras seketika itu datang
mengguyur. Dan tiba-tiba petir yang sangat hebat
menyambar, “DUARRRRRRRRRRR.” Akhirnya, Edo
si jerapah jangkung itu ambruk, terjatuh ke tanah.
Saat itu, kepala kakek kura-kura aman di dalam
tempurungnya, tidak kehujanan dan juga terhindar dari petir yang dahsyat menyambar padang rumput.
Tidak diam begitu saja, si kakek kura-kura dengan
langkah pelan tapi pasti, dia mendekati ke Edo, dan
memberikan perhatiannya. “Kamu tidak apa-apa,
anak muda? Bangunlah, kenapa malah terdiam
bengong tetap bersungkur di tanah?”. Lalu Edo menjawab, “kakek kura-kura,…aku takutttt..
huwaaaaaaaaaaaa…” sambil merengek bak anak
kecil yang lemah. “Maafkan aku ya, kakek kura-
kura, sudah menginjak tubuhmu dengan
sombongnya. Walaupun kakek kura-kura sudah tua,
tapi tetap kuat, tempurungmu mampu menopang berat badanku ini. Maafkan aku kakek kura-kura,
karena sudah menendangmu, sampai terlempar
beberapa langkah. Aku berjanji tidak akan menjadi
anak yang sombong lagi, menolong sesama
makhluk ciptaanNya.” Dan sejak saat itu, si Edo tidak lagi menjadi jerapah
yang sombong, namun berubah menjadi si jerapah
yang baik hati dan suka menolong teman-temannya.
di keriput garis mata wanita itu; garis yang berkisah
tentang kesabaran, perjuangan hidup, penderitaan
dan pengorbanan serta maaf. Menelusuri peta yang
ada di wajahnya, saya tak pernah tersesat dalam
membaca atau mencari sebuah kota bernama: keikhlasan. Kali ini, saya berusaha menyusun
kepingan kesabaran dan danau maaf yang ada
padanya dari sebuah drama kecil yang meluruhkan
air mata saya pada akhir Februari 2003 lalu, di
sebuah bangsal kelas II Rumah Sakit Umum
Giriwono, Wonogiri. Tubuh renta wanita itu melangkah ragu, mungkin
beberapa bagian disebabkan perjalanan sekitar dua
jam dengan memakai bus. Ia memang hampir selalu
mabuk dalam perjalanan semacam itu kendati
hanya dalam bilangan jam. “Mbah…!” suaranya bergetar saat berada di ambang
pintu. Nanap, ia menatap sesosok tubuh yang tergolek di
atas tempat tidur dengan berbagai selang; infus,
bantuan pernapasan, dan saluran pembuangan…
Laki-laki yang tergolek itu membalas tatapnya,
menahan sejenak, lantas pelan-pelan dialihkan ke
tempat lain. Ada sedu tertahan, sesak dalam dada. “Bagaimana, Mbah?” kembali sapa wanita itu seraya
mendekat dan meraba kening si lelaki. “Yang sakit bagian mana?” lanjutnya. Tangannya membelai kening lelaki itu dan turun ke
telinganya. Lelaki itu telah dua hari dirawat di rumah
sakit karena penyakit stroke. Tubuh bagian
kanannya lumpuh. Lemah, tangan kiri si lelaki
berusaha meraih tangan wanita itu,
menggenggamnya lama, tetap dengan mata menghindari bertatap dengannya. Ada kepundan
yang bergolak-golak di sana dan tangis yang enggan
dipurnakan.
Wanita itu tak lain adalah bekas istri dari lelaki yang
kini tergolek tersebut. Lebih dua puluh tahun sudah
keduanya berpisah. Sangat sah bagi si wanita itu apabila ia membenci bekas suaminya. Begitu
banyak luka menganga yang ditinggalkan lelaki itu
dalam perjalanan hidup yang ia alami. Sebelum
resmi berpisah, suaminya menelantarkan dirinya
berikut anak-anaknya. Suaminya lantas menikah
dengan wanita lain, memenuhi istri mudanya dengan kekayaan dan kebahagian, sedangkan wanita ini
terlunta-lunta memperjuangkan hidup yang ingin ia
menangkan. Ya, nyaris tak ada apa pun yang
diberikan suaminya selain penderitaan. Ia bukan
resmi dicerai di PA, karena itu ia masih menjadi istri
jika sewaktu-waktu suaminya pulang atau bertandang. Selalu tak ada apa-apa yang di bawa
lelaki itu selain perselisihan atau kekesalan pada
istri mudanya dan si wanita akan menerimanya
dengan sabar. Tapi, selalu begitu, setelah ia
kembali mengandung, suaminya akan segera pergi
kembali pada istri muda-nya, dan kembalilah ia berjuang terlunta-lunta dengan janin dalam
kandungan. Tercatatlah, sembilan anak terlahir dari
rahimnya, seorang di antaranya meninggal karena
kekurangan air susu. ASI-nya tidak keluar oleh
karena nyaris tak ada makanan layak yang ia
konsumsi. Di lain waktu, pernah selama beberapa minggu ia -berikut anak-anaknya- tidak makan nasi.
Tidak ada beras tersisa. Kendati suaminya hidup
berkecukupan bahkan boleh dibilang kaya, – saat
itu, suaminya menjabat kepala desa ia tak hendak
meminta, apalagi menuntut. Untuk bertahan hidup,
ia dan anak-anaknya memakan daun-daunan yang direbus dengan campuran sedikit beras hasil utang.
Jika waktu makan tiba, ia kumpulkan anak-anak,
duduk melingkar memutari kuali tanah berisi bubur
daun-daunan tersebut dengan masing-masing
memegang satu piring. Lantas, pada piring masing-
masing dituang bubur encer terebut. Sungguh jauh dari cukup, apalagi rasa kenyang. Sementara…
suami dan istri mudanya sekaligus anak-anak
mereka makan dengan kenyang dan berlebihan. Jika malam tiba, gubuk reot yang ia huni itu penuh
rebak dengan cerita. Wanita ini gemar sekali
mendongeng untuk anak-anaknya; satu-satunya
hiburan yang bisa ia berikan pada anak-anak.
Dengan sebuah lentera kecil yang berkedip-kedip
ditiup angin, ia mendongeng Timun Mas, Kepel, Lutung Kasarung, Roro Mendut-Pronocitro,
Minakjinggo-Kenconowungu, dan sekian lagi
dongeng yang ia kreasi sendiri. Anak-anaknya
mendengarkan dengan mata berbinar-binar. Kadang-
kadang pula ia mengajarkan tembang-tembang
dolanan yang menjadi senandung riang pembawa semangat anak-anaknya. Sambil bercerita itu,
tangannya tak henti bekerja, kadang-kadang sampai
larut malam; menganyam tikar pandan pesanan
tetangga, mengupas singkong, oncek dhele, prithil
kacang, pipik jagung.. pekerjaan-pekarjaan khas
para petani yang darinya ia peroleh upah tak seberapa. Lantas, sementara ia terus mendongeng,
satu persatu anak-anaknya terlelap di atas tikar
yang berlubang dan bertambal-tambal di sana-sini.
Setelah anak-anaknya tertidur, serentak, wajahnya
yang semula berbinar-binar tanpa duka itu meredup.
Ia menatap anak-anaknya yang tidur dengan mulut menganga dan perut berkeriut. Napasnya cekat.
Tanpa permisi, air mata berbondong-bondong keluar
oleh tindihan rasa nelangsa. Ya.. di saat yang
sama, suami dan istri mudanya berikut anak-anak
mereka terlelap di atas kasur dengan selimut hangat
dan perut kekenyangan. Dirinya masih harus merunut malam yang jauh. Dia tak berpikir akan
bertahan hidup, tapi ia tak akan mengakhiri sendiri
dengan bodoh. “Saya tak percaya saya masih hidup
sampai hari ini,” ujarnya bertahun-tahun setelah itu.
Yang ada dalam pikirannya adalah ‘hidup dan
bertahan’. Ia harus menyelesaikan semua itu dengan cara-cara pahlawan. Dengan menjadi buruh
tani, ia terus mengais. Pekerjaan itu nyaris tak
menjanjikan apa-apa. Tak jarang, ia bekerja di
sawah suaminya sendiri sebagai buruh dengan upah
yang tidak lebih besar dari buruh yang lain, bahkan
cenderung lebih kecil. Entah, bagaimana ia mampu menjalani semua itu.
Lantas, satu per satu anaknya lulus sekolah. Yang
pertama menyelesaikan SMP, yang kedua bertahan
hanya sampai SD, sedangkan yang ketiga tak
mampu menyelesaikan pendidikan terendah
sekalipun kendati justru ia anak paling cerdas di antara anak-anaknya yang lain. Bersama, ketiga
anak ini memutuskan merantau ke Jakarta. Tentu
saja tak begitu ada harapan bekerja di tempat yang
nyaman. Ketiganya.. menjadi pembantu. Tapi,
kendati sedikit, ketiganya mulai bisa mengirim uang
untuk orang tua dan adik-adiknya. Begitulah, wanita ini telah mengatur rupiah dengan begitu cermat. Ia
bahkan tak menyentuh uang-uang kiriman itu, tapi
kesemuanya digunakan untuk membiayai sekolah
lima anaknya yang lain. Cukup ajaib, kelima
anaknya tersebut berhasil menamatkan jenjang
SLTA. Hari-hari lesap ke bulan dan bulan tenggelam dalam
tahun. Seperti hidupnya, waktu tidak berhenti
berjalan. Satu per satu anaknya lulus, bekerja.. dan
menikah. Biaya sekolah tidak melulu ditanggung
anak pertama, tetapi selalu demikian.. setiap ada
yang lulus dan mulai bekerja, ia bertugas melanjutkan estafet amanah itu. Lagi-lagi, keajaiban
dan bukti bahwa Tuhan Maha kasih, empat dari
anak-anaknya tersebut lulus tes menjadi pegawai
negeri sipil, sebuah pekerjaan yang cukup bergengsi
untuk ukuran daerahnya. Saat sekolah pun, rata-rata
mereka mendapat beasiswa atau keringanan biaya sebagai kompensasi dari prestasi yang diraih.. atau
minimal menjadi juara kelas. Namanya pun menjadi
legenda di masyarakatnya bahwa anak-anaknya
maupun cucu-cucunya pasti cerdas dan sukses.
Bolehlah dikatakan begitu. Untuk ukuran orang
seperti dirinya, tentulah apa yang ada sekarang ini merupakan sukses yang tidak terbilang. Masing-
masing anaknya di Jakarta telah memiliki hunian
yang layak -kendati kecil-, anak pertamanya malah
berhasil masuk tes PNS di Mabes Polri kendati
hanya dengan ijazah SMP. Anak-anaknya pun
nyaris semua cukup disegani di lingkungannya, hal mana tidak demikian dengan anak-anak suaminya
dari istri mudanya. Tahun 2002, rumah yang ia huni yang dibangun
anak-anaknya pada tahun 1988, ambruk. Kondisinya
memang telah reot. Anak-anaknya bukan tidak tahu,
tapi mereka tidak memperbaikinya dalam kurun
yang cukup lama itu disebabkan mereka dilarang
oleh sang ayah -suami dari wanita ini- untuk memperbaiki. Laki-laki itu mungkin hatinya terbuat
dari batu, tak juga bisa belajar dari kejadian-kejadian
yang ia alami. Tahun 1988, saat anak terakhir dari
istrinya berusia 10 tahun, ia kembali terpikat wanita
lain; seorang janda muda dari kampung sebelah.
Karena tak bisa menikah resmi, keduanya – entahlah, mungkin nikah di bawah tangan – tinggal
serumah. Kali ini, wanitanya tak ‘sebaik’ dan
sesabar’ dua istrinya terdahulu. Hartanya habis
dalam bilangan tahun. Dan.. empat tahun kemudian,
jabatannya sebagai kepala desa berakhir. Hidup
dengan sisa-sisa kejayaan masa lalu, wanita muda ini tidak bertahan. Ia memilih pergi meninggalkan si
lelaki yang kini tak lagi bisa mencukupi
kebutuhannya. Lantas, seperti roda.. hidup berputar. Allah terus
memperjalankan takdirnya yang tak terkata namun
bagian dari hal paling tetap dan niscaya. Bukan
karma. Lelaki ini menjalani hidupnya sendiri,
menjadi buruh tani karena sawahnya telah habis
terjual – dan tinggal di kesunyian rumahnya: tanpa anak dan istri. Sementara istrinya – si wanita ini –
mulai merasai kebahagiaan dari hidup yang lebih
layak, riang dipenuhi jeritan manja cucu-cucu dan
rengekan mereka. Maka, meradanglah si lelaki saat
anak-anaknya berniat membangun sebuah rumah
untuk ibunya karena rumah yang kemarin rubuh. Tak hanya fitnah, teror pun dilangsungkan. Anak-
anaknya tak menyerah, tetap berusaha membangun
rumah itu karena memang sudah tidak bisa ditunda
lagi. Dulu mereka menahan-nahan niat tersebut
selama bertahun-tahun, dan sekarang tak bisa lagi. Tersebutlah, di suatu malam, si wanita – istrinya
yang telah ditelantarkan itu – mendengar suara
berisik ayam-ayam di kandang. Berjingkat, ia
membuka pintu belakang rumah. Masih sempat
sekilas ia melihat suaminya menaburkan sesuatu di
sudut luar rumah. Kendati dalam remang, ia masih bisa mengenali bahwa sosok itu adalah suaminya.
Paginya, tiba-tiba ia lumpuh. Tubuhnya lemah dan
tak bisa berdiri. Orang-orang menduga itu teluh.
Setelah dirawat beberapa saat di RS, alhamdulillah
ia sembuh. Teror tak berhenti. Suaminya, secara
terbuka, mendoakan agar kayu-kayu rumahnya keropos dimakan rayap. Dan doanya terkabul, tapi
kali ini bukan pada rumah si wanita, melainkan
rumahnya sendiri. Beberapa waktu kemudian ia
mengancam akan membakar rumah itu, dan sekali
lagi, rencana itu kendati bukan dia – terlaksana.
Juga bukan pada rumah si wanita, melainkan rumahnya sendiri. Karena lupa memadamkan api di
tungku, rumah belakangnya terbakar. Itu semua
belum berakhir. Dalam kesendirian yang diliputi rasa
dengki dan iri, ia mendoakan agar si wanita ini
diserang penyakit. Dan lagi.. doanya terkabul, juga
bukan untuk si wanita, tapi untuk dirinya sendiri. Tiba-tiba, orang-orang menemukan lelaki itu tak bisa
bicara dan sebelah tubuhnya lumpuh. Ia terserang
stroke untuk pertama kali yang sekaligus masuk
dalam stadium kritis. Anak-anaknya membawanya
ke rumah sakit. Dan.. kejadian hari itu adalah bak
sebuah drama nyata. Sebuah babak yang luar biasa indah saat si wanita -dengan langkah ragu dan
bergetar, sebagian oleh sisa perjalanan yang
membuatnya mabuk darat-menjenguk bekas
suaminya yang tergolek di rumah sakit. Ada
pancaran iba dan kasih yang tulus saat ia meraba,
mengusap, dan bertanya tentang kabar dengan terbata-bata. Mesra sekali saat ia memijit kaki lelaki
itu. “Piye rasane, Mbah?” tanyanya dengan panggilan
mesra. Mbah? Aduhai, nyaman sekali. Saat belum punya
anak, ia memanggil lelaki ini dengan sebutan
‘Kakang,’ saat sudah punya anak dengan sebutan
‘Pak’, dan saat telah dianugerahi cucu demikian
banyak, ia memanggilnya ‘Mbah’ Gemetar, tangan kiri lelaki ini – karena tubuh bagian
kanannya lumpuh-menggenggam tangan renta yang
mengusap keningnya, seakan ia menikmati belaian
lembut tersebut dan menahannya sesaat agar
jangan terlalu cepat sirna. Kendati pandangannya
dibuang ke sisi lain menghindari wajah – bekas- istrinya ini, ia tak bisa mengingkari ada lautan maaf
dan cinta yang telah menggelombanginya.
Melihatnya, saya tak kuasa menahan isak. Seperti
lelaki itu, tangis saya cekat di kerongkongan
sementara air mata sudah berbondong-bondong
menitik tanpa bisa dicegah lagi. Sesak sekali dada saya oleh rasa haru yang menekan-nekan. Ya.. melihat wanita ini, saya seperti tenggelam
dalam laut kesabaran. Dan.. dialah wanita tercantik
yang pernah saya jumpai di dunia ini. Dia.. tak lain
adalah ibu saya. Ya Tuhan.. ampunilah dosanya,
maafkanlah kesalahannya dan kasihilah dia
sebagaimana ia mengasihi kami dalam suka dan duka.
tinggal Rima, ada banyak peri-peri kecil yang hidup
di sekitar bunga-bunga yang berwarna – warni.
Mereka tidak terlihat oleh kasat mata manusia,
karena mereka sangat kecil sekali, dan pandai
menyamarkan warna baju mereka menyerupai warna kelopak dan mahkota bunga yang ia tinggali. Di
sekitar tanaman bunga mawar merah, ada peri-peri
yang berbaju merah menyerupai mahkota bunga
mawar merah. Disekitar bunga melati, hidup peri-peri
yang bajunya menyerupai kelopak bunga melati. Di
sekitar bunga terompet ungu hidup peri-peri bunga berbaju menyerupai bunga terompet ungu. Namun, si Rosy peri bunga mawar merah ia sedang
jahil dan bosan dengan kostum bajunya. Akhirnya ia
mempoles baju dan sayapnya menjadi warna warni,
yang seharusnya berwarna merah dan hijau seperti
bunga mawar. “Aku bosan memakai baju merah dan hijau, aku mau mengecat bajuku dan sayapku
ahhh… dengan pewarna bunga-bunga yang
berwarna-warni itu. Biar terlihat cerah dan tidak
membosankan.” Kata si Rosy. Suatu hari sepulang dari sekolah, Rima yang masih
duduk di bangku sekolah dasar ingin memberi
kejutan kepada neneknya yang sedang berulang
tahun pada hari itu. “Hari ini nenek ulang tahun, aku belum punya kado untuknya. Mmmm.. kira-kira apa
ya, kado untuk nenek…” pikirnya dalam hati sambil berjalan pulang melewati taman-taman bunga di
sekitar rumahnya . “Ahh.. aku kasih bunga mawar aja ah.. itu di taman banyak sekali bunga mawar
yang sedang bermekaran. Pasti nenek suka, karena
harum dan cantik bunga nya.” Rima mendekati taman bunga di sekitar perumahannya yang terdiri
dari sederatan bunga mawar merah. Dan seketika itu, Rima melihat si Rosy peri bunga
mawar yang sedang terbang di sekitar tanaman
bunga mawar merah. Walau kecil, namun Rosy
mencolok warna dengan kostum barunya yang
warna-warni. “Ihhh apa itu?!! Heyy,,kamu peri ya? Aku tangkap kamu. Aku tangkap,… upss upss
yahhh… Heyy… jangan terbang.” “Ahhhhh,,,,legaaa…lega….hampir saja. Hampir saja
aku akan ditangkap oleh bocah SD itu. Aku
kapokkk.. Aku harus cuci di kolam itu agar smua
warna-warni polesan ini luntur oleh air dan kembali
ke warna semulaku.” Ujar di Rosy Akhirnya Rima si bocah SD itu pulang dengan
beberapa tangkai bunga mawar merah di tangannya,
untuk diberikan kepada neneknya yang sedang
ulang tahun. Dan Rosy, si peri bunga menyesal atas
kecerobohannya, ia tidak akan pernah mencoba
memoles badannya lagi dengan warna-warna yang mencolok mata. Karena anak-anak pasti akan
mengetahui keberadaannya dan menangkapnya.
laki-laki terburu-buru keluar dari sebuah lorong pintu.
Keduanya bertubrukan dengan keras. Orang itu marah-marah dan mengeluarkan kata-kata
kasar. Sang Guru sedikit membungkuk, tersenyum dan
berkata, “Sahabatku, saya tidak tahu siapakah di
antara kita yang bertanggung jawab atas
‘perjumpaan’ ini, tetapi saya tidak mau membuang-
buang waktu untuk menyelidiki. Jika saya
menabrakmu, saya minta maaf; jika kamu yang menabrak saya, tak apa-apa.” Kemudian, ia tersenyum dan membungkuk lagi, lalu
meneruskan perjalanannya
seorang hamba Allah yang sedang diadili. Ia dituduh bersalah, menyia-nyiakan sepanjang hidupnya di dunia hanya untuk berbuat maksiat. Tetapi ia bersikeras membantah. “Tidak. Demi langit dan bumi sungguh tidak benar.
Saya tidak melakukan semua itu.”
“Tetapi saksi-saksi mengatakan engkau betul-betul
telah menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam dosa,” jawab malaikat. Orang itu menoleh ke kiri dan ke kanan, lalu ke segenap penjuru. Tetapi anehnya, ia tidak menjumpai seorang saksi pun yang sedang berdiri. Di situ hanya ada dia sendirian. Makanya ia pun menyanggah, “Manakah saksi-saksi yang kau maksudkan? Disini tidak ada siapa kecuali aku dan
suaramu.”
“Inilah saksi-saksi itu,” ujar malaikat.
Tiba-tiba mata nya angkat bicara, “Saya yang memandangi.” Disusuli oleh telinga, “Saya yang mendengarkan. “ Hidung pun tidak ketinggalan, “Saya yang mencium.” Bibir mengaku, “Saya yang merayu.” Lidah menambah, “Saya yang mengisap.” Tangan meneruskan, “Saya yang meraba dan meremas.” Kaki menyusul, “Saya yang dipakai lari ketika ketahuan.”
“Nah kalau kubiarkan, seluruh anggota tubuhmu
akan memberikan kesaksian tentang perbuatan
aibmu itu”, ucap malaikat. Orang tersebut tidak dapat membuka sanggahannya lagi. Ia putus asa dan amat berduka, sebab sebentar lagi bakal dimasukkan ke dalam api jahanam. Padahal rasa-rasanya ia telah terbebas dari tuduhan dosa itu. Tatkala ia sedang dilanda kesedihan itu, sekonyong- konyong terdengar suara yg amat lembut dari selembar bulu matanya:“Saya pun ingin juga mengangkat sumpah sebagai saksi.” “Silakan”, kata malaikat. “Terus terang saja, menjelang ajalnya, pada suatu tengah malam yg lengang, aku pernah dibasahinya dengan air mata ketika ia sedang menangis menyesali perbuatan buruknya. Bukankah nabinya pernah berjanji, bahwa apabila ada seorang hamba kemudian bertaubat, walaupun selembar bulu matanya saja yang terbasahi air matanya, namun sudah diharamkan dirinya dari ancaman api neraka?
Maka saya, selembar bulu matanya, berani tampil
sebagai saksi bahwa ia telah melakukan taubat
sampai membasahi saya dengan air mata
penyesalan.” Dengan kesaksian selembar bulu mata itu, orang tersebut di bebaskan dari neraka dan diantarkan ke syurga. Sampai terdengar suara bergaung kepada para penghuni syurga: Hamba Tuhan ini masuk syurga karena pertolongan selembar bulu mata.
Kematian mengingatkan kita pada bekal amal yang
akan kita bawa pada kenikmatan abadi. Dan
kematian datangnya pun tak di duga-duga. Sungguh, yang singkat itu adalah w
untuk ikut dalam penerbangan 51-L pesawat ulang- alik Challanger. Dan warga itu adalah seorang guru. Aku warga biasa, dan aku seorang guru. Hari itu juga aku mengirimkan surat lamaran ke Washington. Setiap hari aku berlari ke kotak pos. Akhirnya datanglah amplop resmi berlogo NASA. Doaku terkabulkan! Aku lolos penyisihan pertama. Ini benar-benar terjadi padaku. Selama beberapa minggu berikutnya, perwujudan impianku semakin dekat saat NASA mengadakan test fisik dan mental. Begitu test selesai, aku menunggu dan berdoa lagi. Aku tahu aku semakin dekat pada impianku. Beberapa waktu kemudian, aku menerima panggilan untuk mengikuti program latihan astronot khusus di Kennedy Space Center. Dari 43.000 pelamar, kemudian 10.000 orang, dan kini aku menjadi bagian dari 100 orang yang berkumpul untuk penilaian akhir. Ada simulator, uji klaustrofobi, latihan ketangkasan, percobaan mabuk udara. Siapakah di antara kami yang bisa melewati ujian akhir ini? Tuhan, biarlah diriku yang terpilih, begitu aku berdoa. Lalu tibalah berita yang menghancurkan itu. NASA memilih Christina McAufliffe. Aku kalah. Impian hidupku hancur. Aku mengalami depresi. Rasa percaya diriku lenyap, dan amarah menggantikan kebahagiaanku. Aku mempertanyakan semuanya.
Kenapa Tuhan? Kenapa bukan aku? Bagian diriku yang mana yang kurang? Mengapa aku diperlakukan kejam? Aku berpaling pada ayahku. Katanya, “Semua terjadi karena suatu alasan.” Selasa, 28 Januari 1986, aku berkumpul bersama teman-teman untuk melihat peluncuran Challanger. Saat pesawat itu melewati menara landasan pacu, aku menantang impianku untuk terakhir kali. Tuhan, aku bersedia melakukan apa saja agar berada di dalam pesawat itu. Kenapa bukan aku? Tujuh puluh tiga detik kemudian, Tuhan menjawab semua pertanyaanku dan menghapus semua keraguanku saat Challanger meledak, dan menewaskan semua penumpang. Aku teringat kata-kata ayahku, “Semua terjadi karena suatu alasan.” Aku tidak terpilih dalam penerbangan itu, walaupun aku sangat menginginkannya karena Tuhan memiliki alasan lain untuk kehadiranku di bumi ini. Aku memiliki misi lain dalam hidup. Aku tidak kalah; aku seorang pemenang. Aku menang karena aku telah kalah. Aku, Frank Slazak, masih hidup untuk bersyukur pada Tuhan karena tidak semua doaku dikabulkan
menyusuri jalan sepulang dari sawah sambil diguyur
air hujan.Tiba-tiba lewat sebuah motor didepan mereka. Berkatalah petani kepada istrinya,”Lihat
Bu,betapa bahagianya suami istri yang naik motor
itu meski mereka kehujanan,tapi mereka bisa cepat
sampai dirumah tidak seperti kita yg harus lelah
berjalan untuk sampai kerumah.” Sementara itu pengendara motor dan istrinya yg sedang berboncengan dibawah derasnya air hujan
melihat sebuah mobil pick up lewat didepan mereka.
Pengendara motor itu berkata kepada istrinya,”Lihat Bu, betapa bahagianya orang yg naik mobil itu,
mereka tidak perlu kehujanan seperti kita.” Didalam mobil pick up yg dikendarai sepasang
suami istri terjadi perbincangan ketika sebuah sedan
Mercy lewat,”Lihatlah Bu, betapa bahagia orang yg
naik mobil bagus itu, pasti nyaman dikendarai tdk
spt mobil kita yg sering mogok.” Pengendara mobil Mercy itu seorang pria kaya, dan
ketika dia melihat sepasang suami istri yg berjalan
bergandengan tangan dibawah guyuran air hujan,
pria kaya itu berkata dlm hati,”Betapa bahagianya
suami istri itu,mereka dgn mesranya berjalan
bergandengan tangan sambil menyusuri indahnya jalan di pedesaan ini, sementara aku & istriku tdk
pernah punya waktu utk berduaan karena kesibukan
masing-masing.” Kebahagiaan takkan pernah kita miliki jika kita
hanya melihat kebahagiaan milik orang lain, dan
selalu membandingkan hidup kita dengan hidup org
lain. Bersyukurlah senantiasa atas hidup kita, supaya
kita tahu dimana kebahagiaan itu berada.
mendapatkan pendidikan dan setiap hari harus
berjalan kaki setengah jam dengan melalui rintangan yang berbahaya untuk sampai ke sekolah. Ia berasal dari keluarga miskin yang membeli sepasang sepatu saja tidak mampu. Tetapi dia masih beruntung dibandingkan 29 juta anak lain yang putus sekolah di Afrika. Ibu Sylvia menikah lagi saat ia masih muda setelah
ayahnya meninggal dunia. Keluarganya tinggal di
tengah lahan pertanian, lebih 300km dari kota
utama, Dar el Salaam. Ayah tirinya mungkin menganggap pengeluaran sekolah Sylvia untuk membeli buku dan seragam sebagai beban tetapi Sylvia merasa bahwa ini akan memberikan dampak positif untuk jangka panjang bagi keluarganya. Ia mengatakan bahwa cita-citanya adalah menjadi
seorang guru. Jarak sekolah Sylvia dari rumahnya adalah 7km.
Saat menuju jalan raya hanya dengan sepasang
sandal jepit Sylvia harus melintasi semak belukar
yang menggores dan melukai kakinya. Selain itu dia harus menemukan rute yang aman dari ular dan bahaya lainnya. Di tengah hawa panas yang kering Sylvia melanjutkan perjalanan di jalan berdebu yang dilalui kendaraan-kendaraan berat. Sementara saat musim hujan jalan itu hampir tidak mungkin dilalui karena berlumpur, ia bahkan sesekali harus melalui genangan air yang cukup dalam karena kurangnya saluran pembuangan. Jika ia ingin menghindari lalu lintas yang berbahaya di jalan raya, ia harus berjalan di sepanjang rel kereta api yang tentu saja berbahaya. Ancaman lain adalah penculikan yang dilakukan dengan cara menawarkan tumpangan kepada anak-anak sekolah. Ibunya selalu menyarankan untuk mengambil jalan lain di dekat jalan raya. Tetapi semakin ia dewasa daerah ini menjadi lebih berbahaya karena remaja perempuan bisa menjadi sasaran perkosaan. Jalur
ini dilalui oleh beberapa tahanan dari penjara
terbesar di daerah itu yang harus bekerja di ladang dekat sekolah Sylvia tiga bulan sebelum
dibebaskan. "Meskipun saya tidak menikmati perjalanan ke sekolah dan kadang-kadang saya merasa takut, saya akan melakukan apa pun untuk mendapatkan pendidikan yang bagus," ujarnya kepada Plan International, lembaga swadaya masyarakat yang memberikan bantuan untuk sekolahnya.
Kakek : "Kenapa kamu menangis oh gadis anggun?"
Gadis : "Aku merasa sangat sedih Kek, mengapa dia meninggalkanku?"
Kakek : Tersimpul senyum kecil, lalu kakek berkata "Kamu bodoh sekali Nak"
Gadis : "Kenapa Kakek berkata seperti itu?! Kenapa Kakek seolah justru menghinaku? Aku sangat sedih karena putus cinta. Biarlah kalau Kakek tak ingin menghiburku, tapi jangan katakan
aku seperti itu! Karena Kakek justru membuat aku merasa sangat hina!"
Kakek : "Kamu bodoh. Kenapa kamu harus bersedih? Karena yang seharusnya sedih adalah dia!"
Gadis : "Loh, kenapa dia yang harus bersedih? Kan dia yang memutuskan aku"
Kakek : "Iya, karena kamu hanya kehilangan orang yang tidak mencintaimu. Tetapi dia, dia telah kehilangan orang yang telah mencintainya dengan tulus"
Gadis : "Tapi ntah kenapa aku sangat merasa sedih dan kehilangan dirinya Kek"
Kakek : "Apakah dengan bersedih dia akan kembali padamu? Apakah dia akan mencintaimu karena mengalirnya tetesan air matamu? Bersabarlah dan yakinlah Nak, bahwa sebenarnya cinta yang benar-benar indah sedang menantimu di depan sana.."
kekantor seperti biasanya, saya merasa
sangat berat untuk bangun dari tempat tidur.
Apalagi ini adalah hari Senin dimana hari yang
paling sangat tidak saya sukai. Bukan karena
ada hal tidak menyenangkan – memang ada beberapa sih – tapi mengingat pekerjaan yang
menumpuk menunggu sudah membuatku
kehilangan mood.
Lalu tiba-tiba saya melompat bangun, saya
teringat hal yang menyenangkan. Tanpa
menunda sedetikpun saya langsung
membersihkan muka dan mandi seperti
biasanya. Setelah itu saya langsung meluncur
kesebuah cafe sederhana dekat kantor dimana saya bekerja.
Tahukah apa hal menyenangkan itu? Ketika
saya masuk kecafe sederhana ini, saya –
semua pelanggan – akan disuguhkan sebuah
pelayanan yang sangat ramah dan
menyenangkan. Sebuah senyuman.
Ya, saya tahu itu memang hanya sebuah
senyuman. Tetapi senyuman yang TULUS
dan dari HATI itu selalu bisa mencairkan
perasaan yang beku oleh dinginnya kemarin
malam. Cafe inilah terutama senyuman para
pelayan dan pemiliknyalah yang membuat saya tidak bosan untuk berangkat kerja.
sesuatu dari toko kami. Setelah melihat-lihat
dan tertarik ia pun bertanya harganya. Lalu
kami memberikan harga pas karena toko kami
sedang promo.
Ketika mendengar harga yang kami berikan,
ia mengernyitkan dahi. Lalu kami bertanya
mengapa dan jawabannya bahwa harga kami
lebih mahal dibandingkan toko sebelumnya
yang dia kunjungi.
Mendengar hal itu kami hanya tersenyum dan
menawarkan dengan TULUS agar dia
membelinya ditoko sebelumnya karena lebih
murah. Mendengar hal itu ia mengernyitkan
dahi lagi dan berkata, “Mengapa kamu justru
memintaku membeli disana? Bukankah seharusnya kamu menyakinkanku untuk
membeli ditempatmu?”.
Mendengar pertanyaanya itu, kami hanya bisa
tersenyum dan berkata, “Karena kami ingin
yang terbaik bagi konsumen kami sekalipun
itu kami harus merekomendasikannya
membeli ditempat pesaing kami. Kami tidak
ingin konsumen rugi”.
Setelah mendengar jawanban kami, ia terlihat
tersenyum sangat manis. Lalu dia langsung
membeli produk kami yang sudah lebih mahal
plus barang lainnya. Awalnya kami masih
memintanya berpikir ulang, tetapi jawabannya
membuat kami salah tingkah dengan wajah merona merah.
“Aku justru merasa barang ini sangatlah
murah jika dibandingkan pelayanan dan
kepedulian pada konsumen yang kalian
berikan. Aku mungkin membayar sedikit
mahal untuk produk yang sama, tapi aku
justru mendapatkan harga yang sangat murah dengan pelayanan yang ada”