BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Mari Berbagi Kisah Inspiratif

1474850525398

Comments

  • Sekitar 6 tahun lalu, tepatnya tahun 2005, pria
    bernama Rudi Suparto ini terbang ke Amerika
    Serikat demi mencari uang lebih. Namun
    ternyata, mantan sales manager ini tak bisa
    mendapat pekerjaan yang lebih baik selain
    tukang cuci piring di sebuah restoran. Awal kehidupannya di Amerika Serikat terbilang
    tidak mudah bagi pria kelahiran Surabaya, Jawa
    Timur ini. Betapa tidak, ia sebenarnya tidak bisa
    berbahasa Inggris. Alhasil, hanya tukang cuci
    piringlah yang bisa dijadikan nafkah
    penghidupannya di tahun-tahun pertama di negeri Paman Sam ini. “Sedih sekali
    sebenarnya waktu itu. Saya tidak biasanya
    memegang sampah dan kotoran makanan,”
    kisah Rudi. Luar biasanya, kondisi menyedihkan ini tidak
    membuat Rudi pantang menyerah. Justru ia
    menjadikan keadaannya itu sebagai bahan
    pelajaran sehingga pada akhirnya ia mengetahui
    cara memasak dan seluk beluk restoran. Ketekunan dan kegigihannya selama beberapa
    tahun tersebut akhirnya menghasilkan sebuah
    restoran cepat saji miliknya sendiri, yang diberi
    nama Wok Express. Restoran ini terletak di
    jalan utama kompleks kasino, Las Vegas,
    Amerika Serikat. Ibarat kacang yang tak lupa akan kulitnya, Rudi
    pun ikut membantu sesama imigran asal
    Indonesia. Seluruh karyawannya adalah orang
    Indonesia, dan hanya juru masaknya saja yang
    warga China. Meski sudah memiliki kehidupan mapan di
    Amerika, Rudi tetap berencana untuk
    menghabiskan masa tuanya di Indonesia.
    Karena itu, ia selalu berusaha berbahasa
    Indonesia dengan anak-anaknya supaya bahasa
    ibu mereka tidak hilang. Pencapaian Rudi Suparto ini membuktikan
    bahwa setiap peluh kerja keras di bidang apa
    pun bila ditekuni dengan niat baik dapat
    berbuahkan kesuksesan yang manis. Selain itu,
    apa yang dilakukan Rudi juga patut dicontoh.
    Sejauh apa pun kita melalang buana dan apalagi menuai keberhasilan di negeri orang, layaknya
    kita tidak melupakan kampung halaman. Luar
    Biasa!
  • Coba Gooding Jr. dikenal sebagai aktor yang memiliki karakter kuat. Sejumlah filmnya laris di pasaran dan mendapat berbagai penghargaan. Selain Jerry Maguire di mana ia bermain dengan Tom Cruise, Gooding juga main bagus dalam film A View Good Men (film peraih 4 Oscar) bersama
    Cruise, Demi Moore, dan Jack Nicholson, di As
    Good as It Gets (2 Oscar) bersama Jack
    Nicholson, Men of Honor bersama Robert de Niro di mana ia dinominasikan meraih Oscar
    keduanya, dan sejumlah film lain. Gooding lahir di New York pada 2 Januari 1968.
    Keluarganya pindah ke Los Angeles saat
    Gooding berusia empat tahun. Di kota ini grup
    band ayahnya meraih kesuksesan dengan
    single lagunya yang populer, Everybody Plays
    the Fool. Tetapi sukses itu berujung buruk karena sang ayah meninggalkan mereka. Dengan orangtua tinggal separuh, sekolah
    Gooding jadi berantakan. Ia berkali-kali pindah
    sekolah. Meski begitu, saat duduk di bangku
    SMA ia mulai mengembangkan bakat seninya
    dengan ikut kegiatan drama sekolah. Selain drama ia juga ikut kegiatan ekstra
    kulikuler cross country dan juga break dance.
    Kemampuannya bermain break dance
    tertangkap pemandu bakat Hollywood yang
    kemudian mengajaknya main sebagai pembuka
    pertunjukan penyanyi Lionel Richie dan Paula Abdul pada tahun 1984. Berkat break dance
    juga ia tampil sebagai penari pada pembukaan
    Olimpiade Los Angeles 1984. Meski seni peran ia tekuni dengan baik, selepas
    SMA ia malah berlatih beladiri Jepang. Saat itu
    prospeknya di dunia akting belum ia dapatkan.
    Namun usaha kerasnya akhirnya membawa
    hasil. Pada tahun 1986 ia mendapat peran
    pertama di serial televisi Hill Street Blues meski hanya dua episode. Setelah itu ia berperan kecil
    dalam beberapa serial televisi lain, termasuk
    salah satunya serial McGyver yang terkenal itu. Ia mulai main di layar lebar tahun 1988 melalui
    film Coming to America. Ia berperan menjadi
    figuran seorang anak yang tengah dicukur.
    Lama kelamaan perannya makin besar sampai
    main cukup panjang di film Boyz n the Hood
    (1991). Film ini masuk nominasi peraih Oscar untuk sutradara terbaik dan skenario terbaik dan
    Gooding ikut menjadi sorotan karena berperan
    baik sebagai Tré Styles. Dari sinilah
    kebintangannya mulai kelihatan. Sejak itu ia
    mendapat berbagai tawaran untuk main dengan
    sejumlah bintang film besar. Sukses memang sudah ia raih saat ini. Namun
    waktu krusialnya, menurut Gooding, saat di
    SMA. Ia begitu serius belajar drama tak peduli apa halangannya. “Waktu terberat
    adalah saat SMA, (saat itu) saya tak punya
    pekerjaan dan selalu kesulitan. Saya pergi
    untuk audisi baik naik bis atau jalan kaki
    (karena tak punya uang),” katanya. Terbukti
    kerja keras tak pernah sia-sia
  • Di suatu padang rumput ada seekor jerapah yang
    baru beranjak dewasa. Namanya Edo. Dia sangat
    tinggi, jangkung, bahkan di antara teman-temannya,
    Edo lah yang paling tinggi. Karena lehernya yang
    paling panjang itu membuatnya menjadi anak yang
    sombong. Sering dia mengajak teman-teman jerapahnya untuk lomba makan daun-daun di pohon
    yang dahannya sangat tinggi. Dan sudah dapat
    ditebak, Edo lah si pemenang perlombaan itu.
    Berkali-kali dia memenangkan perlombaan makan
    daun dari puncak pohon, membuat Edo semakin
    besar kepala saja. Dia merasa anak yang paling hebat di kawasan padang rumput itu. Sampai –
    sampai dia tidak menghormati para sesepuh
    jerapahnya. Dia sering mengejek para jerapah-
    jerapah tua itu dengan sebutan “leher bengkok”,
    karena memang mereka sudah beranjak tua.
    Sedangkan si Edo masih muda, secara fisik dia masih kuat, leher masih tegak, jenjang dan tinggi. Pernah satu hari Edo dimintai tolong oleh seorang
    sesepuh jerapahnya; “Nak, tolong ambilkan nenek
    daun yang segar di ranting ujung pohon itu yaa..
    nenek ingiiiiiiiiiin sekali makan daun-daun yang
    masih muda, hijau, lunak dan segar itu, tapi nenek
    tidak bisa menjangkau sampai ke ujung pohon itu, Tolong ya, nak Edo..” Lalu dengan sombongnya Edo
    menjawab nenek jerapah itu, “Aduh, nenek jerapah
    bagaimana sih, sudah tua jangan bawel deh, udah
    lah makan daun yang bisa nenek jerapah jangkau
    sendiri saja lah!!! Salah sendiri nggak bisa ambil
    daun di pucuk pohon!!”. Lalu nenek jerapah itu pun pergi dengan kecewa, melihat kelakuan Edo, si
    jerapah jangkung yang sombong. Tidak hanya nenek jerapah itu saja yang ditolak
    permintaan tolongnya. Pernah juga ada seekor anak
    burung yang terjatuh, saat si burung kecil itu sedang
    belajar terbang. Burung kecil itu tersangkut di dahan
    pohon paling ujung. Edo pun dengan sombong
    menolak permintaan teman-temannya untuk menolong si burung kecil itu. Jawaban Edo pada
    saat itu, “Ahhh.. dasar anak burung bodoh, punya
    sayap kok nggak bisa terbang, malah jatuh. Siapa
    suruh terbang kalau ngga bisa terbang.” Lalu Edo
    meninggalkan begitu saja, dan akhirnya teman-
    teman Edo yang berusaha menolong burung kecil itu. Sampai pada suatu hari, si Edo saat berjalan- jalan
    sendiri di padang rumput, dia sedang asik
    melenggang bak anak yang sombong. Lehernya
    tegak lurus ke atas, dengan kepala terangkat. Lalu
    berhenti di suatu gundukan. Edo tidak sadar, bahwa
    yang dia injak gundukan itu adalah seekor kura- kura. Seekor kakek kura-kura yang sudah berumur
    setengah abad. Lalu, si kakek kura-kura berusaha
    keras mengangkat tubuhnya dan berjalan maju
    selangkah, bermaksud agar Edo merasa jika di
    bawah kakinya berdiri menginjak seekor kura-kura.
    Lalu Edo sedikit tersandung. “Aduhhh!!”. Edo malah tidak bereaksi untuk minta maaf bahwa dia telah
    menginjak tempurung kakek kura-kura itu.
    Sebaliknya, dia malah marah-marah. “Dasar kura-
    kura peyot, aku jadi mau terjatuh nih.” Tidak puas
    dengan cukup berkata-kata, Edo pun langsung
    menendang tempurung kakek kura-kura, yang akhirnya kakek kura-kura terlempar beberapa
    jengkal. Lalu kakek kura-kura hanya ringan menasihati Edo,
    “Anak muda, janganlah kamu sombong. Kamu
    masih muda, tubuhmu masih kuat, sebaiknya
    sayangilah sesama makhluk hidup ciptaanNya.
    Suatu hari nanti, kamu juga akan menjadi tua, pasti
    akan banyak yang lebih hebat dan kuat darimu.” Lalu Edo cuek begitu saja sambil tidak
    memperdulikan nasihat kakek kura-kura. Tidak lama
    kemudian, awan mendung datang. Mendung yang
    begitu tebal, langit yang sebelumnya biru cerah
    menjadi abu-abu kelabu. Di padang rumput itu masih
    tertinggal Edo dan si kakek kura-kura yang berjalan sangat lambat menuju ke tepi di bawah pepohonan.
    Seakan masih ingin memperlihatkan kesombongan
    dan kekuatannya, Edo malah tidak bergegas pergi
    meninggalkan padang rumput yang hendak diguyur
    hujan. Dia hanya ingin menunjukkan kehebatannya
    ke kakek kura-kura, bahwa dia tinggi gagah di tengah padang rumput yang luas, dengan
    melenggang santai dan sombong, sambil dirinya
    membandingkan si kura-kura yang pendek dan
    lambat berjalan. Lalu hujan sangat deras seketika itu datang
    mengguyur. Dan tiba-tiba petir yang sangat hebat
    menyambar, “DUARRRRRRRRRRR.” Akhirnya, Edo
    si jerapah jangkung itu ambruk, terjatuh ke tanah.
    Saat itu, kepala kakek kura-kura aman di dalam
    tempurungnya, tidak kehujanan dan juga terhindar dari petir yang dahsyat menyambar padang rumput.
    Tidak diam begitu saja, si kakek kura-kura dengan
    langkah pelan tapi pasti, dia mendekati ke Edo, dan
    memberikan perhatiannya. “Kamu tidak apa-apa,
    anak muda? Bangunlah, kenapa malah terdiam
    bengong tetap bersungkur di tanah?”. Lalu Edo menjawab, “kakek kura-kura,…aku takutttt..
    huwaaaaaaaaaaaa…” sambil merengek bak anak
    kecil yang lemah. “Maafkan aku ya, kakek kura-
    kura, sudah menginjak tubuhmu dengan
    sombongnya. Walaupun kakek kura-kura sudah tua,
    tapi tetap kuat, tempurungmu mampu menopang berat badanku ini. Maafkan aku kakek kura-kura,
    karena sudah menendangmu, sampai terlempar
    beberapa langkah. Aku berjanji tidak akan menjadi
    anak yang sombong lagi, menolong sesama
    makhluk ciptaanNya.” Dan sejak saat itu, si Edo tidak lagi menjadi jerapah
    yang sombong, namun berubah menjadi si jerapah
    yang baik hati dan suka menolong teman-temannya.
  • Selalu, saya akan tenggelam dalam luasnya danau
    di keriput garis mata wanita itu; garis yang berkisah
    tentang kesabaran, perjuangan hidup, penderitaan
    dan pengorbanan serta maaf. Menelusuri peta yang
    ada di wajahnya, saya tak pernah tersesat dalam
    membaca atau mencari sebuah kota bernama: keikhlasan. Kali ini, saya berusaha menyusun
    kepingan kesabaran dan danau maaf yang ada
    padanya dari sebuah drama kecil yang meluruhkan
    air mata saya pada akhir Februari 2003 lalu, di
    sebuah bangsal kelas II Rumah Sakit Umum
    Giriwono, Wonogiri. Tubuh renta wanita itu melangkah ragu, mungkin
    beberapa bagian disebabkan perjalanan sekitar dua
    jam dengan memakai bus. Ia memang hampir selalu
    mabuk dalam perjalanan semacam itu kendati
    hanya dalam bilangan jam. “Mbah…!” suaranya bergetar saat berada di ambang
    pintu. Nanap, ia menatap sesosok tubuh yang tergolek di
    atas tempat tidur dengan berbagai selang; infus,
    bantuan pernapasan, dan saluran pembuangan…
    Laki-laki yang tergolek itu membalas tatapnya,
    menahan sejenak, lantas pelan-pelan dialihkan ke
    tempat lain. Ada sedu tertahan, sesak dalam dada. “Bagaimana, Mbah?” kembali sapa wanita itu seraya
    mendekat dan meraba kening si lelaki. “Yang sakit bagian mana?” lanjutnya. Tangannya membelai kening lelaki itu dan turun ke
    telinganya. Lelaki itu telah dua hari dirawat di rumah
    sakit karena penyakit stroke. Tubuh bagian
    kanannya lumpuh. Lemah, tangan kiri si lelaki
    berusaha meraih tangan wanita itu,
    menggenggamnya lama, tetap dengan mata menghindari bertatap dengannya. Ada kepundan
    yang bergolak-golak di sana dan tangis yang enggan
    dipurnakan.
    Wanita itu tak lain adalah bekas istri dari lelaki yang
    kini tergolek tersebut. Lebih dua puluh tahun sudah
    keduanya berpisah. Sangat sah bagi si wanita itu apabila ia membenci bekas suaminya. Begitu
    banyak luka menganga yang ditinggalkan lelaki itu
    dalam perjalanan hidup yang ia alami. Sebelum
    resmi berpisah, suaminya menelantarkan dirinya
    berikut anak-anaknya. Suaminya lantas menikah
    dengan wanita lain, memenuhi istri mudanya dengan kekayaan dan kebahagian, sedangkan wanita ini
    terlunta-lunta memperjuangkan hidup yang ingin ia
    menangkan. Ya, nyaris tak ada apa pun yang
    diberikan suaminya selain penderitaan. Ia bukan
    resmi dicerai di PA, karena itu ia masih menjadi istri
    jika sewaktu-waktu suaminya pulang atau bertandang. Selalu tak ada apa-apa yang di bawa
    lelaki itu selain perselisihan atau kekesalan pada
    istri mudanya dan si wanita akan menerimanya
    dengan sabar. Tapi, selalu begitu, setelah ia
    kembali mengandung, suaminya akan segera pergi
    kembali pada istri muda-nya, dan kembalilah ia berjuang terlunta-lunta dengan janin dalam
    kandungan. Tercatatlah, sembilan anak terlahir dari
    rahimnya, seorang di antaranya meninggal karena
    kekurangan air susu. ASI-nya tidak keluar oleh
    karena nyaris tak ada makanan layak yang ia
    konsumsi. Di lain waktu, pernah selama beberapa minggu ia -berikut anak-anaknya- tidak makan nasi.
    Tidak ada beras tersisa. Kendati suaminya hidup
    berkecukupan bahkan boleh dibilang kaya, – saat
    itu, suaminya menjabat kepala desa ia tak hendak
    meminta, apalagi menuntut. Untuk bertahan hidup,
    ia dan anak-anaknya memakan daun-daunan yang direbus dengan campuran sedikit beras hasil utang.
    Jika waktu makan tiba, ia kumpulkan anak-anak,
    duduk melingkar memutari kuali tanah berisi bubur
    daun-daunan tersebut dengan masing-masing
    memegang satu piring. Lantas, pada piring masing-
    masing dituang bubur encer terebut. Sungguh jauh dari cukup, apalagi rasa kenyang. Sementara…
    suami dan istri mudanya sekaligus anak-anak
    mereka makan dengan kenyang dan berlebihan. Jika malam tiba, gubuk reot yang ia huni itu penuh
    rebak dengan cerita. Wanita ini gemar sekali
    mendongeng untuk anak-anaknya; satu-satunya
    hiburan yang bisa ia berikan pada anak-anak.
    Dengan sebuah lentera kecil yang berkedip-kedip
    ditiup angin, ia mendongeng Timun Mas, Kepel, Lutung Kasarung, Roro Mendut-Pronocitro,
    Minakjinggo-Kenconowungu, dan sekian lagi
    dongeng yang ia kreasi sendiri. Anak-anaknya
    mendengarkan dengan mata berbinar-binar. Kadang-
    kadang pula ia mengajarkan tembang-tembang
    dolanan yang menjadi senandung riang pembawa semangat anak-anaknya. Sambil bercerita itu,
    tangannya tak henti bekerja, kadang-kadang sampai
    larut malam; menganyam tikar pandan pesanan
    tetangga, mengupas singkong, oncek dhele, prithil
    kacang, pipik jagung.. pekerjaan-pekarjaan khas
    para petani yang darinya ia peroleh upah tak seberapa. Lantas, sementara ia terus mendongeng,
    satu persatu anak-anaknya terlelap di atas tikar
    yang berlubang dan bertambal-tambal di sana-sini.
    Setelah anak-anaknya tertidur, serentak, wajahnya
    yang semula berbinar-binar tanpa duka itu meredup.
    Ia menatap anak-anaknya yang tidur dengan mulut menganga dan perut berkeriut. Napasnya cekat.
    Tanpa permisi, air mata berbondong-bondong keluar
    oleh tindihan rasa nelangsa. Ya.. di saat yang
    sama, suami dan istri mudanya berikut anak-anak
    mereka terlelap di atas kasur dengan selimut hangat
    dan perut kekenyangan. Dirinya masih harus merunut malam yang jauh. Dia tak berpikir akan
    bertahan hidup, tapi ia tak akan mengakhiri sendiri
    dengan bodoh. “Saya tak percaya saya masih hidup
    sampai hari ini,” ujarnya bertahun-tahun setelah itu.
    Yang ada dalam pikirannya adalah ‘hidup dan
    bertahan’. Ia harus menyelesaikan semua itu dengan cara-cara pahlawan. Dengan menjadi buruh
    tani, ia terus mengais. Pekerjaan itu nyaris tak
    menjanjikan apa-apa. Tak jarang, ia bekerja di
    sawah suaminya sendiri sebagai buruh dengan upah
    yang tidak lebih besar dari buruh yang lain, bahkan
    cenderung lebih kecil. Entah, bagaimana ia mampu menjalani semua itu.
    Lantas, satu per satu anaknya lulus sekolah. Yang
    pertama menyelesaikan SMP, yang kedua bertahan
    hanya sampai SD, sedangkan yang ketiga tak
    mampu menyelesaikan pendidikan terendah
    sekalipun kendati justru ia anak paling cerdas di antara anak-anaknya yang lain. Bersama, ketiga
    anak ini memutuskan merantau ke Jakarta. Tentu
    saja tak begitu ada harapan bekerja di tempat yang
    nyaman. Ketiganya.. menjadi pembantu. Tapi,
    kendati sedikit, ketiganya mulai bisa mengirim uang
    untuk orang tua dan adik-adiknya. Begitulah, wanita ini telah mengatur rupiah dengan begitu cermat. Ia
    bahkan tak menyentuh uang-uang kiriman itu, tapi
    kesemuanya digunakan untuk membiayai sekolah
    lima anaknya yang lain. Cukup ajaib, kelima
    anaknya tersebut berhasil menamatkan jenjang
    SLTA. Hari-hari lesap ke bulan dan bulan tenggelam dalam
    tahun. Seperti hidupnya, waktu tidak berhenti
    berjalan. Satu per satu anaknya lulus, bekerja.. dan
    menikah. Biaya sekolah tidak melulu ditanggung
    anak pertama, tetapi selalu demikian.. setiap ada
    yang lulus dan mulai bekerja, ia bertugas melanjutkan estafet amanah itu. Lagi-lagi, keajaiban
    dan bukti bahwa Tuhan Maha kasih, empat dari
    anak-anaknya tersebut lulus tes menjadi pegawai
    negeri sipil, sebuah pekerjaan yang cukup bergengsi
    untuk ukuran daerahnya. Saat sekolah pun, rata-rata
    mereka mendapat beasiswa atau keringanan biaya sebagai kompensasi dari prestasi yang diraih.. atau
    minimal menjadi juara kelas. Namanya pun menjadi
    legenda di masyarakatnya bahwa anak-anaknya
    maupun cucu-cucunya pasti cerdas dan sukses.
    Bolehlah dikatakan begitu. Untuk ukuran orang
    seperti dirinya, tentulah apa yang ada sekarang ini merupakan sukses yang tidak terbilang. Masing-
    masing anaknya di Jakarta telah memiliki hunian
    yang layak -kendati kecil-, anak pertamanya malah
    berhasil masuk tes PNS di Mabes Polri kendati
    hanya dengan ijazah SMP. Anak-anaknya pun
    nyaris semua cukup disegani di lingkungannya, hal mana tidak demikian dengan anak-anak suaminya
    dari istri mudanya. Tahun 2002, rumah yang ia huni yang dibangun
    anak-anaknya pada tahun 1988, ambruk. Kondisinya
    memang telah reot. Anak-anaknya bukan tidak tahu,
    tapi mereka tidak memperbaikinya dalam kurun
    yang cukup lama itu disebabkan mereka dilarang
    oleh sang ayah -suami dari wanita ini- untuk memperbaiki. Laki-laki itu mungkin hatinya terbuat
    dari batu, tak juga bisa belajar dari kejadian-kejadian
    yang ia alami. Tahun 1988, saat anak terakhir dari
    istrinya berusia 10 tahun, ia kembali terpikat wanita
    lain; seorang janda muda dari kampung sebelah.
    Karena tak bisa menikah resmi, keduanya – entahlah, mungkin nikah di bawah tangan – tinggal
    serumah. Kali ini, wanitanya tak ‘sebaik’ dan
    sesabar’ dua istrinya terdahulu. Hartanya habis
    dalam bilangan tahun. Dan.. empat tahun kemudian,
    jabatannya sebagai kepala desa berakhir. Hidup
    dengan sisa-sisa kejayaan masa lalu, wanita muda ini tidak bertahan. Ia memilih pergi meninggalkan si
    lelaki yang kini tak lagi bisa mencukupi
    kebutuhannya. Lantas, seperti roda.. hidup berputar. Allah terus
    memperjalankan takdirnya yang tak terkata namun
    bagian dari hal paling tetap dan niscaya. Bukan
    karma. Lelaki ini menjalani hidupnya sendiri,
    menjadi buruh tani karena sawahnya telah habis
    terjual – dan tinggal di kesunyian rumahnya: tanpa anak dan istri. Sementara istrinya – si wanita ini –
    mulai merasai kebahagiaan dari hidup yang lebih
    layak, riang dipenuhi jeritan manja cucu-cucu dan
    rengekan mereka. Maka, meradanglah si lelaki saat
    anak-anaknya berniat membangun sebuah rumah
    untuk ibunya karena rumah yang kemarin rubuh. Tak hanya fitnah, teror pun dilangsungkan. Anak-
    anaknya tak menyerah, tetap berusaha membangun
    rumah itu karena memang sudah tidak bisa ditunda
    lagi. Dulu mereka menahan-nahan niat tersebut
    selama bertahun-tahun, dan sekarang tak bisa lagi. Tersebutlah, di suatu malam, si wanita – istrinya
    yang telah ditelantarkan itu – mendengar suara
    berisik ayam-ayam di kandang. Berjingkat, ia
    membuka pintu belakang rumah. Masih sempat
    sekilas ia melihat suaminya menaburkan sesuatu di
    sudut luar rumah. Kendati dalam remang, ia masih bisa mengenali bahwa sosok itu adalah suaminya.
    Paginya, tiba-tiba ia lumpuh. Tubuhnya lemah dan
    tak bisa berdiri. Orang-orang menduga itu teluh.
    Setelah dirawat beberapa saat di RS, alhamdulillah
    ia sembuh. Teror tak berhenti. Suaminya, secara
    terbuka, mendoakan agar kayu-kayu rumahnya keropos dimakan rayap. Dan doanya terkabul, tapi
    kali ini bukan pada rumah si wanita, melainkan
    rumahnya sendiri. Beberapa waktu kemudian ia
    mengancam akan membakar rumah itu, dan sekali
    lagi, rencana itu kendati bukan dia – terlaksana.
    Juga bukan pada rumah si wanita, melainkan rumahnya sendiri. Karena lupa memadamkan api di
    tungku, rumah belakangnya terbakar. Itu semua
    belum berakhir. Dalam kesendirian yang diliputi rasa
    dengki dan iri, ia mendoakan agar si wanita ini
    diserang penyakit. Dan lagi.. doanya terkabul, juga
    bukan untuk si wanita, tapi untuk dirinya sendiri. Tiba-tiba, orang-orang menemukan lelaki itu tak bisa
    bicara dan sebelah tubuhnya lumpuh. Ia terserang
    stroke untuk pertama kali yang sekaligus masuk
    dalam stadium kritis. Anak-anaknya membawanya
    ke rumah sakit. Dan.. kejadian hari itu adalah bak
    sebuah drama nyata. Sebuah babak yang luar biasa indah saat si wanita -dengan langkah ragu dan
    bergetar, sebagian oleh sisa perjalanan yang
    membuatnya mabuk darat-menjenguk bekas
    suaminya yang tergolek di rumah sakit. Ada
    pancaran iba dan kasih yang tulus saat ia meraba,
    mengusap, dan bertanya tentang kabar dengan terbata-bata. Mesra sekali saat ia memijit kaki lelaki
    itu. “Piye rasane, Mbah?” tanyanya dengan panggilan
    mesra. Mbah? Aduhai, nyaman sekali. Saat belum punya
    anak, ia memanggil lelaki ini dengan sebutan
    ‘Kakang,’ saat sudah punya anak dengan sebutan
    ‘Pak’, dan saat telah dianugerahi cucu demikian
    banyak, ia memanggilnya ‘Mbah’ Gemetar, tangan kiri lelaki ini – karena tubuh bagian
    kanannya lumpuh-menggenggam tangan renta yang
    mengusap keningnya, seakan ia menikmati belaian
    lembut tersebut dan menahannya sesaat agar
    jangan terlalu cepat sirna. Kendati pandangannya
    dibuang ke sisi lain menghindari wajah – bekas- istrinya ini, ia tak bisa mengingkari ada lautan maaf
    dan cinta yang telah menggelombanginya.
    Melihatnya, saya tak kuasa menahan isak. Seperti
    lelaki itu, tangis saya cekat di kerongkongan
    sementara air mata sudah berbondong-bondong
    menitik tanpa bisa dicegah lagi. Sesak sekali dada saya oleh rasa haru yang menekan-nekan. Ya.. melihat wanita ini, saya seperti tenggelam
    dalam laut kesabaran. Dan.. dialah wanita tercantik
    yang pernah saya jumpai di dunia ini. Dia.. tak lain
    adalah ibu saya. Ya Tuhan.. ampunilah dosanya,
    maafkanlah kesalahannya dan kasihilah dia
    sebagaimana ia mengasihi kami dalam suka dan duka.
  • Di taman bunga perumahan green garden tempat
    tinggal Rima, ada banyak peri-peri kecil yang hidup
    di sekitar bunga-bunga yang berwarna – warni.
    Mereka tidak terlihat oleh kasat mata manusia,
    karena mereka sangat kecil sekali, dan pandai
    menyamarkan warna baju mereka menyerupai warna kelopak dan mahkota bunga yang ia tinggali. Di
    sekitar tanaman bunga mawar merah, ada peri-peri
    yang berbaju merah menyerupai mahkota bunga
    mawar merah. Disekitar bunga melati, hidup peri-peri
    yang bajunya menyerupai kelopak bunga melati. Di
    sekitar bunga terompet ungu hidup peri-peri bunga berbaju menyerupai bunga terompet ungu. Namun, si Rosy peri bunga mawar merah ia sedang
    jahil dan bosan dengan kostum bajunya. Akhirnya ia
    mempoles baju dan sayapnya menjadi warna warni,
    yang seharusnya berwarna merah dan hijau seperti
    bunga mawar. “Aku bosan memakai baju merah dan hijau, aku mau mengecat bajuku dan sayapku
    ahhh… dengan pewarna bunga-bunga yang
    berwarna-warni itu. Biar terlihat cerah dan tidak
    membosankan.” Kata si Rosy. Suatu hari sepulang dari sekolah, Rima yang masih
    duduk di bangku sekolah dasar ingin memberi
    kejutan kepada neneknya yang sedang berulang
    tahun pada hari itu. “Hari ini nenek ulang tahun, aku belum punya kado untuknya. Mmmm.. kira-kira apa
    ya, kado untuk nenek…” pikirnya dalam hati sambil berjalan pulang melewati taman-taman bunga di
    sekitar rumahnya . “Ahh.. aku kasih bunga mawar aja ah.. itu di taman banyak sekali bunga mawar
    yang sedang bermekaran. Pasti nenek suka, karena
    harum dan cantik bunga nya.” Rima mendekati taman bunga di sekitar perumahannya yang terdiri
    dari sederatan bunga mawar merah. Dan seketika itu, Rima melihat si Rosy peri bunga
    mawar yang sedang terbang di sekitar tanaman
    bunga mawar merah. Walau kecil, namun Rosy
    mencolok warna dengan kostum barunya yang
    warna-warni. “Ihhh apa itu?!! Heyy,,kamu peri ya? Aku tangkap kamu. Aku tangkap,… upss upss
    yahhh… Heyy… jangan terbang.” “Ahhhhh,,,,legaaa…lega….hampir saja. Hampir saja
    aku akan ditangkap oleh bocah SD itu. Aku
    kapokkk.. Aku harus cuci di kolam itu agar smua
    warna-warni polesan ini luntur oleh air dan kembali
    ke warna semulaku.” Ujar di Rosy Akhirnya Rima si bocah SD itu pulang dengan
    beberapa tangkai bunga mawar merah di tangannya,
    untuk diberikan kepada neneknya yang sedang
    ulang tahun. Dan Rosy, si peri bunga menyesal atas
    kecerobohannya, ia tidak akan pernah mencoba
    memoles badannya lagi dengan warna-warna yang mencolok mata. Karena anak-anak pasti akan
    mengetahui keberadaannya dan menangkapnya.
  • Sang Guru sedang berjalan-jalan ketika seorang
    laki-laki terburu-buru keluar dari sebuah lorong pintu.
    Keduanya bertubrukan dengan keras. Orang itu marah-marah dan mengeluarkan kata-kata
    kasar. Sang Guru sedikit membungkuk, tersenyum dan
    berkata, “Sahabatku, saya tidak tahu siapakah di
    antara kita yang bertanggung jawab atas
    ‘perjumpaan’ ini, tetapi saya tidak mau membuang-
    buang waktu untuk menyelidiki. Jika saya
    menabrakmu, saya minta maaf; jika kamu yang menabrak saya, tak apa-apa.” Kemudian, ia tersenyum dan membungkuk lagi, lalu
    meneruskan perjalanannya
  • Dikisahkan pada hari pembalasan kelak, ada
    seorang hamba Allah yang sedang diadili. Ia dituduh bersalah, menyia-nyiakan sepanjang hidupnya di dunia hanya untuk berbuat maksiat. Tetapi ia bersikeras membantah. “Tidak. Demi langit dan bumi sungguh tidak benar.
    Saya tidak melakukan semua itu.”
    “Tetapi saksi-saksi mengatakan engkau betul-betul
    telah menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam dosa,” jawab malaikat. Orang itu menoleh ke kiri dan ke kanan, lalu ke segenap penjuru. Tetapi anehnya, ia tidak menjumpai seorang saksi pun yang sedang berdiri. Di situ hanya ada dia sendirian. Makanya ia pun menyanggah, “Manakah saksi-saksi yang kau maksudkan? Disini tidak ada siapa kecuali aku dan
    suaramu.”
    “Inilah saksi-saksi itu,” ujar malaikat.
    Tiba-tiba mata nya angkat bicara, “Saya yang memandangi.” Disusuli oleh telinga, “Saya yang mendengarkan. “ Hidung pun tidak ketinggalan, “Saya yang mencium.” Bibir mengaku, “Saya yang merayu.” Lidah menambah, “Saya yang mengisap.” Tangan meneruskan, “Saya yang meraba dan meremas.” Kaki menyusul, “Saya yang dipakai lari ketika ketahuan.”
    “Nah kalau kubiarkan, seluruh anggota tubuhmu
    akan memberikan kesaksian tentang perbuatan
    aibmu itu”, ucap malaikat. Orang tersebut tidak dapat membuka sanggahannya lagi. Ia putus asa dan amat berduka, sebab sebentar lagi bakal dimasukkan ke dalam api jahanam. Padahal rasa-rasanya ia telah terbebas dari tuduhan dosa itu. Tatkala ia sedang dilanda kesedihan itu, sekonyong- konyong terdengar suara yg amat lembut dari selembar bulu matanya:“Saya pun ingin juga mengangkat sumpah sebagai saksi.” “Silakan”, kata malaikat. “Terus terang saja, menjelang ajalnya, pada suatu tengah malam yg lengang, aku pernah dibasahinya dengan air mata ketika ia sedang menangis menyesali perbuatan buruknya. Bukankah nabinya pernah berjanji, bahwa apabila ada seorang hamba kemudian bertaubat, walaupun selembar bulu matanya saja yang terbasahi air matanya, namun sudah diharamkan dirinya dari ancaman api neraka?
    Maka saya, selembar bulu matanya, berani tampil
    sebagai saksi bahwa ia telah melakukan taubat
    sampai membasahi saya dengan air mata
    penyesalan.” Dengan kesaksian selembar bulu mata itu, orang tersebut di bebaskan dari neraka dan diantarkan ke syurga. Sampai terdengar suara bergaung kepada para penghuni syurga: Hamba Tuhan ini masuk syurga karena pertolongan selembar bulu mata.
    Kematian mengingatkan kita pada bekal amal yang
    akan kita bawa pada kenikmatan abadi. Dan
    kematian datangnya pun tak di duga-duga. Sungguh, yang singkat itu adalah w
  • Semua dimulai dari impianku. Aku ingin menjadi astronot. Aku ingin terbang ke luar angkasa. Tetapi aku tidak memiliki sesuatu yang tepat. Aku tidak memiliki gelar. Dan aku bukan seorang pilot. Namun, sesuatu pun terjadilah. Gedung putih mengumumkan mencari warga biasa
    untuk ikut dalam penerbangan 51-L pesawat ulang- alik Challanger. Dan warga itu adalah seorang guru. Aku warga biasa, dan aku seorang guru. Hari itu juga aku mengirimkan surat lamaran ke Washington. Setiap hari aku berlari ke kotak pos. Akhirnya datanglah amplop resmi berlogo NASA. Doaku terkabulkan! Aku lolos penyisihan pertama. Ini benar-benar terjadi padaku. Selama beberapa minggu berikutnya, perwujudan impianku semakin dekat saat NASA mengadakan test fisik dan mental. Begitu test selesai, aku menunggu dan berdoa lagi. Aku tahu aku semakin dekat pada impianku. Beberapa waktu kemudian, aku menerima panggilan untuk mengikuti program latihan astronot khusus di Kennedy Space Center. Dari 43.000 pelamar, kemudian 10.000 orang, dan kini aku menjadi bagian dari 100 orang yang berkumpul untuk penilaian akhir. Ada simulator, uji klaustrofobi, latihan ketangkasan, percobaan mabuk udara. Siapakah di antara kami yang bisa melewati ujian akhir ini? Tuhan, biarlah diriku yang terpilih, begitu aku berdoa. Lalu tibalah berita yang menghancurkan itu. NASA memilih Christina McAufliffe. Aku kalah. Impian hidupku hancur. Aku mengalami depresi. Rasa percaya diriku lenyap, dan amarah menggantikan kebahagiaanku. Aku mempertanyakan semuanya.
    Kenapa Tuhan? Kenapa bukan aku? Bagian diriku yang mana yang kurang? Mengapa aku diperlakukan kejam? Aku berpaling pada ayahku. Katanya, “Semua terjadi karena suatu alasan.” Selasa, 28 Januari 1986, aku berkumpul bersama teman-teman untuk melihat peluncuran Challanger. Saat pesawat itu melewati menara landasan pacu, aku menantang impianku untuk terakhir kali. Tuhan, aku bersedia melakukan apa saja agar berada di dalam pesawat itu. Kenapa bukan aku? Tujuh puluh tiga detik kemudian, Tuhan menjawab semua pertanyaanku dan menghapus semua keraguanku saat Challanger meledak, dan menewaskan semua penumpang. Aku teringat kata-kata ayahku, “Semua terjadi karena suatu alasan.” Aku tidak terpilih dalam penerbangan itu, walaupun aku sangat menginginkannya karena Tuhan memiliki alasan lain untuk kehadiranku di bumi ini. Aku memiliki misi lain dalam hidup. Aku tidak kalah; aku seorang pemenang. Aku menang karena aku telah kalah. Aku, Frank Slazak, masih hidup untuk bersyukur pada Tuhan karena tidak semua doaku dikabulkan
  • Seorang petani dan istrinya bergandengan tangan
    menyusuri jalan sepulang dari sawah sambil diguyur
    air hujan.Tiba-tiba lewat sebuah motor didepan mereka. Berkatalah petani kepada istrinya,”Lihat
    Bu,betapa bahagianya suami istri yang naik motor
    itu meski mereka kehujanan,tapi mereka bisa cepat
    sampai dirumah tidak seperti kita yg harus lelah
    berjalan untuk sampai kerumah.” Sementara itu pengendara motor dan istrinya yg sedang berboncengan dibawah derasnya air hujan
    melihat sebuah mobil pick up lewat didepan mereka.
    Pengendara motor itu berkata kepada istrinya,”Lihat Bu, betapa bahagianya orang yg naik mobil itu,
    mereka tidak perlu kehujanan seperti kita.” Didalam mobil pick up yg dikendarai sepasang
    suami istri terjadi perbincangan ketika sebuah sedan
    Mercy lewat,”Lihatlah Bu, betapa bahagia orang yg
    naik mobil bagus itu, pasti nyaman dikendarai tdk
    spt mobil kita yg sering mogok.” Pengendara mobil Mercy itu seorang pria kaya, dan
    ketika dia melihat sepasang suami istri yg berjalan
    bergandengan tangan dibawah guyuran air hujan,
    pria kaya itu berkata dlm hati,”Betapa bahagianya
    suami istri itu,mereka dgn mesranya berjalan
    bergandengan tangan sambil menyusuri indahnya jalan di pedesaan ini, sementara aku & istriku tdk
    pernah punya waktu utk berduaan karena kesibukan
    masing-masing.” Kebahagiaan takkan pernah kita miliki jika kita
    hanya melihat kebahagiaan milik orang lain, dan
    selalu membandingkan hidup kita dengan hidup org
    lain. Bersyukurlah senantiasa atas hidup kita, supaya
    kita tahu dimana kebahagiaan itu berada.
  • Anak perempuan berusia delapan tahun, Sylvia dari sebuah desa di Tanzania bertekad kuat untuk
    mendapatkan pendidikan dan setiap hari harus
    berjalan kaki setengah jam dengan melalui rintangan yang berbahaya untuk sampai ke sekolah. Ia berasal dari keluarga miskin yang membeli sepasang sepatu saja tidak mampu. Tetapi dia masih beruntung dibandingkan 29 juta anak lain yang putus sekolah di Afrika. Ibu Sylvia menikah lagi saat ia masih muda setelah
    ayahnya meninggal dunia. Keluarganya tinggal di
    tengah lahan pertanian, lebih 300km dari kota
    utama, Dar el Salaam. Ayah tirinya mungkin menganggap pengeluaran sekolah Sylvia untuk membeli buku dan seragam sebagai beban tetapi Sylvia merasa bahwa ini akan memberikan dampak positif untuk jangka panjang bagi keluarganya. Ia mengatakan bahwa cita-citanya adalah menjadi
    seorang guru. Jarak sekolah Sylvia dari rumahnya adalah 7km.
    Saat menuju jalan raya hanya dengan sepasang
    sandal jepit Sylvia harus melintasi semak belukar
    yang menggores dan melukai kakinya. Selain itu dia harus menemukan rute yang aman dari ular dan bahaya lainnya. Di tengah hawa panas yang kering Sylvia melanjutkan perjalanan di jalan berdebu yang dilalui kendaraan-kendaraan berat. Sementara saat musim hujan jalan itu hampir tidak mungkin dilalui karena berlumpur, ia bahkan sesekali harus melalui genangan air yang cukup dalam karena kurangnya saluran pembuangan. Jika ia ingin menghindari lalu lintas yang berbahaya di jalan raya, ia harus berjalan di sepanjang rel kereta api yang tentu saja berbahaya. Ancaman lain adalah penculikan yang dilakukan dengan cara menawarkan tumpangan kepada anak-anak sekolah. Ibunya selalu menyarankan untuk mengambil jalan lain di dekat jalan raya. Tetapi semakin ia dewasa daerah ini menjadi lebih berbahaya karena remaja perempuan bisa menjadi sasaran perkosaan. Jalur
    ini dilalui oleh beberapa tahanan dari penjara
    terbesar di daerah itu yang harus bekerja di ladang dekat sekolah Sylvia tiga bulan sebelum
    dibebaskan. "Meskipun saya tidak menikmati perjalanan ke sekolah dan kadang-kadang saya merasa takut, saya akan melakukan apa pun untuk mendapatkan pendidikan yang bagus," ujarnya kepada Plan International, lembaga swadaya masyarakat yang memberikan bantuan untuk sekolahnya.
  • Suatu hari, ada seorang gadis yang baru saja putus cinta dan sedang menangis di tengah taman nan indah. Beberapa saat kemudian, melintas seorang kakek dan menghampirinya :
    Kakek : "Kenapa kamu menangis oh gadis anggun?"
    Gadis : "Aku merasa sangat sedih Kek, mengapa dia meninggalkanku?"
    Kakek : Tersimpul senyum kecil, lalu kakek berkata "Kamu bodoh sekali Nak"
    Gadis : "Kenapa Kakek berkata seperti itu?! Kenapa Kakek seolah justru menghinaku? Aku sangat sedih karena putus cinta. Biarlah kalau Kakek tak ingin menghiburku, tapi jangan katakan
    aku seperti itu! Karena Kakek justru membuat aku merasa sangat hina!"
    Kakek : "Kamu bodoh. Kenapa kamu harus bersedih? Karena yang seharusnya sedih adalah dia!"
    Gadis : "Loh, kenapa dia yang harus bersedih? Kan dia yang memutuskan aku"
    Kakek : "Iya, karena kamu hanya kehilangan orang yang tidak mencintaimu. Tetapi dia, dia telah kehilangan orang yang telah mencintainya dengan tulus"
    Gadis : "Tapi ntah kenapa aku sangat merasa sedih dan kehilangan dirinya Kek"
    Kakek : "Apakah dengan bersedih dia akan kembali padamu? Apakah dia akan mencintaimu karena mengalirnya tetesan air matamu? Bersabarlah dan yakinlah Nak, bahwa sebenarnya cinta yang benar-benar indah sedang menantimu di depan sana.."
  • kisah tentang ibuku itu bagus sekali ...
  • Thx om lulu
  • Hari ini, ketika saya hendak berangkat
    kekantor seperti biasanya, saya merasa
    sangat berat untuk bangun dari tempat tidur.
    Apalagi ini adalah hari Senin dimana hari yang
    paling sangat tidak saya sukai. Bukan karena
    ada hal tidak menyenangkan – memang ada beberapa sih – tapi mengingat pekerjaan yang
    menumpuk menunggu sudah membuatku
    kehilangan mood.


    Lalu tiba-tiba saya melompat bangun, saya
    teringat hal yang menyenangkan. Tanpa
    menunda sedetikpun saya langsung
    membersihkan muka dan mandi seperti
    biasanya. Setelah itu saya langsung meluncur
    kesebuah cafe sederhana dekat kantor dimana saya bekerja.


    Tahukah apa hal menyenangkan itu? Ketika
    saya masuk kecafe sederhana ini, saya –
    semua pelanggan – akan disuguhkan sebuah
    pelayanan yang sangat ramah dan
    menyenangkan. Sebuah senyuman.


    Ya, saya tahu itu memang hanya sebuah
    senyuman. Tetapi senyuman yang TULUS
    dan dari HATI itu selalu bisa mencairkan
    perasaan yang beku oleh dinginnya kemarin
    malam. Cafe inilah terutama senyuman para
    pelayan dan pemiliknyalah yang membuat saya tidak bosan untuk berangkat kerja.
  • Hari ini, ada seorang pembeli datang membei
    sesuatu dari toko kami. Setelah melihat-lihat
    dan tertarik ia pun bertanya harganya. Lalu
    kami memberikan harga pas karena toko kami
    sedang promo.



    Ketika mendengar harga yang kami berikan,
    ia mengernyitkan dahi. Lalu kami bertanya
    mengapa dan jawabannya bahwa harga kami
    lebih mahal dibandingkan toko sebelumnya
    yang dia kunjungi.



    Mendengar hal itu kami hanya tersenyum dan
    menawarkan dengan TULUS agar dia
    membelinya ditoko sebelumnya karena lebih
    murah. Mendengar hal itu ia mengernyitkan
    dahi lagi dan berkata, “Mengapa kamu justru
    memintaku membeli disana? Bukankah seharusnya kamu menyakinkanku untuk
    membeli ditempatmu?”.



    Mendengar pertanyaanya itu, kami hanya bisa
    tersenyum dan berkata, “Karena kami ingin
    yang terbaik bagi konsumen kami sekalipun
    itu kami harus merekomendasikannya
    membeli ditempat pesaing kami. Kami tidak
    ingin konsumen rugi”.



    Setelah mendengar jawanban kami, ia terlihat
    tersenyum sangat manis. Lalu dia langsung
    membeli produk kami yang sudah lebih mahal
    plus barang lainnya. Awalnya kami masih
    memintanya berpikir ulang, tetapi jawabannya
    membuat kami salah tingkah dengan wajah merona merah.



    “Aku justru merasa barang ini sangatlah
    murah jika dibandingkan pelayanan dan
    kepedulian pada konsumen yang kalian
    berikan. Aku mungkin membayar sedikit
    mahal untuk produk yang sama, tapi aku
    justru mendapatkan harga yang sangat murah dengan pelayanan yang ada”
Sign In or Register to comment.