BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Mari Berbagi Kisah Inspiratif

1434446484998

Comments

  • “Bolehkah aku meminta sepotong kuemu?”, tanya
    seorang anak jalanan pada seorang anak didepan
    gerbang sekolah. Rambutnya kusut dan bajunya
    kumuh. Tubuh dan wajahnya basah oleh cucuran
    keringatnya. “Siapa kamu? Kok minta kueku?”,
    tanya anak berseragam sekolah. Dari logo diseragamnya yang bergambar burung elang dengan
    perisai dikakinya mengatakan bahwa anak ini
    berasal dari sekolah kelas atas. “Aku hanyalah anak jalanan, aku lapar. Bolehkah
    aku meminta sepotong kuemu?”, tanya anak jalanan
    ini lagi tersenyum ramah sambil tetap mengulurkan
    tangannya berharap sepotong kue itu akan
    diletakkan diatas telapak tangannya yang terlihat
    banyak bekas luka. “Tidak mau. Pergi kamu. Kamu bau dan jelek”,
    teriak anak dari sekolah elit ini langsung berlalu. “Terimakasih, semoga Tuhan memberkatimu”, jawab
    anak jalanan ini menundukkan kepala seperti
    memberi hormat. Lalu dia berjalan keanak lainnya
    yang sedang makan dan mengulangi hal yang
    sama. Tetapi selalu ditolak dan dia juga selalu
    mengucapkan kata yang sama. “Terimakasih, semoga Tuhan memberkatimu”. Ketika hendak meminta pada anak lain yang sudah
    entah keberapa, seorang anak dari sekolah yang
    sama yang mengikutinya sejak tadi memanggilnya,
    “Hei teman, ambil punyaku saja”, sambil
    memberikan roti isi dua buah. Melihat hal itu, anak
    jalanan ini langsung berlutut dan menyembahnya. “Terimakasih, terimakasih…, terimaka….”, suaranya
    tertahan karena isaknya. Air matanya menetes
    membasahi jalanan dimana ia berlutut menyembah.
    Anak yang memberinya roti ini hanya terdiam
    bingung dengan apa yang dilakukan anak jalanan
    ini. “Terimakasih banyak…, Tuhan memberkatimu…”, katanya menyembah sekali lagi. Lalu dia berdiri, sebelum pergi, dia melihat anak
    yang memberinya roti ini dan bertanya, “Rotinya ada
    dua, bolehkah aku berbagi dengan saudaraku?”,
    dengan senyuman yang sangat indah meminta ijin.
    Anak yang memberinya roti ini membalas
    senyumannya dengan senyuman yang tidak kalah indah. “Iya…”. “Terimakasih…, Tuhan memberkatimu…”, lalu ia
    berlari kecil pergi. Tidak jauh dari situ, ternyata ia
    memberikan rotinya pada seorang anak perempuan
    kecil. Terlihat anak perempuan kecil itu tertawa
    senang sekali dan memakannya dengan lahap. Lalu roti satunya dia potong dua, setengahnya dia
    makan, setengahnya dia berikan pada seekor anjing
    tua yang sejak tadi menemani anak perempuan tadi
    bermain. Ternyata, maksud dari “saudaraku” anak
    jalanan ini adalah anjing tua itu yang telah
    menemani dan menjaga mereka sekian tahun lamanya setelah orang tua mereka tiada. Anak yang memberinya roti melihat hal itu dengan
    mata berkaca-kaca. Lalu datang seorang pria
    dewasa menghampirinya. “Mengapa kamu
    memberikan roti itu pada mereka? Bukankah itu
    makan siangmu dan merupakan roti kesukaanmu?”,
    tanya pria dewasa ini dengan senyuman ramah. Dipeluknya pria dewasa ini dengan erat. Jawabnya. “Ayah, sebelum mama pergi kesurga, mama
    berpesan padaku agar selalu berbagi dengan apa
    yang kita punya. Aku diberkati oleh Tuhan dengan
    berkecukupan. Bisa sekolah. Bisa makan sehari
    lebih dari yang kumau. Sedangkan anak itu,
    meminta makan sehari saja susah”. “Dan aku terkejut ketika tadi aku mengikutinya,
    sekalipun ditolak dan dijelekan, ia tetap
    mengucapkan terimakasih dan mendoakan mereka.
    Aku hanya memberinya dua roti, tapi dia
    menyembahku seperti raja penyelamat nyawanya.
    Aku selalu diajarkan untuk berbagi, tetapi ia mengajarkanku betapa indahnya berbagi
  • Suatu hari, ada dua ekor kucing yang sedang
    berdebat. Yang satu berpostur besar dan bulunya
    berwarna hitam pekat. Yang satu berpostur kecil
    dan bulunya berwarna keabuan. “Tidak! Aku tidak akan bisa menerima ide bunuh
    dirimu yang mencari makanan direstoran mewah
    didepan sana. Apakah kamu tidak sadar sudah
    berapa banyak saudara kita yang pulang dengan
    bekas luka ditubuhnya? Bahkan beberapa
    kehilangan anggota tubuhnya”, jawab kucing berbulu hitam sinis. “Tetapi apakah kamu tidak bosan dengan keadaan
    kita sekarang? Yang bertahun-tahun tidak ada
    perubahan dan makin menyedihkan? Untuk
    mendapatkan makanan saja kita harus menunggui
    sampah yang dibuang dan mengalir kesungai ini”,
    balas kucing berbulu keabuan. “Haha…, apa yang kamu harapkan? Mencari makan
    kerestoran mewah didepan sana dengan
    mempertaruhkan nyawa? Menurutku itu bukan saja
    ide yang gila, kamu mungkin juga sudah gila”. “Saudaraku, kita DILAHIRKAN untuk seperti ini
    selamanya. Kita TIDAK AKAN BISA mengubahnya.
    Jika kita pantas untuk makan direstoran mewah
    tersebut, mengapakah DIA menempatkan kita disini
    sejak dari kecil dulu?”. “Terima sajalah. Kita sudah sangat beruntung bisa
    mencari makan disini tanpa perlu bersusah payah,
    yang perlu kita lakukan hanyalah menunggu dan
    bergerak cepat ketika ada makanan lewat”, jawab
    kucing berbulu hitam ini sambil berlalu. Dengan kepala tertunduk lesu, kucing berbulu
    keabuan ini pasrah. Apa yang dikatakan temannya
    memang ada benarnya juga. Tetapi, hati kecilnya
    juga melawan seakan menasehatinya. Lalu kucing
    berbulu keabuan ini mengambil keputusan, ia pergi
    menemui para pendahulunya yang pernah kerestoran mewah. “Ya, manusia sangat jahat disana. Lihat ekorku
    yang terputus ini, itu karena mereka tidak menyukai
    kita. Aku sudah sangat beruntung bisa selamat dari
    sana dan kembali hidup-hidup. Saranku padamu,
    jangan pernah kesana sekalipun kamu tidak sayang
    nyawa”. “Kamu mau kesana? Hahaha…, Apa aku tidak salah
    dengar? Coba lihat bekas ditubuhku ini, menurutmu
    ini sebuah kebanggaan aku kehilangannya? Buang
    jauh-jauh pikiran itu anak muda”. “Hanya satu permintaanku padamu teman. Jangan
    pernah kesana. Itu bukan untuk kita. Itu untuk
    mereka yang beruntung saja. Kita tidak akan bisa”. Itulah jawaban-jawaban pesimis yang dilontarkan
    kucing lainnya ketika ditanya bagaimana cara
    kerestoran mewah impian kucing keabuan ini.
    Semakin mendengar, semakin putus asa kucing
    keabuan ini. Karena memang telah kehilangan semangatnya
    dengan segala kebenaran yang dikatakan saudara-
    saudaranya lainnya, kucing berbulu keabuan ini
    mengambil keputusan terakhir. Ia akan bertanya
    pada satu kucing lain lagi. Tapi tidak pada kucing
    yang pulang gagal kemari, tetapi mereka yang pernah menikmati disana walaupun cuma sekali. Kucing berbulu keabuan inipun teringat akan satu
    ekor kucing tua yang tinggal disebuah rumah mewah
    bersama seorang nenek tua. Lalu iapun bergegas
    kesana dan ingin menyelinap kesana sekalipun
    cuaca malam itu hujan lebat dan gelap. “Catherine, aku pernah dengar kamu sekali tinggal
    direstoran mewah didepan disana dulu. Apakah
    benar? Bagaimana caranya?”, Tanya kucing
    keabuan ini pada kucing berbulu putih tua dengan
    bola mata biru tersebut seperti memohon. “Hihi…, mengapa kamu tanya padaku? Bukankah
    aku dicap gila oleh kumpulanmu disana? Mengapa
    kamu tidak bertanya pada mereka yang lebih
    berpengalaman menurut mereka sendiri?”, Tanya
    kucing tua ini yang bernama Catherine sambil
    tertawa kecil. “Aku sudah bertanya pada mereka…, dan mereka
    semua mengatakan aku gila…”, jawab kucing
    keabuan ini tertunduk lemah. “Hihi…, melihatmu yang sekarang justru
    mengingatkanku waktu muda dulu. Aku juga
    kehilangan semangat sepertimu. Tetapi anak muda,
    ini saranku, PERGILAH KESANA dan lakukan apa
    yang terbalik dari yang dilakukan mereka yang
    mengatakan kamu gila. Plus dengarkan satu nasehatku ini”, jawab Catherine lalu membisikinya
    sesuatu. “Ooooh…, begitu ya”, teriak kecil kucing berbulu
    keabuan ini menjadi bersemangat. Setelah berterimakasih, maka berangkatlah kucing
    berbulu keabuan ini kerestoran mewah yang sudah
    lama diimpikannya. ….. Setelah bertahun-tahun kemudian, kembalilah
    kucing berbulu keabuan ini mengunjungi Catherine.
    Cahterine yang melihatnya hanya tersenyum. Tanpa
    perlu berkata apa-apa Catherine tahu bahwa “anak
    didiknya” ini telah berhasil. Tubuhnya tinggi tegap. Bulunya halus berkilaun
    terawat. Pandangan matanya tajam. Jalannya lincah
    dan penuh semangat. “Hihi…, Selamat datang kembali anak muda,
    melihatmu yang sekarang, aku yakin kamu telah
    belajar banyak. Petualangan apa saja yang bisa
    kamu bagikan padaku sebagai pengantar tidurku?
    Hihi…”, sapa Catherine ramah. Kucing berbulu keabuan ini merebahkan tubuhnya
    disamping Catherine yang telihat sudah lemah.
    Diciumnya kening Catherine. Lalu mulailah ia
    bercerita. “Ketika pertama kali aku sampai disana, aku begitu
    kelelahan dan lapar. Aku rasanya ingin masuk
    kerestoran itu dan mengambil makanan untuk
    mengisi perutku. Tetapi aku tidak melakukannya
    karena teringat nasihatmu”. “Kamu berkata padaku agar, JANGAN MENCURI
    atau MENGAMBIL APA YANG BUKAN MILIKMU”. “Dengan menahan lapar, aku mengais tong sampah
    dibelakang restoran dan memakan seadanya.
    Setelah selesai, aku mengikuti nasehatmu. Aku
    duduk berjaga didepan pintu belakang restoran”. “Hari pertama aku diusir oleh seorang koki tua
    sambil memakiku. Hari kedua juga sama hingga
    berminggu-minggu lamanya. Hingga pada minggu
    keberapa aku lupa, aku diberikan semangkok kecil
    susu segar. Koki tua yang awalnya mengusirku
    tersenyum ramah membelai kepalaku dan berlalu”. “Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari yang indah.
    Semangkuk kecil susu segar menjadi semangkuk
    besar plus makanan restoran yang telah lama
    kuimpikan. Selanjutnya aku diberikan keranjang
    tidur yang ditempatkan didapur dekat jendela”,
    kenang kucing berbulu keabuan ini tersenyum. “Hihi…, Sekarang?”, Tanya Catherine dengan mata
    terlihat sayu seakan hendak tidur. Kucing berbulu
    keabuan ini mencium keningnya lagi. Lanjutnya. “Sekarang aku ditempatkan ditempat yang sangat
    nyaman. Disebuah rumah mewah dengan teman
    baikku yang memberiku banyak nasehat indah pada
    dulunya. Dengan perawatan terbaik, makanan
    terbaik dan penuh belaian kasih sayang sang tuan
    rumah”. “Akhirnya aku mengerti arti perkataanmu dulu.
    Melakukan terbalik apa yang dilakukan oleh
    kumpulanku”. “Dulu, mereka melakukan apa saja untuk
    mendapatkan makanan disana. Dan yang sering
    mereka lakukan adalah MENCURI dan
    MENGAMBIL apa yang bukan milik mereka. Dan
    tentu saja pemiliknya akan marah dan
    memperlakukan kita sepantas kita mendapatkannya”. “Nasehatmu yang dulu kamu bisikkan padaku agar
    aku BERSABAR, BERSABAR, BERUSAHA dan
    SELALU BERJAGA dibelakang pintu restoran
    akhirnya aku tahu apa maksudnya. Kamu ingin
    mengajarkan padaku untuk selalu MELIHAT
    PELUANG dan MENCIPTKAN KESEMPATAN”. “Ternyata, didapur banyak tikus yang berkeliaran.
    Dan bagi sebuah restoran kelas mewah, kehadiran
    tikus bisa merusak reputasinya. Karena itu, kamu
    memberiku saran dan nasehat aku selalu berjaga
    disana”. “Ketika untuk pertama kalinya aku menangkap
    seekor tikus, aku mengikuti saranmu dengan
    mengeong keras-keras supaya koki yang disana
    keluar dan melihat. Saat itu aku begitu ketakutan
    sekali akan diusir dan dipukuli. Tetapi, yang
    kudapatkan malah semangkuk kecil susu segar”. “Kamu mengajarkanku agar selalu BERSABAR dan
    BERUSAHA, selalu MELIHAT PELUANG dan
    MENCIPTAKAN KESEMPATAN. Dan sisanya aku
    yang mengambil keputusan”. “Terimakasih Catherine…”, kecup kucing berbulu
    keabuan ini. “Hihi…, bukan aku yang membuatmu menjadi hari
    ini, tapi KEPUTUSANMU waktu dulu dan
    MENGAMBIL TINDAKAN LANGSUNG. Apa yang
    kamu dapatkan hari ini adalah keputusan yang
    kamu ambil kemarin”. “Dan ini nasehat terakhirku padamu anak muda,
    ketika kamu ragu dengan impianmu, CARILAH dan
    BERTANYALAH pada tempat yang tepat dengan
    PERTANYAAN YANG TEPAT”. “Ketika kamu bertanya pada kumpulanmu dulu,
    kamu mendapatkan jawaban yang berbeda dengan
    jawabanku bukan? Sesungguhnya, kamu telah
    bertanya pada tempat yang tidak tepat”. “Aku dan mereka memang pernah kesana mencoba
    meraih impian yang sama. Tetapi aku MENETAP
    DISANA, sedangkan mereka pulang dengan
    kegagalan dan menciptakan “kebenaran” yang
    sangat berbeda”. “Pertanyaan yang tepat juga berpengaruh besar
    pada keputusanmu. Ketika kamu bertanya
    BAGAIMANA MEWUJUDKANNYA, kamu
    mendapatkan JAWABAN untuk mencapainya.
    Tetapi ketika kamu bertanya MENGAPA TIDAK
    BISA, kamu juga mendapatkan JAWABAN mengapa tidak bisa”. “Impian yang sama, pertanyaan yang berbeda,
    menghasilkan JAWABAN YANG BERBEDA PULA”. Setelah memberi nasehat terakhirnya, Catherine
    tertidur pulas dengan senyuman yang puas. Aku
    tahu dia akan tertidur selamanya. Kukecup kening
    Catherine. Lalu aku mengeong-ngeong agar tuanku
    datang. Setelah membaringkan Cahterine ditempat istirahat
    terakhirnya, tuanku meninggalkan aku sendiri
    disana. Dia tahu aku baru saja kehilangan sahabat
    baikku yang telah mengajarkan aku banyak
    pelajaran hidup. Setelah beberapa lama, kulepaskan
    kalungku yang bertuliskan namaku disana sebagai tanda terimakasih dan sebagai bentuk
    penghormatan. Setelah beberapa lama, tuanku memanggilku
    pulang. Kupandangi sebentar peristirahatan terakhir
    sahabatku. “Selamat jalan Catherine, terimakasih atas semua
    pelajaran dan nasehat indah bijakmu dulu. Sekarang
    tugasku adalah meneruskan cita-citamu seperti
    yang kamu teruskan padaku”. “Bye Cahterine….”
  • Dengan wajah yang dibuat sedemikian rupa supaya
    menarik simpati yang melihatnya, aku meminta ijin
    pada dunia untuk mengeluh mengasihani diriku
    mengapa dunia begitu tidak adil padaku. Tetapi, belum sempat aku berkata sepatah-katapun,
    aku dikejutkan oleh suara seorang gadis kecil yang
    tiba-tiba hadir dihadapanku dan bertanya dengan
    suaranya yang ramah, “Tuan tidak apa-apa? Tuan
    kelihatannya kurang sehat”. Awalnya aku tersentil emosiku. Aku merasa
    mendapatkan korban untuk pelampiasan
    ketidakadilan dunia padaku, apalagi ini seorang
    anak gadis kecil, pasti mudah untuk melakukannya. “Tuan, ini ada bakpao sisa sedikit yang aku simpan
    tadi pagi. Tuan boleh mengambilnya, sepertinya
    tuan sakit dan lebih memerlukannya…”, lanjut gadis
    kecil ini sambil memberikanku sebuah bakpao sisa
    yang dibungkus rapi pada sebuah plastik. Aku terdiam tidak bisa berkata apa-apa. Pikiranku
    menjadi hampa. Aku yang secara sengaja ingin
    mencari korban melampiaskan amarahku atas
    ketidakadilan dunia ini dan ketidakpedulian sesama
    justru mendapatkan seseorang yang datang peduli
    padaku? “Hup…, aku duduk sebentar ya tuan…”, kata gadis
    kecil ini melompat keatas bangku dimana aku
    sedang duduk. “Hi~hi…”, ia tertawa kecil
    memandangiku dan terlihat manis sekali. Entah
    kenapa melihatnya yang tertawa seperti itu
    amarahku hilang seketika. “Nih tuan…, kita bagi dua aja bakpao ini. Tuan pasti
    merasa tidak enak kalau tuan sendiri yang makan
    bukan? Makanya tuan tidak mengambil
    bakpaoku…”, kata gadis kecil ini sambil
    memberikanku setengah sisa bakpaonya. Aku
    antara sadar dan tidak mengambil bakpao itu. “Hmm~mm…, enak sekali…”, gumam gadis kecil ini
    begitu menikmati bakpao dalam mulutnya. “Ayo
    cicipi dong tuan, enak lho…”, lanjutnya sambil
    tersenyum manis sekali. Akupun mencoba bakpao
    itu. Dan rasanya, aku tidak berani
    memuntahkannya. “Enakan tuan, walaupun sedikit keras…”, tanya
    gadis kecil ini tetap menikmati bakpaonya. Tiba-tiba
    aku merasakan ada cairan hangat membasahi
    pipiku. Aku melihat keangkasa, langit sedang cerah.
    Lalu kenapa pipiku wajah? Ternyata mataku
    mengeluarkan air mata. “Mengapa tuan menanggis? Bakpaoku kurang enak
    ya? Atau bakpaoku yang kurang?”, tanya gadis kecil
    ini sambil berdiri mengelap air mataku dengan
    sehelai kain bekas putih bersih yang dikeluarkan
    dari sakunya. “Maaf ya tuan, bakpaoku memang
    agak keras…”, lanjutnya dengan mata sayu seperti menyesal telah membuatku menanggis. “Ti…, tidak sayang, bakpao ini sangat enak, malah
    sangat enak…, paman menanggis karena baru kali
    paman memakan bakpao yang enak sekali…”,
    kataku pelan sambil menyibak rambutnya yang
    kusut. Kali ini aku tidak mengada-ada mengatakan
    bakpaonya enak, karena bakpao yang kumakan walaupun sama tetapi rasanya telah berbeda. Aku sendiri tidak tahu mengapa bakpaonya menjadi
    lebih enak, apakah karena bumbu yang
    ditambahkan dengan senyuman manisnya, ataupun
    bumbu karena ketulusan hatinya. Aku terus
    mengunyah dengan perasaan sangat lega. “Apa yang kamu lakukan disiang hari begini…?”,
    tanyaku sambil tersenyum. Jika bisa berkaca aku
    yakin ini adalah senyumku yang paling indah
    selama hidupku. “Apakah kamu tidak sekolah?”,
    lanjutku sambil meminta duduk dipangkuanku. “Tidak tuan, aku tidak sekolah. Mamaku sebenarnya
    ingin menyekolahkanku dan adikku. Tetapi uangnya
    tidak cukup, jadi aku meminta pada mamaku agar
    menyekolahkan adikku saja. Dan setelah pulang
    sekolah aku yang meminta adikku mengajar aku.
    Sekarang aku baru selesai membantu menjual bakpao buatan mama, hehehe…”, jawabnya polos
    sambil terus menikmati bakpaonya. “Lho, kenapa bukan kamu yang sekolah dan
    mengajarkan adikmu?”, tanyaku bingung. “Hehe…,
    aku tidak pandai membaca tuan, lagipula aku lebih
    suka adikku yang sekolah sehingga dia bisa punya
    banyak teman. Aku sudah sangat senang
    melihatnya pulang sambil tertawa bersama teman- temannya”, jawabnya dengan mata berbinar-binar. Kali ini, aku sudah tidak mampu menahan air
    mataku lagi. Kali ini aku sadar aku sedang
    menanggis dan kali ini hatiku terasa sangat perih
    sekaligus bangga sekali. Aku merasa perih karena aku begitu tidak bisa
    mensyukuri apa yang selama ini telah kumiliki, dan
    aku bangga sekali karena malaikat kecil ini begitu
    tulus hati. “Oya tuan, tadi kulihat tuan menanggis, apakah ada
    yang membuat tuan sedih?”, tanyanya sambil
    melompat membalikkan tubuh kecilnya. Lalu dia
    memegang wajahku dengan kedua tangannya
    sambil memandangiku dalam-dalam. Damai sekali
    rasanya. Kupeluk gadis kecil ini dengan penuh sayang. “Tidak sayang, paman tidak menanggis karena
    sedih, paman menanggis karena bahagia. Dan
    paman sangat bahagia bisa bertemu kamu malaikat
    kecil yang begitu baik dan cantik disini…”, jawabku
    pelan. “Oya, namamu siapa?”, tanyaku sambil
    mengendongnya dan kuangkat tinggi-tinggi.
    “Hahaha…”, gadis ini tertawa kecil. “Namaku Angel
    tuan, hahaha…, tinggi…, tinggi…, aku superman…”,
    teriaknya begitu menikmati. “Panggil papa Mike saja…”, kataku sambil
    mengecup keningnya. “Sekarang kita kesekolahmu
    ya…”, kataku sambil mengendongnya. Dia
    melihatku dengan bola mata birunya yang sebiru
    indah angkasa. “Ada apa kita kesana tuan?”,
    tanyanya penasaran. Aku tertawa kecil melihat tingkahnya yang gemesin. “Kan udah paman bilang panggil paman dengan
    nama papa Mike…”, kataku sambil mencubit kecil
    hidungnya. “Kamu maukan besok pergi kesekolah
    bersama adikmu….”, tanyaku tersenyum lebar.
    “Mau banget tuan…, maksudku papa Mike…, jadi
    aku bisa sekolah ya? Tapi bagaimana dengan uang sekolahnya? Mama tidak punya uang…”, tanyanya
    bingung sendiri. Aku tertawa kecil melihatnya. “Kalau itu biar papa Mike yang urus, Angel hanya
    perlu sekolah yang rajin dan jaga adik Angel ya”.
    Jawabku sambil memeluknya dan mengelitiknya
    kecil. “Hahaha…”, Angel tertawa. Lalu dia
    memelukku dengan erat. “Terimakasih papa Mike,
    terimakasih banyak…”, jawabnya dengan mata berkaca-kaca. Kamipun berlalu dengan perasaan
    yang tidak bisa digambarkan lagi dengan kata-kata. Aku yang mengeluh jeleknya tempat berteduh, dia
    berbahagia dengan segala yang kumuh.
    Aku yang menanggis tidak ada yang mengerti, dia
    tertawa sekalipun tidak ada yang peduli.
    Aku yang marah karena ketidakadilan dunia, dia
    menikmati apa yang diberikan dunia. Aku yang malu kalah dalam hal mewah, dia bangga
    dengan segala yang dimilikinya. Sekarang, jika aku masih meminta ijin dunia untuk
    mengasihani diri sendiri dan mengeluh, sungguh
    terlalu aku… Sesungguhnya dunia ini tidak pernah tidak adil,
    dunia tidak pernah berubah, dunia ini sudah ada
    sejak manusia belum ada. Kitalah yang berubah.
    Kita jugalah yang menghancurkan dunia sehingga
    akibatnya kita rasa dan kita menyalahkan kembali
    dunia. Kini, aku tidak ingin menyalahkan hidup apalagi
    dunia, karena aku telah mempunyai duniaku sendiri
    yang kusebut keluarga. Seorang pria lajang dengan
    usia 32 dengan seorang malaikat kecil yang baik
    dan cantik hatinya. Aku tidak tahu seberapa aku
    bisa membahagiakannya, yang aku tahu aku sangat bahagia memilikinya.
  • ”Apa permintaanmu?”, tanya malaikat pada seorang
    pemuda miskin dan istrinya ketika dipintu surga.
    Pemuda ini melihat sekelilingnya. Disana dia
    melihat banyak barisan orang-orang baik yg hendak
    masuk Surga. Tapi anehnya dia menemukan dirinya
    sendiri bersama istrinya dibarisan yang tidak ada siapapun dibelakangnya. “Apa permintaanmu?”, tanya malaikat sekali lagi
    pada pemuda miskin ini. Karena takut membuat malaikat dihadapannya murka, pemuda ini
    menjawab sekedarnya saja. “Hamba tidak berani
    meminta apa-apa, jika berkenan hamba meminta
    sebuah rumah yang besar saja”, jawab pemuda
    miskin ini. Lalu malaikatpun memberikan dia rumah
    yang sangat besar beserta taman yang sangat luas tak berujung nan indah. “Apa permintaanmu?”, tanya malaikat pada seorang
    pengusaha dibarisan lainnya yang kaya raya
    sewaktu hidupnya. Pengusaha ini berkata, “Hamba
    ingin rumah yang besar seperti pemuda tadi itu”,
    jawab pengusaha ini tersenyum. Lalu malaikatpun
    memberikan dia rumah yang cukup besar saja. Pengusaha yang melihat rumahnya tersebut lalu
    bertanya kepada malaikat. “Maafkan hamba,
    mengapa hamba mendapatkan rumah yang
    sedemikian saja? sedangkan pemuda tadi dan
    istrinya mendapatkan rumahnya begitu besar
    disertai taman bunga yang indahnya tiada tara? Padahal saat aku masih hidup didunia aku telah
    menyumbangkan sebagian hartaku dan berbuat
    amal yang cukup. Aku juga sering menolong
    sesamaku tanpa pamrih”. Malaikat ini tersenyum, “Apa tujuanmu meminta
    rumah yang besar?”, tanya malaikat pada
    pengusaha kaya tersebut. “Hamba meminta rumah yang besar supaya kelak
    istri anak dan cucu-cucuku bisa tinggal bersama-
    sama juga beserta saudara-saudariku semua, jadi
    rumah yang kuminta bukan untukku saja, hamba
    ingin berbagi dengan mereka semua “, jawab
    pengusaha ini mantap. Malaikat yang mendengar jawaban pengusaha
    tersebut bangga, katanya pada pengusaha itu,
    “Kamu memang baik begitu memperhatikan
    keluargamu juga saudaramu, dan ketahuilah inilah
    hadiahmu dan menurutku rumah sebesar inilah yang
    kamu BUTUHKAN. Tetapi aku tahu kamu pasti tidak akan puas dengan jawabanku, maka ikutlah
    aku menemui pemuda miskin itu dan istrinya. Dia
    yang akan memberimu jawaban yang kamu
    inginkan”. Lalu merekapun terbang menemui
    pemuda yang dimkasud. Saat malaikat datang pada pemuda miskin itu dan
    istrinya, mereka begitu terkejut dan hendak
    langsung bersujud. Malaikat yang melihatnya
    langsung menahannya agar tidak bersujud. “Hanya
    kepada Tuhan Allahmulah kamu boleh bersujud.
    Kedatanganku adalah ingin bertanya mengapakah kamu meminta rumah yang besar bagimu?”, tanya
    sang malaikat ditemani pengusaha yang penasaran. “Ampuni hamba, hamba hanya meminta rumah
    besar biasa saja dan tidak berharap akan sebesar
    ini, seluas ini dan seindah ini. Hamba hanya ingin
    berbagi dengan saudara-saudariku yang tadi
    berbaris diluar sana. Hamba takut tidak semua akan
    bisa meminta rumah dan hamba takut mereka akan kehujanan juga kepanasan dan tidak mempunyai
    tempat berteduh”. “Hamba juga melihat banyak anak-anak yang
    bermain dengan ceria diluar sana, jadi hamba ingin
    memberikan semua taman yang indah ini pada
    mereka supaya mereka bisa bermain sepuasnya.
    Dan apabila mereka telah lelah bermain mereka bisa
    beristirahat dirumah ini. Jika hamba tidak pantas memilikinya, maka hamba rela mengembalikan ini
    semua dan diberikan pada mereka yang berhak
    mendapatkannya”, jawab pemuda miskin ini ikhlas. Mendengar jawaban pemuda miskin ini, sang
    pengusaha mengerti mengapa Tuhan melalui
    malaikatnya dia diberikan begitu banyak HARTA SURGAWI yang berlimpah ruah. Pemuda ini memang miskin, tetapi HATINYA begitu KATA
    RAYA. Ketika hidup didunia, pemuda miskin dan
    pengusaha kaya ini adalah dua sosok manusia yang
    baik perilakunya. Sang pengusaha dengan segala
    kelimpahannya tidak menjadi sombong dan selalu
    beramal. Dia begitu rendah hati dan suka menolong
    bagi mereka yang membutuhkan. Dia juga sangat menyayangi keluarganya dan menjadi suami yang
    setia bagi istri dan anak-anaknya. Tetapi, karena
    kesibukannya sebagai pengusaha yang begitu
    menyita waktunya sehingga jarang sekali
    pengusaha ini meluangkan waktunya untuk
    beribadah.
  • Disebuah kota yang ramah, hiduplah seorang
    pengusaha yang sangat kaya. Ia mempunyai
    puluhan mobil mewah. Rumahnya besar indah
    selayaknya istana. Tetapi sayangnya, pengusaha ini
    terlihat tidak begitu bahagia. Yang dilakukannya
    hanyalah bekerja, bekerja dan bekerja untuk melimpahkan lagi, lagi dan lagi segala
    kekayaannya. Suatu malam, pengusaha kaya ini masih bekerja
    menyelesaikan pekerjaannya dikamar kerja
    kesukaannya. Tidak begitu besar dan terlihat klasik
    juga tua. Hanya satu jendela didepannya untuk
    sekedar menikmati pemandangan diluar jika ia penat
    bekerja. Ketika sedang asyik bekerja, pengusaha kaya ini
    mendengar suara anak-anak kecil bermain diluar.
    Karena penasaran dan sekedar ingin melepaskan
    ketegangan pikiran dan badan, pengusaha kaya ini
    mengintip dari jendelanya. Dilihatnya disana, didepan tamannya yang
    ditumbuhi warna-warni bunga dari segala penjuru
    dunia, yang dipagar besi-besi tinggi dan kawat
    berduri, ia mendapati anak-anak tertawa kecil
    bermain disana. Karena penasaran dan merasa
    takut bunga-bunga mahal yang telah dikumpulkannya dari segala pelosok dunia akan
    dipetik dan rusak, pengusaha kaya ini berlari kecil
    menuju kesana. “Apa yang kalian lakukan disini?”, tanya pengusaha
    ini mencoba ramah walaupun wajahnya seperti
    menahan amarah. Napasnya ngos-ngosan karena
    berlari. Anak-anak yang bermain didepan taman
    tersebut hanya tersenyum. Mereka tidak tahu bahwa
    mereka mungkin akan dihukum. “Maaf tuan, kami hanya menari disini tuan. Setelah
    itu aku dan adikku akan pulang”, jawab anak laki-
    laki kecil ini yang ternyata kakak dari seorang anak
    yang lebih kecil darinya. “Lalu mengapa kalian
    menari disini? Tahukah ini sudah jam berapa?
    Kalian bisa saja terluka oleh kawat-kawat berduri itu”, kata pengusaha ini menasehati. “Sekali lagi maafkan kami tuan, adikku sangat
    menyukai bunga-bunga ini. Jadi dia kubawa kesini
    untuk melihatnya. Dan aku mengajarinya menari
    sambil bernyanyi supaya lebih menikmatinya”,
    jawab sikakak sambil kembali mengajari adiknya. “Tetapi, tetapi mengapa malam buta begini?”, tanya
    pengusaha ini bingung dan mulai bangga karena
    anak-anak sekecil mereka bisa mengerti betapa
    indahnya bunga yang dimilikinya. Sikakak
    tersenyum. Katanya. “Tuan yang baik, pagi hari aku mengantar koran
    bersama adikku sekalian sambil menawarkan baju
    yang ingin dicuci. Setelah itu baju-baju yang
    kudapatkan kuberikan pada mamaku untuk
    mencucinya. Mamaku sudah tidak bisa jalan lagi.
    Jadi aku dan adikku berusaha membantunya. Dan setelah selesai mengantar baju-baju itu, aku
    langsung kesini dan mengajak adikku ini”. “Tuan yang baik, kami meminta maaf jika kami telah
    mengganggu tuan bekerja. Tapi adikku ini kata
    dokter hanya bisa menemaniku satu tahun saja.
    Ketika kutanya pada mama mengapa harus begitu
    dan mengapa adikku harus tidur lama setelahnya,
    mama hanya menganggis dan memelukku agar menjaga adikku sungguh-sungguh dan selalu
    membuatnya tertawa”. Pengusaha kaya ini terkejut dengan jawaban
    sikakak. Dengan suara pelan dan penuh kasih
    sayang, pengusaha kaya ini bertanya, “Mengapa
    mamamu berkata begitu?”. Sikakak tersenyum. Lalu
    dibukanya jaket lusuh itu dari tubuhnya. Dengan
    cekatan dia memeriksa setiap sakunya. Kemudian dia memberikan surat itu pada pengusaha kaya ini. “Aku tidak tahu tuan, mama menanggis setelah
    melihat surat itu. Ketika mama mengoyaknya dan
    membuangnya, aku kumpulkan bersama adikku dan
    melekatkannya kembali. Tetapi aku tidak tahu apa
    isinya. Yang aku tahu dikertas itu ada angka yang
    banyak nolnya”, jawabanya polos. “Dan kakak tidak pandai berhitung…”, jawab adik
    perempuannya mengodanya disertai tawa mereka
    yang lepas dan begitu bahagia. Lalu mereka
    melanjutkan menari. Pengusaha kaya ini menutup mulutnya. Surat itu
    pelan-pelan basah dijatuhi tetesan air. Malam itu
    bulan bersinar indah dan bintang-bintang terang
    benderang. Ternyata, tetesan itu adalah tetesan air
    mata dari pengusaha kaya. Siadik menderita
    kelainan jantung, dan untuk itu ia perlu biaya yang sangat mahal. Yang lebih menyedihkan, sianak
    perempuan kecil ini jika tidak segera dioperasi akan
    segera meninggal. Dengan suara yang tertahan dan terisak, pengusaha
    ini bertanya pada mereka. “Namamu siapa sayang?”.
    Sikakak tersenyum. “Namaku Mike tuan, dan ini
    adikku Angela”, jawab sikakak membuka topi
    kecilnya memberi hormat memperkenalkan diri, dan
    siadik menaikkan gaunnya yang lusuh penuh tambalan sedikit membungkuk selayaknya seorang
    putri. “Sayang, mamamu sekarang dimana?”, tanya
    pengusaha kaya ini ramah dan penuh cinta pada
    siadik. Diberikannya dan dipakaikannya jaket mahal
    merk terkemuka dunia itu pada mereka untuk
    menghangatkan tubuh mereka sekenanya. “Mama dirumah tuan. Disana…, mama sedang
    menjahit”, tunjuk sikakak kesebuah lorong yang
    gelap. Setahu pengusaha kaya ini, lorong itu adalah
    tempat pembuangan barang bekas dan sampah.
    Dan mereka menyebutnya ruman? Dengan mata
    dan wajah yang masih basah, pengusaha kaya ini bertanya lagi. “Sayang…, mengapa kamu bisa tertawa, menari dan
    begitu menikmati malam ini? Sedangkan aku sendiri
    setiap hari sangat kelelahan dan untuk tertawa saja
    harus dibeli. Apa rahasianya? Kalau ada bolehkah
    aku memintanya?”, tanya pengusaha ini berlutut
    sambil memegangi tangan keduanya. Sikakak melihat adiknya. Mereka sepertinya
    bingung dengan maksud sipengusaha kaya. Lalu
    adiknya memberi hormat selayaknya putri raja dan
    berkata. “Tuan, aku dan kakakku bukan hanya malam ini
    menari dan bermain disini. Tapi sudah lama sekali.
    Aku dan kakakku sering melihat lampu diatas sana
    terang, jadi kami menari disini supaya tuan bisa
    melihat dan merasa terhibur”, kata siadik sambil
    menunjuk kamar kerja pengusaha kaya tersebut. “Kata mama, tuan dulu pernah menolongnya ketika
    sakit. Dan kata mama kalau tuan tidak
    menolongnya mama sudah ikut papa kesurga. Aku
    tidak tahu tempat apa itu, tapi kata mama itu tempat
    yang sangat bahagia dan papa bahagia sudah
    disana”. “Kata mama juga tuan pasti sudah lupa, tapi mama
    tidak pernah melupakan kebaikkan tuan. Itulah
    mengapa kami selalu bermain disini dan menari
    supaya tuan terhibur. Kata mama, kebaikkan orang
    tidak boleh dilupakan seumur hidup…”. “Lalu mama berkata juga…”, potong sikakak sambil
    memeluk adiknya dan menuntunnya agar duduk
    sebentar. Adiknya terlihat sedikit ngos-ngosan
    karena pengaruh jantungnya yang lemah. “Mama berpesan agar SELALU TERTAWA apapun
    kondisinya. Karena dengan tertawa mama juga
    tertawa. Aku sering mendapati mama menanggis
    malam-malam sambil memeluk adikku kalau hendak
    tidur. Dan aku berjanji aku akan selalu membuat
    mama tertawa. Dan caranya adalah dengan selalu tertawa walaupun aku pernah mau menanggis dan
    dipeluknya ketika aku ditabrak sepeda dulu. Aku
    takut ketika aku mengatakannya akan membuat
    mama semakin sedih”, lanjut sikakak sambil
    memperlihatkan dahinya yang ada bekas luka cukup
    lebar disana. Setelah itu dia menutupinya dengan rambut panjang itu dan ditambahi topi. “Tuan, aku dan adikku sangat berterimakasih pada
    tuan karena kebaikkan tuan sehingga mama kami
    masih bersama kami dan tidak mengikuti papa yang
    kata mama sudah tidak bisa pulang…”, kata
    sikakak memberi hormat lagi dibarengi siadik. Dipeluknya kedua malaikat kecil itu. Dengan air
    mata yang semakin deras membasahi wajahnya,
    pengusaha ini berterimakasih entah berapa puluhan
    kali. Akhirnya ia mengerti mengapa ia semakin hari
    semakin tidak bahagia, itu semua karena ia terlalu
    memfokuskan pada dirinya dan kelimpahannya.
    Akhirnya ia menyadari mengapa kebahagiaan itu
    harus berbagi, itu semua karena dengan berbagi kita
    jadi mengerti apa itu yang disebut cinta kasih.
  • Dalam perjalanan pulang aku menyempatkan diri
    sebentar duduk disebuah tempat rekreasi. Aku
    mencoba mencerna kata-kata temanku. Tapi
    sebagaimana betulnya kata-kata temanku, aku tetap
    masih ragu dengan pengertian “bahagia” itu. Dan ini
    hanyalah pendapat pribadiku. Bagi kalian yang baca tidak perlu setuju denganku. Kita masing-masing
    mempunyai pendapat apa bahagia itu. Dalam lamunanku sambil menulis dengan iPodku,
    kulihat sebuah keluarga kecil nan sederhana
    memasuki tempat aku melegakan beban hati dan
    pikiran. Kulihat tawa dan canda pada keluarga kecil
    itu. Sang ayah begitu ramah senyumnya. Sang ibu
    begitu perhatian pada suami dan anak-anaknya. Kulihat sang ayah sekali-kali menciumi kedua
    putrinya. Mereka memesan makanan dan duduk
    persis didepan mejaku. Jauhnya hanya beberapa
    meja dari tempat aku duduk. Putri mereka dalam pikiranku menerka sudah kelas
    SD dan SMP. Keduanya sangat manis. Yang kecil
    begitu ceria dan energik. Sedangkan yang besar
    begitu penuh sabar dan perhatian menjaga adiknya.
    Aku tidak berani melihat kearah mereka terus,
    karena aku takut dicap orang aneh atau gimana. Aku hanya sekali-kali mencuri pandang. Tak pernah
    kulihat canda dan tawa mereka lepasa dari
    wajahnya. Dalam hati aku bertanya, apakah ini yang
    disebut bahagia? ataukah hanya hari ini mereka
    tertawa. Kucoba menepis semua gulat pikiran dikepalaku.
    Aku melihat mereka begitu bahagia. pakaian mereka
    yang sederhana. Model baju yang sederhana.
    Riasan wajah yang seadanya tapi sangat
    mempesona. Mereka datang hanya mengenakan
    motor yang sederhana, bahkan “usia” motor tersebut mungkin sudah setua putrinya yang besar. Tapi
    tidak kulihat mereka malu ataupun menjaga jarak
    dengan tamu lainnya yang mempunyai kendaraan
    roda empat. Saat melihat mereka, aku tidak sadar ternyata
    mulutku membentuk bentuk pelangi terbalik
    dibibirku. Ya, aku secara tidak sadar TERSENYUM
    dan MERASA BAHAGIA. padahal waktu itu aku
    mempunyai banyak beban dan pikiran. Saat kutahu
    aku tersenyum dan merasa bahagia, aku mencoba mencari artinya. Kenapa aku yang bukan bagian dari
    mereka hanya dengan melihat mereka saja sudah
    ikut merasakannya? Ataukah aku yang telah lama
    lupa akan rasa itu sehingga sangat mengharapkan
    suasana seperti itu? Aku tidak tahu. Yang pasti aku
    sangat menikmati saat-saat itu. Setelah beberapa jam, keluarga kecil itu pun pulang.
    Aku masih melihat mereka sempat saling menyeka
    sisa makanan pada sikecil dengan sapu tangan.
    Sang ayah dari sejak awal datang sampai saat
    pulang tawa dan senyumnya tidak pernah lepas dari
    wajahnya. Kulihat sikecil begitu akrab dengan ayahnya. Sedangkan putrinya yang besar selalu
    mengandeng tangan ibunya. Sungguh pemandangan
    yang sangat jarang ada lagi didunia. Lalu kulihat sang ayah mengangkat putri kecilnya.
    Digendongnya dipelukannya. Lalu berkata padanya,
    “Sayang, hari ini papa telah berjanji akan
    membawamu kesini bersenang-senang. Dan apakah
    kamu senang? Maaf ya papa tidak bisa
    memberikanmu lebih dari yang sederhana ini”, sambil mencium kening putrinya. Putri kecilnya
    memeluk ayahnya. Lalu jawab malaikat kecil itu
    pada ayahnya, “Papa, aku tidak perlu apa-apa selain
    papa. Yang aku inginkan hanya ingin bersama papa
    dan mama. Aku sangat bahagia bisa seperti
    sekarang. Aku dan kakak juga membawa uang tabungan kami. Kami titip sama mama kalau tidak
    cukup boleh kok pakai uang kami”. Hampir nanggis aku mendengar kata-kata itu.
    Dipeluknya malaikat kecil itu lalu mereka berlalu
    penuh KEBAHAGIAAN. Aku tidak tahu apakah
    setelah hari itu mereka masih tetap sebahagia itu
    ataukah telah melupakan momen penuh warna-warni
    indah pelangi. Yang pasti mereka memberikanku momen yang sangat indah dan berharga.
    Kusandarkan tubuhku pada kursi yang kududuk.
    Saat aku merasa kepala dan hati ini penuh beban
    yang berdesakan, DIA memperlihatkan padaku
    sebuah keluarga yang menentramkan. Kepalaku pun mulai bekerja mencari arti
    kebahagiaan. Temanku mengatakan bahwa bahagia
    adalah memberikan yang terbaik pada orang-orang
    yang kita sayangi. Dan aku setuju. Bedanya aku
    menemukan pengertian kebahagiaanku sendiri. Dan
    ini versi kebahagiaanku, dan itu adalah saat kita MEMBERI DENGAN TULUS APA ADANYA. Bukan
    karena apa ISINYA, bukan karena berapa
    HARGANYA, bukan karena MERKNYA, bukan juga
    atas nama CINTA. Kita bahagia karena KITA
    BENAR-BENAR INGIN MEMBUATNYA BAHAGIA
  • Suatu hari, seorang wanita muda dengan kacamata agak tebal menghias wajahnya ingin mencari kekasih. Lalu ia mendatangi sebuah biro jodoh yang tidak jauh dari rumahnya. Setelah mengisi formulir dan memenuhi syarat yang
    tertera, dia pun diberi sebuah alamat tempat
    pertemuan dengan seorang pria yang kebetulan
    mempunyai kriteria yang dicarinya pada wanita
    muda ini. Tempat pertemuan mereka adalah disebuah cafe
    yang kebetulan tidak jauh dari rumah wanita muda
    ini juga. Hari yang ditunggupun tiba, wanita muda ini berdandan mengenakan gaun putih yang indah.
    Kacamatanya dilepas walaupun agak menyulitkan
    dia melihat sekitarnya. Tapi ia tetap tidak ingin
    memakainya karena menurutnya kacamata itu akan merusak kecantikkannya. Ketika keluar dari rumahnya, dia mendengar tawa kecil dari rumah sebelah. Samar-samar tapi cukup jelas. Dia mendengar seseorang berkata bahwa
    pakaiannya sudah kuno. Ketinggalan jaman dan
    tidak fashion. Mendengar hal itu, dia menjadi malu dan menjadi tidak percaya diri. Lalu diapun masuk kembali kerumahnya dan berganti baju. Kali ini, dia memakai gaun warna merah menyala dan sangat menarik mata. Percaya dirinya kembali. Dan memang benar, ketika berjalan keluar, samar-
    samar dia mendengar pujian terutama dari pria yang melihatnya mengatakan bahwa dia sangat sexy dan menarik sekali. Tetapi setelah itu, dia mendengar kritikan terutama dari wanita yang mengatakan bahwa dia seperti wanita murahan. Sedih, malu dan putus asa, wanita muda ini kembali kerumahnya. Kali ini dia bingung apa yang harus dikenakannya. Dia hendak menanggis, tetapi apa gunanya? Lalu dalam keadaan putus asa, dia
    mengganti bajunya dengan kaos oblong sederhana
    dan celana jean kesukaannya yang selalu dikenakannya dan membuatnya nyaman. Setelah itu, dia langsung keluar. Kali ini dia masa
    bodoh orang lain ingin mengatakan apa. Dia juga
    tidak peduli lagi apakah pria yang akan ditemuinya
    dicafe nanti akan menerimanya atau tidak, yang
    pasti, inilah dirinya apa adanya. Anehnya, dia tidak mendengar perkataan apapun.
    Sekalipun ada dia juga merasa tidak seperti yang
    dia rasakan sebelumnya. Tidak merasa malu, tidak
    merasa canggung ataupun sedih. Yang ada justru
    rasanya biasa dan nyaman. Satu-satunya yang membuat hatinya gelisah adalah bagaimana pria yang akan ditemuinya menilainya. Dalam hati dia menyakinkan diri sendiri bahwa jika pria itu benar-benar ingin mengenalnya lebih jauh lagi, maka inilah dia yang sebenarnya. Dengan make-up simple minimalis, berpakaiaan simple rapi apa adanya. Ketika hendak memasuki cafe yang dia tuju, dia melihat seorang pria yang terlihat bingung sedang mencari sesuatu disekitar cafe tersebut. Merasa tidak buru-buru, diapun menawarkan diri membantu pria ini mencarinya. Setelah beberapa menit mencari, akhirnya mereka menemukan yang mereka cari. Ternyata, pria ini sedang mencari cincin perak peninggalan ibunya yang tadi tidak sengaja jatuh ketika berlari datang kecafe ini. Dan daripadanya, ternyata pria ini ada temu janji
    dengan seorang wanita dicafe ini. Dan rencananya
    pria ini ingin memberikan cincin perak peninggalan
    ibunya ini sebagai tanda jadi jika wanita yang akan
    ditemuinya menerimanya. “Dia pasti menerimanya, aku pastikan seratus persen”, katanya pada pria ini sambil tersenyum lembut dan manis sekali. Pria yang mendengar hal tersebut hanya bisa tersenyum dan berterimakasih.
    Tingkahnya yang gugup membuat wanita muda ini
    tertawa kecil. “Menurutmu apakah aku harus membatalkan pertemuan ini?”, tanya pria ini tiba-tiba padanya. Wanita muda ini sedikit terkejut, tetapi ia berusaha menyembunyikannya. “Mengapa? Bukankah kamu ingin menemuinya”, tanyanya penasaran. “A…, aku…, sepertinya aku telah mempunyai pilihan lain…”, jawab pria ini gugup sambil melihatnya dengan senyuman yang menawan. Wanita muda ini wajahnya merona merah. “Aku sarankan kamu masuk dulu dan menemuinya. Aku pastikan kamu tidak akan menyesalinya”, jawabnya sambil mengajak pria ini masuk. Setelah masuk, pria ini langsung mencari tempat
    duduk dimana dia berjanji akan menemui seorang
    wanita. Dan tempat duduk itu masih kosong. Pria ini
    menghela napas merasa lega. Entah lega karena dia
    tidak terlambat datang, ataukah lega karena
    berharap wanita yang akan ditemuinya tidak datang. “Aku juga menunggu seorang pria ditempat duduk
    itu lho…”, kata wanita muda ini tersenyum manis
    sekali sambil memandangi tempat duduk itu. Pria
    yang disampingnya, yang tadi menghela napas
    sekarang menahan napas. Dia tidak percaya apa
    yang didengarnya. “Maksudmu…, kamu wanita yang akan kutemui hari
    ini…?”, tanyanya dengan suara gugup, tetapi
    matanya terlihat senang. “Iya, akulah wanita itu”,
    jawabnya. “Kenalkan, namaku adalah Cindy dan tadi
    kita sudah bertemu…”, lanjutnya memperkenalkan
    diri. Setahun kemudian, pria dan wanita muda ini yang
    bertemu dicafe tersebut mengadakan upacara
    pernikahan mereka. Keduanya terlihat sangat
    bahagia. Para hadirin yang hadir adalah teman-
    teman dekat kedua mempelai ini. Upacara mereka juga sangat unik. Mereka tidak
    memakai busana pengantin seperti pengantin pada
    umumnya. Sang wanita memakai kaos dan celana
    jeans dengan kacamata menghias wajahnya. Sang
    pria juga memakai pakaian yang sama. Ternyata, pakaian yang mereka kenakan adalah
    pakaian yang mereka pakai ketika pertama kali
    bertemu dulu disalah satu cafe. Mereka sengaja memakai pakaian seperti itu untuk
    mengingatkan mereka sendiri dan mungkin juga
    orang lain, bahwa, apa yang dikenakan pada tubuh
    hanyalah sebatas luarnya saja. Kecantikkan luar itu
    bisa dinilai siapa saja dan bernilai berapa saja
    menurut pendapat masing-masing mata. Tetapi, kecantikkan sesungguhnya justru datang
    dari dalam, dari hati yang indah. Dulu, wanita muda ini begitu takut akan penilaian
    orang lain sehingga seringkali merubah dirinya
    menjadi seperti penilaian orang lain hanya supaya
    diterima dan dipuja. Dan dia memang diterima dan
    dipuja, tetapi yang diterima dan dipuja itu bukan
    dirinya yang sesungguhnya. Hal itu membuatnya selalu terbebani dan selalu
    mengganti topeng-topeng wajahnya sesuai penilaian
    lainnya. Lama kelamaan ia kehilangan wajahnya
    yang sesungguhnya. Orang-orang yang
    mengenalnya juga semakin ragu yang mana
    sesungguhnya dia. Hingga suatu hari dia memutuskan untuk
    membuang semua topeng itu dan memperlihatkan
    wajahnya sendiri. Dan pada akhirnya, ia
    menemukan seseorang yang telah lama menanti dia
    melepaskan topengnya. Yang menerima dan
    memuja dirinya yang sesungguhnya. Dan dia mendapatkannya. Jadilah dirimu sendiri sebagaimana dirimu yang baik.
  • “Aduh”, teriakku kecil terjatuh menabrak sesuatu.
    Saat kucari tahu apa yang barusan kutabrak,
    ternyata aku bukan menabrak sesuatu, tapi
    seseorang. Dan ketika kulihat wajahnya aku
    langsung pucat pasi. “Mati aku…”, kataku dalam
    hati parsrah. Ketika pagi datang, aku merasa enggan mau
    bangun dari ranjang. Padahal pagi ini pelajaran awal
    disekolah adalah pelajaran olahraga favoritku –
    bukan karena aku pandai olahraga, tetapi aku bisa
    memanfaatkan fisikku yang lemah untuk mencari
    alasan keruang kesehatan beristrirahat. Tetapi pagi ini dan seterusnya akan berbeda, dan aku yakin
    akan menjadi kenangan terburuk sampai
    kelulusanku nanti. “Mike Bellamy, bawakan tasku!”, perintah seorang
    wanita yang gemuk dan tinggi besar. Sebenarnya
    bukan tinggi besar sih, tetapi aku yang kecil kurus
    jadi dia terlihat begitu besar. Lalu bagaimana ceritanya aku bisa menjadi
    bawahannya? Kalian pasti sudah bisa menebaknya,
    dialah yang kutabrak kemarin saat berlari pulang
    ketika hujan, dan dia adalah “Gorilla” – julukan yang
    kami berikan karena tubuhnya yang saking
    gemuknya dan kasar, seorang cewek penguasa disekolahku dan tidak ada yang berani
    mengganggunnya. “Belikan aku roti bungkus 10 buah rasa coklat dan 2
    kotak jus rasa lemon, dan cepat…”, perintah Gorilla
    ini. “U…, u, uangnya…?”, tanyaku terbata-bata tidak
    berani melihat matanya. Dia berdiri dan diangkatnya
    tubuhku dengan kedua tangannya. “Maksudmu…”,
    tanyanya sambil pelototin mataku. “Ini rotinya, dan ini kembaliaannya…”, kataku lesu.
    Uang jajanku untuk sehari habis, dan sisanya justru
    aku harus setor pada Gorilla ini lagi. “Nih satu buat
    kamu, jangan anggap aku tidak cukup baik
    padamu”, katanya sambil memberikan satu rotinya.
    Mataku berkaca-kaca, tetapi bukan karena terharu, aku hampir menanggis membayangkan neraka ini
    seterusnya. Berbulan-bulan telah berlalu, aku juga mulai terbiasa
    dengan “latihan” yang diberikan Gorilla ini setiap
    pagi. Lucunya, aku yang dulu kaku dan lambat
    sekarang menjadi lebih lincah. Aku juga menjadi
    jarang sakit sering karena dipaksa “olahraga” dan
    berkeringat setiap harinya. “Ada bagusnya juga aku jadi bawahan Gorilla ini”, kataku dalam hati. “Hei Mike, mulai hari ini kamu harus memanggilku
    Angelina”, perintahnya padaku suatu pagi saat
    berangkat sekolah. Aku bagaikan melihat UFO dan
    Gozilla sedang menyerang dikota. Dia memintaku
    memanggil namanya? Dan namanya Angelina?
    Bagian mana dari dia yang seperti Angel (malaikat) ?. Aku tertawa sendiri saat mendengar nama
    aslinya, dan hadiahnya, sebuah pitingan gulat kelas
    dunia mendarat dikepalaku. Ternyata Gorilla ini memintaku memanggil nama
    aslinya adalah sebagai tanda perpisahan. Ini
    kuketahui ketika besok masuk sekolah Gorilla ini
    telah pindah sekolah. Pintu gerbang utama sekolah
    yang selalu kuanggap pintu menuju neraka tiba-tiba
    ditumbuhi bunga-bunga indah disetiap sudutnya. Papan nama diatasnya yang tertulis nama
    sekolahku terbaca dimataku menjadi SELAMAT
    DATANG DISURGA. Aku tidak tahu bagaimana
    harus mengekspresikan kebahagiaanku lagi. Hari pertama aku begitu bersemangat kesekolah.
    Aku tidak perlu lagi membeli roti bungkus berdesak-
    desakan dikantin. Aku tidak perlu puasa lagi untuk
    menabung uang jajan buat setoran. Aku tidak perlu
    lagi membawa tas yang beratnya seperti diisi
    peralatan fitnes, dan yang terpenting aku bisa berkumpul lagi dengan teman-temanku. Hari kedua, aku mulai merasa ada yang aneh
    dengan diriku. Aku memang merasa senang dengan
    kebebasan yang baru kumiki. Tetapi aku justru
    merasa terlalu bebas. Aku dari luar terlihat
    bergembira tetapi dalam hati aku merasa hampa.
    “Ada apa denganmu…”, lirik sebuah lagu yang pas ketika lagi melamun mendengarkan lagu di-ipodku. Hari ketiga, akhirnya aku menyadari bahwa aku
    merindukan siGorilla. Aku merindukan disuruh
    berdesak-desakan membeli roti. Aku rindu disuruh
    itu-ini. Aku rindu membawa tasnya yang seperti diisi
    “besi”, dan aku rindu menyetor uang jajanku
    untuknya setiap hati. Aku rindu padanya. Aku jatuh cinta padanya. Puluhan tahun telah berlalu sejak hari itu. Aku
    sekarang tumbuh dewasa dan tampan. Ya, aku
    tumbuh menjadi pria atletis, tinggi dan rupawan. Aku
    bukannya sombong, aku sendiri heran mengapa aku
    bisa berubah sedrastis itu. Jika dulu aku kurus kecil
    dan lemah dan dijauhi para wanita, sekarang justru para wanita yang mengejarku dan tentunya wanita
    cantik dan sexy. Aku sudah punya pacar? Hahaha…, justru
    sebaliknya. Aku masih single bahkan diusiaku yang
    hampir menginjak usia 30. Aku sudah mempunya
    bisnis sendiri. Aku juga sudah punya rumah dan
    mobil sederhana sendiri. Rasanya sudah cukup
    alasanku untuk menunda untuk berkeluarga. Tapi ya aku jujur saja, aku masih teringat pada siGorilla. Aku tahu kalian pasti mengatakan betapa bodohnya
    aku masih merindukan seorang wanita yang
    memperlakukanku dengan seenaknya dan seorang
    wanita yang bertubuh gemuk lagi? Ditambah lagi
    sudah puluhan tahun tidak ada kabar? Sejujurnya
    aku juga mengakui bahwa aku bodoh. Tapi mau bagaimana lagi, seperti kata entah siapa, cinta itu
    buta. Ternyata, disuatu pagi saat aku membawa mobilku
    servis rutin bulanan disalah satu bengkel
    kepercayaanku, kebodohanku mencintai pada satu
    wanita dijawab oleh Tuhan. Karena terburu-buru, aku
    secara tidak sengaja menabrak seseorang. Tidak
    seperti dulu, kalau aku menabrak sesuatu atau seseorang aku yang jatuh. Sekarang tubuhku berisi
    dan cukup kekar dan yang kutabrak biasanya akan
    terjatuh, apalagi yang kutabrak sekarang adalah
    seorang wanita lagi. “Maafkan aku nona, aku tidak melihat anda karena
    terburu-buru…”, kataku sambil mencoba
    membantunya berdiri. Wanita ini hanya terdiam dan
    mengambil barang-barangnya yang jatuh. Aku ikut
    membantunya karena merasa tidak enak hati dan
    bersalah. Secara tidak sengaja kupunggut kantong putih berisi
    makanan didalamnya. Disana ada puluhan roti
    bungkus rasa coklat. Aku entah mengapa begitu
    “dejavu” dengan roti bungkus ini. “Inikan roti yang
    dulu sering kubeli buat siGorilla”, kataku spontan
    tidak sadar. Lalu kudengar suara yang tidak mungkin kulupakan. “Siapa yang kamu maksud Gorilla itu hah?!”, tanya
    wanita yang barusan kutabrak ini sambil melipat
    tangannya. Kulihat padanya. Rambut panjang pirang
    keemasan. Bibir manis Angelina Jolie. Tubuh tinggi
    sexy Kim Kardashian. “Angelina?”, tanyaku tidak
    percaya. “Mike Bellamy? Itu kamu?”, tanya wanita cantik ini
    juga tidak percaya. “Bagaimana…, kenapa kamu…”,
    tanyaku bingung bercampur senang dan tiba-tiba
    wanita ini melompat memelukku. “Aku sangat rindu
    padamu dan aku setiap malam berdoa agar bertemu
    lagi denganmu. Maafkan aku dulu yang seenaknya padamu Mike…”, kata wanita cantik ini ternyata
    benar Angelina alias siGorilla. … “Apakah pengantin wanita sudah siap?”, tanyaku
    pada seorang wanita cantik yang mengenakan gaun
    pengantin yang sangat indah”. “Sudah dong, cantik
    sekali bukan?”, jawab seorang wanita setengah
    baya disampingnya. “Ya, sangat cantik sekali”,
    jawabku dengan mata berkaca-kaca. Lonceng berbunyi 9 kali. Burung-burung bernyanyi
    mengiringi pernikahan suci. Dengan mantap dan
    pasti kubawa wanita cantik ini kealtar nikah
    disaksikan para tamu dan undangan terpilih.
    Kukecup pengantin wanita ini dan kupeluk sebentar. Rasanya aku tidak ingin melepaskan pelukanku
    sampai aku melihat pengantin pria mulai tidak sabar
    ingin menikahinya. Kulepas pelukanku lalu beranjak
    ketempat duduk yang telah disediakan. Wanita
    setengah baya tadi yang diruang pengantin wanita
    duduk disampingku. Kukecup pipinya mesra dan kugenggam tangannya. “Dia benar-benar mirip denganmu ketika kamu
    seusia dengannya. Bedanya dia benar-benar seperti
    seorang Angel (malaikat) sedari kecil, sedangkan
    kamu…”, ucapanku terhenti karena menerima
    sebuah cubitan kecil geli diperutku. Kami tertawa
    kecil bersama mengenang sebentar kenangan dulu. Lalu upacara pernikahan dimulai. The En… “Tunggu dulu…”, teriakmu. “Apa yang terjadi dan
    mengapa siGorilla menghilang waktu dulu?”,
    tanyamu. Hehehe…, itu jadi rahasia kami berdua. Dan aku
    telah berjanji tidak akan menceritakannya pada
    siapapun. Tentu saja bukan karena aku takut dan
    diperintah olehnya, tetapi aku ingin kenangan itu
    menjadi kenangan manis kami bersama. Yang bisa
    kukatakan adalah. Kadang, apa yang terlihat buruk diluar justru
    sebaliknya didalam. Kadang, apa yang terlihat
    bagaikan benci ternyata adalah cinta. Dan kadang,
    demi seseorang yang dicintainya seseorang itu akan
    menghilang dan ingin kembali menjadi yang terbaik
    bagi yang dicintainya.
  • Alkisah, di puncak sebuah mercusuar, tampak
    lampu mercusuar yang gagah dengan sinarnya
    menerangi kegelapan malam. Lampu itu menjadi
    tumpuan perahu para nelayan mencari arah dan
    petunjuk menuju pulang. Dari kejauhan, pada sebuah jendela kecil di rumah
    penjaga mercusuar, sebuah lampu minyak setiap
    malam melihat dengan perasaan iri kea rah
    mercusuar. Dia mengeluhkan kondisinya,”Aku
    hanyalah sebuah lapu minyak yang berada di dalam
    rumah yang kecil, gelap dan pengap. Sungguh menyedihkan, memalukan dan tidak terhormat.
    Sedangkan lampu mercusuar di atas sana, tampak
    begitu hebat, terang dan perkasa. Ah ….
    Seandainya aku berada di dekat mercusuar itu,
    pasti hidupku akan lebih berarti, karena akan
    banyak orang yang melihat kepadaku dan aku pun bisa membantu kapal para nelayan menemukan
    arah untuk membawanya pulang ke rumah mereka
    dan keluarganya. Suatu ketika, di suatu malam yang pekat, petugas
    mercusuar membawa lampu minyak untuk
    menerangi jalan menuju mercusuar. Setibanya di
    sana, penjaga itu meletakkan lampu minyak di
    dekat mercusuar dan meninggalkannya di samping
    lampu mercusuar. Si lampu minyak senang sekali. Impiannya menjadi kenyataan. Akhirnya, ia bisa
    bersanding dengan mercusuar yang gagah. Tetapi,
    kegembiraannya hanya sesaat. Karena
    perbandingan cahaya yang tidak seimbang, maka
    tidak seorang pun yang melihat atau memperhatikan
    lampu minyak. Bahkan, dari kejauhan si lampu minyak hamper tidak tampak sama sekali karena
    begitu lemah dan kecil. Saat itu, lampu itu menyadari satu hal. Ia tahu
    bahwa untuk menjadikan dirinya berarti, dia harus
    berada di tempat yang tepat, yakni di dalam sebuah
    kamar. Entah seberapa kotor, kecil dan pengapnya
    kamar itu tetapi di sanalah lebih bermanfaat. Sebab,
    meski nyalanya tak sebesar mercusuar, lampu kecil itu juga bisa memancarkan sinarnya menerangi
    kegelapan untuk orang lain. Lampu kini tahu, sifat iri
    hati karena selalu membandingkan diri dengan yang
    lain, justru membuat dirinya tidak bahagia dan
    memiliki arti.
  • Alkisah, seorang pembuat jam tangan berkata kepada jam yang sedang dibuatnya. “Hai jam, apakah kamu sanggup untuk berdetak paling tidak 31,104,000 kali selama setahun?” “Ha?,” kata jam terperanjat, “Mana sanggup saya?” “Bagaimana kalau 86,400 kali dalam sehari?” “Delapan puluh ribu empat ratus kali?
    Dengan jarum yang ramping-ramping seperti ini?” jawab jam penuh keraguan. “Bagaimana kalau 3,600 kali dalam satu jam?” “Dalam satu jam harus berdetak 3,600 kali? Banyak sekali itu” tetap saja jam ragu-ragu dengan kemampuan dirinya. Tukang jam itu dengan penuh kesabaran kemudian bicara kepada si jam. “Kalau begitu, sanggupkah kamu berdetak satu kali setiap detik?” “Naaaa, kalau begitu, aku sanggup!” kata jam dengan penuh antusias. Maka, setelah selesai dibuat, jam itu berdetak satu kali setiap detik. Tanpa terasa, detik demi detik terus berlalu dan jam itu sungguh luar biasa karena ternyata selama satu tahun penuh dia telah berdetak tanpa henti. Dan itu berarti ia telah berdetak sebanyak 31,104,000 kali.
  • ternyata ada cerita winnie the pooh dan Piglet juga ...
  • hebat... saya suka, saya suka *teriak teriak sambil tepok tangan.
  • Disebuah pohon nan rindang, terlihat seorang wanita
    yang berbalut gaun putih menanggis tersedu-sedu.
    Karena isak tanggisnya yang begitu sendu,
    sepasang burung kecil yang mendengarnya diatas
    pohon terbang turun menghampiri wanita ini. “Wahai nona muda, mengapakah kamu
    menanggis?”, Tanya burung kecil ini sambil
    mengeluskan kepalanya pada wajah wanita ini
    menghapus air matanya. Sedangkan burung kecil
    yang satunya memetik setangkai mawar merah dan
    disematkan ketelinganya. “Terimakasih burung kecil, tapi aku sangat sedih.
    Aku mempunyai seorang kekasih yang sangat aku
    cintai dan dia meninggalkanku. Hari ini adalah hari
    ke-100 dia meninggalkanku…”, jawab wanita ini
    terisak-isak. Mendengar jawaban itu, kedua burung
    kecil ini saling berpadangan penuh arti. “Nona muda, kalau boleh aku bertanya, apakah ini
    topimu?”, Tanya burung kecil yang tadi memberinya
    setangkai bunga. “Iya…”, jawab wanita ini pelan.
    “Apakah kamu sangat menyukai topi ini? Seringkali
    kami melihatmu dari angkasa kemana-mana kamu
    selalu memakai topi ini apalagi disiang terik begini”, lanjut burung kecil. “Iya, aku sangat menyukainya. Topi ini adalah
    pemberian dari kekasihku…, tapi sekarang dia
    meninggalkanku…”, jawab wanita ini terisak lagi.
    Tiba-tiba burung kecil yang memberinya bunga
    langsung mengambil topi tersebut dan terbang
    keangkasa. Lalu dibuangnya. “Apa yang kamu lakukan…?!”, teriak kecil wanita ini
    sambil mengejar topi itu. Tetapi, tuan angin
    berhembus membawanya pergi jauh. “Tidakkk….”,
    teriak wanita ini begitu pilu. “Te…, Teganya kamu
    membuang kenanganku. Hanya topi itu yang
    mengingatkanku tentang dia…”, teriak lagi wanita ini pada sepasang burung kecil sambil jatuh terduduk
    lesu. Burung kecil yang membasuh air matanya tadi
    terbang menghampirinya. Lalu ia duduk dipangkuan
    wanita ini. Katanya. “Nona muda, mengenang masa lalu memang tidak
    salah. Tetapi jika kamu MENETAP disana adalah
    salah. Masa lalu seindah apapun ia telah berlalu.
    Masa lalu seperti malam hari, kamu terpesona
    dengan terang ratu bulan dan kedip pangeran
    bintang. Kamu tidak ingin melupakannya dan untuk itu kamu tidak mau memejamkan mata karena
    kamu takut semua akan menghilang”. “Tetapi, semakin kamu tidak memejamkan mata,
    semakin BERAT matamu dan ketika tanpa kamu
    sadari akhirnya kamu HARUS kembali kekerajaan
    mimpi. Dan ketika kamu mendapati raja mentari
    telah membangunkanmu dengan belaian hangatnya,
    kamu begitu marah mengapa mereka tega membiarkanmu tertidur”. “Ingatlah nona muda, jika ada malam akan selalu
    ada siang. Dan jika ada siang akan selalu ada
    malam. Kamu tidak bisa hanya karena ada satu
    malam yang memberimu kenangan indah, kamu
    menolak siang. Dan jangan pula hanya karena satu
    siang yang membakar tawamu kamu memohon malam”. “HIDUP adalah kombinasi tawa dan air mata, dan
    keduanya satu paket yang tidak bisa dipisah”. “Jika aku dan pasanganku boleh memilih, kamipun
    ingin memilih tidak perlu susah payah mencari
    makan untuk anak-anak kami. Tidak perlu cemas
    menjaga siang dan malam agar telur kami tidak
    diincar musuh alami kami. Tidak perlu melawan
    hujan badai agar kami tidak jatuh dari ketinggin pohon ini”. “Tetapi kami tidak bisa dan kamipun tidak ingin
    mempedulikannya sekalipun kami terluka.
    Mengapa? Karena kami tahu ketika telur kami
    menetas, ketika anak-anak kami tumbuh besar dan
    bermain diangkasa bebas, semua luka dan beban
    itu LEPAS. Karena itulah kami MENIKMATI apa yang kami lakukan setiap hari sekalipun itu adalah
    rutinitas yang tidak menarik bagi mata yang
    melihatnya”. “Selayaknya dirimu nona muda, memang adalah hal
    yang menyesalkan kamu harus kehilangan yang
    sangat kamu cintai apalagi dengan cara
    ditinggalkan. Tetapi, apakah itu membuatmu
    bahagia dengan mengasihi diri sendiri dan marah?
    Dan kepada siapa kamu marah? Kepada dia yang meninggalkanmu? Mungkin sekarang dia sedang
    berbahagia dengan yang lainnya. Kamupun pantas
    mendapatkan kebahagiaan itu”. “Tetapi, jika kamu tidak mau MELEPASKAN luka
    itu, bagaimana kamu MENGUNDANG bahagia? Dan
    seandainya tuan bahagia yang sengaja datang
    mengunjungimu, melihatmu yang MENUTUP pintu,
    bagaimana ia masuk?”. Wanita ini yang tadinya tersedu-sedu mulai
    menghentikan tanggisnya. Cuaca yang tadinya terik
    berubah menjadi gelap. Tuan hujanpun membasahi
    bumi. Burung kecil yang tadi memberinya bunga
    terbang kecil membawa untaian bunga yang
    berbentuk mahkota sederhana dan dipakaikan pada kepala siwanita. “Nona muda, lihatlah langit ini. Tadi begitu terang
    sekarang berubah hujan. Apakah kamu juga akan
    menyalahkan karena tidak bisa pulang?”, Tanya
    burung kecil yang duduk dipangkuannya. Wanita
    muda ini terdiam sejenak. “Jika…, jika ada topi tadi
    aku mungkin bisa memakainya dan berlari pulang…”, jawab wanita ini pelan. Dua burung kecil ini saling berpandangan. Lalu
    burung yang memberinya bunga dan mahkota
    terbang keatas pohon. Tidak lama kemudian ia turun
    dan mendekati pasangannya sambil berbisik kecil.
    Keduanya tersenyum penuh arti. “Nona muda, setiap pertemuan yang kamu lalui
    selalu ada makna dibaliknya. Ada yang memberimu
    tawa. Ada yang memberimu luka. Tetapi yang
    terutama, mereka menarik sisi terbaikmu keluar
    daripada dirimu”. “Kamu yang sekarang seperti hujan ini. Kamu
    berteduh tidak berani keluar karena takut basah.
    Kamu merasa nyaman dengan berlindung dibawah
    pohon ini dengan berbagai alasan yang ada. Tetapi
    pernahkah kamu berpikir bahwa hujan juga akan
    membawakanmu bahagia?”. Wanita ini mengangguk pelan ragu. Burung kecil
    yang melihatnya terbawa kecil. Lalu keduanya
    menarik tangan siwanita ini memintanya agar
    bermain hujan dengan mereka. “Ayo, nikmati apa
    yang bisa kamu nikmati sayang…”, pinta burung
    kecil. Dengan perasaan enggan tapi penasaran wanita inipun melangkahkan kakinya. “Dingin…”, teriaknya kecil ketika hujan mengelitik
    kakinya. Lalu dia pun melompat kecil keluar sambil
    memeluk dirinya sendiri. “Dingin….”, teriaknya lagi,
    tapi wajahnya terlihat sangat menikmati. “Aww…”,
    teriaknya lagi ketika beberapa ekor tupai berlari-lari
    kecil disekelilingnya bermain air. “Hihihi…”, tawanya kecil. Ia telah lupa dinginnya.
    Mereka bermain dengan ceria hingga sebuah suara
    ramah menyapa mereka. “Bolehkah aku bergabung
    dengan kebahagiaan ini?”. Wanita ini terkejut kecil
    ketika disapa. Lalu dia berbalik melihat siapa
    gerangan pemilik suara ramah ini. Bola mata biru sebiru angkasa. Rambut panjang
    keemasan selembut sutra. Tubuh tinggi tegap
    mempesona. Seorang pria yang sangat tampan
    bagaikan pangeran. Wanita ini yang melihatnya
    merasa wajahnya panas. Padahal saat ini dia
    diguyur hujan. Pipinya merona merah. “Bo…, boleh saja…”, jawabnya malu-malu sedikit
    tertunduk. Pria tampan ini tersenyum dan
    meletakkan payungnya. Lalu dia menarik tangan
    wanita ini bersama para tupai dan burung lain
    mengikutinya. Sebelum wanita ini berlari mengikuti
    pria tampan ini, terdengar bisikan kecil sang burung kecil. “Kadang, Aku sengaja membuang topimu yang
    hanya melindungi dirimu saja supaya kamu bisa
    mendapatkan payung yang bisa melindungi kamu
    berdua. Kadang, Aku memberikan hujan dikala terik
    mentari supaya kamu mengerti ada yang hendak
    Aku beri. Dan untuk MENGETAHUI kamu tidak bisa berharap pada mata dan telingamu, yang harus
    kamu lakukan adalah MENSYUKURI semua nikmat-
    Ku, apapun itu”.
  • Suatu hari, seorang pemuda duduk bingung dan
    melamun disebuah bangku taman kota. Dari lukisan
    wajahnya bisa dipastikan pemuda ini sedang
    bersedih. Matanya berkaca-kaca dan sesekali ia
    memaki kecil sambil membaca surat yang
    dipegangnya. Dalam kesedihannya itu, ia melihat seorang pria tua
    sedikit kewalahan mengeluarkan barang-barang dari
    mobil didepannya. Awalnya pemuda ini tidak
    menghiraukannya, lagipula, dia sendiri lebih
    memerlukan bantuan daripada pria tua itu yang
    didepannya, itu yang dipikirkannya. “Ooh, terimakasih anak muda…”, kata pria tua ini
    ketika pemuda yang sedang bersedih ini
    membantunya membawa barang-barangnya. “Sekali
    lagi terimakasih nak…”, lanjut pria tua ini menunggu
    jawbanan pemuda ini. “Maafkan aku tuan, panggil saja Mike…”, kata
    pemuda ini yang ternyata bernama Mike. Pria tua ini
    tersenyum. “Sekali lagi terimakasih Mike, namaku
    Wisely”, jawab pria tua ini tersenyum ramah. “Dan
    maafkan aku Mike, tadi aku melihat kamu terlihat
    sedikit bersedih dan agak marah, apakah ada yang bisa kubantu sekedar balas budi kecil ini?”. Mike menghela napas panjang. “Sebenarnya hal
    yang biasa tuan Wisely, aku hanya marah pada
    diriku sendiri yang merasa tidak berguna. Mungkin
    aku tidak pantas menceritakannya, aku takut aku
    justru membuat hari tuan Wisely yang baik menjadi
    buruk”, kataku pelan. Dalam hati aku berharap ada seseorang mau mendengarkan ceritaku sekedar
    meringankan sesak dihati. “Baiklah, mengapa kamu tidak mencoba?”, Tanya
    tuan Wisely sambil tersenyum. “Mencoba apa?”,
    tanyaku sedikit bingung. “Hohoho…, mencoba
    membuat hariku menjadi buruk dengan ceritamu”,
    jawabnya sambil menepuk pundakku. “Mari, temani
    aku dibawah pohon tua itu. Silakan memulai ceritamu anak muda…”. Aku adalah seorang karyawan biasa disebuah
    perusahaan kecil dikota ini. Keseharianku sangatlah
    biasa tanpa ada yang perlu bisa dibangga. Bangun
    pagi, meminum secangkir kopi, berdesakan dikereta
    dan keluhan yang pertama ketika tiba ditempat
    kerja. Setelah sore, aku pulang. Kadang mampir kecafe
    sebentar. Minum secangir kopi lagi dan berkumpul
    dengan teman-teman satu kantor sambil berlomba
    menceritakan hari siapa yang paling buruk. Kalau
    tidak pasti saling mengosipkan kebenaran yang
    belum terbukti kebenarannya. Aku juga telah mempunyai pasangan dan aku
    sangat mencintainya. Sayangnya, semua itu harus
    berakhir hari ini setelah dua tahun lamanya kami
    membina hubungan cinta dan itu ditegaskan dalam
    surat yang kubaca barusan. Apa yang kualami adalah hal yang telah biasa
    dialami oleh pasangan umumnya. Kami saling
    menuntut dan melihat kekurangan masing-masing
    dan ingin merubahnya seperti yang diinginkan kita.
    Padahal, sejak pertama aku jatuh cinta padanya
    justru karena kekurangannya yang unik itu, sekarang justru jadi senjataku memojokkannya. Menyesal dengan segala keegoisanku itu? Sudah
    pasti. Itulah uniknya manusia jika tidak mau
    dikatakan buruk, kita baru menghargai sesuatu
    ketika kita kehilangannya. Setelah hampir sejam lebih aku bercerita tentang
    ketidak-beruntunganku pada tuan Wisely, mengeluh
    dan segala beban dihati, aku merasa lebih enakkan.
    Kulihat tuan Wisely dengan seksama mendengarkan
    ceritaku, seakan dia sangat mengerti perasaanku.
    Padahal, kami baru saja bertemu bahkan tidak sampai sejam. “Hmmm…”, dia berdegum, “Aku tidak tahu bahwa
    harimu begitu buruk, tapi menurutku ini justru bagus
    sekali kamu telah mengalaminya…”, lanjutnya
    membuatku bingung. Belum sempat aku bertanya,
    tuan Wisely memberiku sebuah kuas baru dan cat
    warna-warni. Lalu dia menyuruhku melukis. Apa saja. Aku duduk bingung diam sambil memandangnya
    dengan bola mata membesar. Aku benar-benar
    bingung dibuatnya. Dan yang lebih membuatku
    bingung lagi, tuan Wisely berkata, “Kamu boleh
    melukis apa saja, tapi jangan sampai mengotori
    kanvas putih ini ya”, sambil memberikanku sebuah kanvas putih. Lalu tuan Wisely mulai melukis
    pemandangan disekitar taman itu. Sejam telah berlalu, kanvasku masih putih. Kulihat
    lukisan tuan Wisely, dan sungguh luar biasa. Sangat
    indah dengan pemandangan sore hari ditaman ini.
    Begitu berwarna dan begitu mempesona. Tiba-tiba
    tuan Wisely melihat kearahku. “Mengapa kamu membiarkan kanvasmu putih?
    Apakah kamu tidak mempunyai sesuatu yang ingin
    dilukis?”, tanyanya tersenyum ramah. Aku terdiam
    sejenak. Lalu kujawab tuan Wisely. “Maafkan aku tuan Wisely, aku sebenarnya ingin
    melukis pemandangan juga. Tapi aku takut
    lukisanku tidak bagus sehingga menyian-nyiakan
    kanvas ini yang putih ini. Lagipula, tuan Wisely
    sendiri juga berpesan agar aku jangan mengotori
    kanvas ini bukan?”. Tuan Wisely tertawa terbahak-bahak mendengar
    jawabanku. “Hohoho…, maafkan aku anak muda karena
    menertawakanmu. Percayalah, aku bukan
    menertawakan dirimu sebenarnya, tetapi aku
    menertawakan diriku sendiri ketika aku seusia
    denganmu. Jawabanmu hampir persis dengan
    jawabanku dulu”. “Anak muda, sesungguhnya kanvas ini adalah
    DIRIMU. Kamu telah mempunyai kuasnya, kamu
    telah mempunyai cat warnanya, dan yang perlu
    kamu lakukan adalah menggerakkan tanganmu
    bekerja melukis apa yang kamu inginkan pada
    kanvas itu”. “Memang benar aku berpesan padamu agar jangan
    mengotori kanvas putih itu. Tetapi ingatlah ini juga,
    jika kamu tidak melukisnya, bagaimana aku tahu itu
    justru mengotori kanvasnya ataupun justru
    memperindah kanvas itu?”. “Dan sekalipun kamu melukisnya tidak seindah
    gambaranmu, so what? Aku juga dulu tidak bisa
    melukis seperti sekarang ini. Tetapi aku berusaha,
    sedikit demi sedikit dan akhirnya inilah lukisan yang
    kamu lihat dengan mata terpana bukan?”. “Anak muda, maafkan pria tua ini. Aku bukannya
    mengguruimu, tetapi sedikit berbagi pengalamanku
    padamu. Seperti yang telah aku katakan, kanvas ini
    adalah dirimu. Dan kamulah yang menentukan
    apakah kanvas ini menjadi lukisan yang indah
    ataukah corat-coret keluhanmu semata”. “Jangan terlalu mempedulikan apa pendapat orang
    tentang lukisanmu, apakah itu karena lukisanmu
    benar-benar buruk ataukah mereka yang iri karena
    tidak bisa melukis seindah kamu. Jika buruk,
    perbaikilah pelan-pelan, apa yang tidak bagus
    ubahlah menjadi bagus”. “Dan jikalau kanvas itu telah kosong tidak bisa diisi
    lukisan lagi, KOYAKLAH lembaran kanvas yang
    penuh itu. Tuhan selalu memberimu KANVAS
    YANG BARU dalam hidupmu”. “Jika kanvas yang dulu membuatmu menderita, lalu
    mengapa kamu masih menyimpan kanvas itu dan
    terus menatapnya? Koyak dan buatlah lukisan yang
    baru. Lukisan yang lebih indah dari lembar
    sebelumnya. Lukisan yang membuat mata
    terpesona”. “Dan jika lukisan itu indah bagimu, kembangkalah
    dan indahkanlah juga mata lainnya dengan cara
    berbagi dengan mata lain yang INGIN melihatnya”. “Mengapa aku mengatakan yang INGIN
    melihatnya?, karena seindah apapun lukisanmu
    akan ada mata dan kata-kata yang tidak
    menyetujuinya. Dan jika kamu terlalu mendengarkan
    kata-kata itu, semakin lama itu akan menjadi
    PEMBENARAN BARU pada kepalamu, dan akhirnya, lukisan itu menjadi tidak indah lagi lalu
    kamu akan mengoyaknya dan membuangnya”. “Ketika kamu membuang lembaran lukisanmu,
    kamu masih bisa melukis lagi. Tetapi ketika kamu
    membuang semua kanvasmu, termasuk kuas dan
    cat warnamu, kamu telah membuang dirimu sendiri”. “Anak muda, sebelum kita berpisah, ijinkan pria tua
    renta sok tahu ini memberi satu nasehat. Hidup itu
    indah apapun alasannya. Bunga akan mekar dan ia
    akan layu, lalu akan bertumbuh bunga indah lainnya.
    Jangan membuat dirimu menderita hanya karena
    kamu setiap hari MENATAP SATU LEMBAR LUKISAN yang menurutmu buruk”. “Masih banyak lembaran kanvas putih baru yang
    bisa kamu lukis. Tetapi, ketika kamu sudah melukis
    dengan baik dan berusaha semaksimalmu dan itu
    membahagiakanmu, SATU LEMBAR PUN sudah
    cukup. Jangan MEMBANDINGKAN indahnya
    lukisan orang lain, itu lukisan MEREKA, bukan lukisanmu. Sekalipun kamu bisa MEMILIKI lukisan
    itu, itu tetap bukan lukisanmu”. “Dan tahukah mengapa aku melukis pemandangan
    disini dengan matahari terbenam sedangkan
    matahari masih bersinar terang diatas kepala kita?”,
    Tanya tuan Wisely dengan senyuman ramahnya
    penuh arti. Aku menggangguk dan membalas senyumnya. Aku
    mengerti sekali apa maksudnya. Lalu dia bertanya
    padaku, “Menurutmu, apa artinya?”. Aku hanya memandangi lukisan itu, dan kujawab
    singkat dengan yakin. “Anda sedang melukis MASA DEPAN yang indah”
  • Suatu pagi seperti pagi biasanya, seorang pemuda
    yang dikenal dengan nama Mike duduk tidak
    bersemangat sebuah bangku taman. Dikeluarkannya
    kotak kecil segiempat warna biru dari tasnya. Lalu
    dibukannya kotak itu dan raut wajahnya terlihat
    berubah. “Nasi, sayur dan sedikit daging? Dan sebuah apel?”,
    keluhnya sendiri melihat bekal yang dibuatkan
    istrinya hampir sama setiap harinya. Karena perut
    yang telah lapar, mau tak mau ia harus
    memakannya sekalipun tidak bergairah. Ketika baru mencicipi sedikit, terlihat dua ekor anak
    kucing menghampirinya. Seekor berwarna
    kecoklatan dan seekor lainya berwarna kuning.
    Mereka terlihat lucu sekali berlarian kecil melompat-
    lompat didepannya seakan beratraksi meminta
    sedikit “suapan” dipagi hari. Ketika sedang asyik melihat kucing itu bermain,
    terdengar sapaan ramah seorang pria tua. “Anak
    muda, bolehkah pria renta ini duduk disini
    mengistirahatkan kaki barang sebentar?”, tanyanya
    dengan senyum yang sangat ramah. Bola matanya
    yang sebiru angkasa menambah pesonanya. “Ooh, boleh saja tuan dan maafkan aku tuan. Tadi
    aku melihat dua ekor anak kucing ini bermain begitu
    riang sehingga saya terhanyut oleh perasaanku
    sendiri. Silakan duduk tuan…”, jawab Mike disertai
    jawaban dari sipria tua ini. “Johan. Nama saya
    Johan”. “Salam kenal tuan Johan, namaku Mike”. Pagi itu matahari masih tersenyum dengan
    hangatnya. Jalanan masih tidak begitu ramai.
    Terlihat para pemilik toko baru mulai membersihkan
    tokonya sebelum menerima pelanggan. Mike yang
    masih terlihat kurang berselera menikmati
    sarapannya, secara tidak sengaja melihat pria tua ini juga membawa bekal. Dalam hatinya Mike bertanya dan bertaruh dengan
    dirinya sendiri bahwa bekal pria ini pasti lebih enak
    dibanding bekalnya yang sederhana sekali. Tetapi
    ketika pria tua ini membuka kotak bekalnya, ia
    hampir tidak percaya melihat apa yang dilihatnya.
    Hanya roti tawar. Tidak ada apa-apa lagi. Seperti bisa membaca keterkejutan Mike, pria tua
    ini hanya tersenyum ramah dan berkata, “Maafkan
    saya anak muda jika bekalku merasa membuatmu
    merasa tidak nyaman. Tapi inilah yang kumakan
    selama hampir 40 tahun lamanya”. “Roti ini adalah buatan istriku. Dan inilah satu-
    satunya bekal yang paling aku cintai darinya”, lanjut
    pria tua ini sambil memandangi roti tawar itu dengan
    mata berkaca-kaca. Mendengar hal itu, Mike
    merasa aneh. Masa roti tawar itu yang mudah
    didapatkan merupakan satu-satunya bekal yang bisa dibuat oleh istrinya? Dan seperti bisa membaca pikirannya lagi, pria tua
    ini melanjutkan perkataannya. “Anak muda, aku duduk disini bukan karena ketidak-
    sengajaan juga. Tadi, ketika aku lewat disini hendak
    bersantai seperti biasanya, aku menemukan dirimu
    sudah duduk disana dan terlihat begitu resah. Dan
    sekedar kamu tahu saja, bangku inilah dimana aku
    melamar istriku dan bangku inilah yang hampir selama 40 tahun menemaniku menikmati
    sarapanku”. “Tapi jangan merasa sungkan anak muda, bangku
    ini bangku umum, siapapun boleh mendudukinya”,
    katanya dengan tutur kata yang sopan dan sangat
    ramah. Aku hanya bisa tersenyum dan
    menganggukkan kepala. Ya, ini adalah pertama kalinya aku duduk dibangku
    taman ini. Setiap pagi aku berangkat bekerja tetapi
    tidak pernah sepagi hari ini. Aku memaksakan diriku
    bangun pagi ini karena semalam aku tidur tidak
    nyenyak. Pekerjaanku menumpuk dikantor, belum lagi segala
    tagihan dan biaya yang begitu membuat pusing
    kepala. Dan pagi ini, aku berharap istriku
    membuatkanku bekal yang enak supaya aku lebih
    bersemangat, tetapi hasilnya tetap saja. Dan sekali lagi, seperti bisa membaca isi kepalaku,
    pria tua ini melihatku dan berkata. “Anak muda, coba kulihat bekalmu”. Awalnya aku bingung dengan pertanyaannya. Tetapi
    pandangan dan senyuman ramahnya itu membuatku
    memperlihatkannya. “Hmm, bekal yang sangat enak sekali dan penuh
    gizi. Pasti dibuat dengan penuh rasa sayang”, puji
    pria tua ini dan tanpa kusadari aku menyahut, “Enak
    darimana, hampir tiap hari makanannya seperti
    ini…”, dengan muka ketus. Pria ini tertawa kecil, “Hoho…, benarkah seperti itu?
    Jika bekal seenak itu saja kamu katakan tidak enak
    dan bosan, bagaimana dengan aku yang setiap hari
    membawa bekal yang sama dan selama hampir 40
    tahun aku memakannya?”, tanyanya sambil
    memperlihatkan bekalnya. Sejujurnya aku merasa sangat tidak enak telah mengatakan hal itu. “Anak muda, jika kamu membawa bekalmu hanya
    sebagai tujuan untuk BERHEMAT, semakin kamu
    berhemat semakin perasaanmu terbeban dan
    semakin cepat kamu menjadi bosan. Memang baik
    kamu membawa bekal karena bisa menghemat
    sedikit pengeluaran, tetapi ingatlah jangan jadikan itu tujuan utamanya apalagi sampai membuatmu
    TIDAK MENGHARGAINYA”. “Sekarang cobalah lihat bekalmu lagi”, lanjut pria tua
    ini dengan sedikit menganggukan kepalanya agar
    aku melihat bekalku. “Disana ada nasi. Menurutmu
    kira-kira berapa lama istrimu harus memasaknya
    dan seberapa pagi dia harus bangun
    menyiapkannya?”, tanyanya sambil tersenyum. Aku menggelengkan kepala. “Sekarang lihat sayuran yang terlihat masih segar
    itu, kira-kira berapa lama dia memilihnya untukmu
    dan sampai kemana dia mencarinya?”. Aku
    menggelengkan kepala lagi. Kali ini aku merasakan
    ada suatu perasaan yang timbul dihatiku. “Dan lihatlah apel itu…, aku rasa kamu sudah tahu
    apa yang akan kutanyakan padamu. Tetapi inilah
    yang paling ingin kutanyakan. Apakah kamu tahu
    dia, istrimu, juga makan bekal seenak kamu
    dirumah?”. Aku terdiam seribu bahasa. Ya, aku baru menyadarinya. Dengan kondisi
    ekonomi kami yang begitu pas-pasan, istriku tidak
    sedetikpun mengeluh padaku. Dia selalu bangun
    subuh-subuh membereskan rumah dan menyiapkan
    bekal untukku. Seingatku, setiap belanja dia selalu membeli sebuah
    apel, sebutir telur, sedikit daging dan seikat
    sayuran. Dan pagi ini, dan seperti pagi lainnya,
    semua itu terisi penuh dikotak bekalku. “Ya
    Tuhan…”, ucapku singkat hampir tidak mampu
    menahan air mataku. Istriku makan dengan lauk apa dirumah jika semua lauk yang dibelinya diberikan
    padaku? Hanya nasi putih sama sebotol kecap asin
    yang terletak disudut dapur ketika aku berangkat
    bekerja. “Anak muda, bekal yang disiapkan istrimu itu, bahan
    dan bumbu semewah apapun yang dibuat oleh para
    koki kelas dunia tidak akan bisa mengalahkan bekal
    yang dibuat istrimu. Keistimewaan bekalmu itu
    hanya istrimu yang bisa membuatnya, dan
    bumbunya itu bumbu satu-satunya. Kamu tentu tahu apa maksudku bukan?”, Tanya pria tua ini
    menempuk pundakku. Kurasakan wajahku basah
    dan tetesan air mataku jatuh pada tangan dan kotak
    bekalku. Pria tua ini memang benar. Istriku telah bangun
    subuh-subuh, menyiapkan bekal untukku, dengan
    penuh cinta dan sayang sebagai bumbu, aku malah
    dengan mudahnya mengeluh. Aku benar-benar pria
    yang tidak tahu berterimakasih dan BERSYUKUR. Aku yang awalnya memakan bekal buatan istriku
    dengan perasaan mati rasa, kini berganti penuh
    gairah. Sayur yang terlihat membosankan, kini
    terlihat menyegarkan. Rasanya enak sekali. Dan
    aku, pada pagi itu, melahapnya tanpa tersisa. Setelah menghabiskan bekalku, aku teringat betapa
    tidak sopannya aku telah melahap bekalku dan
    melupakan pria tua yang disampingku ini. Dan
    sekali lagi, seperti bisa membaca pikiranku, dia
    tersenyum ramah dan berkata. “Jangan pedulikan aku anak muda, melihatmu yang
    bisa melahap sebahagia itu sudah cukup untuk
    mengeyangkan jiwaku. Dan ijinkanlah aku
    memberimu satu nasehat sok tahu ini.
    NIKMATILAH apa yang telah kamu PUNYA
    sekalipun itu hal yang terlihat SANGAT SEDERHANA bahkan tidak berharga”. “Berbahagialah karena kamu MASIH menikmatinya,
    BERSYUKURLAH kamu masih memilikinya, karena
    ketika kamu kehilangannya, kamu akan
    MENYESALINYA”. “Dan kamu pasti bertanya mengapa aku
    mengatakan hal seperti ini bukan?”, Tanya pria tua
    ini tersenyum ramah padaku sambil memperlihatkan
    bekalnya yang hanya roti tawar. Matanya berkaca-
    kaca. “Bagi kamu mungkin roti ini adalah sangat
    sederhana dan kurang nikmat untuk dirasa bukan?
    Tetapi aku tidak menyalahkanmu karena dulu aku
    juga begitu sepertimu. Tetapi, sejak 38 tahun lalu,
    tepatnya bulan Agustus, roti ini menjadi favoritku”. Aku mengernyitkan dahiku bingung. Pria tua ini
    tertawa kecil dan melanjutkan perkataannya. “Roti ini menjadi favoritku bukan karena ia sangatlah
    enak. Roti tawar ya tetap tawar, tetapi yang
    menyiapkannya memberi RASA yang nikmat. Dan
    roti tawar ini dibuat oleh istriku dengan susah payah
    dan perlu berpuluh-puluh menit mempersiapkannya”. “Dan aku tahu kamu pasti bingung mengapa roti
    tawar ini perlu waktu yang begitu lama untuk
    dipersiapkan bukan?”, Tanya pria tua ini tersenyum
    ramah. Aku mengangguk pelan. Lalu dia mengambil
    sebuah foto tua dari jas yang dipakainya dan
    diperlihatkan padaku. Ketika melihat foto itu, aku spontan menutup mulutku. “Ini istriku anak muda, dia telah kehilangan
    tangannya ketika kecelakaan 38 tahun yang lalu.
    Dan dia juga kehilangan satu kakinya. Roti tawar ini
    dibuatnya dengan hanya mengandalkan….”, kata-
    katanya terhenti. Matanya basah. Akupun juga tidak
    mampu menahan air mataku lagi, dan aku tahu betul apa maksudnya. “Anak muda, dulu aku sama sepertimu. Kurang
    menghargai hidup sebagaimana kita mengeluh bekal
    kita. Tetapi, sejak kecelakaan dulu itu, aku begitu
    menyesalinya. Dan untuk itulah aku tidak ingin
    kamu mengulang sejarah yang sama”. “Ini memang bekal biasa. Kita bisa membelinya
    dimana saja dan kapan saja, tetapi kamu tidak akan
    bisa membeli BUMBU dan MEREKA YANG
    MEMBUATNYA. Makanya, sekalipun roti tawar ini
    terlihat sangat sederhana dan bahkan tidak enak
    rasanya, bagiku ini adalah makanan paling nikmat sedunia, apalagi roti ini dibuat oleh istriku tercinta
    yang dengan senang hati membuatkannya untukku,
    tanpa mengeluh dan tanpa kedua tangannya”. “Jika hal kecil saja kita tidak HARGAI dan
    SYUKURI, maka hal sebesar apapun tidak akan
    kamu HARGAI apalagi SYUKURI”.
Sign In or Register to comment.