It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
seorang anak jalanan pada seorang anak didepan
gerbang sekolah. Rambutnya kusut dan bajunya
kumuh. Tubuh dan wajahnya basah oleh cucuran
keringatnya. “Siapa kamu? Kok minta kueku?”,
tanya anak berseragam sekolah. Dari logo diseragamnya yang bergambar burung elang dengan
perisai dikakinya mengatakan bahwa anak ini
berasal dari sekolah kelas atas. “Aku hanyalah anak jalanan, aku lapar. Bolehkah
aku meminta sepotong kuemu?”, tanya anak jalanan
ini lagi tersenyum ramah sambil tetap mengulurkan
tangannya berharap sepotong kue itu akan
diletakkan diatas telapak tangannya yang terlihat
banyak bekas luka. “Tidak mau. Pergi kamu. Kamu bau dan jelek”,
teriak anak dari sekolah elit ini langsung berlalu. “Terimakasih, semoga Tuhan memberkatimu”, jawab
anak jalanan ini menundukkan kepala seperti
memberi hormat. Lalu dia berjalan keanak lainnya
yang sedang makan dan mengulangi hal yang
sama. Tetapi selalu ditolak dan dia juga selalu
mengucapkan kata yang sama. “Terimakasih, semoga Tuhan memberkatimu”. Ketika hendak meminta pada anak lain yang sudah
entah keberapa, seorang anak dari sekolah yang
sama yang mengikutinya sejak tadi memanggilnya,
“Hei teman, ambil punyaku saja”, sambil
memberikan roti isi dua buah. Melihat hal itu, anak
jalanan ini langsung berlutut dan menyembahnya. “Terimakasih, terimakasih…, terimaka….”, suaranya
tertahan karena isaknya. Air matanya menetes
membasahi jalanan dimana ia berlutut menyembah.
Anak yang memberinya roti ini hanya terdiam
bingung dengan apa yang dilakukan anak jalanan
ini. “Terimakasih banyak…, Tuhan memberkatimu…”, katanya menyembah sekali lagi. Lalu dia berdiri, sebelum pergi, dia melihat anak
yang memberinya roti ini dan bertanya, “Rotinya ada
dua, bolehkah aku berbagi dengan saudaraku?”,
dengan senyuman yang sangat indah meminta ijin.
Anak yang memberinya roti ini membalas
senyumannya dengan senyuman yang tidak kalah indah. “Iya…”. “Terimakasih…, Tuhan memberkatimu…”, lalu ia
berlari kecil pergi. Tidak jauh dari situ, ternyata ia
memberikan rotinya pada seorang anak perempuan
kecil. Terlihat anak perempuan kecil itu tertawa
senang sekali dan memakannya dengan lahap. Lalu roti satunya dia potong dua, setengahnya dia
makan, setengahnya dia berikan pada seekor anjing
tua yang sejak tadi menemani anak perempuan tadi
bermain. Ternyata, maksud dari “saudaraku” anak
jalanan ini adalah anjing tua itu yang telah
menemani dan menjaga mereka sekian tahun lamanya setelah orang tua mereka tiada. Anak yang memberinya roti melihat hal itu dengan
mata berkaca-kaca. Lalu datang seorang pria
dewasa menghampirinya. “Mengapa kamu
memberikan roti itu pada mereka? Bukankah itu
makan siangmu dan merupakan roti kesukaanmu?”,
tanya pria dewasa ini dengan senyuman ramah. Dipeluknya pria dewasa ini dengan erat. Jawabnya. “Ayah, sebelum mama pergi kesurga, mama
berpesan padaku agar selalu berbagi dengan apa
yang kita punya. Aku diberkati oleh Tuhan dengan
berkecukupan. Bisa sekolah. Bisa makan sehari
lebih dari yang kumau. Sedangkan anak itu,
meminta makan sehari saja susah”. “Dan aku terkejut ketika tadi aku mengikutinya,
sekalipun ditolak dan dijelekan, ia tetap
mengucapkan terimakasih dan mendoakan mereka.
Aku hanya memberinya dua roti, tapi dia
menyembahku seperti raja penyelamat nyawanya.
Aku selalu diajarkan untuk berbagi, tetapi ia mengajarkanku betapa indahnya berbagi
berdebat. Yang satu berpostur besar dan bulunya
berwarna hitam pekat. Yang satu berpostur kecil
dan bulunya berwarna keabuan. “Tidak! Aku tidak akan bisa menerima ide bunuh
dirimu yang mencari makanan direstoran mewah
didepan sana. Apakah kamu tidak sadar sudah
berapa banyak saudara kita yang pulang dengan
bekas luka ditubuhnya? Bahkan beberapa
kehilangan anggota tubuhnya”, jawab kucing berbulu hitam sinis. “Tetapi apakah kamu tidak bosan dengan keadaan
kita sekarang? Yang bertahun-tahun tidak ada
perubahan dan makin menyedihkan? Untuk
mendapatkan makanan saja kita harus menunggui
sampah yang dibuang dan mengalir kesungai ini”,
balas kucing berbulu keabuan. “Haha…, apa yang kamu harapkan? Mencari makan
kerestoran mewah didepan sana dengan
mempertaruhkan nyawa? Menurutku itu bukan saja
ide yang gila, kamu mungkin juga sudah gila”. “Saudaraku, kita DILAHIRKAN untuk seperti ini
selamanya. Kita TIDAK AKAN BISA mengubahnya.
Jika kita pantas untuk makan direstoran mewah
tersebut, mengapakah DIA menempatkan kita disini
sejak dari kecil dulu?”. “Terima sajalah. Kita sudah sangat beruntung bisa
mencari makan disini tanpa perlu bersusah payah,
yang perlu kita lakukan hanyalah menunggu dan
bergerak cepat ketika ada makanan lewat”, jawab
kucing berbulu hitam ini sambil berlalu. Dengan kepala tertunduk lesu, kucing berbulu
keabuan ini pasrah. Apa yang dikatakan temannya
memang ada benarnya juga. Tetapi, hati kecilnya
juga melawan seakan menasehatinya. Lalu kucing
berbulu keabuan ini mengambil keputusan, ia pergi
menemui para pendahulunya yang pernah kerestoran mewah. “Ya, manusia sangat jahat disana. Lihat ekorku
yang terputus ini, itu karena mereka tidak menyukai
kita. Aku sudah sangat beruntung bisa selamat dari
sana dan kembali hidup-hidup. Saranku padamu,
jangan pernah kesana sekalipun kamu tidak sayang
nyawa”. “Kamu mau kesana? Hahaha…, Apa aku tidak salah
dengar? Coba lihat bekas ditubuhku ini, menurutmu
ini sebuah kebanggaan aku kehilangannya? Buang
jauh-jauh pikiran itu anak muda”. “Hanya satu permintaanku padamu teman. Jangan
pernah kesana. Itu bukan untuk kita. Itu untuk
mereka yang beruntung saja. Kita tidak akan bisa”. Itulah jawaban-jawaban pesimis yang dilontarkan
kucing lainnya ketika ditanya bagaimana cara
kerestoran mewah impian kucing keabuan ini.
Semakin mendengar, semakin putus asa kucing
keabuan ini. Karena memang telah kehilangan semangatnya
dengan segala kebenaran yang dikatakan saudara-
saudaranya lainnya, kucing berbulu keabuan ini
mengambil keputusan terakhir. Ia akan bertanya
pada satu kucing lain lagi. Tapi tidak pada kucing
yang pulang gagal kemari, tetapi mereka yang pernah menikmati disana walaupun cuma sekali. Kucing berbulu keabuan inipun teringat akan satu
ekor kucing tua yang tinggal disebuah rumah mewah
bersama seorang nenek tua. Lalu iapun bergegas
kesana dan ingin menyelinap kesana sekalipun
cuaca malam itu hujan lebat dan gelap. “Catherine, aku pernah dengar kamu sekali tinggal
direstoran mewah didepan disana dulu. Apakah
benar? Bagaimana caranya?”, Tanya kucing
keabuan ini pada kucing berbulu putih tua dengan
bola mata biru tersebut seperti memohon. “Hihi…, mengapa kamu tanya padaku? Bukankah
aku dicap gila oleh kumpulanmu disana? Mengapa
kamu tidak bertanya pada mereka yang lebih
berpengalaman menurut mereka sendiri?”, Tanya
kucing tua ini yang bernama Catherine sambil
tertawa kecil. “Aku sudah bertanya pada mereka…, dan mereka
semua mengatakan aku gila…”, jawab kucing
keabuan ini tertunduk lemah. “Hihi…, melihatmu yang sekarang justru
mengingatkanku waktu muda dulu. Aku juga
kehilangan semangat sepertimu. Tetapi anak muda,
ini saranku, PERGILAH KESANA dan lakukan apa
yang terbalik dari yang dilakukan mereka yang
mengatakan kamu gila. Plus dengarkan satu nasehatku ini”, jawab Catherine lalu membisikinya
sesuatu. “Ooooh…, begitu ya”, teriak kecil kucing berbulu
keabuan ini menjadi bersemangat. Setelah berterimakasih, maka berangkatlah kucing
berbulu keabuan ini kerestoran mewah yang sudah
lama diimpikannya. ….. Setelah bertahun-tahun kemudian, kembalilah
kucing berbulu keabuan ini mengunjungi Catherine.
Cahterine yang melihatnya hanya tersenyum. Tanpa
perlu berkata apa-apa Catherine tahu bahwa “anak
didiknya” ini telah berhasil. Tubuhnya tinggi tegap. Bulunya halus berkilaun
terawat. Pandangan matanya tajam. Jalannya lincah
dan penuh semangat. “Hihi…, Selamat datang kembali anak muda,
melihatmu yang sekarang, aku yakin kamu telah
belajar banyak. Petualangan apa saja yang bisa
kamu bagikan padaku sebagai pengantar tidurku?
Hihi…”, sapa Catherine ramah. Kucing berbulu keabuan ini merebahkan tubuhnya
disamping Catherine yang telihat sudah lemah.
Diciumnya kening Catherine. Lalu mulailah ia
bercerita. “Ketika pertama kali aku sampai disana, aku begitu
kelelahan dan lapar. Aku rasanya ingin masuk
kerestoran itu dan mengambil makanan untuk
mengisi perutku. Tetapi aku tidak melakukannya
karena teringat nasihatmu”. “Kamu berkata padaku agar, JANGAN MENCURI
atau MENGAMBIL APA YANG BUKAN MILIKMU”. “Dengan menahan lapar, aku mengais tong sampah
dibelakang restoran dan memakan seadanya.
Setelah selesai, aku mengikuti nasehatmu. Aku
duduk berjaga didepan pintu belakang restoran”. “Hari pertama aku diusir oleh seorang koki tua
sambil memakiku. Hari kedua juga sama hingga
berminggu-minggu lamanya. Hingga pada minggu
keberapa aku lupa, aku diberikan semangkok kecil
susu segar. Koki tua yang awalnya mengusirku
tersenyum ramah membelai kepalaku dan berlalu”. “Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari yang indah.
Semangkuk kecil susu segar menjadi semangkuk
besar plus makanan restoran yang telah lama
kuimpikan. Selanjutnya aku diberikan keranjang
tidur yang ditempatkan didapur dekat jendela”,
kenang kucing berbulu keabuan ini tersenyum. “Hihi…, Sekarang?”, Tanya Catherine dengan mata
terlihat sayu seakan hendak tidur. Kucing berbulu
keabuan ini mencium keningnya lagi. Lanjutnya. “Sekarang aku ditempatkan ditempat yang sangat
nyaman. Disebuah rumah mewah dengan teman
baikku yang memberiku banyak nasehat indah pada
dulunya. Dengan perawatan terbaik, makanan
terbaik dan penuh belaian kasih sayang sang tuan
rumah”. “Akhirnya aku mengerti arti perkataanmu dulu.
Melakukan terbalik apa yang dilakukan oleh
kumpulanku”. “Dulu, mereka melakukan apa saja untuk
mendapatkan makanan disana. Dan yang sering
mereka lakukan adalah MENCURI dan
MENGAMBIL apa yang bukan milik mereka. Dan
tentu saja pemiliknya akan marah dan
memperlakukan kita sepantas kita mendapatkannya”. “Nasehatmu yang dulu kamu bisikkan padaku agar
aku BERSABAR, BERSABAR, BERUSAHA dan
SELALU BERJAGA dibelakang pintu restoran
akhirnya aku tahu apa maksudnya. Kamu ingin
mengajarkan padaku untuk selalu MELIHAT
PELUANG dan MENCIPTKAN KESEMPATAN”. “Ternyata, didapur banyak tikus yang berkeliaran.
Dan bagi sebuah restoran kelas mewah, kehadiran
tikus bisa merusak reputasinya. Karena itu, kamu
memberiku saran dan nasehat aku selalu berjaga
disana”. “Ketika untuk pertama kalinya aku menangkap
seekor tikus, aku mengikuti saranmu dengan
mengeong keras-keras supaya koki yang disana
keluar dan melihat. Saat itu aku begitu ketakutan
sekali akan diusir dan dipukuli. Tetapi, yang
kudapatkan malah semangkuk kecil susu segar”. “Kamu mengajarkanku agar selalu BERSABAR dan
BERUSAHA, selalu MELIHAT PELUANG dan
MENCIPTAKAN KESEMPATAN. Dan sisanya aku
yang mengambil keputusan”. “Terimakasih Catherine…”, kecup kucing berbulu
keabuan ini. “Hihi…, bukan aku yang membuatmu menjadi hari
ini, tapi KEPUTUSANMU waktu dulu dan
MENGAMBIL TINDAKAN LANGSUNG. Apa yang
kamu dapatkan hari ini adalah keputusan yang
kamu ambil kemarin”. “Dan ini nasehat terakhirku padamu anak muda,
ketika kamu ragu dengan impianmu, CARILAH dan
BERTANYALAH pada tempat yang tepat dengan
PERTANYAAN YANG TEPAT”. “Ketika kamu bertanya pada kumpulanmu dulu,
kamu mendapatkan jawaban yang berbeda dengan
jawabanku bukan? Sesungguhnya, kamu telah
bertanya pada tempat yang tidak tepat”. “Aku dan mereka memang pernah kesana mencoba
meraih impian yang sama. Tetapi aku MENETAP
DISANA, sedangkan mereka pulang dengan
kegagalan dan menciptakan “kebenaran” yang
sangat berbeda”. “Pertanyaan yang tepat juga berpengaruh besar
pada keputusanmu. Ketika kamu bertanya
BAGAIMANA MEWUJUDKANNYA, kamu
mendapatkan JAWABAN untuk mencapainya.
Tetapi ketika kamu bertanya MENGAPA TIDAK
BISA, kamu juga mendapatkan JAWABAN mengapa tidak bisa”. “Impian yang sama, pertanyaan yang berbeda,
menghasilkan JAWABAN YANG BERBEDA PULA”. Setelah memberi nasehat terakhirnya, Catherine
tertidur pulas dengan senyuman yang puas. Aku
tahu dia akan tertidur selamanya. Kukecup kening
Catherine. Lalu aku mengeong-ngeong agar tuanku
datang. Setelah membaringkan Cahterine ditempat istirahat
terakhirnya, tuanku meninggalkan aku sendiri
disana. Dia tahu aku baru saja kehilangan sahabat
baikku yang telah mengajarkan aku banyak
pelajaran hidup. Setelah beberapa lama, kulepaskan
kalungku yang bertuliskan namaku disana sebagai tanda terimakasih dan sebagai bentuk
penghormatan. Setelah beberapa lama, tuanku memanggilku
pulang. Kupandangi sebentar peristirahatan terakhir
sahabatku. “Selamat jalan Catherine, terimakasih atas semua
pelajaran dan nasehat indah bijakmu dulu. Sekarang
tugasku adalah meneruskan cita-citamu seperti
yang kamu teruskan padaku”. “Bye Cahterine….”
menarik simpati yang melihatnya, aku meminta ijin
pada dunia untuk mengeluh mengasihani diriku
mengapa dunia begitu tidak adil padaku. Tetapi, belum sempat aku berkata sepatah-katapun,
aku dikejutkan oleh suara seorang gadis kecil yang
tiba-tiba hadir dihadapanku dan bertanya dengan
suaranya yang ramah, “Tuan tidak apa-apa? Tuan
kelihatannya kurang sehat”. Awalnya aku tersentil emosiku. Aku merasa
mendapatkan korban untuk pelampiasan
ketidakadilan dunia padaku, apalagi ini seorang
anak gadis kecil, pasti mudah untuk melakukannya. “Tuan, ini ada bakpao sisa sedikit yang aku simpan
tadi pagi. Tuan boleh mengambilnya, sepertinya
tuan sakit dan lebih memerlukannya…”, lanjut gadis
kecil ini sambil memberikanku sebuah bakpao sisa
yang dibungkus rapi pada sebuah plastik. Aku terdiam tidak bisa berkata apa-apa. Pikiranku
menjadi hampa. Aku yang secara sengaja ingin
mencari korban melampiaskan amarahku atas
ketidakadilan dunia ini dan ketidakpedulian sesama
justru mendapatkan seseorang yang datang peduli
padaku? “Hup…, aku duduk sebentar ya tuan…”, kata gadis
kecil ini melompat keatas bangku dimana aku
sedang duduk. “Hi~hi…”, ia tertawa kecil
memandangiku dan terlihat manis sekali. Entah
kenapa melihatnya yang tertawa seperti itu
amarahku hilang seketika. “Nih tuan…, kita bagi dua aja bakpao ini. Tuan pasti
merasa tidak enak kalau tuan sendiri yang makan
bukan? Makanya tuan tidak mengambil
bakpaoku…”, kata gadis kecil ini sambil
memberikanku setengah sisa bakpaonya. Aku
antara sadar dan tidak mengambil bakpao itu. “Hmm~mm…, enak sekali…”, gumam gadis kecil ini
begitu menikmati bakpao dalam mulutnya. “Ayo
cicipi dong tuan, enak lho…”, lanjutnya sambil
tersenyum manis sekali. Akupun mencoba bakpao
itu. Dan rasanya, aku tidak berani
memuntahkannya. “Enakan tuan, walaupun sedikit keras…”, tanya
gadis kecil ini tetap menikmati bakpaonya. Tiba-tiba
aku merasakan ada cairan hangat membasahi
pipiku. Aku melihat keangkasa, langit sedang cerah.
Lalu kenapa pipiku wajah? Ternyata mataku
mengeluarkan air mata. “Mengapa tuan menanggis? Bakpaoku kurang enak
ya? Atau bakpaoku yang kurang?”, tanya gadis kecil
ini sambil berdiri mengelap air mataku dengan
sehelai kain bekas putih bersih yang dikeluarkan
dari sakunya. “Maaf ya tuan, bakpaoku memang
agak keras…”, lanjutnya dengan mata sayu seperti menyesal telah membuatku menanggis. “Ti…, tidak sayang, bakpao ini sangat enak, malah
sangat enak…, paman menanggis karena baru kali
paman memakan bakpao yang enak sekali…”,
kataku pelan sambil menyibak rambutnya yang
kusut. Kali ini aku tidak mengada-ada mengatakan
bakpaonya enak, karena bakpao yang kumakan walaupun sama tetapi rasanya telah berbeda. Aku sendiri tidak tahu mengapa bakpaonya menjadi
lebih enak, apakah karena bumbu yang
ditambahkan dengan senyuman manisnya, ataupun
bumbu karena ketulusan hatinya. Aku terus
mengunyah dengan perasaan sangat lega. “Apa yang kamu lakukan disiang hari begini…?”,
tanyaku sambil tersenyum. Jika bisa berkaca aku
yakin ini adalah senyumku yang paling indah
selama hidupku. “Apakah kamu tidak sekolah?”,
lanjutku sambil meminta duduk dipangkuanku. “Tidak tuan, aku tidak sekolah. Mamaku sebenarnya
ingin menyekolahkanku dan adikku. Tetapi uangnya
tidak cukup, jadi aku meminta pada mamaku agar
menyekolahkan adikku saja. Dan setelah pulang
sekolah aku yang meminta adikku mengajar aku.
Sekarang aku baru selesai membantu menjual bakpao buatan mama, hehehe…”, jawabnya polos
sambil terus menikmati bakpaonya. “Lho, kenapa bukan kamu yang sekolah dan
mengajarkan adikmu?”, tanyaku bingung. “Hehe…,
aku tidak pandai membaca tuan, lagipula aku lebih
suka adikku yang sekolah sehingga dia bisa punya
banyak teman. Aku sudah sangat senang
melihatnya pulang sambil tertawa bersama teman- temannya”, jawabnya dengan mata berbinar-binar. Kali ini, aku sudah tidak mampu menahan air
mataku lagi. Kali ini aku sadar aku sedang
menanggis dan kali ini hatiku terasa sangat perih
sekaligus bangga sekali. Aku merasa perih karena aku begitu tidak bisa
mensyukuri apa yang selama ini telah kumiliki, dan
aku bangga sekali karena malaikat kecil ini begitu
tulus hati. “Oya tuan, tadi kulihat tuan menanggis, apakah ada
yang membuat tuan sedih?”, tanyanya sambil
melompat membalikkan tubuh kecilnya. Lalu dia
memegang wajahku dengan kedua tangannya
sambil memandangiku dalam-dalam. Damai sekali
rasanya. Kupeluk gadis kecil ini dengan penuh sayang. “Tidak sayang, paman tidak menanggis karena
sedih, paman menanggis karena bahagia. Dan
paman sangat bahagia bisa bertemu kamu malaikat
kecil yang begitu baik dan cantik disini…”, jawabku
pelan. “Oya, namamu siapa?”, tanyaku sambil
mengendongnya dan kuangkat tinggi-tinggi.
“Hahaha…”, gadis ini tertawa kecil. “Namaku Angel
tuan, hahaha…, tinggi…, tinggi…, aku superman…”,
teriaknya begitu menikmati. “Panggil papa Mike saja…”, kataku sambil
mengecup keningnya. “Sekarang kita kesekolahmu
ya…”, kataku sambil mengendongnya. Dia
melihatku dengan bola mata birunya yang sebiru
indah angkasa. “Ada apa kita kesana tuan?”,
tanyanya penasaran. Aku tertawa kecil melihat tingkahnya yang gemesin. “Kan udah paman bilang panggil paman dengan
nama papa Mike…”, kataku sambil mencubit kecil
hidungnya. “Kamu maukan besok pergi kesekolah
bersama adikmu….”, tanyaku tersenyum lebar.
“Mau banget tuan…, maksudku papa Mike…, jadi
aku bisa sekolah ya? Tapi bagaimana dengan uang sekolahnya? Mama tidak punya uang…”, tanyanya
bingung sendiri. Aku tertawa kecil melihatnya. “Kalau itu biar papa Mike yang urus, Angel hanya
perlu sekolah yang rajin dan jaga adik Angel ya”.
Jawabku sambil memeluknya dan mengelitiknya
kecil. “Hahaha…”, Angel tertawa. Lalu dia
memelukku dengan erat. “Terimakasih papa Mike,
terimakasih banyak…”, jawabnya dengan mata berkaca-kaca. Kamipun berlalu dengan perasaan
yang tidak bisa digambarkan lagi dengan kata-kata. Aku yang mengeluh jeleknya tempat berteduh, dia
berbahagia dengan segala yang kumuh.
Aku yang menanggis tidak ada yang mengerti, dia
tertawa sekalipun tidak ada yang peduli.
Aku yang marah karena ketidakadilan dunia, dia
menikmati apa yang diberikan dunia. Aku yang malu kalah dalam hal mewah, dia bangga
dengan segala yang dimilikinya. Sekarang, jika aku masih meminta ijin dunia untuk
mengasihani diri sendiri dan mengeluh, sungguh
terlalu aku… Sesungguhnya dunia ini tidak pernah tidak adil,
dunia tidak pernah berubah, dunia ini sudah ada
sejak manusia belum ada. Kitalah yang berubah.
Kita jugalah yang menghancurkan dunia sehingga
akibatnya kita rasa dan kita menyalahkan kembali
dunia. Kini, aku tidak ingin menyalahkan hidup apalagi
dunia, karena aku telah mempunyai duniaku sendiri
yang kusebut keluarga. Seorang pria lajang dengan
usia 32 dengan seorang malaikat kecil yang baik
dan cantik hatinya. Aku tidak tahu seberapa aku
bisa membahagiakannya, yang aku tahu aku sangat bahagia memilikinya.
pemuda miskin dan istrinya ketika dipintu surga.
Pemuda ini melihat sekelilingnya. Disana dia
melihat banyak barisan orang-orang baik yg hendak
masuk Surga. Tapi anehnya dia menemukan dirinya
sendiri bersama istrinya dibarisan yang tidak ada siapapun dibelakangnya. “Apa permintaanmu?”, tanya malaikat sekali lagi
pada pemuda miskin ini. Karena takut membuat malaikat dihadapannya murka, pemuda ini
menjawab sekedarnya saja. “Hamba tidak berani
meminta apa-apa, jika berkenan hamba meminta
sebuah rumah yang besar saja”, jawab pemuda
miskin ini. Lalu malaikatpun memberikan dia rumah
yang sangat besar beserta taman yang sangat luas tak berujung nan indah. “Apa permintaanmu?”, tanya malaikat pada seorang
pengusaha dibarisan lainnya yang kaya raya
sewaktu hidupnya. Pengusaha ini berkata, “Hamba
ingin rumah yang besar seperti pemuda tadi itu”,
jawab pengusaha ini tersenyum. Lalu malaikatpun
memberikan dia rumah yang cukup besar saja. Pengusaha yang melihat rumahnya tersebut lalu
bertanya kepada malaikat. “Maafkan hamba,
mengapa hamba mendapatkan rumah yang
sedemikian saja? sedangkan pemuda tadi dan
istrinya mendapatkan rumahnya begitu besar
disertai taman bunga yang indahnya tiada tara? Padahal saat aku masih hidup didunia aku telah
menyumbangkan sebagian hartaku dan berbuat
amal yang cukup. Aku juga sering menolong
sesamaku tanpa pamrih”. Malaikat ini tersenyum, “Apa tujuanmu meminta
rumah yang besar?”, tanya malaikat pada
pengusaha kaya tersebut. “Hamba meminta rumah yang besar supaya kelak
istri anak dan cucu-cucuku bisa tinggal bersama-
sama juga beserta saudara-saudariku semua, jadi
rumah yang kuminta bukan untukku saja, hamba
ingin berbagi dengan mereka semua “, jawab
pengusaha ini mantap. Malaikat yang mendengar jawaban pengusaha
tersebut bangga, katanya pada pengusaha itu,
“Kamu memang baik begitu memperhatikan
keluargamu juga saudaramu, dan ketahuilah inilah
hadiahmu dan menurutku rumah sebesar inilah yang
kamu BUTUHKAN. Tetapi aku tahu kamu pasti tidak akan puas dengan jawabanku, maka ikutlah
aku menemui pemuda miskin itu dan istrinya. Dia
yang akan memberimu jawaban yang kamu
inginkan”. Lalu merekapun terbang menemui
pemuda yang dimkasud. Saat malaikat datang pada pemuda miskin itu dan
istrinya, mereka begitu terkejut dan hendak
langsung bersujud. Malaikat yang melihatnya
langsung menahannya agar tidak bersujud. “Hanya
kepada Tuhan Allahmulah kamu boleh bersujud.
Kedatanganku adalah ingin bertanya mengapakah kamu meminta rumah yang besar bagimu?”, tanya
sang malaikat ditemani pengusaha yang penasaran. “Ampuni hamba, hamba hanya meminta rumah
besar biasa saja dan tidak berharap akan sebesar
ini, seluas ini dan seindah ini. Hamba hanya ingin
berbagi dengan saudara-saudariku yang tadi
berbaris diluar sana. Hamba takut tidak semua akan
bisa meminta rumah dan hamba takut mereka akan kehujanan juga kepanasan dan tidak mempunyai
tempat berteduh”. “Hamba juga melihat banyak anak-anak yang
bermain dengan ceria diluar sana, jadi hamba ingin
memberikan semua taman yang indah ini pada
mereka supaya mereka bisa bermain sepuasnya.
Dan apabila mereka telah lelah bermain mereka bisa
beristirahat dirumah ini. Jika hamba tidak pantas memilikinya, maka hamba rela mengembalikan ini
semua dan diberikan pada mereka yang berhak
mendapatkannya”, jawab pemuda miskin ini ikhlas. Mendengar jawaban pemuda miskin ini, sang
pengusaha mengerti mengapa Tuhan melalui
malaikatnya dia diberikan begitu banyak HARTA SURGAWI yang berlimpah ruah. Pemuda ini memang miskin, tetapi HATINYA begitu KATA
RAYA. Ketika hidup didunia, pemuda miskin dan
pengusaha kaya ini adalah dua sosok manusia yang
baik perilakunya. Sang pengusaha dengan segala
kelimpahannya tidak menjadi sombong dan selalu
beramal. Dia begitu rendah hati dan suka menolong
bagi mereka yang membutuhkan. Dia juga sangat menyayangi keluarganya dan menjadi suami yang
setia bagi istri dan anak-anaknya. Tetapi, karena
kesibukannya sebagai pengusaha yang begitu
menyita waktunya sehingga jarang sekali
pengusaha ini meluangkan waktunya untuk
beribadah.
pengusaha yang sangat kaya. Ia mempunyai
puluhan mobil mewah. Rumahnya besar indah
selayaknya istana. Tetapi sayangnya, pengusaha ini
terlihat tidak begitu bahagia. Yang dilakukannya
hanyalah bekerja, bekerja dan bekerja untuk melimpahkan lagi, lagi dan lagi segala
kekayaannya. Suatu malam, pengusaha kaya ini masih bekerja
menyelesaikan pekerjaannya dikamar kerja
kesukaannya. Tidak begitu besar dan terlihat klasik
juga tua. Hanya satu jendela didepannya untuk
sekedar menikmati pemandangan diluar jika ia penat
bekerja. Ketika sedang asyik bekerja, pengusaha kaya ini
mendengar suara anak-anak kecil bermain diluar.
Karena penasaran dan sekedar ingin melepaskan
ketegangan pikiran dan badan, pengusaha kaya ini
mengintip dari jendelanya. Dilihatnya disana, didepan tamannya yang
ditumbuhi warna-warni bunga dari segala penjuru
dunia, yang dipagar besi-besi tinggi dan kawat
berduri, ia mendapati anak-anak tertawa kecil
bermain disana. Karena penasaran dan merasa
takut bunga-bunga mahal yang telah dikumpulkannya dari segala pelosok dunia akan
dipetik dan rusak, pengusaha kaya ini berlari kecil
menuju kesana. “Apa yang kalian lakukan disini?”, tanya pengusaha
ini mencoba ramah walaupun wajahnya seperti
menahan amarah. Napasnya ngos-ngosan karena
berlari. Anak-anak yang bermain didepan taman
tersebut hanya tersenyum. Mereka tidak tahu bahwa
mereka mungkin akan dihukum. “Maaf tuan, kami hanya menari disini tuan. Setelah
itu aku dan adikku akan pulang”, jawab anak laki-
laki kecil ini yang ternyata kakak dari seorang anak
yang lebih kecil darinya. “Lalu mengapa kalian
menari disini? Tahukah ini sudah jam berapa?
Kalian bisa saja terluka oleh kawat-kawat berduri itu”, kata pengusaha ini menasehati. “Sekali lagi maafkan kami tuan, adikku sangat
menyukai bunga-bunga ini. Jadi dia kubawa kesini
untuk melihatnya. Dan aku mengajarinya menari
sambil bernyanyi supaya lebih menikmatinya”,
jawab sikakak sambil kembali mengajari adiknya. “Tetapi, tetapi mengapa malam buta begini?”, tanya
pengusaha ini bingung dan mulai bangga karena
anak-anak sekecil mereka bisa mengerti betapa
indahnya bunga yang dimilikinya. Sikakak
tersenyum. Katanya. “Tuan yang baik, pagi hari aku mengantar koran
bersama adikku sekalian sambil menawarkan baju
yang ingin dicuci. Setelah itu baju-baju yang
kudapatkan kuberikan pada mamaku untuk
mencucinya. Mamaku sudah tidak bisa jalan lagi.
Jadi aku dan adikku berusaha membantunya. Dan setelah selesai mengantar baju-baju itu, aku
langsung kesini dan mengajak adikku ini”. “Tuan yang baik, kami meminta maaf jika kami telah
mengganggu tuan bekerja. Tapi adikku ini kata
dokter hanya bisa menemaniku satu tahun saja.
Ketika kutanya pada mama mengapa harus begitu
dan mengapa adikku harus tidur lama setelahnya,
mama hanya menganggis dan memelukku agar menjaga adikku sungguh-sungguh dan selalu
membuatnya tertawa”. Pengusaha kaya ini terkejut dengan jawaban
sikakak. Dengan suara pelan dan penuh kasih
sayang, pengusaha kaya ini bertanya, “Mengapa
mamamu berkata begitu?”. Sikakak tersenyum. Lalu
dibukanya jaket lusuh itu dari tubuhnya. Dengan
cekatan dia memeriksa setiap sakunya. Kemudian dia memberikan surat itu pada pengusaha kaya ini. “Aku tidak tahu tuan, mama menanggis setelah
melihat surat itu. Ketika mama mengoyaknya dan
membuangnya, aku kumpulkan bersama adikku dan
melekatkannya kembali. Tetapi aku tidak tahu apa
isinya. Yang aku tahu dikertas itu ada angka yang
banyak nolnya”, jawabanya polos. “Dan kakak tidak pandai berhitung…”, jawab adik
perempuannya mengodanya disertai tawa mereka
yang lepas dan begitu bahagia. Lalu mereka
melanjutkan menari. Pengusaha kaya ini menutup mulutnya. Surat itu
pelan-pelan basah dijatuhi tetesan air. Malam itu
bulan bersinar indah dan bintang-bintang terang
benderang. Ternyata, tetesan itu adalah tetesan air
mata dari pengusaha kaya. Siadik menderita
kelainan jantung, dan untuk itu ia perlu biaya yang sangat mahal. Yang lebih menyedihkan, sianak
perempuan kecil ini jika tidak segera dioperasi akan
segera meninggal. Dengan suara yang tertahan dan terisak, pengusaha
ini bertanya pada mereka. “Namamu siapa sayang?”.
Sikakak tersenyum. “Namaku Mike tuan, dan ini
adikku Angela”, jawab sikakak membuka topi
kecilnya memberi hormat memperkenalkan diri, dan
siadik menaikkan gaunnya yang lusuh penuh tambalan sedikit membungkuk selayaknya seorang
putri. “Sayang, mamamu sekarang dimana?”, tanya
pengusaha kaya ini ramah dan penuh cinta pada
siadik. Diberikannya dan dipakaikannya jaket mahal
merk terkemuka dunia itu pada mereka untuk
menghangatkan tubuh mereka sekenanya. “Mama dirumah tuan. Disana…, mama sedang
menjahit”, tunjuk sikakak kesebuah lorong yang
gelap. Setahu pengusaha kaya ini, lorong itu adalah
tempat pembuangan barang bekas dan sampah.
Dan mereka menyebutnya ruman? Dengan mata
dan wajah yang masih basah, pengusaha kaya ini bertanya lagi. “Sayang…, mengapa kamu bisa tertawa, menari dan
begitu menikmati malam ini? Sedangkan aku sendiri
setiap hari sangat kelelahan dan untuk tertawa saja
harus dibeli. Apa rahasianya? Kalau ada bolehkah
aku memintanya?”, tanya pengusaha ini berlutut
sambil memegangi tangan keduanya. Sikakak melihat adiknya. Mereka sepertinya
bingung dengan maksud sipengusaha kaya. Lalu
adiknya memberi hormat selayaknya putri raja dan
berkata. “Tuan, aku dan kakakku bukan hanya malam ini
menari dan bermain disini. Tapi sudah lama sekali.
Aku dan kakakku sering melihat lampu diatas sana
terang, jadi kami menari disini supaya tuan bisa
melihat dan merasa terhibur”, kata siadik sambil
menunjuk kamar kerja pengusaha kaya tersebut. “Kata mama, tuan dulu pernah menolongnya ketika
sakit. Dan kata mama kalau tuan tidak
menolongnya mama sudah ikut papa kesurga. Aku
tidak tahu tempat apa itu, tapi kata mama itu tempat
yang sangat bahagia dan papa bahagia sudah
disana”. “Kata mama juga tuan pasti sudah lupa, tapi mama
tidak pernah melupakan kebaikkan tuan. Itulah
mengapa kami selalu bermain disini dan menari
supaya tuan terhibur. Kata mama, kebaikkan orang
tidak boleh dilupakan seumur hidup…”. “Lalu mama berkata juga…”, potong sikakak sambil
memeluk adiknya dan menuntunnya agar duduk
sebentar. Adiknya terlihat sedikit ngos-ngosan
karena pengaruh jantungnya yang lemah. “Mama berpesan agar SELALU TERTAWA apapun
kondisinya. Karena dengan tertawa mama juga
tertawa. Aku sering mendapati mama menanggis
malam-malam sambil memeluk adikku kalau hendak
tidur. Dan aku berjanji aku akan selalu membuat
mama tertawa. Dan caranya adalah dengan selalu tertawa walaupun aku pernah mau menanggis dan
dipeluknya ketika aku ditabrak sepeda dulu. Aku
takut ketika aku mengatakannya akan membuat
mama semakin sedih”, lanjut sikakak sambil
memperlihatkan dahinya yang ada bekas luka cukup
lebar disana. Setelah itu dia menutupinya dengan rambut panjang itu dan ditambahi topi. “Tuan, aku dan adikku sangat berterimakasih pada
tuan karena kebaikkan tuan sehingga mama kami
masih bersama kami dan tidak mengikuti papa yang
kata mama sudah tidak bisa pulang…”, kata
sikakak memberi hormat lagi dibarengi siadik. Dipeluknya kedua malaikat kecil itu. Dengan air
mata yang semakin deras membasahi wajahnya,
pengusaha ini berterimakasih entah berapa puluhan
kali. Akhirnya ia mengerti mengapa ia semakin hari
semakin tidak bahagia, itu semua karena ia terlalu
memfokuskan pada dirinya dan kelimpahannya.
Akhirnya ia menyadari mengapa kebahagiaan itu
harus berbagi, itu semua karena dengan berbagi kita
jadi mengerti apa itu yang disebut cinta kasih.
sebentar duduk disebuah tempat rekreasi. Aku
mencoba mencerna kata-kata temanku. Tapi
sebagaimana betulnya kata-kata temanku, aku tetap
masih ragu dengan pengertian “bahagia” itu. Dan ini
hanyalah pendapat pribadiku. Bagi kalian yang baca tidak perlu setuju denganku. Kita masing-masing
mempunyai pendapat apa bahagia itu. Dalam lamunanku sambil menulis dengan iPodku,
kulihat sebuah keluarga kecil nan sederhana
memasuki tempat aku melegakan beban hati dan
pikiran. Kulihat tawa dan canda pada keluarga kecil
itu. Sang ayah begitu ramah senyumnya. Sang ibu
begitu perhatian pada suami dan anak-anaknya. Kulihat sang ayah sekali-kali menciumi kedua
putrinya. Mereka memesan makanan dan duduk
persis didepan mejaku. Jauhnya hanya beberapa
meja dari tempat aku duduk. Putri mereka dalam pikiranku menerka sudah kelas
SD dan SMP. Keduanya sangat manis. Yang kecil
begitu ceria dan energik. Sedangkan yang besar
begitu penuh sabar dan perhatian menjaga adiknya.
Aku tidak berani melihat kearah mereka terus,
karena aku takut dicap orang aneh atau gimana. Aku hanya sekali-kali mencuri pandang. Tak pernah
kulihat canda dan tawa mereka lepasa dari
wajahnya. Dalam hati aku bertanya, apakah ini yang
disebut bahagia? ataukah hanya hari ini mereka
tertawa. Kucoba menepis semua gulat pikiran dikepalaku.
Aku melihat mereka begitu bahagia. pakaian mereka
yang sederhana. Model baju yang sederhana.
Riasan wajah yang seadanya tapi sangat
mempesona. Mereka datang hanya mengenakan
motor yang sederhana, bahkan “usia” motor tersebut mungkin sudah setua putrinya yang besar. Tapi
tidak kulihat mereka malu ataupun menjaga jarak
dengan tamu lainnya yang mempunyai kendaraan
roda empat. Saat melihat mereka, aku tidak sadar ternyata
mulutku membentuk bentuk pelangi terbalik
dibibirku. Ya, aku secara tidak sadar TERSENYUM
dan MERASA BAHAGIA. padahal waktu itu aku
mempunyai banyak beban dan pikiran. Saat kutahu
aku tersenyum dan merasa bahagia, aku mencoba mencari artinya. Kenapa aku yang bukan bagian dari
mereka hanya dengan melihat mereka saja sudah
ikut merasakannya? Ataukah aku yang telah lama
lupa akan rasa itu sehingga sangat mengharapkan
suasana seperti itu? Aku tidak tahu. Yang pasti aku
sangat menikmati saat-saat itu. Setelah beberapa jam, keluarga kecil itu pun pulang.
Aku masih melihat mereka sempat saling menyeka
sisa makanan pada sikecil dengan sapu tangan.
Sang ayah dari sejak awal datang sampai saat
pulang tawa dan senyumnya tidak pernah lepas dari
wajahnya. Kulihat sikecil begitu akrab dengan ayahnya. Sedangkan putrinya yang besar selalu
mengandeng tangan ibunya. Sungguh pemandangan
yang sangat jarang ada lagi didunia. Lalu kulihat sang ayah mengangkat putri kecilnya.
Digendongnya dipelukannya. Lalu berkata padanya,
“Sayang, hari ini papa telah berjanji akan
membawamu kesini bersenang-senang. Dan apakah
kamu senang? Maaf ya papa tidak bisa
memberikanmu lebih dari yang sederhana ini”, sambil mencium kening putrinya. Putri kecilnya
memeluk ayahnya. Lalu jawab malaikat kecil itu
pada ayahnya, “Papa, aku tidak perlu apa-apa selain
papa. Yang aku inginkan hanya ingin bersama papa
dan mama. Aku sangat bahagia bisa seperti
sekarang. Aku dan kakak juga membawa uang tabungan kami. Kami titip sama mama kalau tidak
cukup boleh kok pakai uang kami”. Hampir nanggis aku mendengar kata-kata itu.
Dipeluknya malaikat kecil itu lalu mereka berlalu
penuh KEBAHAGIAAN. Aku tidak tahu apakah
setelah hari itu mereka masih tetap sebahagia itu
ataukah telah melupakan momen penuh warna-warni
indah pelangi. Yang pasti mereka memberikanku momen yang sangat indah dan berharga.
Kusandarkan tubuhku pada kursi yang kududuk.
Saat aku merasa kepala dan hati ini penuh beban
yang berdesakan, DIA memperlihatkan padaku
sebuah keluarga yang menentramkan. Kepalaku pun mulai bekerja mencari arti
kebahagiaan. Temanku mengatakan bahwa bahagia
adalah memberikan yang terbaik pada orang-orang
yang kita sayangi. Dan aku setuju. Bedanya aku
menemukan pengertian kebahagiaanku sendiri. Dan
ini versi kebahagiaanku, dan itu adalah saat kita MEMBERI DENGAN TULUS APA ADANYA. Bukan
karena apa ISINYA, bukan karena berapa
HARGANYA, bukan karena MERKNYA, bukan juga
atas nama CINTA. Kita bahagia karena KITA
BENAR-BENAR INGIN MEMBUATNYA BAHAGIA
tertera, dia pun diberi sebuah alamat tempat
pertemuan dengan seorang pria yang kebetulan
mempunyai kriteria yang dicarinya pada wanita
muda ini. Tempat pertemuan mereka adalah disebuah cafe
yang kebetulan tidak jauh dari rumah wanita muda
ini juga. Hari yang ditunggupun tiba, wanita muda ini berdandan mengenakan gaun putih yang indah.
Kacamatanya dilepas walaupun agak menyulitkan
dia melihat sekitarnya. Tapi ia tetap tidak ingin
memakainya karena menurutnya kacamata itu akan merusak kecantikkannya. Ketika keluar dari rumahnya, dia mendengar tawa kecil dari rumah sebelah. Samar-samar tapi cukup jelas. Dia mendengar seseorang berkata bahwa
pakaiannya sudah kuno. Ketinggalan jaman dan
tidak fashion. Mendengar hal itu, dia menjadi malu dan menjadi tidak percaya diri. Lalu diapun masuk kembali kerumahnya dan berganti baju. Kali ini, dia memakai gaun warna merah menyala dan sangat menarik mata. Percaya dirinya kembali. Dan memang benar, ketika berjalan keluar, samar-
samar dia mendengar pujian terutama dari pria yang melihatnya mengatakan bahwa dia sangat sexy dan menarik sekali. Tetapi setelah itu, dia mendengar kritikan terutama dari wanita yang mengatakan bahwa dia seperti wanita murahan. Sedih, malu dan putus asa, wanita muda ini kembali kerumahnya. Kali ini dia bingung apa yang harus dikenakannya. Dia hendak menanggis, tetapi apa gunanya? Lalu dalam keadaan putus asa, dia
mengganti bajunya dengan kaos oblong sederhana
dan celana jean kesukaannya yang selalu dikenakannya dan membuatnya nyaman. Setelah itu, dia langsung keluar. Kali ini dia masa
bodoh orang lain ingin mengatakan apa. Dia juga
tidak peduli lagi apakah pria yang akan ditemuinya
dicafe nanti akan menerimanya atau tidak, yang
pasti, inilah dirinya apa adanya. Anehnya, dia tidak mendengar perkataan apapun.
Sekalipun ada dia juga merasa tidak seperti yang
dia rasakan sebelumnya. Tidak merasa malu, tidak
merasa canggung ataupun sedih. Yang ada justru
rasanya biasa dan nyaman. Satu-satunya yang membuat hatinya gelisah adalah bagaimana pria yang akan ditemuinya menilainya. Dalam hati dia menyakinkan diri sendiri bahwa jika pria itu benar-benar ingin mengenalnya lebih jauh lagi, maka inilah dia yang sebenarnya. Dengan make-up simple minimalis, berpakaiaan simple rapi apa adanya. Ketika hendak memasuki cafe yang dia tuju, dia melihat seorang pria yang terlihat bingung sedang mencari sesuatu disekitar cafe tersebut. Merasa tidak buru-buru, diapun menawarkan diri membantu pria ini mencarinya. Setelah beberapa menit mencari, akhirnya mereka menemukan yang mereka cari. Ternyata, pria ini sedang mencari cincin perak peninggalan ibunya yang tadi tidak sengaja jatuh ketika berlari datang kecafe ini. Dan daripadanya, ternyata pria ini ada temu janji
dengan seorang wanita dicafe ini. Dan rencananya
pria ini ingin memberikan cincin perak peninggalan
ibunya ini sebagai tanda jadi jika wanita yang akan
ditemuinya menerimanya. “Dia pasti menerimanya, aku pastikan seratus persen”, katanya pada pria ini sambil tersenyum lembut dan manis sekali. Pria yang mendengar hal tersebut hanya bisa tersenyum dan berterimakasih.
Tingkahnya yang gugup membuat wanita muda ini
tertawa kecil. “Menurutmu apakah aku harus membatalkan pertemuan ini?”, tanya pria ini tiba-tiba padanya. Wanita muda ini sedikit terkejut, tetapi ia berusaha menyembunyikannya. “Mengapa? Bukankah kamu ingin menemuinya”, tanyanya penasaran. “A…, aku…, sepertinya aku telah mempunyai pilihan lain…”, jawab pria ini gugup sambil melihatnya dengan senyuman yang menawan. Wanita muda ini wajahnya merona merah. “Aku sarankan kamu masuk dulu dan menemuinya. Aku pastikan kamu tidak akan menyesalinya”, jawabnya sambil mengajak pria ini masuk. Setelah masuk, pria ini langsung mencari tempat
duduk dimana dia berjanji akan menemui seorang
wanita. Dan tempat duduk itu masih kosong. Pria ini
menghela napas merasa lega. Entah lega karena dia
tidak terlambat datang, ataukah lega karena
berharap wanita yang akan ditemuinya tidak datang. “Aku juga menunggu seorang pria ditempat duduk
itu lho…”, kata wanita muda ini tersenyum manis
sekali sambil memandangi tempat duduk itu. Pria
yang disampingnya, yang tadi menghela napas
sekarang menahan napas. Dia tidak percaya apa
yang didengarnya. “Maksudmu…, kamu wanita yang akan kutemui hari
ini…?”, tanyanya dengan suara gugup, tetapi
matanya terlihat senang. “Iya, akulah wanita itu”,
jawabnya. “Kenalkan, namaku adalah Cindy dan tadi
kita sudah bertemu…”, lanjutnya memperkenalkan
diri. Setahun kemudian, pria dan wanita muda ini yang
bertemu dicafe tersebut mengadakan upacara
pernikahan mereka. Keduanya terlihat sangat
bahagia. Para hadirin yang hadir adalah teman-
teman dekat kedua mempelai ini. Upacara mereka juga sangat unik. Mereka tidak
memakai busana pengantin seperti pengantin pada
umumnya. Sang wanita memakai kaos dan celana
jeans dengan kacamata menghias wajahnya. Sang
pria juga memakai pakaian yang sama. Ternyata, pakaian yang mereka kenakan adalah
pakaian yang mereka pakai ketika pertama kali
bertemu dulu disalah satu cafe. Mereka sengaja memakai pakaian seperti itu untuk
mengingatkan mereka sendiri dan mungkin juga
orang lain, bahwa, apa yang dikenakan pada tubuh
hanyalah sebatas luarnya saja. Kecantikkan luar itu
bisa dinilai siapa saja dan bernilai berapa saja
menurut pendapat masing-masing mata. Tetapi, kecantikkan sesungguhnya justru datang
dari dalam, dari hati yang indah. Dulu, wanita muda ini begitu takut akan penilaian
orang lain sehingga seringkali merubah dirinya
menjadi seperti penilaian orang lain hanya supaya
diterima dan dipuja. Dan dia memang diterima dan
dipuja, tetapi yang diterima dan dipuja itu bukan
dirinya yang sesungguhnya. Hal itu membuatnya selalu terbebani dan selalu
mengganti topeng-topeng wajahnya sesuai penilaian
lainnya. Lama kelamaan ia kehilangan wajahnya
yang sesungguhnya. Orang-orang yang
mengenalnya juga semakin ragu yang mana
sesungguhnya dia. Hingga suatu hari dia memutuskan untuk
membuang semua topeng itu dan memperlihatkan
wajahnya sendiri. Dan pada akhirnya, ia
menemukan seseorang yang telah lama menanti dia
melepaskan topengnya. Yang menerima dan
memuja dirinya yang sesungguhnya. Dan dia mendapatkannya. Jadilah dirimu sendiri sebagaimana dirimu yang baik.
Saat kucari tahu apa yang barusan kutabrak,
ternyata aku bukan menabrak sesuatu, tapi
seseorang. Dan ketika kulihat wajahnya aku
langsung pucat pasi. “Mati aku…”, kataku dalam
hati parsrah. Ketika pagi datang, aku merasa enggan mau
bangun dari ranjang. Padahal pagi ini pelajaran awal
disekolah adalah pelajaran olahraga favoritku –
bukan karena aku pandai olahraga, tetapi aku bisa
memanfaatkan fisikku yang lemah untuk mencari
alasan keruang kesehatan beristrirahat. Tetapi pagi ini dan seterusnya akan berbeda, dan aku yakin
akan menjadi kenangan terburuk sampai
kelulusanku nanti. “Mike Bellamy, bawakan tasku!”, perintah seorang
wanita yang gemuk dan tinggi besar. Sebenarnya
bukan tinggi besar sih, tetapi aku yang kecil kurus
jadi dia terlihat begitu besar. Lalu bagaimana ceritanya aku bisa menjadi
bawahannya? Kalian pasti sudah bisa menebaknya,
dialah yang kutabrak kemarin saat berlari pulang
ketika hujan, dan dia adalah “Gorilla” – julukan yang
kami berikan karena tubuhnya yang saking
gemuknya dan kasar, seorang cewek penguasa disekolahku dan tidak ada yang berani
mengganggunnya. “Belikan aku roti bungkus 10 buah rasa coklat dan 2
kotak jus rasa lemon, dan cepat…”, perintah Gorilla
ini. “U…, u, uangnya…?”, tanyaku terbata-bata tidak
berani melihat matanya. Dia berdiri dan diangkatnya
tubuhku dengan kedua tangannya. “Maksudmu…”,
tanyanya sambil pelototin mataku. “Ini rotinya, dan ini kembaliaannya…”, kataku lesu.
Uang jajanku untuk sehari habis, dan sisanya justru
aku harus setor pada Gorilla ini lagi. “Nih satu buat
kamu, jangan anggap aku tidak cukup baik
padamu”, katanya sambil memberikan satu rotinya.
Mataku berkaca-kaca, tetapi bukan karena terharu, aku hampir menanggis membayangkan neraka ini
seterusnya. Berbulan-bulan telah berlalu, aku juga mulai terbiasa
dengan “latihan” yang diberikan Gorilla ini setiap
pagi. Lucunya, aku yang dulu kaku dan lambat
sekarang menjadi lebih lincah. Aku juga menjadi
jarang sakit sering karena dipaksa “olahraga” dan
berkeringat setiap harinya. “Ada bagusnya juga aku jadi bawahan Gorilla ini”, kataku dalam hati. “Hei Mike, mulai hari ini kamu harus memanggilku
Angelina”, perintahnya padaku suatu pagi saat
berangkat sekolah. Aku bagaikan melihat UFO dan
Gozilla sedang menyerang dikota. Dia memintaku
memanggil namanya? Dan namanya Angelina?
Bagian mana dari dia yang seperti Angel (malaikat) ?. Aku tertawa sendiri saat mendengar nama
aslinya, dan hadiahnya, sebuah pitingan gulat kelas
dunia mendarat dikepalaku. Ternyata Gorilla ini memintaku memanggil nama
aslinya adalah sebagai tanda perpisahan. Ini
kuketahui ketika besok masuk sekolah Gorilla ini
telah pindah sekolah. Pintu gerbang utama sekolah
yang selalu kuanggap pintu menuju neraka tiba-tiba
ditumbuhi bunga-bunga indah disetiap sudutnya. Papan nama diatasnya yang tertulis nama
sekolahku terbaca dimataku menjadi SELAMAT
DATANG DISURGA. Aku tidak tahu bagaimana
harus mengekspresikan kebahagiaanku lagi. Hari pertama aku begitu bersemangat kesekolah.
Aku tidak perlu lagi membeli roti bungkus berdesak-
desakan dikantin. Aku tidak perlu puasa lagi untuk
menabung uang jajan buat setoran. Aku tidak perlu
lagi membawa tas yang beratnya seperti diisi
peralatan fitnes, dan yang terpenting aku bisa berkumpul lagi dengan teman-temanku. Hari kedua, aku mulai merasa ada yang aneh
dengan diriku. Aku memang merasa senang dengan
kebebasan yang baru kumiki. Tetapi aku justru
merasa terlalu bebas. Aku dari luar terlihat
bergembira tetapi dalam hati aku merasa hampa.
“Ada apa denganmu…”, lirik sebuah lagu yang pas ketika lagi melamun mendengarkan lagu di-ipodku. Hari ketiga, akhirnya aku menyadari bahwa aku
merindukan siGorilla. Aku merindukan disuruh
berdesak-desakan membeli roti. Aku rindu disuruh
itu-ini. Aku rindu membawa tasnya yang seperti diisi
“besi”, dan aku rindu menyetor uang jajanku
untuknya setiap hati. Aku rindu padanya. Aku jatuh cinta padanya. Puluhan tahun telah berlalu sejak hari itu. Aku
sekarang tumbuh dewasa dan tampan. Ya, aku
tumbuh menjadi pria atletis, tinggi dan rupawan. Aku
bukannya sombong, aku sendiri heran mengapa aku
bisa berubah sedrastis itu. Jika dulu aku kurus kecil
dan lemah dan dijauhi para wanita, sekarang justru para wanita yang mengejarku dan tentunya wanita
cantik dan sexy. Aku sudah punya pacar? Hahaha…, justru
sebaliknya. Aku masih single bahkan diusiaku yang
hampir menginjak usia 30. Aku sudah mempunya
bisnis sendiri. Aku juga sudah punya rumah dan
mobil sederhana sendiri. Rasanya sudah cukup
alasanku untuk menunda untuk berkeluarga. Tapi ya aku jujur saja, aku masih teringat pada siGorilla. Aku tahu kalian pasti mengatakan betapa bodohnya
aku masih merindukan seorang wanita yang
memperlakukanku dengan seenaknya dan seorang
wanita yang bertubuh gemuk lagi? Ditambah lagi
sudah puluhan tahun tidak ada kabar? Sejujurnya
aku juga mengakui bahwa aku bodoh. Tapi mau bagaimana lagi, seperti kata entah siapa, cinta itu
buta. Ternyata, disuatu pagi saat aku membawa mobilku
servis rutin bulanan disalah satu bengkel
kepercayaanku, kebodohanku mencintai pada satu
wanita dijawab oleh Tuhan. Karena terburu-buru, aku
secara tidak sengaja menabrak seseorang. Tidak
seperti dulu, kalau aku menabrak sesuatu atau seseorang aku yang jatuh. Sekarang tubuhku berisi
dan cukup kekar dan yang kutabrak biasanya akan
terjatuh, apalagi yang kutabrak sekarang adalah
seorang wanita lagi. “Maafkan aku nona, aku tidak melihat anda karena
terburu-buru…”, kataku sambil mencoba
membantunya berdiri. Wanita ini hanya terdiam dan
mengambil barang-barangnya yang jatuh. Aku ikut
membantunya karena merasa tidak enak hati dan
bersalah. Secara tidak sengaja kupunggut kantong putih berisi
makanan didalamnya. Disana ada puluhan roti
bungkus rasa coklat. Aku entah mengapa begitu
“dejavu” dengan roti bungkus ini. “Inikan roti yang
dulu sering kubeli buat siGorilla”, kataku spontan
tidak sadar. Lalu kudengar suara yang tidak mungkin kulupakan. “Siapa yang kamu maksud Gorilla itu hah?!”, tanya
wanita yang barusan kutabrak ini sambil melipat
tangannya. Kulihat padanya. Rambut panjang pirang
keemasan. Bibir manis Angelina Jolie. Tubuh tinggi
sexy Kim Kardashian. “Angelina?”, tanyaku tidak
percaya. “Mike Bellamy? Itu kamu?”, tanya wanita cantik ini
juga tidak percaya. “Bagaimana…, kenapa kamu…”,
tanyaku bingung bercampur senang dan tiba-tiba
wanita ini melompat memelukku. “Aku sangat rindu
padamu dan aku setiap malam berdoa agar bertemu
lagi denganmu. Maafkan aku dulu yang seenaknya padamu Mike…”, kata wanita cantik ini ternyata
benar Angelina alias siGorilla. … “Apakah pengantin wanita sudah siap?”, tanyaku
pada seorang wanita cantik yang mengenakan gaun
pengantin yang sangat indah”. “Sudah dong, cantik
sekali bukan?”, jawab seorang wanita setengah
baya disampingnya. “Ya, sangat cantik sekali”,
jawabku dengan mata berkaca-kaca. Lonceng berbunyi 9 kali. Burung-burung bernyanyi
mengiringi pernikahan suci. Dengan mantap dan
pasti kubawa wanita cantik ini kealtar nikah
disaksikan para tamu dan undangan terpilih.
Kukecup pengantin wanita ini dan kupeluk sebentar. Rasanya aku tidak ingin melepaskan pelukanku
sampai aku melihat pengantin pria mulai tidak sabar
ingin menikahinya. Kulepas pelukanku lalu beranjak
ketempat duduk yang telah disediakan. Wanita
setengah baya tadi yang diruang pengantin wanita
duduk disampingku. Kukecup pipinya mesra dan kugenggam tangannya. “Dia benar-benar mirip denganmu ketika kamu
seusia dengannya. Bedanya dia benar-benar seperti
seorang Angel (malaikat) sedari kecil, sedangkan
kamu…”, ucapanku terhenti karena menerima
sebuah cubitan kecil geli diperutku. Kami tertawa
kecil bersama mengenang sebentar kenangan dulu. Lalu upacara pernikahan dimulai. The En… “Tunggu dulu…”, teriakmu. “Apa yang terjadi dan
mengapa siGorilla menghilang waktu dulu?”,
tanyamu. Hehehe…, itu jadi rahasia kami berdua. Dan aku
telah berjanji tidak akan menceritakannya pada
siapapun. Tentu saja bukan karena aku takut dan
diperintah olehnya, tetapi aku ingin kenangan itu
menjadi kenangan manis kami bersama. Yang bisa
kukatakan adalah. Kadang, apa yang terlihat buruk diluar justru
sebaliknya didalam. Kadang, apa yang terlihat
bagaikan benci ternyata adalah cinta. Dan kadang,
demi seseorang yang dicintainya seseorang itu akan
menghilang dan ingin kembali menjadi yang terbaik
bagi yang dicintainya.
lampu mercusuar yang gagah dengan sinarnya
menerangi kegelapan malam. Lampu itu menjadi
tumpuan perahu para nelayan mencari arah dan
petunjuk menuju pulang. Dari kejauhan, pada sebuah jendela kecil di rumah
penjaga mercusuar, sebuah lampu minyak setiap
malam melihat dengan perasaan iri kea rah
mercusuar. Dia mengeluhkan kondisinya,”Aku
hanyalah sebuah lapu minyak yang berada di dalam
rumah yang kecil, gelap dan pengap. Sungguh menyedihkan, memalukan dan tidak terhormat.
Sedangkan lampu mercusuar di atas sana, tampak
begitu hebat, terang dan perkasa. Ah ….
Seandainya aku berada di dekat mercusuar itu,
pasti hidupku akan lebih berarti, karena akan
banyak orang yang melihat kepadaku dan aku pun bisa membantu kapal para nelayan menemukan
arah untuk membawanya pulang ke rumah mereka
dan keluarganya. Suatu ketika, di suatu malam yang pekat, petugas
mercusuar membawa lampu minyak untuk
menerangi jalan menuju mercusuar. Setibanya di
sana, penjaga itu meletakkan lampu minyak di
dekat mercusuar dan meninggalkannya di samping
lampu mercusuar. Si lampu minyak senang sekali. Impiannya menjadi kenyataan. Akhirnya, ia bisa
bersanding dengan mercusuar yang gagah. Tetapi,
kegembiraannya hanya sesaat. Karena
perbandingan cahaya yang tidak seimbang, maka
tidak seorang pun yang melihat atau memperhatikan
lampu minyak. Bahkan, dari kejauhan si lampu minyak hamper tidak tampak sama sekali karena
begitu lemah dan kecil. Saat itu, lampu itu menyadari satu hal. Ia tahu
bahwa untuk menjadikan dirinya berarti, dia harus
berada di tempat yang tepat, yakni di dalam sebuah
kamar. Entah seberapa kotor, kecil dan pengapnya
kamar itu tetapi di sanalah lebih bermanfaat. Sebab,
meski nyalanya tak sebesar mercusuar, lampu kecil itu juga bisa memancarkan sinarnya menerangi
kegelapan untuk orang lain. Lampu kini tahu, sifat iri
hati karena selalu membandingkan diri dengan yang
lain, justru membuat dirinya tidak bahagia dan
memiliki arti.
Dengan jarum yang ramping-ramping seperti ini?” jawab jam penuh keraguan. “Bagaimana kalau 3,600 kali dalam satu jam?” “Dalam satu jam harus berdetak 3,600 kali? Banyak sekali itu” tetap saja jam ragu-ragu dengan kemampuan dirinya. Tukang jam itu dengan penuh kesabaran kemudian bicara kepada si jam. “Kalau begitu, sanggupkah kamu berdetak satu kali setiap detik?” “Naaaa, kalau begitu, aku sanggup!” kata jam dengan penuh antusias. Maka, setelah selesai dibuat, jam itu berdetak satu kali setiap detik. Tanpa terasa, detik demi detik terus berlalu dan jam itu sungguh luar biasa karena ternyata selama satu tahun penuh dia telah berdetak tanpa henti. Dan itu berarti ia telah berdetak sebanyak 31,104,000 kali.
yang berbalut gaun putih menanggis tersedu-sedu.
Karena isak tanggisnya yang begitu sendu,
sepasang burung kecil yang mendengarnya diatas
pohon terbang turun menghampiri wanita ini. “Wahai nona muda, mengapakah kamu
menanggis?”, Tanya burung kecil ini sambil
mengeluskan kepalanya pada wajah wanita ini
menghapus air matanya. Sedangkan burung kecil
yang satunya memetik setangkai mawar merah dan
disematkan ketelinganya. “Terimakasih burung kecil, tapi aku sangat sedih.
Aku mempunyai seorang kekasih yang sangat aku
cintai dan dia meninggalkanku. Hari ini adalah hari
ke-100 dia meninggalkanku…”, jawab wanita ini
terisak-isak. Mendengar jawaban itu, kedua burung
kecil ini saling berpadangan penuh arti. “Nona muda, kalau boleh aku bertanya, apakah ini
topimu?”, Tanya burung kecil yang tadi memberinya
setangkai bunga. “Iya…”, jawab wanita ini pelan.
“Apakah kamu sangat menyukai topi ini? Seringkali
kami melihatmu dari angkasa kemana-mana kamu
selalu memakai topi ini apalagi disiang terik begini”, lanjut burung kecil. “Iya, aku sangat menyukainya. Topi ini adalah
pemberian dari kekasihku…, tapi sekarang dia
meninggalkanku…”, jawab wanita ini terisak lagi.
Tiba-tiba burung kecil yang memberinya bunga
langsung mengambil topi tersebut dan terbang
keangkasa. Lalu dibuangnya. “Apa yang kamu lakukan…?!”, teriak kecil wanita ini
sambil mengejar topi itu. Tetapi, tuan angin
berhembus membawanya pergi jauh. “Tidakkk….”,
teriak wanita ini begitu pilu. “Te…, Teganya kamu
membuang kenanganku. Hanya topi itu yang
mengingatkanku tentang dia…”, teriak lagi wanita ini pada sepasang burung kecil sambil jatuh terduduk
lesu. Burung kecil yang membasuh air matanya tadi
terbang menghampirinya. Lalu ia duduk dipangkuan
wanita ini. Katanya. “Nona muda, mengenang masa lalu memang tidak
salah. Tetapi jika kamu MENETAP disana adalah
salah. Masa lalu seindah apapun ia telah berlalu.
Masa lalu seperti malam hari, kamu terpesona
dengan terang ratu bulan dan kedip pangeran
bintang. Kamu tidak ingin melupakannya dan untuk itu kamu tidak mau memejamkan mata karena
kamu takut semua akan menghilang”. “Tetapi, semakin kamu tidak memejamkan mata,
semakin BERAT matamu dan ketika tanpa kamu
sadari akhirnya kamu HARUS kembali kekerajaan
mimpi. Dan ketika kamu mendapati raja mentari
telah membangunkanmu dengan belaian hangatnya,
kamu begitu marah mengapa mereka tega membiarkanmu tertidur”. “Ingatlah nona muda, jika ada malam akan selalu
ada siang. Dan jika ada siang akan selalu ada
malam. Kamu tidak bisa hanya karena ada satu
malam yang memberimu kenangan indah, kamu
menolak siang. Dan jangan pula hanya karena satu
siang yang membakar tawamu kamu memohon malam”. “HIDUP adalah kombinasi tawa dan air mata, dan
keduanya satu paket yang tidak bisa dipisah”. “Jika aku dan pasanganku boleh memilih, kamipun
ingin memilih tidak perlu susah payah mencari
makan untuk anak-anak kami. Tidak perlu cemas
menjaga siang dan malam agar telur kami tidak
diincar musuh alami kami. Tidak perlu melawan
hujan badai agar kami tidak jatuh dari ketinggin pohon ini”. “Tetapi kami tidak bisa dan kamipun tidak ingin
mempedulikannya sekalipun kami terluka.
Mengapa? Karena kami tahu ketika telur kami
menetas, ketika anak-anak kami tumbuh besar dan
bermain diangkasa bebas, semua luka dan beban
itu LEPAS. Karena itulah kami MENIKMATI apa yang kami lakukan setiap hari sekalipun itu adalah
rutinitas yang tidak menarik bagi mata yang
melihatnya”. “Selayaknya dirimu nona muda, memang adalah hal
yang menyesalkan kamu harus kehilangan yang
sangat kamu cintai apalagi dengan cara
ditinggalkan. Tetapi, apakah itu membuatmu
bahagia dengan mengasihi diri sendiri dan marah?
Dan kepada siapa kamu marah? Kepada dia yang meninggalkanmu? Mungkin sekarang dia sedang
berbahagia dengan yang lainnya. Kamupun pantas
mendapatkan kebahagiaan itu”. “Tetapi, jika kamu tidak mau MELEPASKAN luka
itu, bagaimana kamu MENGUNDANG bahagia? Dan
seandainya tuan bahagia yang sengaja datang
mengunjungimu, melihatmu yang MENUTUP pintu,
bagaimana ia masuk?”. Wanita ini yang tadinya tersedu-sedu mulai
menghentikan tanggisnya. Cuaca yang tadinya terik
berubah menjadi gelap. Tuan hujanpun membasahi
bumi. Burung kecil yang tadi memberinya bunga
terbang kecil membawa untaian bunga yang
berbentuk mahkota sederhana dan dipakaikan pada kepala siwanita. “Nona muda, lihatlah langit ini. Tadi begitu terang
sekarang berubah hujan. Apakah kamu juga akan
menyalahkan karena tidak bisa pulang?”, Tanya
burung kecil yang duduk dipangkuannya. Wanita
muda ini terdiam sejenak. “Jika…, jika ada topi tadi
aku mungkin bisa memakainya dan berlari pulang…”, jawab wanita ini pelan. Dua burung kecil ini saling berpandangan. Lalu
burung yang memberinya bunga dan mahkota
terbang keatas pohon. Tidak lama kemudian ia turun
dan mendekati pasangannya sambil berbisik kecil.
Keduanya tersenyum penuh arti. “Nona muda, setiap pertemuan yang kamu lalui
selalu ada makna dibaliknya. Ada yang memberimu
tawa. Ada yang memberimu luka. Tetapi yang
terutama, mereka menarik sisi terbaikmu keluar
daripada dirimu”. “Kamu yang sekarang seperti hujan ini. Kamu
berteduh tidak berani keluar karena takut basah.
Kamu merasa nyaman dengan berlindung dibawah
pohon ini dengan berbagai alasan yang ada. Tetapi
pernahkah kamu berpikir bahwa hujan juga akan
membawakanmu bahagia?”. Wanita ini mengangguk pelan ragu. Burung kecil
yang melihatnya terbawa kecil. Lalu keduanya
menarik tangan siwanita ini memintanya agar
bermain hujan dengan mereka. “Ayo, nikmati apa
yang bisa kamu nikmati sayang…”, pinta burung
kecil. Dengan perasaan enggan tapi penasaran wanita inipun melangkahkan kakinya. “Dingin…”, teriaknya kecil ketika hujan mengelitik
kakinya. Lalu dia pun melompat kecil keluar sambil
memeluk dirinya sendiri. “Dingin….”, teriaknya lagi,
tapi wajahnya terlihat sangat menikmati. “Aww…”,
teriaknya lagi ketika beberapa ekor tupai berlari-lari
kecil disekelilingnya bermain air. “Hihihi…”, tawanya kecil. Ia telah lupa dinginnya.
Mereka bermain dengan ceria hingga sebuah suara
ramah menyapa mereka. “Bolehkah aku bergabung
dengan kebahagiaan ini?”. Wanita ini terkejut kecil
ketika disapa. Lalu dia berbalik melihat siapa
gerangan pemilik suara ramah ini. Bola mata biru sebiru angkasa. Rambut panjang
keemasan selembut sutra. Tubuh tinggi tegap
mempesona. Seorang pria yang sangat tampan
bagaikan pangeran. Wanita ini yang melihatnya
merasa wajahnya panas. Padahal saat ini dia
diguyur hujan. Pipinya merona merah. “Bo…, boleh saja…”, jawabnya malu-malu sedikit
tertunduk. Pria tampan ini tersenyum dan
meletakkan payungnya. Lalu dia menarik tangan
wanita ini bersama para tupai dan burung lain
mengikutinya. Sebelum wanita ini berlari mengikuti
pria tampan ini, terdengar bisikan kecil sang burung kecil. “Kadang, Aku sengaja membuang topimu yang
hanya melindungi dirimu saja supaya kamu bisa
mendapatkan payung yang bisa melindungi kamu
berdua. Kadang, Aku memberikan hujan dikala terik
mentari supaya kamu mengerti ada yang hendak
Aku beri. Dan untuk MENGETAHUI kamu tidak bisa berharap pada mata dan telingamu, yang harus
kamu lakukan adalah MENSYUKURI semua nikmat-
Ku, apapun itu”.
melamun disebuah bangku taman kota. Dari lukisan
wajahnya bisa dipastikan pemuda ini sedang
bersedih. Matanya berkaca-kaca dan sesekali ia
memaki kecil sambil membaca surat yang
dipegangnya. Dalam kesedihannya itu, ia melihat seorang pria tua
sedikit kewalahan mengeluarkan barang-barang dari
mobil didepannya. Awalnya pemuda ini tidak
menghiraukannya, lagipula, dia sendiri lebih
memerlukan bantuan daripada pria tua itu yang
didepannya, itu yang dipikirkannya. “Ooh, terimakasih anak muda…”, kata pria tua ini
ketika pemuda yang sedang bersedih ini
membantunya membawa barang-barangnya. “Sekali
lagi terimakasih nak…”, lanjut pria tua ini menunggu
jawbanan pemuda ini. “Maafkan aku tuan, panggil saja Mike…”, kata
pemuda ini yang ternyata bernama Mike. Pria tua ini
tersenyum. “Sekali lagi terimakasih Mike, namaku
Wisely”, jawab pria tua ini tersenyum ramah. “Dan
maafkan aku Mike, tadi aku melihat kamu terlihat
sedikit bersedih dan agak marah, apakah ada yang bisa kubantu sekedar balas budi kecil ini?”. Mike menghela napas panjang. “Sebenarnya hal
yang biasa tuan Wisely, aku hanya marah pada
diriku sendiri yang merasa tidak berguna. Mungkin
aku tidak pantas menceritakannya, aku takut aku
justru membuat hari tuan Wisely yang baik menjadi
buruk”, kataku pelan. Dalam hati aku berharap ada seseorang mau mendengarkan ceritaku sekedar
meringankan sesak dihati. “Baiklah, mengapa kamu tidak mencoba?”, Tanya
tuan Wisely sambil tersenyum. “Mencoba apa?”,
tanyaku sedikit bingung. “Hohoho…, mencoba
membuat hariku menjadi buruk dengan ceritamu”,
jawabnya sambil menepuk pundakku. “Mari, temani
aku dibawah pohon tua itu. Silakan memulai ceritamu anak muda…”. Aku adalah seorang karyawan biasa disebuah
perusahaan kecil dikota ini. Keseharianku sangatlah
biasa tanpa ada yang perlu bisa dibangga. Bangun
pagi, meminum secangkir kopi, berdesakan dikereta
dan keluhan yang pertama ketika tiba ditempat
kerja. Setelah sore, aku pulang. Kadang mampir kecafe
sebentar. Minum secangir kopi lagi dan berkumpul
dengan teman-teman satu kantor sambil berlomba
menceritakan hari siapa yang paling buruk. Kalau
tidak pasti saling mengosipkan kebenaran yang
belum terbukti kebenarannya. Aku juga telah mempunyai pasangan dan aku
sangat mencintainya. Sayangnya, semua itu harus
berakhir hari ini setelah dua tahun lamanya kami
membina hubungan cinta dan itu ditegaskan dalam
surat yang kubaca barusan. Apa yang kualami adalah hal yang telah biasa
dialami oleh pasangan umumnya. Kami saling
menuntut dan melihat kekurangan masing-masing
dan ingin merubahnya seperti yang diinginkan kita.
Padahal, sejak pertama aku jatuh cinta padanya
justru karena kekurangannya yang unik itu, sekarang justru jadi senjataku memojokkannya. Menyesal dengan segala keegoisanku itu? Sudah
pasti. Itulah uniknya manusia jika tidak mau
dikatakan buruk, kita baru menghargai sesuatu
ketika kita kehilangannya. Setelah hampir sejam lebih aku bercerita tentang
ketidak-beruntunganku pada tuan Wisely, mengeluh
dan segala beban dihati, aku merasa lebih enakkan.
Kulihat tuan Wisely dengan seksama mendengarkan
ceritaku, seakan dia sangat mengerti perasaanku.
Padahal, kami baru saja bertemu bahkan tidak sampai sejam. “Hmmm…”, dia berdegum, “Aku tidak tahu bahwa
harimu begitu buruk, tapi menurutku ini justru bagus
sekali kamu telah mengalaminya…”, lanjutnya
membuatku bingung. Belum sempat aku bertanya,
tuan Wisely memberiku sebuah kuas baru dan cat
warna-warni. Lalu dia menyuruhku melukis. Apa saja. Aku duduk bingung diam sambil memandangnya
dengan bola mata membesar. Aku benar-benar
bingung dibuatnya. Dan yang lebih membuatku
bingung lagi, tuan Wisely berkata, “Kamu boleh
melukis apa saja, tapi jangan sampai mengotori
kanvas putih ini ya”, sambil memberikanku sebuah kanvas putih. Lalu tuan Wisely mulai melukis
pemandangan disekitar taman itu. Sejam telah berlalu, kanvasku masih putih. Kulihat
lukisan tuan Wisely, dan sungguh luar biasa. Sangat
indah dengan pemandangan sore hari ditaman ini.
Begitu berwarna dan begitu mempesona. Tiba-tiba
tuan Wisely melihat kearahku. “Mengapa kamu membiarkan kanvasmu putih?
Apakah kamu tidak mempunyai sesuatu yang ingin
dilukis?”, tanyanya tersenyum ramah. Aku terdiam
sejenak. Lalu kujawab tuan Wisely. “Maafkan aku tuan Wisely, aku sebenarnya ingin
melukis pemandangan juga. Tapi aku takut
lukisanku tidak bagus sehingga menyian-nyiakan
kanvas ini yang putih ini. Lagipula, tuan Wisely
sendiri juga berpesan agar aku jangan mengotori
kanvas ini bukan?”. Tuan Wisely tertawa terbahak-bahak mendengar
jawabanku. “Hohoho…, maafkan aku anak muda karena
menertawakanmu. Percayalah, aku bukan
menertawakan dirimu sebenarnya, tetapi aku
menertawakan diriku sendiri ketika aku seusia
denganmu. Jawabanmu hampir persis dengan
jawabanku dulu”. “Anak muda, sesungguhnya kanvas ini adalah
DIRIMU. Kamu telah mempunyai kuasnya, kamu
telah mempunyai cat warnanya, dan yang perlu
kamu lakukan adalah menggerakkan tanganmu
bekerja melukis apa yang kamu inginkan pada
kanvas itu”. “Memang benar aku berpesan padamu agar jangan
mengotori kanvas putih itu. Tetapi ingatlah ini juga,
jika kamu tidak melukisnya, bagaimana aku tahu itu
justru mengotori kanvasnya ataupun justru
memperindah kanvas itu?”. “Dan sekalipun kamu melukisnya tidak seindah
gambaranmu, so what? Aku juga dulu tidak bisa
melukis seperti sekarang ini. Tetapi aku berusaha,
sedikit demi sedikit dan akhirnya inilah lukisan yang
kamu lihat dengan mata terpana bukan?”. “Anak muda, maafkan pria tua ini. Aku bukannya
mengguruimu, tetapi sedikit berbagi pengalamanku
padamu. Seperti yang telah aku katakan, kanvas ini
adalah dirimu. Dan kamulah yang menentukan
apakah kanvas ini menjadi lukisan yang indah
ataukah corat-coret keluhanmu semata”. “Jangan terlalu mempedulikan apa pendapat orang
tentang lukisanmu, apakah itu karena lukisanmu
benar-benar buruk ataukah mereka yang iri karena
tidak bisa melukis seindah kamu. Jika buruk,
perbaikilah pelan-pelan, apa yang tidak bagus
ubahlah menjadi bagus”. “Dan jikalau kanvas itu telah kosong tidak bisa diisi
lukisan lagi, KOYAKLAH lembaran kanvas yang
penuh itu. Tuhan selalu memberimu KANVAS
YANG BARU dalam hidupmu”. “Jika kanvas yang dulu membuatmu menderita, lalu
mengapa kamu masih menyimpan kanvas itu dan
terus menatapnya? Koyak dan buatlah lukisan yang
baru. Lukisan yang lebih indah dari lembar
sebelumnya. Lukisan yang membuat mata
terpesona”. “Dan jika lukisan itu indah bagimu, kembangkalah
dan indahkanlah juga mata lainnya dengan cara
berbagi dengan mata lain yang INGIN melihatnya”. “Mengapa aku mengatakan yang INGIN
melihatnya?, karena seindah apapun lukisanmu
akan ada mata dan kata-kata yang tidak
menyetujuinya. Dan jika kamu terlalu mendengarkan
kata-kata itu, semakin lama itu akan menjadi
PEMBENARAN BARU pada kepalamu, dan akhirnya, lukisan itu menjadi tidak indah lagi lalu
kamu akan mengoyaknya dan membuangnya”. “Ketika kamu membuang lembaran lukisanmu,
kamu masih bisa melukis lagi. Tetapi ketika kamu
membuang semua kanvasmu, termasuk kuas dan
cat warnamu, kamu telah membuang dirimu sendiri”. “Anak muda, sebelum kita berpisah, ijinkan pria tua
renta sok tahu ini memberi satu nasehat. Hidup itu
indah apapun alasannya. Bunga akan mekar dan ia
akan layu, lalu akan bertumbuh bunga indah lainnya.
Jangan membuat dirimu menderita hanya karena
kamu setiap hari MENATAP SATU LEMBAR LUKISAN yang menurutmu buruk”. “Masih banyak lembaran kanvas putih baru yang
bisa kamu lukis. Tetapi, ketika kamu sudah melukis
dengan baik dan berusaha semaksimalmu dan itu
membahagiakanmu, SATU LEMBAR PUN sudah
cukup. Jangan MEMBANDINGKAN indahnya
lukisan orang lain, itu lukisan MEREKA, bukan lukisanmu. Sekalipun kamu bisa MEMILIKI lukisan
itu, itu tetap bukan lukisanmu”. “Dan tahukah mengapa aku melukis pemandangan
disini dengan matahari terbenam sedangkan
matahari masih bersinar terang diatas kepala kita?”,
Tanya tuan Wisely dengan senyuman ramahnya
penuh arti. Aku menggangguk dan membalas senyumnya. Aku
mengerti sekali apa maksudnya. Lalu dia bertanya
padaku, “Menurutmu, apa artinya?”. Aku hanya memandangi lukisan itu, dan kujawab
singkat dengan yakin. “Anda sedang melukis MASA DEPAN yang indah”
yang dikenal dengan nama Mike duduk tidak
bersemangat sebuah bangku taman. Dikeluarkannya
kotak kecil segiempat warna biru dari tasnya. Lalu
dibukannya kotak itu dan raut wajahnya terlihat
berubah. “Nasi, sayur dan sedikit daging? Dan sebuah apel?”,
keluhnya sendiri melihat bekal yang dibuatkan
istrinya hampir sama setiap harinya. Karena perut
yang telah lapar, mau tak mau ia harus
memakannya sekalipun tidak bergairah. Ketika baru mencicipi sedikit, terlihat dua ekor anak
kucing menghampirinya. Seekor berwarna
kecoklatan dan seekor lainya berwarna kuning.
Mereka terlihat lucu sekali berlarian kecil melompat-
lompat didepannya seakan beratraksi meminta
sedikit “suapan” dipagi hari. Ketika sedang asyik melihat kucing itu bermain,
terdengar sapaan ramah seorang pria tua. “Anak
muda, bolehkah pria renta ini duduk disini
mengistirahatkan kaki barang sebentar?”, tanyanya
dengan senyum yang sangat ramah. Bola matanya
yang sebiru angkasa menambah pesonanya. “Ooh, boleh saja tuan dan maafkan aku tuan. Tadi
aku melihat dua ekor anak kucing ini bermain begitu
riang sehingga saya terhanyut oleh perasaanku
sendiri. Silakan duduk tuan…”, jawab Mike disertai
jawaban dari sipria tua ini. “Johan. Nama saya
Johan”. “Salam kenal tuan Johan, namaku Mike”. Pagi itu matahari masih tersenyum dengan
hangatnya. Jalanan masih tidak begitu ramai.
Terlihat para pemilik toko baru mulai membersihkan
tokonya sebelum menerima pelanggan. Mike yang
masih terlihat kurang berselera menikmati
sarapannya, secara tidak sengaja melihat pria tua ini juga membawa bekal. Dalam hatinya Mike bertanya dan bertaruh dengan
dirinya sendiri bahwa bekal pria ini pasti lebih enak
dibanding bekalnya yang sederhana sekali. Tetapi
ketika pria tua ini membuka kotak bekalnya, ia
hampir tidak percaya melihat apa yang dilihatnya.
Hanya roti tawar. Tidak ada apa-apa lagi. Seperti bisa membaca keterkejutan Mike, pria tua
ini hanya tersenyum ramah dan berkata, “Maafkan
saya anak muda jika bekalku merasa membuatmu
merasa tidak nyaman. Tapi inilah yang kumakan
selama hampir 40 tahun lamanya”. “Roti ini adalah buatan istriku. Dan inilah satu-
satunya bekal yang paling aku cintai darinya”, lanjut
pria tua ini sambil memandangi roti tawar itu dengan
mata berkaca-kaca. Mendengar hal itu, Mike
merasa aneh. Masa roti tawar itu yang mudah
didapatkan merupakan satu-satunya bekal yang bisa dibuat oleh istrinya? Dan seperti bisa membaca pikirannya lagi, pria tua
ini melanjutkan perkataannya. “Anak muda, aku duduk disini bukan karena ketidak-
sengajaan juga. Tadi, ketika aku lewat disini hendak
bersantai seperti biasanya, aku menemukan dirimu
sudah duduk disana dan terlihat begitu resah. Dan
sekedar kamu tahu saja, bangku inilah dimana aku
melamar istriku dan bangku inilah yang hampir selama 40 tahun menemaniku menikmati
sarapanku”. “Tapi jangan merasa sungkan anak muda, bangku
ini bangku umum, siapapun boleh mendudukinya”,
katanya dengan tutur kata yang sopan dan sangat
ramah. Aku hanya bisa tersenyum dan
menganggukkan kepala. Ya, ini adalah pertama kalinya aku duduk dibangku
taman ini. Setiap pagi aku berangkat bekerja tetapi
tidak pernah sepagi hari ini. Aku memaksakan diriku
bangun pagi ini karena semalam aku tidur tidak
nyenyak. Pekerjaanku menumpuk dikantor, belum lagi segala
tagihan dan biaya yang begitu membuat pusing
kepala. Dan pagi ini, aku berharap istriku
membuatkanku bekal yang enak supaya aku lebih
bersemangat, tetapi hasilnya tetap saja. Dan sekali lagi, seperti bisa membaca isi kepalaku,
pria tua ini melihatku dan berkata. “Anak muda, coba kulihat bekalmu”. Awalnya aku bingung dengan pertanyaannya. Tetapi
pandangan dan senyuman ramahnya itu membuatku
memperlihatkannya. “Hmm, bekal yang sangat enak sekali dan penuh
gizi. Pasti dibuat dengan penuh rasa sayang”, puji
pria tua ini dan tanpa kusadari aku menyahut, “Enak
darimana, hampir tiap hari makanannya seperti
ini…”, dengan muka ketus. Pria ini tertawa kecil, “Hoho…, benarkah seperti itu?
Jika bekal seenak itu saja kamu katakan tidak enak
dan bosan, bagaimana dengan aku yang setiap hari
membawa bekal yang sama dan selama hampir 40
tahun aku memakannya?”, tanyanya sambil
memperlihatkan bekalnya. Sejujurnya aku merasa sangat tidak enak telah mengatakan hal itu. “Anak muda, jika kamu membawa bekalmu hanya
sebagai tujuan untuk BERHEMAT, semakin kamu
berhemat semakin perasaanmu terbeban dan
semakin cepat kamu menjadi bosan. Memang baik
kamu membawa bekal karena bisa menghemat
sedikit pengeluaran, tetapi ingatlah jangan jadikan itu tujuan utamanya apalagi sampai membuatmu
TIDAK MENGHARGAINYA”. “Sekarang cobalah lihat bekalmu lagi”, lanjut pria tua
ini dengan sedikit menganggukan kepalanya agar
aku melihat bekalku. “Disana ada nasi. Menurutmu
kira-kira berapa lama istrimu harus memasaknya
dan seberapa pagi dia harus bangun
menyiapkannya?”, tanyanya sambil tersenyum. Aku menggelengkan kepala. “Sekarang lihat sayuran yang terlihat masih segar
itu, kira-kira berapa lama dia memilihnya untukmu
dan sampai kemana dia mencarinya?”. Aku
menggelengkan kepala lagi. Kali ini aku merasakan
ada suatu perasaan yang timbul dihatiku. “Dan lihatlah apel itu…, aku rasa kamu sudah tahu
apa yang akan kutanyakan padamu. Tetapi inilah
yang paling ingin kutanyakan. Apakah kamu tahu
dia, istrimu, juga makan bekal seenak kamu
dirumah?”. Aku terdiam seribu bahasa. Ya, aku baru menyadarinya. Dengan kondisi
ekonomi kami yang begitu pas-pasan, istriku tidak
sedetikpun mengeluh padaku. Dia selalu bangun
subuh-subuh membereskan rumah dan menyiapkan
bekal untukku. Seingatku, setiap belanja dia selalu membeli sebuah
apel, sebutir telur, sedikit daging dan seikat
sayuran. Dan pagi ini, dan seperti pagi lainnya,
semua itu terisi penuh dikotak bekalku. “Ya
Tuhan…”, ucapku singkat hampir tidak mampu
menahan air mataku. Istriku makan dengan lauk apa dirumah jika semua lauk yang dibelinya diberikan
padaku? Hanya nasi putih sama sebotol kecap asin
yang terletak disudut dapur ketika aku berangkat
bekerja. “Anak muda, bekal yang disiapkan istrimu itu, bahan
dan bumbu semewah apapun yang dibuat oleh para
koki kelas dunia tidak akan bisa mengalahkan bekal
yang dibuat istrimu. Keistimewaan bekalmu itu
hanya istrimu yang bisa membuatnya, dan
bumbunya itu bumbu satu-satunya. Kamu tentu tahu apa maksudku bukan?”, Tanya pria tua ini
menempuk pundakku. Kurasakan wajahku basah
dan tetesan air mataku jatuh pada tangan dan kotak
bekalku. Pria tua ini memang benar. Istriku telah bangun
subuh-subuh, menyiapkan bekal untukku, dengan
penuh cinta dan sayang sebagai bumbu, aku malah
dengan mudahnya mengeluh. Aku benar-benar pria
yang tidak tahu berterimakasih dan BERSYUKUR. Aku yang awalnya memakan bekal buatan istriku
dengan perasaan mati rasa, kini berganti penuh
gairah. Sayur yang terlihat membosankan, kini
terlihat menyegarkan. Rasanya enak sekali. Dan
aku, pada pagi itu, melahapnya tanpa tersisa. Setelah menghabiskan bekalku, aku teringat betapa
tidak sopannya aku telah melahap bekalku dan
melupakan pria tua yang disampingku ini. Dan
sekali lagi, seperti bisa membaca pikiranku, dia
tersenyum ramah dan berkata. “Jangan pedulikan aku anak muda, melihatmu yang
bisa melahap sebahagia itu sudah cukup untuk
mengeyangkan jiwaku. Dan ijinkanlah aku
memberimu satu nasehat sok tahu ini.
NIKMATILAH apa yang telah kamu PUNYA
sekalipun itu hal yang terlihat SANGAT SEDERHANA bahkan tidak berharga”. “Berbahagialah karena kamu MASIH menikmatinya,
BERSYUKURLAH kamu masih memilikinya, karena
ketika kamu kehilangannya, kamu akan
MENYESALINYA”. “Dan kamu pasti bertanya mengapa aku
mengatakan hal seperti ini bukan?”, Tanya pria tua
ini tersenyum ramah padaku sambil memperlihatkan
bekalnya yang hanya roti tawar. Matanya berkaca-
kaca. “Bagi kamu mungkin roti ini adalah sangat
sederhana dan kurang nikmat untuk dirasa bukan?
Tetapi aku tidak menyalahkanmu karena dulu aku
juga begitu sepertimu. Tetapi, sejak 38 tahun lalu,
tepatnya bulan Agustus, roti ini menjadi favoritku”. Aku mengernyitkan dahiku bingung. Pria tua ini
tertawa kecil dan melanjutkan perkataannya. “Roti ini menjadi favoritku bukan karena ia sangatlah
enak. Roti tawar ya tetap tawar, tetapi yang
menyiapkannya memberi RASA yang nikmat. Dan
roti tawar ini dibuat oleh istriku dengan susah payah
dan perlu berpuluh-puluh menit mempersiapkannya”. “Dan aku tahu kamu pasti bingung mengapa roti
tawar ini perlu waktu yang begitu lama untuk
dipersiapkan bukan?”, Tanya pria tua ini tersenyum
ramah. Aku mengangguk pelan. Lalu dia mengambil
sebuah foto tua dari jas yang dipakainya dan
diperlihatkan padaku. Ketika melihat foto itu, aku spontan menutup mulutku. “Ini istriku anak muda, dia telah kehilangan
tangannya ketika kecelakaan 38 tahun yang lalu.
Dan dia juga kehilangan satu kakinya. Roti tawar ini
dibuatnya dengan hanya mengandalkan….”, kata-
katanya terhenti. Matanya basah. Akupun juga tidak
mampu menahan air mataku lagi, dan aku tahu betul apa maksudnya. “Anak muda, dulu aku sama sepertimu. Kurang
menghargai hidup sebagaimana kita mengeluh bekal
kita. Tetapi, sejak kecelakaan dulu itu, aku begitu
menyesalinya. Dan untuk itulah aku tidak ingin
kamu mengulang sejarah yang sama”. “Ini memang bekal biasa. Kita bisa membelinya
dimana saja dan kapan saja, tetapi kamu tidak akan
bisa membeli BUMBU dan MEREKA YANG
MEMBUATNYA. Makanya, sekalipun roti tawar ini
terlihat sangat sederhana dan bahkan tidak enak
rasanya, bagiku ini adalah makanan paling nikmat sedunia, apalagi roti ini dibuat oleh istriku tercinta
yang dengan senang hati membuatkannya untukku,
tanpa mengeluh dan tanpa kedua tangannya”. “Jika hal kecil saja kita tidak HARGAI dan
SYUKURI, maka hal sebesar apapun tidak akan
kamu HARGAI apalagi SYUKURI”.