It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
untung aku sering ngecheck
Please mention aku kalo ada lanjutaaana nya.
Makasiiihs ebelum nyaaaa.
hahahahaha,,, maaksih mas,, masih banyak ko mas typo,, hehehehehe,,, maaf mas kalau tidak nyaman dengan cerita ini
mas apa kabar?? terimakasih ya sudah membaca cerita2ku dengan setia,,
@handikautama – iya nie mas,, karena cerita tentang bipolar disorder jadi dibuat seperti ini,,
@arieat – maaf mas membuat dirimu menangis,, tetap semangat ya
@khieveihk – hehehehehe,, gimana akhrinya dapat gak kereta??
@kiki_h_n – iya nie mas kemarin tepar beneran,, ini baru pulang ke lapangan,, jadi baru sempat baca2 komen,,,
@CL34R_M3NTHOL – mas gimana kabarnya?? Dah dpt dokter baru belum?? Hehehehehe,,, becanda mas,,
@Bintang96 – terimakasih ya sudah mau membaca ceritaku,,
@marobmar – kita lanjut ya mas ceritanya,, dan kita akan tahu mengapa sembo bisa bertahan,, maaksih ya mas sudah mau membaca,,
@d_cetya – iya nie padahal aku dah tulis,, tapi ko gak bisa ya,, coba dites,,
@catalysto1 – makasih ya mas sudah mau membaca cerita ini,,,
@tio_juztalone – okeh mas
@timmysury – makasih ya mas,, sudah mau membaca,, tunggu lanjutannya
@GeryYaoibot95 – iya nie semakin rumit mas,,, tunggu lanjutanya ya mas
@arya404 – siap mas,, terimakasih ya mas sudah mau membaca,,
@Just_PJ – okeh mas,, maaksih ya sudah mau membaca,,
@3ll0 – hehehehehe, tunggu lanjutannya ya,, nanti dibuat detail ko sembo dan Ardi
@shuda2001 – iya mas saya memang mau buat seperti itu,, maaksih ya mas sudah mau membacanya
@Rizal_acank – okeh,, hehehehe,, makasih ya mas sudah mau mampir dan membaca cerita ini,,
@mustaja84465148 – heheheheh,, maaksih ya mas mau membaca cerita ini,, tunggu lanjutannya
@Monster_Swifties – Siap ya mas tunggu lanjutannya,, makasih mas sudah membaca
hahahahaha,, iya baru nyampe jakarta,,, setelah dipedalaman,, hahahahahaha,, tunggu lanjutannya ya mas
sabar ya,, hehehehehe,, dilanjut ko
@marobmar
@hantuusil
@lian25
@jokerz
@khieveihk
@Brendy
@Just_PJ
@nakashima
@timmysuryo
@adindes
@Bonanza
@handikautama
@kiki_h_n
@dak
@Zazu_faghag
@ramadhani_rizky
@Gabriel_Valiant
@Syeoull
@totalfreak
@Yogatantra
@erickhidayat
@adinu
@z0ll4_0II4
@the_angel_of_hell
@Dhika_smg
@LordNike
@aii
@Adra_84
@the_rainbow
@yuzz
@tialawliet
@Different
@azzakep
@danielsastrawidjaya
@tio_juztalone
@Brendy
@arieat
@dhanirizky
@CL34R_M3NTHOL
@don92
@alamahuy
@jokerz
@lian25
@drajat
@elul
@Flowerboy
@Zhar12
@pujakusuma_rudi
@Ularuskasurius
@just_pie
@caetsith
@ken89
@dheeotherside
@angelsndemons
@bayumukti
@3ll0
@jamesfernand084
@arifinselalusial
@GeryYaoibot95
@OlliE
@callme_DIAZ
@san1204
@Bintang96
@d_cetya
@catalysto1
@Rizal_acank
@Monster_Swifties
@arya404
@mustaja84465148
Sekitar tiga bulan aku kos, Mas Handoyo menemuiku dan menyuruhku pulang. Mereka sudah mencarikan pembantu untuk Yangti karena sepeninggalanku kondisi Yangti semakin menurun. Akhirnya aku pulang karena bagaimanapun juga aku sangat menyayangi Yangti lebih dari apa yang kuakui. Sikap kurang bersahabat yang sempat kuterima dari sepupu-sepupuku yang lain kuabaikan. Aku pulang untuk Yangti, kehadiran pembantu banyak meringankan bebanku. Nilai-nilaiku yang sempat merosot tajam, perlahan mulai kembali cemerlang.
Ketika aku duduk di kelas 3 SMA, Mbak Vita dikabarkan jatuh sakit sampai dibawa ke Jakarta untuk berobat. Aku belum sempat menengoknya ketika kemudian aku mendapat kabara bahwa Mbak Vita meninggal. Bertahun-tahun jarak dan kondisi memisahkan kami, tetapi Mbak Vita selalu ada di hatiku. Aku menangis semalaman. Lubang besar di dalam hatiku yang lama kuabaikan terasa kembali melebar, makin dalam dan makin gelap.
Mbak Vita meninggalkan sepucuk surat untukku. Beliau menasihatiku agar lebih mengerti kondisi Yangti, tidak selalu melawannya dan jangan mudah percaya pada mulut manis orang. Mbak Vita selalu mengingatkanku sebagai pangeran kecilnya yang manis. Mbak Vita selalu menyayangiku dan memintaku untuk menyayangi anak-anaknya. Ketika Mbak Vita meninggal, Revan baru berusia tujuh tahun, Adistia enam tahun sedangkan Girani masih bayi. Surat itu masih selalu aku simpan sampai beberapa tahun kemudian aku bertemu Adistia dan aku memberikan surat itu kepadanya sebagai kenangan ibunya.
Aku lulus SMA dengan nilai bagus, bahkan lolos program Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), tetapi aku tidak melanjutkan kuliah. Aku sadar kalau aku tidak punya biaya utuk kuliah. Sejak Yangkakung meninggal, Yangti sering melupakan keberadaanku bahkan mengabaikan biaya sekolahku. Hanya sekali beliau teringat, itu pun bila aku sudah terdesak harus membayar sekolah. Aku masin bisa sekolah karena aku sering mendapatkan kiriman uang dari Eyang Buni, adik Yangti di Jakarta. Aku juga sering mencari uang tambahan dengan berjualan atau menjadi pelayanan musiman. Ardi pun banyak membantu kebutuhan sekolahku.
Bagiku, kuliah adalah persoalan yang berbeda karena biayanya sangat besar. Aku berencana mencari pekerjaan dan mengumpulkan biaya, baru setelah itu aku kuliah. Aku sampaikan hal itu kepada Ardi, namun tidak disangka orangtua Ardi memanggilku. Ibu Sarti, Ibunya Ardi berusaha ramah dan sopan setiap kali bertemu denganku, tetapi aku tahu beliau menerimaku dengan terpaksa. Tidak ada ketulusan dalam sikapnya selain basa-basi. Terkadang itu membuatku sedih karena aku selalu berharap bahwa ibu kekasihku akan menjadi ibuku juga. Beliau menegaskan tanpa bisa ditawar bahwa aku sebagai pasangannya Ardi harus kuliah.
Aku tidak pernah berpikir tentang hidup bersama dengan Ardi. Aku juga tidak pernah berpikir untuk mengakhiri hubungan kami, meski aku sadar hubungan kami adalah sebuah keanehan saat itu dan juga tidak sehat. Situasi dan kondisi dan juga ketakutan-ketakutanku seakan-akan telah membutakan akal sehatku. Ibu Sarti bersikeras aku harus kuliah. Kalaupun tidak Sarjana, bisa Diploma dan untuk biaya beliau akan membantu.
Aku tercengang. Satu hal yang paling kubenci adalah berutang budi dan bergantung kepada orang lain. Sku hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih saat itu. Otakku berpikir keras. Aku tahu tawaran Ibu Sarti serius dan aku mulai mempertimbangkannya, tetapi hati kecilku tetap tidak ingin sepenuhnya menerima tawaran itu. Ardi terus meyakinkanku bahwa ia ingin sekali aku kuliah dan sangat disayangkan kalau aku menyia-nyiakan kesempatan itu. Akhirnya aku setuju dengan syarat, Ardi harus mulai memberiku sedikit kebebasan. Aku ingin bekerja sambil kuliah. Ardi pun setuju.
Aku tidak berniat kuliah lama-lama, aku memilih program diploma dan telah menetapkan pilihan. Aku tidak terlalu antusius mengikuti UMPTN sehingga aku tidak lolos. Aku mendaftar dan diterima di sebuah program baru, Jurusan Keuangan Daerah di Fakultas Ekonomi. Kondisi fisikku yang sering pingsan, membuatku tidak bisa sepenuhnya mengikuti acara “ perploncoan “ mahasiswa baru. Kondisi itu tidak menghalangiku untuk memiliki banyak teman.
Aku cukup populer dan aktif di kampus. Bersama rekan-rekan sejurusan, aku mendirikan Himpunan Mahasiswa Diploma Keuangan Daerah dan terpilih menjadi Ketua III Bidang Litbang selama tiga periode sampai aku lulus kuliah. Masa-masa kuliah adalah masa yang sangat menyenangkan bagiku. Aku sangat energik dan memiliki banyak teman.
Ritme hidupku sangat cepat dan padat. Aku bekerja sampingan dengan menjadi pelayanan freelance di beberapa perusahaan. Aku juga pernah menjadi tenaga administrasi di sebuah lembaga pendidikan dan sering menjadi surveyor lepas di perusahaan air minum kemasan. Aku bekerja apa saja asalkan halal dan tidak mengganggu aktivitasku di kampus. Aku juga diberi tugas kakak sepupuku untuk mengelola uang pensiun janda Yangti yang tidak seberapa, juga uang bulanan rumah Bude Ari, kebetulan kakak sepupuku yang selama ini mengelola uang pensiun jandi Yangti sudah lulus kuliah dan pindah ke Jakarta. Hari-hariku disibukkan dengan mengatur keuangan rumah Bude Ari, mulai dari mengurus pembantu, bayar listrik, air sampai asuransi. Aku juga mengelola pensiun Yangti agar cukup untuk membayar perawat, pengobatan dan sebagainya. Aku benar-benar belajar mengelola rumah tangga.
Ardi tidak terlalu possesive, ia tidak lagi mengantar-jemputku ke kampus seperti masa SMA dan mengikutiku ke mana pun aku pergi. Ardi mulai banyak beraktivitas dengan teman-temannya dan menekuni hobi barunya yaitu aktif membentuk badan di fitnes center. Di sela-sela waktu, aku mulai melanjutkan hobiku menulis. Dulu semasa SMP dan SMA aku menulis di buku tulis, sekarang aku bisa menulisnya dengan komputer bekas kakak sepupuku. Sama seperti di masa SMP dan SMA tulisan-tulisanku banyak digemari temanku. Hampir setiap hari, teman-teman penggemar tulisanku menanti-nanti kelanjutan tulisanku yang kebanyakan berupa cerita bersambung. Mengingat hal itu, sayang sekali aku tidak pernah terpikir untuk mengirimkan karyaku ke media.
Di antara masa-masa menyenangkan itu, bukan berarti sakitku berkurang. Aku masih tetap insomnia. Hampir setiap hari aku disiksa dengan migran yang parah. Sering kali aku jatuh ke dalam fase depresi tanpa seorang pun tahu. Yangti mulai sering tidak di rumah. Beliau sering berkunjung ke rumah Om Agung di Jakarta. Bila aku sedang jatuh ke dalam fase depresi, aku bisa mengurung diri di dalam kamar berhari-hari. Aku sering merasa murung atau sedih tanpa sebab, merasa sangat lelah, putus asa bahkan berpikir untuk bunuh diri. Nafsu makanku juga terganggu, aku makan tidak teratur bahkan sering tidak makan . Aku berjuang keras mengatasi kondisiku dan tidak pernah menceritakannya kepada siapa pun termasuk Ardi. Aku memaksakan diri untuk tersenyum ceria setiap kali bertemu orang.
Pernah di suatu waktu, aku sudah tidak mampu lagi bangun. Kelelahan yang luar biasa menderaku. Kala itu aku sendirian di rumah karena Yangti sedang di Jakarta. Selama dua hari aku hanya berbaring di tempat tidur. Aku tidak makan dan tidak minum. Aku bahkan sempat mengira kematianku sudah dekat. Pada hari ketiga sudah terasa gelap gulita. Ardi dan sahabat-sahabatku mendobrak pintu rumahku. Aku dilarikan ke ruamh sakit. Aku mengalami dehidrasi akut dan kurang gizi. Benar-benar memalukan, tetapi dokter tidak menemukan jawaban yang pas untuk rasa sakitku.
Menjelang akhir tahun pertamaku kuliah. Yangti diajak Mas Handoko untuk tinggal di Surabaya bersamanya. Aku hidup sendirian di rumah kontrakan Yangti. Hubunganku dengan Ardi mulai memburuk. Aku semakin sering merenungi hubungan kami. Sejujurnya, tidak banyak kecocokan diantara kami. Sebagai anak bungsu dari dua bersaudara sekaligus anak laki-laki satu-satunya, Ardi terkadang bisa bersikap sangat egois dan mau menang sendiri. Aku semakin melihat ketidakseimbangan jiwa kepada dirinya. Terkadang ia bisa sangat baik, tetapi di waktu lain bisa menjadi sangat kejam, baik secara fisik maupun psikis. Kekasarannya semakin menjadi, kepalaku sampai pernah terpaksa dijahit karena terbentur aspal ketika jatuh didorongnya.
Sahabat-sahabat dekatku yang masih setia dengan kekuranganku sebagai gay sejujurnya kurang setuju dengan hubungan kami. Ardi tidak bisa menjalin hubungan yang baik dengan teman-teman kuliahku sehingga sering menyulitkanku dalam berkegiatan. Bukan sekali dua kali aku mencoba mengakhiri hubungan kami, tetapi Ardi tidak mau pernah melepaskanku. Aku tidak tahu apa yang membebaniku untuk putus darI Ardi sehingga aku selalu menyerah kalah pada kekerasan hati Ardi. Masalah biaya kuliah, aku mulai optimis bisa memenuhinya dengan kerja kerasku, dibantu uang yang kusisihkan dari pensiun janda Yangti dan kiriman uang yang sering kudapat dari Eyang Buni, adik Yangti.
Bercerita tentang Papa, aku sempat mulai merasa dekat dengan beliau di pertengahan masa kuliahku. Kala itu,perusahaan konstruksi tempat Papa untuk pembangunan jembatan tidak jauh dari Solo. Papa mengontrak rumah tidak jauh dari rumah Bude Ari. Di waktu luangnya Papa mulai sering mengunjungiku, terkadang kami keluar untuk makan di restoran atau lebih sering menyewa buku di taman bacaan langgananku. Papa memiliki hobi yang sama denganku yaitu membaca buku.
Hanya beberapa bulan aku merasakan itu, sampai sikap Papa mengecewakan hatiku lagi. Berawal dari tidak nyamannya kacamata yang kupakai, aku sudah minus kelihatannya harus mengganti kacamata. Sakit kepalaku menjadi-jadi dan penglihatanku mulai tidak jelas biasanya. Aku yang sudah merasa nyaman bersama Papa memberanikan diri meminta uang untuk membeli kacamata baru, tetapi Papa menolak dengan alasan beliau tidak memiliki uang. Papa juga meminta maaf karena untuk beberapa lama akan jarang mengunjungiku karena sibuk dengan pekerjaan. Aku menerima penjelasan Papa dengan lapang dada.
Sungguh menyakitkan hatiku ketika malam harinya, tanpa sengaja aku bertemu Papa di Pasar Klewer, Saat itu aku sedang bersama Ardi, Papa bersama Mama tiriku dan ketiga adikku. Tangan mereka dipenuhi tas belanjaan. Adik laki-lakiku Andri bahkan memamerkan kacamata fashion yang baru saja Papa belikan untuknya. Aku melihat wajah Papa merah malu, tetapi aku hanya diam saja. Aku berbasa-basi sejenak sebelum kemudian pamit berlalu dari hadapan mereka dengan rasa nyeri di dada. Aku tidak pernah membicarakan peristiwa itu kepada Papa, hubungan kami menjauh hingga Papa kembali ke Jakarta.
Menjelang akhir tahun 1995, hubunganku dengan Ardi semakin memburuk, tekad ku untuk berpisah sudah bulat. Ardi tidak menerima keputusanku, tetapi kali ini aku bersikeras. Dibantu sahabat-sahabatku aku berhasil menghindari Ardi setiap kali ia datang ke rumah. Pada saat yang bersamaan, aku mengenal Yudi, ia baru pindah ke perumahan tempatku. Dan yang aku tahu Yudi juga seorang gay, sahabat-sahabatku yang masih setia denganku mulai menjodohkan kami. Aku menikmati kelucuan-kelucuan yang mereka ciptakan untuk kami. Kehadiran Yudi cukup menghiburku.
Malam tahun baru 1996, kuhabiskan waktuku bersama Yudi dan sahabat-sahabatku. Acara bakar jagung dan roti itu meriah, tetapi entah mengapa perasaanku sangat tidak enak. Aku berusaha keras menikmati pesta tahun baru, tetapi perasaanku tidak karuan. Tanggal 1 Januari 1996 pagi, aku mendapat kabar Yangti meninggal di rumah sakit di Jakarta. Aku ambruk dan kaget. Yudi datang menemaniku yang tidak bisa berhenti menangis. Ku sangat sedih. Meskipun aku dan Yangti hampir selalu berselisih, tetapi aku sangat menyayangi beliau. Yangti telah merawatku dari bayi. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Yangti memiliki tempat istimewa di hatiku.
Yangti mungkin tidak se-spesial Yangkakung. Yangti tidak lembut, hangat dan ramah seperti Yangkakung. Namun sewaktu aku kecil, Yangti selalu menyisir dan mengelus rambut panjangku. Yangti selalu memasakkan aneka macam masakan yang lezat setiap aku berulang tahun. Yangti dengan segala omelannya selalu memberi aku dan sepupu-sepupuku uang untuk membeli sate dan rujak di Pasar Klewer. Yangti pernah menjadi nenek yang luar biasa sebelum kepergian Yangkakung yang merenggut semua tawa di bibirnya. Ada masa-masa ketika kami berbaring berdua dalam gelap di kamar tidur dan bermain boneka bayangan. Yangti juga suka menggelitikku sampai aku menjerit-jerit kegelian.
Jenasah Yangti dibawa ke Solo dan dimakamkan di sebelah makam Yangkakung. Saat pemakaman Ardi datang dan bahkan sempat bertemu Yudi. Kami tidak banyak bicara karena aku masih sangat berduka. Andai aku terlahir lebih cepat, andai aku lebih dewasa, andai aku lebih mengerti, dan sejuta andai menari bersama jutaan penyeselan seiring tanah basah menutup pandanganku dari Yangti untuk selamanya. Dendy menemukanku menangis sendirian di kamar dan merangkul bahuku.
Semasa kecil dulu aku dan Dendy sangat dekat, entah sejak kapan kedekatan kami mulai merenggang dan kami jarang bertemu. Saat ini kurasa hanya Dendy yang bisa memahami benar perasaanku. Dendy menatap ke sekeliling kamarku yang kecil dan sederhana.
“ Sungguh kontras. “ Wajah Dendy mengeras,, “ Mas enggak lihat rumah ini?? Seperti gubuk yang mau ambruk, WC yang gak berfungsi.. Mas lihat rumah Bude di seberang seperti istana. Kenapa kalian harus tinggal disini dan tidak tinggal di depan, di rumah bude?? “
Aku menggeleng lemah. Hal itu sudah sering terpikirkan olehku dan menjadi pergunjingan tetangga selama bertahun-tahun, bagaimana kontrasnya kehidupan Yangti dengan anak perempuannya. Setiap hari, Yangti harus tertatih-tatih berjalan menyebrang hanya untuk mengambil jatah makan siang dan malam. Kami selalu berhemat dalam hal keuangan, sementara Bude hidup bergelimang harta. Aku bisa mengerti bila Bude tidak menerimaku, tetapi Yangti adalah ibu kandungnya.
Dendy tertawa sinis,, “ mungkin mereka tidak mau Yangti mengotori rumah indahnya dengan kekotorannya yang sudah tidak terkontrol, ya?? “ Dendy mendengus,, “ Apa keluarga tahu kalau Mas sampai harus banyak dibantu secara materi oleh Ardi sialan itu yang Cuma bisa menyakiti Mas?? Mereka harus tahu Mas. Jujur rasanya aku ingin meledak melihat kondisi ini, tetapi aku bisa apa?? Kita selalu diajarkan untuk menghormati orangtua dan keluarga hingga tidak pernah bisa mengemukakan kebenaran,,”
Aku menatap Dendy. Dendy selalu jauh lebih berani dalam mengemukakan pendapat daripada aku. Ia selalu lebih meledak-ledak. Dendy bangkit dan langsung mengajakku ke rumah Bude Ari karena semua keluarga berkumpul disana. Rupanya mereka sedang mengadakan rapat keluarga tanpa memikirkan perasaan aku, mereka mulai memperbincangkan keberadaanku dan dikemanakan aku sepeningalan Yangti. Bude Ari dengan tegas mengatakan bahwa kontrak rumah Yangti harus dihentikan. Beliau mempertanyakan masa depanku, termasuk biaya kuliahku. Tante Dija, istri Om Agung, lalu mempertanyakan kebenaran berita bahwa aku banyak dibantu oleh keluarga Ardi selama ini. Dendy benar, keluargaku harus tahu. Aku membenarkan semua. Aku bercerita tentang semua, bagaimana dan kenapa aku banyak berutang kepada keluarga Ardi atas biaya kuliah dan hidupku. Bude Ari kemudian menoleh kepada Papaku.
Aku kehilangan kata-kata. Kutatap Papaku yang diam seribu bahasa. Sekali lagi aku merasa menjadi orang yang terbuang. Aku bangkit berdiri dan berlari keluar. Kepergianku rupanya membuat Dendy bangkit dan marah. Samar-samar kudengar ia berteriak-teriak marah sebelum menyusulku keluar. Dendy menganggap sikap keluarga keterlaluan terhadapku.
Sikap diamku dan kemarahan Dendy rupanya mengetuk pintu hati Om Agung, adik Papa. Akhirnya disepakati bahwa aku boleh tinggal di rumah Bude Ari. Sementara untuk biaya kuliahku akan ditanggung Papa dan Om Agung, adik bungsu Papa. Aku menerima keputusan itu dengan rasa syukur. Keperluanku yang lain, toh aku masih bisa mencukupinya sendiri. Beberapa hari setelah Yangti meninggal, aku pindah ke rumah Bude Ari yang besar dan selama ini hanya dihuni Mas Handoyo dan seorang pembantu. Ketika pembantu Bude Ari berhenti,aku yang menggantikan tugasnya membersihkan rumah.
Kedekatanku dengan Yudi terlihat oleh Ardi saat pemakaman Yangti. Ternyata hal itu kemudian menjadi masalah besar. Suatu malam sehabis shalat Isya, aku kebetulan berada di rumah kontrakan Yudi. Ardi tiba-tiba datang datang bersama teman-temannya, melempari rumah kontrakan Yudi dengan batu dan hampir terjadi perkelahian. Dalam semalam, namaku menjadi sangat terkenal di seluruh penjuru perumahan. Aku sangat malu apalagi ketika aku mendengar kalau Ardi menantang Yudi untuk berkelahi di lapangan yang sepi sampai mati hanya untuk memperebutkan aku. Aku bersyukur ketika Yudi menolak tantangan itu. Ia memilih mundur dari hidupku.
Aku tidak sakit hati, tetapi aku semakin menjadi putus asa. Ardi tidak akan pernah melepaskan aku. Kalau aku bersikeras berpisah darinya, ia akan menganggu setiap orang disekelilingku, termasuk Yudi dan sahabat-sahabatku. Dalam keputusanku, aku menerima Ardi kembali. Aku mengabaikan berita-berita miring tentangku yang menjalin hubungan dengan laki-laki dan tentang perbuatan-perbuatan yang dilakukan Ardi serta memilih fokus kuliah dan menyelesaikan kuliah. Aku juga mulai aktif di kegiatan kampus sambil terus bekerja sambilan. Agustus 1997, aku lulus dengan nilai cukup bagus mengingat kesibukan dan kondisiku saat itu. Mama dan Papa tidak datang saat aku wisuda, tetapi Bulik Mur dan keluarganya menyempatkan hadir sehingga aku tidak merasa terlalu sendirian.
Saat lulus, aku masih bekerja sebagai surveyor di perusahaan air kemasan. Tidak beberapa lama, dengan ijazah diplomaku aku diterima sebagai teller di bank Bali, sebuah bank swasta. Aku menikmati suasana kerjaku yang menyenangkan. Selama aku bekerja disana, aku batuk setiap hari karena alergi uang. Standar kesehatan seorang teller sebaiknya memakai masker, tetapi tentu itu tidak akan menarik seorang nasabah.
Mengingat kondisiku itu, aku mulai berpikir untuk mencari pekerjaan lain. Tidak pernah terlintas dikepalaku untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ketika Mbak Nik, kakak Ardi hendak mengikuti tes masuk PNS di sebuah departemen. Ibu Sarti menyarankanku agar ikut mendaftar dengan alasan untuk menemani Mbak Nik. Sebenarnya aku enggan, tetapi demi menyenangkan hati beliau, aku menurut. Aku baru mengirimkan surat lamaran ke Jakarta pada hari terkahir. Saaat mendapat panggilan tes tertulis, aku juga hampir lupa kalau bukan karena Mbak Nik datang menjemputku ke rumah yang sudah bersiap-siap berangkat kerja. Aku buru-buru menelepon kantor untuk izin dengan alasan sakit.
Aku ikut tes tanpa persiapan dan tanpa beban, tidak disangka, beberapa lama kemudian aku dinyatakan lulus tes tertulis dan diminta mengikutu tes kesehatan di Semarang. Sementara Mbak Nik tidak lulus tes tertulis. Aku tidak mungkin mengajukan izin lagike kantor. Aku nekat mengundurkan diri dari Bank Bali meski keputusanku itu disayangkan oleh atasanku. Sambil menunggu panggilan apakah aku lulus atau tidak, daripada menganggur, aku memutuskan bekerja sebagaimarketing iklan disebuah koran. Aku sangat menikmati pekerjaanku ini. Berkeliling solo dari toko, perusahaan,hotel untuk menawarkan jasa iklan. Saat menjadi marketing iklan, aku berkenalan dengan Filika yang kemudian menjadi sahabat baikku.
Ketika aku mendapat panggilan tes terakhir di Semarang dan tidak mendapat izin dari kantor, lagi-lagi aku memutuskan untuk mengundurkan diri. Tes wawancara kulalui dengan penuh percaya diri. Jadwal pengumuman hasil tes masih cukup lama, jadi daripada menganggur, aku mencari pekerjaan. Kali ini aku mendapat panggilan tes di sebuah perusahaan layanan pager sebagai operator. Aku tidak lulus tes karena dinilai terlalu tinggi untuk menjadi operator, tetapi perkenalanku dengan Mas Abimanyu, manager perusahaan itu meninggalkan kesan yang mendalam.
Kedektan kami dimulai ketika selesai tes. Aku berjalan kaki menuju halte bis. Mas Abimanyu menyapaku dan menawarkan diri untuk mengantarku pulang. Awalnya aku menolak, tetapi melihat sikapnya yang santun dan baik, akhirnya aku terima. Mas Abimanyu sangat berbeda dengan Ardi dan kebanyakan teman laki-lakiku. Mas Abimanyu sosok yang dewasa, sabar, dan enak diajak ngobrol. Kami pun jadi sering bertemu.
Aku jujur menceritakan hubunganku dengan Ardi, kekhawatiranku pada masa depan Ardi yang tidak juga menyelesaikan kuliahnya. Ia banyak memberiku support dan masukan tentang hubunganku dengan Ardi. Ia laki-laki pertama yang menghapus air mataku dengan jarinya. Seringnya kami bertemu membuat kami saling tertarik. Ketika Mas Abimanyu menyatakan cintanya kepadaku, aku terjebak dalam pilihan yang sulit. Aku bingung karena jika aku menerima Mas Abimanyu , itu artinya aku tidak jujur kepada Ardi dan mengkhianatinya.
Mas Abimanyu menyerahkan semua keputusan ditanganku. Ia tidak ingin memaksaku untuk memilih. Ia hanya menegaskan bahwa ia belum ingin terlalu serius karena masih ingin mengejar kariernya. Apabila aku mau bersamanya, aku harus menerima kesibukannya dalam mengejar karier. Hal ini membuatku makin ragu. Aku tidak tahu mengapa kemudian aku memilih untuk kembali kepada Ardi. Aku merasa tidak adil apabila hubungan kami yang sudah berjalan tujuh tahun harus aku nodai dengan ketidaksetian. Sungguh sakit melepaskan Mas Abimanyu karena ia adalah sosok laki-laki yang kuimpikan selama ini. Aku menangis berhari-hari ketika kehilangan Mas Abimanyu. Aku benar-benar kacau waktu itu. Butuh waktu lama untuk bisa melupakan dan mengikhlaskannya. Seandainya ikhlas itu bisa kupinjam dari seseorang, aku pasti sudah meminjamnya. Tuhan pinjami aku ikhlas itu.................................
Aku menatap bayanganku di cermin, bibirku setengah terluka, menarik napas. Aku hampir tidak mengenali bayangan laki-laki ramping dalam baluran kemeja putih dan jas di cermin itu. Laki-laki itu seperti orang asing bagiku. Aku mengenali raut wajah yang sering dikatakan cukup tampan itu, terbingaki rambut hitam lebat, tetapi kenapa sorot mata yang balas menatapku dari cermin itu terlihat begitu asing?? Sendu, ragu dan sedih. Seperti itukah sorot mata seorang laki-laki yang akan memutuskan untuk hidup bersama dengan Ardi??
Saat itu, Ardi mengajakku untuk hidup bersama dengannya, menerima pinangan Ardi memang seperti pilihan terlogis bagiku. Ketika aku menerima Surat Kepetusan Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil tiga minggu lalu, perasaanku bercampur aduk antara bahagia dan bingung. Aku ditempatkan di Jakarta, kota kelahiranku. Tidak disangka aku akan kembali ke sana. Ada rasa bahagia karena aku berhasil lulus tes, tetapi ada juga ketakutan akan masa depanku. Gaji pertama yang aku terima hanya Rp 187.000,-. Di masa krisis moneter seperti itu, bagaimana aku bisa hidup sementara biaya transportasi dari rumah Om Agung sampai kantor Rp 10.000,-/hari.
Selain memikirkan masalah biaya hidup, aku juga memikirkan masa depan hubunganku dengan Ardi. Kami sudah tujuh tahun berpacaran dengan segala suka dan duka, tetapi aku tidak yakin bisa menjalin hubungan jarak jauh. Hubungan kami selama ini sudah sangat sulit dijalani, apalagi bila terpisahkan jarak. Beberapa lama kami bisa bertemu?? Sempat terlintas di kepalaku, mungkin ini jalan yang diberikan Tuhan agar kami berpisah. Aku uraikan semua itu kepada Ardi dengan terus terang.
Ardi menatapku lekat-lekat dan dengan mantap tanpa sedikit pun keraguan ia berkata “ Kita hidup bersama “
Hidup bersama?? Aku terperangah. Bukan hal itu yang terpikirkan olehku, apalagi usiaku baru 22 tahun. Ardi baru saja lulus, setelah tujuh tahun kuliah, akhirnya aku berhasil membujuknya untuk menyelesaikan kuliahnya meski dengan nilai pas-pasan. Aku belum berhasil menyuruhnya bekerja. Ardi bersikeras tidak ingin bekerja kantoran, ia ingin menjadi pengusaha. Aku balas menatapnya tajam dan meminta agar ia tidak bercanda. Ardi menyatakan bahwa ia sangat serius.
Hidup bersama sebagai pasangan gay pada waktu itu adalah sebuah hal yang gila di negeri ini, namun entah apa yang membuat Ardi tiba-tiba memtuskan hal seperti itu.
“ Kamu tidak menjadikan alasan penempatanmu di Jakarta untuk putus, kan?? “ lanjut Ardi,, “ Aku tidak akan pernah mau putus. Kita akan hidup bersama, kalau perlu kita ke luar negeri dan menikah disana,,” Ardi mencondongkan tubuhnya ke arahku. “ Aku bisa membantu biaya hidupmu disana. Gajimu kan enggak cukup. Kamu tahu, aku sudah mulai bisnis jual-beli mobil. Aku pasti kerja,,” tegas Ardi tidak mau dibantah lagi,, “ Sudah, enggak usah cari-cari alasan. Ayo kita temui Ibu dan Bapak,,”
Tamparan keras ke muka Ardi membuat harapanku agar ide gila ini ditentang oleh Bapaknya berhasil, namun hanya sebatas tamparan sesaat saja, karena setelah itu justru mereka meributkan kapan kami akan hidup bersama. Orangtua Ardi tidak setuju dengan ide gila kami menikah di luar negeri. Ardi yang merupakan anak bungsu memiliki ego yang tinggi hingga Ibu Sarti diam saja dan menyerah dengan keputusan kami hidup bersama.
Semua mengalir seperti mimpi kami memtuskan hidup bersama. Namun ada kebahagian yang yang membuat aku menangis, kebaikan sahabat-sahabatku yang mempersiapkan pesta kecil-kecilan untuk kami.
“ Kamu sungguh-sungguh akan hidup bersama, Sem?? “ suara Erika sahabat baikku memecah lamunanku.
Sejenak aku termenung. Hati-hati aku melepaskan jas yang akan kukenakan esok hari di pesta kecil yang kami buat.
Erika tiba-tiba meraih tanganku dan memintaku jangan hidup bersama tanpa keyakinan bahwa aku mencintai Ardi. Aku terdiam. Kutatap wajah ketiga sahabatku yang sedang mengamatiku. Aku melihat sorot sedih di mata mereka.
Sahabat-sahabatku yang selalu terus terang menegaskan bahwa ia tidak suka dengan keputusanku. Menurutnya, aku sudah dapat pekerjaan bagus di Jakarta. Aku bisa menabung untuk membayar utangku kepada keluarga Ardi, tetapi tidak perlu hidup bersama. Mereka terus berusaha meyakinkanku agar mempertimbangkan kembali keputusanku. Perasaan utang budi itu bukan cinta, laki-laki yang baik tidak akan memukul kekasihnya, mereka menyesalkan kelemahanku menghadapi Ardi padahal aku terbiasa tegar menjalani hidup ini. Sahabatku tidak mempermasalahkan aku menjadi gay dan hidup bersama dengan laki-laki, namun bukan dengan Ardi.
Aku sudah capek. Setiap laki-laki yang pernah mendekatiku pada akhirnya mundur karena takut kepada Ardi, juga pada masa laluku. Ardi anak keluarga terhormat, tapi ia mau menerimaku. Ia berani melawan orangtuanya karena aku. Itu berarti ia sungguh-sungguh mencintaiku. Sekarang keluarganya menerimaku. Aku tidak akan bisa menemukan laki-laki seperti Ardi. Aku ini anak haram, Papa dan Mama saja tidak mengakuiku.
Erika mendorongku jengkel ke depan cermin dan menyuruhku berkaca. Menurutnya, agu tampan, baik dan berpendidikan. Hanya laki-laki gay bego yang menolakku. Seandainya selama ini aku tidak terus sembunyi di ketiak Ardi, aku akan lihat betapa banyak laki-laki gay yang jauh lebih baik dari Ardi. Sahabat-sahabatku menegaskan semua belum terlambat bila aku hendak membatalkan hidup bersama dengan Ardi. Aku masih bisa membatalkannya, tapi tekadku sudah bulat. Aku tidak bisa mundur. Mereka sahabatku akhirnya pamit pulang dengan janji mereka akan datang esok.
Ketika dikamarku hanya tinggal Erika, ia menanyakanku apakah aku mengundang Mas Abimanyu esok hari. Aku menggeleng. Erika menyalahkan keputusanku. Posisi Mas Abimanyu sangat sulit. Ia sudah memberiku pilihan dan menyatakan kejujuran. Seharusnya aku bisa melepas Ardi. Aku dan Mas Abimanyu bisa saling menjajagi dulu, tidak masalah jika ia masih mau mengejar karier. Aku menjelaskan kepada Erika kalau aku sudah letih. Ardi akan menghancurkan setiap laki-laki yang mendekatiku. Aku tidak ingin Ardi membuat masalah dengan Mas Abimanyu. Mata Erika basah oleh air mata, aku dipeluk erat. Ia berbisik bahwa teman-teman menyayangiku dan mendoakan kebahagianku. Aku memebalas pelukan dan berharap kebahagian itu ada.......
Acara pesta kecil-kecilan yang disiapkan sahabatku berjalan lancar dan mengharukan. Semua sahabatku hadir dan menangis. Ibu Sarti tertegun melihat sahabat-sahabatku serta tetanggaku di perumahan yang tahu hubunganku dengan Ardi hadir dan begitu peduli terhadapku. Kurasa hal itu sedikit mengubah penilaianya tentangku. Malam harinya beliau memboyongku pindah ke rumah orangtua Ardi, saat pesat itu Bapaknya Ardi tidak hadir.
Aku selalu merasa sakit bila mengingat kenangan malam pertamaku. Semua hal tentang malam pertama yang aku baca di novel-novel roman dan cerita orang-orang seperti lelucon yang tidak lucu dalam ingatanku. Aku masih perjaka malam itu, tetapi Ardi memperlakukanku seperti pelacur. Tidak ada kelembutan, kasih sayang dan cinta. Aku hanya merasakan sakit yang luar biasa dan rasa terhina yang tidak terkira. Lama aku berbaring tidak bergerak dengan air mata mengalir, sementara ia pulas disampingku. Aku jadi paham betapa beratnya beban yang ditanggung para korban perkosaan. Aku merasa telah diperkosa oleh pasangan hidupku sendiri.
Hari-hari singkat sebelum keberangkatanku ke Jakarta seperti mengabur di benakku. Tidak ada bulan madu atau sekedar sikap manis. Ardi sibuk dan lebih sering meninggalkanku yang tersiksa menunggunya di rumah, di antara orang-orang yang tidak tulus menerimaku. Satu-satunya orang yang memperlakukanku dengan ketulusan hanyalah Simbah, pembantu keluarga Ardi sejak Ardi masih kecil. Aku terlalu malu untuk meminta sahabat-sahabatku mengunjungiku. Mereka semua benar, aku menyesal. Seharusnya aku tidak hidup bersama dengan Ardi, tetapi semua sudah terjadi dan aku harus menjalani kehidupanku dengan ikhlas dan sabar.
Ardi mengantarku ke Jakarta dengan mobil. Aku kecewa ketika ia hanya menurunkanku di rumah Om Agung, berbasa-basi sebentar lalu kembali ke Solo. Kami benar-benar tidak seperti pasangan, Ardi seperti ingin cepat-cepat pergi dariku. Aku berusaha tampak ceria dan bahagia di depan keluarga Om Agung dan memberikan alasan bahwa Ardi banyak pekerjaan sehingga tidak bisa menemaniku lebih lama di Jakarta.
Suasana kantor baruku di Jakarta sangat menyenangkan. Atasanku Pak Bagas sangat sabar, baik dan memotivasiku untuk bekerja dengan baik. Teman-temanku juga baik. Aku segera dekat dengan seniorku. Ibu Peni dan sesama CPNS baru, Eki. Eki sama-sama lulusan diploma sepertiku. Ia berasal dari Bandung. Orangnya kaku dan tidak banyak bicara, tetapi hatinya sangat tulus dan baik. Bu Peni memiliki pembawaan yang ramah, heboh tetapi keibuan. Beliau seorang janda. Keduanya segera menjadi sahabat terbaikku di Jakarta.
Aku merasa bahagia, lebih tenang dan seakan-akan telah kembali normal dari fase depresi saat bersama Ardi. Bila aku mengingat-ingatmasa itu, aku sedang dalam fase hypomania. Hypomania sulit didiagnosa karena terlihat seperti kebahagiaan biasa. Aku merasa bersemangat, penuh energi, muncul kreativitas, bersikap optimis, selalu tampak gembira, dan lebih aktif. Satu hal yang tak sesuai untuk disebut bahagia adalah aku tetap kesulitan tidur dan cepat marah. Suatu gejala yang jelas dari Hypomania.
Seminggu kemudian, aku harus segera berangkat ke Gunung Batu Bogor untuk mengikuti prajabatan CPNS selama kurang lebih tiga minggu. Aku merasa senang ketika Ardi mau datang dan mengantarkanku ke Bogor. Di Bogor aku satu kos bersama empat orangtenaga honorer dari Bandung. Eki dan Sri yang juga teman sekantorku, Eli dan Ipung yang merupakan teman kuliahku yang sama-sama lulus tes dan ditempatkan di Cimanggis, sudah terlebih dahulu mendapat kos yang tidak begitu jauh dari tempat kosku. Aku sedikit kecewa tidak bisa berkumpul dengan mereka.
Gedung Pusat Pendidikan dan Pelatihan tempatku prajabatan terletak tidak jauh dari kosku, cukup ditempuh dengan berjalan kaki melintasi jalanan rindang yang tepinya banyak ditumbuhi bungan melati. Gedung ini sudah cukup tua, tetapi lumayan menyenangkan dengan halaman luas berumput yang terbentang di tengah-tengah gedung dan kerindangan pohon-pohon yang menyejukkan. Setelah beberapa hari menghirup udara Jakarta yang bercampur debu dan asap, sungguh suatu anugerah bisa menghirup udara segar di Bogor.
Pagi pertamaku mengikuti prajabatan. Aku membersihkan lantai semen dengan tisu sebelum duduk di atasnya dan mengamati sekeliling. Aku ngobrol dengan beberapa teman baruku seraya sekali membenahi dasi. Aku benar-benar benci menggunakan dasi yang membuatku gerah. Aku mulai merasa jengah ketika ada seseorang lelaki yang terus memperhatikanku. Laki-laki itu adalah salah satu peserta yang kos di sebelah kosku. Ia juga duduk di lantai semen, tangannya tampak sedang mencoret-coret di atas kertas, entah menulis atau menggambar, tetapi yang jelas matanya tidak pernah berhenti menatapku.
Aku kesal dan wajahku mulai memerah. Tatapan laki-laki itu tajam seolah ingin menembus hatiku. Aku benar-benar benci dibuatnya. Ingin rasanya aku tahu apa yang sedang dipikirkan laki-laki itu tentangku dan nyaris saja aku menghampirinya dan menyuruh berhenti menatapku. Untungnya Eli segera muncul dan memanggilku dari dalam ruangan. Aku bangkit dari duduk dan ketika aku menoleh, laki-laki itu sudah tidak ada. Tanpa sadar aku menarik napas lega.
Aku hampir melupakan laki-laki itu ketika Afrian, teman baruku yang duduk disampingku bercerita tentang laki-laki yang katanya sepanjang pagi melukisku. Laki-laki itu bernama Zaenal Arifin, sama-sama dari jakarta sepertiku. Aku dilantai sembilan dan ia dilantai tiga. Ia seorang Sarjana Hukum yang sudah tujuh tahun menjadi honorer di departemenku. Ia sudah menikah dan baru saja memiliki bayi perempuan. Ketika istirahat siang, Afrian memaksaku untuk berkenalan dengan Zaenal Arifin karena kami sama-sama terpilih menjadi pengurus di kelas masing-masing. Ia ketua dikelasnya, sedangkan aku wakil ketua di kelasku.
Zaenal ternyata laki-laki yang cukup karismatik dan enak diajak bicara, tetapi entah kenapa aku tetap tidak suka kepadanya. Ia sedikit lebih tinggi daripada Ardi, tubuhnya agak kurus tetapi tegap dan sehat, kulitnya bersih, rambutnya lurus dengan tulang pipi tinggi dan mata yang dalam. Ia mengaku sebagai campuran orang bugis dan betawi. Sepanjang hari itu, ketidaksukaanku kepadanya perlahan mencair. Aku suka laki-laki yang cerdas dan bisa mengusai audience. Ketika kedua kelas kami bergabung dalam cara diskusi, aku mampu melihatnya untuk itu. Ia seorang peserta yang cukup kritis dan aktif. Aku jadi ingin tahu seperti apa lukisannya dan seperti apa aku dalam lukisan Zaenal.
Saat pulang, Zaenal ikut rombonbganku. Beberapa di antara teman-teman perempuanku ramai menggoda Zaenal. Terlihat jelas betapa ia populer di kalangan perempuan, jenis laki-laki yang tidak aku sukai. Aku tidak mengacuhkan gurauan itu sambil sesekali tersenyum menanggapi godaan teman-teman. Senyumku langsung menghilang ketika Zaenal tanpa permisi mengambil kartu tanda pengenalku yang tergantung di saku kemeja putihku. Zaenal seolah tidak peduli dengan protes dan sikap denganku. Ia justru asyik mengamati fotoku dan setelah itu mengantonginya. Aku menatapnya jengkel, sementara teman-temanku ramai bersorak seperti remaja. Kesal dengan sikapnya, aku pun mengambil sikap tidak peduli dan melangkah bergegas meninggalkannya. Zaenal mengejar dan mengembalikan kartu tanda pengenalku. Ia membisikkan maaf di telingaku.
Sesaat wajahku memerah. Laki-laki itu memang tidak sopan. Aku mengangguk seraya kembali mempercepat langkah. Zaenal menjejeri langkahku dan menyatakan keinginanya untuk memotretku. Aku menanggapinya dengan dingin. Zaenal bercerita tentang hobinya yaitu fotografi dan melukis. Ketika aku menanyakan hasil lukisan tadi pagi, tiba-tiba wajahnya yang tadinya ceria menjadi muram. Ia sudah membuanganya. Aku meliriknya diam-diam. Ada sesuatu yang aneh dari diri Zaenal, raut wajahnya tiba-tiba terlihat dingin dan membuatku bergidik.
Aku heran dengan sikap Zaenal. Setelah bersikap dingin dan sinis kepadaku saat makan malam, tiba-tiba laki-laki itu ikut bergabung dan ngobrol di teras kosku. Ia bisa berbicang dengan akrab. Zaenal bercerita bahwa ia pernah melihatku di bus 18 sebelumnya. Bus 18 adalah bus milik departeman yang aku tumpangi setiap pulang kantor. Ia bahkan ingat baju apa yang aku kenakan. Zaenal tiba-tiba memberikanku sebuah dasi hitam yang masih baru dan tersegel. Zaenal bercerita kalau dasi itu hadiah dari pembelian beberapa produk di sebuah toko. Aku mengamati dasi ditangannya dengan ragu. Aku merasa aneh, kenapa ia memberikannya kepadaku, bukan kepada orang lain?? Sesaat aku seperti melihat kepedihan di mata kelam Zaenal ketika laki-laki itu menggeleng dengan tegas. Aku merasa ingin tahu seperti apakah wanita yang menjadi istri Zaenal, tapi tidak ada gunanyameributkan itu. Aku berterimakasih atas pemberian Zaenal. Zaenal hanya mengangguk.
Aku sengaja memakai dasi pemberian Zaenal pagi itu. Ketika kami bertemu di waktu sarapan, Zaenal berkata kalau dasi itu cocok buatku, namun matanya tidak menyorotkan sesuatu. Sepanjang sisa hari itu, aku semakin melihat kepopuleran Zaenal. Sikapnya yang terlalu ramah kepada perempuan, membuatnya banyak disukai lawan jenis. Aku hanya tersenyum tipis ketika Eli mengomentari hal itu, aku kurang suka kepada laki-laki seperti Zaenal yang seolah mengumbar senyum kepada semua wanita. Menurut istilahku, Zaenal termasuk “ cowok ganjen “.
Aku mentertawakan diriku sendiri yang terlalu memperhatikan Zaenal. Aku merasa itu hanyalah kompensasi dari kekecawaanku kepada Ardi yang tidak peduli kepadaku. Tidak sekalipun Ardi mencoba menghubungiku. Aku berpikiran dengan menaruh perhatian kepada Zaenal, setidaknya aku bisa berhenti memikirkan Ardi. Aku mulai menyadari terjadi sesuatu yang aneh kepada diriku. Bukan kebiasanku memerhatikan laki-laki tanpa alasan jelas.
Sehabis makan malam, semua sibuk berkumpul di rumah kos sebelah, menunggu bocoran soal ujian esok pagi yang diperoleh seorang teman dari pengawas ujian. Aku, Eki dan Eli memilih belajar di kos daripada berdesak-desakan merebutkan selembar soal ujian. Eli sibuk belajar, tetapi aku tidak bisa konsentrasi. Tanpa sadar, tanganku justru asyik menggambar dan menulis petikan syair Khalil Gibran di selembar kertas,, “ Aku merenungi setelah tidak melihat apa pun selain kesediah. Kutanya kesedihan dan kutemukan ia tidak bisa bicara,,”
Aku menghela napas sedih, berusaha mengusir kekhawatiran atas rumah tanggaku yang rapuh. Aku mengangkat wajah ketika menyadari Zaenal sedang menatpku. Ia bilang kalau ia juga suku Khalil Gibran. Perbincangan kami mengalir tentang puisi dan lukisan. Ketika malam semakin larut, Eli dan Eki mengeluh lapar, aku juga. Zaenal menawarkan diri untuk keluar membeli makanan, aku pun setuju. Eli dan Eki menolak ikut, mereka hanya minta tolong dibelikan. Akhirnya, hanya aku dan Zaenal yang berangkat Malam itu, langit terlihat mendung.
Kami berjalan menyusuri jalanan lenggang di antara wangi melati yang terasa memenuhi udara malam yang dingin. Suara Zaenal yang berbicara dengan nada rendah membuatku nyaman. Zaenal banyak bercerita tentang dirinya, Zaenal pernah pacaran selama sebelas tahun dengan seorang laki-laki bernama Galih. Dari caranya bercerita, aku dapat melihat kalau Zaenal sangat mencintai laki-laki itu. Aku terkejut ketika Zaenal bercerita itu, ternyata ia sama denganku. Namun hubungan Zaenal dan Galih kandas, Zaenal harus menikahi seorang gadis yang dikenalnya dua bulan dan sama sekali tidak dicintainya. Sementara Galih memilih meninggalkan Zaenal untuk laki-laki lain, karena saat itu Zaenal tidak berani memperjuangankan cintanya kepada Galih, sampai detik itu Zaenal masih mengakui kalau ia masih mencintai Galih walau sudah dua tahun menikah dan sudah memiliki seorang bayi perempuan. Ia juga bercerita banyak tentang rumah tangganya yang hampa. Mendapati kepedihan di sorot mata dan suara Zaenal, entah kenapa aku merasa iba.
Keterbukaan Zaenal membuatku ikut bercerita tentan diriku. Segala masa lalu, mulai kehidupan hingga hidup bersama dengan Ardi, aku ceritakan kepadanya. Zaenal mendengarkan ceritaku dengan sikap diam dan terasa penuh simpati. Ketika pada akhirnya, aku menoleh dan tatapan kami bertemu. Aku merasa Zaenal bisa memahami perasaanku. Sebuah perasaan aneh mengalir begitu saja dihatiku. Mendadakaku limbung dan nyaris terjerembab jatuh kalau Zaenal tidak segera meraih tanganku. Matanya lekat mengamatiku, ia berbisik andai aku belum menikah, ia akan membawaku lari.
Sepanjang sisa malam itu, kalimatnya terus menghantuiku. Aku laki-laki yang cukup populer selama hidupku dan memiliki banyak cukup penganggum yang suka merayuku, termasuk Ardi. Entah kenapa aku tidak merasa kalimat Zaenal itu sebagai rayuan. Kalimat itu merasuki seperti sebuah pelita kecil di ujung lorong yang panjang dan gelap. Jauh di lubuk hati, aku berharap bisa lari dari kenyataan. Malam itu, aku bermimpi tentang seorang pangeran yang menyelamatkanku dari cengkeraman naga jahat,
Keesokan harinya, Zaenal menyelipkan selembar kertas berisi puisi-puisi cinta di balik bukuku. Bait-bait puisi itu seolah mengabur dibenakku. Aku tahu itu hanyalah sebuah puisi. Zaenal mungkin menulisnya tanpa perasaan apa-apa, hanya sekedar merayu. Aku tersenyum hampir-hampir sinis. Sudah berapa banyak perempuan atau bahkan laki-laki yang menerima puisi seperti ini dari Zaenal?? Saat makan siang, aku mengembalikan puisinya tanpa berkata apa-pun. Selama dua hari kemudian, Zaenal masih mengirimiku puisi. Dalam salah satu puisinya, ia bahkan menyebutku sebagai “ seberkas cahaya kecil yang tidak sanggup menggapai dan menebus dinding kegelapan “. Ungkapan itu menyentuh hatiku. Terkadang aku merasa diriku seperti sebatang lilin kecil yang berjuang untuk menerangi kegelapan yang pekat, tetapi cahayanya tidak pernah mampu menembus kegelapan itu. Cahayaku perlahan makin mengecil, lalu padam. Sungguh ironis, umurku 22 tahun, tetapi aku merasa sudah begitu letih menghadapi hidup ini.
Saat itu cuaca mendung. Aku dan beberapa orang yang terpilih sebagai petugas upacara Hari Kesaktian Pancasila terpaksa harus latihan di bawah rintikan hujan. Sejak semalam, aku mulai merasakan penyakit lamaku kambuh dan mulai kesal karena latihan berjalan begitu lambat. Aku lesu dan duduk di bawah tiang bendera. Aku menoleh ketika Zaenal menghampiri dan duduk disampingku. Tanpa permisi, ia meraih jari-jariku yang tampak kurus dan pucat. Zaenal tampak serius memerhatikan garis tanganku. Entah ia memang serius atau Cuma pura-pura, aku tidak tahu.
Ia bilang hidupku akan penuh cobaan. Aku akan mengalami banyak kehilangan. Aku akan hancur, tapi bila aku berhasil melewati semuanya, aku akan menemukan kebahagian. Aku menarik tanganku yang gemetar dan bergurau bagaimana kalau Zaenal yang ternyata menghancurkanku. Ia pun berkata jika ia yang menghancurkanku, maka ia akan membayarnya seumur hidup.
Aku merasa sangat lelah, sehingga enggan menanggapi kata-katanya yang nyaris seperti rayuan ditelingaku. Kepalku berdnyut-denyut. Zaenal mengajakku pergi menonton film malam itu dan tanpa pikir panjang, aku pun mengiyakan ajakannya. Film yang kami tonton berjudul armageddon yang dibintangi Bruce Willis. Di tengah film, saat adegan mengharukan, Zaenal meraih tanganku dan mengenggamnya. Aku ingin menarik tanganku, tetapi tiba-tiba rasa marah dan kekecewaanku kepada Ardi memuncak. Aku membiarkan Zaenal menggenggam tanganku. Selintas rasa bersalah mengelisahkanku. Aku sadar kalau aku telah mengkhianati Ardi.
Aku menangis di akhir film yang mengharukan. Zaenal tertawa pelan melihat mataku yang basah air mata. Ia menggandeng tanganku dan mengajakku makan sebelum pulang. Sambil menikmati makan malam, kami tertawa dan saling melempar canda. Tingkah kami benar-benar seperti dua remaja yang dimabuk cinta. Selesai makan malam, kami naik angkutan umum kemudian memilih berjalan kaki ke kos kami.
Gerimis mulai turun, Bogor memang terkenal dengan kota hujan. Zaenal segera meraih bahuku. Kami berlari menembus hujan yang semakin deras. Di sebuah gardu ronda di jalanan kecil yang lenggang. Zaenal menarikku berteduh, menyeka tetesan air di wajahku dengan sapu tangannya. Sentuhannya yang lembut membuatku nyaris menangis. Seumur hidupku belum pernah ada orang yang memperlakukanku dengan begitu lembut. Pernah sekali oleh Mas Abimanyu, tetapi rasanya tidak selembut ini.
Aku merasa canggung ketika menyadari kami berdiri berhadapan begitu dekat. Lengan Zaenal melingkar di pinggangku sehingga aku dapat merasakan kehangatan naaps Zaenal di permukaan wajahku dan membuat jantungku berdebar-debar. Dengan perasaan sedikit takut, aku menengadahkan wajah, menatap lekat-lekat bola mata Zaenal. Mata yang dalam itu juga sedang menatapku dengan begitu lembut dan hangat. Seperti terhipnotis, aku terpakupada mata itu. Wajah Zaenal semakin dekat dan bibirnya perlahan hampir menyentuh bibirku. Sedetik aku tergugu, lalu tersadar dan menundukkan wajah sehingga bibir Zaenal berhenti di pelipisku. Aku menarik napas panjang dan dalam. Berusaha menenangkan deburan jantungku.
“ Aku jatuh cinta kepadamu,,,,,”
Aku terpaku.
Zaenal mengguncang lembut bahuku, “Ini bukan sekedar cinta lokasi atau cinta sesaat seperti yang kukira. Ini lebih dari itu”
Aku melangkah mundur. Rasa takut terpancar jelas di mataku.
“tapi,,,,,ini salah. Ini dosa.......jangan jatuh cinta kepadaku,,”
Zaenal membuang tatapannya ke langit malam yang dipenuhi bintang.
“ Bisakah kita memilih kepada siapa kita akan jatuh cinta?? “ katanya sambil menghela napas panjang. Suaranya sarat akan kepedihan. Zaenal menatapku,, “Aku mencintaimu. Sst..... “ Zaenal menggeleng ketika aku hendak membantah. “ Jangan katakan apa pun. jangan putuskan apa pun sekarang. Tunggu saja aku di Jakarta. Aku akan mencarimu,,”
Dalam kebisuan, kami meneruskan langkah. Sepanjang malam itu, tidak habis-habisnya aku merutuki kelemahan dan ketidaksetiaanku. Aku marah kepada diriku ketika menyadari perlahan-lahan keberadaan Zaenal berhasil menepis luka hatiku karena Ardi.
Malam harinya aku bercerita kepada Afrian, aku jujur kepadanya bahwa aku ini gay,,pertama kai respon Afrian adalah kaget dan menjauh, tapi beberapa menit kemudian ia bersikap seperti biasa. Aku bercerita tentang Zaenal dan tingkah lakunya kepadaku. Namun Afrian memperingatkanku agar berhati-hati kepada Zaenal. Menurut Afrian, Zaenal terkenal suka mempermainkan perempuan. Dengan sikap Zaenal kepadaku, membuat Afrian heran, apakah yang diceritakan Zaenal tentang dirinya kepada aku adalah benar atau bohong. Tetapi aku tidak peduli dengan ocehan Afrian. Pikiranku melayang, sejak pertama, aku sadar kalau aku harus hati-hati kepada zaenal. Laki-laki itu memiliki daya pesona yang kuat terhadap perempuan dan laki-laki gay seperti diriku. Aku ingat ketidaksukaanku pada sikap Zaenal yang aku nilai ganjen, tapi aku juga berpikir apa yang dikatakan Afrian belum tentu benar. Afrian selicik ular dan kelihatan jelas kalau ia iri kepada Zaenal. Namun aku juga sadar kalau sikap Zaenal membuat orang-orang berkesimpulan seperti itu. kalau benar Zaenal berniat mempermainkanku, Zaenal salah besar, geramku. Aku tidak akan mau dipermainkan seenaknya.
Saat bertemu Zaenal di istirahat pertama, aku berusaha memendam amarahku. Di dalam kelas, aku memaksakan diri untuk konsentrasi, tetapi semakin lama semakin tidak tertahankan. Aku merasa lemah, lesu, dan sangat sedih. Aku berpikiran seandainya saja ada seseorang yang mau memeluk dan menghiburku. Aku sangat membutuhkan kehadiran seseorang untuk diajak bicara, tetapi tidak ada siapa pun yang aku miliki di Bogor. Aku merindukan sahabat-sahabatku di Solo. Aku menarik naaps lega ketika bel pulang berbunyi. Kepalaku makin pening, tetapi aku memaksakan diri untuk melangkah pulang. Baru saja langkahku melewati pintu gerbang, tubuhku limbung. Aku pingsan.
Ketika aku sadar, aku sudah terbaring di ruang kesehatan. Di sisiku ada Eli, Eki, beberapa temannya dan juga Zaenal. Aku tersenyum lemah kepada mereka semua. Eli memberi tahuku kalau zaenal yang tadi menggendongku dibantu Eki. Eki membantuku untuk bangkit dari tidurku. Baru melangkah sampai di halaman, kakiku terasa lunglai kembali. Aku pasti sudah terjatuh kalau Zaenal tidak buru-buru menangkapku. Tanpa peduli protesku, Zaenal menggendongkuke mobil dan mengantarkanku ke dokter.
Seperti yang selama ini terjadi, menurut dokter, aku hanya lelah dan banyak pikiran. Ketika Eli hendak membayar biaya periksa dan resep ternyata Zaenal sudah membayarnya. Aku meminta Eli untuk mengganti uang Zaenal, tetapi Zaenal menolak. Aku terpaksa menghampiri Zaenal dan bersikeras hendak mengganti uang Zaenal. Dengan tatapan keras kepala, Zaenal menolak. Ia bersikeras melakukannya karena ia menyayangiku. Aku tidak membantahnya lagi karena tidak ada gunanya. Aku bertekad mengembalikan uang Zaenal meski dalam bentuk lain. Aku tidak mau berutang, apalagi kepada Zaenal. Selama aku sakit, Zaenal memberikan perhatian yang sangat besar kepadaku.
Pagi itu Ardi meneleponku. Ia mengabarkan kalau ia sudah sampai di rumah Om Agung. Sore nanti ia dan Om Agung akan menjemputku dan kami akan kembali ke Jakarta selama dua hari, kebetulan hari Sabtu dan Minggu libur. Wajahku berseri-seri mendengarnya. Akhirnya aku bisa bertemu dengan Ardi setelah sepuluh hari berpisah, tetapi anehnya saat berhadapan dengan Zaenal, kegembiranku akan bertemu Ardi mendadak sirna. Aku merasa berat tak bertemu dengan Zaenal walau hanya untuk dua hari.
Aku heran dan benci kepada diriku sendiri. Apa-apaan aku ini?? Zaenal bukan apa-apaku, bukan pula siapa-siapaku. Sedekat apapun hubungan kami, Zaenal tidak lebih dari sosok asing yang baru aku kenal beberapa hari. Zaenal mengajakku ke Bogor bersama teman-teman, tetapi aku menolaknya karena Ardi akan menjemputku sore harinya.
“ Ooh.... “ sorot matanya tidak terbaca. “ Selamat ya, sampai ketemu Senin,,” katanya dingin sebelum berlalu pergi. Dadaku terasa sesak. Aku tidak mengerti apa yang Zaenal pikirkan tentangku. Apa yang ia harapkan dariku?? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuiku, bahkan meski aku sudah bersama Ardi. Bertemu Ardi aku merasa canggung seakan aku tidak mengenal laki-laki yang telah tujuh tahun menjadi kekasihku dan telah menjadi pasangan hidupku. Sikap Ardi terasa dingin dan kaku. Selama perjalanan, Ardi tampak tidak acuh dan lebih banyak ngobrol dengan Om Agung. Aku pun membisu menahan kekecewaan dan kepedihan di hatiku. Kenapa kamu begitu dingin?? Apa kamu tidak kangen kepadaku??
Ketika kami sampai di Bekasi, seisi rumah sudah terlelap. Om Agung yang sudah kelelahan juga segera masuk ke kamar. Malam itu, aku melakukan kewajibanku sebagai pasangan hidup Ardi. Ardi memperlakukanku dengan lebih baik, tetapi tetap saja yang kurasakan hanya sedikit rasa sakit, baik secara fisik maupun psikis. Malam itu diam-diam aku menangis. Tuhan, hubungan macam apa yang harus kujalani ini??
Ardi benar-benar telah menjadi sosok asing dimataku. Memang sudah sejak beberapa tahun terakhir, Ardi bukan lagi sosok lembut dan hangat seperti yang aku kenal tujuh tahun silam. Tetapi setidaknya, ia tidak sedingin dan sekaku sekarang. Ardi seperti menjaga jarak bahkan terkadang aku merasa Ardi menghindariku. Ketika aku mengajaknya bercakap-cakap, Ardi lebih banyak bicara tentang kenalan barunya yang bernama Tirta, yang dikenalnya di perjalanan Solo-Bekasi.
Minggu sore, Ardi mengantarku kembali ke Bogor dengan meminjam mobil Om Agung. Sepanjang perjalanan, Ardi terus merutuki macetnya jalanan. Aku menarik napas lega ketika kami sampai. Ardi memutuskan tidak turun karena takut kemalaman di jalan. Aku mencium tangan Ardi dan sesaat berharap ia akan mencium atau setidaknya memelukku, tetapi Ardi hanya menatapku dengan tidak sabar. Mobil pun melaju cepat seolah sudah tidak betah lagi bertahan lebih lama disitu. Menatap kepergian Ardi aku menghela napas panjang dan dalam. Aku merasa begitu tidak bahagia.
Hari-hari berikutnya berjalan dengan kesibukan, aku sering bersama Zaenal karena kami terpilih untuk menyusun buku kenangan dan panitia malam perpisahan. Di sela-sela waktu, aku sering menelepon Ardi yang masih tinggal di rumah Om Agung karena masih ada bisnis mobil di Jakarta, tetapi hubungan kami tetap hambar. Suatu hari aku menelepon Tante Dija, istri Om Agung mengabari kalau Ardi sudah dua hari tidak pulang dan pergi tanpa pamit. Tante Dija dengan hati-hati bahkan menanyakan kemungkinan apakah Ardi memiliki perempuan atau laki-laki lain, Tante Dija mengatakan ini karena berpikiran bahwa kehidupan pasangan gay sangat jarang yang namanya kesetiaan.
Aku bingung dan mulai merasa cemas, Eli dan Eki berusaha menenangkanku. Mereka mengingatkanku kalau Ardi sudah dewasa dan bisa menjaga dirinya sendiri. Kami baru saja menikah, tidak mungkin ia berpaling kepada orang lain. Sempat terlintas dikepalaku tentang Tirta, tetapi aku mencoba untuk menepisnya walau sulit. Tidak urung, malam itu ketika aku berjalan berdua bersama Zaenal sepulang dari mengurus buku di percetakan, aku ceritakan kekhawatiranku kepadanya. Zaenal menghiburku seperti yang dilakukan teman-temanku. Berbicara dengannya entah kenapa membuat perasaanku jauh lebih baik.
Malam itu aku mencoba menelepon ke Solo. Tidak disangka Ardi yang mengangkat teleponku. Tentu saja aku marah dengan sikapnya yang tidak berpamitan kepada Om Agung dan Tante Dija. Ardi tidak memberikan alasan yang jelas. Kamipun bertengkar dan inilah pertengkaran pertama kami. Aku menutup telepon dengan airmata di pipi. Zaenal yang menungguku di luar tidak berkata apa-apa. Zaenal menggandeng tanganku dan kami berjalan dalam diam. Zaenal membuang tatapannya lurus kedepan. Entah apa yang diperhatikannya sampai ia terpaku begitu. Tiba-tiba ia berkata, “ Aku tulus mencintaimu, Kamu orang yang tidak terlupakan,,”
Kata-katanya sangat membekas di hati. Di sela-sela jadwal ujian yang padat, aku mendapat diriku lebih sering memikirkannya. Kami tidak pernah membahasnya lagikarena sibuk mempersiapkan malam perpisahan dan menjalani ujian. Semua berputar begitu cepat. Akhirnya, hari terakhir ini datang juga. Kami semua berfoto bersama dan mengikuti upacara penutupan. Tidak disangka dalam upacara itu diumumkan sepuluh peserta terbaik dan namaku disebut.
Selesai upacara Zaenal mengajakku ke sebuah kebun dibelakang gedung pelatihan. Dengan tatapan yang lekat Zaenal berdiri didepanku mengucapkan selamat dan senyum yang penuh makna. Jemarinya mengenggam jemariku erat dan tiba-tiba ia membungkuk, tanpa peduli kepada siapapun, memberiku sebuah kecupan ringan di pipi. Ia terus menatapku dengan cinta yang tersirat jelas dimatany. Aku tergugu tidak sanggup mengucapkan sepatah katapun. Pipiku merona. Apa Zaenal sudah gila?? Menciumku?? Membuat lidahku kelu. Aku masih kehilangan suaraku ketika itu.
Aku menjerit frustasi atas ulahnya dan masih bersikeras kalau apa yang ia lakukan hanyalah cinta lokasi. Sorat mata Zaenal penuh bara, namun suaranya sedingin es ketika menegaskan kalau cintanya bukan sekedar cinta lokasi. Sat itu tiba-tiba semua seperti terbuka dimataku. Aku pun jatuh cinta kepadanya. Mencintainya dengan cinta yang berbeda dari segala cinta yang pernah kurasakan selama ini. Cinta yang tumbuh di saat aku bukan lagi anak-anak atau remaja yang polos. Cinta yang tumbuh diantara dua manusia dewasa yang telah sama-sama menyadari apa makna cinta sesungguhnya. Cinta yang terlarang. Kenyataannya, meski aku tahu dan sadar kalau perasaan yang kurasakan adalah sebuah kesalahan, sudah terlambat bagiku untuk mengingkarinya.
Cinta adalah perjuangan antara kehendak menyatukan diri dan orang yang dicintai, ketakutan kehilangan identitas dan kebebasan diri. Mencintai Zaenal membuatku ingin bersamanya, itu wajar dalam cinta. Menjadi tidak wajar ketika situasi dan kondisi kami tidak memungkinkan untuk itu. Aku akan kehilangan identitas dirikubila bersama Zaenal. Aku yang selama ini berjuang mengendalikan diriku selalu di bawah kontrol norma dan sosial, bisakah menghancurkannya dalam sekejap hanya karena cinta??
Perasaan berdosaku kepada Ardi bahkan tidak mampu menyurutkan langkahku untuk membiarkan cintaku kepada Zaenal terus tembuh. Aku merasa begitu pilu. Aku yang selama ini berjuang dalam segala prinsip moral yang kujunjung tinggi, kini telah tenggelam dalam dosa. Padahal, belum tentu zaenal sungguh-sungguh mencintaiku. Mungkin bagi Zaenal, aku hanyalah permainan dan cinta lokasi yang akan hilang begitu saja setelah kami kembali ke Jakarta.
Aku sungguh berharap Tuhan akan mengampunkan dosaku. Seandainya Ardi tahu, apakah ia akan memaafkanku?? Seandainya tidak, apa yang akan terjadi dengan perubahan kami?? Aku tidak mungkin menghancurkan hubunganku untuk sebuah rasa yang masih begitu dini. Aku sudah memutuskan hidup bersama dengan Ardi. Tetapi Zaenal di bagian mana dari hati dan hidupku, ia harus kutempatkan?? Haruskah kubelah dua hati dan hidupku untuk mereka?? Atau harus kulepaskan salah satu dari mereka?? Lalu siapa??
Aku tidak mungkin melepaskan Ardi, tetapi apa aku sanggup melupakan Zaenal?? Haruskah aku menjalani hidupku sama seperti dulu seolah tidak pernah ada sesuatu yang terjadi antara aku dan Zaenal?? Sungguh, betapa cinta dan moral kebaikan tidak selalu terlihat sebagai kawan. Cinta seharusnya merupakan suatu hasrat dan rasa paling murni dari manusia, sesuatu yang selalu kudambakan bahkan telah menjadi mimpi-mimpiku kini harus menjadi musuh yang menyiksaku dalam penderitaan. Apakah cinta di masa kini hanya tersisa sebagai aturan hukum, norma, dan agama daripada mengabadikan kemurnian cinta itu sendiri?? Ya, aku salah dari sudut pandang manusia, dari sudut nilai, moral dan agama. Tetapi siapa yang memberikan rasa cinta ini?? Aku tidak pernah memintanya datang dan tidak pernah dengan sengaja membiarkannya tumbuh. Ia datang dengan sendirinya dan tumbuh begitu saja seperti ilalang di hatiku. Kenapa Tuhan?? Kenapa aku biarkan diriku terbenam dalam cinta yang menyakitkan ini??
Ya Tuhan, andai aku bisa kembali ke masa lalu, mungkin aku akan memilih untuk tidak bertemu dengan Ardi sehingga aku tidak perlu terjebak dalam pilihan hidup bersama secara ikatan dengan Ardi saat ini. Andai aku bisa memilih untuk tidak bertemu Zaenal. Andai aku bisa memilih untuk tidak jatuh cinta kepada Zaenal. Kenapa aku harus terjebak dalam situasi seperti ini?? Mimpi tentang cinta yang akan memorak-porandakan hidupku. Andai aku bisa memilih untuk menulis sendiri jalan kehidupanku, akan kutulis sebagaimana yang aku mau. Andai dan sejuta andai yang tidak akan pernah berujung......................