It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@hantuusil
@lian25
@jokerz
@khieveihk
@Brendy
@Just_PJ
@nakashima
@timmysuryo
@adindes
@Bonanza
@handikautama
@kiki_h_n
@dak
@Zazu_faghag
@ramadhani_rizky
@Gabriel_Valiant
@Syeoull
@totalfreak
@Yogatantra
@erickhidayat
@adinu
@z0ll4_0II4
@the_angel_of_hell
@Dhika_smg
@LordNike
@aii
@Adra_84
@the_rainbow
@yuzz
@tialawliet
@Different
@azzakep
@danielsastrawidjaya
@tio_juztalone
@Brendy
@arieat
@dhanirizky
@CL34R_M3NTHOL
@don92
@alamahuy
@jokerz
@lian25
@drajat
@elul
@Flowerboy
@Zhar12
@pujakusuma_rudi
@Ularuskasurius
@just_pie
@caetsith
@ken89
@dheeotherside
@angelsndemons
@bayumukti
@3ll0
@jamesfernand084
@arifinselalusial
@GeryYaoibot95
@OlliE
@callme_DIAZ
@san1204
@d_cetya
@Bintang96
@catalysto1
Maaf Belum bisa balas komentar satu-satu,, ini update dikit dulu ya,, selamat membaca,, terimakasih semua yang telah membaca cerita ini,, terimakasih sangat teman-teman
Awal Tahun 1990
Aku melihat laki-laki itu lagi, duduk berjongkok di pintu gedung samping rumah Mas Haris, tetangga sebelah rumah Bude Ari. Ia melamun di sore yang sepi. Sesekali tangannya yang kurus mendekatkan rokok ke bibirnya, aku tidak tahu apa yang ia lamunkan setiap hari di tempat itu. Pemandangan itu membuatku gemas. Aku yang tidak pernah bisa diam, rasanya tidak terima jika orang semuda itu hanya menghabiskan waktu dengan duduk melamun. Tatapannya selalu terlihat kosong dan menerawang jauh entah kemana.
Aku melangkah ke rumah Bude Ari hendak menonton televisi karena di rumah tidak ada televisi. Di depan rumah, Mas Haris memanggil dan menyuruhku berkenalan dengan saudaranya. Aku berbelok ke teras rumah Mas Haris. Mas Haris tinggal dengan dua saudaranya. Mas Abimanyu dan Mbak Ami. Mereka orang Jawa campuran Aceh. Diantara teman sebayaku yang tinggal di perumahan, tidak pernah ada yang suka hati atau berkinjug ke rumah Mas Haris, kecuali aku. Mereka menganggap rumah mas Haris itu “sarang preman” karena banyaknya teman laki-laki Mas Haris dan Mas Abimanyu yang sering berkunjung.
Aku kemudian diperkenalkan kepada laki-laki pelamun itu. Namanya Rizal, orang Manado yang baru datang dari Gorontalo. Rizal baru lulus SMA tahun lalu dan mau kuliah di ISI. Berbicara ISI, mengingatkanku kepada Panji. Aku sambut uluran tangannya, jabatan tangannya begitu kuat, sesaat sorot matanya yang suram itu menghangat. Mas haris memintaku untuk sering mengajaknya ngobrol karena katanya Rizal ini pemalu.
Pemalu?? Mas Rizal, begitu aku memanggilnya, sama sekali tidak pemalu. Ia hanya tidak banyak bicara dan pelamun ulung. Ketika aku semakin akrab dengannya, aku mendapati ia sebagai laki-laki yang sangat jujur dalam berpendapat, bahkan terkadang menjadi sangat menjengkelkan karena kejujurannya bisa menyakitkan hati. Contohnya ketika aku menceritakan kedatangan Papaku. Bang Rizal mencolek hidungku dengan telunjuknya dan bertanya apa aku senang.
Aku bercerita tentang rasa sakit hatiku. Aku tadi menemani Aji, adikku berjalan-jalan. Awalnya semua baik-baik saja sampai Aji mengajukan satu pertanyaan yang paling kubenci, yaitu aku ini anak siapa. Aku membisu. Sampai rumah, aku temui Papa. Disana juga ada Yangti dan Mama Ratna. Aku bertanya, apa masalah aku anak siapa juga harus aku jelaskan kepada Aji?? Apa Papa dan Mama Ratna tidak berani menjelaskan dengan jujur?? Aku sendiri bukannya tidak berani, tapi aku tidak mau. Ini bukan kewajibanku. Papa sama saja seperti mamaku, takut mengakui aku sebagai anak.
Aku juga bercerita betapa aku membenci hari lebaran. Setiap kali lebaran tiba, keluarga besar berkumpul dan aku merasa asing karena tidak punya siapa-siapa. Tiap keluarga akan berfoto bersama, sedangkan aku tidak tahu harus masuk ke keluarga siapa. Papaku takut menyapaku. Hanya keluarga Om Hari dan Tante Wiwik yang menerimaku berfoto bersama keluarga mereka. Lebaran tahun kemarin, aku kabur ke kamar dan tidak keluar-keluar karena kesal dengan sikap papa. Ketika sudah agak lama, baru Papa menyusulku ke kamar. Kupikir ia akan memelukku atau apa, ternyata diam saja hanya memberiku uang. Aku melempar uang itu, bukan uang yang kubutuhkan.
Aku menangis ketika menceritakan semua itu, tetapi dengan datar Mas Rizal menyuruhku berhenti menangis. Aku tidak boleh sakit hati karena semua sudah berlalu. Di usia 14 tahun, aku sangatlah perasa. Aku marah kenapa Mas Rizal tidak mengerti perasaanku.
“ Aku memang tidak mengerti kenapa kamu harus selalu menangis,,”
“ Mas punya segalanya dalam hidup!! Mas punya Papa, Mama, Kakak dan Adik. Abang punya semua, sedangkan aku tidak punya apa-apa. Tadi Papa dan Mama Ratna Cuma diam waktu aku protes soal Aji. Mengapa mereka semua pengecut begitu?? “
“ So what?? “
“ Apa Mas tidak melihat bagaimana aku bisa lewati semua ini dengan baik?? Apa Mas bisa kalau jadi aku?? “
Mas Rizal tertawa, mencolek hidungku dengan telunjuknya, kebiasaan yang sering kali menjengkelkanku.
“ Inilah salah satu bentuk arogansimu, Sembo. Aku akui kamu laki-laki yang unik dan istimewa. Aku tidak akan pernah tertarik kepada perempuan atau laki-laki yang biasa saja. Kami melebihi kedewasaan laki-laki seumuranmu. Kamu punya semangat hidup yang kuat dibanding manusia normal lain yang pernah aku kenal. Kamu laki-laki yang kuat adalam pendirian, lurus dalam tindakan, dan cerdas, tetapi kamu selalu terhalangi oleh masa lalumu yang kelam. Buat apa?? “
“ Kita tidak bisa melupakan sejarah Mas. Kita memulai hidup dari suatu titik di masa lalu.”
Mas Rizal menatapku lekat-lekat dengan sorot matanya yang tajam. “ Dengar Sembo. Hidupmu memang tidak sesempurna orang lain, tapi tidak perlu kamu kumandangkan terus-menerus kepada dunia tentang rasa sakitmu. Hidupmu sudah seperti air mata itu, tidak perlu tangisi. Aku ada disini bukan untuk menemanimu kamu menangis, tetapi untuk menemanimu tertawa,,”
Itu yang dilakukan Mas Rizal, menemaniku tertawa. Mas Rizal tidak pernah suka melihatku menangis. Pernah suatu ketika, aku menangis berjam-jam karena bertengkar dengan Yangti. Yangti panik melihatku tidak berhenti menangis dan tanpa sepengetahuanku, beliau memanggil Mas Rizal. Ia datang dengan menjinjing ember dan handuk. Aku melirik heran kepadanya dan bertanya buat apa semua ini.
“ Buat jaga-jaga jangan sampai banjir air mata di kamarmu,,” katanya dengan polos.
Aku tertawa di sela isakku.
Mas Rizal duduk di sampingku dan mengalungkan sebuah kalung besi putih dengan mata uang Arab keleherku.
“ Ini kalung kesayanganku, selalu aku pakai sejak dari Manado. Sekarang aku memberikannya untukmu agar kamu berhenti menangis. Kamu ingat, kan?? Aku ada di sini bukan untuk menemanimu menangis tetapi untuk menemanimu tertawa “
Aku meraba kalung itu dan merasakan dingin di jariku. Tangisku pun berhenti. Mas Rizal bukan laki-laki yang romantis, tetapi ia membuatku merasa berarti dengan gaya yang apa adanya. Kami sering menghabiskan waktu dengan bernyanyi, ia mengiringi dengan gitar, berdiskusi, berbicara tentang apa saja. Mas Rizal sering membuatku tertawa dan aku membuat ia mau bersosialisasi dengan remaja sebayaku yang tinggal di perumahan, aku mengajaknya aktif di kegiatan remaja masjid. Sejak bertemu denganku, Mas Rizal mulai jarang melamun lagi.
Beberapa waktu lalu, ketika aku menghubungi Mas Rizal , ia bercerita tentang aku di matanya. Menurutnya aku dulu laki-laki muda yang periang dan supel. Di balik ceriaku, tersimpan sesuatu yang selalu membuatku sedih. Meski hidupku jauhdari sempurna, tetapi aku tumbuh menjadi pribadi yang kuat, cerdas, dan kreatif. Ada kisah menarik tentangku, kalau aku cekcok dengan Yangti, maka aku akan lari dari rumah. Suatu saat, Yangti kelabakan mencari dan memanggil Mas Rizal. Yangti meminta Mas Rizal untuk mencariku. Mas Rizal menenangkan Yangti, ngobrol dengannya, ditemani secangkirteh panas dan biskuit, Mas Rizal bilang kalau Yangti tidak perlu mencariku karena aku akan pulang sendiri. Tidak lama kemudian, aku muncul di balik pintu dengan wajah cemberut.
“ Kok Mas Rizal enggak mencariku?? “
Mas Rizal sengaja tidak mencariku karena ia tahu aku bakal kembali. Aku tidak pernah lari dari hidupku seberat apapun masalahku. Kalau aku dikejar, maka aku akan lari semakin kencang. Alasan itu pula yang membuat Mas Rizal tidak mengejarku ketika aku meninggalkan dia. Mas Rizal merasa ia bukan jawaban dari apa yang aku inginkan dari hidup.
Mas Rizal menemaniku tertawa kurang lebih selama setahun. Aku meninggalkannya. Bukan karena ia tidak cukup baik atau tidak cukup menyayangiku, tetapi karena aku selalu merasa kami lebih cocok menjadi saudara. Mas Rizal dengan puisi, petikan gitar, lukisan, gaya ceplas-ceplosnya tetap tidak bisa mengisi kekosongan di hatiku yang begitu haus akan cinta dan kasih sayang. Menjelang usiaku yang ke-15 tahun, aku bertemu Ardi.
Pertemuanku dengan Ardi biasa saja. Wildan, kekasih Erika, sahabatku adalah sahabat Ardi ketika SMA. Kami bertemu di rumah Erika. Perawakannya tinggi, kulit cokelat dan wajah khas Jawa. Aku tidak terlalu tertarik padanya, tetapi aku mulai menerima kehadirannya dalam hidupku karena kami sering bertemu dan ia begitu memerhatikan aku. Di saat bersamaan, Mas Rizal akhirnya diterima di ISI dan sangat sibuk dengan kegiatan kampusnya hingga bisa dikatakn tidak punya waktu untukku. Aku baru saja lulus SMP dan diterima di SMAN 1 Surakarta. Aku merasa memiliki komunitas pertemanan yang menyenangkan bersama Wildan, Erika dan Ardi.
Mas Rizal terasa semakin jauh. Aku masih selalu menyayangi dan menganggapnya spesial sampai sekarang, tetapi aku menyadari perasaanku tidal lebih dari hubungan persaudaraan. Mas Rizal akan menjadi seorang kakak yang luar biasa. Aku orang yang menjunjung tinggi kejujuran karena nilai-nilai yang ditanamkan Yangkakung kepadaku. Kedekatanku yang semakin intens dengan Ardi sangat tidak adil untuk Mas Rizal. Suatu malam, aku ke Yogyakarta menemui Mas Rizal. Aku bilang aku bertemu Ardi, berbicara dengan seorang Rizal memang lebih baik tanpa basa-basi.
Mas Rizal hanya melirikku sejenak, lalu menyibukkan diri dengan senar gitarnya.Mas Rizal memainkan beberapa nada dan bertanya tanpa menatapku, apa Ardi laki-laki yang baik. Aku termenung sejenak. Ardi kelihatan cukup baik dan sopan . Ketika Mas Rizal bertanya apa Ardi berasal dari keluarga kaya, aku menatap Mas Rizal jengkel, tidak suka dengan pertanyaannya. Mas Rizal terkadang suka menjengkelkan dengan kata-katanya yang merendah, seperti ketika kami berjalan-jalan dengan bus kota,,” kenapa kamu mau jalan sama aku yang cuma bisa ngajak kamu naik bis kota dan jalan kaki??”
“ So what??” Jawabanku ketika itu. “ Apa aku terlihat seperti orang manja yang gila akan uang??”
Mas Rizal tertawa sambil mencolek hidungku dengan telunjuknya, “ Orang akan banyak tertipu dengan gaya manjamu, Sembo. Padahal kamu sama sekali tidak manja dalam artian seperti yang dipikirkan orang. Kamu lebih kuat dari apa yang kamu tampilkan. Kamu laki-laki yang unik,,”
Toh pada akhirnya Mas Rizal melepasku untuk Ardi. Mas Rizal meletakkan gitarnya dan menatapku lekat-lekat. Sorot matanya tampak sedikit sedih.
“ Aku Cuma mau kamu bahagia. Aku Cuma mau melihatmu tertawa. Kalau ia baik, menyayangimu, pantas untuk seseorang yang luar biasa sepertimu, aku senang,,”
Aku kehilangan kata-kata. Sebongkah kekecewaan yang dalam menderaku. Aku berharap Mas Rizal berusaha memperjuangkanku, tetapi ia justru melepasku sebelum aku melepaskannya. Saat itu aku tidak yakin apakah aku ingin bersama Ardi atau tidak, aku hanya menguji Mas Rizal. Setelah hari itu, Mas Rizal tidak berubah. Masih tetap baik dan menyapaku seperti biasa, tetapi aku yang menghindari semampuku. Aku terluka dan pernah membencinya.
Mas Rizal tahu aku menghindarinya. Bertahun-tahun kemudian baru aku tahu kalau ia pun terluka sama sepertiku. Aku sangat berarti buatnya, lebih dari apa yang ia sadari, tetapi saat itu situasinya tidak tepat. Saat bertemuku dulu, ia nyaris frustasi dengan hidupnya. Aku datang dengan keceriaan dan semangatku. Sampai akhirnya, ia bangkit lagi dan lolos masuk ISI. Mas Rizal bukan orang kaya dan masih labil. Ia selalu melihatku menangis dan merasa tidak berdaya. Ia merasa tidak pantas buatku. Ketika aku datang menceritakan tentang Ardi, ia pikir Ardi laki-laki yang tepat buatku. Apalagi setelah itu, ayahnya meninggal dan hidupnya terpuruk. Mas Rizal makin yakin bahwa keputusanya melepasku adalah hal yang terbaik.
Selama bertahun-tahun, Mas Rizal tidak pernah berhenti berharap aku akan memaafkannya. Ia selalu mencari tahu tentangku. Ketika ada media facebook, ia mencari namaku. Tapi tidak ada. Aku memakai nama lain, dan ketika aku mengajaknya berteman, ia merasa lega. Aku memaafkannya. Dulu ia berharap dengan menghindariku, ia akan melupakanku. Ia selalu merasa kalau ia bukan seseorang yang kuinginkan, bukan laki-laki yang tepat, dan selalu merasa aku berhak, bahkan sangat berhak mendapatkan yang terbaik. Dan itu bukan ia.
Mas Rizal menganggapku sebagai laki-laki yang terlalu baik dan selalu salah menilai laki-laki. Aku terlalu mudah berkompromi dengan sesuatu, sehingga banyak yang memanfaatkan kebaikkanku. Aku baik dengan dunia, tapi tidak baik kepada diriku sendiri. Ia berharap aku bisa lebih baik kepada diri sendiri dan ia yakin aku mampu meraih semua impianku. Satu hal yang ia ingat tentang sosokku adalah ketika besok Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Waktu itu kompleks sepi karena semua teman sebayaku sibuk belajar, tetapi aku dengan kepercayaan diri dan sikap optimisku melenggang santai dan bernyanyi-nyanyi. Ia menyapaku dan ngobrol hingga larut malam. Anehya, hanya aku satu-satunya dari teman sebayaku yang lulus di UGM, andai saja aku tidak memilih jurusan diploma. Mas Rizal tidak pernah menyukai laki-laki yang biasa-biasa saja dan aku bukan laki-laki yang biasa-biasa saja. Aku salah satu sedikit laki-laki yang istimewa dan ia kagumi.
Seandainya waktu itu percakapanku dengan Mas Rizal sudah terjadi, mungkin aku tidak akan pernah mencintai Ardi. Mas Rizal benar. Aku memang terlalu mudah berkompromi, terutama pada kebaikkan orang. Aku sendiri melihatnya sebagai sikap berpikir positif kepada orang lain, sehingga sebagian temanku menganggapku sembrono. Entah itu sifat baik atau buruk, yang jelas sifat itu yang membuatku terbuai oleh kebaikkan dan perhatian Ardi.
Ardi pandai membuatku merasa spesial. Sesuatu yang jarang dan bahkan hampir tidak pernah aku dapatkan dari keluargaku, juga Mas Rizal. Ia sering memberikan kejutan-kejutan kecil, mengantar jemputku sekolah, menulis surat cinta untukku, bahkan ketika ulang tahunku yang ke-16, ia membuatkanku pesta kejutan. Ardi juga pandai mengambil hati Yangti, Yangti tidak pernah curiga, yang beliau tahu kami berdua adalah sahabatan, yang jelas sifat itu yang membuatku terbuai oleh kebaikkan dan perhatian Ardi.
Aku terlambat menyadari bahwa di balik kebaikannya, Ardi sangatlah possesive dan pecemburu. Tanpa kusadari, ia merampas kesempatanku bergaul dan bersosialisasi dengan banyak teman. Tidak seperti kebanyakan anak SMA yang lain, aku jarang berkumpul dengan teman-teman sekolahku.Aku bahkan tidak aktif di kegiatan sekolah, meski aku sempat lolos tes menjadi peleton inti di sekolah. Beberapa kali aku sempat ikut kegiatan seperti band, seni rupa dan koran sekolah, tetapi semua terhenti di tengah jalan karena kecemburuan Ardi. Ardi memonopoli hidupku.
Aku merasa keberatan, tetapi saat itu aku hanya menerima. Kondisi fisikku mulai melemah dan sering pingsan. Perilaku Yangti mulai mengarah ke arah kegilaan. Keadaan ini sangat berat untuk kutanggung sendirian. Yangti sering kehilangan orientasi waktu,seakan-akan kembali hidup di masa penjajahan Belanda dan Jepang. Terkadang beliau sering mengamuk memecahkan kaca atau kabur di pagi buta dengan alasan di kejar PKI. Hampir setiap hari aku direpotkan dengan mencari Yangti ke sekeliling perumahan atau mengganti kaca yang pecah, aku berusaha bersabar ketika harus mendengar cerita beliau yang semakin tidak terarah.
Sebagai seorang istri seorang Jaksa, Bude Ari mengikuti Pakdhe bertugas di luar Jawa. Keempat sepupuku terlalu sibuk dengan urusan masing-masing sehingga tidak cukup peduli merawat Yangti. Sementara itu, putra-putri Yangti yang lain jauh dari Solo. Yangti menderita kanker usus dan membutuhkan banyak perhatian khusus setelah menjalani operasi pemotongan usus. Beliau sudah tidak bisa menahan buang air sehingga sering berceceran di sembarang tempat. Aku sering menangis mengingat masa tua Yangti yang sendirian dan kesepian. Walau itu aku berharap sudah cukup kuat dan dewasa untuk menjadi tempat beliau bersandar, tetapi aku hanyalah seorang remaja yang labil dengan rasa sakit, putus asa dan kekecewaanku sendiri.
Aku harus pontang-panting membagi waktu antara sekolah dan merawat Yangti semampuku. Aku sering menyesali mengapa saat itu aku tidak bisa memahami Yangti. Yangti pasti sangat menderita dengan keadaannya yang tidak dipedulikan putra-putrinya, sebagaimana beliau harapkan. Yangti pasti sangat kesepian. Sayang, saat itu aku masih terlalu muda untuk lebih memahami ketidakstabilan jiwa Yangti. Emosiku masih labil, sakit kepala makin sering membuatku pingsan, sikap possesive dan cemburu Ardi yang berlebihan membuatku sering ribut dengan Yangti. Puncaknya ketika aku duduk di kelas 2 SMA. Diantara ke-empat sepupuku, aku yang paling dekat dengan Mas Handoyo. Ia paling peduli dan sayang kepadaku di tengah kesibukannya. Aku juga dekat dengan beberapa sahabat Mas Handoyo, salah satunya Mas Rendy, yang sekarang sudah meninggal. Aku sering ngobrol dengannya, tetapi ternyata hal itu tidak disenangi oleh Yangti.
Suatu senja, Yangti bercerita kepada tetangga sebelahdan mengutarakan ketidaksukaannya melihatku dengan Mas Rendy. Beliau juga sempat menuduhku tidak ada bedanya dengan Mama, dan bahkan Yangti mengatai aku sebagai lonte lanang. Hal ini membuatku marah dan memaksa Yangti untuk pulang. Sikapku membuat Yangti marah dan mengadu kepada Mas Handoko. Mas Handoko memakiku sebagai anak kurang ajar. Meskipun Mas Handoyo membelaku, tetapi hatiku sakit saat itu. Esoknya, aku memutuskan pergi dari rumah dan aku putuskan mengekos. Ardi sering membantu biaya hidupku karena penghasilanku sebagai pelayanan tidak cukup banyak. Aku hanya bekerja di waktu libur. Perhatian dan kepedulian Ardi yang sangat besar membuatku mengabaikan hati kecilku yang terkadang menjerit dengan sikap possesive dan cemburunya yang berlebihan.
Aku bahkan memaafkannya ketika beberapa kali ia memukulku karena cemburu. Aku sungguh bodoh. Setiap kali hatiku sakit ketika Ardi memeukulku, setiap kali pula ia menangis dan bersimpuh di kakiku meminta maaf, hatiku pun luluh. Aku seharusnya tidak mengabaikan hal itu, tetapi situasi dan kondisiku yang sendirian, tanpa siapa pun, benar-benar membuatku tidak bisa berpikir jernih. Aku terharu dengan perjuangan Ardi yang tidak memedulikan larangan orangtuanya untuk berhubungan denganku.
Orangtua Ardi merupakan pejabat terhormat di UGM. Tentu mereka sangat keberatan jika putra bungsunya itu bergaul akrab dan intim dengan sesama jenis yang merupakan anak haram sepertiku. Mereka sampai menemui guruku dan sahabat-sahabatku di sekolah untuk memisahkanku dengan Ardi, tetapi Ardi bersikeras tetap bersamaku sampai orangtua Ardi menyerah dan membiarkan hubugan kami. Saat itulah banyak guru dan sahabat yang perlahan-lahan meninggalkanku, mereka mengaggap aku seoran yang aneh karena menyukai laki-laki.
btw titip mensenannya ya
Serasa ikut larut dalam kehidupan yang dialami Sembo.
Ohya mas @Rendesyah kok hubungan Sembo dan Ardi gak dibuat detail?