BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Cerita Seorang Bipolar Disorder Tamat

1246721

Comments

  • BAGIAN DUA

    Sejak saat itu Mama sering datang bersama Papa Juntak dan mengajakku jalan-jalan. Kami pergi ke kebun binatang, taman bermain, pergi ke Yogyakarta dan mengelilingi Malioboro dengan andong, ke pantai Parangtritis. Mama juga mengajakku ke rumah yang katanya rumah ibunya, yang berarti nenekku yang kupanggil Simbah. Pertama aku datang ke sana, aku merasa heran karena rumah itu sudah tidak asing bagiku.

    Rumah itu tidak kelihatan seperti sebuah rumah bagiku. Luasnya hanya seluas ruang tengah rumah Yangkakung, dindingnya dari gedheg atau anyaman bambu, lantainya dari tanah. Rumah itu terletak di gang sempit. Pertama kali aku datang, semua orang mengerubungiku seolah-olah aku ini datang dari dunia lain. Mereka memujiku manis dan tampan, tetapi sempat kudengar ada lagi yang menyebutku anak haram. Entah Mama mendengarnya atau tidak. Tetapi Mama diam saja. Di sana, aku bertemu lagi dengan tante dan om yang dulu pernah mengajakku. Kata Mama, mereka adalah adik Mama yang bernama Bulik Mur dan Om Tono. Selain itu masih ada Simbah, Pakde No, Bude Tyas, Juga Tante dan Om dari Blitar yang dulu menjadi pengantin. Mereka semua pernah aku temui pada waktu pesta, hanya saja waktu itu aku tidak tahu siapa mereka sebenarnya.

    Menjelang ulang tahunku keenam, Mama melahirkan adik bayi. Namanya Ian. Aku ikut menengoknya ke rumah sakit. Ian sama sekali tidak mirip aku, tetapi kata Mama ia itu adikku. Aku hanya menurut asalkan Mama tetap sayang padaku. Namun tidak lama setelah itu Mama, Papa Juntak dan Ian pergi ke Jakarta. Mereka tidak pernah lagi mengirim kabar kepadaku. Aku menjadi sedikit pemurung. Aku bertanya di dalam hati, mengapa Mama melupakan aku. Aku tidak pernah merasa menjadi anak yang nakal. Kata orang aku anak manis dan penurut, tetapi mengapa Mama pergi?? Untunglah saat itu aku sudah mulai masuk sekolah lagi. Sebetulnya aku masih terlalu muda untuk masuk sekolah di sekolah dasar. Menurut peraturan, hanya anak yang sudah berumur tujuh tahun yang boleh sekolah di sekolah dasar. Saat itu umurku genap enam tahun, tetapi karena ku sudah lulus tes dan guru di sekolah dasar tersebut menghormati Yangkakung, aku bisa bersekolah disana.

    Sekolahku cukup dekat dari rumah. Kata Mbak Vita, Yangkakung sengaja menyekolahkanku di situ agar tidak terlalu jauh dari rumah. Sebetulnya Yangti ingin menginginkan aku bersekolah di sekolah dasar terkenal, tetapi Yangkakung mau aku bersekolah di sekolah biasa. Yangkakung ingin aku bisa bergaul dengan sembarang orang sehingga aku hampir tidak punya teman. Aku bahkan tidak boleh bermain dengan anak-anak yang tinggal di belakang rumah karena Yangti menganggap mereka itu anak kampung.

    Aku tidak peduli di mana aku bersekolah. Sekolahku yang sekarangmemang tidak sebagus sekolahku di Taman Kanak-Kanak, tetapi aku senang. Teman-teman dan guru-guruku semua sayang kepadaku. Aku punya banyak teman dan itu sedikit menghiburku. Meskipun begitu, aku tetap kesepian di rumah karena Yangti tidak suka teman-temanku main ke rumah. Kalau sudah begitu, hanya Yangkakung-lah yang bisa menghibur dan menemaniku.

    Yangkakung, satu-satunya orang yang sangat menghargai bakatku. Yangkakung tahu aku suka menggambar dan berkhayal. Ia membelikanku peralatan menggambar dan menemaniku menggambar. Setiap kali ada perlombaan menggambar, aku selalu diikutsertakan. Ketika lukisanku terpilih untuk pameran lukisan anak-anak, Yangkakung-lah orang yang paling gembira. Lukisan-lukisanku dipigura dan dipasang di ruang tamu agar semua orang bisa melihatnya.

    Yangkakung juga membelikanku banyak mobil-mobilan dan permainan lego sebagai temanku berkhayal. Aku bahkan sesekali boleh bermain dengan maket panggung teater yang dibuatnya atau memakai hiasan sumping, mahkota, dan gelang yang biasa digunakan Yangkakung untuk pementasan teater. Saat aku berayun di kakinya, beliau selalu berkata bahwa kalau aku sudah besar nanti , beliau akan menjadikan aku seorang bintang dan orang terkenal. Sampai hari ini, aku masih selalu menangis bila mengingatnya. Aku bukan seorang bintang apalagi orang terkenal. Yangkakung satu-satunya orang yang mengerti duniaku. Setiap pagi, ia selalu membuka jendela besar di kaki tempat tidurku dan mengajakku tersenyum melihat matahari pagi.

    Setiap sore di malam minggu, Yangkakung selalu mengajakku jalan-jalan ke toko buku terkenal saat itu. Biasanya Yangkakung meninggalkanku di toko buku untuk membaca, lalu menjemputku lagi. Sering juga beliau membelikanku buku cerita. Koleksi buku cerita ku sampai satu lemari penuh.

    Aku tidur bersama Yangkakung. Sebelum tidur, Yangkakkung selalu menceritakan sebuah dongeng. Paginya, aku menceritakan dongen itu kepada teman-teman sehingga aku terkenal sebagai pendongeng ulung. Saat menunggu bel pelajaran istirahat, aku selalu dikerubungi teman-teman yang ingin mendengarkan dongengku. Setelah itu, mereka akan membelikanku kue atau jajanan yang tidak pernah bisa kubeli karena Yangkakung dan Yangti melarangku jajan.

    Aku pernah sakit disentri karena makan jajanan yang diberikan teman sekolahku. Aku mengira Yangkakung akan marah ketika aku mengakuinya. Ternyata beliau Cuma tersenyum dan bilang aku tidak boleh mengulanginya. Setelah sembuh, Yangkakung memberiku uang jajan Rp 100,00 setiap hari dengan syarat tidak boleh jajan sembarangan. Yangkakung juga membelikanku celengan kotak bergambar bebek dan berwarna biru. Setiap kali aku mendapatkan nilai sepuluh, Yangkakung memberiku uang Rp 100,00 untuk ditabung. Tabunganku pun cepat penuh karena aku hampir selalu mendapat nilai sepuluh.

    Menjelang caturwulan kedua , saat aku masih kelas satu, entah kenapa Yangkakung dan Yangti sering bertengkar. Suatu hari, Yangti sangat marah dan melampiaskan kemarahannya kepadaku. Waktu itu, Yangti memakiku sebagai anak haram dan kehadiranku telah merusak masa depan Papaku. Makian itu sangat membekas di hatiku dan tidak bisa kulupakan. Dulu aku sering mendengar orang menyebutku sebagai anak haram, tetapi tidak pernah memakiku. Berbeda dengan Yangti, orang yang aku sayang, justru memakiku seperti itu.

    Aku menjadi penasaran dengan arti anak haram, aku pun memberanikan diri bertanya kepada Yangkakung dan Mbak Vita, tetapi mereka tidak mau menjawab. Mbak Vita hanya memelukku erat dengan bibir bergetar menahan tangis. Aku bertanya kepada Simbok pembantu di rumah Yangkakung, namun ia justru memandangku aneh. Sejak saat itu, aku merasa orang-orang semakin sering berbisik-bisik ketika melihatku. Akupun tidak tahan dengan keadaan ini, kemudian aku bertanya kepada Ibu Laksmi, guruku. Beliau pun hanya diam dan berkata bahwa aku masih anak-anak jadi tidak sepantasnya menanyakan hal itu. Aku lalu bertanya kepada Ibu Sri, guru kelas dua yang sangat sayang kepadaku. Ia terkejut ketika aku menanyakan hal itu dan bertanya dari mana aku mendengar kata-kata itu. Aku bercerita kalau orang sering mengataiku begitu, juga Yangti. Ibu Sri memeluk dan memintaku berjanji untuk melupakan kata-kata itu. Aku tidak puas dengan jawaban Ibu Sri, tetapi melihat matanya yang berkaca-kaca menatapku, lidahku terasa kelu. Aku tidak suka melihat orang menangis karena aku. Akhirnya, aku mengangguk dan berbisik pelan bahwa aku berjanji akan melupakan kata-kata itu meskipun masin melintas di pikiran dan menghantuiku.

    Tak seorangpun mau menjawab pertanyaanku. Diam-dima aku mencuri-curi dengan membaca majalah yangti dan mbak Vita, meskipun aku masih kelas 1 SD, tetapi aku sudah lebih matang dari anak-anak seusiaku. Buku-buku Yangkakung yang diam-diam sering kubaca cukup membuatku memahami dunia yang lebih rumit dan kompleks daripada dunia anak-anak sebayaku. Sari salah satu majalah dan buku yang kubaca, akhirnya ku sedikit tahu maksud anak haram meskipun tidak sepenuhnya paham. Aku hanya tahu kalau anak haram itu berarti anak yang dibuang, tidak dinginkan, lahir dari tidak adanya cinta, lahir bukan dari ikatan pernikahan. Aku sedih ketika mengetahui arti dari anak haram itu, tetapi aku menyimpannya sendiri. Aku tidak akan menceritakannya kepada Yangkakung dan Mbak Vita, orang yang paling dekat denganku. Aku tidak mau mereka sedih.

    Aku bertekad meskipun aku anak yang dibuang, tetapi aku tidak boleh sedih. Aku harus tetap menjadi anak yang lincah dan periang, membuat Yangkakung dan mbak Vita bangga kepadaku. Dan itu memang benar, aku selalu menjadi nomor satu. Aku selalu menjadi juara kelas, ketua kelas dan pemimpin bagi teman-temanku di setiap acara sekolah. Aku juga menjadi wakil sekolah hampir di setiap perlombaan. Aku menguasai banyak hal. Aku suka menyanyi, membaca puisi, menggambar, dan lain-lain, kecuali satu hal, aku lemah dalam olahraga. Meski begitu, aku tetap menjadi anak emas para guru di sekolah.

    Aku mencoba bahagia dengan kondisiku sendiri. Biarlah Aji lebih tampan dan memiliki kasih sayang Papa, biarlah Mama pergi dan melupakan aku, biarlah aku menjadi anak haram dan di buang. Hal yang terpenting Yangkakung, Mbak Vita, juga Yangti yang sering memarahiku, teman-teman dan guru-guru semua sayang kepadaku. Meskipun diluar aku terlihat gembira, tetapi aku sangat sedih. Aku masih bertanya dalam hati, apa salahku sehingga aku menjadi anak haram?? Mungkinkah kerana Mama dan Papa tidak menikah?? Apa mereka pernah menikah?? Mengapa Aji, Andri dan Lulu yang sebetulnya adikku satu Papa, sama sekali tidak tahu kalau aku ini kakaknya.

    Pernah suatu sore, aku melihat Papa menyisir rambut Aji di kamar, Aji melihatku masuk dan bertanya kepada Papa, aku ini anak siapa?? Apakah aku anak Yangkakung dan Yangti?? Sisir ditangan Papa terjatuh dan ia menoleh ke arahku, menatapku lama tanpa berkata apa-apa. Aku berharap Papa membantah dan menegaskan bahwa aku adalah anak Papa bukan anak Yangkakung dan Yangti. Namun, Papa justru memungut sisir dari lantai dan berkata pelan, mengiyakan kalau aku anak Yangkakung dan Yangti. Aku berlari ke halaman belakang dan menangis sendiri di sana. Tidak lama setelah kejadian itu, Papa, Mama Ratna dan adik-adikku pindah ke Batam.

    Waktu aku naik kelas dua , ada guru praktik yang mengajar dikelasku. Ia cantik dan wajahnya mirip dengan Mama. Aku jadi teringat Mama dan tiba-tiba aku sangat merindukannya. Surat-surat yang tidak pernah datang lagi sangat melukai hatiku. Saat itu, tiba-tiba aku menangis dan membuat semua panik. Kepada Ibu Sri, guru kelasku, aku bercerita betapa aku merindukan Mama.

    Bu Sri pasti menceritakan peristiwa itu kepada Yangkakung, lalu Yangkakung bercerita ke Mbak Vita. Sepulang sekolah, Mbak Vita memelukku dan bertanya apa aku merindukan Mama. Mbak Vita berjanji akan mencari Mama asalkan aku menjadi anak yang manis dan pintar. Aku mengangguk dan memeluk Mbak Vita erat dengan air mata yang perlahan membasahi pipiku menahan isak. Aku akan jadi anak termanis dan terpintar di dunia, asalakan aku bisa bertemu Mama, janjiku dalam hati. Aku pun membuktikan dengan menjadi anak yang manis, penurut dan juara kelas.

    Saat liburan sekolah, Om Hari dan tante Wiwik datang menjemputku dari Jakarta. Mereka bilang bahwa mereka sudah bertemu dengan Mama. Demi aku, mereka mengelilingi Jakarta dan mencari Mama. Mama tinggal di Bekasi bersama Papa Juntak, Ian dan Rommy adikku yang satu lagi. Mereka tinggal tidak jauh dari rumah Om Hari dan Tante Wiwik. Aku menunggu saat-saat menggembirakan itu dengan hati bahagia. Sudah kubayangkan Mama akan memeluk dan menciumku. Selama perjalanan, aku tidak bisa duduk diam karena senang. Rasanya rumah Mamah jauh sekali.

    Menjelang malam, aku sampai di rumah Mama, tiba-tiba aku menjadi takut, tidak bisa menggerakkan kaki untuk turun dari mobil. Mama tidak lagi seperti yang kuingat. Ia tidak lagi secantik dalam kenanganku. Mama terlihat gemuk dan tidak rapi dengan dasternya yang kedodoran dan rambut acak-acakan. Meski begitu, ia tetap Mamaku. Ia membungkuk di kaca jendela mobil yang terbuka. Tampak rona terkejut di wajahnya melihat Om Hari dan Tante Wiwik, terutama ketika Tante Wiwik menoleh kearahku yang duduk di bangku belakang mobil.

    Jantungku berdebar sangat kencang, Mama menatapku lekat, wajahnya pasi, tidak ada sedikit pun binar bahagia di sorot matanya. Mama berbisik menyebut namaku. Aku bergetar, berharap Mama akan membuka pintu mobil dan memelukku, tetapi tidak. Mama hanya menatapku lekat, menarik napas panjang, dan berkata agar aku tidak memanggilnya Mama, tetapi Tante. Aku harus mengaku sebagai anak Om hari dan Tante Wiwik.

    Entah untuk berapa lama aku merasa mati rasa. Ada lubang besar yang menganga di hatiku. Aku ingin menangis, tetapi mataku kering. Aku tidak bisa berbicara, lidahku kelu, aku kehilangan suara. Detik itu aku mengerti artinya menjadi seseorang yang tidak diinginkan, tidak diharapkan, dan dibuang. Aku mengangguk pelan. Aku nyaris tidak bisa menggerakkan kakiku untuk keluar dari dalam mobil. Samar-samar aku mendengar protes dari Tante Wiwik dan Om Hari. Kemudian Mama menjelaskan bahwa keluarga suaminya tidak tahu bahwa ia sudah memiliki anak sebelum menikah dengan suaminya. Sekarang ia tinggal bersama keluarga suaminya dan menggantungkan hidupnya pada mereka.

    Aku lupa pada sisa hari itu, bahkan aku lupa pada sisa liburanku di Jakarta bersama tiga sepupuku yang biasa menggembirakan. Kali ini aku mengerti kematian. Bukankah kehilangan adalah sebuah kematian kecil?? Ada yang mati di dalam lubuk hatiku, sementara ku masih hidup. Kematian dari satu bagian dalam hatiku. Aku tidak pernah menganggap Papaku mati atau membunuhnya dalam hatiku. Bagiku ia tidak pernah ada dan memiliki tempat dihatiku. Mamaku pernah kuletakkan di suatu tempat yang indah dihatiku, tapi kini aku harus membunuhnya sebelum rasa sakit dan kepedihan itu membuatku membencinya. Kebencian adalah penyakit hati, aku tidak ingin sakit hati. Ibu kandungku, Mamaku sudah mati. Wanita yang kutemui jauh-jauh dengan kereta api dari Solo ke Jakarta dan terjebak kemacetan dengan mobil menuju ke Bekasi, bukan Mamaku lagi. Aku telah kehilangan Papaku dan kini aku kehilangan Mamaku. Aku sekarang seorang yatim piatu........


    Kejadian itu membuatku lebih jadi pendiam dan menutup diri. Perlahan aku membangun benteng pertahanan diriku dari rasa sakit, luka, kecewa, dan kepedihan. Diam-diam kusobek semua surat Mama, kubiarkan menjadi serpihan-serpihan kecil yang terserak di tempat sampah sebagaimana hancurnya hantiku tanpa seorang pun pernah tahu. Aku mulai menampilkan sosok Sembo yang berbeda. Aku lupa bagaimana caranya tertawa dan tersenyum dengan tulus. Aku lupa pada mimpi-mimpiku menjadi seorang bintang. Aku berjuang untuk tetap menjadi anak manis agar dicintai, tetapi perlahan keyakinan itu memudar. Semanis apa pun aku, sepintar apa pun aku, aku tetaplah anak haram yang tidak diinginkan.

    Pada saat yang sama, kesehatan Yangkakung mulai menurun. Aku melihat dengan pilu keletihan diwajahnya. Beliau selalu tersenyum meski menahan rasa sakit. Sungguh ingin aku meringankan keletihan dan rasa sakit dari wajah yang kucintai itu, tetapi aku hanya diam. Aku mulai dihantui mimpi-mimpi buruk dan ketakutan setiap kali melihat Yangkakung, aku takut kehilangan beliau. Hanya beliau yang kumiliki di dunia. Mbak Vita sudah menikah dengan Om Darwin dan sibuk mengurus dua anak mereka. Aku kesepian. Aku merasa sangat ketakutan.

    Rasa ketakutan yang luar biasa itu membuatku tanpa sadar menarik diri dari Yangkakung. Aku menjauhi beliau bukan karena aku tidak mau berada di dekatnya, tetapi aku tidak tahan melihatnya tanpa rasa ingin menangis. Ada perasaan kuat bahwa aku akan kehilangan beliau. Kasih sayang yang sangat besar dari Yangkakung meski dalam kondisi fisik yang makin menurun, membuatku semakin takut. Aku menolak diantar jemput Yangkakung lagi dengan alasan malu kepada teman-teman. Aku ingat hari itu, ketika aku dengan keras hati memaksa berangkat sekolah sendiri. Aku sengaja melangkah cepat dan tidak menoleh kebelakang, padahal aku tahu Yangkakung mengikutiku diam-diam dengan langkahnya yang makin tertatih. Sekuatnya aku menahan isakku. Aku harus berani, aku harus kuat, aku tidak boleh menangis, aku tidak boleh menengok ke belakang. Aku tidak mau lagi menyusahakan beliau. Aku ingin beliau sehat. Selama beberapa hari, Yangkakung terus mengikutiku dan aku terus mengeraskan hatiku untuk menolak diantar.

    Sekolahku terletak di dekat Stadion Manahan, biasanya aku dan Yangkakung suka berjalan melintasi stadion dan Yangkakung biasa menggendongku ketika aku letih. Namun ketika aku makin besar dan berat, bellau tidak sanggup menggendongku. Pagi itu aku tertegun menatap lubang besar yang sudah disemen rapi, kalau aku mengambil jalan memutar, aku pasti terlambat sampai ke sekolah. Aku nyaris menangis ketika tiba-tiba Yangkakung sudah berdiri dibelakangku dan menggendongku dengan dua lengannya yang mulai tampak kurus. Wajahnya pasi, napasnya terengah-engah berusaha menggendongku ke atas bahunya. Aku meronta turun dan bersikeras akan berjalan saja, tetapi Yangkakung memaksa karena takut aku terlambat. Yangkakung memaksakan sebuah senyum di sela napasnya yang putus-putus. Beliau mengulurkan tangan memaksa hendak mengangkatku, tapi lagi-lagi beliau tidak kuat. Aku melihat keputusasaan, kesedihan, dan penyesalan di bola matanya yang mulai berwarna kelabu. Air mataku merebak dan berkata bahwa aku akan berlari saja.

    Aku cium tangan dan pipinya yang mulai keriput dan berlari sekuatnya. Angin meniup kering air mataku, tetapi isakku masih tertahan ditenggorokan. Samar kulihat raut kecewa di wajah beliau yang selalu tersenyum kepadaku. Hatiku berdarah, rasa sakit, takut dan sedih semua berbaur menjadi satu. Itu hari terakhir Yangkakung mengantarku ke sekolah sebelum beliau di bawa ke rumah sakit.

    Lebih dari sebulan Yangkakung dirawat di rumah sakit karena penyakit ginjal dan kencing batu yang semakin parah. Hampir setiap hari aku ikut menjaga di ruamh sakit. Yangkakung jarang berbicara, beliau hanya sering menatapku. Sorot matanya berbicara banyak tentang rasa sakit dan kasih sayangnya kepadaku. Aku semakin takut mendekatinya. Umurku belum genap sepuluh tahun saat itu, aku tidak tahu bagaimana cara mengekspresikan dukaku, rasa cinta dan kasih sayang, rasa takut kehilangan dan rasa kesepianku. Aku hanya bisa berlari menjauh, meringkuk dalam ketakutanku akan masa depan tanpa bisa bicara kepada siapa pun. Siapa yang peduli pada ketakutan anak kecil sepuluh tahun yang bersembunyi di balik topeng kanak-kanaknya??

    Setelah sebulan lebih dirawat di rumah sakit, menjelang Hari Raya Idul Fitri, Yangkakung dipulangkan. Dokter sudah menyerah, begitu yang kudengar. Di rumah, Yangkakung dibaringkan di ruang tengah. Sering kulihat sorot rindu di matanya yang ingin memelukku, sementara bibirnya sudah kelu tidak mampu berbicara jelas. Betapa jahatnya aku ketika memilih untuk menjauh, takut mendekati beliau, menyembunyikan semua rasa sakit, pedih, dan dukaku jauh di dalam lubuk hatiku. Beberapa kali aku menangkap sorot mata kecewa di mata beliau ketika aku enggan mendekatinya.

    Aku biasanya diam-diam menangis di sumur belakang rumah. Aku tidak sanggup mendekati Yangkakung. Pertahananku akan runtuh jika aku memaksa mendekati beliau. Aku akan terpuruk, menangis dan memohon agar beliau kembali menjadi pahlawanku selama ini. Sering kali jeritan ketakutan kehilangan Yangkakung tercekat ditenggorokanku. Aku harus menjauh agar aku kuat saat hari perpisahan itu datang. Aku harus mulai belajar mengeraskan hati. Aku tahu, aku akan sendirian. Aku membutuhkan semua kekuatan yang kumiliki untuk bertahan hidup.

    Senin, dini hari 30 Juni 1986, delapan hari setelah ulang tahunku yang kesepuluh, kondisi Yangkakung memburuk. Kami semua tidak bisa tidur. Hujun deras mengguyur bumi. Menjelang pukul 03.00 pagi, dengan ketakutan yang kusembunyikan, aku melangkah mendekati Yangkakung yang terbaring lemah. Entah kenapa saat itu aku ingin sekali berada di sisi beliau. Foto Yangkakung yang terpajang di atas televisi terjatuh begitu saja ketika aku lewat. Aku terlompat kaget dan terpana menatap serpihan-serpihan kecil kaca bingkai foto yang berserakan di kakiku.

    Om Darwin yang ada di dekatku segera menarikku dan berbisik kepada Mbak Vita bahwa waktunya sudah tiba. Aku duduk di kursi, tulangku serasa lumpuh. Akhirnya hari itu datang juga. Aku tahu kematian akan datang, aku bisa merasakannya. Om Darwin, Mbak Vita, Yangti semua mendekat ke sisi Yangkakung. Aku seperti melihat tangan Yangkakung menggapai ke arahku. Aku terpaku tidak bisa bergerak. Ya Tuhan, kumohon jangan!! Aku menjerit dalam hati. Jangan Yangkakung dan jangan sekarang!! Aku belum siap!!

    “ Sembo,, ke sini...” panggil Mbak Vita lembut.

    Aku melangkah mendekat dengan ragu. Seperti ada jutaan kilo besi menggelayuti kakiku. Aku tahu bahwa Yangkakung bisa membaca ketakutan di mataku. Beliau menatapku seakan berkata betapa beliau sangat menyayangiku, aku harus kuat dan aku harus berani. Aku mendengar tarikan napasnya yang terakhir sebelum aku sampai ke sisinya. Aku melihat mata yang selalu teduh itu menutup mata untuk selamanya. Aku tidak menangis, aku tak bisa menangis, sebagian dari diriku seperti mati. Aku mati rasa. Jiwaku mati. Adakah kematian yang lebih menakutkan dari jiwa yang mati dalam raga yang hidup??

    Yangkakung dimakamkan hari Selasa, 1 Juli 1986 pukul 14.00 WIB. Saat pemakaman, aku melihat kharisma dan betapa dicintainya beliau oleh banyak orang. Para pelayat berjubel, Seniman, Budayawan, masyarakat umum, mahasiswa bahkan mantan mahasiswa beliau menghadiri dan mengantarkan Yangkakung ke peristirahatan terakhir. Aku tidak ingat lagi bagaimana rasanya saat itu. Silih berganti keluarga, sahabat Yangkakung, sampai mahasiswa beliau datang dan memelukku. Semua seperti mimpi buruk. Mataku kering bahkan ketika jenasah Yangkakung tertutup tanah untuk selama-lamanya.

    Aku berbicara, berjalan, dan berkumpul bersama sepupu-sepupuku seperti robot tanpa perasaan. Aku juga ikut membungkus uang logam dengan saputangan seperti kebiasaan pemakaman orang Jawa bersama para sepupuku. Aku ikut berjalan mengitari peti jenasah sesuai adat, melemparkan kepingan uang logam bercampur beras dan bunga, melemparkan segenggam tanah ke atas peti jenasah dan menabur bunga.

    Hari-hari selanjutnya, aku lupa bahwa Yangkakung sudah tiada. Aku masih merasakan kehadiran beliau. Ketika malam hendak tidur, aku seperti masih berada di dalam pelukan lengannya. Setiap subuh, aku masih dengan ritual yang sama, mandi sambil mendengarkan langkah sandal Yangkakung yang di seret, suara kompor yang dinyalakan dan cerek yang diletakkan di atasnya. Aku masih bersikap seakan-akan Yangkakung masih ada, menyiapkan setangkup roti, segelas susu putih dan sebutir telur rebus setengah matang untukku sarapan.

    Ketika hari pertama aku kembali ke sekolah setelah liburan panjang kenaikkan kelas , aku berjalan kaki ke sekolah dan merasa Yangkakung masih mengikutiku di belakang. Aku berjalan masuk ke kelasku dengan riang seperti biasanya. Teman-teman mengelilingiku , aku terpaku menerima ucapan pelukan duka cita dari teman-teman sekolah dan guru-guruku. Saat itu tangisku pecah tidak terkendali. Yangkakung sudah meninggal, beliau sudah tidak ada lagi. Beliau tidak akan pernah kembali. Aku sudah ditinggalkan sendirian . Sejak itu, aku tidak pernah lagi mau mandi di waktu subuh, aku benci pada susu putih, aku tidak pernah lagi merasakan kehadiran Yangkakung dan insomnia-ku dimulai detik ini.
  • kehilangan karna kematian.....sakit yg mendalam
    ...lobang yang dalam
  • I never say enough of thank you @Rendesyah‌ kamu jago sekali klu membuat cerita yg confirm akan buat pembacamu menangis :)
  • Speechless... Damn, aku jadi teringat masa kecil, bagaimana merasakan kehilangan dari keutuhan keluarga... Menyakitkan... Dan membuat saya terpuruk... So mending saya skip sampai cerita ini menuju dewasa...
  • Feel nya dapet banget :')
    Miss nenekku :' (neneknya papa . Entahlah gak tau manggilnya apa) :')
  • 'Kehilangan adl kematian kecil' (y)
  • ya tuhann...aku speechless :((
  • Kenapa selalu anak Ўğ jadi korban?
    Tabah ye sembo! ({})

    Kabar arie baik DOK :) cuman permasalahan buanng air kecil maseh ada :)
  • hehehe. kan harus selalu bersyukur biar nikmatNya terus bertambah. kabarnya sedikit flu nih, kondisi badan lagi ga bagus. udah baca dan ngebut dalam sehari, penasaran dengan perjalanan hidup arya. yang matahari juga udah saya baca, bagus ceritanya.

    sembo menjadi dewasa karena keadaan ya? kasian, diumur yang masih belia sudah punya luka di hatinya. saya suka quote 'kehilangan adalah kematian kecil'
  • ini terlihat seperti extrinsic factor pertama atas kehidupan tokoh utama. aku spt bisa membaca arahnya tekanan besar di umur belia. mas @Rendesyah... aku sudah tahu dari awal, mas sanggup. take your time to mold this epic story
  • @Rendesyah oh my god, gk bsa berkata kata ka, jgn lamaaaaaa yaaa,, cieee yg punya tugas negara ahay dahhh .. ╔╗╔═╦═╗╔╦╦╦══╗
    ║║║║║║║║║║╠╗╔╝
    ║╚╣╦║║╠╝║║║║║
    ╚═╩╩╩╩╩═╩═╝╚╝
    ka
  • @Rendesyah oh my god, gk bsa berkata kata ka, jgn lamaaaaaa yaaa,, cieee yg punya tugas negara ahay dahhh .. ╔╗╔═╦═╗╔╦╦╦══╗
    ║║║║║║║║║║╠╗╔╝
    ║╚╣╦║║╠╝║║║║║
    ╚═╩╩╩╩╩═╩═╝╚╝
    ka
  • Good job... *speechless*
  • @timmysuryo - jadi intinya apa yang dalam mas?? hehehehe,, pa kabar mas?? sukses dan sehat selalu ya,,

    @Adra_84 - waduh berarti tantangan buatku membuat cerita yang tidak membuat menangis nih mas,, hehehehe,, aku belum seberapa lah Mas,,

    @bayumukti - Maaf ya mas,, tidak ada maksud untuk mengingatkan dengan kejadian masa lampau Mas,, semangat mas,,

    @Bintang96 - maksudnya apa mas?? yang nenek itu

    @Zazu_faghag - tapi benarkan kehilangan kematian kecil?? hehehehehe

    @Gabriel_Valiant - maaf membuat speechless,, tapi itulah yang harus dihadapi oleh Sembo,,

    @arieat - Nah tuh kenapa ya?? aku juga belum paham tuh,, coba kita tanyakan ke KPAI,, hehehehe,,Kencing seperti itu sebenarnya wajar mas,, tapi intensitasnya seperti apa??

    @kiki_h_n - gimana mas kikiy sudah enakan belum?? aku yang sekarang malah drop,, kecapekan kayanya,,

    @erickhidayat - semoga aku sanggup ya mas,, hehehehe,, ini juga belajar ko tentang bipolar,,

    @GeryYaoibot95 - hahahahahha,, iya nie tugas yang amat berat,, kuliah plus riset,, ditambah bolak-balik jakarta-yogya,,

    @hantuusil - maaksih mas,, apa kabar nie??
Sign In or Register to comment.