It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Selamat menikmati dan berlibur,,
@hantuusil
@lian25
@jokerz
@khieveihk
@Brendy
@Just_PJ
@nakashima
@timmysuryo
@adindes
@Bonanza
@handikautama
@kiki_h_n
@dak
@Zazu_faghag
@ramadhani_rizky
@Gabriel_Valiant
@Syeoull
@totalfreak
@Yogatantra
@erickhidayat
@adinu
@z0ll4_0II4
@the_angel_of_hell
@Dhika_smg
@LordNike
@aii
@Adra_84
@the_rainbow
@yuzz
@tialawliet
@Different
@azzakep
@danielsastrawidjaya
@tio_juztalone
@Brendy
@arieat
@dhanirizky
@CL34R_M3NTHOL
@don92
@alamahuy
@jokerz
@lian25
@drajat
@elul
@Flowerboy
@Zhar12
@pujakusuma_rudi
@Ularuskasurius
@just_pie
@caetsith
@ken89
@dheeotherside
@angelsndemons
@bayumukti
@3ll0
@jamesfernand084
@arifinselalusial
@GeryYaoibot95
@OlliE
@callme_DIAZ
@san1204
@d_cetya
@Bintang96
Akhir 1987,,,
Siang yang terik, aku meletakkan tas sekolahku di atas tempat tidur dan menghempaskan tubuhku yang penat. Mataku menerawang menatap langit-langit kamar yang putih kekuningan. Perlahan aku menyusuri dinding yang mulai kelabu dan merasakan kerinduan pada pemandangan jendela besar di kamar belakang. Setahun lebih sejak Yangkakung pergi, aku kehilangan kamar yang biasa kutempati bersamanya.
Beberapa bulan setelah Yangkakung meninggal, Mbak Vita pergi mengikuti Om Darwin suaminya ke sebuah kota kecil di Sumatra Utara. Sejak itu, Yangti menyewakan dua kamar besar di belakang untuk mahasiswa. Aku dan Yangti pindah ke kamar depan yang disekat menjadi dua ruangan dengan salah satu lemari jati besar milik Yangkakung. Ruangan yang kutempati tidak luas, berukuran sekitar 3 x 1,5 meter, cukup untuk ranjang kecil dan sebuah meja belajar. Beruntungnya, aku memiliki pintu sendiri ke teras rumah, tempatku sering duduk melamun memandangi pola bayangan daun belimbing yang aneka ragam di ubin teras, salah satu kenangan masa kecilku yang tersisa.
Kepergian Yangkakung telah merengut semuanya. Merampas habis seluruh senyum, tawa dan kehangatan yang pernah ada di rumah, termasuk kewarasan Yangti. Aku memang tidak pernah dekat dengan Yangti. Seandainya pun Yangti sayang padaku, beliau tidak pernah menunjukkannya. Yangti selalu menunjukkan omelan, aturan, dan larangan yang disampaikan dengan keras. Yangti juga selalu melontarkan caci maki anak haram setiap kali beliau marah. Baginya, kehadiranku adalah perusak masa depan cemerlang yang seharusnya dimiliki Papaku, anak kesayangannya.
Kepergian Yangkakung telah membawa Yangti ke dalam dunianya sendiri yang tidak pernah kumengerti. Dunia yang tidak pernah ada aku didalamnya. Perlahan, Yangti mulai mengabaikan dan melupakan kehadiranku di dalam hidupnya. Hanya sesekali beliau teringat kepada lelaki kecil yang kesepian, merindukan kasih sayang dan perhatiannya. Itu pun sangat jarang terjadi. Beliau tenggelam dalam dukanya sendiri. Seandainya beliau mengijinkanku masuk, kami bisa membaginya, menopang beban kesedihan bersama. Namun, itu tidak pernah terjadi.
Seolah ingin mengusir segala bentuk kenangan, Yangti merampas semua mainan, buku-bukuku dan menyingkirkan semua buku Yangkakung dari dalam rumah. Aku menjerit marah, menangis, dan memohon, tetapi hati Yangti tetap membeku. Menurut beliau, aku masih terlalu kecil untuk membaca semua buku-buku Yangkakung.
Aku ingin berteriak protes, aku ingin mengaku bahwa sebagian buku-buku itu telah lama habis kubaca. Buku-buku itu adalah temanku, buku-buku itu telah membantuku bertahan hidup di tengah ketidakpedulian orang-orang padaku. Wajah dingin yangti mengelukan lidahku , Aku hanya bisa menangis ketika buku-buku itu berakhir di tukang loak dan beberapa diambil Mas Handoko, salah satu sepupuku dan teman-temannya. Kondisi ini membuatku mensyukuri keberadaan mahasiswa-mahasiswa yang menyewa kamar belakang.
Ada empat mahasiswa, Mas Faisal, Mas Galuh, Mas Rasyid dan Mas Koko. Keempatnya sangat baik dan sayang padaku. Mereka sering mengajakku ngobrol, memberiku makanan karena Yangti mulai melupakan bahwa perutku perlu diisi, dan mengajariku banyak hal. Mereka adalah mahasiswa psikologi pendidikan, mereka memiliki banyak buku yang menarik untuk aku baca, aku mulai betah berlama-lama tinggal di kamar belakang, sesuatu yang dibenci Yangti.
Aku tidak mengerti mengapa Yangti selalu marah setiap kali aku menghabiskan waktu bersama “mas-mas kos”, begitu biasanya aku menyebut mereka. Aku tidak peduli karena Yangti pun tidak peduli denganku. Yangti lebih suka melihatku sendirian dan kesepian daripada bergaul akrab dengan mas-mas kos. Melihat kedekatanku, Yangti bercerita kepada Mas Handoko, sepupu tertuaku setiap kali ia datang. Yangti menganggapku sebagai pembangkang dan suka melawan sehingga setiap kali Mas Handoko datang, ia selalu memarahiku dan mengingatkan “posisi”-ku yang bukan siapa=siapa. Aku hanyalah benalu di keluarga besar Prawiro Hadikusumo.
Semakin sering Yangti dan Mas Handoko marah, aku justru semakin melawan diri dan menghabiskan waktuku bersama mas-mas kos. Satu hal yang sangat menarik perhatianku yaitu kebiasaan mereka salat dan mengaji, sesuatu yang tidak pernah kulihat dalam keluarga kami. Samar-samar aku mengingat kenanganku kepada Yangkakung yang melakukan solat secara diam-diam di dalam kamar. Pada saat bulan Ramadhan, beliau mengajakku salat tarawih ke masjid dan salat Idul Fitri setahun sekali. Aku pun hanya mengikuti karena aku tidak tahu apa yang harus kubaca.
Yangkakung mengajariku banyak hal, tetapi tidak pernah mengajariku tentang agama, terutama islam. Mungkin beliau menganggapku masih terlalu kecil untuk memahaminya. Beliau tidak pernah memihak atau fanatik pada suatu agama tertentu karena beliau pengikut Pangestu. Aku hanya mengerti tentang Islam dari pelajaran agama yang kuperoleh di sekolah dasar negeri. Keberadaan Mas-mas kos dengan ritual keagamaannyaseakan menyentuh kebutuhan dalam jiwaku yang selama ini tidak pernah terisi, yaitu kebutuhan akan keberadaan Tuhan.
Ketika insomnia-ku semakin parah, kebutuhan akan keberadaan Tuhan terasa semakin kuat. Aku mulai takut pada kegelapan. Aku mengalami mimpi buruk seakan-akan jutaan tangan hitam mencengkeramku dan menjatuhkanku ke dalam lubang gelap yang tidak berdasar. Aku menjeritdan meronta sekuat tenaga untuk bangun, tetapi seakan ada sosok besar yang menindih dadaku hingga aku tidak bisa bangun. Ketika akhirnya aku berhasil bangun, semua terasa mengerikan sehingga aku mulai takut tidur. Orang Jawa menyebutnya sebagai ketindhihan, sedangkan dalam istilah kedokteran disebut somnambulisme.
Aku pun mulai merasakan sakit kepala yang tidak terhingga, entah karena kurang tidur atau letih. Seperti ada jutaan tangan menarik rambutku, begitu kuat mencengkeram kepalaku hingga berteriakpun aku tidak mampu. Terkadang rasa sakit itu berubah menjadi keinginan yang sangat kuat untuk bunuh diri. Di tengah malam, aku sering menangis dalam diam, berjuang agar aku tidak berlari ke dapur mengambil pisau dan mengiris tanganku. Aku tidak tahu kepada siapa aku bisa menceritakan penderitaanku ini. Adakah yang akan peduli?? Aku ingin sekali memberi tahu salah seorang mas-mas kos, tetapi ak takut mereka akan menganggapku gila.
Umurku baru sebelas tahun , sekolah dasar saja aku belum lulus, bagaimana mungkin aku sudah ingin bunuh diri?? Aku masih tetap Juara kelas, anak kesayangan guru, ketua kelas yang lincah dan periang, lelaki kecil yang mulai tumbuh dengan ketampanan yang unik. Aku adalah laki-laki kecil yang populer di sekolah. Tetapi ketika aku kembali ke rumah, aku mulai sendirian. Yangti tidak pernah menanyakan apakah hatiku melelahkan, apa aku lapar, bagaimana sekolahku. Aku berubah menjadi laki-laki kecil yang kesepian, ketakutan dan pediam. Ketika malam tiba, rasa takut semakin mengejarku seperti hantu. Setelah membaca “Sybil dengan 16 Kepribadiannya”, aku mulai dihinggapi ketakutan bahwa aku memiliki kepribadian ganda.
Keinginanku untuk mengakhiri hidup semakin kuat. Aku tidak tahan dengan penderitaanku. Aku mulai memikirkan cara untuk mati, tetapi tidak dengan cara yang mengerikan seperti mengiris tangan dengan pisau atau gantung diri. Menjelang akhir tahunku di SD, aku menemukan jalan untuk mengakhiri hidup. Aku sering pergi ke Unit Kesehatan Sekolah (UKS) dan mengeluh sakit. Sakit dengan keluhan apa pun pasti aku diberi pil kecil beraneka warna oleh guru pengurus UKS. Seingatku, ada tiga warna yang sering aku peroleh, yaitu putih, merah muda dan kuning.
Aku tidak pernah meminum pil-pil itu, tetapi menyimpannya di dalam saku. Hampir setiap hari aku pergi ke UKS. Kepala sekolah dan guru-guru mulai mencemaskanku, curiga, dan memberhentikan pemberian pil. Aku tidak pernah memperlihatkan roman muka yang kesakitan atau sedih sehingga mereka beranggapan bahwa aku lelah atau kurang perhatian. Mereka membiarkanku tiduran sebentar di UKS setiap kali aku datang mengeluh tidak enak badan. Tanpa sepengetahuan mereka, aku diam-diam mencuri pil-pil itu dari lemari penyimpanan obat.
Hari itu adalah hari yang meletihkan, rumah sepi, mas-mas kos sedang kuliah dan pulang menjelang mahgrib. Seperti biasa, aku tidak tahu Yangti ada di mana. Aku belum makan apa-apa sejak pagi dan seperti yang sering terjadi, tidak ada makanan di rumah. Aku terlalu letih untuk membuat sesuatu yang bisa kumakan. Aku jarang merasa lapar, sesuatu yang aneh di masa pertumbuhanku.
Sakit kepalaku datang lagi, mencengkeram seperti tangan-tangan setan dan mearikku ke dalam rasa sakit. Aku mencoba menghadirkan bayangan Yangkakung ke dalam imajinasiku dan berharap bisa mengobati rasa sakitku, tetapi aku tidak mampu melakukannya. Aku merasa hampa, kosong, dan kesepian. Aku tidak tahan lagi. Aku menutup korden jendela, mengambil semua pil yang selama ini kusimpan, menelannya satu per satu sambil menangis tanpa suara. Setelah pil-pil itu habis kutelan, aku berbaring dalam gelap dan menunggu kematian datang menjemputku. Anganku melayang membayangkan malaikat maut berwajah pucat dengan jubah hitamnya, seperti dikisahkan dalam dongeng-dongeng.
Aku tidak membayangkan bidadari-bidadari cantik dengan sayap putih dan lingkaran cahaya di atas kepalanya karena aku tahu tidak mungkin mereka yang akan datang. Saat itu aku tidak mengerti tentang arti dan konsekuensi bunuh diri, tetapi aku tahu tidak ada tempat bagiku di surga karena bunuh diri. Air mataku terus mengalir seperti anak sungai membasahi pipi. Bagian dari hatiku berharap seseorang akan datang dan menolongku. Aku takut pada kematian itu.
Berjam-jam aku berbaring diam dan tidak berhenti menangis. Tidak seorang pun datang mencariku, tidak ada yang peduli padaku, lalu mengapa aku tidak kunjung mati?? Mengapa Tuhan membiarkan aku sendirian alam hidup yang begitu sepi, mengerikan, dan menyakitkan ini?? Otakku sibuk mengingat sudah berapa banyak pil yang aku minum?? Sepuluh, dua puluh, tiga puluh, atau lebih?? Butuh berapa banyak pil hingga aku bisa mati??
Samar-samar dari kejauhan aku mendengar suara azan magrib berkumandang. Tangisku pecah kembali, aku terduduk dan masih hidup. Pil-pil itu tidak membunuhku, bahkan tidak membuatku merasakan gejala apa pun seperti mual atau pusing. Aku masih sama. Kesadaran itu datang, mengapa Tuhan tidak menginginkan aku mati?? Belum. Entah untuk suatu alasan apa. Tuhan mau aku hidup, aku bangkit dan nyaris berlari ke kamar belakang. Kuketuk pintu kamar Mas Faisal dan Mas Galuh. Mas Galuh membuka pintu, wajah tampannya sudah basah oleh air wudhu dan menggunakan sarung. Aku hampir berteriak meminta Mas Galuh untuk mengajarkan aku sholat. Mas Galuh bertanya apakah aku punya sarung. Aku menggeleng, nyaris menangis lagi. Aku baru menyadari kalau sarung pun aku tidak punya. Sarung terakhir yang kumiliki saat Yangkakung masih hidup, entah ada di mana. Seingatku, Yangti juga tidak memiliki sarung apalagi mukena karena aku tidak pernah melihat beliau memakainya. Hidupku sungguh menyedihkan. Aku mengiba. Mas Galuh bertanya apa aku bisa berwudhu. Aku berusaha mengingat ajaran berwudhu yang pernah aku dapatkan ketika mengikuti pelajaran agama di sekolah, tetapi tidak ada satu pun yang kuingat. Aku menggeleng letih. Mas Galuh melepas sarung dan menoleh melihat Mas Faisal yang sudah bersiap untuk sholat. Mas Galuh menggandengku ke kamar mandi dan mengajariku berwudhu dab Mas Galuh meminjamkan sarungnya dan kami pun sholat berjamaah.
Sejak itu, setiap pulang sekolah aku selalu ke kamar belakang. Mas Galuh memberiku buku kecil tentang tata cara sholat. Aku sholat bersama Mas Galuh, Mas Faisal, Mas Rasyid dan Mas Koko, tergantung siapa yang ada di rumah. Bila Mahgrib tiba, kami ber-lima sholat berjamaah, sesekali Mas Galuh mengajariku mengaji bila Yangti tidak memanggilku karena seharian ada di kamar mereka. Aku juga mulai tertarik membaca buku-buku agama yang mereka miliki, hatiku seperti haus. Kegiatan itu sesaat mengurangi sakit kepala dan Insomnia ku.
Yangti semakin jengkel dengan kegiatanku. Beliau menuduhku menjelek-jelekkannya di depan Mas-Maskos. Aku yang tidak pernah membantah atau melwan Yangti mulai sering beradu pendapat. Aku benar-benar menjadi pemberontak di mata Yangti, terutama ketika aku menolak bersekolah di SMP terbaik di Kota Solo, seperti yang beliau inginkan. Aku sengaja tidak belajar ketika ujian akhir tiba, meskipun begitu, aku tetap mendapatkan nilai tertinggi di sekolah. Namun, hasilnya tidak sebagus yang diharapkan guru-guruku. Ketika aku diterima di SMP pilihan Yangti, aku berbohong kepada Yangti karena saat itu Yangti tidak turut serta mengambil pengumuman. Yangti marah besar ketika aku menyampaikan kepada beliau kalau aku tidak di terima. Aku dibiarkan tidak bersekolah karena pendaftaran di SMP Negeri lainnya sudah ditutup.
Seminggu setelah sekolah dimulai, Tante Wiwik datang berkunjung, ia terkejut melihatku tidak sekolah. Belaiu bersikeras bahwa aku harus sekolah dan segera mengajakku pergi mencari sekolah. Tante Wiwik membawaku ke sekolah swasta terbaik di kota Solo. Namun, hatiku tidak tergerak sama sekali. Aku menolak dengan alasan terlalu jauh dari rumah. Alhasil, seharian kami berputar-putar Kota Sola mencari SMP yang masih menerima siswa. Kami pun nyaris putus asa dan beranjak pulang. Di tengah perjalanan, kami melewati sebuah sekolah yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah. SMP Muhammadiyah Putra, sekolah putra khusus islam.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Bapak Ali Arifin, sang Kepala Sekolah berdiri di gedung sekolah. Tante Wiwik segera menceritakan kondisiku. Kepala sekolah itu pun kemudian meminta rapor dan ijazahku dan mencermatinya.Tampak raut heran di wajahnya melihat nilai-nilaiku yang bagus dan akhirnya aku diterima.
Tuhan telah membuat rencana yang begitu indah untuk setiap makhluk-Nya. Sesuatu yang terkadang tidak pernah kita pikirkan, kita sangka bahkan kita harapkan. Aku diterima di SMP Muhammadiyah Putra dan tanpa sadar telah membuka banyak kisah di masa depan yang kelak memberiku banyak hikmah dalam hidup. Hikmah yang membuat aku lebih memaknai arti hidup danbelajar banyak tentang kebesaran Tuhan .
Aku yang sangat minim pengetahuan agama, kini dihadapkan pada suasana sekolah yang sangat agamis. Aku belajar lebih banyak tentang islam, meskipun masih dalam taraf pengetahuan sederhana tentang fikih dan akidah. Secara perlahan-lahan, nilai agamis mulai tertanam dalam hatiku. Meski awalnya masih dalam bentuk keharusan dan kewajiban sebagai tuntutan sekolah, tetapi seiring waktu, aku mulai merasakannya sebagai sebuah kebutuhan spritual yang sangat penting.
Masa SM-ku tidak seceria masa SD. Aku memasuki sebuah fase yang membuatku mulai gamang mencari jati diri. Aku mulai masa pemberontakanku sebagai seorang praremaja dengan melawan kekolotan pola pikir Yangti. Di satu sisi, aku semakin tersiksa oleh perasaan sakit serta ketakutan yang tidak aku mengerti sebabnya. Aku sering tidak masuk sekolah, bukan berarti aku keluyuran kemana-mana, aku hanya berdiam diri di dalam kamar dan tenggelam dalam rasa sakit. Fase ini kemudian yang kuketahui sebagai satu episode depresi dalam bipoler disorder. Pada episode ini, aku mengalami kesedihan yang berkepanjangan, tidak ingin bangun dari tempat tidur, makan, atau menikmati kegiatan sehari-hari seperti biasanya.
Episode ini memang tidak selalu aku alami. Aku cenderung mengalami episode mania dan depresi berulang-ulang bahkan dalam waktu yang bersamaan. Perlahan, aku mulai mengalami suasana hati yang berganti secara tiba-tiba antara dua kutub (bipolar) yang berlawanan, yaitu kebahagian dan kesedihan yang ekstrem. Pada umumnya, setiap orang pernah mengalami suasana hati baik dan suasana hati buruk. Akan tetapi, aku yang saat itu sudah menderita bipolar disorder memiliki mood swings yang ekstrem, yaitu pola perasaan yang mudah berubah secara drastis. Suatu ketika, aku bisa merasa sangat antusias dan bersemangat (mania), tetapi ketika mood-nya berubah buruk, aku bisa sangat depresi, pesimis, putus asa bahkan mempunyai keinginan untuk bunuh diri.
Aku cukup aktif mengikuti kegiatan sekolah. Aku terpilih untuk masuk dalam peleton inti atau pasukan inti baris-berbaris di sekolah. Peleton inti kami pernah menjuarai peleton inti se Jawa Tengah dan Yogyakarta. Nilai-nilaiku masih tetap bagus meskipun tidak secermelang masa SD. Aku juga cukup populer di sekolah, tetapi ada masa ketika aku merasa sangat tidak mampu menghadapi orang-orang dan membuatku memilih untuk tidak masuk sekolah. Yangti sering dipanggil pihak sekolah karena masalah absensiku, tetapi saat itu Yangti tidak bisa memberikan penjelasan apa-apa selain alasan “mungkin” aku sakit.
Pada masa seperti itu, aku menjadi lebih akrab dengan Mas Koko. Pembawaan Mas Koko yang ceria dan cenderung “semau gue” justru membuatku tertarik dibandingkan Mas-Mas lain yang cenderung pendiam. Bersama Mas Koko aku bisa tertawa dan bercerita apa saja. Mas Koko juga yang mengajariku menjadi seseorang yang lebih berani mempertahankan pendapat dan membela diri. Hal itu kemudian yang mendorongku untuk melawan Yangti di suatu senja yang suram dan mendung.
Aku sendiri tidak ingat apa yang menyebabkan pertengkaran kami. Seperti biasa, bila Yangti marah, beliau memakiku dengan sebutan anak haram. Entah karena saat itu aku sedang mengalami episode manis atau depresi, yang jelas aku merasa sangat marah dan tersinggung. Aku berteriak kepada Yangti. Beliau sempat kaget kemudian berteriak menyuruhku keluar dari rumah.
Aku pun lari begitu saja. Aku tidak ingat apa-apa selain ingin berlari pergi. Aku berlari tanpa tujuan, menembus cuaca gerimis tanpa alas kaki dan hanya dengan pakaian rumah. Aku tidak peduli pada sekelilingku, aku tidak sempat lagi merasa takut pada kegelapan senja yang semakin pekat menuju malam. Entah sudah berapa lama aku berlari, sampai Mas Iwan sahabat Mas Koko menyusulku dan mengajakku ke tempat kosnya. Tempat kos Mas Iwan sangat sederhana dan sedikit berantakan. Mas Iwan menyuruhku berganti pakaian dengan kaos dan celana pendek miliknya, ia memberiku segelas teh hangatsetelah aku selesai menumpahkan isakku. Tidak berapa lama Mas Koko muncul dan merengkuhku dalam pelukannya. Ia membujukku pulang, tapi aku menggeleng dengan keras kepala walaupun Mas Koko sudah menegaskan bahwa Yangti tidak berniat mengusirku. Beliau hanya emosi sesaat. Dengan pola pikir egois seorang anak yang baru beranjak remaja, berusia 12 tahun, aku tidak memikirkan apa pun selain keyakinanku yang paling benar. Aku bersikeras dan bahkan menyatakan bahwa aku ingin tinggal di tempat kos Mas Iwan.
Mas Koko bertanya sampai kapan. Aku terdiam sesaat memikirkan pertanyaan Mas Koko. Sampai kapan aku menumpang hidup di rumah kos Mas Iwan, bagaimana aku sekolah, dan bagaimana hidupku nantinya. Aku sadar aku harus pulang, tetapi rasa sakit yang membuatku enggan untuk pulang. Aku bisa sangat keras kepala. Aku bersikeras tidak akan pulang selama Yangti belum berhenti memanggilku anak haram.
Mas Koko menyerah, tetapi ia memintaku agar memikirkan masa depanku. Mas Koko berjanji akan bicara kepada Yangti. Aku memeluk Mas Koko erat. Aku merasa memiliki seorang Kakak yang memahamiku, tidak hanya memaksaku melakukan ini dan itu, mendoktrinku dengan kewajiban ini dan itu. Aku sangat berterimakasih kepada Mas Koko dan Mas Iwan. Seandainya di perjalanan hidupku selanjutnya aku bisa menemukan orang-orang seperti Mas Koko dan Mas Iwan, mungkin cerita hidupku akan berbeda...
Aku tinggal di kos Mas Iwan lebih dari seminggu. Selama itu, aku tetap berangkat sekolah seperti biasa. Yangti tidak pernah mencariku atau menanyakan aku. Suatu sore, Mas Koko menyuruhku pulang dan meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja. Ia setengah memaksaku pulang. Aku sadar, aku tidak bisa terus menerus merepotkan Mas Koko dan Mas Iwan. Aku memutuskan untuk mengemasi barang-barangku dan ikut Mas Koko pulang.
Yangti tidak berkata apa-apa ketika melihatku pulang, aku langsung masuk kamar dan tidur. Hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasa tidak terjadi apa-apa. Sampai suatu hari, Mas Handoko datang. Aku tidak tahu apa yang diceritakan Yangti kepada Mas Handoko. Aku mendengar keributan antara Mas Handoko dan Mas Koko dari dalam kamar. Aku bergegas keluar dan menyusul Mas Koko yang berlari ke kamarnya. Aku terkejut melihat Mas Koko mengemasi barang-barangnya dibantu Mas Rasyid. Ia berkata padaku kalau ia akan pindah, membuatku tergugu, dan kakiku lemas seperti tidak bertulang. Mas Koko bilang kalau ia menyayangiku, tetapi ia tidak bisa tinggal lebih lama. Ia berharap aku tetap menjadi anak yang optimis dan periang. Jangan menyerah pada keadaan. Aku hanya berbaikkan dengan Yangti. Mungkin jalan pikiran Yangti tidak selalu sejalan denganku, tapi aku harus belajar memahami Yangti. Yangti sebenarnya sayang sekali padaku, hanya mungkin Yangti tidak bisa menunjukkan kasih sayangnya seperti yang aku mau. Semua akan indah pada waktunya.
Aku menangis terisak-isak seperti anak balita yang direbut mainannya. Aku sangat menyayangi Mas Koko. Membayangkan kehilangan Mas Kokoseperti mencabut sesuatu dari dalam hatiku. Penolakan Mama, meninggalnya Yangkakung dan kepergian Mbak Vita telah meninggalkan sebuah lubang besar yang menganga di hatiku. Lubang itu kini semakin besar dan dalam. Memberi selalu sejalan dengan menerima. Memiliki pun selalu dengan kehilangan. Hanya sesaat aku memiliki seseorang yang menyayangiku dan kusayangi. Kini, lagi lagi ia harus direnggut dari hidupku. Sore itu Mas Koko pergi meninggalkan rumah dan aku tidak pernah melihatnya lagi sejak saat itu. Mas Koko hanya menjadi satu serpihan kenangan dari masa awal remajaku yang tidak akan pernah aku lupakan.
Aku kembali melanjutkan hidupku dalam sepi, berusaha ceria, menjadi anak manis, menutup lubang besar dihatiku, memendam sakit kepala, insomniaku, juga ketakutanku ke alam bawah sadarku. Perlahan aku mulai membangun benteng pertahanan diri dari kepedihan dan rasa sakit. Ketika aku duduk dibangku SMP kelas dua, teman-teman sekolahku memperkenalkan pada komunitas pendengar radio terkenal di kota Solo. Aku dan beberapa temanku rajin menyambangi sebuah staisun radio sepulang sekolah.
Disana aku berkenalan dengan Panji, yang juga seorang anggota komunitas. Kabarnya, ia berpacaran dengan Ani, temanku. Aku tidak tahu persis pacaran itu seperti apa dalam kenyataan selalu seperti apa yang kubayangkan dari buku-buku yang pernah kubaca. Aku tidak pernah memiliki keinginan untuk pacaran dengan seseorang. Umurku juga baru 13 tahun. Ketika Panji kemudian putus dengan Ani, entah bagaimana kami menjadi dekat. Panji banyak bercerita tentang mimpinya untuk bisa kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta jurusan desain. Ia sudah dua kali mendaftar, tapi tidak lulus tes. Ia hampir patah semangat.
Aku menyemangati Panji agar tidak patah semangat. Aku ingat Yangkakung selalu menanamkan kepadaku untuk mengejar mimpi setinggi apa pun impian itu. Aku yakin kepada diriku sendiri bahwa aku mampu mencapai apa pun selama memiliki niat dan kemauan. Mudah memang menyampaikan apa yang diajarkan Yangkakung kepada Panji, sementara jauh di lubuk hati, aku menyimpan keraguan. Mampukah aku mengejar impianku?? Lalu apa impianku??
Sewaktu kecil, ketika ditanya tentang cita-cita, aku selalu menjawab ingin menjadi seorang arsitek karena menjadi arsitek adalah impian Yangti kepada Papaku. Yangti selalu bercerita kalau Papa seharusnya bisa menjadi seorang arsitek hebat apabila tidak bertemu dengan Mama. Kalau aku menjadi arsitek, aku berharap bisa menebus kegagalan Papa dan membuat Yangti lebih menyayangiku. Aku ingin mengembalikan senyum ceria di bibir Yangti yang dulu sering kulihat saat Yangkakungmasih hidup.
Kini, apa pun yang kulakukan tidak akan pernah bisa menebus kekecewaan Yangti kepada Papa. Arsitek tidak lagi menjadi cita-citaku, aku hidup tanpa cita-cita. Seiring perjalanan hidupku, aku menemukan impianku. Impian untuk mendapatkan cinta. Aku tidak mengharapkan apa-apa, entah kesuksesan atau kekayaan. Aku hanya menginginkan cinta, suatu bentuk rasa tulus tanpa pamrih, menginginkan yang terbaik demi kebahagian orang yang dicintai agar aku tidak lagi sendirian menjalani rasa sakit dan kepedihan yang kurasakan.
Aku mungkin masih terlalu muda untuk berbicara tentang cinta dalam pemahamanku yang masih sangat sederhana. Apa pun bentuknya, hanya cinta yang aku mau. Cinta yang kugambarkan sebagai sebuah keluarga yang lengkap Papa, Mama, Adik atau Kakak dalam sebuah hubungan yang hangat dan harmonis, seperti kasih sayang yang kudapatkan dari Yangkakung. Cita-cita dan impianku saat itu adalah memiliki keluarga yang bahagia, impian yang sederhana, tetapi dalam perjalanannya nyaris tidak mampu kuraih.
Sejak hari itu, aku dan Panji menjadi dekat. Meski usia kami terpaut sangat jauh, lebih dari sepuluh tahun, tetapi Panji masih sangat kekanak-kanakan dalam banyak hal. Aku belum tahu bagaimana saat itu aku merasa dekat dengan seorang laki-laki, apakah itu sebuah kedekatan antara seorang adik dan kakak atau justru awal mula aku memasuki dunia gay. Yang pasti aku sangat nyaman dengan Panji, saat berbicara dengannya, saat dekat dengannya aku merasa nyaman. Aku yang jauh lebih muda darinya justru lebih banyak memberi masukan tentang hidup dan semangat untuk meraih impiannya. Aku setia menemaninya berlatih melukis dan mendesain sebagai syarat dasar agar bisa diterima di ISI.
Hubunganku Dengan Panji tentu saja mendapat protes keras dari Yangti. Satu hal yang tidak pernah kuduga dari kemarahan Yangti adalah kehadiran Mama beberapa hari kemudian. Mereka menceramahi Panji selama berjam-jam tentang aku yang masih anak polos dan tidak sepantasnya dinodai oleh seseorang apalagi dia sesama jenis. Di rumah, Mama menemuiku dan memulai ceramah yang sama tanpa ada pelukan penuh kerinduan atau kecupan sayang. Saat itulah amarahku memuncak. Kepedihan yang selama ini aku simpan rapat-rapat di dalam hatiku meledak seperti bom waktu. Mama yang tidak pernah peduli padaku, tidak mau mengakuiku, tiba-tiba datang menceramahiku tentang sesuatu yang aku tidak tahu letak kesalahannya. Dengan emosi, aku berteriak agar Mama berhenti menceramahiku karena aku tidak seperti Mama yang berhubungan seks bahkan hingga hamil di luar nikah dan membuang anak begitu saja.
Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Sedetik kupikir Mama yang telah menamparku, tetapi ternyata bukan. Bulik yang menamparku sangat keras hingga pipiku membekas merah. Aku hanya tergugu diam, tidak tahu harus bersikap bagaimana dan berbuat apa. Bulik dan Mama mulai menangis, Mama menceritakan versi lengkap kisah kelahiranku dan mengapa aku harus tinggal bersama keluarga Papaku dengan terbata-bata.
Mama bercerita tentang keluarganya yang miskin, Mama hanya bisa menyelesaikan bangku SMA-nya karena tidak memiliki biaya dan terpaksa bekerja sebagai pencatat skor di sebuah rumah bilyar tempat Papa sering menghabiskan waktu. Mama hanyalah gadis naif yang terpesona oleh ketampanan dan kekayaan Papa. Mama tidak menceritakan secara detail proses hubungan mereka, selain tiba-tiba ia telah hamil. Mama datang ke rumah Yangkakung dan berjumpa dengan Yangti yang tidak percaya bahwa bayi dalam kandungan Mama adalah cucunya. Saat itu, Papa sudah tidak ada di Yogyakarta. Papa bekerja di sebuah perusahaan konstruksi milik keponakan Yangkakung di Bali.
Mama nekat melarikan diri dari keluarga dan menyusul Papa ke Bali. Mama tidak sempat bertemu Papa. Mama hanya bisa menemui Om Gunawan, Keponakan Yangkakung, atasan Papa. Mama menceritakan semuanya dan Om Gunawan berjanji akan mengusahakan yang terbaik. Dalam keadaan yang putus asa, Mama sempat mencoba bunuh diri dan menggugurkan kandungannya, tetapi tidak berhasil. Mama kembali ke Yogyakarta dan menemui keluarag Prawiro Hadikusumo, dan kali ini Mama bertemu Yangkakung.
Yangkakung dengan bijak menerima Mama, membawa Mama ke Jakarta dan bertemu dengan adik Yangti Eyang Buni. Yangkakung berjanji akan merawat Mama dan kandungannya sampai melahirkan. Setelah bayi itu lahir, barulah dilihat apakah bayi itu mewarisi darah Prawiro Hadikusumo atau tidak. Mama bercerita bagaimana ia diperlakukan seperti halnya pembantu rumah tangga sampai aku lahir. Ketika aku lahir, semua orang terpesona oleh ketampananku dan aku diakui secara mutlak sebagai cucu keluarga besar Prawiro Hadikusumo. Meski demikian, harapan Mama untuk bisa menikah dengan Papa sirna. Pada saat yang hampir bersamaan , Papa telah menikahi perempuan yang kelak aku kenal sebagai Mama Ratna.
Ketika umurku baru beberapa bulan, Mama kabur dari rumah ayang Buni. Mama sempat tertipu oleh seorang perempuan yang menjanjikan pekerjaan, tetapi hanya berniat menjual Mama. Untungnya Mama bisa melarikan diri dengan mengesampingkan rasa malu. Mama kembali ke keluarganya di sebuah gang sempit di Solo. Aku sempat tinggal di sana selama kurang lebih satu tahun sebelum akhirnya Mbak Vita dan Bude Ari, Kakak Papa, menemukanku menangis dan terbaring sakit sedangkan Mama tidak memiliki biaya ke dokter.
Melalui pembicaraan serius, akhirnya diputuskan bahwa Mama akan menitipkanku ke Yangkakung, Yangti dan Mbak Vita. Sementara Mama akan merantau ke Sumatera mencari pekerjaan. Mama berjanji akan mengambilku kembali bila sudah mampu. Kenyataannya memang tidak seindah janji. Cerita Mama terhenti hingga disitu. Aku enggan bertanya lebih lanjut mengapa Mama tidak pernah datang mengambilku kembali karena jawabannya sudah sangat jelas, sejelas kenyataan yang aku lihat. Mama ingin melupakan aku dan membangun hidupnya sendiri. Mengambilku kembali sama saja membuka luka lama dan mengeruk aib yang ingin ia hapus.
Mungkin seharusnya aku tersentuh dengan cerita Mama. Ya, aku memang tersentuh. Aku merasa iba kepada Mama, tetapi lubang yang Mama ciptakan di hatiku sudah terlalu dalam, bahkan tidak dapat lagi kulihat dasarnya. Aku tidak tahu dengan cara apa aku dapat menutup lubang itu. Mama memelukku, tetapi hatiku mati rasa. Aku hanya mengiyakan ketika Mama memintaku untuk menjauhi Panji sebelum kembali kepada keluarganya di Jakarta. Aku memang menjauhi Panji setelah itu, tetapi bukan karena permintaan Mama. Aku menemuinya dan menjelaskan bahwa kami tidak pernah bisa melanjutkan apa yang pernah kami mulai. Aku masih belum dewasa, aku tidak ingin membebaninya dengan masalah-masalahku di saat ia sedang berjuang meraih mimpinya. Panji memang terpukul dengan keputusanku dan aku tidak akan pernah melupakan tatapannya yang terluka.
Aku tidak tahu sejak kapan Panji mulai menyukaiku, dan aku juga tidak mengerti hubungan sesama jenis pada saat itu, yang aku tahu aku merasakan bahwa aku nyaman dan sayang kepadanya. Kami tetap berteman baik. Selama bertahun-tahun kemudian, Panji masih rajin mengirimi aku kartu dan surat. Setiap kali kami bertemu, kami masih tetap berbincang seperti biasa. Aku bahagia ketika akhirnya ia bisa meraih mimpinya di terima di ISI Yogyakarta. Aku telah menutup pintu hubungan “lebih dari teman” yang mungkin pernah disiratkan oleh Panji.
Aku tidak tahu apakah Panji cinta pertamaku atau bukan, tetapi aku tahu bahwa aku spesial buat Panji. Aku adalah cinta pertamanya. Ia menuliskan perasaannya dalam lembaran surat panjang yang masih kusimpan sampai saat ini. Dalam suratnya, ia menyebutkan kekagumannya pada kepribadianku yang dimatanya begitu tegar, dewasa dan tidak lari dari kenyataan hidup. Hal itu membuatnya merasa minder. Bertahun-tahun kemudian, kami dipertemukan kembali dan aku menyadari betapa saat itu kehadiranku dalam hidup Panji sangat berarti, seperti pelita kecil yang memberinya cahaya dalam kegelapan. Beberapa tahun kemudian, Panji pernah mengirimiku surat tentang perasaannya yang tidak pernah bisa melupakannya. Kami sempat bertemu kembali di media sosial facebook. Aku terharu karena kenangannya tentangku masih begitu indah. Aku pernah menjadi seseorang yang sangat istimewa baginya. Sekarang, aku berbahagia untuknya. Panji kembali menyukai wanita, dan ia telah menemukan jodonya tiga tahun lalu, bahkan sudah mempunyai seorang putri cantik.
Pertengahan kelas 2 SMP, Yangti sempat memberi tahu kalau rumah Yangkakung akan dijual dan kami harus pindah ke daerah Perumahan Yang Terletak di Solo Baru, dekat dengan Bude Ari. Rumah yangkakung terlalu besar untuk kami berdua. Setelah kepergian Mas Koko, tidak lama kemudian Mas Faisal, Mas Galuh, Mas Rasyid ikut menyusul pergi. Satu hal yang tidak pernah kusangka adalah yangti tidak memberi tahu kapan tepatnya kami akan pindah. Ketika sore menjelang magrib, aku pulang dari sekolah setelah selesai mengikuti pelatihan peleton inti, aku mendapti rumah telah kosong, gelap gulita dan sunyi senyap.
Aku tidak mampu menangis. Aku hanya merasakan sesak yang menggumpal di tenggorokan. Begitu tidak berartinya aku sehingga Yangti melupakan kehadiranku?? Aku hanya bisa duduk termenung di tepi trotoar memandangi air selokan depan rumah yang mengalir diantara bebatuan. Aku berharap seseorang akan mengingat ketidakberadaanku dan menjemputku. Hari sudah hampir malam, bagaimana aku bisa menyusul Yanti ke daerah Perumahan di Solo Baru. Aku tidak punya kendaraan dan tidak tahu apakah angkutan umum masih ada.
Tuhan seperti mendengar doaku. Boy, seorang teman komunitas pendengar radioyang cukup akrab denganku, tiba-tiba muncul dengan motornya. Ia terkejut mendapati akusendirian di rumah yang gelap. Dengan perasaan malu, sedih, marah dan kecewa campur aduk menjadi satu, aku menjelaskan bahwa seisi rumahku telah pindah dan mereka melupakan aku.
Boy menatapku dengan simpati dan membujukku agar tidak menangis. Ia mengantarkanku ke rumah Bude Ari. Sesampainya di sana, masih ada beberapa orang yang sibuk menurunkan barang-barang dari truk. Yangti mengontrak rumah di sebelah masjid, berjarak sekitar tiga rumah dari tempat Bude Ari, rumah kecil dengan dua kamar. Hatiku sakit, tidak seorang pun peduli dan bertanya mengapa aku baru terlihat atau menanyakan keberadaan Boy di sana. Semua orang sibuk menata barang-barang dan melihat kehadiranku seperti sesuatu yang wajar, seolah-olah aku memang sudah ada di sana sejak tadi.
Kenangan itu sangat membekas dihatiku. Aku semakin yakin bahwa tidak ada seorang pun yang cukup menyayangi atau memedulikan keberadaanku, ada dan tidak adanya aku tidak pernah penting. Menyakitkan, tetapi itulah kenyataan yang harus aku hadapi. Aku tidak boleh terpuruk dalam kenyataan pahit itu, aku harus kuat. Topeng ceria yang telah beberapa tahun aku latih, semakin kupoles dengan indah. Aku hadir di lingkungan baru dengan topeng keceriaan dan kebahagian.
Aku menutup rapat lubang besar yang menganga dihatiku, seolah-olah lubang itu tidak pernah ada. Aku hadir sebagai remaja manis yang lincah dan ceria. Aku dengan mudah mendapatkan banyak teman dan akrab dengan lingkungan sekitar. Aku terus bersekolah dan aktif di peleton inti dengan penuh semangat, meraih nilai-nilai yang lumayan bagus, aktif di kegiatan masjid sebagai remaja masjid. Aku berjuang keras menepis rasa sakit yang sering sekali datang menghantui. Aku harus hidup dan tidak seorangpun boleh tahu penderitaanku karena tidak akan ada yang peduli. Lebih baik aku menyimpan semua penderitaanku sendiri daripada aku harus menerima luka akibat ketidakpedulian itu. Aku simpan dalam waktu yang sangat lama.
Tulisan mas semakin oke. Berbeda jauh dengan cerpen pertama yg mas posting, dulu typo bnyk bgt tp skrg sulit ditemukan.
Ada gambaran diriku dlm cerita ini. Rasanya gak nyaman...
anak belasan taun dengan tekanan hidup yang besar. nyesek bacanya T_T. makin suka sama ceritanya keren (y)
bingung mau komen apa
tapi ko' mentionannya gak ada di notif ya???
Jadi inget sobat gw yang nyaranin ke psikiater