BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Cerita Seorang Bipolar Disorder Tamat

1356721

Comments

  • oke deh,sebagai pembaca yg baik akan selalu sabar nungguin TSnya buat post O:-)
    semangat ya @Rendesyah :D
  • BAGIAN SATU

    Surakarta, 1980.

    Pagi yang indah, semburat cahaya matahari pagi menembus sela-sela daun belimbing, membentuk beraneka ragam pola bayangan di ubin teras, tempatku bermain mobil-mobilan sendirian. Rambutku yang hitam mengeluarkan aroma sampo bayi yang lembut. Mbak Vita menyebutnya sebagai pagi yang istimewa. Karenanya, aku pun ia mandikan lebih awal dengan penuh kelembutan. Aku menikmati kasih sayang itu, masa-masa terindah dalam hidupku.

    Masa kecilku sampai hari itu, merupakan masa yang paling bahagia dalam hidup. Masa aku tidak jauh berbeda dengan anak-anak di dunia ini. Aku murni dan polos. Aku masih bisa hidup dalam dunia kanak-kanakku yang menyenangkan., tetapi itu tidak lama. Sore itu, umurku belum genap empat tahun. Umur yang masih terlalu muda untuk dapat mengingat. Namun kenyataannya, akupun mengingatnya bahkan masih sering memimpikannya. Kenangan itu begitu jelas, sejelas aku mengingat pola bayangan daun belimbing di atas ubin, sejelas aku mengingat bajuku yang begitu bagus untuk hari ini. Sebuah hari yang spesial, aku tidak mengerti mengapa, tetapi kemudian aku menyadarinya sebagai awal berubahnya hidupku yang aman dan damai.

    Seperti semua anak di dunia ini, kata pertama yang bisa mereka ucapkan adalah sebutan untuk orangtuanya, entah itu Bapak, Ibu, Mama, Papa, Ayah, Bunda atau apa saja, begitu juga aku. Aku memanggil Mbak Vita dengan panggilan Mami, meski aku tahu ia bukan Ibuku. Aku tidak punya seorang untuk dipanggil Bapak. Di rumah itu, hanya ada eyang kakung yang kupangil Yangkakung dan eyang putri yang kupanggil Yangti. Awalnya, Mbak Vita tidak keberatan jika aku memanggilnya Mami. Ia justru kelihatan senang sekali, tetapi suatu hari ia tiba-tiba memintaku untuk memanggilnya Mbak Vita. Saat itu aku tidak banyak bertanya, tetapi aku menurut asalkan itu membuat Mbak Vita senang. Aku sayang sekali kepada Mbak Vita yang telah merawatku sejak kecil. Aku tidak mau membuatnya sedih.

    Belakangan ketika aku sudah dewasa, aku mengerti mengapa aku tidak boleh memanggilnya Mami lagi. Mbak Vita adalah kakak bapakku, tetapi sampai usiaku enam tahun, ia belum menikah karena merawatku. Setiap ada laki-laki yang mendekatinya, selalu saja mundur karena mungkin aku adalah anak Mbak Vita. Setelah aku tidak lagi memanggil Mbak Vita dengan sebutan Mami, Mbak Vita menemukan jodohnya. Om Galih namanya. Seperti Mbak Vita, Om Galih juga sangat sayang padaku. Ia sering mengajakku bermain dan berkumpul bersama teman-temannya yang juga memanjakanku. Aku senang sekali, sayangnya entah kenapa Yangti tidak suka aku terlalu dekat dengan Om Galih dan teman-temannya. Saat itu aku tidak terlalu peduli, yang penting Yangkakung tidak pernah melarangku.

    Hidupku sangat menyenangkan. Semua orang sayang kepadaku. Saat melihat foto-foto masa kecilku, aku maklum. Aku memang lucu dan menggemaskan saat itu. Ya, semua orang bilang aku anak yang sangat manis. Semua rasa sayang yang aku dapatkan membuatku tidak pernah lagi memikirkan sebutan bapak atau mama. Terkadang, ketika mendengar sepupuku memanggil sebutan itu, aku jadi sedikit sedih. Akan tetapi, itu tidak berlangsung lama. Aku selalu cepat melupakannya.

    Di pagi yang cerah ini, yang dikatakan Mbak Vita sebagai hari istimewa, aku dikenalkan kepada sepasang laki-laki dan perempuan yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Aku diminta memanggil mereka dengan sebutan Bapak dan Ibu. Aku pun hanya menurut. Bagiku itu bukan masalah. Aku justru merasa senang karena akhirnya aku sama seperti sepupu-sepupuku yang punya bapak dan mama. Terlebih lagi, Bapak dan Mama-ku ini juga membawa seorang makhluk kecil ganteng dengan mata bulat besar dan rambut keriting. Aji namanya.

    “ Mama!! Mama!! Aku bukan bukan Mamamu!! “

    Aku tidak menangis, aku tidak marah. Aku bahkan tidak mengerti apa arti semuanya. Aku hanya tertegun ketika melihat Bapak memukul Mama sampai menangis. Aku pun kemudian segera digendong pergi oleh Mbak Vita. Aku bertanya kepada Mbak Vita mengapa Mama marah dan Bapak memukul Mama. Mbak Vita hanya memelukku dan bilang kalau mulai hari ini jangan panggil Mama lagi kepada perempuan itu. Panggil ia Tante atau Mama Ratna, yang boleh memanggilnya Mama hanya Aji. Aku ingin bertanya mengapa, tetapi aku memilih diam.

    Sejak saat itu, aku hampir tidak pernah bisa bermain dengan Dik Aji lagi. Mama Ratna selalu menyembunyikannya di rumah belakang, sedangkan aku tinggal bersama Yangkakung, Yangti dan Mbak Vita di rumah depan. Kami jarang bertemu dengan mereka. Bahkan, laki-laki yang harus kupanggil Bapak pun sering menghindariku. Setiap kali aku terpaksa bertemu dengan Mama Ratna , matanya selalu menatapku dengan sorot mata kebencian. Aku bingung tidak mengerti. Apa salahku?? Aku jadi kesepian lagi,kecuali menjelang lebaran karena saat itu semua sepupuku selalu datang ke rumah sehingga aku punya banyak teman bermain. Ketika sepupu-sepupuku datang, Aji pun jarang diperbolehkan bermain bersama kami.

    Biasanya, aku dan ketiga sepupuku, Suci, Dendy dan Chandra suka menggoda Aji dengan mengintipnya di kamar dan mengejutkannya sampai menangis. Setelah itu kami akan berlari, bersembunyi, memanjat pohon belimbing di depan rumah Yangkakung, dan berpura-pura itu adalah rumah pohon kami. Kami baru turun apabila Mbak Vita atau Tante Wiwik berteriak menyuruh kami masuk ke dalam rumah karena hari sudah senja. Kami menikmati kebebasan sebagai kanak-kanak, bermain dibawah pohon belimbing bersama-sama.

    Yangti biasanya mengomel karena kami merusak tamannyayang indah, sedangkan Yangkakung hanya akan tertawa dan mengusap-ngusap kepala kami dengan penuh kasih sayang. Halaman rumah Yangkakung dan Yangti bagai surga bagi kami. Banyaknya pohon buah-buahan, seperti pohon kelapa, belimbing, pepaya, mangga, nangka, durian, srikarya dan tidak lupa pohon jambu bol yang memiliki tekstur daging lebih lembut dan lebih padat dibandingkan dengan jambu air. Selain itu juga terdapat aneka tanaman bunga dan tanaman hias seperti mawar, melati, anggrek, suplir, sampai tanaman dewandaru yang memiliki buah cantik dengan aneka warna sesuai tingkat kematangannya, mulai dari hijau, kuning, orange sampai merah.

    Aneka tanaman ini membuat halaman rumah selalu dipenuhi kupu-kupu, belalang dan bekicot, di dunia kuliner Prancis disebut escargot, selalu membuatku tersenyum bila mengenangnya. Yangkakung adalah seorang koki andal dalam mengolah bekicot menjadi makanan yang sangat lezat. Biasanya kami berlomba mengumpulkan bekicot untuk digarami Yangkakung dan digantung di pohon mangga samping samping rumah semalam suntuk. Keesokan harinya, bekicot itu dipecahkan dan dipisahkan dari dagingnya yang lunak berlendir kemudian dicuci bersih dan diolah menjadi sate atau bekicot goreng. Rasanya gurih dan lezat hampir seperti ampela ayam.

    Suatu pagi, kami ingin makan bekicot. Yangkakung belum pulang dan jangan harap Yangti, Mbak Vita atau Tante Wiwik mau memasaknya buat kami. Meskipun rasanya lezat, namun harus kuakui bekicot adalah binatang yang menjijikkan bentuknya. Kami nekat untuk memasaknya sendiri. Kami pura-pura berkemah dengan jemuran seprei yang terbentang sebagai tenda. Kami menyusun batu, ranting-ranting kering sebagai tungku, dan kaleng bekas sebagai panci. Hasilnya?? Jangan ditanya. Mencicipinya pun kami enggan apabila melihat bentuknya yang hitam hangus dan sangat mengerikan. Belum lagi, bekas tungku memasak bekicot itu meninggalkan lubang besar di atas hamparan rumput manila. Yangti marah besar, rumput manila hijau segar yang rajin dipotong itu ternoda dengan sebuah lubang bekas rumput yang terbakar. Kami diomeli panjang lebar. Malam harinya, ketika Yangkakung pulang, beliau mengajak kami berburu bekicot dan keesokan harinya kami menikmati hidangan sate bekicot yang lezat.

    Salah satu keusilan dan kreativitas kami semasa kecil adalah berenang di kolam renang, lubang besar tempat Yangkakung membuang sampah berupa daun-daun kering. Kami mengalasi dasar lubang dengan kertas koran atau daun pisang dan pura-pura berenang didalamnya lengkap dengan baju renang. Kami juga sering bermain ke Stadion Manahan dan berlomba lari di sana. Benar-benar kenangan yang tidak terlupakan.

    Selain itu, salah satu kenangan masa liburan kanak-kanak yang tidak terlupakan adalah ketika datang dua orang yang mengaku sebagai tante dan omku. Aku tidak pernah mengenal mereka, padahal aku kenal semua om dan tanteku. Mereka bertengkar dengan Yangti. Yangti melarang mereka mengajakku jalan-jalan. Aku sempat kesal dengan Yangti, aku ingin jalan-jalan dengan tante dan om yang kelihatannya juga sangat sayang kepadaku. Sebenarnya, Yangkakung dan Mbak Vita memperbolehkan, tetapi aku tidak jadi pergi karena Yangti tidak memberi izin.

    Keesokan harinya aku diajak pergi oleh Tante Wiwik dan Deasy. Sebelum pergi, Mbak Vita memelukku dan berpesan kalau ada yang menanyakan aku ini anak siapa, bilang saja anak Tante Wiwik. Aku juga diminta memanggil Tante Wiwik dengan sebutan Mama. Aku nyaris menangis, Tante Wiwik bukan mamaku. Aku tidak punya mama. Aku tidak mau Tante Wiwik marah seperti Mama Ratna.

    Tante Wiwik tersenyum memelukku dan berbisik lembut bahwa ia tidak akan marah. Aku boleh memanggilnya mama, aku pun menurut karena sejujurnya aku senang memanggilnya mama dan memanggil om Hari, suaminya dengan sebutan Papa. Kedua orang itu sudah seperti orangtuaku sendiri. Aku, Suci, Dendy dan Chandra sudah seperti saudara kandung. Aku sering berharap bisa menjadi bagian dari keluarga mereka. Setiap kali lebaran, aku selalu bergabung dengan keluarga mereka untuk berfoto bersama. Mengenang mereka selalu membuat hatiku terasa hangat.

    Aku diajak ke sebuah rumah sederhana, berbeda dengan rumah Yangkakung yang megah dengan halaman rumput yang asri. Rumah itu seperti rumah kebanyakan orang desa, beberapa dindingnya terbuat dari gedheg atau jalinan bambu. Disana banyak orang dan seperti ada pesta. Aku tanya siapa yang ulang tahun. Tante Wiwik bilang itu pesta pernikahan. Aku pun bertemu kembali dengan tante dan om yang kemarin batal mengajakkupergi. Tante itu sangat senang melihatku, digendengnya aku ke tempat om dan tante yang sekarang menjadi pengantin. Aku dikenalkan dengan orang yang harus kupanggil Simbah, lalu kepada Pakde dan Bude.

    Aku bingung terlalu banyak om dan tante bagiku. Belum lagi sebutan pakde, Bude dan simbah yang terasa asing ditelingaku. Aku tidak paham siapa mereka. Aku diam saja. Di pesta itu, aku dipakaikan pakaian khas jawa, lalu disuruh duduk dekat pengantin. Aku diperhatikan banyak orang. Bagiku sudah biasa. Setiap keluar rumah, aku selalu menjadi pusat perhatian orang di jalan. Selalu ada yang mencubit pipiku atau menciumku, kata mereka aku lucu sekali. Biasanya aku senang diperhatikan orang, tetapi kali ini aku merasa tidak senang. Mata mereka tidak ramah kepadaku, mereka terus berbisik-bisik bila melihatku. Mereka menyebutkan sebagai anak haramnya Tina yang ganteng karena bapakku masih keturunan ningrat.

    Aku tidak tahu arti semua itu, yang jelas aku tidak suka. Aku takut, marah dan kesal. Aku bukan anak haramnya Tina. Aku tidak kenal siapa itu Tina. Aku tidak ingin berlama-lama berada disini, tetapi aku tidak mungkin merengek meminta pulang. Aku harus bertahan sampai acara usai dan menyembunyikan perasaanku di balik senyuman. Sejak itu, aku tidak pernah datang ke rumah itu. kalau Tante dan om itu datang ke rumah, aku tidak mau lagi diajak pergi. Akhirnya, tante dan om itu tidak pernah datang lagi.

    Peristiwa itu membuatku bertanya-tanya siapa itu Tina, apa itu anak haram, dan anak siapa aku. Selama ini aku yakin kalau aku ini anak Yangkakung dan Mbak Vita, sebuah pikiran sederhana seorang bocah empat tahun. Akan tetapi, sekarang aku jadi ragu. Kalau memang benar aku anak Yangkakung dan Mbak Vita mengapa aku tidak boleh memanggil mereka Papa dan Mama?? Mengapa aku harus memanggil papa kepada orang lain?? Lalu siapa mamaku?? Apa mama Ratna??

    Kalau aku memang anak papa dan mama Ratna, mengapa mereka kelihatan tidak sayang kepadaku?? Aku sedih. Aku tidak mengerti mengapa papa dan mama Ratna tidak pernah memeluk dan menciumku seperti mereka memeluk dan mencium Aji, Andri maupun Lulu. Andri dan Lulu adalah adik Aji yang kemudian hadir dalam hidupku. Di hari Minggu atau hari libur mereka sering pergi tamasya, tetapi tidak pernah sekalipun mengajakku, biasanya aku hanya mengintip kepergian mereka dari jendela dengan sedih.

    Kesedihan itu tidak pernah lama karena Yangkakung selalu mengajakku jalan-jalan. Begitu pula ketika Aji dibelikan baju baru atau mainan baru, yangkakung juga akan membelikan aku baju dan mainan baru. Seolah-olah antara aku dan Aji selalu dipersaingkan. Aji sangat tampan sementara aku mirip dengan anak Jepang. Orang-orang bilang aku manis, tetapi tidak seganteng Aji. Aku tidak peduli, toh lebih banyak orang yang menyukaiku. Kata orang, Aji lebih ganteng, tetapi ia tidak ramah dan tidak selincah aku. Aku lebih lincah, ramah dan periang.

    Ketika usiaku sudah memasuki usia sekolah, aku sangat senang bersekolah. Aku yang pemalu mulai lebih berani dan tidak kesepian lagi. Aku berangkat dan dijemput oleh Yangkakung. Aku iri melihat teman-temanku yang berangkat diantar papa dan mamanya. Sering kutanyakan kepada Yangkakung, mengapa papa dan mama Ratna tidak mau mengantarku?? Sambil menggendongku, Yangkakung bilang bahwa aku tidak membutuhkan papa dan mama karena aku sudah punya Yangkakung. Meskipun tidak mengerti, aku cukup puas dengan jawaban itu. Aku bangga karena teman-temanku tidak ada yang diantar Yangkakung-nya. Aku pun bahagia karena aku cucu kesayangan Yangkakung. Yangkakung sayang kepada semua cucunya, tetapi aku adalah kesayangannya.

    Ketika liburan, sepupu-sepupuku datang, saat itu ada tiga cucu Yangkakung yang sebaya, yakni aku, Suci dan Aji. Yangkakung selalu memanjakan kami bertiga, tetapi aku selalu dinomorsatukan. Suatu hari, aku berebut makanan dengan Dendy, Yangkakung mengambil makanan itu dan memberikannya kepadaku. Om Hari, ayah Suci sangat marah. Aku tidak tahu mengapa Om Hari tega mengambil keris Yangkakung dan hampir menusukku, tetapi berhasil ditepis oleh Yangkakung, lengan Yangkakung terluka, aku menangis meraung-raung.

    Om Hari marah dan menganggap yangkakung tidak adil karena lebih menomorsatukan aku daripada Suci, Yangkakung hanya tersenyum dan berkata bijak, walau Suci juga cucunya tapi Suci memiliki orangtua yang menyayanginya sedangkan aku tidak punya siapa-siapa selain beliau. Om Hari menangis mendengar jawaban Yangkakung. Sejak saati itu, Om Hari menjadi lebih sayang kepadaku. Ia selalu menjadi papaku, dalam arti yang sebenarnya, ketika aku masih kecil. Aku bahkan medengar ia ingin menjadikanku putra sulungnya, tetapi ditolak oleha Yangkakung dan Yangti. Setiap kali aku mengenang peristiwa itu, aku selalu menangis, betapa Yangkakung mencintaiku. Beliau satu-satunya orang yang paling aku cintai di dunia ini melebihi siapa pun.

    Yangkakung mengajarkan aku tentang mimpi, harapan dan cinta. Setiap malam beliau selalu menceritakan dongen untukku seperti Keong Emas, Ande-Ande Lumut, Kisah Mahabrata, dan cerita lainnya. Yangkakung mengajariku tentang kebaikan, pentingnya impian, kuatnya harapan, dan kata hati dari dongeng-dongeng itu. Yangkakung juga menceritakan kisah nabi-nabi. Yangkakung seorang muslim di KTP-nya,tetapi beliau juga mengikuti Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu) yang membuatnya menjadi sosok yang menjunjung tinggi toleransi beragama. Bagi yangkakung, agama boleh banyak ragamnya, tetapi Tuhan hanya ada satu dan semua agama mengajarkan hal-hal yang sama, yaitu cinta dan kebaikkan.

    Yangkakung bernama Prawiro Hadikusumo. Beliau seorang yang sederhana, lembut, disiplin, rajin dan karismatik di mataku. Laku kejawen yang beliau hayati dan amalkan dalam Pangestu selalu menekankan pada pribadi yang sederhana, santun dan berbudi luhur. Yangkakung tidak pernah malu mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti kebanyakan laki-laki pada masa itu. Beliau selalu bangun lebih dahulu di saat subuh, menjerang air, membuat sarapan dan menyapu. Aku biasanya terbiasa terbangun karena suara langkahnya yang khas, suara sandalnya yang diseret. Pakaian kebesaran beliau ketika di rumah, yaitu kaus singlet putih dan sarung. Aku suka duduk berayun disarungnya setiap kali beliau duduk bersantai di kursi rotannya.

    Yangkakung berprofesi sebagai dosen di bidang seni, Yangkakung memiliki nama besar pada saat itu, beliau adalah figur seniman teater Indonesia yang dengan tulus mencurahkan hidupnya untuk kesenian yang utuh. Pengabdiannya dalam senia teater Indonesia telah dibuktikan dengan berkarya, mengajar, mendirikan berbagai kelompok teater, mengordinasi kegiatan kesenian baik dalam kepanitian maupun pribadi dan apresiasi seni kepada masyarakat umum.

    Rumah Yangkakung adalah surga buku, Yangkakung sangat gemar membaca. Saat usiaku tiga tahun, aku sudah bisa membaca karena Yangkakung berlangganan majalah bobo untukku,yang habis kubaca tidak lebih dari satu jam. Aku selalu sendirian karena Yangti melarangku bermain keluar rumah. Aku pun haus akan bacaan dan diam-diam aku sering mencuri buku-buku Yangkakung untuk kubaca. Tentu saja buku yang berbahasa Indonesia karena sebagian besar koleksi buku Yangkakung berbahasa Inggris dan Belanda. Buku-buku itu berisi tentang komik pewayangan atau novel.

    Ketika duduk di bangku sekolah dasar, aku sudah membaca sebagian buku Pearl S. Buck, Barbara Cartland, Agatha Christie, Amt Tan, Paul I. Wellman, Karl May, Tolstoy, Alexander Ripley, Sidney Sheldon, N.H Dini, Marga T, Mira W,, sampai R.A. Kosasih. Benar-benar bacaan yang mengerikan utuk anak seusiaku. Walaupun demikian, bacaan anak-anak seperti dongeng Grimm, Hans Christian Andersen, Enid Blyton, Astrid Lindgren, sampai Laura Ingalls Wilder yang bukunya juga di filmkan sebagai serial Little House in The Prairie juga habis aku baca.

    Aku sering menciptakan kisah imajinasiku, berkhayal tentang keluarga bahagia dengan formasi lengkap papa, mama dan anak-anak, mementaskan sendiri dongeng yang kudengar dari Yangkakung atau dari buku yang kubaca. Itulah duniaku, tanpa teman selain teman sekolah yang tidak pernah datang ke rumah, entah kenapa, setelah aku dewasa aku menyadari semua ini karena strata sosialku saat itu jauh di atas rata-rata temanku.

    Aku tidak mengerti benar apa arti perbedaan strata sosial, tetapi menjadi cucu dari seniman besar seperti Prawiro Hadikusumo yang berdarah biru membuatku berbeda dengan teman-temanku. Hal ini menjadi perdebatan besar antara Yangkakung dengan Yangti ketika memasukkanku ke sekolah dasar negeri sederhana, yang muridnya sebagian besar dari kalangan menengah kebawah, bukannya sekolah dasar kaum elite atau bangsawan. Yangkakung yang bersahaja ingin aku berbaur dengan segala lingkungan dan tidak ingin aku membeda-bedakan manusia dari strata sosialnya, tetapi berdasarkan kebaikan hatinya, salah satu hal yang kelak selalu membuat aku berbeda pendapat dengan Yangti yang menjunjung tinggi perbedaan strata sosial.

    Perbedaan strata sosiallah yang membuat aku mengerti mengapa aku tidak memiliki Papa dan Mama. Suatu hari ketika usiaku menjelang enam tahun, datang seorang wanita berwajah manis dan memeiliki mata seperti mataku. Ia menangis dan memelukku. Ia bilang kalau ia adalah Mamaku, Mamaku yang sebenarnya. Ibu kandungku. Laki-laki yang bersamanya adalah suaminya, yang harus kupanggil Papa Juntak. Aku menoleh kepada Yangkakung dan tatapanku seakan bertanya,, “Benarkah ia Mamaku, Mamaku yang sebenarnya??” Yangkakung mengangguk. Aku kaget, tetapi aku senang kalau selama ini aku tidak mengerti mengapa Mama Ratna membenciku, sekarang akupun sudah mengerti. Aku bukan anak kandungnya, wajar saja kalau ia benci kepadaku. Aku tidak peduli lagi mengapa Papa juga ikut-ikutan membenciku, padahal aku anak kandungnya. Sekarang aku punya Mama dan Papa Juntak yang sayang kepadaku.

    Ketika Mama dan Papa Juntak pulang, Mbak Vita menunjukkan setumpuk surat kepadaku. Semua surat ditulis Mama untukku. Sekarang aku boleh membacanya. Disurat itu, Mama menuliskan tentang kehidupannya di Medan dan betapa ia merindukanku. Aku pun menemukan beberapa foto Mama bersama Papa Juntak. Aku bangga ternyata Mamaku cantik dan matanya persis seperti mataku.
  • Aku. Hilangin namaku dari mention. Kalo tamat baru mention.
  • @rendifebrian‌ - oleh dengan senang hati,, hahahahaha
  • Wow... the details. Introduction yg sangat detail. Mungkin ada yg akan mempersoalkan chapter yg ini tapi bagi aku yang ini perlu (refer back to the title).
  • @Adra_84‌ apa kabar mas?? Semoga sehat selalu,, pasti banyak yang kurang srek dengan pembukaan chapter ini,, hehehe,,
  • @Rendesyah‌ aku baik2 aja :) harapnya kamu juga baik2 aja.

    Jarang sekali pembukaan yg kayak gini di mana2 cerita bf. Yg selalu sih novel2. Bagiku details yg begini perlu kerna kita bisa menyelami kehidupan dia secara lebih menyeluruh daripada sekejap sekejap flashback, bolak balik kadang2 hanya bikin pusing. Why do we need to write a flashback when you can do it in 1 go? heheh..
  • Awal yang bagus :)
    Mention ya kalau update ;)
  • selamat pagi
    terima kasih atas mentions nya
    slmt berkarya kembali mas
  • Terus dilanjutkan.... Detail dan rinci, alamat bakal sedih sesuai judulnya.... Btw nanti kisah cintanya dengan siapa yah? Aji?
  • pendahuluan yang pas, tetep mensen ya kalo apdet. ^^
  • Kemane je DOK? Baru nongol :)

    Awal yg detail ye, jangan ada hubungan sedarah ya :)
  • @Rendesyah, akhirnya.... di teruskan juga. aku.sudah lumayan bisa memetakan detail ini dengan apa yg akan dialami tokoh utamanya
  • @Adra_84 - Aku baik-baik saja ko,, hehehehehe,,

    @Bintang96 - makasih mas,, baru baca ceritaku ya?? hehehehe,, makasih ya sudah mau membaca

    @lian25 - malam mas lian,, selamat menikmati kembali cerita yang aku tulis,,walaupun yang ini bukan 100% cerita dari ideku,, gimana kabarnya?? semoga sehat ya,,

    @bayumukti - halo mas bayu,, gimana kabarnya?? wah memang judulnya terlihat sedih ya mas?? hehehehe,, kita liat saja nanti kisah percintaannya seperti apa,,

    @kiki_h_n - aku bersyukur aku adalah diriku,, hehehehe,, apa kabar mas kiki?? habis baca cerita pertama ku yang tentang Verza dan Arya?? hehehehehehe,, akhirnya dibaca juga cerita yang itu,,

    @arieat - sekarang lagi bolak-balik Jakarta-Yogya,, hehehehe,, kalau lagi capek banget jadi susah mau nulis mas,, jadi agak terbengkalai cerita yang ini,, Mas Ariet gimana kabarnya??

    @erickhidayat - halo Prof?? hehehehhe,, sudah lama tidak berinteraksi dengan dirimu mas,, gimana kabarnya?? semoga sehat selalu ya,, wah sudah memetakan ya,, hehehehehe,,
Sign In or Register to comment.