It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Berpuluh tahun aku harus hidup dalam "kesepian" yang maha kelam.
Tak ada cinta yang sebenarnya.
Tak ada cinta yang berbalas.
Semuanya adalah unrequited love---cinta bertepuk sebelah tangan.
Aku masih ingat bagaimana pahitnya jatuh cinta pada seorang straight sejati. Saat pandangan matanya padaku berisikan "pandangan kosong" tanpa cinta meskipun tak terhitung "umpan" dan pengorbanan yang telah aku lakukan.
Tak terhitung rasa lukaku hanya untuk mengejar impian manis yang melompong. Tak berisi apa-apa.
Johan---the Sumatra boy.
Straight yang kuburu---dan tiba-tiba aku sadar bahwa aku tak bisa meraihnya.
Logika. Kenyataan. Tak bisa direkayasa.
Aku sudah lupa Johan. Sudah 3 tahun yang lalu.
Dan aku sudah tahu bahwa aku tak bisa menciptakan mmpi jadi kenyataan jika memang aku tak punya daya di dalamnya.
Kuminum lagi seteguk.
Kurasakan air putih itu mengalir di kerongkonganku.
Aku menahan nafas.
Ubay.
Ubay.
Ubay.
Aku bertemu Ubay.
Bukan. Salah.
Aku dipertemukan dengan Ubay.
Aku "diberi" seseorang bernama Ubay.
Siapa yang telah berbaik hati memberikanmu Ubay, wahai Agus--gay jahanam terkutuk?
Bukan siapa.
Tapi Allah SWT.
Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dia memberiku Ubay.
Memberiku 'diamond" terbaik di dunia.
Bagaimana engkau tahu dia adalah diamond terbaik di muka bumi?
Hatiku berkata.
Nafasku bercerita.
Degup jantungku yang menceritakannya.
Maka apa yang harus engkau perbuat selanjutnya, jatulelaki?
Apa? Ceritakan.
Ungkapkan.
Bersyukur.
Aku berterimakasih.
Aku mengucap syukur pada-Nya.
Di tengah "hina dinaku" aku percaya Tuhan Maha Tahu.
Tuhan mengerti meskipun dunia mencibir.
Dunia yang "keras", belantara perjuangan ini menghujat dan merendahkan perbuatan ini.
Aku tak peduli manusia.
Aku percaya Tuhan.
Allah SWT.
Dzat paling dasyat di segala kehidupan ini.
Tak terbantahkan lagi.
Karena aku percaya.
Ubay akan datang beberapa saat lagi.
Di kamar ini.
Dan jika Ubay datang, maka apapun yang terjadi setelah itu adalah segalanya takdir Tuhan.
Semuanya sudah digariskan.
Sudah ada peta yang menggambarkan pernik cerita selanjutnya.
Yang menggaris sempurna tak bisa dihapus kembali.
I believe in destiny.
"Mas, aku masih antri nih. Banyak yang mau potong." SMS Ubay membuyarkan "kontemplasi"-ku.
Aku buru-buru membalas SMS-nya.
"Iya. Ntar usai langsung SMS aku. Kutunggu depan rumah. Dekat pagar."
"Okay mas."
Aku memang minder. Memang tidak percaya diri.
Tapi aku melihat ada "harapan".
Apakah harapanku salah?
Semoga tidak, Tuhan.
"Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku meski kau tak cinta kepadaku".
Lirik Dewa itu sangat meng-inspirasiku.
Sangat dalam memberikan semangat dalam hidupku.
Apa yang tidak mungkin terjadi dalam hidup ini?
Apa?
Tak ada yang tak mungkin.
Semangat, Jatu!
Semangat!
Kamu bisa.
Buru-buru aku melompat dari kasurku.
Aku membuka pintu depan rumahku, dan berjalan ke halaman depan.
Aku sampai di pagar.
Kulihat Ubay berdiri, memegang handphone Nokia-nya, sedang mengetikkan sesuatu.
"Hai, Ubay. Ayo masuk. Selamat datang di rumahku."
Dalam kegelapan malam, yang hanya diterangi lampu jalanan saja, Ubay tersenyum kepadaku.
"Hai, mas."
Ubay.
Dia sudah di sini.
Dan Ubay baru saja memangkas rambutnya.
He looks gorgeous.
Ganteng sekali.
Marvelous.
Super keren.
Rambutnya dibuat pendek.
Dan aku sudah "fall in love" padamu.
Tahap 1.
Ubay berjalan malu-malu masuk ke dalam rumah.
Ya, rumahku yang juga sederhana.
Seperti kapal pecah. Berantakan.
Semuanya berserakan tak tentu arah.
Bahkan kursi di ruang tamu-pun sudah gak layak disebut kursi lagi.
"Ke kamarku saja yo.." pintaku.
Ubay cuma mengangguk saja.
Mungkin dia kaget ya melihat "gudang" di depan matanya.
My bedroom.
Ubay was finally there.
He looked around a bit and showed his surprise.
"Gee, you are an addict of mobile phones, uh!" he said.
He was just surprised if not wondered about the posters I attached on the wall. All was mobile phones. Yup. I love those gadgets. They always attract my attention.
"Find it hard to believe, uh?" I said.
"A bit. Just never thought that you really stick them all on the wall." he added.
I just laughed a little.
Those posters made my bedroom "warm and alive".
Just my opinion.
I am happy with that. Up to now..
He really looked younger than before.
I watched him. Intensely.
I was watching him may be..
"What?" he said. Wajahnya tampak agak malu. Sedikit.
Mungkin aku terlalu berlebihan "mempelajari" tampilan barunya.
"You look more handsome with your new hair cut." kataku.
"Alah..apaan yo?" katanya.
Tersipu ya Ubay?
Tapi memang bener, kamu kelihatan jauh lebih menarik dengan potongan seperti itu.
Apa karena listrik cinta yang menjalar hingga aku melihatmu menjadi semakin "charming" saja ya?
May be.
Mungkin karena ElectroLove.
ElectroLove memang "memabukkan".
Trust me.
Untuk merileks-kan diri kami masing-masing.
Mulai suasana di barber shop, antrinya Ubay di sana, bahkan sedikit pemandangan indah yang dilihatnya di sana.
Lalu kisah lainnya, rumahnya di Borneo, teman-temannya.
Apa saja.
Semuanya.
Dan kami makin akrab saja.
Aku suka kedua mata indahnya. Mata terindah dalam hidupku.
Aku suka sekali berlama-lama memandangnya.
Entahlah.
Mata adalah bagian terindah yang bisa menimbulkan jutaan efek.
Dan Ubay tidak mampu berlama-lama menatap mataku.
Dia berkali-kali menghindar. Mungkin tak enak saja.
"Would you please spend the night here, Ubay?" tiba-tiba aku bertanya, di kala Ubay sedang bercerita tentang hal-hal "umum" lainnya.
"Hmmm...I mean it. Would you spend the night here?" aku mengulanginya lagi.
Would you please spend the night here, Ubay?
Would you please spend the night here, Ubay?
Would you please spend the night here, Ubay?
Would you please spend the night here, Ubay?
Would you please spend the night here, Ubay?
Would you please spend the night here, Ubay?
Tuhan. Akhirnya aku "mengundang" Ubay untuk menginap di kamarku.
Lega rasanya bisa mengatakannya.
Pokoknya lega.
Kutunggu reaksi Ubay. Wajahnya tetap se-charming biasanya.
"Hmm.." katanya.
"Please. Besok pulang Subuh aja yo. Kita ngobrol-ngobrol." tambahku.
Aku deg-degan.
Bagaimana kalau Ubay menolak?
Bagaimana kalau undangan-ku disalah artikan?
Bagaimana kalau Ubay menganggap aku ini "cheap" dan gampangan?
Bagaimana kalau....
Parah.
Imajinasi negatifku sudah meledak-ledak di kepalaku.
"Kan gak ada acara kan?" tambahku lagi.
Kutatap kedua bola matanya.
Ubay, please...pekik batinku.
Keringetan aku.
Malu kalau Ubay menolaknya.
Tapi biarpun dia menolak ya sudah.
Yang penting aku sudah berusaha sebaik-baiknya.
"Tapi Subuh aku pulang lho ya, mas." jawabnya kemudian.
Tuhanku..........
Terimakasihhhhhhhhhhhhhhhhhh....
Jantungku langsung berdegup kencang. Sangat kencang. Sangat dasyat.
Electrolove yang kurasakan semakin meninggi voltasenya.
"Nah, gitu lah Ubay. Ntar aku alarm. Subuh pulang." kataku.
Ubay mengangguk.
Tuhanku.
Maafkan aku. Ampunilah aku.
Saatnya sudah tiba.
Saatnya sudah datang untuk melanjutkan plot kisah ini selanjutnya.
Mengikuti takdirku.
Menjalani garis hidupku.
Entah apa yang ada di benak Ubay.
Aku tak tahu.
Yang jelas, Ubay "berkenan" menginap malam itu----untuk pertama kalinya----setelah berhari-hari kami bertemu, mengobrol, berkirim SMS, bercakap-cakap di udara dan merasakan "the growing feeling".
Mungkin aku yang mulai jatuh cinta padanya.
Aku yang mulai merasakan pesona ElectroLove di hatiku.
Aku tak bisa membohongi diriku.
Aku tak bisa menghilangkan perasaan itu.
Memang demikian adanya.
Aku melepas kaosku. Hanya memakai kaos singlet saja. Bercelana jeans JOFA kesayanganku. Memakai ikat pinggang.
Aku menarik nafasku.
Pelan.
Ubay masih bersandar di sampingku.
Duduk. Punggungnya bertumpu pada tepian kasur. Dekat almari.
Malam semakin bergerak.
Sekitar jam 21.00 malam.
Sepi.
Hanya terdengar lalu lalang kendaraan bermotor di jalanan di luar sana.
Dan mungkin gerakan lengan jam dinding di atas kami.
Atau mungkin detak jantungku saja.
"Hmmm...ngantuk, Ubay?" tanyaku.
Ubay tersenyum.
"Belum mas. Belum ngantuk kok." balasnya.
"Woi, aku suka kalung di leher kamu. Keren." kataku sesaat kemudian.
Ubay menunduk sedikit, memegang kalung terbuat dari tali---mungkin karet--- yang melingkar ketat, dengan bandul kecil di lehernya.
"Oh, ini ya? Ini hadiah dari beli pasta gigi mas. Kupakai." katanya.
"Tapi bagus. Cocok buat kamu." kataku. Gak basa-basi kok.
Apa adanya saja.
"Biasa saja, mas. Apanya yang bagus?' ujar Ubay.
Aku memandang matanya.
Aku tetap telentang.
Diam.
Tenang.
Sepi.
"Hmm..berbaringlah di sini, Ubay." kataku kemudian.
Tetap deg-degan.
Gugup.
Kok jadi nervous begini ya.
Kenapa aku ini?
"Hmm.." katanya gak jelas.
Tapi Ubay merubah posisi badannya.
Ia bergerak perlahan berbaring di sampingku.
Di sebelahku.
Aku bergeser sedikit menjauh, memberinya ruang untuk terlentang.
"Nah, gitu. Anggap kamarmu sendiri." kataku.
Ubay saat itu memakai kaos yang press body-nya.
Ganteng. Pokoknya ganteng.
Dan celana selutut---dari jeans.
Terlihat bulu kakinya.
Terlihat juga rambut di sekujur tangannya.
Ubay berbaring di sampingku.
"Eh, lampunya dibuat kecil aja yo." kataku.
"Tuh, tombolnya yang sebelah kanan."
Ubay bangkit sebentar dari berbaringnya.
Bergerak mematikan lampu Neon yang berpendar terang di kamarku, menggantikannya dengan lampu TL 5 watt bernyala incandescent yang terpasang tepat di sebelahnya.
Lalu kembali ke sebelahku.
Kamar sudah temaram.
Sudah meredup iluminasinya.
Sudah agak gelap.
Tidak seterang tadi.
Punggung yang cukup "melengkung".
My favorite.
Tuhan. Apakah ini waktunya?
Tuhanku.
Apakah benar malam ini kami akan "bersama" ?
Ataukah ini hanya angan harap kosongku belaka.
"Ubay...what should we do?" kataku sambil tersenyum pelan. Memandang dagu dan pipinya.
"Hmm..emang mau ngapain mas?" tanya Ubay.
Dia melirik aku.
Menggerakkkan kedua kakinya yang selonjor di sampingku.
"Gak tahu mau apa. Tidur kan?" jawabku bercanda.
"Iyo, mas. Tidur..." katanya membalas.
Sepi.
Terputus.
Hening.
"Terus?" tanyaku.
Entahlah kok jadi aku yang "memancing-mancing"-nya.
"Terus apa?" Ubay bertanya. Menimpalinya.
"Ya...begitulah.." kataku.
Malu mengungkapkan segalanya dengan kata-kata "yang mengena".
Aku gerakkan tanganku pelan ke arah Ubay.
Ubay hanya memandangnya saja.
Tanganku menyentuh lengannya---yang padat.
Ubay diam.
"Hm...dingin." kataku padanya.
Ubay tersenyum.
Aku merangkul lengannya. Tanganku menyusup ke lengannya, melingkar.
Badanku bergerak merapat ke arahnya.
Insting saja.
Naturally goes like that.
Ubay diam. Masih diam.
"Sekarang gak dingin lagi." kataku.
Kupandang matanya.
Ubay menggeleng.
"That's fine." jawabnya.
Adakah Ubay menolakku?
Adakah Ubay tidak menginginkannya?
Aku merasakan kehangatan di tubuhku.
Nikmat sekali rasanya.
"Suka dipeluk Ubay?" tanyaku lagi.
Entahlah, aku menjadi "pembicara" paling dominan malam itu.
"Dipeluk? Hmmm...suka.." katanya lirih.
Ya..
Lirih.
Pelan.
Hampir tak terdengar.
Matanya menerawang langit-langit kamar yang putih kusam.
Lenganku kurapatkan lebih dekat lagi.
"Bergeserlah ke arahku, ntar kamu jatuh ke lantai.." pintaku.
Ubay bergerak mendekat ke arahku. Tubuh kami makin rapat.
Tapi kami tetap diam.
Tak ada yang berinisiatif.
Diam saja.
Mungkin saling menunggu?
I do not know.
"Hangat ya." kataku memecah suasana.
"Iya." pendek jawabnya.
Aku tetap erat merangkul lengannya.
Aku suka kehangatan lengannya.
Sangat menyenangkan.
Instinglah yang kemudian menggerakkan jari-jari tanganku.
Jari-jari tanganku bergerak merambat.
Pelan. Halus.
Seperti siput. Mengelus tekstur kulit lengannya.
Perlahan, memutar.
Meraba.
Ya,...aku meraba lengan.
Lalu tangannya..
Salah siapa ini?
Terus atau mundur?
Ke sikunya juga.
Merasakan tulang sikunya.
Lalu bergerak merambat ke dekat pergelangan tangannya.
Kuputar lembut.
Perlahan.
Merabanya.
Nikmatnya.
Hangat.
Tapi alamiah penuh "energi" membara.
Aku memakai kedua tanganku akhirnya.
Tubuhku kubuat semakin dekat dengannya.
Ubay tidak bicara apa-apa.
Senyap tak bersuara.
Aku jatuhkan kepalaku ke pundaknya. Bersandar di pundaknya.
Sedikit saja. Tidak banyak.
Ubay tidak menolak.
"Gugup aku.." kataku. Berusaha memecahkan gunung es di antara kita.
"Oh ya?" balas Ubay lirih.
"Aku gak berpengalaman, Ubay...gak ahli sama sekali.." tambahku.
"Gak ahli apa?" tanya Ubay.
Aku masih membelai lengan, siku dan pundaknya silih berganti.
Merambat di sana. Berpindah-pindah.
"Ya gak ahli begini." terangku padanya.
Kupandangi dirinya.
Mungkin memang ini takdir Tuhan pada kami...
ElectroTouch harus terjadi.
Gak boleh tidak.
Sudah waktunya.
This is what I call " a point of no return".
Yes.
A POINT OF NO RETURN.
A POINT OF NO RETURN.
A POINT OF NO RETURN.
Suatu masa ketika kita sudah gak mungkin balik kanan dan mundur menghindar. Kita sudah kepalang basah.
Hanya ada satu pilihan.
Maju ke depan.
Apapun resikonya.
Tak ada jalan lain.
Jatu, kamu siap?
Ubay, kamu siap?
Siap melangkah ke tahap selanjutnya.
Yang mungkin akan semakin menantang.
Tahap 2.
Séru NeEh...!
LanjoOt dwoNkz...
lanjut...