It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Tetapi aku tidak bisa. Rasanya aku hampir gila. Kilasan-kilasan kejadian malam itu benar-benar susah untuk dilupakan. Aku tahu ia telah beristri dan punya anak. Aku tidak mengharapkan apapun darinya. Tetapi melupakan kejadian denganku malam itu dengan begitu mudahnya, sedikit melukai harga diriku. Aku harus berbicara dengannya.
Hari Rabu pagi setelah morning meeting aku memutuskan bahwa aku harus berbicara dengannya hari ini.
”I need to talk.” kataku setelah semua rekan kerjaku meninggalkan ruang meeting.
”Di sini? Atau di kantor saya?” katanya dengan nada biasa seperti kalau aku ingin berbicara soal pekerjaan dengannya.
“Di luar kantor. Bukan soal pekerjaan.” Aku menatap matanya tegas-tegas. Whatever game you’re playing, I need to get it over with.
Alisnya sedikit bergerak naik. Aku tidak bisa menebak sinar matanya. Tetapi sepertinya dia tidak terkejut.
”Dinner nanti malam jam tujuh, ok?” Tanyanya dan ia melihat lurus ke dalam mataku. Tidak ada yang disembunyikannya dan aku melihat sesuatu yang baru di dalam matanya. Seperti kesan bahwa ia memang menunggu aku untuk memulai pembicaraan ini. Berarti dia tidak melupakan malam itu sama sekali.
Aku memasuki lobby hotel yang berlangit-langit sangat tinggi itu dan menemuinya di Lounge. Ia sedang duduk membaca koran Jakarta Post hari itu di sudut kesukaannya. Aku sering menemuinya di sini dan tahu tempat duduk favoritnya. Di mejanya segelas draught beer masih berisi setengahnya dan semangkuk kecil kacang goreng di samping gelasnya. Aku menghampirinya dan langsung duduk setelah meletakkan ransel laptopku di samping kursi.
Dia melihatku dan meletakkan korannya. Seorang waitress menghampiri meja kami dan aku memesan satu gelas draught beer untukku.
Kami tidak berbicara sepatah kata pun. Di sudut Lounge seorang penyanyi wanita, yang kelihatannya masih belia, menyanyikan lagu-lagu slow oldies dengan iringan grand piano. Suaranya berat dan sexy.
”Mau dinner dimana, Pak?” Kataku memecah kebisuan.
”Kamu mau bicara apa?” Tanyanya sambil menatapku. Mencurahkan seluruh perhatiannya seolah-olah aku sangat-sangat penting baginya. Itu salah satu kelebihan Pak Willy yang kami kagumi. Ia selalu membuat teman bicaranya merasa sangat dipentingkan.
”Saya nggak tau musti mulai darimana.” Kataku agak bingung. Terus terang saja aku tidak mempersiapkan apa-apa. Aku hanya ingin bicara mengenai malam itu.
“Mengenai malam itu.” Kataku kemudian.
”Hmmm.” Gumamnya kemudian meraih gelas birnya dan meneguknya.
”Saya ingin tahu bagaimana kelanjutannya.” Kataku berusaha sehati-hati mungkin. Berusaha berbicara se-casual mungkin seperti sedang membicarakan soal pekerjaan.
”Saya tidak mengharapkan apa-apa.” Lanjutku kemudian.
Kalau tidak mengharapkan apa-apa, lalu mengapa harus ada percakapan ini? Bingung.
”Maksud saya, I’m ok with whatever you want.” Lanjutku lagi, berusaha untuk tidak terdengar seperti dialog sinetron murahan.
Pak Willy menatapku tajam. Aku mengangkat gelas bir dan meneguknya.
“Semua salahmu, Jun. That’s what you get when you flirt.” Katanya dengan nada tajam.
Aku hampir tersedak.
What the @#$%!
Mulutku setengah terbuka memandangnya kaget dan bingung.
”I’m kidding.” Katanya dan kemudian tertawa terbahak-bahak.
I don’t like this. Definitely not.
“Yeah. Very funny.” Kataku cemberut.
Dia memajukan badannya mendekat ke arahku. Masih sambil tersenyum geli, ia memandangku.
”I have an idea. Daripada dinner di luar, gimana kalau kita pesan room service aja?” Sekarang ia memandangku dengan lembut. Sinar matanya penuh bujukan. Definitely flirting.
Berapa perempuan yang pernah diajaknya seperti ini?
Atau berapa laki-laki lain?
Love is a many splendored thing,
It’s the April rose, that only grows in the early spring.
…..
“Saya suka lagu ini.” Kataku perlahan. Mengalihkan pembicaraan. Hatiku sudah lega. Aku datang kemari hanya untuk memastikan bahwa ia tidak lupa dengan malam itu. Dan dia tidak lupa. Dan itu cukup buatku.
Love is nature’s way of giving, a reason to be living.
The golden crown that makes a man a king.
…..
”Wah, kamu juga suka Frank Sinatra?” Tanyanya tersenyum. Bukan lagi tersenyum geli.
”Lumayan. Tapi cuma lagu ini yang paling saya suka.”
Once on a high and windy hill,
In the morning mist, two lovers kissed and the world stood still,
…..
“Kenapa?” Tanyanya
“Gak tau kenapa. Suka aja. Lyricnya bagus.”
When you touched my silent heart and taught it how to sing
Yes, true love’s a many splendored thing.
…..
”Selain Sinatra siapa lagi yang kamu suka?”
”Robbie Williams.” Jawabku
”Nice.” Komentarnya
”Avril Lavigne.” Kataku lagi
”ABG.” Komentarnya lagi. Aku tertawa.
”Wah, Bapak tau Avril Lavigne juga.” Aku menggodanya.
“You think I’m very old.” Katanya berlagak cemberut.
Aku tertawa. “No, I don’t.”
I think you’re hot. Lanjutku dalam hati.
Dia menatapku lagi masih mencondongkan badannya ke arahku.
”Saya ambil kamar dulu. Kamu selesaikan billnya.” Perintahnya setengah berbisik.
Dia kembali 15 menit kemudian. Memberiku amplop kunci dan berjalan meninggalkan aku setelah memerintahkan untuk menyusulnya 10 menit kemudian.
Aku menelusuri lekuk tubuhnya malam itu.
Dia menelusuri lekuk tubuhku malam itu.
Malam itu, malam pertama ia mencium bibirku.
Malam itu dan malam-malam lainnya.
Di hotel ini dan hotel-hotel lainnya.
Di tempat-tempat yang hanya kami berdua yang tahu.
*****
(=Oh, my gay..!)
Singapore, 14 bulan yang lalu.
Stasiun MRT Orchard di Singapore selalu ramai dengan orang-orang yang berjalan cepat dan terburu-buru. Aku mengikuti arus orang-orang yang beriringan menuju antrian keluar ke arah Takashimaya. Sebelum pulang ke Jakarta aku selalu menyempatkan diri membeli beberapa buku di toko buku Kinokuniya di lantai atas mall Takashimaya. Berjalan-jalan di dalam toko buku Kinokuniya yang luas memberi kesenangan tersendiri bagiku. Aku bisa menghabiskan berjam-jam waktuku di sana. Hari ini aku punya waktu sekitar 3 atau 4 jam untuk menikmati buku-buku tersebut.
Aku sedang browsing buku-buku novel thriller kesukaanku, mencari novel John Grisham terbaru dan NEXT dari Michael Crichton ketika mendengar suara anak kecil memanggil namaku.
”Om Jun!” Aku menoleh melihat anak perempuan mungil berusia 7 tahun dengan kuncir dua di rambutnya berlari ke arahku.
”Hey, little angel.” panggilku berjongkok menyambut pelukannya.
”Wah Vita, kamu semakin tinggi sekarang.” Kataku dan ia tersenyum lebar memamerkan gigi-gigi kecilnya.
Ervita anak Pak Willy, cantik dan mungil dan manja pada semua yang dikenalnya. Aku beberapa kali hadir di pesta ulang tahunnya dan lumayan sering berkunjung ke rumahnya. Dan pada pertunjukan pentas Natal yang lalu, aku hadir di gerejanya untuk melihatnya berperan sebagai malaikat kecil yang lucu. Tidak seperti anak-anak orang kaya yang lain, Vita tidak dibiasakan dilayani oleh baby sitter yang selalu tergopoh-gopoh melayani majikan kecilnya. Mungkin itu sebabnya Vita dan kakaknya selalu well-mannered dan menyenangkan.
”Apa kabar kamu, Jun? Lama gak pernah ke rumah, malah sekarang ketemu di sini.” Sambutnya ramah.
”Iya nih, mbak. Banyak kerjaan terus.” Alasanku meminta maaf. ”Mbak Kris baik-baik aja kan?” Sejak pertama berkenalan dengannya, ia tidak mau dipanggil Ibu.
How can I come to your house now?
I’ve been f*cking your husband for months.
Mbak Kris mengangguk mengiyakan sambil tersenyum. Vita menarik tanganku mengajakku ke tempat buku anak-anak. Aku mengikutinya dengan membawa beberapa novel di tanganku yang sudah kupilih tadi, mbak Kris berjalan di sampingku.
”Rico nggak ikut, Mbak?” Rico kakak laki-laki Vita, anak pertama Pak Willy yang sudah duduk di kelas 8.
”Enggak. Mbak cuma berdua sama Vita. Rico di rumah neneknya. Willy di KL ikut conference entah apa” Jawabnya.
“New Age Marketing.” Jelasku.
“Maybe.” Katanya tak acuh. “Jelas lebih penting itu buat dia daripada nganterin check-up anaknya.” Lanjutnya perlahan menoleh ke arahku, mungkin tidak ingin Vita mendengar mamanya kesal terhadap papanya.
Vita melepaskan gandengan tanganku dan mulai mencari buku, kemudian duduk di lantai karpet yang memang disediakan untuk anak-anak membaca di sana. Ada 3 orang anak-anak lain sedang membaca buku dan seorang ibu-ibu menemani anaknya membaca.
“Asma nya Vita ya, Mbak? Hasilnya gimana?” Aku tahu Ervita punya asma dan secara berkala orang tuanya membawanya check-up ke Singapore.
”Baik, kok.” Katanya tersenyum ”Cuma routine check-up aja.” Matanya yang kelihatan lelah seperti mencoba menenangkan kekuatiranku atas kesehatan Vita.
Aku merasa menjelma menjadi ular berkepala dua.
Atau kepalaku terasa terbelah dua.
Aku merasa pusing.
”Syukurlah.” Kataku menghela nafas. Kelihatannya seperti aku merasa lega. Padahal nafasku terasa sesak. Inikah perasaan bersalah?
”Mbak Vita, aku musti jalan sekarang. Saya pulang ke Jakarta hari ini.”
”Oh, ok. Flight jam berapa?”
”Siang.” Kataku berbohong. Masih banyak waktu sebenarnya. Tapi kepalaku sekarang mulai berdenyut-denyut.
Aku menghampiri Vita yang sedang asyik membuka-buka buku ceritanya, berpamitan dengannya dan memeluknya serta mencium pipinya yang menggemaskan.
Ketika aku berdiri kembali hendak berpamitan dengan ibunya, aku menatap mata mbak Kris yang benar-benar lelah.
”Jun.” Panggilnya tidak mengacuhkan perhatianku. ”Akhir-akhir ini Willy suka ngomongin saya nggak?”
Kemanakah arah pertanyaan ini?
Sebuah jebakan?
Aku berusaha keras menyembunyikan perasaanku yang tidak enak.
”Pak Willy kan gak suka ngomongin orang, Mbak.” Kataku tersenyum.
”Di kantor, dia paling dekat denganmu, kan?” Tanyanya lagi.
Aku makin gelisah. Untung aku sudah pamitan. Aku berusaha sekuat mungkin untuk tetap menyembunyikan semua perasaanku.
”Iya, sih. Tapi Pak Willy jarang banget ngomongin mbak Kris. Aku aja gak tahu kalo Vita lagi check-up di sini. Pak Willy gak cerita.”
“Memangnya ada apa mbak?” Tanyaku menyelidik.
Mbak Kris menggeleng perlahan. “Gak apa-apa, kok.” Terlihat sekali ia memaksakan senyumnya. Kepalaku semakin berdenyut-denyut.