BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

CERBUNG : This Pain is Called... LOVE [Bab 1]

1235722

Comments

  • Jam menunjukkan hampir pukul 3 sore. Kami menuju kamar kami masing-masing. Aku, Andrew dan Adi – Supriadi biasa dipanggil Adi – meletakkan ransel dan tas kami di kamar dan kemudian menuju ke ruang meeting. Sebenarnya kami ingin mandi terlebih dahulu, tapi rasanya tidak cukup waktu, sebab Pak Willy ingin mengadakan meeting kecil pada pukul 3 sore. Dia ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh team dan aku telah mempersiapkan presentasi kecil di laptopku untuk menunjukkan angka-angka yang telah kita capai di tahun ini.

    Andrew dan aku tiba terlebih dahulu di ruang meeting. Aku membawa laptop dalam ransel talptopku dan Andrew menenteng tas infocus. Kami memutuskan membawa infocus sendiri karena hotel mengenakan biaya yang tidak wajar mahalnya hanya untuk pemakaian infocus, padahal hanya untuk kurang lebih 2 jam.

    Yang lain mulai berdatangan pada saat Andrew dan aku mempersiapkan infocus dan laptopku. Pak Willy datang terakhir dan ternyata sudah wangi, rapi dan kelihatan sekali habis mandi. Rekan-rekan wanita menyuarakan protes sambil bercanda. Pak Willy menjawab, salah sendiri kalo mandi lama. Kami semua tertawa.

    Meeting berjalan sangat menyenangkan dan penuh tawa serta tepuk tangan. Banyak pujian dan ucapan terima kasih disampaikan oleh pak Willy, dan aku hanya berperan sebagai operator presentasinya, hanya sekali-sekali ikut menjelaskan. Aku menerima paling banyak pujian dan sedikit capek untuk mencari cara menerimanya tanpa terkesan besar kepala. Pada akhir meeting pak Willy menyalami kami semua dan kami menutup meeting dengan kembali bertepuk tangan panjang.

    Meeting selesai menjelang maghrib. Beberapa rekan yang beragama Islam segera menuju ke kamar mereka masing-masing untuk menunaikan shalat maghrib. Termasuk Adi. Yang lain mungkin buru-buru ingin segera mandi. Aku dan Andrew membereskan laptop dan infocus dan kemudian menuju ke Lobby, duduk ngobrol di sana sambil merokok.

    Andrew berusia 32 tahun. Telah menikah dan mempunyai seorang anak perempuan yang duduk di taman kanak-kanak. Aku beberapa kali pernah bertemu anak dan istrinya. Tentu saja aku lebih muda dari Andrew, tetapi Andrew punya wajah baby-face. Sehingga mungkin orang mengira kami sebaya. Padahal wajahku juga bukan wajah yang boros usia. Andrew memiliki sifat yang ingin selalu menyenangkan semua orang. Kadang-kadang sangat berlebihan. Dan ia punya kecenderungan untuk sulit berkata tidak.

    Aku sering berpikir untuk menggodanya, mengajaknya having casual sex denganku dan ingin melihat reaksinya. Pasti akan sangat lucu. Tetapi Andrew bukan typeku. Dan membayangkan having sex dengannya kurang membangkitkan seleraku. Entah kalau melihatnya telanjang bulat di depanku. Hahaha...mungkin malah lucu. Aku tidak pernah membayangkannya seperti itu. Dia tidak memiliki mata yang tajam memabukkan. Matanya bersorot penuh kompromi mengiyakan. Dan sangat-sangat ramah.

    Dia bertanya-tanya banyak mengenai project yang sedang dikerjakannya. Aku berusaha menjawab demi kesopanan dan tanggung jawabku sebagai atasannya, tetapi setelah rokok keduaku selesai, aku harus mengingatkannya kalau ini adalah liburan untuk bersenang-senang. No more job discussion, please... dia tertawa dan meminta maaf. Mudah-mudahan dia tidak akan menggangguku lagi dengan puluhan pertanyaan dan diskusi pekerjaan semalaman.
  • Kami berjalan menuju ke kamar. Supriadi di dalam kamar, duduk di tepi ranjang sedang menonton TV.

    ”Kok lu belom mandi?” tanya Andrew ke Supriadi.

    ”Tar aja sekalian sebelum tidur.” Katanya sambil matanya tidak lepas dari film di TV yang sepertinya sedang seru-serunya.

    Aku mencari tas bajuku di luggage rack, tetapi tidak ada. Aku yakin aku meletakkannya di sana tadi.

    “Tasku di mana, Di?” Tanyaku ke Adi yang masih melotot seru ke TV. Kalau dia tidak menjawab, aku cabut kabel TV nya, kataku dalam hati.

    ”Oh. Tadi diminta sama pak Willy untuk diantar ke kamarnya. Katanya kamarnya lebih besar.” Dia merogoh kantong bajunya dan menyodorkan kartu kunci kepadaku. ”Ini kuncinya.”

    ”Ok. Thanks.” Aku mengambil kartu kunci itu dari tangannya dan beranjak ke pintu kamar, keluar. Tas ransel laptopku masih menggantung di bahu kananku.

    ”Jangan lupa. Jam 7, dinner di restaurant hotel.” kataku sambil membuka pintu.

    ”Ok boss.” kata Andrew. Adi masih asyik melotot ke TV. Di rumahnya mungkin tidak ada TV.

    Di luar kamar aku melihat kunci itu tidak bernomor kamar. Bodohnya aku tidak menanyakan ke Adi. Bodohnya Adi tidak memberitahuku. So, aku mengambil handphone dan menelpon ke no. HP pak Willy. Pak Willy menyebutkan nomor kamarnya dan sekaligus menjelaskan letaknya.

    Aku membuka pintu kamar pak Willy dengan kunci yang diberikan Adi tadi, dan melihatnya sedang duduk di sofa single di dalam kamar sedang membaca sebuah majalah. Sepertinya majalah tentang pariwisata yang disediakan oleh hotel di dalam setiap kamarnya.

    ”Saya pikir kamu bakal gak mau pindah ke sini.” katanya melihatku dari atas kaca matanya. Aku melirik ke tas pakaianku yang sudah di sana.

    ”Tas saya sudah di sini kan?” Kataku membuka resleting tasku. ”Kasihan dipindah-pindah terus.” Aku mengeluarkan tas kecil yang berisi peralatan mandiku. Aku meletakkan ransel laptopku di samping tas pakaianku.

    Pak Willy tertawa.
  • ”Saya sikat gigi dulu ya, pak.” kataku menuju ke kamar mandi. Dari sudut mataku aku melihatnya mengangguk dan melanjutkan bacaannya.

    Aku keluar dari kamar mandi dengan nafas bersih dan segar. Aku menyikat gigi, memakai mouthwash, mencuci muka dan leherku, dan menyemprotkan sedikit parfum menutupi bau keringatku. Adi memberiku ide untuk mandi sebelum tidur saja. Bogor tidak seperti Puncak yang sejuk dingin dan hotel ini tidak ber A/C diruangan publiknya. Berada di luar kamar pasti akan membuatku berkeringat lagi.

    Aku keluar kamar mandi dengan lebih segar dan wangi. Lagipula keringatku tidak berbau menyengat seperti pada beberapa orang yang kurang beruntung.

    ”Dinner yuk, Pak.” Ajakku sambil melihat arlojiku yang menunjuk pukul 18:55.

    ”Kamu gak mandi dulu?” Tanya pak Willy sambil bangkit mencari sandalnya.

    ”Nanti aja sebelum tidur. Di luar juga keringetan lagi.” Kataku menjelaskan.

    ”Kalo keringetan, ya mandi lagi.” Katanya tertawa.

    ”Males, ah.” Kataku juga tertawa. Pak Willy memang cukup dekat dengan para bawahannya, terutama denganku. Jadi bercanda dengannya tidak membuatku merasa kurang ajar.

    ”Pengennya dimandiin ya?” Katanya masih melanjutkan topik yang tidak penting banget itu masih tertawa, sambil kami beriringan keluar kamar.

    Aku hanya tertawa saja tidak melanjutkan. Takut kelanjutannya membuatku merasa sedikit kurang ajar.
  • Di sepanjang koridor dan jalan setapak di taman yang luas menuju ke restaurant, kami membicarakan fasilitas-fasilitas yang kira-kira ada di dalam hotel. Pak Willy telah beberapa kali menginap di sini dengan istri dan anak-anaknya. Dia tahu lebih banyak dariku. Pak Willy mengusulkan untuk ke pub di tengah taman setelah makan malam nanti. Aku menyetujuinya.

    Sampai di dekat restaurant pak Willy menarik-narik sedikit punggung kaos polonya. Mungkin menempel ke kulit punggungnya karena keringat.

    ”Iya nih, jadi keringatan lagi.” katanya sambil menjauhkan kain kaos dari kulit punggungnya dengan jari-jarinya. Sepertinya ia sedikit kesakitan. Aku teringat tembakan paint-ball Dina yang mengenai punggungnya. Mungkin kulit punggungnya lecet.

    ”Kan mau mandi lagi katanya.” Aku tersenyum tanpa sedikitpun ada niatan untuk flirting dengannya. Hanya sedikit bercanda.

    ”Kamu yang mandiin ya.” Katanya mengedipkan sebelah mata. Aku sedikit terkejut dan berusaha menyembunyikan keterkejutanku dengan tertawa keras.

    ***
  • Dinner di penuhi canda dan tawa. Makanannya sangat enak dan semua orang kelihatannya kelaparan. Eddy berkali-kali bolak-balik mengambil makanan dari meja buffet. Kami bolak-balik meledek dan menertawainya. Eddy benar-benar entertainment buat kami. Pak Kosim yang tidak terbiasa dengan restoran dan hotel mewah juga menjadi sasaran tertawaan kami. Eddy juga yang paling kejam meledek dan menertawainya. Dua meja kami menjadi perhatian tamu-tamu restaurant yang lain. Kami tidak memperdulikan mereka, seolah-olah restaurant itu memang khusus disediakan buat kami dan tamu-tamu lain hanyalah figuran saja.

    Setelah makan malam, kami beriringan menuju ke Pub dan Bar yang berada di ujung lain seberang taman. Seperti biasa grup kami mendominasi tempat tersebut segera setelah kami masuk. Aku bermain billiard dengan beberapa yang lain, bergantian menyodok bola sambil saling menertawakan. Beberapa rekan wanita termasuk Dina juga ikutan. Satu meja billiard digilir lebih dari 8 orang. Pak Willy duduk di meja hanya berdua bersama Deni, manager dari accounting. Di meja lain rekan-rekanku yang lain duduk entah membicarakan apa. Aku tidak melihat Pak Kosim. Mungkin langsung kembali ke kamarnya. Hang out di sebuah Pub bukanlah sesuatu yang menyenangkan untuknya.

    Aku meninggalkan meja billiard dan membawa gelas birku yang hampir kosong ke meja pak Willy bergabung dengannya. Pak Willy memesan bir lagi untuknya dan memesankan untukku juga. Gelas bir Deni, accounting manager itu masih tiga perempat penuh. Kami bicara tentang macam-macam hal. Tidak satupun mengenai pekerjaan. Deni beberapa kali menyinggung soal pekerjaan dan pak Willy menolak membicarakannya. So, kami punya persepsi yang sama mengenai weekend break ini. No job discussion, please.

    Aku melirik jam tanganku. Jam 21:05. Aku berpamitan ke kamarku ingin mandi. Rasanya badanku sudah mulai gatal-gatal. Dan 3 gelas bir sudah mulai sedikit mempengaruhi kepalaku. Aku benar-benar butuh mandi. Pak Willy memerintahkan Deni untuk nanti mengurus billnya dan dia juga ingin ke kamar.

    Setelah melambaikan tangan ke yang lain, aku berjalan perlahan menunggu pak Willy yang sedang setengah berteriak ke rekan-rekanku supaya jangan sampai mabuk dan bertingkah memalukan. Kelihatannya dia sendiri yang mulai mabuk. Kemudian Pak Willy sedikit berlari mengejarku dan merangkulkan tangan kanannya ke pundak kananku. Kepalanya disandarkannya di bahu kiriku. Aku mendengar ada yang bersuit-suit di belakang kami. Pasti Eddy. Aku mengangkat tangan kananku dan mengacungkan jari tengahku tanpa menoleh. Aku mendengar suara tertawa riuh rendah di belakangku. Ada yang berteriak ”Hati-hati boss!” Entah ke aku atau ke pak Willy. They’re having a good time.

    ***
  • Truzz...??
  • Bagus nih ceritanya.
    Di lanjut ya
  • edited November 2008
    Aku membuka pintu kamar dan memasukkan kuncinya ke dalam tempatnya untuk menyalakan listrik di dalam kamar. Tentu saja kami sudah tidak berpelukan. Sejak tadi setelah beberapa langkah menjauh dari pandangan rekan-rekanku, aku melepaskan diri dari rangkulan pak Willy. Kami tidak banyak berbicara di perjalanan ke kamar. Pak Willy menarik-narik punggung kaosnya sekali-sekali.

    Begitu masuk ke dalam kamar, pak Willy langsung membuka kaosnya. Ia tidak memakai kaos dalam. Aku melihat tubuhnya sedikit berkilau berkeringat. Kulit badannya putih, sedikit lebih putih dariku. Meskipun perutnya tidak tergolong rata apalagi dengan six pack, perutnya juga tidak tergolong buncit. Ia type om-om yang cukup perduli dengan bentuk tubuhnya. Lengannya pun kelihatan berotot hasil dari fitness teraturnya. Atau mungkin dari hobinya bermain golf. Secara keseluruhan bodynya masih cukup sexy. Cukup mengundang.

    Aku melihat tanda merah lebam bulat di punggungnya berdiameter sekitar 3 cm. Dibawah tulang belikatnya, agak di tengah, sedikit ke kanan. Seperempat bulatan itu kelihatan seperti lecet cukup parah. Aku tertawa.

    ”Punggungnya lecet tuh pak.” kataku.

    ”Iya nih.” Katanya sambil mencoba meraba punggungnya.

    ”Jangan dipegang-pegang pak. Nanti infeksi.” Kataku mencegahnya

    ”Saya punya betadine di tas kayaknya.” Kataku sambil mencari tas kecil berisi beberapa obat-obatan dari kantong tas pakaianku. Aku mengeluarkan sebotol betadine kecil dan membuka tutupnya. Kemudian mencari kapas di dalam tas kecil itu. Saat aku mengeluarkan kapas dari plastiknya aku sadar pak Willy sedang menatapku tersenyum lebar dengan pandangan lucu.

    ”Kamu lebih perhatian dari istri saya.” Katanya sambil tertawa memperhatikan tas kecil obat-obatanku. Tas itu tas hitam kecil seperti dompet handphone yang bisa berisi 2 buah handphone.

    Aku merasa diejek. Apa sih maksudnya? Apa salahnya membawa obat-obatan pada saat perjalanan. Dasar lelaki jadul. Kataku dalam hati.

    ”Istri saya tidak pernah membawa obat-obatan lengkap begitu.” Katanya lagi

    Kok jadi ngomongin istrinya. Aku diam tidak bersuara. Masa bodoh.

    Aku memegang pundaknya dengan sopan dan membalikkan tubuhnya dengan perlahan, kemudian mengolesi luka kecil itu dengan kapas yang sudah basah oleh betadine. Dia mengejang pelan. Aleman! Kataku dalam hati.

    ”Bapak mau mandi lagi gak?” Lalu teringat kata-katanya kamu yang mandiin ya.

    ”Kalau enggak, saya mandi dulu.” Buru-buru aku menambahkan.

    ”Panas begini, kayaknya mau juga mandi lagi.” jawabnya.

    ”Ya sudah, Bapak mandi duluan.” Aku membereskan botol betadineku dan melempar kapas bekas tadi ke tempat sampah.

    Dia melangkah ke kamar mandi tanpa mengambil baju ganti dari tasnya. Kemudian aku mendengar kamar mandi ditutup tetapi tidak mendengar ia menguncinya.

    Mengapa aku memperhatikan?
    Apa yang aku harapkan?
    Kata-katanya mengiang kembali di telingaku.
    Kamu yang mandiin ya...

    ***
  • Di banyak website mengenai gay lifestyle sering dibahas mengenai gaydar. Radar bagi pria gay untuk bisa mengenali pria gay di sekitarnya tanpa harus bertanya langsung. Tidak pernah dijelaskan di bagian otak sebelah mana gaydar tersebut berada. Atau bagaimana melatihnya supaya menjadi lebih peka. Aku tidak punya gaydar di otakku. Atau kalaupun ada, mungkin sudah hilang atau rusak sejak awalnya. Aku tidak pernah bisa menebak siapa yang gay, siapa yang bukan.

    Menurutku Andrew seharusnya lebih gay daripadaku. Tetapi ternyata sama sekali bukan. Dan tidak ada tanda-tanda sama sekali pak Willy seorang gay, tapi nyata-nyata malam ini dia menggodaku. Cuma bercanda? Bisa saja.

    Aku memutuskan dalam hatiku bahwa gaydar itu hanya sekedar mitos. Mitos yang dibuat para banci yang terlalu bangga dirinya menjadi banci. Aku tidak pernah merasa diriku seorang banci. Bahkan aku tidak suka jika ada orang yang terang-terangan mengataiku atau mengatai orang lain banci. Kecuali kalau memang orang itu bergaya kemayu seperti atau bahkan lebih dari perempuan. Aku sendiri sering takut melihat orang-orang yang bertingkah seperti itu. Atau barangkali juga kasihan.

    Aku lebih suka melihat diriku sebagai seorang laki-laki yang berorientasi seksual kepada manusia lain yang kebetulan laki-laki juga. Itu saja. Mungkin saja suatu saat aku bosan dan orientasi seksualku berubah. Siapa tahu. Denial? Aku rasa begitu.

    Pak Willy keluar dari dalam kamar mandi hanya mengenakan celana dalamnya. Celana dalam abu-abu tua dari bahan kaos berbentuk seperti boxer tetapi ketat membalut dari pinggang sampai ke sepertiga paha atasnya. Handuknya tersampir di pundaknya. Sebelah tangannya masih menggosok rambutnya yang basah dengan ujung handuknya.

    Kenapa jadi begini?
    Melihat boss telanjang bukanlah sesuatu yang sering kubayangkan.
    Mungkin jauh lebih menarik dalam cerita film-film porno.
    But in reality... sungguh bikin serba salah.
  • “Katanya tadi mau mandiin?” katanya saat aku mengambil pakaian gantiku dari dalam tas. Berusaha keras untuk tidak melihat ataupun meliriknya, biarpun hanya dari sudut mataku.

    Kok masih dilanjutkan juga topik itu?

    ”Bapak yang bilang, kok. Bukan saya.” Kataku berusaha cuek.

    ”Saya tadi gak kunci pintunya, lho.”

    Apa-apaan sih ini? A real turn off! Rada-rada norak jadinya.

    Dengan celana pendek, celana dalam dan T-shirt di tanganku aku berjalan melewatinya ke arah kamar mandi.

    “Ok, kalau gitu saya juga gak kunci pintunya.” Kataku menantang sambil tertawa lepas.

    You want to play this game?
    Let’s play!

    Setelah menutup pintu kamar mandi. Tiba-tiba aku diselimuti keraguan. Haruskah aku juga tidak menguncinya? Bagaimana kalau itu cuma cara bercandanya yang memang seringkali norak. Bagaimana kalau dia masuk dan kemudian menertawai aku yang sedang telanjang mandi. Bukan untuk berbuat seperti yang kuharapkan.

    Memangnya apa yang kuharapkan?

    Aku tersenyum dan kemudian mengunci pintunya. Membayangkannya masuk dan membuka shower curtain kemudian menertawaiku yang sedang mandi, bukanlah sesuatu hal yang menyenangkan.

    Kamu kalah! Kata hati kecilku.
    Biarin!
    Kamu penakut! Kata hati kecilku lagi.
    Biarin!
    Dia kan atasanku.
  • Aku berlama-lama di bawah kucuran air hangat. Sempat terpikir untuk masturbasi di bawah pancuran air yang terasa memijat tubuhku, supaya nanti tidak bernafsu pada atasanku itu pada saat kami tidur berdua. Tapi kemudian mengurungkan niatku.

    Kamar ini memang hanya mempunyai satu ranjang besar. Kalau ia memang menginginkannya. Kita lihat saja nanti. Setengah hati aku berharap agar nanti tidak terjadi apa-apa. Setengah hati yang lain mengharap ada kelanjutannya. Lebih kepada rasa ingin tahu. Tidak ada adrenalin yang terpacu. Nafsuku juga tidak menjadi menggebu.

    Pancuran air hangat yang kuat menyirami tubuhku yang cukup lelah, benar-benar memberikan kenikmatan tersendiri. Mungkin hampir satu jam aku berada di kamar mandi. Seandainya dia mencoba membuka pintu kamar mandipun aku tidak akan tahu.

    Aku keluar memakai celana pendek katun dan T-Shirt yang cukup longgar. Aku merasa segar. Pak Willy bersandar di ujung tempat tidur di tepi ranjang sebelah kanan sambil menonton TV. Ia bertelanjang dada. Duvet ranjang menutupi kakinya sampai ke perutnya. Jika ada yang datang dan melihat kami berdua, pasti pikiran mereka akan langsung penuh pikiran kotor melihat posisinya seperti itu.
  • ”Lama betul mandinya?” Aku cuma menjawabnya dengan senyum lebar.

    Aku mengambil satu bantal di ranjang dan menuju ke sofa bed di seberang ranjang. Sofa itu terletak di sebelah meja TV dekat dengan jendela.

    ”Ngapain tidur di situ? Di sini aja” Katanya.

    “Ranjangnya buat bertiga juga cukup.” Katanya lagi.

    ”Gak apa-apa Pak, di sini aja.” Kataku sambil meletakkan bantal di ujung sofa.

    Kamu telanjang begitu dan berharap aku langsung merangkak naik ke ranjang? Tanyaku dalam hati. I’m not that cheap! Atau jangan-jangan malah membuatnya berpikir aku ketakutan dan bersikap aneh. No way! Lelaki waras manapun pasti akan ketakutan melihatnya bertingkah begitu.

    ”Saya gak telanjang kok.” Katanya membuka duvet yang menutupi bagian bawah tubuhnya. Memamerkan celana dalamnya tadi.

    ”Sorry, saya gak pakai baju. Gerah.” Katanya lagi. Menyelimuti lagi kakinya. Padahal A/Cnya sudah cukup dingin.

    Aku tidak beranjak dari sofa, malah bersiap-siap menaikkan kakiku mencari posisi tidur yang enak di sofa bed yang cukup sempit itu. Bagaimanapun, tidur di ranjang itu pasti jauh lebih nyaman.

    ”Gak apa-apa Pak.” Telanjang juga boleh kok. Yang terakhir ini hanya dalam hati.

    ”Sini.” Katanya lagi. ”Apa kamu minta ditarik paksa ke sini?”

    Aku masih enggan. Atau serba salah.

    ”Lecetnya dikasih betadine lagi, Pak?” Aku mengalihkan pembicaraan. Padahal membayangkan tubuh lelahku tidur di ranjang empuk itu memang jauh lebih enak daripada tidur di sofa bed ini. Ada kemungkinan plus bonusnya lagi. Toh, dia tidak jelek dan cukup sexy.

    ”Ok.” Dia langsung mencari posisi menelungkup memamerkan punggungnya.
  • Aku menyiapkan kapas diolesi betadine lagi dan berjalan ke arahnya. Dengan perlahan aku membungkuk dan mengolesi lecetnya.

    ”Saya boleh minta tolong kamu pijatin saya sebentar, Jun?” Tanyanya dengan halus sewaktu aku bergerak ingin membuang kapas.

    Sepertinya ia horny. Atau mabuk.

    ”Saya gak bisa mijat, Pak.”

    Napa sih kamu jual mahal terus? Tanya hati kecilku protes.
    Dia atasanku tau!
    Tapi kan dia yang minta?
    Iya, setengah mabuk!

    ”Pelan-pelan, di pundak dan leher aja.” Katanya, masih menelungkup.

    So, you’re still playing.
    Let’s see!
  • Aku naik ke atas ranjang. Untuk bisa memijat punggung dan lehernya tentunya aku harus mendudukinya. So, aku semakin mendekat. Tidak berani mendudukinya, aku hanya merapatkan diri dan sebisa mungkin meraih kedua pundaknya sambil duduk di dekat ketiaknya.

    Kepalanya di atas bantal miring menghadap ke arahku, kedua tangannya terangkat ke arah kepalanya dan menyelip di bawah bantal. Matanya terpejam.

    Aku mulai memijat-mijat pundaknya. Menekan-nekannya dengan teknik pijatan yang aku bisa. Aku sering dipijat, setidaknya sedikit banyak aku tahu bagian-bagian yang enak untuk dipijat. Aku menelusuri tengkuknya dengan ibu jari dan telunjukku. Aku terus memijatnya perlahan sampai tiba-tiba aku mendengar dengkurnya perlahan.

    Dia tertidur keenakan.
    Padahal aku mulai horny.
    Sialan.

    ***
  • Nice story...
    *Jd pnasarn lanjutan ny*
Sign In or Register to comment.