It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Jadi inget lagunya Bryan Adams. hehehe... Sama, I have a thing about eyes too.. :oops:
duh. merusak imajinasi aja. let me have the chance to think that u're him. hahahaha. Konyol ga sih gue? huhuhu.. but really, english-nya juga bagus. juga S2 di luar. tapi ga tau punya aspri apa kaga. tapi harusnya ga mungkin. kantor dia kan, ga ada celah untuk KKN..hehehe... Gosh, I miss him. Padahal ngobrol biasa ama dia juga ga berani.. hahahaha
hahahahahaha... dam*! You are so right! You are SOOOOOOOOOOOOOOOOO not him! huahahahahahahahaa
Kami tidak pernah berbicara lagi mengenai kejadian malam di apartmentku itu. Riduan tetap berlaku sopan, bekerja bahkan lebih bersemangat dari yang sudah-sudah. Barangkali sudah sejak pertama pun ia begitu, hanya mungkin pada saat itu aku hanya terfokus kepada hal-hal yang negatif tentang dirinya. Yang positif waktu itu hanyalah keindahan bagian-bagian tubuhnya dalam khayalan erotisku. Tetapi aku sekarang memandangnya dengan cara pandang yang berbeda. Aku lebih mengaguminya. Aku lebih menghargainya. Meski begitu masih juga aku melecehkannya sedikit-sedikit dalam pikiranku. Itu pun tidak terlalu sering.
Kadang-kadang aku masih suka memandanginya membayangkan kelanjutan gerayanganku di dalam celana bolanya pada malam itu. Berapa panjang… seperti apa bentuknya, dan biasanya aku memandanginya. Aku tidak lagi mencuri-curi pandang untuk itu. Aku menatapnya, kadang seperti ingin menelanjanginya. Dan bila ia memergoki aku, biasanya ia akan tersenyum penuh arti, atau membalas pandang dengan menggoda. Demikian pula sebaliknya. Aku sering memergokinya memandangiku, dan ia akan menghindar sambil tersenyum jika aku mengedipkan mata, atau tersenyum meledeknya.
Dia sibuk dengan project barunya. Aku juga sibuk dengan beberapa prospect penjualan yang baru. Aku membantunya dengan membiarkannya berkonsentrasi dengan perencanaan, time schedule, action plan untuk project tersebut dan berusaha tidak menumpuknya dengan pekerjaan-pekerjaan kecil yang lain yang masih bisa aku tangani sendiri. Tentu saja semua memo ke departemen lain mengenai project itu masih aku yang menanda-tangani. Bagaimanapun statusnya masih sebagai Personal Assistantku. Setiap meeting mengenai project tersebut juga masih aku yang memimpin. Tetapi aku membiarkannya mulai berperan lebih banyak di dalam meeting tersebut daripada hanya sekedar membuat catatan.
Pada saat kami sedang berdua, dia memanggilku Jun. Tidak pernah sekalipun kelepasan dari mulutnya memanggil namaku pada saat ada orang lain di dekat kita. Aku suka caranya memanggil namaku.
***
Pak Willy membawa sebuah map hijau, langsung meletakkannya di atas meja persis di hadapanku. Kemudian dia menutup pintu kantorku dan duduk di depan meja kerjaku. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Menatapku sementara aku memeriksa isi map tersebut. File Riduan dari Human Resources. Riduan sedang tidak ada di kantor. Ia dan seorang PR Manager kami sedang bersama Ibu Rita menemui beberapa Media untuk mendiskusikan schedule advertising mereka.
Pantas tadi Dina, sekretaris pak Willy, menanyakan keberadaan Riduan kepadaku. Tidak sekali-kalinya ia pernah menanyakan hal itu. Dan sekarang pak Willy muncul di kantorku.
“Apa yang kamu lakukan, Jun?” Tanya pak Willy tiba-tiba setelah memberi aku kesempatan beberapa saat untuk memeriksa file tersebut.
Aku memandangnya tidak mengerti.
”Lihat lagi formulir performance appraisalnya.”
Aku mengeluarkan formulir performance appraisal Riduan itu dari mapnya dan memeriksanya dengan lebih teliti. Semuanya kelihatannya masih sama seperti terakhir aku menanda-tanganinya. Kecuali sekarang ada tanda tangan Human Resources Manager dan tanda tangan pak Willy dan ada coretan lingkaran melingkari kata Account Manager, pada tulisan rekomendasiku di foot-note formulir tersebut.
Aku memandang pak Willy, masih dengan tatapan bingung.
”Ada yang salah, Pak?” Tanyaku.
Tiba-tiba aku sadar.
Seperti tiba-tiba ditampar, wajahku mungkin mulai memerah.
“Dia melakukan tugasnya dengan baik, Pak. Saya belum pernah melihat orang sepandai dan serajin Riduan. Semua nilai yang saya berikan memang sesuai dengan kualitas yang ditunjukkannya.” Aku berusaha membela diri.
”Berapa nilai rata-rata appraisalnya, Jun?” pak Willy menanyaiku lagi.
Aku membalik ke halaman paling belakang. 4,8. Nilai rata-rata performance appraisal terbaik yang pernah aku lihat. Nilai sempurna adalah 5. Human Resources yang memberi nilai rata-rata tersebut setelah menjumlah nilai rata-rata penilaianku per point dan menambahkan perhitungan absensi, keterlambatan dan lainnya.
“Berapa nilai rata-rata appraisal departmentmu tahun ini, Jun?”
“3,4” Jawabku lemah. Itu semua aku yang menilai. Itupun setelah di tambah nilai appraisalku sendiri yang 4,2, yang dinilai oleh Pak Willy. Department Head lain menjuluki aku dosen killer.
Oh my God!
I’m doomed!
“Akan lebih bijaksana kalau kamu mengoreksi nilai appraisal itu, Jun.”
“Tidak Pak.” Kataku meneguhkan diri. “Kalau ada yang keberatan dengan penilaian ini, saya akan menjabarkannya dan menjelaskannya satu persatu.” Aku memang keras kepala.
”What’s happened, Jun?” Ada nada lembut, nada perhatian seorang bapak kepada anaknya.
Something almost happened.
”Nothing’s happened.” Aku menjawab kaku.
Aku mengangkat kepalaku membalas tatapan lelaki berusia 43 tahun ini. Matanya lembut menatapku. Dia memakai kaca mata minus berbingkai titanium. Jelas terlihat sepasang kaca mata yang mahal. Beberapa lembar ubannya sedikit kelihatan di rambut bagian depannya. Selain itu yang menandakan ketuaannya hanyalah sedikit kerut di keningnya dan di sudut matanya bila dia tersenyum atau tertawa. Atau gaya bicaranya yang selalu ke tua-tuaan, penuh wejangan.
”Love is a many splendored thing.” Kata pak Willy seperti menggumam kepada dirinya sendiri sambil menegakkan diri dari sandaran kursi, kemudian beranjak dari kursi yang didudukinya.
“Remember?” Tanyanya ketika sudah tegak berdiri, kemudian berjalan menuju ke arah pintu.
Sebelum membuka pintu kantorku dan melangkah keluar kantorku, pak Willy sekali lagi menoleh memandangku.
“Ingat?” tanyanya lagi sambil memandang wajahku.
Aku tersenyum kecut.
Menundukkan kepalaku.
Tentu saja aku ingat.
Tentu saja dia tahu aku pasti ingat.
Semuanya.
********
Hehehe, sorry...
merokok emang ga baik yaa.
gw tebak, lo pernah ngerayu pak willy yah? jadinya pak willy tuh udah tau klo lo PLU, dia langsung nebak klo lo jartuh cinta ama keponakannya gara lo ngasih nilai performance appraisal yang tinggi.
lanjut dong...
Love is a many splendored thing,
It’s the April rose, that only grows in the early spring.
Love is nature’s way of giving, a reason to be living.
The golden crown that makes a man a king.
….
Bogor, 18 bulan yang lalu.
Kami memutuskan untuk merayakan keberhasilan kami melewati budget target penjualan tahun ini. Kali ini, kami memilih Novotel Bogor sebagai tempat kami menginap. Kami berenam belas. Sebelas orang dari sales department termasuk pak Willy, di tambah pak Kosim, 1 orang dari accounting department dan 3 orang PR manager. Kami berangkat pagi-pagi sekali mengendarai mini bus berwarna biru yang berkapasitas untuk 24 orang.
Di dalam bis, Frank Sinatra melantunkan lagu-lagunya. Aku yakin itu pesanan pak Willy. Atau barangkali Dina yang memesan supir bis untuk memutar lagu-lagu Frank Sinatra kesukaan pak Willy. Kami tidak protes, pagi hari seperti ini cukup enak mendengarkan lagu-lagu mellow Frank Sinatra di dalam bis. Cukup enak untuk membawa beberapa orang melanjutkan tidurnya. Beberapa yang lain sibuk ngobrol. Beberapa sibuk ber sms-ria. Dan yang menganggap lagu-lagu Frank Sinatra terlalu jadul, kuno, memasang ipod nya atau musik dari handphone nya masing-masing. Aku sendiri membaca buku. Tetapi ketika Frank Sinatra melantunkan lyric love is a many splendored thing, aku menutup bukuku dan menikmati lagu itu. Lyric tentang cinta yang manis, tetapi sama sekali tidak cengeng.
Aku duduk sendirian di deretan bangku ke dua dari depan di dekat jendela sebelah kanan. Pak Willy juga duduk sendirian di barisan di depanku. Menjadi atasan memang kadang harus menanggung resiko kesendirian. Yang lain barangkali malas untuk duduk di samping boss selama perjalanan. Apalagi pak Kosim, yang memilih duduk di kursi bis paling belakang. Dina tidak membagi-bagi tempat duduk kami karena memang kapasitas tempat duduk di dalam bis lebih dari cukup. Semua bebas memilih tempat duduk masing-masing. Dan pilihan kita, sadar ataupun tidak, sedikit banyak mencerminkan posisi dan jabatan kita.
Aku duluan memilih, sehingga Eddy mau tidak mau harus masuk ke dalam team Pak Willy. Kami tertawa keras melihat Eddy yang pura-pura menangis sedih tersedu-sedu.
Pak Willy berseru. “We’re saving the best for last… Eddyyyyy.” Aku rasa itu sedikit menyejukkan hati Eddy. Eddy mengangkat kedua tangannya seperti baru memenangkan kejuaraan tinju, dan berlari menuju teamnya.
Kami bertepuk tangan.
Bisa dipastikan sejak awal, bahwa team yang aku pimpin akhirnya memenangkan perang. Cukup mudah mengalahkan team yang berisi pak Kosim dan Eddy. Pak Willy sendiri ternyata sangat gesit dan mampu membunuh beberapa anggota teamku. Wasit perang meniup peluit setelah semua team lawan terbunuh. Yaitu tertembak dengan peluru cat yang di tembakkan lawan ke tubuhnya. Dan tembakan yang mengena cukup pedih di kulit meskipun kami telah memakai baju tentara tebal yang dipinjamkan dan juga helm untuk melindungi kepala dan wajah kami.
Teamku masih bersisa 3 orang yang tidak mati tertembak, termasuk aku dan Dina, sekretaris pak Willy yang berhasil mengendap-endap menembak punggung bossnya. Dina tampak puas sekali dan berteriak-teriak kegirangan. Pak Willy berteriak-teriak mengancam tidak akan menaikkan salarynya selama tiga tahun ke depan. Tentu saja bercanda.
Kami bercucuran keringat dan cukup kelelahan. Tapi cerita-cerita lucu saat kami berperang tadi memenuhi tawa kami dan cerita-cerita itu berlangsung sampai beberapa bulan ke depan.
Aku melihat Dina di meja reception sedang bertengkar dengan beberapa receptionist di belakang counter yang berkumpul di balik komputer meja reception. Ada beberapa tamu yang lain memperhatikan mereka. Aku dan pak Willy menghampiri Dina.
Dina menjelaskan bahwa kamar yang diberikan untuk kami hanya 8 kamar, sedangkan ia memesan 9 kamar. Aku dan pak Willy seharusnya mendapat kamar sendiri-sendiri, tetapi tampaknya pihak hotel Novotel menempatkan aku satu kamar dengan pak Willy. Dan pihak hotel tidak dapat menyediakan kamar lagi karena sedang fully booked.
Aku pernah tinggal di hotel ini sebelumnya dan aku tahu di dalam kamar mereka ada sofa bed yang cukup nyaman untuk ditiduri satu orang. So, aku bilang ke Dina, it’s ok, aku bisa bergabung dengan salah satu kamar yang lain. Dina, mungkin merasa tidak enak hati, memaksa untuk mengganti pengaturan kamar, supaya aku bisa mendapat kamar sendiri.
”No need, Dina.” aku mengambil salah satu amplop kunci dari tangannya. Membaca 2 nama di sana. Andrew dan Supriadi. 2 orang Account Managerku.
“I can join this room.” Aku tersenyum ke Dina. “It’s no big deal.”
“Ok, deh.” Kata Dina, kemudian berbalik ke receptionist tadi.
”Saya akan kirim surat complaint ke General Manager kalian.” Dina mengancam ketus ke kedua orang receptionist yang sedari tadi berdiri di belakang counter mengawasi kami. Mereka berdua, perempuan berusia mungkin awal dua puluhan, menganggguk kikuk sambil terus meminta maaf. Mereka juga memandangku dan kemudian meminta maaf lagi. Aku tersenyum dan mengedipkan sebelah mata, membuka mulutku mengatakan it’s ok, tanpa bersuara. Takut Dina mendengarku dan merasa aku tidak membelanya.
Selama itu Pak Willy hanya mengawasi kami tanpa bersuara.