LOVE IS A MANY SPLENDORED THING
Bab I
Dia berdiri di depan meja kerjaku. Aku menatap halaman-halaman cetak power-point presentasi yang baru saja di serahkannya. Setengah tidak percaya. How can he be so stupid?
“Kamu ubah semua angkanya?” Aku berusaha keras untuk tidak membentak. “Why?”
“Saya pikir dengan angka-angka ini presentasi kita akan lebih impressive.” Ada nada keraguan dalam suaranya. Membuatku sedikit bingung, harusnya kamu yakin dong dengan perubahan-perubahan yang sudah kamu lakukan.
“Impressive my ass!” Kataku dalam hati.
“Kita sudah menyerahkan hard copy proposal kita minggu lalu ke mereka. Besok adalah presentasi kita untuk menjelaskan angka-angka tersebut. Kalau kamu ubah semua angkanya…” Aku mengambil nafas dalam “we’re gonna look so stupid.”
“Sorry.” Katanya pelan.
Aku mengangkat wajah menatap matanya. Matanya dalam dengan garis tegas di lipatannya. Tatapannya selalu tajam dan datar, selalu membuatku bertanya-tanya apa yang sedang dirasakannya. Alisnya hitam lebat dan agak berantakan, mengingatkan aku pada Sylar, penjahat di film seri TV yang sedang laris. Heroes. Of course, pria seperti dia tidak akan perduli untuk merapikan alisnya.
Aku menyodorkan kembali 18 halaman print-out power point berisi graphic-graphic presentasi tersebut kepadanya. “I need it first thing in the morning.” Kataku datar, tegas… masih sambil menatap matanya. Ia juga menatap mataku... dalam, menyelidik... mungkin mencari tahu apakah aku marah atau jengkel atau tak tahulah apa yang dicarinya. Aku tidak perduli.
”Ok. ” katanya sambil menerima kertas-kertas itu dan berbalik meninggalkan ruanganku.
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 17:20. Berarti dia harus lembur paling cepat sampai jam 19:00 menurut perkiraanku. Salah sendiri! Aku sudah memberikan semua copy proposalnya, all he had to do was just the graphs. Kenapa juga musti diubah sana-sini tanpa diskusi lebih dulu. Harusnya sekarang aku bisa menyiapkan presentasi itu. Bukannya besok pagi dadakan sebelum presentasi. Shoot!
***
Comments
Aku menjawabnya dengan tertawa ringan. Untuk apa? Toh di department ini sudah ada seorang sekretaris yang bisa membantu urusan beberapa administrasi kalau aku sedang tidak sempat mengerjakannya sendiri. Meskipun bukan sekretaris pribadi aku, dia cukup membantu.
Tapi Pak Willy bersikeras. And well, the boss is always right. So, what the heck!
Besoknya Human Resources mengirim seseorang ke kantorku, memperkenalkan diri sebagai personal assistantku. WTF! Bukankah harusnya aku yang memilih? At least kasih kesempatan aku untuk menginterviewnya terlebih dulu? Nope! Dia sudah berdiri di dalam kantorku memperkenalkan diri sebagai personal assistantku yang baru.
Dia menjabat tanganku memperkenalkan diri. Riduan namanya. Aku mempersilakannya untuk duduk. Tingginya kurang lebih 175 cm, sedikit lebih tinggi dari aku. Badannya proporsional, menurutku sih sedikit kurus, membuatnya kelihatan lebih tinggi dari ukuran aslinya. Wajahnya lumayan, tidak kelihatan seperti wajah lelaki metropolitan, tapi juga tidak kampungan. Dagunya tegas dengan bentuk rahang yang kuat. Kulitnya agak gelap meskipun kelihatan bersih. Dia memakai kemeja lengan pendek warna peach dengan dasi coklat terang. Kombinasi yang kurang smart, tapi kok dipakai olehnya terlihat ok saja. Malah semakin terlihat macho. Lengannya... OMG! Kenapa aku lebih memperhatikan fisiknya?
So, aku mulai memperhatikan resume-nya di dalam map hijau yang sudah di atas mejaku. Usianya 26 tahun. 16 bulan lebih muda dari umurku. He has no working experiences at all. Hmmm… sudah 26 tahun belum pernah bekerja? Tetapi latar belakang pendidikannya cemerlang. Training-training yang diikutinya baik di dalam maupun di luar negeri di listing semua dengan rapi. Mengesankan dan cukup banyak. Jadi, dia orang yang senang belajar. Not bad for a start. And he has a body to die for… huhuhu!
Di dalam map berkas lamarannya ada sebuah amplop tertutup ditujukan untukku. Setelah aku baca, ternyata dari Pak Willy yang memintaku untuk bersabar mengajari Riduan, keponakannya. Pantas saja! Dan untuk sesaat aku benar-benar kehilangan respect untuk mahkluk di hadapanku ini. Mengandalkan KKN untuk dapat posisi yang enak. Enak, huh? Let’s see how it’s gonna be!
***
Kantor sudah mulai kosong, hanya ada satu dua cubicles yang masih terisi. Salah satunya tempat Riduan. Aku berdiri tanpa bersuara di samping mejanya, memperhatikannya sebentar dari samping mejanya. Dia duduk menyamping sedikit membelakangi aku berkonsentrasi di depan layar monitornya. Dari tempatku berdiri aku memperhatikan tengkuknya. Punggung bahunya yang lebar. Sejenak rasanya aku ingin memeluknya dari belakang, membenamkan wajahku di lehernya, memeluknya dari belakang dan memainkan jari jemariku di perutnya... what the hell am I thinking? Pervert! Makiku sendiri dalam hati.
Dia menoleh melihatku. Mungkin merasa diawasi. Tersenyum.
”Pulang, Pak?”
”Iya.” kataku membalas senyum
”Kamu masih lama?” tanyaku, jatuh kasihan juga. Siapa tahu pacarnya sudah menunggu. Dia memandangku menyelidik. Selalu begitu! Mungkin heran, mencari tahu apa maksud di balik pertanyaan bodohku.
”Saya duluan ya.” kataku lagi tanpa menunggunya menjawab pertanyaanku barusan.
”Ok.” katanya berbalik kembali ke layar monitornya, menghadap ke dinding.
Aku berlalu dari cubiclenya yang persis menghadap depan jendela kantorku. Aku berjalan menuju ke pintu utama. Meletakkan ibu jariku di finger-print machine untuk absensi pulang dan membuka pintunya. Di dekat pintu lift seorang security guard mengangguk mengucapkan salam. Aku tersenyum ramah. Aku berdiri di sampingnya menunggu pintu lift terbuka. Sesekali melirik security yang agak pendek dan bermuka villain ini. Alisnya lebat dan matanya galak. I always have a thing about eyes. Mata kan katanya jendela jiwa.
Dan Riduan punya sepasang mata yang indah. Tajam, tegas, dan juga... dalam. Terbayang tatapan matanya yang tajam menyelidik. Seharusnya dia jadi polisi atau detektif. Orang mungkin akan gentar menatap matanya saat diinterogasi. Tapi, aku kan atasannya, seharusnya dia tidak menatapku seperti itu. Seharusnya dia menatapku dengan lebih ramah. Ahhh, selalu saja pikiran aku tentang dia. Selama hampir tiga bulan ini. Enough! Stop it!
***
Saat aku mencari orange juice di dalam kulkas bell pintu apartmentku berbunyi. Siapa datang jam segini?
Sambil membawa karton orange juice di tangan kiri, aku membuka pintu.
Holy @#$%!
Riduan berdiri di sana dengan rambut basah kehujanan. Bajunya yang berwarna biru muda dengan lengan panjang yang digulung sampai ke lengan, berbercak-bercak air dari perut sampai ke pundaknya. Mungkin kehujanan saat dia berlari dari tempat parkir ke lobby gedung apartmentku.
”Malam, Pak.” katanya tersenyum. Mungkin lucu melihat keterkejutan aku yang memang tidak bisa aku sembunyikan. Matanya itu... matanya yang tajam ikut tersenyum. Aku merasa ditelanjangi dan menjadi sadar kalau aku hanya mengenakan celana pendek katun dan kaos lengan buntung.
”Saya cuma mau mengantarkan ini,” katanya melanjutkan tanpa menunggu balasan sapaannya. Tangan kirinya merogoh saku celananya. Otomatis mataku mengikutinya. Celana panjang berwarna biru gelapnya terlihat basah. Di beberapa bagian menjadi berwarna lebih gelap oleh lembabnya air. Mataku mengikuti gerak tangannya di saku celananya yang mencari sesuatu. Seharusnya aku tidak menatapnya berlama-lama di sana. Tapi tampaknya dia tidak perduli.
Dia mengeluarkan flash disk dari saku celananya dan menyodorkannya ke aku. Oh, file presentasi. Dia tidak sebodoh yang aku kira.
”Saya pikir Bapak perlu menyiapkan presentasinya malam ini.” katanya sedikit ragu-ragu.
Aku menerima flash disk dari tangannya. Tangannya dingin. Mungkin karena air hujan. Atau mungkin karena AC mobilnya. Atau mungkin karena dia gugup datang ke apartmentku? Kenapa tidak di email saja dan kemudian menelponku? Darimana dia tahu apartmentku?
”Masuk dulu.” kataku dengan nada bukan bertanya, tidak juga menawarkan. Barangkali lebih dekat ke nada perintah. Bagaimanapun aku sekarang sudah menguasai kekagetanku.
”Tutup pintunya, saya ambilkan handuk.” kataku sambil beranjak ke kamar tidurku.
Aku keluar lagi membawa handuk bersih. Riduan sedang duduk di kursi makan, tahu diri untuk tidak membasahi sofa dengan celananya yang basah. Pasti celana dalamnya juga basah, pikirku dalam hati.
Aku menyodorkan handuk besar putih bersih kepadanya. Aku selalu suka handuk berwarna putih bersih. Kesannya seperti handuk-handuk di hotel mewah berbintang lima.
”Thank you” katanya mengambil handuk dari tanganku dan mulai mengelap wajahnya dan rambutnya. Rambutnya sedikit ikal, lebat dan dipotong rapi tidak terlalu pendek. Hitam dan berkilauan, mungkin karena basah, atau karena sisa-sisa hair-gel yang masih melekat.
”Nice apartment” katanya memecah kebisuan. Aku tersentak, sadar kalau sejak tadi aku berdiri di hadapannya memandanginya menghanduki wajah dan kepalanya. Mudah-mudahan dia tidak menyadari itu.
“Thanks,” jawabku sopan.
Microwave bell berbunyi. Ting. Lasagna ku sudah siap.
“Kamu mau makan dulu atau mandi dulu?” Aku kaget mendengar pertanyaanku sendiri. Bagaimana bisa lidahku lebih cepat dari otakku ? Atau ini terucap dari alam bawah sadarku yang mungkin sedari tadi sudah berteriak-teriak tahan dia… tahan dia selama mungkin di sini. OMG!
Dia sama terkejutnya
“Di luar masih hujan,” kataku menetralisir suasana. Oh no! So lame! What an excuse!
Aku meletakkan karton orange juice di atas meja makan. Berjalan mengambil sarung tangan dapur untuk mengeluarkan lasagna panas dari microwave. Sambil menaruhnya ke dalam mangkuk porselin kotak yang cukup besar untuk porsi berdua, aku berkata ”If you like lasagna for dinner, I guess, ini cukup untuk berdua.” Aku menatapnya sekilas sambil tersenyum.
Kita memang terbiasa mencampur-aduk bahasa Inggris dan Indonesia di kantor. Sama seperti perasaanku yang tercampur aduk saat ini. Hanya karena dia berada di dalam apartmentku tanpa diminta. Huhuhu... tanpa diminta!
“Nggak keberatan kalo nunggu saya mandi dulu?” tanyanya.
“No problem, belom terlalu laper kok.” duh, bohong banget.
”Di situ kamar mandinya, sabun dan shampoonya ada di dalem... Di cabinet di atas wastafel ada sikat gigi baru kalo mau sikat gigi.” Kataku sambil menunjuk ke arah kamar mandi di samping kamar tamu.
Apartmentku memiliki dua kamar tidur. Tentu saja di kamar tidurku ada kamar mandi di dalamnya. Dan pintu showernya tembus pandang terbuat dari kaca bening. Ahh, seandainya saja dia mandi di sana. Tapi kan aneh rasanya memintanya mandi di kamar mandi di dalam kamarku. Ini saja menawarkannya mandi rasanya sudah aneh luar biasa.
”Kamu bisa ganti di kamar tamu, biar saya keringkan baju basahnya” kataku berjalan memimpinnya menuju ke kamar di sebelah kamarku. Dia mengikuti patuh di belakangku. Tanpa suara.
Kamar itu lebih kecil dari kamarku. Ranjangnya pun belum aku pasang seprei nya. Aku menyalakan lampunya. Dia masuk ke dalam kamar melewati aku. Harum tubuhnya seperti yang selalu aku ingat selama tiga bulan ini. Harum rerumputan liar. Beberapa kali dalam beberapa bulan ini aku ingin bertanya apa merek parfumnya. Tapi percakapan ke arah sana rasanya sangat mustahil.
Aku menutup pintunya membiarkannya membuka pakaiannya di dalam kamar. Seharusnya aku memberinya handuk yang lebih kecil. Sesalku dalam hati, sambil berjalan ke meja makan untuk menata piring untuk dua orang.
Aku jarang makan di meja makan. Lebih sering meja makan ini menjadi tempat kerjaku saat aku membawa pulang banyak kertas-kertas kerja yang harus diperiksa dan dianalisa. Biasanya aku selalu makan sendirian di sofa di depan TV.
But tonight is special. Should I open a bottle of wine? Would it be too much? Berbagai skenario muncul bermain di otakku saat menyiapkan peralatan makan. Jangan sampai terlihat kamu begitu senang karena dia dinner di sini. Begitu selalu peringatan di otakku di setiap akhir skenario.
Kenapa pula aku begitu excited? Bukankah selama tiga bulan ini aku berusaha selalu membuat hari-harinya as living in a hell hole. Kerjaan satu belum selesai ditumpuk kerjaan lain. Dan dia tidak pernah mengeluh... sekalipun. Mungkin keluhannya disampaikannya lewat tatapan matanya yang tajam menyelidik. Tapi tak pernah sekalipun diucapkan dari mulutnya. Baik di depanku ataupun di belakangku.
Tiba-tiba aku merasa kasihan kepadanya. Dan aku merasakan kekaguman yang baru. Kekaguman yang timbul bukan dari membayangkan indahnya fisik seorang Riduan.
Dan dia berdiri di sampingku saat aku menuangkan orange juice ke dalam dua buah gelas. Aku bahkan tidak mendengarnya keluar dari dalam kamar. Terlalu sibuk dengan pikiran-pikiranku sendiri. Mengherankan bagaimana seseorang dapat menyita pikiran kita sebegitu hebatnya.
Sekarang ia memakai handuk putih melilit di pinggangnya. Di tangannya baju dan celana panjangnya yang basah terlipat rapi. Aku tidak melihat celana dalamnya di sana. Mungkin masih dipakainya di bawah handuk putih tebal yang melilit bagian bawah tubuhnya.
Hhhhh…, next time, aku harus beli persediaan handuk yang lebih tipis. Rencanaku dalam hati.
“Taruh dimana?”tanyanya
“Taruh di kursi aja.” kataku ”nanti saya masukkan ke dryer.”
”Ok.” katanya sambil meletakannya di atas kursi kemudian berbalik menuju ke kamar mandi. Aku memuaskan mataku menatap punggungnya yang telanjang, betisnya yang cukup berotot dan bukan seperti betis pekerja bangunan. Pantatnya yang sedikit menonjol di balik handuk putih tebal itu.
Aku takut dia berbalik dan memergoki aku sedang mengawasinya yang setengah telanjang. Aku lebih takut lagi membayangkannya memergoki di dalam celana pendek katunku ada yang mulai menonjol. Untung aku masih memakai celana dalam.
Aku mengambil tumpukan baju dan celananya. Ternyata celana dalamnya di tengah di antara baju dan celana panjangnya. Celana dalam putih Calvin Klein. Nice... aku ingin menghirupnya. Aku ingin membaui kelelakiannya.
No way! Don’t be crazy now!
Aku melemparkan pakaian lembab itu dan juga celana dalamnya ke dalam dryer. Menyetelnya 15 menit dan melihatnya berputar. Apakah dia berpikir bahwa aku sedang memegang celana dalamnya? Apakah dia membayangkan aku sedang menciuminya. Atau mengharapkan aku mengetuk pintu kamar mandinya dan ikut mandi bersamanya?
Aku harus berpura-pura tidak memikirkannya. Bahwa biasa saja seorang teman datang untuk mandi dan makan malam di apartmentku tanpa ada udang di balik batu. Lagipula di luar kan masih hujan.
Aku menunggunya mandi sambil membuka laptopku di sofa. Berusaha melupakan seseorang yang telah mengisi khayalan-khayalan liarku selama tiga bulan ini sedang mandi di kamar mandiku. Mungkin saat ini ia sedang menyabuni pantatnya. Atau sedang menggosok pahanya yang ramping berotot. Ahhh...
***
Jgan lma2 lanjutinnya!
Dari balik pintu kamar mandi yang masih setengah terbuka aku masih melihat kepulan uap sisa air panasnya. Dia kelihatan telah menikmati sekali acara mandinya. Now, haruskah aku memberinya pakaian sementara pakaiannya dikeringkan? Jujur saja, aku lebih suka melihatnya setengah telanjang hanya dibalut handuk di pinggangnya. Bahkan aku ingin meminta handuk basah itu untuk dikeringkan juga... Huuuuuuu.
”Sebentar, aku ambilkan pakaian” kataku setengah berlari ke kamarku.
Berharap dia mengikuti aku, pintu kamarku sengaja tidak kututup lagi. Tapi dia hanya berdiri di tempatnya menggoyang-goyangkan kepalanya yang masih setengah basah. Mungkin telinganya sedikit kemasukan air.
Aku menyodorkan celana bola dan T-shirt-ku yang paling baru. ”Ukuran tubuh kita hampir sama” kataku. ”mudah-mudahan cukup”
”Thanks” katanya sambil menerimanya dan masuk ke dalam kamar tempat tadi dia berganti baju. Aku berjalan kembali menuju sofa. Aku tidak meminjamkannya celana dalam dan dia tidak protes. Aku tersenyum dalam hati.
***
Sementara aku sudah tidak merasa lapar lagi setelah beberapa suap lasagna. Mungkin karena jam makan malam sudah terlewat cukup lama. Atau karena kehadirannya di hadapanku telah mengenyangkan jiwaku. Atau malah membuat jiwaku semakin lapar. Atau barangkali sekarang nafsuku yang semakin haus.
Aku tidak lagi mencuri-curi pandang.
Aku menatapnya.
Aku ingin mengabadikan pemandangan ini di otakku untuk selamanya.
Aku bahkan tidak berpikir untuk merayap di bawah meja menggerayangi pahanya. Well, maybe a little.
Aku menikmati menatapnya.
Dan kesadaran akan kenyataan ini sungguh menakutkan aku. Kesadaran akan kemungkinan bahwa... hiks, I’m falling... Kesadaran yang mencekik leher.
”You’re staring.” katanya tiba-tiba, sambil memotong lasagna di piringnya yang tinggal seperempatnya. Dia tidak mengangkat wajahnya, tetap sibuk dengan makanannya. Apakah tadi dia melirikku pada saat pikiranku melayang entah kemana.
Please jangan angkat wajahmu untuk melihatku. Aku yakin wajahku merah padam.
”No, I’m not!” berusaha sebisa mungkin untuk mengeluarkan suaraku yang bernada paling biasa saja.
”I’m thinking...” kataku lagi, berusaha sekuat mungkin menguasai keadaan.
”Alasan kenapa kamu tadi mengubah angka-angka presentasi tanpa mendiskusikannya lebih dulu.” Gosh! Smart move.
”I would’ve,” katanya datar. ”If you gave me the chance.”
Bahasa Inggrisnya kelas A+. Ketara sekali lulusan University dari negara yang memakai bahasa Inggris sebagai bahasa ibu. Bahkan dibandingkan beberapa rekan yang pernah tinggal lama di Amerika, bahasa Inggrisnya terdengar lebih baik.
Sekarang dia menatap mataku.
Menuntut penjelasan.
Mendesak.
”Sorry.” kataku pelan. Tidak sanggup menatap matanya lama-lama. What the hell is happening to me! Seingatku aku belum pernah menghindar dari tatapannya selama ini.
”I guess, I’ve been giving you a hard time for these past three months.”
“But hey,… you know what people say… rumput tumbuh lebih kuat di tempat yang anginnya lebih kencang, kan?.” Lanjutku lagi sebelum ia sempat menjawab. “And you’ve been doing good.” Aku tersenyum. Sedikit merasa bodoh. Sedikit?
“Excellent malah.” Aku menegaskan sambil tersenyum.
Well, setidaknya bahasannya bukan mengenai kenapa aku memandanginya dengan terpesona. At least, bahasannya bukan mengenai why am I drooling over him.
“Thanks.” Katanya tersenyum.
“Remember that on my appraisal.” Lanjutnya tertawa.
Yup, aku harus memberinya performance appraisal setelah masa tiga bulan probationnya selesai. Aku sudah menjadwalnya hari kamis ini. Besok lusa. Aku sudah menyiapkannya dengan baik. Aku memang berencana memberinya nilai yang baik. Bagaimanapun, aku telah sangat terbantu dengan adanya dia sebagai personal asssitantku. Meskipun mungkin menurutnya aku memperlakukannya dan menganggapnya sebagai sebuah beban. Hmm...dia bukan datang kemari karena appraisal besok lusa itu, kan. Kataku tidak yakin, di dalam hati.
Aku ikut tertawa. Lega.
Seru ney ceriteNe!
Nope, pasti dia sudah melihat pakaiannya sudah kering di dalam dryer yang sudah berhenti berputar.
Atau aku tawarkan untuk menyetrikanya terlebih dulu?
Nope. Norak.
Aku bisa menawarkannya tidur di kamar tamu?
Definitely, No! hujan sudah berhenti. Lagipula dia kan bawa mobil. Kalaupun masih hujan, menawarkan untuk meminjamkan payung lebih terdengar masuk akal.
So, aku menyerah. Dia menyelesaikan makannya dengan menenggak habis sisa orange juice di gelasnya dan membawa piring kotor dan gelasnya ke kitchen sink.
Ya, aku bisa menyuruhnya mencuci piring terlebih dahulu.
Atau menyuruhnya mengepel lantai sekalian.
Hmm,... mengepel lantai sambil telanjang kalau perlu, aku kan bisa memintanya untuk tidak memakai pakaianku saat mengepel lantai. Aku tertawa. I watched too much porn!
Dia sedang membuka keran dan mengambil spons hendak mencuci piringnya. Dan dia menoleh mendengarku tertawa.
”Kenapa?” Tanyanya setengah heran.
”Tidak percaya saya bisa mencuci piring?” Tanyanya sambil senyum. Matanya menatap setengah menggoda, jenaka.
”Tinggalin aja di sana. Besok pagi ada cleaning service yang bersihin.” kataku sambil mendekatinya membawa piring kotorku dan meletakkannya di dalam kitchen sink, setelah membuang sisa lasagna di piringku ke tempat sampah.
Dia tidak bergeming, tangannya masih memegang spons cuci piring. Aku menjulurkan tangan mencuci tanganku di bawah kucuran air keran yang masih mengalir. Lenganku menyentuh lengannya. Kulit lengannya menyetrumku, merayap mengalir ke ulu hatiku. Nikmat.
Aku menggosok jari-jariku di bawah air keran. Posisinya menghadapku. Aku merasakan nafasnya hangat di telinga kananku. Tiba-tiba waktu bergerak melambat. Slow Motion. Aku ingin terus menggosok tanganku sampai besok pagi.
Aku ingin menoleh menghadapnya.
Aku ingin merasakan hembusan nafasnya di bibirku.
Aku ingin ia merasakan hembusan nafasku di bibirnya.
Sensasi ini menusuk ke dalam jantungku.
Apakah ini nafsu yang telah bertumpuk setelah selama tiga bulan ini membayangkannya dalam khayalan-khayalanku.
Apakah ini perasaan cinta yang mulai tumbuh sementara selama ini aku pikir aku selalu merendahkannya. Cinta? Oh God! No!
Sebelum hilang ingatanku. Atau barangkali memang sudah hilang akal sehatku. Aku menarik spons itu dari tangannya dan meletakkannya kembali ke tempatnya. Aku menarik tangannya yang sedikit berbusa ke bawah keran air. Membuatnya mengerti bahwa aku benar-benar tidak ingin melihatnya mencuci piring.
Jemarinya panjang-panjang dan kekar. Di punggung tangannya yang berwarna sawo matang terlihat beberapa urat yang menonjol. Meskipun bukan tipe pekerja kasar, jari-jarinya kuat. Ahhh, betapa aku ingin terus memegangi tangannya, mencucinya, menggosoknya.
Aku melepaskan tangannya. Meninggalkannya melanjutkan mencuci tangannya setelah tanganku bersih dari sedikit busa sabun yang berpindah ke tanganku. Aku mengelap tanganku dan berjalan ke arah sofa. Waktu yang tadinya bergerak seperti adegan slow motion, telah kembali normal.
Aku melihat ke jam di dinding. Thank God! Baru hampir setengah sepuluh. Aku takut ini sudah jam 12 malam. Saatnya Cinderella harus berlari pulang. Padahal dansanya belum. First kissnya juga belum. I am loosing my mind!
***
Semua charts yang dibuatnya rapi dan jelas. Tidak ada yang perlu aku koreksi. Hanya ada beberapa pie charts yang aku perbesar supaya lebih jelas terbaca nantinya di layar infocus.
Kegiatan kecil ini sedikit mengembalikan akal sehatku.
Dia duduk di samping kiriku memperhatikan kesibukan kecilku dengan presentasi yang dibuatnya.
”You know what.” katanya.
Aku menoleh.
“I think I should get going.”
Dia hendak beranjak berdiri.
“Ada yang nunggu?” tanyaku. Tanpa ekspresi.
”No.” Dia tidak jadi berdiri.
“Past your bedtime?” Masih tanpa ekspresi. Tapi mungkin mataku sedikit bersinar menggoda.
Dia tertawa. Ahh, tawanya itu. Giginya berderet rapi. Tidak terlalu putih, tetapi tidak juga kuning. Bersih berkilau tidak terlihat sedikitpun karang gigi. Pasti nafasnya harum, meski tidak menggunakan mouthwash.
Kesibukan kecilku di depan laptop mengembalikan semua kepercayaan diri dan ketenanganku. Aku tidak lagi terhuyung-huyung membayangkan hal-hal tentang dia yang seharusnya hanya aku bayangkan pada saat aku sendirian.
Dia memandangku heran. Sekilas aku menangkap sorot matanya berubah. Apakah itu gugup?
”Kenapa file nya gak di email aja? Kemudian sms atau telpon saya?”
“Saya kuatir kalau tidak bisa didownload. Mengantarkan file ini langsung, membuat saya lebih tenang.” Masuk akal penjelasannya. Nice!
“Bapak tidak suka saya kemari?” Sekarang dia yang menuntut.
”Jangan panggil saya bapak di sini. Di kantor kamu boleh panggil saya bapak. But not here, please.” Aku tersenyum, lumayan menghindar dari pertanyaannya.
Daripada aku harus menjawab, suka sekali. Aku suka kamu kemari setiap hari.
”This is awkward.” Katanya pelan.
“What is?” tanyaku masih tersenyum. Aku suka menguasai keadaan. Aku senang berada di atas angin.
”Saya sudah terbiasa manggil Bapak. Rasanya aneh kalau mulai manggil langsung dengan nama.”
Well, then you can call me hunny,
or sweetie pie,
or sweetheart.
Ewww!
“Panggil aja Jun, and get used to it.” Kataku masih setengah tersenyum.
“Or, I can call you Junaed…” Sekarang dia tersenyum.
Semua orang yang kenal aku tahu kalau aku tidak merespond dipanggil Junaed. I hate it! Meskipun memang namaku Junaedi. Sejak kecil aku benci dipanggil Junaed. And he knows! Wow! Berapa banyak orang dikantor yang diajaknya ngobrol tentang aku? Atau dari Pak Willy? Pamannya itu. Sumber KKN!
“Don’t you dare!” kataku tertawa.
“I think Junaed is nice.”
Aku pura-pura melotot. Kemudian membuang muka, kembali memandang laptopku. Men-save file power-point yang sudah aku save tadi. Kekanak-kanakan sekali! Makiku dalam hati, entah ke dia atau ke diriku sendiri.
“So, Junaed… kamu gak suka saya kemari?” Aku mendengar ada sedikit getar dalam suaranya. Berapa banyak nyali yang dikumpulkannya untuk mengucapkan itu.
Aku menoleh melihatnya tertawa. Tanpa suara. Matanya yang tajam bersinar jenaka, seperti mata seorang bocah yang memperoleh mainan baru.
Aku ingin menerkamnya.
Aku ingin menggelitikinya.
Aku ingin menelanjanginya.
Right here.
Right now.
Tapi aku hanya diam memandanginya. I do not respond to the name Junaed. Kamu boleh memanggilku Jun atau Junaedi. But, Junaed? No way!
“Ok, Jun… kamu suka saya kemari?”
Pertanyaannya berubah. Nadanya sangat lembut, hampir seperti berbisik. Ia menghadapku sepenuhnya sekarang. Sebelah kakinya setengah bersila di atas sofa. Aku tidak berani memandang ke bawah. Dia tidak memakai celana dalam. Kataku dalam hati. Dan celana bola itu ujungnya sangat longgar.
Sekarang dia berada di atas angin. Oh, mudahnya arah angin berubah. Akibat global warming? Focus, please.
Dia memegang satu tanganku dengan kedua tangannya.
Tangannya hangat.
Atau tanganku yang menggigil.
Dia menatap mataku.
Aku menatap matanya.
Aku gemetar.