It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Tangannya hangat.
Atau tanganku yang menggigil.
Dia menatap mataku.
Aku menatap matanya.
Aku gemetar.
Wajahnya mendekati wajahku. Aku semakin gemetar.
Ada yang bergerak liar di dalam celana pendek katunku. Sesak di celana dalam.
Semakin bergetar liar, semakin sesak ketika tanganku ditariknya ke atas pahanya.
Telapak tangan kiriku menyentuh pahanya yang halus berbulu.
Satu tangannya tetap di atas tanganku, menggenggam punggung tanganku.
Membawa telapak tanganku menelusuri pahanya.
Naik.
Dan naik lagi.
Dunia kembali dalam gerak slow motion.
Aku menikmati kehalusan kulit pahanya.
Aku menikmati bulu-bulu halus di tepi pahanya.
Dia semakin mendekat.
Wajahnya begitu dekat di wajahku.
Harum nafasnya.
Hangat nafasnya dan mulai berat.
Bibirnya mulai menempel di sudut cuping hidungku.
Hidungnya menempel di pipiku di bawah kelopak bawah mataku.
Sebelah tangannya di leherku menggelitik belakang telingaku.
Aku ingin melepas celana dalamku yang menyiksa.
Tanganku merayap di pangkal pahanya. Di dalam celana bolanya.
Tangannya masih berada di atas tanganku.
Dia sudah tidak menggenggamku sekarang.
Ujung jarinya menggelitik pergelangan tanganku.
Jariku menyentuh sesuatu yang hangat.
Keras.
Aku ingin waktu berhenti.
Aku ingin selamanya seperti ini.
Aku ingin selamanya merasakan sensasi ini.
Aku ingin langsung melumatnya. Tapi sensasi ini begitu luar biasa. Aku ingin menunggu.
“Kamu suka aku di sini... Jun?” tanyanya berbisik. Nafasnya memburu.
Aku mendesah mengiyakan, menutup mataku.
Tangan kananku diatas lengannya.
Meraba otot lengannya.
Masuk ke dalam lengan kaosnya.
Tangan kiriku menggelitik pangkal batangnya di dalam celana bolanya.
Merasakan bulu-bulu kemaluannya.
Menggelitik urat-urat di pangkalnya.
Aku ingin menggenggamnya. Meremasnya.
Tapi sepertinya ia menikmati permainan ujung jemariku.
Dia mendesah. Nafasnya panas memburu di pipiku.
Tangannya yang tadinya di pergelangan tangan kiriku sekarang meraba-raba lenganku.
”Tell me you want me here... Jun.” desahnya semakin berbisik. Nafasnya semakin memburu.
”Yes, I do… and you’re not here for the appraisal…” Desahku. Did I just say that?
Dia berhenti.
Menjauhkan wajahnya.
No no no, don’t stop.
Dia menarik mundur posisi duduknya
Tangan kiriku sekarang di atas lututnya.
Dia menepisnya perlahan.
Aku duduk mematung.
Bego!
Why did I say that?
Why did he keep asking!
“I’m sorry.” Kataku perlahan. “I didn’t mean…”
“You always meant what you said.” Masih setengah berbisik, dia memotongku. Matanya menatapku tajam. Kembali kapada kebiasaan lamanya. Sinar mata yang tajam. Yang membuatku menebak-nebak.
“I’d better go.” Katanya beranjak berdiri.
***
Lanjutannya dunk..
Dia berlalu ke kamar untuk berganti pakaian. Aku memperhatikannya berjalan memunggungiku dan aku merasa seperti akan ditinggalkannya selamanya. Dia membuka pintu kamar dan menyalakan lampunya. Sekilas sebelum ia menutup pintunya, aku melihat sepatunya di tepi bawah ranjang.
Oh no! Pasti kaos kakinya basah. Kaos kakinya tidak dikeringkan.
Aku berlari ke kamarku seperti orang gila. Aku mengambil kaos kaki bersih dari laci kaos kakiku seolah dunia akan kiamat tanpa kaos kaki itu. Aku berlari kembali ke depan pintu kamarnya. Mengatur nafasku kemudian mengetuk perlahan.
Aku ingin langsung membuka pintunya.
Aku ingin meminta maaf lagi dan memeluknya.
Aku tidak bermaksud melukai perasaannya.
Tak berapa lama kemudian dia membuka pintu. Dia sudah rapi seperti ketika baru datang tadi. Bedanya pakaiannya kering sekarang. Celana bola dan kaosku terlipat rapi di atas ranjang.
Aku melihat kakinya. Masih telanjang.
”Kaos kakimu pasti masih basah. Pakai ini aja.”
Dia menatapku datar. At least dia menatapku.
”Thanks.” katanya berbalik, kemudian duduk di tepi ranjang tanpa menutup pintu.
Aku berdiri di ambang pintu memperhatikannya memakai kaos kaki yang barusan aku berikan. Diam ini lebih menakutkan daripada apapun yang pernah aku rasakan. Aku harus berkata sesuatu. Say something smart! Say something funny! Say anything!
“Kalau sepatunya basah, pakai sepatuku aja.”
Dia melihatku dengan tatapan yang aneh.
Memang aneh. Ukuran kakinya lebih besar dari kakiku.
”Atau sandalku.” kataku lemah.
”Gak apa-apa kok. Sepatuku gak basah.”
Aku agak lega. Bukan karena sepatunya tidak basah. Tetapi bahasanya tidak balik kembali ke bahasa formal. Bahasa resmi yang berjarak.
Aku masih berdiri di ambang pintu.
“Thanks for dinner.” Katanya sambil memaksakan senyum.
“Anytime.” Kataku ingin membalas senyumnya juga. Tetapi bibirku berat. Mudah-mudahan tidak terlihat menyeringai.
Dia berdiri, menunggu aku menyingkir dari ambang pintu.
Well, kalau begitu aku akan berdiri terus di sini.
Biar kamu tidak bisa pulang.
Mau tidak mau kamu harus tidur di sini.
Pathetic attempt!
Aku minggir memberinya jalan.
Dia melewati aku menuju ke pintu depan. Aku mengikutinya tanpa bersuara.
Sampai di dekat pintu aku mengambil kunci yang aku gantung di dinding. Aku ingin mengantarnya sampai ke lobby bawah. Atau sampai ke tempat ia memarkir mobilnya. Atau ikut masuk ke dalam mobilnya. Aku masih ingin malam ini berlanjut lebih panjang. Perduli setan besok aku harus melakukan presentasi yang penting.
Dia membuka pintu depan. Aku keluar mengikutinya. Mengunci pintunya di belakangku. Dia mengikuti setiap gerakku dengan tatapan matanya. Aku merasa diawasi.
Dia tidak berkata apapun.
Aku tidak berkata apapun.
Aku memencet tombol lift untuk turun ke lobby. Selama menanti lift, tak terpikir satu kata pun yang cukup baik untuk diucapkan.
Aku ingin memeluknya di dalam lift.
Apakah dia ingin memelukku?
Aku ingin mengucapkan sesuatu untuk memecah kebisuan.
Apakah dia menikmati kebisuan ini?
Apakah dia sedang menghukumku?
Keluar dari lift, di lobby yang sepi, aku masih mengikutinya.
”Riduan.” Dia berhenti berjalan. Menoleh.
”Thanks for coming.” Aku berdiri kaku. Menatap matanya. Dia menatap mataku.
“Really.” Kataku lagi.
“Ok.” Jawabnya sambil berlalu. Menuju ke pintu keluar.
Aku tidak punya cukup keberanian untuk mengikutinya lagi.
Aku ingin memanggilnya kembali supaya ia menoleh.
Supaya aku bisa melihat wajahnya, untuk terakhir kalinya malam ini.
Dan aku tidak punya keberanian untuk itu.
Aku cuma punya keberanian untuk terus menatapnya menjauh.
Menghilang.
*****
What a nice story...
Begitu detil sampe ke karang gigi he3...
Begitu bagus, begitu unik, begitu bergairah, begitu indah...
Salam
Lie Hong
Keknya lu berdua yg pertama-tama baca cerita gw… I appreciate it. Jangan bosen ya... kritik n sarannya ditunggu neh.
@ rainbow_bdg
Lu yg paling rajin ngasih gw semangat buat ngelanjutin… thanks ya. Lanjuuuut
@ Johny251976
Thanks buat ketelitian elu… iya, basement parking cuma buat penghuni. Lagian buat yg baru pertama datang biasanya ga kepikir parkir di basement. Mustinya keterangan gw lebih lengkap ya... nice, detective! Eh BTW, mata lu bersinar tajam gak? Hihihi…
@ Esa Mulyana
Tunggu tar adegan ML lebih detail lagi… huhuhu
@ reis
Hmmm… pasti bukan gw.. tapi mau dong dikecengin.
@ feffendy
Pujianmu membuatku tersipu-sipu malu… (abg banget deh gw !). Thanks yah.. baru belajar nulis kok, belajar ngungkapin perasaan. Belajar to read (write?) between the lines.
Alarm di meja di samping ranjangku belum berbunyi. Tetapi aku sudah terbangun, segar, tanpa ada sedikitpun rasa kantuk yang tersisa. Aku melirik jam digital di sampingku di atas bedside table. 04:23:48. Oh no! Aku masih punya waktu tidur 2 jam lagi. Aku menarik duvet menutupi wajahku. Tetap saja rasa kantuk tidak mau datang. Malahan pikiranku melayang-layang ke sana kemari. Aku mengingat nenekku. Aku mengingat teman-temanku. Aku mengingat hal-hal lain. Aku mengingat-ngingat semua yang bisa mengusir ingatanku tentang kejadian semalam.
Aku kangen nenekku. Seandainya dia masih ada, pasti ia bisa mengerti perasaanku. Pasti ia bisa menghiburku, menenangkan aku.
Sejak aku lepas menyusu dari ibuku, aku diadopsi oleh nenekku. Nenekku waktu itu tentu saja masih sehat. Ketika pertama kali ia melihatku saat aku masih berupa seorang bayi merah yang baru saja lahir. Nenekku berkata bahwa aku mirip sekali seperti ayahku.
Tentu saja ibuku heran, bagaimana seorang bayi yang masih sembab dan mukanya belum lagi berbentuk permanen bisa memiliki wajah seperti wajah ayahku. Mungkin hanya alasan nenekku yang kesepian. Yang ingin memiliki seorang bayi lagi setelah sekian lama tinggal sendirian. Dan nenekku itu, ibu dari ayahku, bercerita ia begitu bersusah payah membujuk ibuku hampir setiap hari supaya diperbolehkannya memeliharaku. Oh iya, ayahku meninggal karena kecelakaan saat aku masih di dalam kandungan ibuku. So, aku tidak mempunyai kenangan apapun mengenai ayahku kecuali dari foto-foto lama yang ditunjukkan oleh nenekku.
Dan begitulah akhirnya aku tinggal bersama nenekku sejak aku masih bayi. Nenekku sangat memanjakan aku. Cucu-cucunya yang lain memanggilnya Oma. Aku memanggilnya Nana. Itu membuatku merasa spesial di antara cucu-cucunya yang lain. Dan Nana tidak pernah sembunyi-sembunyi menunjukkan ke semua orang, bahkan kepada cucu-cucunya yang lain, bahwa memang akulah cucu kesayangannya. Alasannya aku kurang beruntung, karena tidak pernah memiliki seorang ayah. Cucu-cucunya yang lain punya orang tua yang lengkap.
Sewaktu aku kecil ibuku masih sering mengunjungi aku di rumah nenekku. Aku ingat ibuku pandai bercerita. Setiap kali datang, ia selalu membawakan aku buku-buku dan meembacakan ceritanya kepadaku. Kadang dia datang sendirian, kadang membawa salah seorang atau kedua kakak tiriku. Aku punya 2 orang kakak tiri. Semuanya perempuan. Yang tertua berusia 5 tahun di atasku, dan yang paling muda berusia 2 tahun lebih tua dariku. Sampai saat ini aku jarang sekali, atau bahkan hampir tidak pernah berhubungan dengan mereka. Bertemu di jalan pun rasanya aku tidak akan mengenali mereka.
Semakin aku besar ibuku semakin jarang datang. Sekali waktu pada saat aku duduk di kelas 4 SD, aku ingat guru kesenianku mengadakan acara besar di sekolah dan berkata di depan kelas bahwa untuk acara sekolah di akhir semester itu, semua murid diharapkan datang membawa orang tua mereka. Aku dengan gembira mengabarkannya kepada Nana, untuk segera memberitahu ibuku.
Aku masih terlalu kecil untuk menebak apa yang dirasakan oleh Nana pada saat itu. Tetapi ketika dia memberitahu aku untuk tidak terlalu mengharapkan kehadiran ibuku pada acara sekolah itu, aku menjadi sangat marah kepadanya. Itu pertama kali dan sekali-kalinya dalam hidupku aku merasa membenci Nana. Aku berpikir bahwa Nana begitu jahat ingin memilikiku untuk dirinya sendiri. Sehingga ibuku tidak perlu hadir di acara sekolah yang menurutku sangat-sangat penting. Nana menelpon ibuku malam itu, karena aku memaksanya. Tetapi aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Dan dari raut wajah Nana, aku tahu bahwa aku tidak boleh terlalu berharap banyak.
Dan memang ibuku tidak datang. Dia tidak pernah datang lagi. Lama setelah itu baru aku tahu ibuku telah menikah lagi dan pindah ke luar negeri. Aku tidak pernah ingat ibuku berpamitan untuk itu. Dan Nana tidak pernah bercerita apapun tentang itu.
Sejak kejadian ibuku tidak datang ke acara sekolahku itu, aku tidak pernah bertanya-tanya tentang ibuku lagi. Bagiku ibuku hanya seperti sebuah cerita di dalam buku pada saat aku melihat-lihat album foto lama keluargaku. Sebuah cerita seperti cerita-cerita lain yang samar-samar aku ingat diceritakan oleh ibuku. Dan semua buku-buku cerita yang dibelikannya itu masih tersimpan rapi di rumah nenekku. Aku tetap bersyukur bahwa karena ibuku aku menjadi gemar membaca buku.
Aku tumbuh sebagai anak yang mandiri. Jauh lebih mandiri dibandingkan anak-anak sebayaku. Prestasiku sangat menonjol di kelas. Meskipun aku tidak selalu juara kelas, aku tidak pernah lepas dari 3 besar atau 5 besar terbaik di kelasku. Nana sangat bangga. Dan aku senang melihatnya bangga. Aku merasa tidak percuma menjadi cucu kesayangannya. Meskipun begitu aku yakin, sekalipun aku bodoh dan tidak naik kelas, Nana akan tetap sama menyayangi dan bangga kepadaku.
Tetapi ketika ada seorang teman cowok di kelasku berusaha mencium bibirku di kebun belakang sekolah, waktu itu aku kelas 2 SMP, aku melaporkannya ke Nana. Nana malah menyuruhku mengundang temanku itu untuk datang makan siang di rumah. Dan di meja makan Nana bilang kalau anak-anak seumur kami belum boleh saling berciuman. Wajah temanku itu merah padam.
Aku bertanya. ”Kalau cowok sama cewek boleh?”
”Belum boleh juga. Nanti setelah kalian dewasa baru boleh.” Jawab Nana.
”Tapi, di sekolah kami ada cowok dan cewek yang sering berciuman.” Kata temanku ngotot.
”Itu namanya sembunyi-sembunyi.” Kata Nana. ”Seperti kalau kalian menyontek sewaktu ulangan.”
Temanku itu menyeringai lebar. Dia sering menyontek di kelas. Aku sering diconteknya. Kadang-kadang aku menolak, kadang-kadang membiarkannya. Tapi aku tidak mau diciumnya. Kalaupun aku harus dicium cowok, bukan oleh dia.
***
Sampai di kantor. Finger print machine masih menunjukkan pukul 07:06. Pintu kantor sudah dibuka. Pak Kosim, office boy kami, memang selalu datang sebelum pukul 07:00. Aku membayangkannya berangkat dari Bekasi subuh-subuh untuk bisa sampai di kantor sebelum yang lain datang. Meskipun aku biasanya datang cukup pagi di bandingkan yang lain, hari ini tetap terlalu pagi buatku.
Pak Kosim sedang mengumpulkan sampah-sampah dari tempat-tempat sampah plastik di meja-meja kerja ke dalam kantong sampah besar berwarna hitam. Kelihatan sedikit kaget melihatku masuk dan kemudian mengucapkan selamat pagi. Aku tersenyum dan membalas sapaannya.
Aku membuka pintu ruanganku, membiarkan pintunya terbuka dan menyalakan lampunya. Aku jarang menutup pintu kantorku, kecuali kalau memang ada hal-hal yang confidential untuk dibicarakan.
Aku merogoh saku celanaku yang berwarna abu-abu gelap, lalu menatap dengan bimbang sebuah flash disk plastik berwarna putih bergaris orange di telapak tanganku. Aku ingin meletakkannya di meja Riduan tanpa harus bicara apapun. Atau aku akan memberikannya secara langsung. Aku duduk di kursi kerjaku. Sejenak menimbang-nimbang flash disk di tanganku seolah ingin mengukur beratnya dan kemudian meletakkannya di atas meja kerjaku.
Aku mengeluarkan laptopku dari ransel dan meletakkannya di atas meja di hadapanku. Membuka tutupnya dan menekan tombol powernya. Sambil menunggu laptopku siap, aku mencari kabel power listriknya di kantong ranselku. Aku membungkuk meraih ranselku di samping kursi kerjaku. Merogoh kantong ransel mencari kabel dan adaptornya dan menariknya keluar.
Ketika aku duduk tegak kembali dengan kabel laptop di tanganku, Riduan berdiri di sana. Di ambang pintu. Dia memakai kemeja putih bersih, memakai dasi hijau gelap dengan beberapa garis-garis kecil kuning yang tidak mencolok mata. Celananya juga hijau gelap ke abu-abuan senada dengan warna utama dasinya.
Segar dan rapi.
Keren. Aku sadar sejak pertama kali bertemu dengannya di kantor ini, dia memang keren.
Pagi ini dia jauh lebih keren.
Bikin aku deg-degan.
Aku tidak pernah deg-degan melihatnya sebelumnya.
Ataukah karena semalam, maka sekarang aku memandangnya dengan cara pandang yang berbeda?
Dia menatapku, kemudian menatap flash disknya di atas meja di samping laptopku. Aku meletakkan kabel power laptopku di meja samping kemudian meraih flash disk itu. Aku membuka telapak tanganku, megulurkan tanganku mengisyaratkannya untuk mengambilnya.
Dia tidak mengucapkan salam selamat pagi seperti biasanya, bathinku.
Dia melangkah maju mengambil flash disk tersebut dari tanganku. Ujung jarinya menyentuh telapak tanganku. Aku setengah berharap dia akan menggenggam tanganku. Atau menggelitiknya. Atau berlama-lama menyentuhnya.
”Kita butuh delapan copy untuk presentasi nanti.” Kataku perlahan.
Mengapa suaraku berubah. Mengapa pita suaraku tidak mau bekerja sama dalam situasi seperti ini. Atau karena kurang tidur semalam.
“Ok.” Katanya dengan nada biasa. Dia berbalik menuju ke pintu. Dia tahu apa yang harus dilakukan. Ini bukan pertama kalinya aku mengajaknya serta dalam sebuah presentasi penjualan.
”File presentasi itu sudah yang paling update” Aku menjelaskan ke punggungnya yang sedang berjalan keluar, sambil menyambungkan kabel power ke colokan listrik di meja samping meja kerjaku.
Dia berhenti mendadak seolah-olah kata-kataku seperti sesuatu yang menyinggung perasaannya. Atau seperti menyadarkannya akan sesuatu yang tiba-tiba diingatnya. Apakah aku salah bicara lagi?
Ia tidak jadi keluar, meraih pintu kantorku dan menutupnya, dan berjalan kembali ke depan mejaku. Apakah dia akan menjelaskan kalau dia juga tidak bisa tidur sehingga belum jam 08:00 sudah muncul di kantor?
Aku masih sibuk dengan ujung kabel power mencolokkannya ke lubang power di laptopku.
Dia duduk di kursi di depan mejaku. Apakah dia akan mengatakan kalau dia juga memikirkan aku semalaman?