BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

CERBUNG : This Pain is Called... LOVE [Bab 1]

1356722

Comments

  • hmmm, what's next :?: lanjuuuttt
  • Dia mencondongkan badannya mendekat. Sekarang aku menatap matanya. Aku bersyukur mejaku cukup besar memisahkannya dari tempatku duduk. Sebab matanya sedang memandangku marah. Aku belum pernah melihat sorot matanya marah. Kali ini matanya bersinar marah. Membakarku.

    Aku meleleh. Tapi tak melepaskan diri dari pandangannya sedetikpun. Aku ingin tahu.

    ”Saya...” Dia berhenti sejenak menegaskan suaranya. ”Tidak datang ke apartment Bapak, karena appraisal besok.” Setiap kata ditegaskannya satu persatu. Aku juga biasanya begitu pada saat menjelaskan sesuatu yang rumit dan penting. Jelas dia belajar dariku.

    Dia kembali memanggilku bapak. Well, ini di kantor.

    ”How could you accuse me like that?”

    Sebelum aku sempat menjawab, dia melanjutkan. ”I don’t care about the appraisal.”

    “In fact.” Lanjutnya semakin berapi-api. “Bapak boleh menilai saya sejelek apapun. Saya tidak perduli. Saya tahu saya sudah berusaha melakukan yang terbaik yang saya bisa.”

    Dia terus menatapku. Aku juga menatapnya tak bergeming. Sudah tidak ada lagi yang bisa digemingkan. Aku sudah meleleh total.

    Sorot matanya masih membakar. Sudah tidak ada yang tersisa dariku untuk dibakar.

    ”Sudah selesai?” Tanyaku.

    Dia mundur sedikit.

    ”What do you want me to say?” Tanyaku lagi. Seperti burung Phoenix aku bangkit kembali dari abu jasadku.

    “Aku kemarin sudah minta maaf.” Kataku. Masih menatap matanya. Kali ini aku yang marah. Kali ini aku yang membakar. ”And you... You just left!”

    Aku melihat sorot matanya sedikit terkejut. Kemarahannya hilang. Kemarahanku sekarang yang berkobar. Tahukah kamu bahwa aku berdiri di Lobby mematung entah berapa lama setelah melihatmu pergi? Tahukah kamu aku mencuci kaos kaki basahmu untuk berlama-lama merasakan bahwa memang tadi kau berada di apartmentku. Tahukah kamu bahwa aku merasa benar-benar bodoh memeluk handuk bekasmu untuk merasakan harum bekas tubuhmu. How dare you treated me that way. You just left!

    Pak Kosim mengetuk pintu. Office boy tua itu benar-benar tidak tahu timing yang tepat.

    “Masuk.” Kataku. Aku melepas pandanganku dari mata Riduan.

    Pak Kosim masuk membawa nampan berisi dua buah cangkir kopi yang mengepul panas. Aroma kopi Toraja memenuhi ruanganku. Ia meletakkan tatakannya di mejaku terlebih dahulu, sebelum menaruh cangkir kopi itu di atas piring tatakannya.

    ”Kopi saya di meja saya saja, Pak.” Kata Riduan ke Pak Kosim sebelum Pak Kosim meletakkan cangkir kopi satunya. Pak Kosim mengangguk. Riduan beranjak berdiri.

    ”This conversation is not over.” Kataku.

    Pak Kosim sama sekali tidak mengerti bahasa Inggris. Mudah-mudahan ia juga tidak menangkap nada kekesalan yang tertahan dalam suaraku.

    “Yes, it is.” Jawab Riduan sambil berjalan menuju ke cubiclenya.

    Aku mengucapkan terima kasih ke Pak Kosim.
    Aku mengangkat cangkir kopi dan meniup perlahan permukaan kopinya.
    Berharap semua negative energy pagi ini menguap bersama uap kopi panas itu.
    What a way to start the day!

    ***
  • wah ada yang ngambek nih, lanjuuutttt
  • Wah,dunia kerja kantoran... jauh bgt dr kerjaan gw yg sebenernya nyantei bgt.. lanjut dong..
  • Wah...
    Dah page 3 ternyata...
    Makin keren ney ceritanya!!Jangan bosen wat Lanjutin ceritanya ya Ko...!
  • Untungnya waktu berlalu dengan cepat. Banyaknya kegiatan di pagi hari itu membuatku mudah menyingkirkan pikiran-pikiran tentang Riduan yang datang mengganggu. Ya, mengganggu. Aku bukan remaja belasan tahun lagi. Fase-fase kecengengan karena cinta seharusnya sudah berlalu.

    I really don’t need it.
    Aku mencoba menegaskannya dalam hatiku.
    Berulang kali.

    Morning meeting yang dipimpin oleh Pak Willy, membosankan seperti biasa. Penuh dengan kata-kata positif serta wejangan-wejangan yang tidak perlu. Tetapi aku senang memperhatikan reaksi-reaksi rekan-rekan kerjaku. Ada yang mengangguk-angguk seperti mengiyakan. Ada yang sibuk menulis-nulis di buku catatannya. Ada yang menatap Pak Willy dengan pandangan tidak jelas. Riduan hanya menunduk menatap ujung meja di depannya. Apa yang dipikirkannya?
  • Aku duduk di samping pak Willy, menunggunya menyerahkan morning meeting ini selanjutnya kepadaku seperti biasanya. Riduan duduk di seberang meja yang berisi 12 orang ini, tidak tepat di hadapanku. Tetapi cukup strategis tempatnya untuk bisa selalu menatapku atau aku menatapnya.

    Tidak sekalipun ia menatapku. Sesekali ia memandang pak Willy, tidak sekalipun ia melirikku. Aku berusaha memperhatikannya hanya dari sudut mataku.

    Kemudian pak Willy mempersilakan aku mengambil alih meetingnya. Aku meminta beberapa laporan update singkat dari beberapa pending matters dari beberapa Sales Manager. Kemudian menjelaskan secara singkat beberapa prospect penjualan yang sedang kita kejar. Menugaskan beberapa orang untuk menangani beberapa project pemasaran dan meminta tenggat waktu dari mereka. Riduan tidak menoleh kepadaku satu kalipun selama aku berbicara.

    Beberapa kali aku melihatnya sibuk menulis catatan di buku di depannya. Tidak ada indikasi yang terlihat rekan-rekan kerjaku kalau sesuatu sedang terjadi di antara Riduan dan aku. Karena memang dia adalah personal assistantku maka wajar saja ia membuat catatan-catatan untuk setiap perkataanku. Kemudian salah seorang rekan bertanya tentang proyek penjualan yang sedang aku tangani, yang presentasinya dibuat Riduan kemarin. Aku meminta Riduan menjelaskannya. Aku bisa saja menjelaskannya. Tetapi aku ingin melihatnya berbicara.
  • Riduan menjelaskan dengan singkat. Eddy, rekan yang bertanya tadi mengangguk-angguk menerima penjelasannya. Dia memang selalu senang mengangguk-angguk. Aku melirik pak Willy di sampingku yang memandang Riduan dengan bangga selama Riduan berbicara. Kemudian pak Willy menoleh kepadaku tersenyum. Aku melihat ucapan terima kasih dalam senyumnya.

    Aku menutup morning meeting setelah menjawab beberapa pertanyaan lagi. Dan mengucapkan, ”Have a productive day.” dengan nada setengah bercanda.

    Setelah itu aku sibuk memeriksa beberapa laporan. Riduan sesekali muncul di ambang pintu menanyakan beberapa hal mengenai tugasnya. Aku juga mengingatkannya memesan tempat di restoran untuk makan siang untuk 8 orang usai presentasi nanti. Now, the question is, apakah aku akan memintanya untuk ikut mobilku, atau aku ikut mobilnya, ataukah kita bawa mobil sendiri-sendiri. Akhirnya aku memutuskan untuk memakai mobil kantor dengan sopir. Di luar kebiasaanku sebenarnya. Aku biasanya lebih suka menyetir mobil sendiri, kecuali bila aku pergi ke tempat yang jelas-jelas susah untuk mendapatkan tempat parkir dan tidak memiliki valet parking service. Beberapa kali Riduan menumpang mobilku tetapi tidak sekalipun aku pernah menumpang mobilnya.

    ***
  • Seruuu... Lanjut oey.. :lol:
  • Bagus lho ceritanya...
    Mudah-mudahan gag lama-lama yah kisah lanjutannya.
    Lanjutt...
  • Satoo restaurant di Shangri-la hotel Jakarta selalu ramai pada jam makan siang. Seorang greetress restaurant yang cukup manis menyambut dan mengantarkan kami ke meja bundar cukup untuk bersepuluh, seperti yang telah dipesan Riduan. Meja tersebut cukup dekat dengan pintu masuk dan persis di sebelah kaca jendela yang menjulang sampai ke atas. Smoking area. Karena tamu-tamu yang kami ajak banyak yang memang perokok berat.

    Aku sendiri sekali-kali merokok. Social cigarette smoker. Tapi aku belum pernah melihat Riduan merokok. Aku mempersilakan tamu-tamu kami untuk duduk. Aku duduk di sebelah Pak Rahmat, Direktur Utama perusahaan yang akan mengontrak jasa konsultasi pemasaran dari perusahaan kami. Di sebelah kananku Riduan, dan kemudian di sampingnya seorang wanita, Ibu Rita, berusia di awal 30an, manager pemasaran perusahaan mereka diikuti beberapa staff mereka lainnya.

    Waiter restaurant menuangkan air minum di gelas kami, dan mempersilakan kami untuk mengambil makanan di buffet restaurant. Aku mengajak Pak Rahmat untuk mengambil makanan dan menunjuk counter makanan Jepang. Kami berjalan beriringan dan kemudian berpencar. Riduan berjalan dengan Ibu Rita dan seorang staff perempuannya menuju ke counter makanan India. Aku dan pak Rahmat mengambil sushi dan sashimi sambil saling mengomentari pedasnya wasabi.

    Kami berdua kembali ke meja kami terlebih dahulu. Yang lain masih berkeliling mengambil makanan mereka dari banyak meja buffet yang disediakan. Pak Rahmat ternyata juga bukan orang yang suka banyak makan. Setelah duduk di meja, pak Rahmat bertanya, atau mungkin mencoba menawar kembali, mengenai terms pembayaran jasa perusahaan kami. Aku menjelaskannya dan meyakinkannya bahwa terms pembayaran yang kami ajukan adalah yang terbaik yang dapat kami lakukan. Pak Rahmat tertawa dan berjanji akan menanda-tangani surat kontrak perjanjian kami dan mengirimkannya besok pagi. Kemudian sambil menikmati hidangan, kami bicara banyak hal tentang kebijakan politik dan nama baik Indonesia di mata negara lain. Seolah-olah kami lebih tahu dan lebih baik serta lebih pantas menggantikan jabatan Menteri Luar Negeri.
  • Riduan kembali ke meja kami berdua dengan perempuan, staff penjualan, bawahan Ibu Rita, kalau tidak salah Santi namanya. Ibu Rita masih belum kembali, mungkin masih sibuk memilih dari sekian banyaknya makanan yang dihidangkan di banyak meja buffet. Entah apa yang tadinya mereka bicarakan, mereka masih tertawa-tawa pada saat kembali ke meja. Kelihatan sekali kalau Santi sudah merasa sangat akrab dengan Riduan. Dan Riduan dengan sopan meladeninya. Tiba-tiba aku menjadi kurang suka melihat Santi. Aku sadar itu pikiran yang salah. Tetapi tetap saja aku kurang suka, tanpa ingin mencari tahu penyebab sesungguhnya.

    Kurang lebih satu jam kami berada di Satoo restaurant dan kemudian mereka berpamitan. Pak Rahmat menjabat tanganku, mengucapkan terima kasih dan kembali berjanji akan mengirimkan kontrak perjanjian kerja kami ke kantorku besok pagi. Aku mengucapkan terima kasih dan bercanda bahwa aku sendiri yang akan datang menagih kalau dia melupakan janjinya. Kemudian yang lain menyalami aku dan Riduan untuk berpamitan pulang.

    Aku duduk kembali setelah mereka menjauh pergi, meneguk air putih di hadapanku sementara Riduan meminta bill kepada waiter yang paling dekat dengannya dan memberikan kartu kreditnya. Sekarang tinggal kami berdua menunggu waiter tersebut kembali mengantarkan bill makanan kami. Aku memainkan garpu di tanganku menusuk sisa anggur di piring dessertku. Riduan menoleh berkali-kali ke arah waiter tadi menghilang untuk mengambil bill.

    Kenapa dia?
    Gerah karena ditinggal berdua saja denganku?
    Kemungkinan besar begitu.
  • Aku meraih kotak Marlboro putih di depanku, mengambil satu batang dan menyelipkannya di bibirku. Riduan duduk di kursi di sampingku dengan posisi kursi yang sedikit dijauhkan. Satoo restaurant sudah tidak seramai tadi. Aku melirik arloji di tanganku. Jam 13:22.

    Aku menyalakan rokok dan menghembuskan asap pertamanya ke udara. Sedikit menengadah. Riduan menggeser sedikit pantatnya menjauh di kursinya.

    ”Lama sekali billnya.” Katanya

    ”Sabar aja.” Kataku mengulurkan rokokku ke asbak, memutar ujung abunya yang baru sedikit di tengah asbak. Membuat bara nya sedikit lancip seperti ujung pensil warna yang menyala.

    ”Riduan.” Aku memanggilnya tanpa menoleh. Masih memandang asbak dan ujung rokokku. Ini yang aku suka dengan aktifitas merokok. Kita, para perokok, selalu punya kegiatan dengan tangan, mulut dan mata kita untuk sebatang rokok yang menyala. Pengalih perhatian. Namun begitu aku selalu membatasi kegiatan merokokku. Tidak merokok di kantor, di apartment, apalagi di kamar tidur.

    Riduan menoleh. “Ya, Pak?” jawabnya sopan. Ia lebih menghadapku sekarang.

    “Aku pikir…” Sekarang aku menatap matanya. “Aku akan menyerahkan project ini ke tanganmu.”

    ”Sepenuhnya.” Tegasku. Aku melihat matanya yang tajam berkilat. Alisnya sedikit bergerak. Senang? Terharu? Yang jelas bukan heran ataupun marah.

    “Tentu saja masih di bawah pengawasanku. But, it’s gonna be your first project.Your baby.” Kataku menambahkan. Menegaskan. Dengan sedikit nada… don’t screw it up.

    “Of course.” Dia tersenyum senang. Aku merasa seperti ada yang mengalir sejuk di dalam dadaku melihat senyumnya. I made the right decision.

    “Jun..” Dia memanggil namaku.

    “Thanks. I won’t let you down.” Lanjutnya tegas dan penuh antusias.

    Sudah. Sudah. Jangan berlebihan, deh. Memangnya kamu mau memelukku sekarang? Aku tersenyum.

    “You deserve it.” Kataku meyakinkannya. “Kamu ikut ngurus ini sejak awal. You’re the best man for the job.”
  • Waiter datang membawa bill kami di dalam sebuah folder kulit dan menyerahkannya kepadaku. Hehehe, tampangku kelihatannya memang lebih boss dari pada Riduan. Mungkin karena warna kulitku lebih terang. Atau gayaku lebih bossy dan lebih charming? Seharusnya seorang waiter berhati-hati dengan kesalahan kecil seperti itu. Untung memang aku atasan Riduan. Kalau sebaliknya, bukankah itu bisa sedikit menyinggung perasaan. Aku menerimanya, membuka folder itu, memeriksa sebentar angkanya dan menyerahkannya ke Riduan.

    Riduan menanda-tangani struk kartu kredit dan billnya dan waiter tersebut mengambil beberapa copy serta meninggalkan sisanya di dalam folder kulit tersebut, kemudian beranjak pergi tanpa mengucapkan terima kasih. Tidak semua karyawan hotel berbintang lima memberikan pelayanan berkualitas bintang lima.

    Riduan membuka dompet memasukkan bill makanan dan struk kartu kredit ke dalam dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar lima ribuan dan sepuluh ribuan dan menyelipkannya ke dalam folder tersebut.

    Aku mematikan sisa rokokku di dalam asbak bersiap-siap untuk beranjak pergi.

    “Jun.” panggilnya. Dia masih duduk tanpa menunjukkan tanda-tanda untuk siap berdiri.

    Aku duduk kembali, setengah menghadap dia sekarang.
    Setelah aku memberimu project, kamu memanggilku akrab sekarang, huh?
    Kiss ass?
  • Aku mulai bisa meledek dan melecehkannya kembali di dalam pikiranku sekarang. Lebih baik begini, daripada dia yang menguasai pikiranku. It’s good to be back. Kembali ke seorang Junaedi yang membayangkan seorang Riduan hanya sebagai sebuah obyek, sebuah mainan, tempat celaan, meski hanya dalam pikiranku.

    Aku masih menatapnya menunggu. Tampaknya ia sedang mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan apa yang ingin dikatakannya.

    “Saya mungkin datang ke apartmentmu semalam karena saya ingin menunjukkan bahwa saya perduli dengan pekerjaan saya...” Ia berkata sambil menatapku.

    “Sebagian mungkin memang karena performance appraisal saya besok.”

    Tadi pagi tegas-tegas kamu bilang katanya bukan! Ini hanya dalam hatiku.
    Aku masih menunggu kelanjutannya. Tetapi herannya aku tidak merasakan sesuatu perasaan yang berlebihan menguasai hatiku. Ataukah karena ini di tempat umum. Atau karena tadi pagi dia bilang this conversation is over.

    “Tapi Jun,... aku mencium kamu bukan karena kamu atasanku.” Katanya terus menatapku. Aku mencari tahu kalau-kalau ada perubahan dalam sinar matanya. Sinar matanya tulus.

    ”Shhhh” aku tersenyum sambil melirik mengingatkan bahwa kita sedang di tempat umum.

    ”I know.” Kataku menatap matanya meyakinkannya sambil beranjak berdiri.

    Aku berdiri sementara dia masih duduk. Aku membungkuk sedikit mendekatkan wajahku. Aku tahu pasti nafasku bau rokok. Tapi aku tidak perduli.

    ”But you haven’t kissed me.” Kataku perlahan sambil tersenyum. Wajah kami tidak terlalu dekat. Tidak akan ada yang curiga. Hanya dua rekan kerja yang sedikit bergurau setelah business lunch yang membuahkan hasil baik.

    Aku melihat wajahnya sedikit berubah. Setengah ingin tertawa, setengah terkejut atau sedikit gregetan barangkali.

    Aku berjalan meninggalkan meja.
    Dia mengikuti di belakangku.
    This conversation is over.
    Bedanya ini berakhir jauh lebih menyenangkan daripada pagi tadi.

    ***
Sign In or Register to comment.