BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

CERBUNG : This Pain is Called... LOVE [Bab 1]

18911131422

Comments

  • akhirnya berlanjut lg thx yaa, :) :)
  • Hai bro!

    Gw new comer d forum ini n mnrut gw this story is very good.

    Ceritanya bagus coz g terlalu vulgar tapi ttep bikin horny, lnjutkan bro!

    Thanks.
    :lol:
  • BAB V


    I have a boyfriend now.
    Wow!

    Yang menungguku saat pulang kerja.
    Yang mengajakku untuk makan siang bersama
    (lebih sering bergabung bersama yang lain juga, sih).
    Yang menjemputku untuk makan malam berdua.
    Yang tidur di kamarku saat aku membutuhkannya.
    Sayangnya aku tidak bisa memamerkannya.
    Apa kata dunia. Hiks hiks...

    Di kantor, kami berusaha menjaga sikap. Kalau ia masuk ke kantorku, aku ingin menutup pintu kemudian menciumnya atau memeluknya. Tentu saja tidak bisa. Kalau duduk bersama di dalam ruang meeting aku ingin terus memandanginya. Tentu saja tidak mungkin.

    Kami sangat berhati-hati. Jangan sampai ada seorangpun yang curiga. Meskipun begitu beberapa kali ia mencuri-curi kesempatan untuk membisikkan kata-kata nakal di telingaku. Tentu saja pada saat itu tidak ada orang lain di dekat kami. Dan untungnya memang dia personal assistantku, sehingga berduaan dengannya memang sudah menjadi bagian dalam pekerjaan. Tidak ada yang curiga.

    Teman-teman di kantor bahkan sering meledek Riduan sebagai playboy apprentice yang mahir merayu-rayu kliennya. Santi dan Ibu Rita, yang dalam sehari bisa menelponnya berkali-kali. Dan Riduan tidak berkeberatan dengan cemoohan itu, bahkan dengan sengaja mengeluarkan canda dan rayuan mautnya jika ada yang memperhatikan pembicaraan telponnya dengan Ibu Rita atau Santi.
  • Aku sebenarnya tidak terlalu suka. Apalagi kalau Santi yang menelpon. Rasanya ada sesuatu yang tidak enak mengganjal di dadaku mendengar Riduan bergenit-genit di telepon. Padahal aku juga sering berbuat hal yang sama. Mengucapkan kata say, cantik, kangen, dan kata-kata akrab ataupun sok akrab lainnya, memang terbiasa bagi telinga orang-orang marketing seperti kami.

    Mungkin terdengar aneh bagi orang-orang lain yang tidak terbiasa dengan hal seperti itu. Seperti orang-orang accounting yang serius, atau orang-orang human resources yang ja-im. Biasanya mereka melotot kaget mendengar ucapan-ucapan mesra dan basa-basi seperti itu. Seolah-olah pembicaraan itu tabu buat mereka. Mereka mungkin akan melotot kaget mendengar Eddy yang berteriak ”Rid, bini muda lu nelpon lagi, tuh!” Kemudian mungkin mengira-ngira sejak kapan Riduan punya istri kedua. Sementara setahu mereka Riduan masih bujangan.

    Sama seperti bila yang lain berteriak Sugar Daddy nya Andrew, yang dimaksud adalah klien Andrew yang kebetulan bapak-bapak setengah baya yang rajin menelponnya. Tidak ada maksud apa-apa di balik sebutan-sebutan itu kecuali untuk bercanda. Tidak ada maksud apa-apa dalam penyebutan Ibu Rita sebagai istri tua dan Santi sebagai istri muda Riduan. Dan tentu saja kesemuanya itu tanpa sepengetahuan klien-klien tersebut.

    Jika rekan-rekan sekantorku tidak berubah sikap atau curiga akan hubungan Riduan dan aku, tidak demikian halnya dengan pak Willy. Ada sesuatu yang berubah dari caranya menatapku dan caranya memandang Riduan. Aku punya kepekaan tersendiri dalam memperhatikan cara seseorang mempergunakan matanya. Mungkin karena kesukaanku memperhatikan tingkah laku orang-orang di sekitarku dan cara mereka bertatap mata. Aku juga tidak tahu kapan kebiasaan ini mulai tumbuh. Mungkin sejak aku masih kanak-kanak.
  • Pandang mata pak Willy lebih menyelidik pada saat melihatku sedang berduaan dengan Riduan. Kalau ia melihatku duduk mengerjakan sesuatu bersama Riduan di cubicle nya, ia akan menghampiri kami di sana. Sesuatu yang sebelumnya sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah, dilakukannya. Jika melihat Riduan di kantorku, meskipun dengan pintu terbuka, ia akan punya sesuatu untuk segera aku kerjakan. Sesuatu yang membuatku berjauhan dengan Riduan. Entah itu menjelaskan laporan yang sebetulnya sudah sangat-sangat jelas. Atau mengajakku ke kantornya untuk membicarakan hal-hal yang bagiku hanya membuang-buang waktu kerjaku.

    Apakah ia tidak percaya kalau aku bisa memisahkan antara persoalan pribadi dan pekerjaanku? Bukan baru setahun dua tahun aku bekerja untuknya. Atau apakah ia mengira aku yang telah menjadikan Riduan homosexual. Harusnya ia berkaca diri. Seharusnya ia mengira dirinya yang telah menjadikan aku homosexual. Atau barangkali memang itu yang ditakutkannya. Karma atas perbuatannya kepadaku berbalik kepada keponakannya.

    Aku menimbang-nimbang apakah aku harus berbicara kepadanya mengenai hal ini. Dia tetap baik dan ramah. Kecurigaannya tidak menjadikannya bersikap menyebalkan. Tetapi memang aku sedikit menjaga jarak dengannya. Sejak ia mencurigaiku menganak-emaskan Riduan dalam soal appraisal. Karena something has happened. Karena aku meniduri keponakannya?

    Sekarang setelah benar-benar kejadian.
    Haruskah aku melapor?
    But, it’s none of his god damned business!
  • Telepon di mejaku berdering. Aku melihat layar digitalnya, extension Dina.

    ”Jun, bapak minta kamu meeting di Intercon sekarang.” Aku melihat jam tanganku. Pukul 3 lewat beberapa menit, hampir sore.

    ”Meeting apa?” Aku sedikit terkejut mengira ada meeting yang aku lupakan hari ini. Aku melirik calendar di outlook di laptopku dan yakin tidak ada appointment apapun sore hari ini.

    ”Gak tau. Disuruh bawa Sales Report year to date terakhir dan ini aku sudah siapin beberapa document buat bapak. Sekalian bawain ya?”

    ”Ok. Meetingnya jam berapa?” Aku mulai dengan tergesa-gesa membereskan laptopku.

    ”Bapak gak bilang. Cuma kamu disuruh segera kesana.”

    Aku menyandang ransel laptopku, mengambil buku laporan sales terakhir dan bergegas keluar kantorku. Melewati cubiclenya Riduan aku berhenti sejenak menjelaskan kalau aku harus keluar kantor meeting dengan pak Willy dan beberapa clientnya. Dugaanku pasti client yang sangat penting, kalau tidak pastilah tidak akan meeting dadakan seperti ini. Aku menugaskan Riduan mengembalikan beberapa files di mejaku ke tempatnya dan mengembalikan beberapa laporan yang sudah aku periksa.

    ”Ok. Telepon aja kalo ada yang kelupaan.” katanya.

    ”Thanks.”

    Dina memberikan amplop coklat berukuran A4 tertutup rapi dan menyuruhku menelpon ke HP pak Willy dalam perjalanan. Dia tidak tahu ruang meetingnya dimana. Aku mengiyakan.
  • Aku bergegas menuju ke mobilku. Memacu mobilku ke Intercontinental hotel di Midplaza, mengejar sebelum waktu 3 in 1 jalanan dimulai. Untungnya jarak kantorku ke hotel itu tidak terlalu jauh.

    Aku berjalan cepat menuju Lobby Lounge tempat pak Willy menungguku. Dia duduk di tempatnya seperti biasa. Sendirian. Syukurlah tamu-tamunya belum datang. Atau mungkin sedang ke kamar kecil.

    Aku menyapanya sedikit berbasa-basi dan kemudian duduk. Seorang waitress menghampiriku dan aku meminta secangkir hot cappuccino. Pak Willy minta tambah draught beernya. Aku menengok gelas birnya yang sudah hampir kosong. Jam segini minum bir?

    Clientnya mana? Meeting apa ini?

    Aku menyerahkan amplop titipan Dina kepadanya. Pak Willy menerimanya dengan enggan. Kemudian meletakkannya di sandaran tempat duduknya, di belakang punggungnya. Aku memandangnya sedikit heran. Wajahnya tanpa ekspresi. Susah ditebak. Sejak tadi ia hanya sebentar-sebentar menatapku. Selebihnya tidak acuh.

    Aku mengeluarkan buku sales report dan membukanya mencari halaman total sales revenue year to date seperti yang dimintanya melalui Dina.

    ”Tamunya datang jam berapa, Pak? Saya pikir saya terlambat.”

    ”Gak ada yang lain, Jun. Cuma kita berdua.”

    Aku mengangkat alisku. Ada apa ini?

    ”Saya ingin bicara sama kamu. Kamu harus cerita jujur ke saya. Ok?”

    Jantungku tiba-tiba mulai berdegup kencang.
    This can’t be good.
  • ”Mengenai apa, Pak?” Aku menutup kembali buku laporan dan sedikit menekuknya di atas pahaku. Aku mulai gelisah.

    Mengapa aku gelisah. Apakah aku merasa bersalah? Apa yang membuatku merasa bersalah? Aku mencoba mencari jawaban dalam sinar matanya. Masih datar tanpa ekspresi. Tetapi sekarang aku mulai menangkap sedikit kekesalan dalam sinar matanya. Atau barangkali kesedihan.

    ”Tentang kamu dan Riduan.”

    Aku menghela nafas dalam-dalam. Tanpa sedikitpun berusaha menyembunyikannya.

    ”Kamu bilang tidak ada apa-apa. Kamu berbohong.” Ia menatap mataku. Sekarang sinar matanya menunjukkan kekesalannya.

    ”Ini pertama kalinya kamu berbohong ke saya.”

    Kemana waitress tadi? Lama sekali cappuccinonya. Aku butuh bantuan mengalihkan kejengkelanku. Sebelum kejengkelanku memuncak mengalahkan akal sehatku.
  • Aku sudah terburu-buru seperti dikejar setan hanya untuk diinterogasi seperti ini. Apa-apaan ini? Setahun yang lalu mungkin urusan ini masih relevan. Sewaktu aku masih jalan dan tidur bersamanya. Tetapi sekarang? Apa urusannya? Meskipun Riduan keponakannya, bukan berarti ia berhak mencampuri urusannya tidur dengan siapa. Apalagi aku.

    Aku menatap matanya. Tidak sedikitpun berniat menyembunyikan kejengkelanku. Ia juga balas menatapku masih dengan kekesalan yang menggumpal.

    ”Waktu saya bilang tidak ada apa-apa, memang tidak ada apa-apa waktu itu.” Ada sedikit nada jengkel dan aku tidak berusaha menyembunyikannya.

    ”What do you mean?”

    ”Saya tidak berbohong.” Aku mengucapkan setiap kata perlahan dan tegas, satu persatu. Masih terus menatap matanya. Biar dia tahu bahwa tidak ada sesuatupun yang ingin kusembunyikan.

    ”Kejadiannya setelah itu.” Lanjutku. Sinar matanya berubah.

    ”Kapan?”

    OMG!
    Aku mulai benar-benar jengkel.

    ”Why?” Aku berusaha meredam suaraku yang hampir meninggi. ”What difference does it make?”

    Untung Lobby lounge ini masih sepi. Hanya sedikit meja yang terisi.

    ”Kapan?” Desaknya lagi. Tidak memperdulikan keberatanku.
  • Aku berpikir untuk bangkit berdiri meninggalkannya. Baru kali ini seingatku seorang pak Willy bertingkah begitu menyebalkan.

    Waitress tadi datang membawa pesanan minuman kami. Akhirnya! Aku mempergunakan waktu ini untuk mengatur nafasku. Menenangkan emosiku yang menggelegak. Aku bahkan sudah tidak perduli bahwa ia adalah atasanku. Aku tidak perlu menjawabnya. Aku tidak ingin menjawabnya.

    Aku menyobek gula sachet dan menuangkan gulanya perlahan ke dalam cangkir cappuccinoku. Kemudian mengaduknya juga dengan perlahan.

    ”You’re not going to tell me.” Perlahan seperti menggumam.

    ”Nope.” Aku menghirup kopi cappuccino panasku perlahan-lahan.

    Ia menghela nafasnya dalam-dalam. Tiba-tiba aku merasakan kesedihannya.

    ”Saya menanyakan ini bukan sebagai atasanmu.”

    ”I know.”

    ”And you still don’t want to tell me?”

    ”Nope.”

    ”Kamu sengaja melakukannya setelah saya menuduh kamu?”

    Oh, jadi waktu itu, pertanyaan itu ternyata sebuah tuduhan.

    But I don’t want to fight.
    Dan ini bukan tempatnya untuk bertengkar.
  • ”Pak... why are you doing this?” Aku menatapnya sekarang dengan lebih tenang. Bagaimanapun kami pernah sangat-sangat dekat. Dan mengesampingkan caranya yang menyebalkan, keperduliannya kepadaku tetap membuatku merasa tersanjung. Aku berusaha berfikir positif, mencoba meredakan kekesalanku.

    ”Dia keponakanku, Jun.”

    So?

    ”Apa kamu gak merasa bersalah, membuang pamannya dan kemudian tidur dengan keponakannya?”

    Bullshit!
    He knows me better than this.

    ”Why are you doing this?” Tanyaku lagi. Lebih lirih, seperti kepada diriku sendiri.

    Apakah ia sedang berusaha menyakiti aku? Apakah ini caranya membalasku yang melepaskannya untuk kembali kepada keluarganya. Apakah dipikirnya aku meninggalkannya dengan sangat-sangat mudah? Membuangnya??? Mataku mulai berkaca-kaca menahan kekesalanku. Dan ia melihatnya.

    Dia tetap tidak menjawabku. Aku juga tidak ingin menjawab pertanyaannya. Dia pun tak ingin menjawabku. Pertanyaan-pertanyaan kami menggantung di udara. Barangkali memang pertanyaan-pertanyaan itu tidak membutuhkan jawaban. Some questions are best left unanswered.

    Aku berhenti menatapnya. Aku meneguk kembali kopiku. Ia mengangkat gelasnya dan meminum birnya. Kami tidak berkata apa-apa lagi.

    ”Please stay with me tonight, Jun.” Akhirnya ia berkata. Setengah berbisik, menatapku mengharap.

    ”Kris dan anak-anak sedang di Sydney.”. Lanjutnya menjelaskan.

    Aku kembali menatap matanya yang memperhatikanku. Dan dalam sinar matanya itu... kini aku mengerti bahwa ia masih mencintaiku. Kata-kata cintanya kepadaku ternyata bukan cuma rayuan kosong. Dan aku tersadar kalau aku telah salah menilainya. Ia bukan orang yang mudah mengatakan cinta.

    Ia benar-benar mencintaiku.
    Sangat mencintaiku.
  • indokoko wrote:
    ”Pak... why are you doing this?” Aku menatapnya sekarang dengan lebih tenang. Bagaimanapun kami pernah sangat-sangat dekat. Dan mengesampingkan caranya yang menyebalkan, keperduliannya kepadaku tetap membuatku merasa tersanjung. Aku berusaha berfikir positif, mencoba meredakan kekesalanku.

    ”Dia keponakanku, Jun.”

    So?

    ”Apa kamu gak merasa bersalah, membuang pamannya dan kemudian tidur dengan keponakannya?”

    Bullshit!
    He knows me better than this.

    ”Why are you doing this?” Tanyaku lagi. Lebih lirih, seperti kepada diriku sendiri.

    Apakah ia sedang berusaha menyakiti aku? Apakah ini caranya membalasku yang melepaskannya untuk kembali kepada keluarganya. Apakah dipikirnya aku meninggalkannya dengan sangat-sangat mudah? Membuangnya??? Mataku mulai berkaca-kaca menahan kekesalanku. Dan ia melihatnya.

    Dia tetap tidak menjawabku. Aku juga tidak ingin menjawab pertanyaannya. Dia pun tak ingin menjawabku. Pertanyaan-pertanyaan kami menggantung di udara. Barangkali memang pertanyaan-pertanyaan itu tidak membutuhkan jawaban. Some questions are best left unanswered.

    Aku berhenti menatapnya. Aku meneguk kembali kopiku. Ia mengangkat gelasnya dan meminum birnya. Kami tidak berkata apa-apa lagi.

    ”Please stay with me tonight, Jun.” Akhirnya ia berkata. Setengah berbisik, menatapku mengharap.

    ”Kris dan anak-anak sedang di Sydney.”. Lanjutnya menjelaskan.

    Aku kembali menatap matanya yang memperhatikanku. Dan dalam sinar matanya itu... kini aku mengerti bahwa ia masih mencintaiku. Kata-kata cintanya kepadaku ternyata bukan cuma rayuan kosong. Dan aku tersadar kalau aku telah salah menilainya. Ia bukan orang yang mudah mengatakan cinta.

    Ia benar-benar mencintaiku.
    Sangat mencintaiku.

    hebat bro
    bisa dapat2nya
    paman ama keponakan.
  • Ur decision is rite! Dont play with married man..
  • so far,u've made the right decision. pease!! do not stay with him!! i hate it if u do that. u r going to hurt ridwan like hell!! since u havent told him ur past affair with his uncle n now u r going to spend the night with him?? u'll torn ridwan apart...
  • Wah, kalo mas jun' nrima ajakanya, berarti?? Ada 2 orang yg diselingkuhin..
    Waduh2, pusing juga ya..
    Tapi tambah seru juga deng..
    -em sekalian aja ridwan diajak tidur brng ama pamanya..Hehe<becanda lo>

    tp ak tetep berharap, mudah2an gk ad perselingkuhan.
Sign In or Register to comment.