It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Langit Bali menggantung di atas sana, dengan kumpulan mega-mega putih yang seperti kapas putih, membuatnya terlihat sedang bermalas-malasan di pangkuan langit.
Damai. Tenteram.
Hatiku mencerna pemandangan di hadapanku. Mencoba mengalihkan prahara yang berkecamuk di pikiran.
Angin membelai. Kucium aroma garam. Samar-samar, kudengar suara debur ombak, bagaikan simfoni. Halus. Merdu. Menina-bobokan malam-malam terjagaku. Samar-sama pula, kuulas sebuah senyum.
Delapan belas tahun sudah aku mengenyam Bali. Mencoba beraneka ragam makanan laut. Merenangi laut dan berselancar pada ombak. Menontoni hiruk pikuk di pantai dan para bule yang mencari liburan. Tapi aku masih saja takjub pada Bali. Pada alamnya. Pada langitnya. Pada turisnya. Pada kehidupannya.
Delapan belas tahun.. meski dipenuhi oleh kesulitan dan air mata, aku masih bisa berdiri tegak sampai hari ini.
Mungkin semuanya akan berubah sebentar lagi....
*
Dengan kedua tangan di saku celana, aku menengadah menatap gedung hotel itu. Tinggi menjulang. Dulu, ada rasa kagum yang memecah di dada. Sekarang, yang ada hanya rasa galau yang terus bergejolak.
Kurapikan rambutku. Bajuku. Bagaimanapun, ini kali pertama aku menginjakkan kaki di bangunan mewah itu.
Langkahku terasa berat, namun kumantapkan hatiku. Aku tak punya pilihan lain....
Lorong menuju kamar 1012 terlihat hening. Dari lift, kamar itu hanya berjarak 10 langkah. Namun kakiku terasa berat. Akh, aku tak ingin berlama-lama dengan melankolis ini. Tak ingin berlarut-larut dengan cengeng ini. Kau laki-laki, Rei..
Kuketuk pintu itu. Pelan.
Ceklek! Seorang wanita menyapa. Jejak waktu telah mengukir begitu banyak cerita di wajahnya, yang ia coba tutupi dengan kosmetika. Mama Loren.
Seulas senyum terukir jelas di bibirnya tatkala ia melihat aku.
"Masuk," ujarnya.
Di dalam kamar yang cukup luas itu, kudapati beberapa pemuda. Cakep. Bertelanjang dada. Memamerkan otot-otot yang terlatih di fitness center. Putih. Dan terlihat sudah berpengalaman.
"Mandi, dan ganti bajumu, Rei. Nanti Mama akan membantumu dandan."
Kuturuti perintahnya. Setengah jam kemudian, aku sudah berganti kostum. Celana pendek yang ketat sekali. Dan berada di tengah-tengah orang asing, aku merasa sedikit risih. Minder. Aku tidaklah cantik seperti mereka. Ototku hanya otot yang terbentuk oleh alam. Kulitku gosong terbakar matahari. Tapi, kata Mama Loren, aku sempurna untuk klien-kliennya. Terutama karena aku.. masih 'pemula'.
Aku duduk di pojok ruangan. Kupenjamkan mata. Terbayang lagi wajah Papa. Mama. Reina, adik kecilku. Dua minggu lalu, Papa meninggal, meninggalkan utang yang bertumpuk dan Mama yang sakit-sakitan. Tiga hari lagi, penagih akan datang, dan bila kami tak mampu menebus, mereka akan membawa Reina. Menjualnya. Lalu entah apa yang akan terjadi apa adikku itu. Klise. Getir.
"Ayo bersiap," pinta Mama Loren.
Kami semua berbaris, meninggalkan kamar. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku menyisipkan do'a. Pasrah. Aku..tak punya pilihan lain.
[continued]
Hatiku berbisik gugup. Mungkinkah?
Di depan pintu 2019, aku kembali memantapkan diriku. Setelah ini, semua akan berakhir. Aku akan pergi dan tak akan kembali. Yang terjadi, biarkan terjadi. Yang berlalu, biarkan berlalu.
*
Seperti kurir yang mengantarkan pesan klien, Mama Loren beranjak setelah aku bertemu dengan sang pembeli.
Pria itu, terlihat sama canggungnya denganku. Pria itu, masih muda. Sekitar 30-an, tebakku.
Bermenit-menit lamanya kami hanya membiarkan diam menjejak di atmosfer. Kesunyian yang terasa lama. Terasa membalut, dan membuat nelangsa.
Bagaimanapun, aku miliknya. Setidaknya untuk beberapa jam ke depan.
"Di mana aku harus memulai..?" desisku, nyaris tak bertenaga. Dia bergeming di kursinya. Aku tahu ia mendengar.
Aku menghampirinya. Berlutut di hadapannya. Menatapnya lekat. Tapi ia malah mengalihkan tatapannya. Menerawang entah ke mana. Detik itu pula, kutangkap lara di sudut matanya. Kutangkap galau yang membayang di sudut bibirnya. Kulihat pula seraut wajah yang lelah, menyimpan semua guratan ketampanannya..
Ia menghela napas. "Duduklah. Mari berbincang.."
Aku tercengang. Apakah ia tidak membeliku untuk cinta sesaat?
"Kamu.. mengingatkan aku pada kekasihku.."
"Karena itulah Bapak memilihku?"
Ia mendengus. "Panggil aku Heri. Dan tidak, aku tidak memilihmu."
Keningku mengernyit. "Lalu.."
"Rekan-rekanku di luar sana, peserta arisan itu yang memilihkan untukku.." Ia betulan tampak gugup dan nelangsa. "Hari ini... aku ultah.."
"Di mana kekasihmu, Her? Bukankah seharusnya kau merayakannya bersama-sama dengannya?"
"Ia.. meninggal dua tahun lalu.."
[continued]
Aku pun menjadi tahu, bahwa ia adalah eksekutif muda dari Jakarta. Ia bertemu kekasihnya lima tahun yang lalu. Lima tahun yang baginya terasa amat singkat. Amat pilu. Dan kematian yang memisahkan mereka seolah juga mengambil semua kenangan manis yang pernah membuatnya tersenyum. Kenangan manis yang ia ingin coba temui kembali melalui gelas-gelas alkohol. Meski semu. Meski tak berarti. Hanya itulah tiket menuju kenangan dan nostalgia.
"Jangan minum lagi, Her.." Ia sudah mabuk. Dan hatiku betulan trenyuh.
Ia tertawa hampa. Lalu merenggutku dalam pelukannya. Menciumiku dengan kasar. Bau alkohol begitu terasa. Begitu membuat mual. Tapi ia klien.
Lalu
terjadilah
.
.
.
Dua tubuh bugil saling bertindihan. Debar jantung dan desah napas melekat bagaikan bersenyawa. Kejantanannya yang mekar dan merah memompakan seluruh nafsunya ke dalam diriku. Aku terkesiap. Aku mengerang. Lalu ia membekap mulutku dengan bibirnya. Lidahnya menjelajahi kulitku. Membuatku menggelinjang. Membuatku lupa. Membuatku orgasme..
Usai hormon-hormon mereda, usai orgasme mereda, yang ada hanya rasa sakit. Aku menarik napas banyak-banyak. Kuat-kuat. Ia sudah terlelap. Entah pulas atau tidak, aku tak tahu. Bagaimana bisa ia tidur dengan nyenyak bersama dengan beban yang demikian berat?
Aku mengusap punggungnya. Rambutnya. Kucium keningnya.
Kutinggalkan saat pertamaku di sini, untukmu.. bisikku. Semoga kau menemukan pengganti dirinya. Berbahagialah..
Aku bangkit dari ranjang. Mencuci diriku di bawah kucuran shower. Dan beranjak pergi diam-diam.
[continued]
KENAPA YA KALAU LAGI SERU2 NYA JALAN CERITA KITA HARUS NUNGGU KELAJUTANNYA BERHARI-HARI ..................SEMOGA YANG INI ENGGAK
Rinainya kian menderas. Berderai. Meluap. Mencuci jalanan dan langit, atap dan gedung. Membawa semua kesah bermuara ke laut.
Tapi tidak mencuci pergi sedihku. Tidak membawa kepahitan dari sudut mataku. Pipiku basah. Bukan karena air mata, tetapi karena air hujan. Aku ingin menangis, menumpahkan semua gundahku, seperti ketika aku yang masih tiga tahun menangis sesunggukan di pangkuan Mama. Tapi tak ada air mata yang keluar. Hanya hati yang pilu. Jantung yang ngilu. Dada yang sesak.
Dan nisan kecil di depanku seperti menyeret semua semangatku, senyumku, dan segalanya.
Mama....
Ada gelap yang membalut ragaku. Ada hampa yang mengisi paru-paruku.
Mama meninggal. Sakitnya tak tertolong..
Ma, do'akan aku dari surgamu. Titip salam untuk Papa, Ma... Aku sayang Mama...
AKu beranjak dari nisan itu. Langit yang kelabu mengingatkan aku pada masa sebulan yang lalu, ketika aku melangkah keluar dari hotel itu. Melangkah tanpa menoleh ke belakang lagi. Dan aku akan melakukan yang sama sekarang...
*
Rumah begitu lengang. Aku masih kuyup, tapi kusempatkan diri melihat Reina. Ia terlelap di sofa kecil di ruang tamu. Wajahnya begitu damai.
Lalu pandanganku mengabur. Air mata itu jatuh, satu demi satu. Bulir demi bulir. Aku berlari ke luar rumah. Kutengadahkan kepala. Membiarkan hujan mencurahi wajahku. Tapi aku tak sanggup mencegah isak ini. Aku jatuh berlutut. Dadaku naik turun.......
Aku
.
.
.
takut..................
Reina.
"Kak..."
Kuusap mataku. Pipiku. Setidaknya aku harus kuat, bukan hanya untuk diriku sendiri, tapi juga untuk Reina.
Ia membantuku berdiri.
"Na.. kita butuh rencana ke depan.."
Kami saling menatap. Apakah berjalan terus ke depan berarti membuang masa lalu...?
*
Berminggu-minggu lamanya aku dan Reina mencari-cari tiket keluar dari Bali. Kami perlu meninggalkan seluruh kepahitan di sini. Setidaknya untuk sekarang.
Aku hampir putus asa. Lalu mendadak tawaran beasiswa D3, untukku dan Reina, meski untuk jurusan yang berbeda, muncul begitu saja. Untuk universitas di pinggiran Surabaya yang baru saja dibuka.
"Tapi, itu kan berarti kita meninggalkan Bali?"
"Ya. Kita mulai hidup yang baru, Na. Lagipula, kita tak punya apa-apa dan siapa-siapa lagi di sini. Kuliahku sudah terbengkalai sejak Papa meninggal. Daripada kau menganggur di sini, lebih baik kita ke Surabaya.."
Ia tampak bimbang. Sejujurnya, ada juga sedikit rasa itu di sudut hatiku. Seandainya aku boleh memilih...
Apakah Surabaya lebih baik dari Bali?
Apakah kehidupan kami akan lebih baik di sana? Kami tak mengenal siapa-siapa di sana...
Apakah kami memang cukup kuat untuk memulai yang baru?
Berbagai pertanyaan yang mungkin hanya Tuhan yang tahu jawabannya. Dan untuk itu, mungkin seharusnya aku memasrahkan semuanya pada Tuhan.. Mama, Papa.. do'akan kami.
[continued]
Piuh. Bingung neh melanjutkannya. Ga enaknya posting di sini adalah tulisan yang sebelumnya ga mungkin diedit (bisa diedit, tapi ntar malah ceritanya ga jadi2 lage hehehe). Jadi, agak ga fleksibel untuk ide-ide baru yang mendadak muncul.
Pas bikin Act 5, jadi ingat komentar pedas temen gue kemaren. Ia tipe orang yang paling ga suka 'loncatan mendadak' di cerita fiksi, 'loncatan-loncatan' yang agak ga masuk akal, atau yang terkesan serendipity. Mungkin pembaca suka ngerasa ya, loncatan itu terlalu drastis, mendadak pindah ke Bandung untuk kuliah D3 karena dapat beasiswa. Untuk dua orang pula. Sebenarnya ada ide untuk menceritakan kedua kakak-beradik ini tetap di Bali, mungkin untuk 4 tahun ke depan. I mean, mereka kan masih punya sanak saudara di Bali, pastinya.
Anyway, buat yang udah mampir dan membaca, thanx banged ya. Ini belum selesai koq. :P
Buat Bahar_69 dan Rainbow_bdg, thanx for the comment and supports. Semoga ide ga mentok di kepala, jadi bisa posting daily. hahaha.. peace..
Kulirik Oom. Kulihat ia menghela napas panjang.
"Setidaknya ada Oom di sini."
Aku menggeleng. "Terima kasih, Oom. Tapi kami ingin kehidupan yang baru.."
Rumah kami sudah dijual. Uang dihasilkan akan dipakai sebagai modal untuk kehidupan baru kami di Surabaya nanti.
Berat. Pahit. Melihat sebuah rumah yang penuh kenangan berpindah begitu saja.. Tapi, sekali lagi, aku tak punya pilihan. Oomku satu-satunya ini juga hidup pas-pasan dengan 5 anaknya.
*
Kutatap langit Bali. Laut Bali. Pantai Bali. Hiruk-pikuk dan terik yang masih sama. Keindahan yang masih sama. Tapi tidak lagi terasa seperti surga. Yang ada hanyalah gambaran masa lalu yang kelam; bagaimana Papa terbunuh, Mama meninggal, dan hotel itu... Aku sadar, aku bersikap eskapis. Tapi, aku juga yakin, waktu akan menyembuhkan semua luka.
Selamat tinggal, Bali....
Bandara Ngurah Rai terlihat begitu ramai. Begitu semrawut. Setelah check-in dan membayar airport tax, aku dan Reina beranjak menuju ruang tunggu. Menunggu detik-detik yang akan benar-benar memisahkan kami dari Bali. Tak tahu sampai kapan.............
Panggilan terakhir lalu menggema. Aku dan Reina berbaris menuju pesawat yang akan membawa kami..
Dari kaca jendela pesawat, langit Bali terlihat begitu berbeda. Luas. Tak terjangkau. Misterius. Lalu setelahnya, hanya warna biru dan awan putih yang terlihat. Datar. Dan tawar..
*
Sementara itu, di bumi Bali...
Heri tampak gelisah menunggu pesawatnya. Rekan-rekan arisannya telah lama kembali ke Jakarta. Hanya ia yang memilih tinggal. Bukan karena alasan bisnis, tetapi karena..pemuda itu. Pemuda yang digaulinya di hotel. Pemuda yang sampai sekarang masih menghiasi dinding hatinya. Rei.
Ia meragu. Apakah ini hanya pelarian? Apakah ini cinta? Atau hanya nafsu? Apakah karena Rei begitu mirip dengan almarhum kekasihnya? Begitu banyak pertanyaan yang tak terjawab. Dan untuk itu, ia butuh menemui Rei sekali lagi. Tetapi sosok itu seperti menghilang. Entah ke mana. Entah di mana.
Ia terus mencari. Hingga akhirnya waktu tak mungkin lagi berkompromi. Perusahaannya membutuhkannya.
[End of Chapter 1..continued to Chapter 2. Tetap baca yak... ]
So, Chapter satu udah kelar neh (Cie.. gaya..hehe). So, intinya, pada akhirnya aku mengubah setting dari Bandung ke Surabaya. Lebih realistis ajah, soalnya Surabaya kan deket amat Bali. Iya toh? Anyway, open neh buat kritik en saran.
Apakah Heri akan bertemu lagi dengan Rei?
Bagaimana kehidupan baru yang diinginkan Rei?
Apakah Rei akan bertemu dengan belahan hatinya?
Nantikan ya... :P
Aku sudah terjaga, walaupun sebenarnya masih mengantuk. Semalaman aku tak bisa terlelap. Kuusap mataku. Jam meja kecil di samping kasur menunjukkan hari masih pagi. Alarmku baru akan berbunyi sejam lagi.
Tapi aku sudah kehilangan seleraku untuk tidur...
Sesuatu di selangkanganku sedang mengeras. Heran. Baru juga tiga hari aku di sini. Belum juga benar-benar beradaptasi. Maish belum bisa terlelap degan nyenyak. Eh, sekalinya terlelap malah bermimpi aneh. Mimpi tentang dia..
Dan hasilnya seperti ini. Aku.. ngaceng. Duh. Memang normal. Normal sekali.
Duh... seluruh tubuhku rasanya ikut memanas. Ikut bergejolak.
Buru-buru aku melangkah ke kamar mandi. Melepas segalanya. Lalu mengguyur diriku berkali-kali. Dingin. Bulu kudukku sudah berdiri. Sama tegaknya mungkin dengan batangku di bawah sana, yang menolak untuk turun juga.
Apa boleh buat..........................................
[continued]
Imajinasiku melayang ke langit ke-tujuh. Liar. Seperti petir yang berloncatan tanpa kendali di awan-awan. Gemuruhnya sampai ke seluruh raga. Membebaskan dopamine dan adrenalin.. Aku mengerang. Aku terengah.
Lalu, meletuslah seluruh nafsu itu. Bertransformasi menjadi cairan kental seputih susu. Tubuhku, bersimbah peluh. Tubuhku, bersimbah pejuh.
Dan semuanya kembali kosong. Kembali hening. Kembali nelangsa. Semua realita kembali terpampang, merenggut imajinasi paling liar sekalipun, lalu memasukkannya ke dalam kerangkeng.
Aku menarik napas lagi. Kuat-kuat. Dalam-dalam.
Lalu terbayang dia.. Tidak! Tidak! Kuraih lagi gayung. Kusiram kepalaku. Kusiram wajahku.
.
.
.
tapi bayangan itu belum mau pergi juga...
[continued]