BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Dia..Lelakiku

124678

Comments

  • SonicBoy89 wrote:

    Good story.. Mau d critain adegn erotis lebi byk jg gpp..anggp pelengkp aja. Tp aku lebih prefer ke crita personality ny.

    Btw, gmn dgn bang heri??

    *penasaran*

    -CMIIW-

    thanx. hehehe.. Mmm.. Bang Heri masih akan ada porsinya koq. Tapi tunggu aja. Ini selesaiin Chapter 2 dulu. Sebentar lagi selesai koq, chapter duanya (gaya pisan haha)..

    Buat yang udah baca dan meninggalkan komentar, thanx ya. Salam kenal juga.
  • Kutatap Reina. Lekat-lekat. Ah, ia cantik sekali. Matanya sedari tadi membulat, memancarkan binar-binar bahagia. Binar-binar yang kurindukan. Binar-binar yang tak pernah terlihat lagi 3 tahun terakhir ini...

    Dalam balutan gaun putihnya yang sederhana, Reina mengingatkanku pada almarhumah mama. Sederhana dan klasik, tapi anggun dan memikat.

    "Na...," bisikku samar, sebelum mengiringinya ke altar, "Kamu harus bahagia, ya.."

    Ia menatapku. Lalu memelukku. Erat.
    Aku mengusap punggungnya. Hari ini, adik kecilku itu akan menikah. Ma, Pa, kalian lihat tidak? Reina menikah hari ini...

    Tapi, hari ini, bukannya waktunya bersedih. Hari ini waktunya bahagia. Kusimpan air mata sentimental ini.

    "Ayo, Na.."

    Diiringi langkahku, dan tatapan sanak-kerabat, teman-teman, dan pengantin pria, kami berjalan mendekati altar dan pastor.

    [continued]
  • Tatapanku menerawang, seiring pemberkatan yang dilakukan oleh pastor. Seiring sumpah setia kedua mempelai di depan altar..

    Akankah ada hari ketika aku melakukan hal yang sama...?


    Ketika kesetiaan dan komitmen menjadi pertanyaan, masih bisakah suatu hubungan berlanjut?
    Ketika cinta dan nafsu sulit dibedakan, masih berartikah malam-malam yang intim?

    Aku merasa gamang. Galau. Dan aku teringat lagi pada Tomi. Aroma perpisahan masih begitu lekat di mataku.

    Akh..kuhalau semua sedih. Hari ini, aku harus turut berbahagia. Adikku satu-satunya menikah. Hari ini, bukan saatnya memainkan opera cengeng di dalam hati.

    Reina menoleh padaku, usai pemberkatan dilakukan. Kuulas sebuah senyum.

    Mulutnya menggumamkan sesuatu. Dan kali ini, aku mengangguk...

    Bali, aku pulang menjengukmu...
  • Chapter 3 - Act 24

    Kurasakan lengan kokoh itu menyusup, memelukku dari belakang. Dari ranjang besar, kulihat jendela yang masih tertutup gorden. Sinar matahari samar-samar membentuk siluet. Langit biru tak pernah bisa terlihat dari kost Tomi.
    'Suatu hari nanti, aku berjanji, akan membangunkan istana untuk kita. Dari atas ranjang kita, kau akan bisa melihat langit yang baru. Dan aku, akan bisa melihat matahari menyinari wajahmu..'

    Kuremas jemari Tomi.

    *

    Kuhela napas. Rumah baru Reina memang sederhana. Dari kamar tamu yang kecil ini, melalui jendelanya aku bisa melihat pemandangan tepi pantai. Menyeretku kembali dalam nostalgia masa kecilku. Menyeretku kembali dalam genangan memori bersama Tomi.

    Sedang apa kau sekarang?


    *

    'Jakarta?'
    Tomi memalingkan wajahnya.
    'Lalu..kita?'
    'Tergantung padamu..'

    Dan saat itu, cinta seperti kehilangan kata-kata. Kehilangan makna. Seperti kopi pahit yang terlalu kental, sehingga berapapun sendok gula yang ditambahkan, si pahit tak akan berubah menjadi manis.

    'Jangan menggantungkan keputusan padaku.'
    Tomi terperangah. Lalu menunduk.
    'Kau..cinta padaku?'

    [Continued]
  • Adakah penyesalan dalam cinta? Jika ada, masihkah perasaan itu bisa dilabeli sebagai cinta?

    Aku sungguh tak mengerti. Dan mungkin tak akan pernah. Aku bangkit, dan duduk di tepi ranjang. Masih tak berniat keluar kamar. Kulirik jam di samping meja. Angka-angka digitalnya berkedip menunjukkan pukul sepuluh. Sudah siang. Tapi aku masih mengantuk. Insomnia itu begitu menyiksa....

    *

    Tomi masih diam. Ah, memang benar. Cinta itu telah menguap pergi, hilang tanpa meninggalkan jejak. Kopi itu bukan hanya pahit, tetapi juga telah mendingin. Kehilangan jejak bara panasnya...

    'Aku tak keberatan mengenai masalah jarak..'

    Kali ini, ia menengadah. Matanya sayu menatapku. Lalu ia memelukku.

    'Aku... lebih baik tak pergi..' bisiknya lirih.

    Tanganku mengejang di udara. Tak sanggup membalas pelukannya.
    'Karena aku?'
    Kurasakan kepalanya bergerak mengangguk. Jawaban yang salah..

    Kudorong tubuhnya.
    'Kau harus pergi.'

    *

    Adakah penyesalan dalam cinta..?
  • Apa artinya jarak dalam cinta?
    Kesepiankah?
    Kesetiaankah?

    *

    Kutatap lekat-lekat wajah itu. Ah, betapa inginnya aku menghambur ke pelukannya. Menciuminya. Mengatakan aku mencintainya. Menggenggam tangannya..

    Tapi aku hanya membeku. Membisu. Dan tak berdaya. Biarpun begitu banyak yang ingin kuutarakan. Begitu banyak doa yang ingin kusematkan.

    Persetan! Aku benci ini semua...

    Dari jendela gerbongnya, Tomi menatap diriku. Ekspresinya tawar dan datar.
    Aku tak tahu bagaimana dengannya, tapi waktu itu, rasanya dunia telah berakhir..

    *

    Air mata itu menetes satu-satu. Tanpa tertahankan. Semakin ingin kutahan, semakin sesak dadaku. Kecuali papa, belum pernah aku menangisi lelaki manapun..

    Aku bergegas ke kamar mandi. Membasuh wajahku berkali-kali. Kurasakan dingin itu menyengat. Tapi mataku masih tetap panas. Menyengat. Sedih yang tertunda itu meluap membanjiri pipiku. Aku jatuh terduduk, berusaha mengambil napas, satu demi satu.

    Inikah rasanya perpisahan?
  • 2019.

    "Pak.."
    "Pergilah.."

    Pemuda itu melongo. Entah harus merasa terhina atau gembira. Belum pernah ia bertemu dengan klien yang menolak bercinta dengannya. Belum pernah ia bertemu dengan klien yang bersedia membayarkan sejumlah uang atas sesuatu yang belum dilakukannya.

    Hot money. Siapa yang menolak? Pemuda itu kemudian pamitan, meninggalkan Heri dalam ruang kamarnya yang sepi. Heri menatap ke jendela kacanya. Mendapati awan yang berarak gagah. Mendapati langit yang putih pucat. Mendapati Kuta yang merentang indah..

    Semuanya masih sama.

    *

    Heri menatap Ngurah Rai untuk kesekian kalinya. Berharap pada keajaiban di detik-detik terakhir. Berharap bahwa entah bagaimana caranya, pria yang ditunggunya selama ini akan muncul, menepuk bahunya, dan menyapanya. Lalu ia akan mengejar ketertinggalannya. Menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang tanpa akhir. Atau bahkan hanya duduk diam, di sisinya, dan memandang wajahnya.

    If I still couldn't find you, I would move on.. Ia berbisik samar pada dirinya sendiri.

    Ketika pesawat mengangkasa, Heri memenjamkan matanya erat-erat.
    Kenapa kau mesti berlalu waktu itu?
    Kenapa aku mesti mabuk?
    Ada di mana kau sekarang?
    Sudah berapa lelaki yang membayarmu untuk menjamahimu?


    Hatinya tak rela. Hatinya marah. Hatinya cemburu.
    Tetapi ia juga tak berdaya, selain mengucapkan sebaris kalimat itu.

    Good bye, Reis..


    [continued]
  • Dilanjutkan juga nih... :)
  • lnjutkan ceritanya.....

    bgus ceritanya... tp di beberapa bagian gw agak bngung baca n ngartiin yg lo mksud bang reis
  • lnjutkan ceritanya.....

    bgus ceritanya... tp di beberapa bagian gw agak bngung baca n ngartiin yg lo mksud bang reis
  • Ombak bergulung-gulung, kemudian memecah berderai. Seperti seorang bocah kecil yang tertawa riang. Sambil menyusuri sepanjang garis pantai, kurasakan air laut bergerak menghampiri kakiku, membasahinya, menyeret barangkali sedikit pasir, dan kemudian kembali pulang.

    Kuterawang kaki langit yang menyatu dengan air laut di ujung sana. Matahari yang menyengat memaksaku menyipitkan mata. Aku masih selalu bertanya-tanya, ada apa gerangan di ujung sana?

    Pantai Kuta begitu pikuk. Begitu ramai. Dan semua mengisyaratkan kegembiraan dunia yang seolah tak akan surut. Tak akan lekang dan karatan, meskipun didera oleh gelombang kesedihan dan kemalangan.

    Apa itu bahagia?

    Pertanyaan itu begitu mengusik. Dari dulu, sampai saat ini.

    Apakah bahagia adalah ketika kita bertemu dengan seseorang yang kita cintai, menembus ruang dan waktu?

    Aku teringat lagi pada Tomi. Aku begitu kangen padanya.

    Tiga bulan lalu, di hari kelulusanku dari D3, ia mengatakan padaku kesempatan yang ditawarkan padanya. Ia memperoleh promosi, dan itu berarti ia harus dimutasikan ke Jakarta. Ke pusat perusahaannya. Ke pusat semua jenis kemungkinan.

    Ia mengajakku ikut besertanya. Tapi aku tahu, dalam hatinya, dan dalam hatiku, kami sama-sama tak pernah siap untuk melangkah lebih jauh. Aku selalu terkesiap dengan kenyataan ini. Bahkan waktu tiga tahun - 1095 hari - tak sanggup memberi definisi hubungan kami...

    Sejak itu, yang ada hanya SMS. Atau telepon. Kadang malah berhari-hari tak ada kabar darinya. Dan jarak di antara kami menciptakan banyak hal. Sering aku hanya harus menahan kekesalanku padanya, segudang pertanyaan-pertanyaan yang mengisyaratkan kecemburuanku, dan sentimentil kangenku. Karena aku tahu, waktu begitu berharga. Pulsa begitu berharga untuk disia-siakan dengan hal yang tak berguna semacam itu.

    Dan, dalam lubuk hatiku, aku tak yakin berapa lama bisa membiarkan api itu tetap menyala...

    Kuhela napas. Saat itu pula, kusadari aku telah berjalan sampai ke hotel itu. Seiris nostalgia lama kembali terkuak. Kamar 2019. Heri.

    Mengapa menjadi seperti ini harus menyimpan begitu banyak lara?

    [continued]
  • reis wrote:
    Ombak bergulung-gulung, kemudian memecah berderai. Seperti seorang bocah kecil yang tertawa riang. Sambil menyusuri sepanjang garis pantai, kurasakan air laut bergerak menghampiri kakiku, membasahinya, menyeret barangkali sedikit pasir, dan kemudian kembali pulang.

    Kuterawang kaki langit yang menyatu dengan air laut di ujung sana. Matahari yang menyengat memaksaku menyipitkan mata. Aku masih selalu bertanya-tanya, ada apa gerangan di ujung sana?

    Pantai Kuta begitu pikuk. Begitu ramai. Dan semua mengisyaratkan kegembiraan dunia yang seolah tak akan surut. Tak akan lekang dan karatan, meskipun didera oleh gelombang kesedihan dan kemalangan.

    Apa itu bahagia?

    Pertanyaan itu begitu mengusik. Dari dulu, sampai saat ini.

    Apakah bahagia adalah ketika kita bertemu dengan seseorang yang kita cintai, menembus ruang dan waktu?

    Aku teringat lagi pada Tomi. Aku begitu kangen padanya.

    Tiga bulan lalu, di hari kelulusanku dari D3, ia mengatakan padaku kesempatan yang ditawarkan padanya. Ia memperoleh promosi, dan itu berarti ia harus dimutasikan ke Jakarta. Ke pusat perusahaannya. Ke pusat semua jenis kemungkinan.

    Ia mengajakku ikut besertanya. Tapi aku tahu, dalam hatinya, dan dalam hatiku, kami sama-sama tak pernah siap untuk melangkah lebih jauh. Aku selalu terkesiap dengan kenyataan ini. Bahkan waktu tiga tahun - 1095 hari - tak sanggup memberi definisi hubungan kami...

    Sejak itu, yang ada hanya SMS. Atau telepon. Kadang malah berhari-hari tak ada kabar darinya. Dan jarak di antara kami menciptakan banyak hal. Sering aku hanya harus menahan kekesalanku padanya, segudang pertanyaan-pertanyaan yang mengisyaratkan kecemburuanku, dan sentimentil kangenku. Karena aku tahu, waktu begitu berharga. Pulsa begitu berharga untuk disia-siakan dengan hal yang tak berguna semacam itu.

    Dan, dalam lubuk hatiku, aku tak yakin berapa lama bisa membiarkan api itu tetap menyala...

    Kuhela napas. Saat itu pula, kusadari aku telah berjalan sampai ke hotel itu. Seiris nostalgia lama kembali terkuak. Kamar 2019. Heri.

    Mengapa menjadi seperti ini harus menyimpan begitu banyak lara?

    [continued]

    good!!!
  • Jakarta, 6 bulan sesudahnya...

    Aku senewen. Benar-benar senewen. Entah sudah berapa kali aku berjalan mondar-mandir di kamar kost Tomi. Entah sudah berapa kali aku melirik jam di pergelangan tanganku. Dan entah sudah berapa kali pula aku melirik ponselku. Berharap jarum-jarum waktu akan berhenti bergerak. Berharap barangkali ada SMS atau missed-call yang terlewatkan.

    Tapi yang ada hanya kekosongan. Kebisuan. Hati yang kian ribut. Kian nelangsa. Delapan belas ratus detik sudah berlalu. Delapan belas ratus detik yang terasa seperti selamanya. Delapan belas ratus detik pula sudah kubujuk-bujuk diriku, Jakarta macet, Rei. Tomi hanya telat. Ia pasti tengah berusaha datang menjemputku di kostnya ini, untuk kemudian bersama-sama melewatkan malam Sabtu di EX. Pikirkan kalau ini adalah malam Sabtu, dan artinya akan ada dua hari penuh yang bisa kulewatkan bersama Tomi.. Huhu... aku mengeluh. Mencelos. Hari Minggu nanti aku harus kembali ke Surabaya. Dan itu artinya setengah tahun kemudian barulah aku bisa kembali bertemu dengannya. Mungkin kurang dari setengah tahun, kalau ia tidak sibuk dan ada long-weekend yang bisa berkompromi sejenak.

    Ketika jam di pergelangan tangan menunjukkan pukul 9 malam, aku memutuskan untuk berganti baju.
    Kalaupun ia pulang, ia pasti lelah... Dan aku tak tega memintanya menemaniku melihat Jakarta.

    Kucoba menghubungi ponselnya. Seperti yang sudah-sudah, meski terdengar nada sambung, tak ada yang mengangkat. Aku kembali senewen.

    Pukul 11 malam itu, terdengar ketokan kasar di depan pintu. Hati-hati, kubuka pintu. Sedikit. Untuk mengintip. Dan apa yang kulihat tak akan pernah bisa kulupakan untuk seumur hidupku...

    [continued]


    ps. this act is dedicated to my ex, for times when he used to be my special, despite the distance between us, and for the fact that this act and a few next were based on our relationship.. nevertheless, i wish his happiness with the new guy. :)
  • REEEIIISSS...
    Where are u???
    Mana ne lanjutan na?
  • "Hei.." dia menyapaku.
    Dan bau alkohol yang pekat tercium jelas dari mulutnya. Dia tampak sempoyongan. Tak butuh menit untuk menyadari apa yang terjadi pada dirinya.. Ia mabuk. Ia mabuk..

    Aku melangkah mundur. Ia masuk, masih sempoyongan, dan menjatuhkan diri ke kasurnya. Ia meracau tak jelas. Dan gudang memoriku memutar satu adegan lain dari masa laluku.

    Masa lalu yang pernah menghantui..
    Malam itu, Papa pulang dalam keadaan mabuk. Ia kalah judi. Mamalah yang menjadi sasaran pertamanya. Lalu aku, aku yang mencoba melindungi mama, malah menjadi sasaran berikutnya.

    Kurasakan sabetan ikat pinggang papa di tubuh kecilku. Tulang-tulangku seperti remuk. Hatiku redam. Tapi tak ada air mata yang meleleh....

    TIDAK!
    Kutepis bayangan-bayangan suram itu. Kutatap lagi orang yang kukasihi, yang kini setengah tak sadar di atas ranjangnya. Ada rasa mual yang menyeruak. Ada ngilu yang menghujam jantungku.

    Kenapa dia mabuk? Sedang lari dari apakah dia? Adakah masalah yang tak bisa ia selesaikan?

    Mendadak, kamar itu terasa demikian asing. Demikian jauh. Aku jatuh terduduk di pojok kamar, tak tahu mesti bagaimana....
Sign In or Register to comment.