It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
sasaran empuk tuh
lanjut ah
Jgn lma2 dunk postingnya..
Lanjuut..
Malam ketika aku menjual tubuhku untuk seseorang.. untuk Heri..
Aku mual. Nafasku sesak.
Dan karam dalam lautan maha luas..
Aku takut. Jantungku berdegup kencang.
Kupeluk kedua lututku.
..Jangan cengeng, Rei....jangan cengeng..
Tetapi mataku terasa kian pedih. Kian menyayat..
Aku didera perasaan bersalah.. Salahku karena tak bisa selalu di sisinya.. Salahku karena dia mabuk.. Salahku karena terlalu rapuh untuk menjaganya..
Malam itu, aku menangis. Pertama kalinya bagi seorang laki-laki yang tak punya hubungan darah denganku.
Aku tak lagi menangis. Tidak juga merasa mengantuk. Atau nelangsa. Atau.. ah, aku tidak tahu lagi apa yang sebenarnya kurasakan sekarang...
Hampir 3 jam aku terduduk di pojok kamar. Diam, tak bergerak. Napasku satu-satu. Sebagian diriku takut membangunkannya.. karena mimpi buruk itu akan menjadi nyata. Sebagian lainnya ingin merangkulnya, membantunya melepas bebannya..
"Rei.."
Aku terperanjat. Kulirik lelaki itu.
Masih terlelap..
Bukankah cinta seharusnya mengalahkan semuanya?.. rasa takut jugakah?
Aku bangkit, berjalan mendekat. Apa yang sedang ia mimpikan dalam dunianya di sana? Apakah aku membawanya senyum di sana..?
Kubelai wajahnya. Kulonggarkan kemejanya. Kulepaskan sepatunya, dan kaus kakinya. Kulepaskan pula ikat pinggangnya.. Bagaimanapun, dia lelakiku...
Ia mengernyitkan keningnya. Mencoba mengumpulkan segenap kesadarannya yang terberai oleh alkohol.
Lima menit ia memenjamkan mata, memikirkan entah apa. Kemudian bangkit, dan keluar kamar. Tak lama, kudengar percikan air.
Hari itu, Sabtu pagi. Berpikir bahwa masih ada Minggu, aku tak tahu itulah Sabtu terakhir aku bersamanya.
Ketika ia memasuki kamarnya kembali, aku sudah meringkuk di sudut kamar. Ia menatapku. Sejenak, hanya bisu yang menari-nari di udara. Membuat rasanya demikian asing, demikian galau.
Aku tak tahu mesti bersuara apa. Mesti berkata apa. Aku bahkan tak berani menatapnya.
Ia duduk di tepi ranjang. Menatapku lekat-lekat. Matanya mencerminkan pedih yang teramat sangat.
"Maaf.."
Dan seketika, aku merasa wajahku panas. Mataku tersengat. Dadaku sesak.
Aku menangis lagi. Kali ini, kubenamkan wajahku ke dalam lengan yang memeluk lutut erat-erat. Aku tak sanggup membiarkannya melihatku menangis.
Ia menghela napas. Lalu beranjak, merengkuhku.
Aroma perpisahan itu telah berada di depan mata. Hanya aku yang terlalu buta untuk melihatnya....
Seluruh duniaku hilang, tertelan dalam lubang hitam yang tak berdasar.
Semua yang pernah kurasakan, kuyakini, dan kudamba, lenyap tak berbekas. Hanya meninggalkan jejak-jejak pahit bernama luka, yang menggigit, dan menyadarkan aku, semua ini bukan mimpi. Semua ini pernah ada.
Tak butuh hitungan jam untuk mengakhiri apa yang pernah ada selama beberapa tahun. Dan menit-menit singkat itu, selanjutnyalah yang kubawa seumur hidupku. Bukan kenangan-kenangan itu.
Aku merasa mual.
Dadaku sesak. Sementara oksigen satu-satunya telah dirampas dariku.
Aku menangis. Dari balik tirai air mata, kulihat dia.
"Menangislah sepuasnya, supaya kelak, kau tak perlu menangis demi diriku ini.."
Kulihat matanya. Mata yang sekarang terasa asing. Terasa kian menerawang. Aku bukan bagian hidupnya lagi...
"Suatu saat, kau pasti akan mengerti..."
Aku bangkit. Meraih ranselku. Ia mencoba mencegahku.
"Tinggallah di sini. Besok kuantar kau ke stasiun.. aku yang pergi malam ini.."
Aku menggeleng lemah. Untuk apa, jika yang tersisa hanya sakit?
Haii reis,sebelum nya salam kenal yaa, and met join di BF
Tanya dikit nikh...btw kamu apa nya rais??
Hihihihihi rais & reis ? Cocok sekali
Bang rais ada adik jei nikh di forum
Hm.. aku pake nick reis udah lamaaa banged. Jadi karena kebanyakan account di tempat lain, ya udah aku samain aja semua ID-nya. Gito. Pas join dan baca2, eh baru tahu ada moderator yang bernama bang rais. Tapi sama sekali ga kenal doski koq. Ga pernah kontak2an, ga pernah salam2an, dan ya begitulah. :-)
Mungkin hanya kebetulan yang indah aja, kali ya? hahahaha
lelakinyaed.blogspot.com
coba ngecek. versi di sana ada perbaikan sedikit2..
Tetapi, sesungguhnya, dalam hatiku, dalam mimpiku, aku masih sering mendapatinya. Mendapatinya terdiam, tersenyum, dan hanya menatapku. Seolah tak pernah terjadi apa-apa di antara kita. Seolah cinta itu tak pernah ada.
Tak ada salam perpisahan yang manis.
Tak ada kata-kata tanya yang terlontarkan.
Hanya ada diam. Diam yang membuat kami telah saling memahami.
Dan tubuh itu, yang pernah kupeluk, kuraba, kuciumi, kusentuh, dan kukenal, sekarang mendadak menolakku. Bahkan menolak memelukku. Menolak menyentuhku lagi..
Rasa itu hanya menemukan klimaksnya dalam kata 'MAAF' darinya. Hanya itu. Sesederhana itu.
Aku menangis. Lagi dan lagi.
Seolah dengan begitu, semua akan kembali seperti semula.
Tapi bermenit-menit, sampai napasku habis sekalipun, tak ada yang berubah.
Aku ingin berhenti menangis.
Aku membenci diriku sendiri yang menangis.
Tapi semakin aku ingin berhenti menangis, semakin kuat tangisanku.
Karena aku semakin tahu, aku tak berdaya..
Dan rasanya sesak. Sesak....
***
ps. buat kamu, yang bersamanya sekarang. Aku masih ingat, seperti apa rasanya malam itu. Tapi ga berarti aku ingin kau kembali. Karena rasa itu, sudah lama hilang. Entah di mana. Entah ke mana...
Ijinkan aku merangkumkan kembali potongan-potongan itu. Tomi meninggalkanku tak lama ia pindah ke Jakarta. Mungkin hubungan jarak jauh terlalu berat bagi kami, yang sama-sama picik dan tidak dewasa. Mungkin ia memiliki seorang kekasih yang baru. Entah. Mungkin pula aku yang tak pantas untuknya. Mungkin pula aku bukan kekasih yang benar-benar ia inginkan. Aku tak tahu. Dan itu tak lagi penting.
Memang, berbulan-bulan lamanya aku menutup diri. Bagiku, hanya ada kuliahku. Hanya ada aku. Pekerjaanku..
Barangkali itu yang lebih mudah. Karena dengan begitu, aku tak perlu memikirkan dia, tak perlu berharap dia akan kembali untukku. Tak perlu memikirkan sejuta alasan yang membuatnya meninggalkanku...
Lalu, malam itu, di tengah laporan dan tugas yang masih harus kukerjakan, ponselku berdering. Kulirik nama itu di layar. Aku bergeming.