It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Teringat kembali benteng yang kubangun dengan susah payah. Benteng yang membatasi dunia kekinianku dengan masa laluku. Sekarang benteng itu terasa rapuh. Setiap saat bisa runtuh.
Adegan-adegan itu kembali berputar..
Kuraih ponselku. Masih tak tahu harus bagaimana.
Lalu, dering itu terputus dengan sendirinya. Aku menghela napas.
Kuletakkan kembali ponsel itu.
Dan kembali, dering itu terdengar. Nyaring.
Kali ini, kupencet tombol hijau.
Aku membisu, sekian detik, sebelum bersuara, terbata-bata.. "Halo?"
Suaraku pasti terdengar berat.
"Hei," suara itu menyapa. Rasanya seperti air sejuk yang mendadak disiramkan ke kepalamu. Dingin. Menghentak. Dan menyadarkanmu, sekali lagi, semua ini, bukan mimpi. Lelaki itu memang pernah hadir dalam hidupku. Lelaki itu pernah menjadi lelakiku...
Aku menghela napas. Lagi.
"Apa kabar?"
"Baik." Haruskah aku terdengar tak baik di telingamu? "Kamu?"
Dia tertawa. Dan aku merasa melihat senyumnya lagi.
"Aku baik, Rei. Sibuk apa sekarang?"
"Paling ngerjain tugas. Dan kerja."
"Bukan itu maksudku."
"Lalu apa dong? Ya kerjaan gue cuman gito-gito aja."
Aku mengerti sekali arah pembicaraannya.
Aku menarik napas.
"Aku masih jomblo, koq."
"Eh? Kenapa?"
Karena aku masih belum bisa melupakanmu. Karena aku masih mengharapkanmu meralat semua ucapanmu.
"Tak ada waktu." Klise. Tapi aku tak perlu alasan yang lebih baik untuk meyakinkannya.
"Oh.."
"Kamu sendiri?"
"Hehe.. jadi mau curhat neh.."
"Apa?"
"Kemaren kenalan dengan satu cowok.."
Dan duniaku mendadak terasa hilang.. Gagu. Kelu. Dan terasa nyeri.
Dua jam aku mendengarkan dia curhat. Tentang seorang lelaki yang tengah dikejarnya. Tentang bagaimana lelaki itu mempermainkannya. Tentang bagaimana ia merasa begitu konyol dan bodoh. Tentang bagaimana ia tak bisa juga melepaskan dirinya dari lelaki itu. Tentang lelaki itu, yang akhirnya menjadi kekasih sahabatnya sendiri..
Aku menggigit bibirku. Aku tak tahu apa yang kurasakan saat ini. Ada begitu banyak yang berkecamuk di hati. Bergejolak, menelan semua logika dan akal sehat. Menerjang dan meluluhlantakkan pertahananku selama ini.
Aku menangis. Kupeluk kedua lututku. Erat-erat. Kamar kecilku terasa sepi. Malam terasa menggigil. Rasa sesak yang familiar itu kembali menyeruak.
Apa yang telah kuperbuat? Apa yang telah kulakukan?
Mengapa aku masih juga mencintainya? Mengapa aku masih juga mengharapkannya?
Tak semenit berlalu dari percakapan di ponsel itu, yang kuhabiskan tanpa berharap ia akan meminta maaf padaku lagi, dan memintaku kembali padanya.
Tak sedetikpun berlalu ketika aku mendengar suaranya lagi, ada nyeri di ulu dadaku.
Apa yang telah terjadi.. mengapa mencintainya mesti berakhir seperti ini..?
Hanya ada seraut ekspresi lesu dan kusam.
Kuhirup napas banyak-banyak. Jantungku berdebar tak karuan. Tanganku terasa dingin.
Oke. Oke. Aku siap. Aku meyakinkan diriku lagi.
Kulangkahkan kaki keluar kamar mandi. Kudapati lelaki itu duduk di atas ranjangnya. Kamarnya sudah remang. Hanya televisi yang masih berpendar menyala.
Aku merasa gugup.
Tapi tak ada tombol rewind untuk memutar kembali gulungan waktu.
Tangannya begitu cepat meraih tubuhku ke dalam pelukannya.
Ia meraba perutku.
Melepaskan kaosku. Dan membelai kedua lenganku. Bibirnya bergerak menelusuri tengkukku. Kupenjamkan mata. Membiarkan nafsu itu menyeret logika dan rasa takut.. .
.
.
.
Ini bukan cinta, aku mendengar hatiku berbisik..
Ini hanyalah dua orang lelaki, yang sama-sama memiliki keinginan biologis, yang saling bertemu dan saling memutuskan untuk melakukan sesuatu. Dua orang dewasa yang sama-sama bertanggung-jawab atas diri masing-masing.
Aku mendekapnya. Ia balas menciumiku.
Dan tidak sampai sejam kemudian, semua nafsu itu telah bermetamorfosis sempurna, menjadi lenguhan orgasme.
Ia bangkit dari ranjangnya.
Tangannya terjulur meraih sekotak tisu.
Kutatap ceceran putih itu di atas perutku.
Kulirik lagi dirinya yang tengah membantuku membersihkan noda-noda itu dengan hati-hati.
Lalu, aku bangkit, meraih celana dan kaos.
"Aku pulang saja."
"Ga pengen nginep?"
Aku menggeleng.
"Ok. Tunggu ya. Biar gw anter."
Aku mengangguk.
***
Aku memintanya menurunkan aku beberapa blok sebelum kost. Kukira pernyataan itu saja sudah cukup jelas baginya. Aku tak menginginkan pertemuan kedua, ketiga, atau seterusnya, dengan dirinya. Cukup sekali.
Aku bahkan tak ingat lagi namanya. Pentingkah itu? Jujurkah dia waktu dia memperkenalkan namanya tadi? Kutepis pikiran-pikiran itu. Kupercepat langkahku, menerobos malam. Gelap. Hitam. Sehitam hatiku kini.
Tapi aku tak menyesal. Aku tak akan menyesal. Aku tak akan merasa bersalah dengan apa yang kulakukan. Karena itu semua hanya pelarianku untuk menganyam kembali serpihan di hatiku....
Tingginya sekitar 175 cm. Rambutnya cepak. Meski ia mengaku telah lama tidak ke gym center lagi, masih bisa kulihat hasil latihannya, yang mengukir otot-otot di dadanya.
Ia tersenyum mesum. Aku tahu, di balik penampilannya yang tampak jantan, ia tengah menyimpan gelora. Gejolak yang membakar hormon-hormon di dalam raganya.
"Kamu punya tempat?"
Aku mendesah, dalam hati.
Aku menggeleng. "Tempatmu?"
"Tapi ga bisa nginap. Gak apa-apa?"
Sialan, aku memaki dalam hati. Apa aku terlihat selemah itu? Semelankolis itu? Hingga harus menghabiskan malamku di dalam pelukanmu?
"Gue tidak berencana nginap. Ga bisa."
"Oke."
Di dalam angkutan kota yang membawa kami ke tempat indekosnya, pikiranku menerawang. Ini kali kedua aku melabuhkan malam ke dalam pelukan seorang lelaki asing. Aku teringat lagi pada lelaki yang namanya bahkan aku tak tahu, yang menggerayangi tubuhku, dua minggu yang lalu.
"Kiri, pir!"
Suara Toni menyentak lamunanku. Bergegas, aku ikut turun. Ia membayarkan ongkos angkot.
Aku mengikutinya menelurusi lorong gelap menuju indekosnya.
Kali ini, tak ada rasa gugup. Tak ada rasa canggung.
Ini bukan cinta..
kenapa ya, jarang ada yang kasih komentar dan kritikan di sini? Sangking ga menariknya kali ya? Apa karena terlalu klise, terlalu sederhana, terlalu gampang ditebak? apa emang orang-orang ga terlalu suka komen? koq warung-warung lain pada rame ya? post-nya ampe berjuta-juta gito.. hehe.. jadi bimbang neh, mau diterusin ga ya? apa sampai di sini aja..?
abis gimana yah..
kalo gw nikmatin ngebaca story kamu seperti baca cerbung....
jadi gw nikmatin dan nunggu kelanjutan2 nya....
juga; secara penulisan kamu cenderung fiksi atau semi fiksi dan lebih mudah dinikmati seperti cerita bersambung...
cuman siyy;..ada kecenderungan banayk bf ers yg emg pada malas bgt....; gak pernah nulis ..; gak pernah komen..; ya pasif sejati gtu deh...
cuman gw bukan bagian dari itu..; gw banayak nulis kok..; dan banaykan real story..; or based on...; dan kaebanayakn komen yg masuk yg pada nyebelin2 itu lah....
tapi daripada dipikirin ya cuek2 aja lah....
namanya member gak pake filter ; dari segala kelas..; ya diterima2 aja apa yg ada...
gtu deh....
kalo tulisanmu lebih ke cerita nyata..; kayaknya bakal lebih bnyak komen masuk kok....
or..; kalo perlu bikin judul baru kali..; heheh3.....
Overall, saya sk critany dn ckup mnikmati..
Lanjut y mas reis.. ;-)
firstly, thanx ya, udah mampir dan bersedia say something.
Sebenarnya ceritanya ini, dari mulai pacaran pertama sampai putus dan terlibat dalam ONS, itu cerita nyata koq. Bener2 kejadian sama gw. Cerita di kampus juga hampir sama, cuman gw ga lewat jalur D3, melainkan langsung S1. Jadi, dibilang fiksi jg kaga seh.. ;-)
Dibilang based on true experience, juga kaga, karena ada beberapa bagian dah dibumbui, dan diedit.. misalnya, gw kalo 'ehm ehm' ama orang, itu ga pake an**.. hehe, sementara si tokoh dalam cerita gw kan ada.. begitu..
Dan alasan kenapa bisa telat posting, ya karena ceritanya kan menyesuaikan dengan cerita nyata dalam kehidupkan gw.. jadinya.. ya.. maaf ya.. hehe..
Kalo pertama2 posting, itu gw baru lulus kul, belom ker. Sekarang udah kerja, dah agak sulit ngatur waktu untuk nulis lagi (gw nulis di banyak tempat.. blog gw ada 3, belom di facebook dan di forum lain). Jadi.. bersabar ya. Hehehe..
terus terang, sampai sekarang, endingnya bagaimana belom kepikiran. makanya, di depan2 minta saran.. barangkali ada temen2 di sini yang punya cerita yang mirip2 dengan saya.. hehe
Sesi one-night-stand sudah selesai. Ia masih menahanku untuk pulang. Padahal di ponselnya, sedang ada lelaki lain yang katanya sedang diincarnya.
Aku termangu. Kalau lelaki itu tau apa yang baru saja Tono lakukan, masihkah ia mau menjadi kekasihnya? Meski mereka belum resmi menjadi pasangan kekasih, tetapi bukankah komitmen itu telah dimulai ketika mereka sedang dalam tahap pendekatan?
Aku tak mengerti. Dan ketika aku pulang kembali malam itu, jam 2 dini hari, aku merasa ada yang hilang dari hatiku. Dari diriku. Tapi aku tak tahu apa...
Kulirik jam di pojok kanan layar. Jam 5 pagi. Siapa sih, yang SMS pagi-pagi buta? Lagi horny kali ya?
Nomor tak dikenal. Tapi ia mengaku namanya Andrew. Kugosok mataku. Berusaha mengumpulkan kembali ingatanku tentang pengalaman chatting di IRC, situs gay dating online, dan Yahoo Messenger. Aku bangkit, menuju kamar mandi. Kandung kemihku penuh. Aku masih berpikir. Lalu mendadak lampu itu berubah hijau. Aku ingat sekarang. Aku pernah berkenalan dengan lelaki itu, di sebuah chatroom.
Aku cepat-cepat menyudahi acaraku di kamar mandi. Kembali meringkuk di ranjangku, sambil memegangi ponsel. Merangkai SMS balasan.
Andrew berasal dari Malang. Umurnya sudah 30-an. Tingginya tidak seberapa. Ia bercerita banyak tentang asal-muasalnya menjadi gay. Dulu sekali, katanya ia ditinggalkan oleh kekasihnya, menjelang pernikahan mereka. Duh, klise sekali, pikirku. Aku tak pernah benar-benar memperhatikan alur ceritanya. Karena bagiku, itu semua tak penting. Itu hanya basa-basi. Dan tidak ada jaminan ceritanya memang benar.
Di dalam kamar hotelnya, ia tampak memburu. Dengan wajah dan posturnya yang tidak bisa dibilang menarik, aku yakin bahwa ia sudah lama tidak melakukan hubungan. Ditambah ketidak-percayaannya pada dirinya sendiri bahwa ia mampu, lengkaplah sudah masa-masa 'puasa' seksnya.
Aku menghela napas. Dan malam itu, kukira aku mengerti. Kukira aku tahu.