BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

WANT ME LIKE YOU DO

11415161719

Comments

  • so complicated.. keren nih klo dibikin film,, :D
  • mana lanjutannya nih mba @yeniariani.. dlu rajin updat,,
  • Setelah lelah memeluk pusara Daniel, Max memegang kedua bahuku dan membimbingku keluar dari area pemakaman. Dengan langkah gontai aku mengikutinya. Rasanya hari kemarin sudah menguras semua emosiku.

    “Ku antar kamu pulang sayang?” Max menatapku setelah aku berhasil memakai sabuk pengamanku. Aku tersenyum kearahnya dan mengangkat bahu tanda memberi izin padanya kalau dia bisa membawaku kemana saja.

    Kulihat Max trsenyum puas dan menjalankan mobilnya, sedang aku hanya bisa menatap kearah luar menatap area pemakaman yang terasa begitu menarik minatku. Nathan, apa yang sedang kamu lakukan sekarang. Rasanya minta maaf saja tak akan cukup untuk membuat aku baik di mata dunia, dengan gampangnya aku menyerah pada perjuangan cinta antara aku dan dirinya.

    Nathan mampukah ia mengerti kalau aku melakukan semua ini hanya karena rasa bersalah yang teramat dalam menghujamku, seolah aku akan mengerti saja kalau posisi kami bertukar. Tentu aku akan membencinya seperti waktu dulu ia yang meninggalkanku.

    Aku sudah lelah rasanya melawan semua, kalau di suruh memilih aku akan memilih pergi dari kehidupan ini. Masalahku tak pernah ada habisnya, hanya karena aku ingin bersama seseorang yang ku cintai dan juga mencintaiku.

    “Cal?” Aku tergeragap menatap kearah seseorang yang sekarang menatapku dengan tatapan tak terbacanya. Entah sejak kapan kami sampai di depan rumahku yang pasti aku tak pernah bisa menghembuskan nafas legaku.

    “Kamu ikut masuk?” tanyaku membuka sabuk pengaman.

    Max memegang kepalaku. “Tidak, ada sesuatu yang harus ku kerjakan. Nanti sore aku jemput kamu, nginap di apartemenku.” Aku mengangguk, dengan cepat Max mengecup bibirku dan aku beranjak keluar dari mobilnya. Aku menunggu mobil itu menghilang di tikungan jalan baru aku masuk.

    Rumahku sepi. Mama sama papa memang ada urusan di luar untuk beberapa minggu tapi aku sedikit heran saat melihat teman-temanku berkumpul di ruang tamu. Mereka semua menatapku dengan tatapan yang aku benci, kasihan.

    “Cal, seminggu lagi.” Aku menghembuskan nafas dengan kasar, siapapun tahu kalau aku sekarang tidak baik-baik saja. Aku tahu arti tatapan itu, lebih dari tahu kalau sekarang aku akan mendapatkan kabar yang akan membuat kehancuran akan hidupku semakin menjadi. Apalagi kebahagiaan yang kuharapkan karena harapan tinggallah semu adanya. Aku tak lebih dari sekedar manusia yang hidup tanpa bisa melawan takdir yang menyiksa.

    “Dimana dia?” Pertanyaan itu sanggup membuat semua yang ada di ruangan itu menggigit bibir dan mendesah lelah. Sedang aku hanya mampu menunjukkan wajah datar, rasanya segala ekspresi dalam hidupku telah lenyap.

    “Maafkan gue Cal” Pelukan Aurel dan linangan air matanya tak ku tahu maksudnya. Apa salahnya dia sampai harus memohon maaf dengan cara sesedih ini. Bukankah harusnya aku yang salah di setiap langkah dalam hidupku tanpa bisa menyalahkan orang lain.

    “Gue gak tahu kalau Max mau balas dendam sama lo, gue yang bawa dia buat ketemu lo. Gue salah, gue bukan teman yang baik buat kalian. Gue merasa jahat di sini.” Suara tersedunya mampu membuatku menyunggingkan senyum miris, lagi-lagi mereka menyalahkan diri mereka hanya demi melindungi diriku yang memang menjadi rapuh adanya. Pernahkah aku katakan kalau hal yang paling ku benci di dunia ini adalah mereka yang merasa kasihan padaku.

    Aku memegang bahu Aurel, melerai pelukannya dan dengan ibu jariku ku hapus airmatanya yang terlalu berharga untuk di buang sia-sia hanya untuk diriku yang tak ada apa-apanya. “Tidak ada yang salah di sini, kita hanya berada di waktu yang salah. Jangan pernah berpikir kalau lo yang salah karena itu sama sekali gak benar. Andainya bukan lo juga yang bawanya aku yakin dia akan selalu mampu ada di hidupku.” Aurel mengangguk dan kembali memelukku. “Gue berusaha menerimanya,mungkin itu hukuman buat gue karena sudah mengabaikan Daniel dulu.” Semua mata itu menatapku dengan tatapan terkejut mereka. Apa yang mereka harapkan padaku yang sudah di akhir perjuangan ini.

    ***

    Aku menengadah menatap langit kamar dengan wajah muram, yang tak mungkin ku tunjukkan pada Max. Tidak pernah ada kata bertemu lagi, semua memang benar-benar berakhir di sini dan seakan hidupku juga berhenti di titik ini. Apa lagi yang kuharapkan saat dengan gampangnya Nathan tahu kalau aku menyerah dan dia juga tak mau melawan. Seolah hidupnya memang hanya untukku.

    Kepalaku rasanya mau pecah saat suara-suara hatiku terus menggedor meminta belas kasihan. Aku sungguh tidak tahu lagi bagaimana menghadapi hari esok saat pernikahan kekasihku dengan orang lain akan di adakan sebentar lagi.

    Andai tidak ada Max, aku akan dengan senantiasa mengurung diriku di kamar dan menyesali semuanya tapi mana mungkin ku lakukan itu saat aku sudah berjanji untuk selalu ada di sisinya walau dia tidak meminta tapi aku tahu itu yang dia harapkan.

    Mataku menatap pintu kamar mandi yang terbuka dan senyumku terkembang saat kulihat lelaki itu keluar dari sana dengan lilitan handuk di pinggangnya. Senyum palsuku sangat sempurna.

    “Lama menunggu sayang?” Dia berucap dengan nada lembutnya dan langsung beranjak keranjang mencium pipiku dan kembali berlalu ke lemari. Aku hanya menatap gerak-geriknya dengan wajah yang coba ku atur biasa saja.

    Tak lama setelah ia berpakaian lengkap dia kembali menjenguk wajahku dan kembali mendaratkan kecupan di wajahku dengan bertubi-tubi membuat aku hanya tersenyum dan mendorongnya. Kulihat lagi tatapan itu, tatapan mendamba yang selalu membuat aku sakit. Sakit karena aku menyakitinya. Aku tidak pernah merasakan getaran saat bersamanya bahkan sedikit saja getaran seperti saat aku bersama lelaki yang sebentar lagi akan menjalankan kehidupan barunya.

    “Besok acaranya kan?” Aku mengangguk, mendengar nadanya yang berbeda aku tahu apa yang sedang ia pikirkan, hatiku. Entahlah tahukan dia kalau aku tidak pernah sama sekali mampu melupakan cintaku. Entah mungkin lelaki yang ada di depanku ini juga berpura-pura bahwa semua baik-baik saja. Seolah tidak ada dinding kasat mata yang memisahkan kami.

    “kamu baik?” Pertanyaan itu lagi. Pertanyaan yang mampu membuat dadaku berdesir hebat. Mampu membangkitkan lagi rasa sakit yang selalu coba ku sembunyikan dari dunia.

    Aku memeluknya, membenamkan wajahku di dadanya. Karena pertanyaan itu tak pernah mampu aku jawab walau dengan kebohongan sekalipun dan dengan sangat yakin aku tahu lelaki ini tahu apa yang tengah menimpaku. Aku tahu ia berusaha bersikap biasa pada badai kehancuranku.

    ***

    Luluh lantah sudah pertahan yang sudah ku bangun dari pagi tadi saat mata hazel itu menatap tepat di mataku. Tatapan terlukanya tergambar dengan jelas, bahkan mungkin orang buta pun tahu kalau lelakiku tak menginginkan pernikahan ini dan lelakiku juga tak mau menyembunyikan ketidak sukaannya dengan rencana mamanya.

    Aku tahu sejak dua hari yang lalu Tante Bella sudah meminta maaf padaku atas semua yang terjadi selama ini bahkan dengan curahan hatinya tentang suaminya dan janji muluk dari seorang Marcel semakin membuatnya gencar untuk mengorbankan kebahagiaan putra semata wayangnya. Putra yang begitu ia cintai tapi membuat ia buta dengan keinginan untuk memiliki pria yang sekarang tengah berdiri bersamanya.

    Pandangan kasihan itu lagi-lagi aku dapatkan dan aku benci itu, semua orang menatapku dan Nathan dengan pandangan menyedihkan itu. Seolah tak ada lagi yang mampu membuat kesedihan ini menjadi kebahagiaan bahkan orang tuaku sendiri. Mereka hanya mampu memandang kami dengan pandangan itu.

    Aku dapat merasakan lututku lemas, andai saja bukan tangan Max yang tengah memegang pinggangku sudah dapat kupastikan aku akan merosot kelantai dengan menyedihkan. Melihat priamu akan menempuh hidup barunya bersama orang lain bukanlah hal yang akan mampu membuatmu bernafas dengan selayaknya, Percayalah karena aku tengah merasakannya.

    Hanya tinggal menunggu mempelai wanitanya dan semua akan berubah total, tidak ada lagi cinta Jonathan buat Rivaldi. Mereka hanya akan menjadi kisah kusam yang akan di ingat oleh semua orang tentang cinta tak sampai mereka. Tentang keegoisan mahkluk-mahkluk yang tidak mampu membuat mereka bersatu.

    Wanita itu keluar dengan anggunnya bahkan semua orang berdecak kagum pada sosok yang sekarang telah meninggalkan kacamatanya dengan lensa kontak yang mempertontonkan mata indahnya. Aku bisa sedikit lega karena kekasihku mendapatkan seseorang yang begitu sempurna sebagai pengganti diriku. Apalagi yang kutunggu sekarang, aku tak mau semakin merasakan sakitnya dan dengan hati yang sekarang di rajam aku membawa genggaman pemuda yang sedang menatapku itu untuk berbalik keluar dari ruangan itu.

    Bukankah semua sudah selesai, bukankah aku hanya seseorang pemeran utama dalam kisahku yang berakhir dengan tragis bahkan sekarang aku mampu membuat diriku mati membeku.

    Semuanya berakhir.

    Selamat jalan sayang, aku akan selalu mencintaimu.

    ***

  • @yeniariani ini tamat ceritanya ... ? jadi Jonathan sama perempuan yang dijodohkan dan Rivaldi sama Max ... walau berharap bersatu , tapi yah sudahlah tetep keren ceritanya mengaduk-aduk emosi ... ditunggu cerita lainnya ...
  • Aih mbak,,,jgn bilang lok ceritanya udah tamat. Jadi sedih nih akunya:(. Sad ending sihhh.
  • Emang beneran tamat nih?
  • Emang beneran tamat nih?
  • Hiks,,, hiks,,, hiks,,,,,
    #nangis
    #narikTisueWCBekas
  • edited September 2015
    udahan ya? sad ending ternyata :( aku kasian sama nathan :cry: *pukpuk nathan :cry:
    padahal berharap mereka bersama, tapi gimana lagi nathan udah di paksa nikah...dan ical, katanya tak bisa melawan takdir yang menyiksa..tapi dia keliatannya ga tersiksa, malah manut2 aja dan lebih memilih max...

    Huaaa knp aku ga suka sad ending hiks..
    Yeni kamu udah bikin aku mewek, karena baca nathan di nikahkan :(

  • nathannya nikah hiks ical juga udah nyerah hiks
  • Hanya ini? Tidak ada perlawanan kah?
  • jd mereka gak bisa bersatu nih?
  • EPILOG

    Aku berjalan dengan membawa seluruh lukaku, mencoba menatap masa depan dengan khayalan yang lebih indah. Aku dapat merasakan genggaman Max semakin erat seolah mengatakan kalau dia akan memberikan aku senyuman di akhir cerita tapi bukankah ini akhirnya karena bagiku tak ada lagi akhir setelah ini.

    Tubuhku kaku, seolah seluruh urat sarafku telah mati rasa saat aku dengan jelas dapat merasakan pelukan yang maha dahsyat menghantam punggungku dan aku tak akan mengira ini nyata kalau saja aku tidak melihat tangan mulus yang melingkar di atas perutku.

    Sungguh tangan itu adalah tangan perempuan tapi bukan tangan mama ataupun teman wanitaku yang lain karena baru kali ini aku melihat tangan itu. Aku hanya mampu menatap Max yang berdiri mematung di dekatku seolah ia juga kehabisan kata. Ketegangan di wajahnya membuat aku berpikir siapa pemilik tangan ini.

    Aku ingin berbalik hanya untuk memenuhi hasrat keingintahuanku pada pemelukku yang mungkin saja melakukan ini semua hanya untuk menghiburkan tapi tangan itu tak membiarkan aku melakukannya atau lebih tepatnya pemelukku tak mengizinkan aku untuk melihat wajahnya seolah aku akan merasa jijik kalau aku melakukannya. Seolah ia adalah rahasia kelabu yang tak boleh ku ketahui. Yang membuat aku mati penasaran adalah kenapa dia begitu beraninya mendaratkan tubuhnya padaku saat semua orang sudah pasti akan menjadikan kami tontonan.

    Siapapun beritahu aku siapa dia?

    “Kenapa kamu tidak mengenalku, kenapa harus aku yang dengan susah payah mencarimu sementara kamu sendiri sama sekali tidak mengingatku. Kenapa bukan kamu yang mencintaiku, kenapa malah aku yang tergila-gila padamu. Apa tidak ada sedikitpun ingatan di kepalamu tentang diriku. Apa aku sebegitu mudahnya untuk dilupakan, apa kamu tak pernah sekalipun memikirkanku. Aku gadis yang mencintai dan akan selalu mencintaimu.” Dengan segala keberanian aku melepas tangan yang melingkar di tubuhku itu dan langsung berbalik hanya untuk mendapatkan wajah seseorang yang sedang menatapku dengan lelehan airmatanya. Wajah yang mengerikan karena make up yang digunakannya sudah tidak terbentuk lagi.

    “Viona..” Suaraku terasa mengambang karena keterkejutan dan keheranan tapi aku yakin semua orang mampu mendengar suaraku walau sekecil apapun karena pokus mereka sekarang hanya pada kami berdua.

    Viona menggeleng dengan pelan yang membuatku mengerutkan alis. “Bukan Viona tapi Vio. Vio Prince” Aku terkesiap, rasanya kepalaku sedang tak berada di tempatnya.

    Ku pegang pipi gadis itu mengingatkan aku tentang dirinya dua tahun yang lalu. Gadis tempat aku menggambarkan diriku. Gadis yang mencari kacamatanya di tengah jalan raya. Gadis yang kulihat saat aku di titik terlemahku. Gadis yang kutolong setelah sekian lama hanya memperhatikannya, dan mencibir orang-orang karena tak merasa kasihan padanya yang mungkin saja akan terlindas. Gadis yang kuantar ke Optik hanya untuk mengganti kacamatanya yang sudah tak berbentuk dengan yang baru. Gadis yang mengajakku makan saat rasanya perutku tak mampu menelan bahkan salivaku sendiri. Gadis ceria yang hanya ku temui beberapa jam, yang memanggilku dengan sebutan Prince. Vio.

    ***

    Aku mengaduk kopi tanpa gula itu dengan mata yang masih memperhatikan layar ponselku. Senyum itu mengembang saat seseorang ternyata telah mampu menemukan kebahagiaannya. Aku melangkah kearah balkon dan menaruh gelas cantik itu di meja kecil yang ada di depanku. Lalu ku daratikan tubuhku di dekapan lelakiku yang masih sibuk dengan tabletnya.

    Aku mencibir, selalu merasa di abaikan saat dia sudah memegang tablet kesayangannya. Seolah aku di duakan dengan tablet sialan itu.

    Ingatanku kembali kemasa dimana kehancuranku seolah akan membuatku mati, Aku masih ingat bagaimana kemarahn kedua orang tua gadis itu bahkan masih terekam dengan jelas ciuman pemuda yang sekarang tengah bahagia itu.

    Apa yang bisa kukatakan untuk rasa syukurku pada tuhan karena menghadirkan Viona sebagai mempelai Nathan. Serta bagaimana juga ku katakan pada tuhan atas tergeraknya hatiku untuk menolong gadis itu di saat hatiku juga meminta pertolongan.

    “Melamun lagi?” Pertanyaan itu membuat aku mengalihkan tatapanku pada sosok yang sekarang tengah menyesap kopi yang ku buatkan untuknya. Aku tersenyum dengan senyum sumringah.

    “Hanya mengingat sesuatu” Jawabku dengan nada senang yang tak bisa aku sembunyikan.

    “Masalalu yang tentu saja bagus sampai membuatku harus melihat senyum menawan itu” Aku terkekeh selalu suka dengan pujian pemuda yang sekarantg tengah mendekapku.

    “Tentu saja. Tak ada lagi sakitkan sekarang?” Dia mengangguk dengan senyumannya.

    “Sebentar lagi Mama datang, kita harus mengantarnya ke bandara. Kamu tidak lupa kan?” Dia berucap di sela-sela ciumannya pada leherku membuatku melenguh selalu menikmati sentuhan sensualnya.

    “Ingatanku masih terlalu kuat hanya untuk melupakan keberangkatan calon mertuaku.” Ada sinar bahagia di matanya saat ku sebut mamanya dengan sebutan calon mertua. “Aku harus mandi dan sebentar lagi kita akan berangkat.” Aku beranjak sebelum lebih dulu melumat bibirnya dengan gemas.

    “Rival!” Dia menyebut namaku membuat aku menoleh. “Aku mencintaimu” aku mengangguk antusias. selalu suka dengan ungkapan cinta tiba-tibanya.

    ***

    AUTHOR POV

    Semua orang sudah berkumpul di ruang keluarga dengan tangisan Viona yang sudah reda, dan sekarang keadaan seolah mencekam mereka.

    “Jadi dia pemuda yang kau cintai?” Pertanyaan itu keluar dari mulut papa Viona membuat gadis itu mengangguk dengan perasaan bersalah kepada orang tuanya, hanya saja jika ia tak melakukan itu hidupnya sudah pasti tidak akan tenang melihat pemuda yang dia cintai tak mendapatkan cintanya.

    “Kamu akan menikah dengannya? Karena kamu sudah menghancurkan pernikahanmu yang sekarang?” Lagi suara penuh kesal itu keluar dari orang tua gadis itu.

    gadis itu menggeleng membuat orang tuanya mengernyit bingung. “Mereka lebih pantas bersama dan aku rela memohon hanya untuk membuat seseorang yang egois mau melihat betapa ia telah menyakiti seseorang yang seharusnya ia bahagiakan.” Tatapan gadis itu terarah pada sosok Nathan yng berdiri tak jauh dari Ical dan Max. Dan semua orang tahu siapa yang gadis itu maksud karena sekarang gadis itu telah beranjak dari duduknya dan berjalan kearah mereka, kearah Max lebih tepatnya.

    “Kalau memohon sebaiknya jangan sekarang karena aku harus bicara dengannya” Tanpa mengubris Viona, Max berdiri di depan Ical dan memeluk pemuda itu dengan sangat erat seolah pelukan itu mampu meremukkan orang yang ada di pelukannya.

    “Aku mencintaimu” Dan ciuman itu mendarat di dahinya, tanpa kata apapun lagi Max berlalu meninggalkan tempat itu tanpa mau berbalik lagi bahkan tidak ada yang tahu kalau dia sudah menyiapkan tiket penerbangan keluar negeri.

    Dari awal Max memang sudah akan melepas pemuda itu bahkan semua rencana sudah ia rencanakan dengan sangat baik tapi semua malah berubah saat Viona berhambur kepelukan Ical.

    Dia tidak buta hanya untuk mengetahui kalau dia tidak mungkin memisahkan dua orang yang saling mencintai jadi dia memilih pergi dan membiarkan orang yang di cintainya di miliki orang lain.

    Senyum penuh kehangatan itu menghiasi bibir Max saat melangkah meninggalkan mereka semua yang diam-diam salut dengan caranya.

    TAMAT

Sign In or Register to comment.