It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Suara deru nafas kami seolah mampu berbicara lebih banya dari keterdiaman yang entah sampai kapan akan berakhir karena aku merasa Max akan diam selamanya. Lihatlah dia hanya meemandangku seolah aku baru saja membunuh keluarganya yang sangat ia sayangi.
Tatapanku terpecah dengan suara ponsel yang mengalun merdu di arah ranjangku. Ponselku berbunyi dan aku tidak dapat berbuat apa-apa untuk mendiamkannya karena ada seseorang yang tengah mengamuk akan kesalahan yang mungkin memang aku lakukan.
“Max, Aku harus menjawab ponselku” Aku bersuara saat ponsel itu tak juga diam. Aku merasa memang ada yang penting tapi bukannya menjawab Max malah dengan wajah merah padamnya berusaha menciumku dengan kesal ku coba untuk mendorongnya tapi sayangnya Max memiliki kekuatan banteng yang tidak akan mungkin untuk di kalahkan apalagi sekarang dia sedang di liputi dengan amarah. Dia berhasil menempelkan bibirnya di belahan bibirku dan dengan cepat aku bisa mendorongnya dan mendaratkan tinjuku tepat diwajahnya. Dia masih bergeming di depanku tanpa mau melepas tatapannya dariku. Aku mencoba pergi dari sana tapi lagi-lagi Max mendorongku hingga punggungku kembali nyeri karena terbentur dinding. Ciuman itu lagi-lagi di lakukan Max dengan mambabi buta hingga aku kewalahan menghadapinya. Seolah ia mencoba melampiaskan kekesalannya dengan menciumku.
Suara ketukan pintu seolah bagai mendapat air di gurun sahara. Aku berharap Max mau menghentikan kegilaannya. Tapi dia tetap kembali meraih bibirku menghisapnya dengan rakus dan dengan cepat ia melepaskan bibirnya saat aku hampir saja merosot dengan cara gilanya. Max memegang pinggangku agar tidak jatuh kelantai dan aku cukup bersyukur untuk itu.
“Den Ical!” kini aku bisa mendengar suara pembantuku tanpa mau babibu dengan Max aku langsung merapikan penampilanku dan melangkah dengan cepat kearah ranjang dan mengambil ponselku lalu berjalan untuk membuka pintu.
“Iya bi?” Ucapku membuka pintu itu lebar-lebar.
“Ada non Nadia di bawah. Katanya dia sudah menelpon beberapa kali ke ponselnya aden tapi gak di jawab-jawab.” Aku memeriksa ponselku dan memang tertera nama Nadia di sana dan juga Nathan.
“Baiklah sebentar lagi aku turun bi” Ucapku dan pembantuku hanya bisa tersenyum berlalu pergi. “Ada Nadia di bawah, lo mau ikut turun?” Tanyaku dengan nada yang kesal. kulihat ia masih setia dengan dinding di depannya.
“Aku tunggu kamu di sini saja.” Ucapnya. Kayak aku bakal balik aja kalau dia di sini. Aku hanya mengangguk dan pergi meninggalkannya.
***
Kulihat Nadia sedang meminum minuman yang di suguhkan, dan langsung berdiri dengan senyum cerahnya saat melihat kedatanganku. Aku balas tersenyum pada wanita itu.
“Apa gue ganggu? Gue tahu lo baru pulang ngampus tapi gue malah datang kesini dengan niat ngerepotin lo”
“gue seneng kok lo datang kesini.” Ucapku dengan penuh maksud. “Apa yang bisa gue bantu buat kekasih dokter ini?” Tanyaku saat sudah duduk di sampingnnya, dia hanya terkikik mendengar ejekanku.
“Max!”Suara nyaring Nadia hampir membuat telingaku sakit dan kulihat Max sudah berdiri di sana dengan tampang datarnya. Kulihat Nadia sangat bahagia melihat saudaranya yang terlihat biasa saja malah gak minat pada Nadia. Dia sama saja dengan Daniel.
Aku mengambil dudukku di sofa tunggal dan menyuruh Max lewat mataku untuk duduk di samping Nadia. Dia menurut.
“Jadi gue kesini mau minta bantuan buat bantu pindahan gue” Nadia mulai membuka suara dan terdengar cukup tak enak hati.
“Lo bisa sewakan? Buat apa minta bantuan orang segala?” Suara sewot Max membuat aku berpikir kalau hubungan mereka tidaklah baik ternyata Nadia hanya bahagia sendiri dengan kehadiran Max sementara Max mungkin tak menganggapnya. Kasihan Nadia.
Bunyi pesan di ponselku membuat aku menatap layar datar itu. “Will nyuruh gue minta bantuan Ical, katanya biar irit duit” Aku mendengar suara memelas Nadia yang di tanggapi datar oleh Max.
“Biar duitnya dari gue aja” Nadia hanya manyun, manis sekali gadis ini. aku tersenyum menatapnya yang di tatap hanya bergumam sebal.
“Lo punya banyak makanankan?” Aku bertanya dengan senyum miring, mengacak rambutku yang berantakan. Kulihat Nadia hanya mengangguk antusias.
“Sepertinya bukan hanya gue yang mau bantu lo. Kirimin gue alamatnya dan gue akan langsung kesana sama anak-anak. Bilang sama dokter ganteng lo itu dia datang pada orang yang tepat” Aku mendengar Nadia berteriak antusias
“Ical!” Suara Max tinggi tak setuju denganku dan apa peduliku.
“Lo naik taksi kan kesini?” Nadia mengangguk. “Lo bareng Max aja kesana gue mau kerumah Sandi nanti gue nyusul sama yang lain” Tanpa mau melihat tatapan mematikan dari Max aku langsung keluar rumahku membuka resleting jaketku dan langsung menaiki Ducati kesayanganku tanpa helm.
***
Aku berjalan memasuki rumah dengan tergesa, sudah terbiasa dengan rumah Sandi yang sepi aku langsung naik ke lantai atas dan membuka pintu dan kulihat dia disana. Dia berbalik dari menatap jendela dan menatapku dengan senyumnya. Aku langsung berhambur memelukknya dengan erat. Seolah menghilangkan Max dari tubuhku.
“Apa semua baik-baik saja? Tiba-tiba aku kahwatir tapi datang kerumahmu juga bukanlah ide yang bagus jadi aku kesini dan Sandi mau bantu.” Aku tersenyum, cukup berterimakasih dengan adanya Sandi dan kebaikan hatinya.
“Aku tidak apa-apa hanya sedikit merindukanmu” Ucapku yang tak mungkin jujur kalau aku baru saja melakukan adegan panas dengan cowok lain. Nathan tertawa mendengar ucapanku dan aku sangat bahagia ternyata kami memiliki kontak batin hingga Nathan bisa mendengar aku minta tolong dalam hatiku saat Max memaksa ciumannya.
“Kemarilah!” Nathan mengajakku ke sofa yang ada di kamar Sandi, aku menurut dan duduk di pangkuannya. Rasanya dunia sudah cukup hanya dengan berada di sisi pemuda ini.
“Kemana pemilik kamar?” Tanyaku tak melihat Sandi dari sejak aku datang.
“Lagi keluar beli rokok” Aku hanya mengangguk dan kembali menatap Nathan yang juga sedang menatapku.
“jangan menatapku seprti itu” Ucapku tapi tak memutuskan adegan saling tatap kami.
“Kenapa?” Tanya sok tidak tahu. Dengan senyum kurengkuh ia dalam pelukanku dan memainkan tanganku di belakang kepalanya. Aku senang dan sangat senang.
***
@Otho_WNata92 @lulu_75 @nakashima
@hendra_bastian
@akina_kenji @harya_kei @NanNan
@boy @BangBeki @arieat @Asu123456
@boybrownis @DM_0607 @littlemark04
@dimasalf9 @freeefujoushi @4ndho
@jacksmile @kristal_air @Pradipta24
@abong @cute_inuyasha @Aurora_69
@JimaeVian_Fujo
@ArDewa @wita @Rifal_RMR
@balaka @ridhosaputra @Lovelyozan
@amir_tagung @keanu_
@Watiwidya40Davi
“Anak setan lo!” Teriakku yang histeris mengejarnya sampai kami ada di depan kamar apartemen Nadia dan tadi aku melihat Mobil Riki sudah nangkring di parkiran sama siapa aja ya dia datang.
“Mau-mau aja si Nadia tinggal di sini, capek tau naik tangganya” Ucap Sandi yang masih ngos-ngosan.
“Tadi gue lihat ada lift yang hampir jadi kok.” Ucapku masih mengibaskan kemejaku yang sempat ku ganti saat di rumah Sandi karena adegan dengan Nathan membuatku berkeringat, dan untunglah ada kemejaku yang tertinggal di rumah Sandi jadi aku tak perlu kerumah lagi.
Sandi mengetukn pintu dan dengan cepat wajah Aurel nampak di sana dengan senyum sumringahnya . Aurel membuka pintu selebar mungkin dan tampaklah tukang cat amatiran di dalam sana. Aku masuk mendahului Sandi dan dengan telaknya mendapat serangan langsung dari Riki. Bukan main serangannya dia melempar kuas cat kearahku dan mengenai kemejaku. Hebatnya kemaja hitamku berubah warna.
“Lo yang ngajak malah datang terlambat, sialan lo” Sandi hanya cekikikan, aku menatapnya geram.
“Macet kali Rik, lo kayak gak tahu aja. Ahh sial bajuku” Kulihat semua hanya tersenyum melihat tampang meranaku. Dasar manusia-manusia tak memiliki hati.
“Pakai kemejaku aja, ada yang masih baru kok. Ada di ruanganku. Mau ku ambilkan?” Dokter Will menawarkan tapi senyum jailnya tetap tidak hilang. Aku tahu aku tahu wajahku juga kena dengan cat warna biru yang manis asem ini.
Aku membuka kancing kemejaku dan melemparnya kearah Riki yang hanya cengengesan menang. “Tidak perlu dokter ganteng, gue yakin badan gue cukup bagus untuk jadi tontonan gadis-gadis ini.” Kulihat Yesa hanya menggeleng.
“Yesaku sayang lo ikut kesini, aduh kangen gue dah berapa bulan gak ketemu.” Membalas Riki adalah tujuan utamaku sekarang.
“Eh kampret awas lo ganggu cewek gue, najis lo gak pake baju dasar manusia bar-bar” Aku hanya tertawa mendengar kekesalan Riki.
“Jadi apa yang musti gue kerjain nih, bukan hanya jadi tontonan kalian padakan?” Kulihat Nadia berpikir.
“Kuasnya udah di pakai semua jadi kalian tinggal meriksa cat aja kali ya?” Nadia malah bingung dengan pekerjaan yang harus ia berikan pada pekerja satu harinya.
“Emang tuh cewek-cewek pada bisa megang kuas?” Tanya Sandi dengan nada mengejek.
“Sialan lo, gue lebih pinter dari lo” Aurel menimpali dengan dramatis yang sedang berdiri di dekat Max, aku sampai lupa dengan manusia satu itu. Lihatlah dia akan selalu serius dengan apapun yang akan dia kerjakan. Bahkan kedatangankupun tak cukup membuat dia beralih dari catnya.
“Lo gak ngajak Nathan Cal?” Pertanyaan yang di lontarkan Aurel yang tidak tahu apa-apa malah membuat semua orang menghentikan aktivitasnya hanya untuk memastikan jawabanku tapi Max masih setia dengan kuasnya.
Iseng-iseng aku ingin melihat reaksi mahkluk dingin tak tersentuh itu. “Aduh lupa gue, apa gue ajak aja ya? Biar tambah rame.” Sandi dan Riki menatap dengan pandangan ngeri. Kulihat Max berbalik menatapku dengan pandangan mematikan dan wow sekarang aku merasa bulu kudukku merinding. Dia manusia atau setan sih kenapa aku bisa takut dalam waktu yang bersamaan dengan debaran aneh yang selalu datang saat dia ada di dekatku.
“Cal ponsel lo bunyi” Aku tergagap saat merasakan getaran di ponselku dan dengan cepat aku berjalan kearah balkon dan menerima telpon dari mama yang menyuruhku untuk tidak pulang malam karena dia mau ngajak aku kerumah kakakku.
Aku jadi tidak enak hati kalau harus ninggalin mereka tapi mama juga tidak ada teman kesana. Dengan enggan ku pasang tampang memelasku. Mataku langsung menangkap Aurel yangb sedang bermanja-manja dengan Max dan yang lain malah sedang asik minum.
“Guys” Suaraku pelan tapi mampu membuat mereka semua menatapku.
“Tampang lo mirip kucing kampong, mau apa lo?” Aku mendecak kesal pada Riki, menghina kadang keterlaluan ni anak.
“Gue harus balik duluan deh, nyokap gue ngajak ketemu kakak dan dia gak ada teman jadi gue sebagai anak yang baik gak mungkin mengabaikan begitu saja kan?”
“Lo memang pintar mendramatisir. Sono gih!” Hatiku langsung berteriak yes.
“Tapi lo besok yang bayar jatah makan siang kita-kita kan lo yag ngajakain dan malah lo yang gak tanggung jawab dan harus ada hukumannya.” Aku hanya memutar kepala bosan.
“Iye iye gue traktir skaligus sama penjualnya. Puas” Ucapku sambil lalu.
“Cal? Lo mau telanjang keluar. Dik kira gila lo ntar” Aku dengan bodohnya menatap tubuhku yang memang tak memakai apapun.
“Gue juga balik deh, ayo cal” Aku menatap Sandi dengan tatapan tolong. Kalau Max ikut sama saja bohong, neraka dunia gue hadapi baru sampai rumah.
“Aurel mau lo anggurin Max?” Sandi bersuara.
“Mobil Riki gak bakal muat bawa lo semua jadi lo bisa pakai motor Ical dan lagian juga Aurel gak pulang bareng gue. Ya kan sayang?” Entah bagaimana Max menatap Aurel yang pasti sekarang Aurel mengangguk dengan slownya.
Max menyodorkan jaket kulitnya padaku yang ku terima dengan enggan.
***
Aku menganga, lebih tepatnya campuran antara marah, sakit hati dan kecewa. Keluargaku menjualku, bukan masalah kalau aku wanita tapi aku laki-laki dimana letak harga diriku yang hanya seharga satu perusahaan yang hampir bangkrut.
Aku terus menatap lekat kertas kontrak itu, suara air yang berasal dari kamar mandi seolah sebagai pengingat kalau sekarang aku bukanlah milik diriku. Bunuh saja aku kalau hidup seperti ini.
Untuk pertama kalinya mama membohongiku dengan mengatakan dia ingin aku pulang yang ternyata hanya akal-akalannya hanya agar aku bisa di ajak ke apartemen Max dan yang lebih menyakitkan lagi adalah Max yang menyuruhku tanda tangani kertas yang sedang ku pegang ini. Kertas yang akan menjadikanku milik orang lain. Aku sakit tuhan, dimana letak harga diriku sebagai seorang lelaki.
Aku mendengar suara pintu kamar mandi di buka tapi aku sungguh tak berniat memalingkan pandanganku kearah sana. Mataku masih pokus pada kertas yang sama sekali sudah tak mampu aku baca lagi.
“Jadi bagaimana?” Aku tetap diam, tak mau lagi rasanya memandang wajah pria yang sekarang duduk di hadapanku ini. Dengan tanpa menjawabnya aku langsung membubuhkan tanda tangan di sana. Dan dengan cepat aku berdiri menuju pintu rasanya pergi dari sini adalah pilihan paling tepat untuk saat ini.
Aku berbalik menatapnya yang menyuguhkan seringaian liciknya, dia sudah lebih dulu mengunci pintunya.
“Gue udah tanda tangan, jadi mau lo sekarang apa?” Aku membentaknya tapi tawanya membuat kepalaku mendidih.
“Lo mau pergi biar bisa ketemu pacar lo itu? Sayangnya gue bukan orang bodoh sayang, dengan membiarkan barang sebagus lo buat pergi begitu saja. Apalagi untuk menemui anak dari wanita sialan itu.” Dadaku rasanya di isi dengan bergalon-galon tabung hingga membuat aku sesak. Apalagi aku seolah tak mengenal pria yang sekarang sedang tersenyum dengan kemenangannya.
***
@Otho_WNata92 @lulu_75 @nakashima
@hendra_bastian
@akina_kenji @harya_kei @NanNan
@boy @BangBeki @arieat @Asu123456
@boybrownis @DM_0607 @littlemark04
@dimasalf9 @freeefujoushi @4ndho
@jacksmile @kristal_air @Pradipta24
@abong @cute_inuyasha @Aurora_69
@JimaeVian_Fujo
@ArDewa @wita @Rifal_RMR
@balaka @ridhosaputra @Lovelyozan
@amir_tagung @keanu_
@Watiwidya40Davi