It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Pilihan apa yang ku miliki sekarang? Aku sama sekali tak bisa mengatakan kalau keluarga harus ada dalam daftar pilihan karena akan selalu keluargaku yang menjadi pilihannya walau cintaku pada Nathan teramatlah besar tapi mengorbankan keluargaku sungguh tak ada dalam daftar percintaanku.
Aku tahu kata-kata Max hanyalah sebuah kata klise, kalaupun aku jadi Max aku pasti akan mengambil cara yang sama. Dia akan membantu asal Aku menjauh dari Nathan dan itu tak ada sangkut pautnya dengan taruhan yang ia katakan. Tapi yang tak bisa ku mengerti kenapa dia mencintaiku dengan sangat egoisnya.
Aku tak juga bisa memungkiri kalau memang ada sedikit perasaan untuk Max tapi jika di bandingkan dengan Nathan jangan tanya padaku siapa yang akan membuatku mau mengorbankan dunia.
Dalam kisah kepahitanku ini hanya ada satu manusia yang memengaruhinya, Bela. Wanita yang membenciku karena aku mendapatkan hati anaknya dan juga karena musuh yang paling di bencinya menggilaiku. Aku bukan tak tahu masalah tentang suaminya Tante Bela yang memang menceraikan tante Bela karena wanita lain tapi yang tidak ku tahu adalah wanita itu adalah Mamanya Max dan Daniel.
Pikiran yang menari-nari di kepalaku terhenti saat aku melihat pintuku terbuka dan menampakkan sosok papa di sana. Dia tersenyum canggung kearahku yang ku balas dengan canggung juga. Aku tak bisa menyalahkan papa kalau dia memang marah padaku. Melihat bagaimana hancurnya papa mungkin aku bisa sedikit mengerti.
Papa duduk di tepi ranjangku, menatapku dengan tatapan lembutnya. Tatapan papa yang selalu membuatku merasakan ketenangan.
“Maafkan papa!” Papa meminta maaf dengan kepala tertunduk. Aku mengelus tangan papa dengan lembut, mengatakan kalau aku tidak apa-apa lewat sentuhannya.
“Ical yang harusnya minta maaf karena tidak mengerti posisi papa.” Aku berucap dengan nada lirih.
“Papa janji itu tidak akan terjadi lagi” Papa mencoba tersenyum walau sedikit gagal. dia mengelus pipiku berharap bisa menghilangkan bekas tamparannya.
“Ical akan coba,” Aku menghembusan nafas sesak. “Menjauhinya” Lanjutku dengan nada yang seolah dunia akan berakhir sebentar saja. Aku ragu bisa melakukannya seragu aku akan bisa membunuh perasaan yang sangat tidak mungkin ini. Aku merasa menjanjikan sesuatu hal yang mustahil dan kurasa papa tahu itu melihat dari caranya membalas tatapanku yang terlihat ragu.
***
Aku berjalan dengan pasti, menenteng jaket kulitku. Kulihat semua orang menatap kearahku penuh minat dan aku cukup mengabaikan mereka semua karena apapun yang mereka lihat dariku bukanlah urusan yang penting buatku. Hidupku sudah rumit jadi aku tidak mau menambahnya.
Aku tersentak saat mataku tiba-tiba menghampiri madding sekolah, bukankah itu fotoku dan siapa pula yang menaruhnya di madding, sialan. Dengan kasar kusingkirkan foto yang bertelanjang dada tersebut dan dengan cepat kurasakan seseorang menertawaiku.
Aku tahu siapa yang melakukan ini, siapa lagi kalau bukan anak brengsek dari gedung sebelah. Hanya dia yang mampu menjahili seperti ini.
“Cuekin aja kali Cal, lo tahu sendirikan Edo anaknya sinting. Mana mau dia ngelepasin lo kalau lo tanggepin serius gitu. “ Aku menatao Didi yang sedang asik dengan cemilannya, aku kembali berdecak kesal dan membenarkan ucapan Didi.
“Anak-anak mana?” Aku bertanya dengan perasaan yang cukup terlihat kesal.
“Belum pada datang mungkin.” Aku hanya mengangguk sedikit tersentak karena mendapat rangkulan dari seseorang yang tak lain adalah Sandi dengan cengiran lebarnya. Berharap bisa menghiburku hanya dengan cengirannya yang sayangnya tak akan mempan padaku.
“Gue punya kabar yang bagus buat lo” Aku sedikit heran dengan bisikan Sandi, kulihat Didi juga menatap dengan raut penasaran.
“Kabar apaaan?” Aku mencoba menjawab dengan nada setenang mungkin .
“Lihat lapangan deh dan kamu akan tahu apa itu.” Aku memutar bola mata dengan bosan. “Ayolah Cal!” Sandi memelas, memohon agar aku ikut dengannya yang memang sangat tidak mungkin untuk di tolak.
Aku berjalan di dekat Sandi san Didi mengekor kami di belakang. Langkahku terhenti di pinggir lapangan dan dapat kulihat ada seseorang gadis cantik dengan kacamata yang membingkainya. Dia terlihat sedang bicara dengan Yesa dan Riki. Aku merasa pernah mengenal gadis itu tapi dimana juga aku lupa. Saat itu juga dadaku berdebar dua kali lebih cepat dari biasanya, Viona.
“Lo nggak apa-apa?” Aku menatap Sandi dengan tatapan Bingung. “Dia pindah kuliah di sini” Dan saat itu juga aku tahu kalau hatiku akan semakin berdarah. Setelah dua hari ini berhasil menghindar dari Nathan berkat bantuan teman-temanku tapi dengan gampangnya tunangannya yang malah kuliah di sini. Hidupku akan semakin berat.
“Ical!” Dia melambai kearahku, dia yang ku maksud bukan Yesa atau Riki tapi Viona. Lihatlaha betapa sok akrabnya dia tapi kenapa juga aku harus membencinya. Bukankah dia hanya seseorang yang hadir di saat yang tidak tepat dan aku dengan teganya menuduh dia sejahat itu. Aku menghembuskan nafas membuat hatiku bersikap lapang.
Aku melangkah mendekatinya di ikuti oleh dua orang itu. Viona langsung menggenggam tanganku saat aku sudah cukup dekat dengannya. Kulihat semua orang mengernyit dengan tingkahnya yang memang terlalu aneh. Dia memperlakukanku seolah-olah kami sudah lama sekali kenal.
“Nathan banyak cerita tentang kamu dan rasanya mengenalmu pasti sangat menyenangkan. Aku senang Nathan memiliki seseorang yang special di hatinya seperti kamu. Aku jadi lebih yakin kalau perjodohan kami tidak akan terlaksana dan itu akan dengan mudah membuat aku bisa menikah dengan kekasihku sendiri.” Kami menemukan titik terang di balik sikap anehnya jadi Nathan sudah lebih dulu menceritakan tentang aku dan lihatlah aku malah dengan jahatnya menuduh gadis manis ini yang tidak-tidak.
“Kamu memiliki kekasih?” Tanya Sandi terdengar sangat antusias. Kulihat Riki mendelik kearahnya dengan kesal.
“Aku pasti akan menemukannya” Kulihat ada binar harapan di mata Viona. Aku tidak terlalu mengerti dengan ucapannya tapi bertanya lebih lanjut juga tidak mungkin malah terdengar terlalu ingin tahu.
“ICAL!!” Teriakan Juna yang bagaikan orang kesurupan membuat kami semua langsung menoleh terutama aku yang memang namaku yang di teriakkannya. Kulihat semua menatap penasaran pada Juna yang sekarang hanya bisa menunduk mengatur ritme nafasnya. Kulihat Sandi dengan sabar mengelus pundak Juna.
“Itu.. Itu.. Edo” Suara Juna yang terputus-putus membuat aku hanya bisa mengernyit heran.
“Kenapa dengan Edo?” Pertanyaan itu terlontar dari mulut Riki.
“Edo.. Tawuran” Lagi suara Juna tersenggal.
“Yaelah Edo tawuran mah Udah biasa. Lo pakai ribut abis” Didi menimpali dengan santai.
“Nathan..” Juna kembali bersuara, menyebut nama yang langsung membuatku berlari meninggalkan mereka. Nathan jangan katakan dia mengingkari janjinya. Ya tuhan apa yang dipikirkan pemuda itu. Dadaku rasanya penuh dengan sesak membayangkan hal buruk yang menimpa lelakiku yang teramat sangat membuat aku menderita.
***
Pilihan apa yang ku miliki sekarang? Aku sama sekali tak bisa mengatakan kalau keluarga harus ada dalam daftar pilihan karena akan selalu keluargaku yang menjadi pilihannya walau cintaku pada Nathan teramatlah besar tapi mengorbankan keluargaku sungguh tak ada dalam daftar percintaanku.
Aku tahu kata-kata Max hanyalah sebuah kata klise, kalaupun aku jadi Max aku pasti akan mengambil cara yang sama. Dia akan membantu asal Aku menjauh dari Nathan dan itu tak ada sangkut pautnya dengan taruhan yang ia katakan. Tapi yang tak bisa ku mengerti kenapa dia mencintaiku dengan sangat egoisnya.
Aku tak juga bisa memungkiri kalau memang ada sedikit perasaan untuk Max tapi jika di bandingkan dengan Nathan jangan tanya padaku siapa yang akan membuatku mau mengorbankan dunia.
Dalam kisah kepahitanku ini hanya ada satu manusia yang memengaruhinya, Bela. Wanita yang membenciku karena aku mendapatkan hati anaknya dan juga karena musuh yang paling di bencinya menggilaiku. Aku bukan tak tahu masalah tentang suaminya Tante Bela yang memang menceraikan tante Bela karena wanita lain tapi yang tidak ku tahu adalah wanita itu adalah Mamanya Max dan Daniel.
Pikiran yang menari-nari di kepalaku terhenti saat aku melihat pintuku terbuka dan menampakkan sosok papa di sana. Dia tersenyum canggung kearahku yang ku balas dengan canggung juga. Aku tak bisa menyalahkan papa kalau dia memang marah padaku. Melihat bagaimana hancurnya papa mungkin aku bisa sedikit mengerti.
Papa duduk di tepi ranjangku, menatapku dengan tatapan lembutnya. Tatapan papa yang selalu membuatku merasakan ketenangan.
“Maafkan papa!” Papa meminta maaf dengan kepala tertunduk. Aku mengelus tangan papa dengan lembut, mengatakan kalau aku tidak apa-apa lewat sentuhannya.
“Ical yang harusnya minta maaf karena tidak mengerti posisi papa.” Aku berucap dengan nada lirih.
“Papa janji itu tidak akan terjadi lagi” Papa mencoba tersenyum walau sedikit gagal. dia mengelus pipiku berharap bisa menghilangkan bekas tamparannya.
“Ical akan coba,” Aku menghembusan nafas sesak. “Menjauhinya” Lanjutku dengan nada yang seolah dunia akan berakhir sebentar saja. Aku ragu bisa melakukannya seragu aku akan bisa membunuh perasaan yang sangat tidak mungkin ini. Aku merasa menjanjikan sesuatu hal yang mustahil dan kurasa papa tahu itu melihat dari caranya membalas tatapanku yang terlihat ragu.
***
Aku berjalan dengan pasti, menenteng jaket kulitku. Kulihat semua orang menatap kearahku penuh minat dan aku cukup mengabaikan mereka semua karena apapun yang mereka lihat dariku bukanlah urusan yang penting buatku. Hidupku sudah rumit jadi aku tidak mau menambahnya.
Aku tersentak saat mataku tiba-tiba menghampiri madding sekolah, bukankah itu fotoku dan siapa pula yang menaruhnya di madding, sialan. Dengan kasar kusingkirkan foto yang bertelanjang dada tersebut dan dengan cepat kurasakan seseorang menertawaiku.
Aku tahu siapa yang melakukan ini, siapa lagi kalau bukan anak brengsek dari gedung sebelah. Hanya dia yang mampu menjahili seperti ini.
“Cuekin aja kali Cal, lo tahu sendirikan Edo anaknya sinting. Mana mau dia ngelepasin lo kalau lo tanggepin serius gitu. “ Aku menatao Didi yang sedang asik dengan cemilannya, aku kembali berdecak kesal dan membenarkan ucapan Didi.
“Anak-anak mana?” Aku bertanya dengan perasaan yang cukup terlihat kesal.
“Belum pada datang mungkin.” Aku hanya mengangguk sedikit tersentak karena mendapat rangkulan dari seseorang yang tak lain adalah Sandi dengan cengiran lebarnya. Berharap bisa menghiburku hanya dengan cengirannya yang sayangnya tak akan mempan padaku.
“Gue punya kabar yang bagus buat lo” Aku sedikit heran dengan bisikan Sandi, kulihat Didi juga menatap dengan raut penasaran.
“Kabar apaaan?” Aku mencoba menjawab dengan nada setenang mungkin .
“Lihat lapangan deh dan kamu akan tahu apa itu.” Aku memutar bola mata dengan bosan. “Ayolah Cal!” Sandi memelas, memohon agar aku ikut dengannya yang memang sangat tidak mungkin untuk di tolak.
Aku berjalan di dekat Sandi san Didi mengekor kami di belakang. Langkahku terhenti di pinggir lapangan dan dapat kulihat ada seseorang gadis cantik dengan kacamata yang membingkainya. Dia terlihat sedang bicara dengan Yesa dan Riki. Aku merasa pernah mengenal gadis itu tapi dimana juga aku lupa. Saat itu juga dadaku berdebar dua kali lebih cepat dari biasanya, Viona.
“Lo nggak apa-apa?” Aku menatap Sandi dengan tatapan Bingung. “Dia pindah kuliah di sini” Dan saat itu juga aku tahu kalau hatiku akan semakin berdarah. Setelah dua hari ini berhasil menghindar dari Nathan berkat bantuan teman-temanku tapi dengan gampangnya tunangannya yang malah kuliah di sini. Hidupku akan semakin berat.
“Ical!” Dia melambai kearahku, dia yang ku maksud bukan Yesa atau Riki tapi Viona. Lihatlaha betapa sok akrabnya dia tapi kenapa juga aku harus membencinya. Bukankah dia hanya seseorang yang hadir di saat yang tidak tepat dan aku dengan teganya menuduh dia sejahat itu. Aku menghembuskan nafas membuat hatiku bersikap lapang.
Aku melangkah mendekatinya di ikuti oleh dua orang itu. Viona langsung menggenggam tanganku saat aku sudah cukup dekat dengannya. Kulihat semua orang mengernyit dengan tingkahnya yang memang terlalu aneh. Dia memperlakukanku seolah-olah kami sudah lama sekali kenal.
“Nathan banyak cerita tentang kamu dan rasanya mengenalmu pasti sangat menyenangkan. Aku senang Nathan memiliki seseorang yang special di hatinya seperti kamu. Aku jadi lebih yakin kalau perjodohan kami tidak akan terlaksana dan itu akan dengan mudah membuat aku bisa menikah dengan kekasihku sendiri.” Kami menemukan titik terang di balik sikap anehnya jadi Nathan sudah lebih dulu menceritakan tentang aku dan lihatlah aku malah dengan jahatnya menuduh gadis manis ini yang tidak-tidak.
“Kamu memiliki kekasih?” Tanya Sandi terdengar sangat antusias. Kulihat Riki mendelik kearahnya dengan kesal.
“Aku pasti akan menemukannya” Kulihat ada binar harapan di mata Viona. Aku tidak terlalu mengerti dengan ucapannya tapi bertanya lebih lanjut juga tidak mungkin malah terdengar terlalu ingin tahu.
“ICAL!!” Teriakan Juna yang bagaikan orang kesurupan membuat kami semua langsung menoleh terutama aku yang memang namaku yang di teriakkannya. Kulihat semua menatap penasaran pada Juna yang sekarang hanya bisa menunduk mengatur ritme nafasnya. Kulihat Sandi dengan sabar mengelus pundak Juna.
“Itu.. Itu.. Edo” Suara Juna yang terputus-putus membuat aku hanya bisa mengernyit heran.
“Kenapa dengan Edo?” Pertanyaan itu terlontar dari mulut Riki.
“Edo.. Tawuran” Lagi suara Juna tersenggal.
“Yaelah Edo tawuran mah Udah biasa. Lo pakai ribut abis” Didi menimpali dengan santai.
“Nathan..” Juna kembali bersuara, menyebut nama yang langsung membuatku berlari meninggalkan mereka. Nathan jangan katakan dia mengingkari janjinya. Ya tuhan apa yang dipikirkan pemuda itu. Dadaku rasanya penuh dengan sesak membayangkan hal buruk yang menimpa lelakiku yang teramat sangat membuat aku menderita.
***
Pilihan apa yang ku miliki sekarang? Aku sama sekali tak bisa mengatakan kalau keluarga harus ada dalam daftar pilihan karena akan selalu keluargaku yang menjadi pilihannya walau cintaku pada Nathan teramatlah besar tapi mengorbankan keluargaku sungguh tak ada dalam daftar percintaanku.
Aku tahu kata-kata Max hanyalah sebuah kata klise, kalaupun aku jadi Max aku pasti akan mengambil cara yang sama. Dia akan membantu asal Aku menjauh dari Nathan dan itu tak ada sangkut pautnya dengan taruhan yang ia katakan. Tapi yang tak bisa ku mengerti kenapa dia mencintaiku dengan sangat egoisnya.
Aku tak juga bisa memungkiri kalau memang ada sedikit perasaan untuk Max tapi jika di bandingkan dengan Nathan jangan tanya padaku siapa yang akan membuatku mau mengorbankan dunia.
Dalam kisah kepahitanku ini hanya ada satu manusia yang memengaruhinya, Bela. Wanita yang membenciku karena aku mendapatkan hati anaknya dan juga karena musuh yang paling di bencinya menggilaiku. Aku bukan tak tahu masalah tentang suaminya Tante Bela yang memang menceraikan tante Bela karena wanita lain tapi yang tidak ku tahu adalah wanita itu adalah Mamanya Max dan Daniel.
Pikiran yang menari-nari di kepalaku terhenti saat aku melihat pintuku terbuka dan menampakkan sosok papa di sana. Dia tersenyum canggung kearahku yang ku balas dengan canggung juga. Aku tak bisa menyalahkan papa kalau dia memang marah padaku. Melihat bagaimana hancurnya papa mungkin aku bisa sedikit mengerti.
Papa duduk di tepi ranjangku, menatapku dengan tatapan lembutnya. Tatapan papa yang selalu membuatku merasakan ketenangan.
“Maafkan papa!” Papa meminta maaf dengan kepala tertunduk. Aku mengelus tangan papa dengan lembut, mengatakan kalau aku tidak apa-apa lewat sentuhannya.
“Ical yang harusnya minta maaf karena tidak mengerti posisi papa.” Aku berucap dengan nada lirih.
“Papa janji itu tidak akan terjadi lagi” Papa mencoba tersenyum walau sedikit gagal. dia mengelus pipiku berharap bisa menghilangkan bekas tamparannya.
“Ical akan coba,” Aku menghembusan nafas sesak. “Menjauhinya” Lanjutku dengan nada yang seolah dunia akan berakhir sebentar saja. Aku ragu bisa melakukannya seragu aku akan bisa membunuh perasaan yang sangat tidak mungkin ini. Aku merasa menjanjikan sesuatu hal yang mustahil dan kurasa papa tahu itu melihat dari caranya membalas tatapanku yang terlihat ragu.
***
Aku berjalan dengan pasti, menenteng jaket kulitku. Kulihat semua orang menatap kearahku penuh minat dan aku cukup mengabaikan mereka semua karena apapun yang mereka lihat dariku bukanlah urusan yang penting buatku. Hidupku sudah rumit jadi aku tidak mau menambahnya.
Aku tersentak saat mataku tiba-tiba menghampiri madding sekolah, bukankah itu fotoku dan siapa pula yang menaruhnya di madding, sialan. Dengan kasar kusingkirkan foto yang bertelanjang dada tersebut dan dengan cepat kurasakan seseorang menertawaiku.
Aku tahu siapa yang melakukan ini, siapa lagi kalau bukan anak brengsek dari gedung sebelah. Hanya dia yang mampu menjahili seperti ini.
“Cuekin aja kali Cal, lo tahu sendirikan Edo anaknya sinting. Mana mau dia ngelepasin lo kalau lo tanggepin serius gitu. “ Aku menatao Didi yang sedang asik dengan cemilannya, aku kembali berdecak kesal dan membenarkan ucapan Didi.
“Anak-anak mana?” Aku bertanya dengan perasaan yang cukup terlihat kesal.
“Belum pada datang mungkin.” Aku hanya mengangguk sedikit tersentak karena mendapat rangkulan dari seseorang yang tak lain adalah Sandi dengan cengiran lebarnya. Berharap bisa menghiburku hanya dengan cengirannya yang sayangnya tak akan mempan padaku.
“Gue punya kabar yang bagus buat lo” Aku sedikit heran dengan bisikan Sandi, kulihat Didi juga menatap dengan raut penasaran.
“Kabar apaaan?” Aku mencoba menjawab dengan nada setenang mungkin .
“Lihat lapangan deh dan kamu akan tahu apa itu.” Aku memutar bola mata dengan bosan. “Ayolah Cal!” Sandi memelas, memohon agar aku ikut dengannya yang memang sangat tidak mungkin untuk di tolak.
Aku berjalan di dekat Sandi san Didi mengekor kami di belakang. Langkahku terhenti di pinggir lapangan dan dapat kulihat ada seseorang gadis cantik dengan kacamata yang membingkainya. Dia terlihat sedang bicara dengan Yesa dan Riki. Aku merasa pernah mengenal gadis itu tapi dimana juga aku lupa. Saat itu juga dadaku berdebar dua kali lebih cepat dari biasanya, Viona.
“Lo nggak apa-apa?” Aku menatap Sandi dengan tatapan Bingung. “Dia pindah kuliah di sini” Dan saat itu juga aku tahu kalau hatiku akan semakin berdarah. Setelah dua hari ini berhasil menghindar dari Nathan berkat bantuan teman-temanku tapi dengan gampangnya tunangannya yang malah kuliah di sini. Hidupku akan semakin berat.
“Ical!” Dia melambai kearahku, dia yang ku maksud bukan Yesa atau Riki tapi Viona. Lihatlaha betapa sok akrabnya dia tapi kenapa juga aku harus membencinya. Bukankah dia hanya seseorang yang hadir di saat yang tidak tepat dan aku dengan teganya menuduh dia sejahat itu. Aku menghembuskan nafas membuat hatiku bersikap lapang.
Aku melangkah mendekatinya di ikuti oleh dua orang itu. Viona langsung menggenggam tanganku saat aku sudah cukup dekat dengannya. Kulihat semua orang mengernyit dengan tingkahnya yang memang terlalu aneh. Dia memperlakukanku seolah-olah kami sudah lama sekali kenal.
“Nathan banyak cerita tentang kamu dan rasanya mengenalmu pasti sangat menyenangkan. Aku senang Nathan memiliki seseorang yang special di hatinya seperti kamu. Aku jadi lebih yakin kalau perjodohan kami tidak akan terlaksana dan itu akan dengan mudah membuat aku bisa menikah dengan kekasihku sendiri.” Kami menemukan titik terang di balik sikap anehnya jadi Nathan sudah lebih dulu menceritakan tentang aku dan lihatlah aku malah dengan jahatnya menuduh gadis manis ini yang tidak-tidak.
“Kamu memiliki kekasih?” Tanya Sandi terdengar sangat antusias. Kulihat Riki mendelik kearahnya dengan kesal.
“Aku pasti akan menemukannya” Kulihat ada binar harapan di mata Viona. Aku tidak terlalu mengerti dengan ucapannya tapi bertanya lebih lanjut juga tidak mungkin malah terdengar terlalu ingin tahu.
“ICAL!!” Teriakan Juna yang bagaikan orang kesurupan membuat kami semua langsung menoleh terutama aku yang memang namaku yang di teriakkannya. Kulihat semua menatap penasaran pada Juna yang sekarang hanya bisa menunduk mengatur ritme nafasnya. Kulihat Sandi dengan sabar mengelus pundak Juna.
“Itu.. Itu.. Edo” Suara Juna yang terputus-putus membuat aku hanya bisa mengernyit heran.
“Kenapa dengan Edo?” Pertanyaan itu terlontar dari mulut Riki.
“Edo.. Tawuran” Lagi suara Juna tersenggal.
“Yaelah Edo tawuran mah Udah biasa. Lo pakai ribut abis” Didi menimpali dengan santai.
“Nathan..” Juna kembali bersuara, menyebut nama yang langsung membuatku berlari meninggalkan mereka. Nathan jangan katakan dia mengingkari janjinya. Ya tuhan apa yang dipikirkan pemuda itu. Dadaku rasanya penuh dengan sesak membayangkan hal buruk yang menimpa lelakiku yang teramat sangat membuat aku menderita.
***
@Otho_WNata92 @lulu_75 @nakashima
@hendra_bastian
@akina_kenji @harya_kei @NanNan
@boy @BangBeki @arieat @Asu123456
@boybrownis @DM_0607 @littlemark04
@dimasalf9 @freeefujoushi @4ndho
@jacksmile @kristal_air @Pradipta24
@abong @cute_inuyasha @Aurora_69
@JimaeVian_Fujo
@ArDewa @wita @Rifal_RMR
@balaka @ridhosaputra @Lovelyozan
@amir_tagung @keanu_
@Watiwidya40Davi
sorry threepost