It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Awalnya kami minder melihat kelas sebelah yang sukses bikin konsep horor. Serba dark dan terkesan gelap banget. Sunyi dan penuh misteri. Minder kami nambah jadi level atas setelah lihat konsep kelas paling ujung punya anak-anak aksel yang berhasil bikin ruangan ala galeri abad pertengahan. Maklum sih, mereka kebanyakan anak orang dengan kemampuan ekonomi di atas rata-rata orang tua kami jadi bukan masalah besar buat mereka patungan beli aksesoris dan pernak pernik mahal buat menghias kelas. Joko sampai bengong nyaris ngiler ngeliat ada patung dewi Athena dipajang di tengah ruangan itu.
“Mid....jutaan iki Mid!” kata Joko menyenggol lenganku. “Tak dodol awak sek yo (jual diri-melacur) golek tante-tante gawe tuku properti.”
“Taek Jok! Koyok lek payu ae! (kayak laku aja)” jawabku datar.
Pantaslah Joko bingung setengah mati. Dia ketua kelas kami, dan dia merasa bertanggung jawab menghadirkan konsep tema yang tidak kalah luar biasa untuk kelas kami.
Mika keluar dari ruang kelas kami dan berteriak memanggil. “Woy Rek! Sini! Cepetan!”
Aku dan Joko segera berlari menyusuri koridor. Joko tak sengaja tersandung batu nisan buatan yang tergeletak di depan ruang kelas di sebelah kelas kami yang mengusung tema horor. Joko terjatuh dan seketika tertindih sosok pocong palsu tepat di atas tubuhnya. Nyaris kepala pocong itu mencium kepala Joko.
Joko berteriak ketakutan. Teman-teman keluar berhamburan dari dalam kelas untuk melihat apa yang terjadi, termasuk teman-teman dari kelas sebelah. Seketika kami tertawa.
“Jancok!” umpat Joko kesal. Ia menendang pocong jadi-jadian itu hingga terhempas ke pintu.
“Woy sabar Rek. Properti iki!” kata Andi, teman dari kelas sebelah, menahan sisa tawanya. Ia segera mengamankan pocong buatan itu dan batu nisan yang mebuat Joko tersandung tadi.
Teman-teman masih tertawa, namun segera kembali ke dalam ruang kelas. Kulihat keadaan di dalam ruangan itu kacau. Serba berantakan.
“Kenapa Mik. Ada apaan?” tanya Joko pada Mika yang jongkok di pojokan masih tertawa. “Taek...seneng kan koen!”
“Enggak Mas Jok....enggak.” kata Mika sambil menahan sisa tawanya sebisa mungkin. Mika terbiasa memanggil Joko dengan sebutan Mas, karena memang Joko lebih tua dari Mika, bahkan dari kami semua, dan perawakannya memang tinggi besar.
“Gini mas....aku punya konsep...tapi terserah sampeyan.” Kata Mika setengah berbahasa Jawa dengan logat yang terdengar aneh.
Kami pun berdiskusi. Konsep Mika sangat menarik....tapi.....
“Emang bisa Mik?” tanya Lia di tengah diskusi.
“Bisa! Peralatannya biar aku aja entar. Nah yang lain mungkin bisa seting tempat sama pernak-pernik lainnya. Gimana?” jawab Mika.
Joko terlihat ragu. Demikian halnya aku. Aku juga ragu. Semua yang dikatakan Mika terlihat kelewat ambisius. Cuma mimpi yang bisa kayak gitu.
Tapi Joko akhirnya setuju. “Yo wes. Tapi beneran bisa kan Mik. Malam ini mesti jadi lho biar besok bisa diset semua seharian. Dah ga ada waktu lagi.”
Mika mengangguk. Yang lain juga menyetujui. Jadilah malam itu kami susah payah beresin kelas. Membersihkan sampai ke ujung ruangan. Memasang segala sesuatu yang bisa kami pasang malam itu. Joko yang kebetulan curi-curi bawa motor hari itu, bolak balik ke toko elektrik dan toko-toko lainnya mencari barang-barang yang dibutuhkan. Tapi semua yang kami usahakan itu hanyalah sebagian kecil saja. Kunci dari konsep ini ada di Mika. Karena itu Mika kami biarkan pulang duluan. Dia harus menyiapkan hal besar yang kami ragukan bisa tercipta. Bukan karena waktunya hanya semalam, tapi memang hal yang dibicarakan Mika tampak mustahil bagi kami.
Dan siang itu ketika saat penilaian dan puncak acara class meeting, kami bengong. Tercengang dengan hasil kerja kami sendiri. Setiap orang penasaran dan berbondong-bondong datang ke kelas kami. Antrian begitu panjang, tak sedikit yang tak tahan antri dan harus puas dengan mengintip dari celah-celah yang ada. Bahkan kepala sekolahpun sampai datang sendiri untuk melihat desain kelas kami. Sama halnya dengan yang lain, kepala sekolah dan guru-guru lainnya tercengang. Tak ada kata-kata yeng keluar selain Subhanallah, luar biasa, mustahil, ajaib atau yah...yang nyerempet-nyerempet itu lah.
Pak Helmi, guru elektro kami yang lebih populer disebut Pak Setrum terkagum-kagum saat melihat ruang kelas kami. “Ini gimana bikinnya?”
Mika mendesain konsep futuristik pada kelas kami. Eits....futuristik dalam arti sebenarnya. Puluhan proyektor kecil tersebar di setiap sudut ruangan. Menampilkan berbagai macam gambar dalam bentuk 3D. Literally 3D. Pesawat, mobil, bahkan becak terlihat dalam bentuk miniatur utuh melayang di tengah ruangan. Saat tersentuh perlahan bentuk-bentuk itu terurai menjadi kepingan remah warna warni yang terlihat luar biasa. Dan semua itu hanyalah sebuah proyeksi. Proyeksi nyata!
Belum lagi dengan sebuah panggung kecil yang kami buat di ujung ruangan. Di sana tampil puluhan robot kecil dengan berbagai macam bentuk yang memainkan sebuah musik dengan kualitas suara yang luar biasa. Beberapa dari robot-robot kecil itu menari dan bergoyang seirama lantunan musik. Proyektor lain yang lebih besar menampilkan berbagai landscape pemandangan yang berganti tiap beberapa menit. Perkotaan dengan gedung-gedung tinggi, hutan, bahkan sampai antariksa terproyeksi sempurna mengisi ruangan dalam bentuk 3D. Benar-benar tampak nyata. Tak terasa bahwa sebenarnya ini hanyalah sebuah ruang kosong.
“Kamu kayak Doraemon Mik. Aku....gak ngira.” Kataku pada Mika malam harinya.
Acara sudah selesai sore tadi. Kami menang hampir seluruh kategori yang dilombakan. Joko sampai diangkat dan dibopong dielu-elukan oleh teman-teman.
Mika tersenyum. Aku dan Mika masih tinggal di ruangan sampai agak malam. Teman-teman yang lain sudah pulang. Sekolah sudah sepi tinggal penjaga sekolah saja yang saat ini mungkin ada di pos depan.
“Sini deh...kamu belum lihat yang aku simpan buat kamu.” Kata Mika sambil menarikku ke tengah ruangan.
Mika terlihat mengutak-atik sesuatu pada Macbooknya. Seketika kudengar robot-robot kecil di panggung memainkan musik klasik...aku tahu lagu ini....Canon in D by Johan Pachelbel. Mika berjalan ke dinding samping dan mematikan lampu. Keadaan menjadi gelap sesaat.
Aku merasakan Mika meraih kedua tanganku. Mendadak proyektor menyala dan menampilkan sebuah pemandangan yang menakjubkan. Sebuah taman pada malam hari. Beberapa lampu secara 3D menyinari kami yang berada di tengah tengah. Kuperhatikan sejenak taman itu terasa berbeda. Pohon dan tanaman berbentuk aneh terlihat berbeda dari tanaman di sini. Aku melihat ke atas dan tampak proyeksi langit malam begitu cerah. Mengagumkan! Milyaran bintang bertabur indah menghiasi atap ruangan. Sebuah rumah kecil namun terlihat apik terpancar di ujung lain ruang kelas.
“Ini proyeksi tempat asalku. Itu rumahku dulu. Dan ini taman kami. Aku dan ayahku menanam sendiri sebagian pohon-pohon itu.” Kata Mika.
“Ini di Jerman?” tanyaku masih sedikit tercengang.
Mika tampak agak panik. “Aku...tidak...bukan di Jerman.....sebenarnya aku....”
Belum sempat Mika menyelesaikan penjelasannya, aku menarik Mika erat dalam dekapanku. Kami berpelukan. Kehangatan tubuh Mika, lantunan klasik musik Canon, membuatku tak peduli lagi dengan asal usul Mika. Biar itu jadi rahasianya.
Sambil berpelukan kami bergerak perlahan. Melangkah mengikuti irama musik. Sengaja melenakan diri membiarkan perasaan kami berbicara dan mengungkap semua yang kami rasakan.
Hari berikutnya kesenangan kami terusik oleh perasaan bete yang menghinggapiku. Gimana gak bete, saat aku udah bener-bener ngerasa punya Mika, mendadak popularitas Mika melejit gara-gara desain futuristiknya. Sekarang makin banyak yang mengenal Mika. Makin banyak yang kagum padanya. Cap jenius lekat sudah pada Mika. Imut, rupawan, ramah, lucu, mengemaskan, jenius pula. Siapa yang tidak tertarik dengan anak seperti itu.
Kurasakan makin banyak cewek-cewek yang menyapanya. Kenal aja juga engak sok nyapa. Makin banyak lagi yang mengerumuni saat kami makan di kantin, sial.....gua lagi makan woy kampret! Belum lagi banyak cokelat terselip di rongga meja di kelas kami. Aduh panas nih dada....panas!
Mika paham apa yang kurasakan. Mulanya ia bersikap seramah dan sesopan mungkin pada mereka, namun perlahan dia bersikap datar. Tidak menanggapi berlebihan cenderung menghindar sebisa mungkin. Aku senang dengan usaha yang dilakukannya tapi tetap saja tiap kali dia gagal menghindar, beteku kumat lagi.
“Udah dong.......gak usah bete terus gitu.” Bisiknya tiap kali dia melihat raut ngambegku.
Kukira beteku ini udah sampai pada level paling dewa dan perlahan aku mulai bisa agak santai menanggapinya. Namun aku salah. Beteku ini bakal jadi permulaan aja.
Beberapa minggu sejak kami menang festival itu, aku dikejutkan lagi dengan Guru BP atau BK yang tiba-tiba masuk lagi ke ruangan kelas kami. Apa lagi ini?????
“Baik anak-anak...boleh Ibu minta waktunya sebentar. Sepertinya tahun ini memang jadi tahunnya anak baru terutama buat kelas kalian. Kalau beberapa bulan lalu Mika hadir di sini, dan Ibu senang karena tampaknya dia betah di sini, kali ini ada teman baru lagi yang akan bersekolah di sini....di kelas ini.” Kata Bu Maimunah, Guru BP.
Suasana kelas mendadak jadi riuh.
“Waduh.....rame yah penghuni barunya. Penasaran nih...secakep Mika apa gak yah.” Kata Lia sambil membalikkan badannya menghadap ke arahku dan Mika yang bengong mendengar pengumuman barusan.
Guru BP melambaikan tangannya dan seketika kulihat seorang anak berjalan masuk dengan tegap. Sekilas kulihat anak ini sangat atletis. Badannya tinggi besar....selevel dengan Joko lah. Ini anak apa ikutan fitnes dari zaman TK ya karena badannya benar-benar terbentuk sempurna untuk anak seusia kami. Tidak benar-benar besar seperti atlet binaraga sih tapi cukup atletis kayak atlet-atlet junior gitu. Dan satu hal yang membuatku bergidik.......sorot matanya terasa tajam. Dingin!
“Anak-anak....perkenalkan ini Christoper. Sama seperti Mika, dia juga dari luar negeri. Dari Amerika Serikat.” Kata Bu Maimunah lagi.
Kudengar Mika terpekik pelan. “Gak mungkin! Mustahil!” dia menggenggam tanganku erat. Begitu eratnya sampai terasa sakit. Tapi aku diam saja setelah kulihat tubuh Mika sedikit bergetar. Aku bingung. Ada apa ini?
“Itu Berrj’! Tidak mungkin! Aku melihatnya hancur!” pekik Mika tertahan.
padahal itu yg paling nancep di cerita ini, apalagi kalau cara pengucapannya khas malangan.
berjj kek anak kecil yg di kungfu hustle ya?
hahaha..
aahh.. ternyata Berrj' masih hidup..
pasti Dimas akan cemburu deehh...
Wih kesaing entar Dimas.