Hi guys.... izinkan kali ini gue bikin cerita bersambung yang idenya sangat-sangat acak kadut...kacau lah.. tapi yah semoga masih bisa dinikmati.
Part I
MIKA
“Mesin kanan terbakar!” teriakku panik. “Matikan! Matikan!” kepalaku mulai terasa pusing. Percikan api yang semula kecil makin membesar. Kini aku hanya bisa melihat kobaran merah dan kuning di depanku. “Visual! Visual! Tampilkan di monitor. Aku tidak bisa melihat!” suaraku makin terdengar panik.
Sebuah kilatan besar menyambar dari arah kananku. Tidak cuma satu. Ratusan….tidak…ribuan. kami terombang ambing. Kami bergerak acak menghindari kilatan cahaya yang deras mengejar. Dadaku berdebar kencang. Udara makin menipis. Mulai pandanganku kabur karena oksigen yang makin menipis.
Aku mencoba tenang. Mataku bergerak cepat memandang sekeliling. Memaksa untuk melihat celah di antara kobaran api yang menghalangi pandanganku. Namun tak ada lagi celah tersisa. Kecuali…ya….awan hitam. Aku bisa melihatnya.
Dengan tenaga yang tersisa kupaksa untuk bergerak ke sana. Ribuan kilat masih saja mengincar kami. Aku mendengar sebuah ledakan dari arah kiriku. Dengan segera kami terhempas.
“Kita kena. Mesin kiri mati.” Suara itu terdengar datar.
“Ya aku tahu Berrj’” jawabku panik
“Kita menyimpang 20 derajat dari koordinat tujuan Mi….” suara datar itu terpotong sebuah kilatan besar yang menghantam kami.
Blarrrrrrrr!!......
Aku terpental ke belakang. Sesaat aku melayang dan semua terasa hampa. Aku tak dapat mendengar apa-apa selain suara ngiiing di telingaku. Kami jatuh menghujam. Alih-alih aku melihat Berrj’ masih tetap di kursinya sambil berpegangan pada sesuatu. Tangannya terulur menahan pengait pada bajuku, mencegahku tidak terhempas lebih jauh.
“Maafkan aku, Mika. Aku akan segera mencarimu.” Aku tersentak. Aku melihat Berrj’ menekan tombol hitam di sebelahnya.
Berawal dari cahaya merah yang menyelimutiku, perlahan aku merasakan sebuah lapisan lunak yang makin lama makin mengeras terbentuk di sekelilingku. Dalam sekejap lapisan itu terbentuk sepenuhnya. Membuatku terkurung di dalamnya. Di dalam sebuah kotak berlapis mirip kaca.
“Tidak! Berrj’ tidak! Batalkan! Kamu dengar…ini perintah! Batalkan!” teriakku sambil memukul lapisan mirip kaca yang menyelimutiku. Aku melihat Berrj’ menempelkan telapak tangannya di kotak kaca yang mengurungku. “Kamu sudah janji Berrj’!”
“Life Box ini akan menyelamatkanmu Mika. Mereka akan segera datang. Dan kami akan segera mencarimu.”
Aku melihat Berrj’ tersenyum. Ini pertama kalinya aku melihatnya tersenyum. Berrj’ begitu dingin…tak pernah menampakkan ekspresi apapun. Kali ini aku melihatnya. Aku masih berteriak histeris saat kulihat Berrj’ menekan tombol peluncur. Dengan segera kotak kaca ini terhempas dari pesawat besar itu. Aku melayang di antara awan. Dengan cepat jatuh menghujam. Samar kulihat pesawat besar itu telah dikelilingi droid berwarna hitam. Satu dua…ah pandanganku kabur….sekitar lima droid mengelilingi pesawat besar yang membawa Berrj’. Pesawat itu oleng. Bagian belakangnya nyaris hancur.
Duaaarrrr!...........Sebuah ledakan besar terlihat di depan mataku.
“Berrj’!!!!” teriakku mengiringi kepingan pesawat dan droid yang hancur tak bersisa terhempas ledakan. Berrj’ mengaktifkan mode self destruction, menghancurkan seluruh droid yang mengelilinginya, dan juga menghancurkan dirinya sendiri.
Air mataku menetes. Tak sadar aku masih berteriak dan memukukan tanganku pada kotak kaca.
“Berrj’…………..!”
to be continued
***
Comments
Gelap. Mendadak aku merasa panik. Aku ada dimana? Apa yang terjadi? Berrj’? oh iya Berrj’....dimana dia. Perlahan aku mulai ingat semuanya. Kilatan cahaya, ledakan itu, dan kotak kaca….ya...kotak kaca yang melindungiku. Aku tersadar. Aku masih berada di dalam kotak kaca itu. Sekilas aku mendengar bunyi biip pelan. jam tangan yang kukenakan bergetar pelan dan layarnya menyala berwarna merah terang.
Samar-samar sisi depan kotak kaca memburam. Oh...aku baru tahu. Kotak ini adalah sebuah holografis monitor. Aku melihat sesosok remaja muncul secara hologram terpancar pada sisi kaca yang menghadapku.
“Selamat malam Mika. Namaku Ai. Aku adalah mode Virtual Intelligence Assistant yang didesain dan diaktifkan untuk membantumu. Aku memiliki sensor yang tertanam dalam tubuhmu untuk mendeteksi dan menganalisa semua kemungkinan dengan tujuan memastikan keselamatanmu. Jam tangan yang kamu pakai itu adalah microchip utama yang dapat kamu gunakan untuk mengaktifkan serta memberi perintah padaku.” Sosok virtual di hadapanku menjelaskan.
Pikiranku dipenuhi oleh kebingungan. VIA? Virtual Intelligence Assistant? Mereka mendesain sebuah VIA untukku? Lalu….dimana aku sekarang? Banyak pertanyaan tentang situasi yang terjadi saat ini. Ai mendeteksi kebingunganku. Sebelum aku sempat menanyakan banyak hal dia telah mulai memberikan penjelasan.
“Aku tahu kamu pasti bingung, Mika. Tapi kamu pasti masih ingat apa yang terjadi sebelum kamu berada di sini sekarang.” Kata Ai.
Aku mengangguk. Hal terakhir yang kuingat adalah ledakan itu. Kobaran api yang menghancurkan lima droid dan juga….Berrj’.
“Mode V.I.A. otomatis aktif saat nyawamu terancam. Lifebox ini terkoneksi secara langsung denganku. Setelah Berrj’ mengaktifkan diriku, aku langsung mencari koordinat pendaratan terdekat yang aman untuk menyelamatkanmu.”
“Lalu apa yang terjadi dengan Berrj’? kamu bisa mencarinya? Apakah dia selamat dari ledakan itu?” tanyaku setengah berteriak.
Kulihat air muka Ai berubah. Ia terlihat muram. “Maaf…sinyalnya hilang setelah ledakan itu. Aku tidak dapat menemukan tanda-tanda keberadaannya.”
Aku tertunduk lesu. Bukan sebuah kejutan memang karena aku melihatnya sendiri. Tak ada yang bisa selamat dari ledakan itu.
Aku mencoba bangkit. Tapi ketika aku mencoba menggerakkan kakiku untuk berdiri, aku terjatuh. Badanku mati rasa. Aku tidak dapat merasakan bagian bawah tubuhku.
“Mika…tenanglah. Kamu tidak apa-apa. Kamu akan mengalami sedikit kekakuan pada tubuhmu. Itu normal. Karena…” Ai terdiam sejenak. “…..karena sesaat setelah kamu jatuh, kamu berada dalam kondisi cryosleep – tertidur dalam kondisi beku selama 30 tahun.”
Aku terperangah mendengar kata-kata Ai. “ Tiga puluh tahun? Kamu menidurkanku selama 30 tahun?” aku diselimuti perasaan emosi yang luar biasa. Bisa-bisanya aku dibiarkan tertidur selama itu. Sekilas muncul dalam benakku apa saja yang telah terjadi selama tiga puluh tahun ini. Bagaimana dengan ayahku. Bagaimana dengan teman-temanku. Bagaimana dengan duniaku?
“Maafkan aku, Mika. Tapi aku terpaksa melakukannya. Saat kamu jatuh kamu terluka cukup parah. Teknologi lifebox ini bisa membantu menyembuhkan lukamu tapi sumber daya yang ada sangat terbatas. Butuh waktu cukup lama untuk menyembuhkanmu. Di saat bersamaan aku mendeteksi ratusan sinyal droid yang dikirim untuk menghancurkanmu.” Ai menjelaskan sambil menampilkan berbagai macam data yang berhasil ditangkapnya selama bertahun-tahun.
“Aku terpaksa memutus sinyal, berusaha menyembunyikanmu sambil mengamati keadaan planet ini.” Kata Ai kemudian. “Semua informasi yang telah aku kumpulkan tersimpan dengan baik. Kamu mau melihatnya?”
Aku berpikir sejenak. Aku terdampar di sebuah planet yang sama sekali asing. Sendiri hanya ditemani asisten virtual. Kehilangan teman, keluarga….mungkin segalanya. Tak ada pilihan lain yang logis kecuali….
“Tampilkan semua yang kamu punya Ai!”
“Bintang?” suara kecil itu begitu lucu kudengar.
“Iya bintang.” Jawabku pelan.
“Seperti Olii dan Iloo?” jawab suara kecil itu makin antusias.
Aku mengangguk. Kuusap kepalanya lembut. “Benar. Seperti Olii dan Iloo.” Mika tersenyum. Tangan mungilnya masih asyik membuka lembar demi lembar ensiklopedia antariksa yang tebal itu. Dia sudah jatuh cinta dengan cerita antariksa sejak pertama kali kubelikan buku itu. Tata surya, planet, galaksi…semua baaikan dongeng klasik yang biasa diceritakan kepada setiap anak seumurnya.
“Ayah…apakah ada banyak bintang seperti Olii dan Iloo?” Mika memandangku dengan penuh tanda tanya.
“Ya….banyak sekali. Tapi letaknya jauh dari planet kita. Bahkan dari tata surya kita.” Jawabku. Aku membuka halaman yang telah kutandai pada ensiklopedia tebal itu. “Kamu lihat? Di sini malah ada planet yang punya tiga bintang. Yang ini satu. Banyak sekali yang seperti ini di atas sana.”
Mika termenung. Aku tahu khayalannya sudah jauh melampaui gambar-gambar yang dilihatnya.
“Ayah…..” Mika berkata namun kemudian terdiam sejenak. “Apakah ada yang seperti planet kita? Maksudku…ehmm….yang ada kehidupan seperti di sini. Ada sekolah….rumah….taman….”
Aku tersenyum. Kututup buku tebal di tangannya dan kuletakkan kembali di atas rak yang penuh dengan buku-buku ensiklopedia lain. “Mungkin…suatu saat nanti kita akan menemukannya. Mungkin kamu akan punya teman baru dari dunia lain di luar sana….siapa tahu.”
Kudengar suara bip pelan. Aku menoleh dan melihat sosok virtual yang ditampilkan dalam bentuk hologram memanggilku.
“Selamat malam Tuan Ritterz. Hershire menghubungi Anda.” Kata suara virtual itu. Aku membelai kepala Mika sejenak, mengecup keningnya dan merapikan letak selimutnya.
“Mimpi indah, Mika. Ayah harus mulai kerja lagi. Aku bangkit dan segera beranjak menuju ruang kerjaku.
“Sambungkan!” perintahku. Sesaat kemudian sosok Hershire – sebutan untuk pemimpin negara – muncul dalam bentuk hologram. Ia tampak memegang sebuah flash drive dan dari raut mukanya ia tidak tampak sedang senang.
“Hanya dengan memandang wajahnya siapapun akan langsung jatuh cinta padanya, Rey.”suara Hershire terdengar berat. “Tapi flash drive ini akan membunuhmu cepat atau lambat.”
Aku melihat flash drive yang dipegang Hershire dengan seksama. “Jo…ayolah….” Kataku.
“Aku tidak hidup untuk selamanya Rey. Begitu juga denganmu. Kamu tahu aku tidak pernah setuju dengan proyek ini. Luar biasa memang….tapi mereka tidak siap untuk ini.” Hershire memotong kata-kataku dengan suara yang tajam. Pelan namun tajam.
Aku terdiam.
“Aku mencintainya. Kamu tahu benar aku menyayanginya seperti halnya aku menyayangimu seperti anakku sendiri. Aku hanya tidak tahu sampai kapan aku bisa menjaga kalian, Rey.” Hershire terdiam. Ia tampak menoleh ke belakang. Sepertinya ia tengah ditunggu untuk rapat pemerintahan yang memang seharusnya dilaksanakan beberapa saat lagi.
“Sampaikan salamku untuk Mika” kata Hershire sebelum ia mematikan komunikasi.
Aku termenung. Terdiam. Perlahan kubuka file catatan kerjaku.puluhan foto Mika kecil menemaniku yang diam terpaku memandang halaman penuh coretan berisi catatan teknologi yang berhasil kuciptakan. Teknologi paling canggih sepanjang sejarah peradaban kami, jauh melampaui imajinasi terliar yang pernah kami bayangkan sebelumnya. Namun entah kami siap atau tidak.