It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
mensyen gue ea kalo update..thanxZ
Jgn lupa nickq d mensen ea kalo update
dimas dapet saingan. makin seru nih
“Kamu.....kamu...kamu selamat dari ledakan itu?” tanyaku berseri sekalipun terselip kebingungan yang luar biasa pada suaraku.
“Nyaris tidak. Tapi ya...aku selamat. Mika...dengarkan aku...” jawab Berrj’
Belum sempat Berrj’ menyelesaikan kata-katanya aku udah keburu memeluknya. “Kenapa baru sekarang Berrj’! Kenapa?” aku keburu bercerita banyak hal mulai dari kotak kaca, profesor Johan, sekolah, kekhawatiranku pada Berrj’, Ai, ayahku, Aemestry, semua terlontar begitu saja sedikit terburu-buru.
“Mika....Mika.....tenang dulu. Ada yang ingin aku katakan....” Berrj’ memelukku sejenak, namun buru-buru ia segera menyadarkanku. Suara Berrj’ tertahan, terganggu oleh suara dehem keras dari arah belakangku.
“Hai.....aku Dimas.” Aku menoleh ke belakang dan kulihat Dimas berdiri di sana sambil mengulurkan tangan. Berrj’ menyambutnya, tapi kemudian kurasakan muka Dimas merah padam. “Kalian saling kenal? Aneh karena Mika dari Jerman dan kamu dari AS, bukan?”
Berrj’ Cuma diam saja tapi sorot matanya begitu tajam menatap Dimas.
“Dim...ini..ini Berrj’ maksudku Christoper...eh...” aku gugup. Aku tahu situasi yang terjadi di antara
kami....mungkinkan Dimas merasa Berrj’ telah...oh tidak!
“Bej...uhm..Bejo..uhm..Beeerrrrj’ atau Christoper?” sorot mata Dimas tak kalah tajam menatap Berrj’.
“Berrj’ atau Christoper...tak masalah!”jawab Berrj’ ringan. “Mika.....kamu....” Berrj’ berusaha tetap fokus padaku.
“Aneh!” satu kata. Singkat. Namun membuyarkan situasi.
Berrj’ tampak kesal. Ia berganti menatap Dimas lagi.
Terdengar suara bel. Jam istirahat telah usai. Aku menatap Berrj’ dan Dimas secara bergantian dengan pandangan memohon. “Berrj’...nanti sepulang sekolah ceritakan semua.” Kataku pada Berrj’. “Dim..” aku berbisik pelan. Seketika aku meraih tangannya menyeretnya berjalan menuju kelas. Tapi Dimas masih saja menatap Berrj’. Aduh aduh! Dasar bocah!
“Kamu kenapa sih!” tanyaku pelan pada Dimas sesampainya kami di kelas. Tempat duduk kami jauh dari Berrj’ yang duduk di barisan paling depan.
“Kenapa apanya! Kamu yang kenapa, Mika! Ada apa ini? Siapa dia?” tanya Dimas sedikit membentak.
“Oke! Dia itu Berrj’. Teman dari kecil yang pernah aku ceritakan dulu.....”
“Bukan kamu ceritakan! Tapi gak sengaja keluar dari mulut kamu waktu itu!” potong Dimas sedikit membuatku kesal. Tapi aku masih bisa bersabar.
“Oke....oke...yang ga sengaja keluar dari mulut aku waktu itu. Dengerin dulu! Jangan marah-marah gitu.....aku takut!” kataku masih berbisik.
Dimas berubah mulai agak tenang. Tampaknya ia membaca raut panik di mukaku.
“Aku tidak tahu kenapa dia tiba-tiba muncul. Bahkan aku sama terkejutnya kayak kamu. Seharusnya Berrj’ itu....harusnya dia sudah besar....maksudku.....oke ini...” Dimas memperhatikan kegugupanku dengan seksama. “Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku juga tidak tahu kenapa dia bisa kemari. Aku juga tidak tahu kenapa namanya sekarang jadi Chris. Tapi yang jelas aku tahu pasti dia tidak berasal dari Amerika.”
Dimas menatapku dengan pandangan penuh tanya.
Baru saja kami akan melanjutkan pembicaraan, Pak Prayogo guru matematika kami masuk.
“Oke hari ini KP-19....” kata pak Prayogo yang disambut nada kecewa dari seluruh kelas.
Aku melirik Dimas sedikit. Dia mengangguk tanda setuju untuk menunda pembicaraan ini. Dengan KP yang sudah di depan mata, mustahil untuk berbincang lagi.
Kulihat teman-teman mulai kusut. Rambut mereka acak-acakan seperti akan menyerah dengan soal-soal yang dibacakan. Waktu yang diberikan untuk menghitung jawaban makin lama makin sempit, membuat sebagian besar temanku frustasi. Aku sendiri malah sibuk menoleh kanan dan kiri memberikan contekan jawaban pada mereka yang bertanya. Aduhhhh!!!!
Jadilah sebagian besar nilai temanku jeblok. Soal-soal KP siang itu langsung dikoreksi saat itu juga. Langsung dinilai seketika soal terakhir selesai dibacakan. Hanya ada 3 orang yang punya nilai di atas 40. Aku dan Berrj’...eh maksudku Christoper punya nilai 100, sedangkan Dimas mendapatkan angka 80. Teman-teman mulai riuh membicarakan aku dan Christoper......setengah curiga, setengah kagum. Heran kenapa anak-anak baru nilainya tidak wajar semua, kecuali Dimas yang memang terkenal pintar dari sononya sih.
Namun aku tak mau terseret pada keriuhan suasana. Pikiranku melayang pada sebuah tanda tanya besar. Kukira aku menggetahui semua, tapi begitu Berrj’ datang dengan sebuah identitas palsu, aku seakan menjadi bodoh.
“Kalian ikut aku aja. Kita bicarakan semua tapi tidak di sini.” Kata Berrj’ sepulang sekolah.
Baru saja kami sampai di halaman sekolah, kulihat Profesor Johan berdiri di sana. Ia melambaikan tangan padaku. Namun seketika raut wajahnya berubah saat melihat Berrj’ yang berjalan di belakang kami. Profesor memperlihatkan wajah curiga.
“Lho Profesor di sini.” Kataku.
“Iya....eh...ehm...Dimas, kan? Waduh....kamu...kamu sudah besar ya....” jawab profesor sedikit gugup ketika melihat Dimas berdiri di sampingku.
“Lho Om Johan.....” Dimas juga tampak terkejut. Namun Dimas segera mengulurkan tangan memberi salam.
“Eh...ehm...gimana kabar papa kamu? Mama kamu sehat?” Profesor tampak makin gugup.
“Se..sehat Om. Tapi papa masih di luar negeri. Ada kerjaan katanya.” Jawab Dimas. “Om Johan kenal Mika?”
Aku tertawa pelan. “Om Johan? Hahahaha.....eh iya...Om Johan..maksudku Profesor Johan ini rekan kerja ayahku...sekarang beliau yang merawatku. Jadi waliku lah. Profesor kok kenal Dimas?” tanyaku.
“Panjang ceritanya. Kita jalan pulang dulu. Dimas...kamu bareng Om aja. Nanti kita antar kamu pulang. Kalian tidak ada acara apa-apa kan.” Kata Profesor sambil melirik Berrj’ yang berdiri di kejauhan.
Aku menoleh melihat Berrj’ sejenak. Kulihat ia mengangguk.
“Enggak Prof. Dim. Bareng aja yuk.” Jawabku.
Dimas berjalan mengikuti kami menuju mobil profesor. Otakku berputar cepat mencoba merangkai logika dari situasi yang kami hadapi. Ada apa ini? Semua jadi terlihat canggung. Aku belum menemukan informasi apa-apa. Banyak pertanyaan yang aku ingin tahu jawabannya dari Berrj’, namun sepertinya saat ini bukan waktu yang tepat. Padahal aku kangen padanya.
“Om Johan ini mentor papaku waktu di Amerika. Dosen..eh guru..ya kan Om.” Kata Dimas dalam perjalanan.
“Bisa dibilang seperti itu. Hehehe” kudengar jawaban Profesor masih penuh nada gugup.
“Lalu udah cukup saling mengenal gitu?” tanyaku lagi.
“Lumayan lah...aku sekeluarga beberapa kali ketemu Om Johan....tapi terakhir udah lama banget ya om....aku masih SD kok waktu itu. Aku malah kaget begitu tahu Om Johan balik lagi ke Malang....taunya malah dari TV.” Kata Dimas lagi. “Ternyata Om walinya Mika ya? Aku baru nyadar.”
“Dunia kecil ya Dimas?” jawab Profesor.
Aku diam mendengarkan cerita Profesor tentang keluarga Dimas dan perkenalannya dengan Profesor. Sepanjang perjalanan itu aku menyimak informasi yang kudapatkan dari mereka. Kurasakan Dimas dan Profesor agak lumayan akrab tapi entah kenapa Profesor bersikap agak aneh. Dia terus-terusan gugup dan cenderung menghindari banyak salah bicara. Dia terlihat menyembunyikan sesuatu.
Tak sadar kami sampai di depan rumah Dimas. Dengan sopan Dimas berpamitan. Profesor terdiam sejenak memandang rumah Dimas dengan pandangan kosong.
“Prof.....Prof.....Profesor tidak apa-apa?” tanyaku sambil menggoyang badan Profesor.
“Eh? Oh..iya gak papa. Ya udah kita pulang ya.” Jawabnya setengah kaget. Kami pun meluncur menuju jalanan pulang ke rumah, dan aku terdiam lagi meraba ada apa gerangan dengan sikap aneh Profesor.