It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
di telinga Abu Nawas. “Tadi malam aku bermimpi bertemu dengan seorang laki-laki tua. la mengenakan jubah putih. la berkata bahwa negerinya akan ditimpa bencana bila orang yang bernama Abu Nawas masih tetap tinggal di negeri ini. la harus diusir dari negeri ini sebab orang itu membawa kesialan. ia boleh kembali ke negerinya dengan sarat tidak boleh dengan berjalan kaki, berlari, merangkak, melompat-lompat dan menunggang keledai atau binatang tunggangan yang
lain.” Dengan bekal yang diperkirakan cukup Abu Nawas mulai meninggalkan rumah dan istrinya. Istri Abu Nawas hanya bisa mengiringi kepergian suaminya dengan deraian air mata. Sudah dua hari penuh Abu Nawas mengendarai keledainya. Bekal yang dibawanya mulai menipis. Abu Nawas tidak terlalu meresapi pengusiran dirinya dengan kesedihan yang terlalu mendalam. Sebaliknya Abu Nawas merasa bertambah yakin bahwa Tuhan Yang Maha Perkasa akan segera menotong keluar dari kesulitan yang sedang melilit pikirannya. Bukankah tiada seorang teman pun yang
lebih baik daripada Allah SWT dalam saat-saat seperti itu? Setelah beberapa hari Abu Nawas berada di negeri orang, ia mulai diserang rasa rindu yang menyayat- nyayat hatinya yang paling dalam. Rasa rindu itu makin lama makin menderu-deru seperti dinginnya jamharir. Sulit untuk dibendung. Memang, tak ada jalan keluar yang lebih baik daripada berpikir. Tetapi dengan akal apakah ia harus melepaskan diri? Begitu tanya Abu Nawas dalam hati. Apakah aku akan meminta bantuan orang lain dengan cara menggendongku dari negeri ini sampai ke istana Baginda? Tidak! Tidak akan ada seorang pun yang sanggup melakukannya. Aku harus bisa menolong diriku sendiri tanpa melibatkan orang lain. Pada hari kesembilanbelas Abu Nawas menemukan cara lain yang tidak termasuk larangan Baginda Raja Harun Al Rasyid. Setelah segala sesuatunya dipersiapkan, Abu Nawas berangkat menuju ke negerinya sendiri. Perasaan rindu dan senang menggumpal menjadi satu. Kerinduan yang selama ini melecut-lecut semakin menggila karena Abu Nawas tahu sudah semakin dekat dengan kampung halaman. Mengetahui Abu Nawas bisa pulang kembali, penduduk negeri gembira. Desasdesus tentang kembalinya Abu Nawas segara menyebar secepat bau semerbak bunga yang menyerbu hidung. Kabar kepulangan Abu Nawas juga sampai ke telinga Baginda Harun Al Rasyid. Baginda juga merasa gembi mendengar berita itu tetapi dengan alasan yang sama sekali berbeda. Rakyat gembira melihat Abu Nawas pulang kembali, karena mereka mencintainya. Sedangkan Baginda Raja gembira mendengar Abu Nawas pulang kembali karena beliau merasa yakin kali ini pasti Abu Nawas tidak akan bisa mengelak dari hukuman. Namun Baginda amat kecewa dan merasa terpukul melihat cara Abu Nawas pulang ke negerinya. Baginda sama sekali tidak pernah membayangkan kalau Abu Nawas ternyata bergelayut di bawah perut
keledai. Sehingga Abu Nawas terlepas dari sangsi hukuman yang akan dijatuhkan karena memang tidak bisa dikatakan teiah melanggar larangan Baginda Raja. Karena Abu Nawas tidak mengendarai keledai.
hinggatidak tersisa sedikit pun. Setelah merasa kekenyangan Abu Nawas baru bisa tidur. Keesokan hari mereka bangun hampir bersamaan. Ahli Yoga dengan wajah berseri-seri bercerita, “Tadi malam aku bermimpi memasuki sebuah taman yang mirip sekali dengan Nirvana. Aku merasakan kenikmatan yang belum pernah kurasakan sebelumnya dalam hidup ini.” Pendeta mengatakan bahwa mimpi Ahli Yoga benar- benar menakjubkan. Betulbetul luar biasa. Kemudian giliran Pendeta menceritakan mimpinya. “Aku seolah-olah menembus ruang dan waktu. Dan temyata memang benar. Aku secara tidak sengaja berhasil menyusup ke masa silam dimana pendiri agamaku hidup. Aku bertemu dengan beliau dan yang lebih membahagiakan adalah aku diberkatinya.” Ahli Yoga juga memuji-muji kehebatan mimpi Pendeta, Abu Nawas hanya diam. la bahkan tidak merasa tertarik sedikitpun. Karena Abu Nawas belum juga buka mulut, Pendeta dai Ahli Yoga mulai tidak sabar untuk tidak menanyakan mimpi Abu Nawas. “Kalian tentu tahu Nabi Daud alaihissalam. Beliau adalah seorang nabi yang ahli berpuasa. Tadi malam aku bermimpi berbincang-bincang dengan beliau. Beliau menanyakan apakah aku berpuasa atau tidak. Aku katakan aku berpuasa karena aku memang tidak makan sejak dini hari Kemudian beliau menyuruhku segera
berbuka karena hari sudah malam. Tentu saja aku tidak berani mengabaikan perintah beliau. Aku segera bangun dari tidur dan langsung menghabiskan makanan itu.” kata Abu Nawas tanpa perasaa bersalah secuil pun. Sambil menahan rasa lapar yang menyayat-nyayat Pendeta dan Ahli Yoga saling berpandangan satu sama lain. Kejengkelan Abu Nawas terobati. Kini mereka sadar bahwa tidak ada gunanya coba- coba mempermainkan Abu Nawas, pasti hanya akan mendapat celaka sendiri
“Nanti malam jam delapan kamu boleh masuk ke kolamku dan boleh keluar jam enam pagi,” kata si saudagar, “Jika tahan akan ku bayar upahmu.” Setelah sampai waktunya masuklah si pengemis ke dalam kolam, hampir tengah malam ia kedinginan sampai tidak tahan lagi dan ingin keluar, tetapi karena mengharap uang upah sepuluh ringgit, ditahannya maksud itu sekuat tenaga. Ia kemudian berdoa kepada Tuhan agar airnya tidak terlalu dingin lagi. Ternyata doanya dikabulkan, ia tidak merasa kedinginan lagi. Kira-kira jam dua pagi anaknya datang menyusul. Ia khawatir jangan-jangan bapaknya mati kedinginan. Hatinya sangat gembira ketika dilihat bapaknya masih hidup. Kemudian ia menyalakan api di tepi kolam dan menunggu sampai
pagi. Siang harinya pengemis itu bangkit dari kolam dan buru-buru menemui si saudagar untuk minta upahnya. Namun saudagar itu menolak membayar, “Aku tidak mau membayar, karena anakmu membuat api di tepi kolam, kamu pasti tidak kedinginan.” Namun si pengemis tidak mau kalah, “Panas api itu tidak sampai ke badan saya, selain apinya jauh, saya kan berendam di air, masakan api bisa masuk ke dalam air?” “Aku tetap tidak mau membayar upahmu,” kata saudagar itu ngotot. “Sekarang terserah kamu, mau melapor atau berkelahi denganku, aku tunggu.” Dengan perasaan gondok pengemis itu pulang ke rumah, “Sudah kedinginan setengah mati, tidak dapat uang lagi,” pikirnya. Ia kemudian mengadukan penipuan itu kepada seorang hakim. Boro-boro pengaduannya di dengar, Hakim itu malahan membenarkan sikap sang saudagar. Lantas ia berusaha menemui orang-orang besar lainnya untuk diajak bicara, namun ia tetap disalahkan juga. “Kemana lagi aku akan mengadukan nasibku ini,” kata si pengemis dengan nada putus asa. “Ya Allah, engkau jugalah yang tahu nasib hamba-Mu ini, mudah-mudahan tiap-tipa orang yang benar engkau menangkan.” Doanya dalam hati. Ia pun berjalan mengikuti langkah kakinya dengan perasaan yang semakin dongkol. Dengan takdir Allah ia bertemu dengan Abu Nawas di sudut jalan. “Hai, hamba Allah,” Tanya Abu Nawas, ketika melihat pengemis itu tampak sangat sedih. “mengapa anda kelihatan murung sekali? Padahal udara sedemikian cerah.” “Memang benar hamba sedang dirundung malang,” kata si pengemis, lantas diceritakan musibah yang menimpa si pengemis sambil mengadukan nasibnya. “Jangan sedih lagi,” kata Abu Nawas ringan. “Insyaallah aku dapat membantu menyelesaikan masalahmu. Besok datanglah ke rumahku dan lihatlah caraku, niscaya kamu menang dengan izin Allah.” “Terima kasih banyak, anda bersedia menolongku,” kata si pengemis. Lantas keduanya berpisah. Abu Nawas tidak pulang ke rumah, melainkan menghadap Baginda Sultan di Istana. “Apa kabar, hai Abu Nawas?” sapa Baginda Sultan begitu melihat batang hidung Abu Nawas. “Ada masalah apa gerangan hari ini?” “Kabar baik, ya Tuanku Syah Alam,” jawab Abu Nawas. “jika tidak keberatan patik silahkan baginda datang kerumah patik, sebab patik punya hajat.” “Kapan aku mesti datang ke rumahmu?” tanya baginda Sultan. “Hari Senin jam tujuh pagi, tuanku,” jawa Abu Nawas. “Baiklah,” kata Sultan, aku pasti datang ke rumahmu.” Begitu keluar dari Istana, Abu Nawas langsung ke rumah saudagar yang punya kolam, kemudian ke rumah tuan hakim dan pembesar-pembesar lainnya yang pernah dihubungi oleh si pengemis. Kepada mereka Abu Nawas menyampaikan undangan untuk datang kerumahnya senin depan. Hari senin yang ditunggu, sejak jam tujuh pagi rumah Abu Nawas telah penuh dengan tamu yang diundang, termasuk baginda Sultan. Mereka duduk di permadani yang sebelumnya telah di gelar oleh tuan rumah sesuai dengan pangkat dan kedudukan masing-masing. Setelah semuanya terkumpul, Abu Nawas mohon kepada sultan untuk pergi kebelakang rumah, ia kemudian menggantung sebuah periuk besar pada sebuah pohon, menjerangnya – menaruh di atas api. Tunggu punya tunggu, Abu Nawas tidak tampak batang hidungnya, maka Sultan pun memanggil Abu Nawas, “kemana gerangan si Abu Nawas, sudah masakkah nasinya atau belum?” gerutu Sultan. Rupanya gerutuan Sultan di dengar oleh Abu Nawas, ia pun menjawab, “Tunggulah sebentar lagi, tuanku Syah Alam.” Baginda pun diam, dan duduk kembali. Namun ketika matahari telah sampai ke ubun-ubun, ternyata
Abu Nawas tak juga muncul dihadapan para tamu. Perut baginda yang buncit itu telah keroncongan. “Hai Abu Nawas, bagaimana dengan masakanmu itu? Aku sudah lapar, kata Baginda. “Sebentar lagi, ya Syah Alam,” sahut tuan rumah. Baginda masih sabar, ia kemudian duduk kembali, tetapi ketika waktu dzuhur sudah hampir habis tak juga ada hidangan yang keluar, baginda tak sabar lagi, ia pun menyusul Abu Nawas dibagian belakang rumah, di ikuti tamu-tamu lainnya. Mereka mau tahu apa sesungguhnya yang dikerjakan tuan rumah, ternyata Abu Nawas sedang mengipa-ngipas api di tungkunya. “Hai Abu Nawas, mengapa kamu membuat api di bawah pohon seperti itu? Tanga baginda Sultan. Abu Nawas pun bangkit, demi mendengar pernyataan baginda. “Ya tuanku Syah Alam, hamba sedang memasak nasi, sebentar lagi juga masak,” jawabnya. “Menanak nasi?” tanya baginda, “Mana periuknya?” “Ada, tuanku,” jawab Abu nawas sambil mengangkat
mukanya ke atas. “Ada?” tanya beginda keheranan. “Mana?” ia mendongakkan mukanya ke atas mengikuti gerak Abu Nawas, tampak di atas sana sebuah periuk besar bergantung jauh dari tanah. “Hai, Abu Nawas, sudah gilakah kamu?” tanya Sultan. “Memasak nasi bukan begitu caranya, periuk di atas pohon, apinya di bawah, kamu tunggu sepuluh hari pun beras itu tidak bakalan jadi nasi.” “Begini, Baginda,” Abu Nawas berusaha menjelaskan perbuatannya. “Ada seorang pengemis berjanji dengan seorang saudagar, pengemis itu disuruh berendam dalam kolam yang airnya sangat dingin dan akan diupah sepuluh ringgit jika mampu bertahan satu malam. Si pengemis setuju karena mengharap upah sepuluh ringgit dan berhasil melaksanakan janjinya. Tapi si saudagar tidak mau membayar, dengan alasan anak si pengemis membuat api di pinggir kolam.” Lalu semuanya diceritakan kepada Sultan lengkap dengan sikap tuan hakim dan para pembesar yang membenarkan sikap si saudagar. “Itulah sebabnya patik berbuat seperti ini.” “Boro-boro nasi itu akan matang,” kata Sultan, “Airnya saja tidak bakal panas, karena apinya terlalu jauh.” “Demikian pula halnya si pengemis,” kata Abu Nawas lagi. “Ia di dalam air dan anaknya membuat api di tanah jauh dari pinggir kolam. Tetapi saudagar itu mengatakan bahwa si pengemis tidak berendam di air karena ada api di pinggir kolam, sehingga air kolam jadi hangat.” Saudagar itu pucat mukanya. Ia tidak dapat membantah kata-kata Abu Nawas. Begitu pula para pembesar itu, karena memang demikian halnya. “Sekarang aku ambil keputusan begini,” kata Sultan. “Saudagar itu harus membayar si pengemis seratus dirham dan di hukum selama satu bulan karena telah berbuat salah kepada orang miskin. Hakim dan
orang-orang pembesar di hukum empat hari karena berbuat tidak adil dan menyalahkan orang yang benar.” Saat itu juga si pengemis memperoleh uangnya dari si saudagar. Setelah menyampaikan hormat kepada Sultan dan memberi salam kepada Abu Nawas, ia pun pulang dengan riangnya. Sultan kemudian memerintah mentrinya untuk memenjarakan saudagar dan para pembesar sebelum akhirnya kembali ke Istana dalam keadaan lapar dan dahaga
penasehat hakim kerajaan. Tetapi Abu Nawas menolak. la lebih senang menjadi rakyat biasa
Ingatkah kamu dengan orang yang sedang tidur? Dia kadangkala bermimpi dalam tidurnya digigit ular, diganggu dan sebagainya. la juga merasa sakit dan takut ketika itu bahkan memekik dan keringat bercucuran pada keningnya. la merasakan hal semacam itu seperti ketika tidak tidur. Sedangkan engkau yang duduk di dekatnya menyaksikan keadaannya seolah-olah tidak ada apa-apa. Padahal apa yang dilihat serta dialaminya adalah dikelilirigi ular-ular. Maka jika masalah mimpi yang remeh saja sudah tidak mampu mata lahir melihatnya, mungkinkah engkau bisa melihat apa yang terjadi di alam barzah?” Baginda Raja terkesan dengan penjelasan ulama itu.
Baginda masih ikut mendengarkan kuliah itu. Kini ulama itu melanjutkan kuliahnya tentang alam akhirat. Dikatakan bahwa di surga tersedia hal-hal yang amat disukai nafsu, termasuk benda-benda. Salah satu benda-benda itu adalah mahkota yang amat luar biasa indahnya. Tak ada yang lebih indah dari barang-barang di surga karena barang-barang itu
tercipta dari cahaya. Saking ihdahnya maka satu mahkota jauh lebih bagus dari dunia dan isinya. Baginda makin terkesan. Beliau pulang kembali ke istana. Baginda sudah tidak sabar ingin menguji kemampuan Abu Nawas. Abu Nawas dipanggil: Setelah menghadap Bagiri “Aku menginginkan engkau sekarang juga berangkat ke surga kemudian bawakan aku sebuah mahkota surga yang katanya tercipta dari cahaya itu. Apakah engkau sanggup Abu Nawas?” “Sanggup Paduka yang mulia.” kata Abu Nawas langsung menyanggupi tugas yang mustahil dilaksanakan itu. “Tetapi Baginda harus menyanggupi pula satu sarat yang akan hamba ajukan.” “Sebutkan syarat itu.” kata Baginda Raja. “Hamba morion Baginda menyediakan pintunya agar hamba bisa memasukinya.” “Pintu apa?” tanya Baginda belum mengerti. Pintu alam akhirat.” jawab Abu Nawas. “Apa itu?” tanya Baginda ingin tahu. “Kiamat, wahai Paduka yang mulia. Masing-masing alam mempunyai pintu. Pintu alam dunia adalah liang peranakan ibu. Pintu alam barzah adalah kematian. Dan pintu alam akhirat adalah kiamat. Surga berada di alam akhirat. Bila Baginda masih tetap menghendaki hamba mengambilkan sebuah mahkota di surga, maka dunia harus kiamat teriebih dahulu.” Mendengar penjetasan Abu Nawas Baginda Raja terdiam. Di sela-sela kebingungan Baginda Raja Harun Al Rasyid, Abu Nawas bertanya lagi, “Masihkah Baginda menginginkan mahkota dari surga?” Baginda Raja tidak menjawab. Beliau diam seribu bahasa, Sejenak kemudian Abu Nawas mohon diri karena Abu Nawas sudah tahu jawabnya.
tadi sampai di istana, Abu Nawas pun tiba di sana. “Hai Abu Nawas …” kata Sultan, “Tahukah kamu mengapa kamu aku panggil kemari? Aku minta tolong kepadamu untuk mengajari lembuku supaya bisa mengaji Al-Qur’an. Jika lembu itu tidak dapat mengaji, niscaya aku akan menyuruh mereka membunuh kamu.” “Baiklah Tuanku Syah Alam,” jawab Abu Nawas, “Titah tuanku patik junjung di atas kepala patik.” Kemudian Abu Nawas di suruh pulang dengan menghela seekor lembu. Sesampai dirumah lembu itu diikat erat-erat pada sebatang pohon kurma. Esok harinya Abu Nawas mulai memukul lembu itu dengan sebuah cambuk rotan sampai setengah mati. Ketika binatang itu hampir mengamuk, Abu Nawas mengucapkan kata “atau”, “atau”, “atau”. Perkataan itulah yang diajarkan Abu Nawas kepada lembu itu sambil tetap mengayunkan cambukannya tanpa henti. Pekerjaan itu ia lakukan setiap hari pagi sampai tengah hari dan dari dhuhur sampai maghrib selama beberapa hari sehingga tidak terpikirkan untuk menghadap ke istana. Setengah bulan kemudian baginda menyuruh seorang hamba melihat ke rumah Abu Nawas, apakah dia mampu mengajari lembu itu mengaji atau tidak. Apa yang disaksikan oleh hamba sahaya tadi di rumah Abu Nawas, tiada lain cambukan yang dilancarkan oleh Abu Nawas ke badan lembu itu sambil berkata ”atau, “atau, “atau” sampai binatang itu kesakitan setengah mati. Maka dilaporkanlah hal itu kepada Baginda Sultan. “Mohon ampun baginda,” kata hamba sahaya itu sesampai di Istana, “Patik lihat Abu Nawas sedang mengajar lembu itu di belakang rumah dengan sebuah cambuk rotan yang besar. Jika tali pengikatnya tidak kuat pastilah lembu itu lepas dan mengamuk, yang diajarkan tidak lain hanyalah tiga patah kata , yaitu “atau”, “atau”, “atau”. Baginda terheran-heran mendengar laporan itu, setelah berpikir sejenak baginda bertitah, “Panggil kemari Abu Nawas sekarang juga, aku mau tahu apakah lembu itu sudah bisa mengaji atau belum.” Tidak lama kemudian Abu Nawas pun sampai di Istana, ia pun datang menyembah. “Hai Abu Nawas, sudahkah engkau mengajari lembuku itu dan apakah lembu itu sudah bisa mengaji Al-Qur’an?” tanya Baginda Sultan. Sudah bisa sedikit-sedikit, Ya Tuanku Syah Alam,” jawab Abu Nawas. “Tadi aku suruh seorang hamba melihat ke rumahmu, katanya engkau mengajari lembu itu kalimat “atau”, “atau”, “atau”. Aku mau tahu apa artinya perkataan itu?” “Ampun ke Duli Syah Alam,” kata Abu Nawas. Arti “atau”, “atau”, “atau” itu adalah jika bukan lembu yang mati, atau hamba, atau tuanku, atau tidak ada salah seorang yang mati, hamba tidak akan puas. Sebab sampai habis umurnya sekalipun, binatang itu tidak akan bisa mengaji Al-Qur’an. Itu sebabnya binatang itu hamba cambuk agar mati. Dengan demikian hamba senang karena pekerjaan hamba dapat selesai. Atau hamba yang mati, atau Paduka yang mati, atau salah satu, barulah habis perkara lembu itu.” Baginda terperanjat di tempat duduknya, tidak dapat berkata sepatah katapun. Setelah tercenung sejenak, baginda berkata. “Kalau begitu lembu itu boleh kamu ambil, atau kamu jual, atau kamu buat sate.” “Terima kasih banyak-banyak, ya Tuanku Baginda Syah Alam,” kata Abu Nawas sambil menyembah hingga kepalanya menyentuh tanah. Ia pun mohon diri pulang ke rumah dengan langkah ringan dan hati senang.
Hampir semua orang membicarakan keajaiban tongkat Abu Nawas. Berita ini juga terdengar oleh para pencuri yang telah menipu Abu Nawas. Mereka langsung tertarik. Bahkan mereka melihat sendiri ketika Abu Nawas membeli barang atau makan tanpa membayar tetapi hanya dengan mengacungkan tongkatnya. Mereka berpikir
kalau tongkat itu bisa dibeli maka tentu mereka akan kaya karena hanya dengan mengacungkan tongkat itu mereka akan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Akhirnya mereka mendekati Abu Nawas dan berkata, “Apakah tongkatmu akan dijual?” “Tidak.” jawab Abu Nawas dengan cuek. “Tetapi kami bersedia membeli dengan harga yang amat tinggi.” kata mereka. “Berapa?” kata Abu Nawas pura-pura merasa tertarik. “Seratus dinar uang emas.” kata mereka tanpa ragu- ragu. “Tetapi tongkat ini adalah tongkat wasiat satu- satunya yang aku miliki.” kata Abu Nawas sambil tetap berpura-pura tidak ingin menjual tongkatnya. “Dengan uang seratus dinar engkau sudah bisa hidup enak.” Kata mereka makin penasaran. Abu Nawas diam beberapa saat sepertinya merasa keberatan sekali. “Baiklah kalau begitu.” kata Abu Nawas kemudian sambil menyerahkan tongkatnya. Setelah menerima seratus dinar uang emas Abu Nawas segera melesat pulang. Para pencuri itu segera mencari warung terdekat untuk membuktikan keajaiban tongkat yang baru mereka beli. Seusai makan mereka mengacungkan tongkat itu kepada pemilik kedai. Tentu saja pemilik kedai marah. “Apa maksudmu mengacungkan tongkat itu padaku?” “Bukankah Abu Nawas juga mengacungkan tongkat ini dan engkau membebaskannya?” tanya para pencuri
itu. “Benar. Tetapi engkau harus tahu bahwa Abu Nawas
menitipkan sejumlah uang kepadaku sebelum makan di sini!” “Gila! Temyata kita tidak mendapat keuntungan sama sekali menipu Abu Nawas. Kita malah rugi besar!” umpat para pencuri dengan rasa dongkol.
monyet menggerutu. “Ya, kalau begitu besok kita ke sini lagi! Kita tunggu bila ada batang pisang yang hanyut lagi! Yang ini untukku,” kata katak sambil memegang batang pisang. “Ah, jangan curang! Ini milik kita berdua. Dari pada menunggu sampai besok sebaiknya kita bagi saja batang pohon pisang ini sekarang,” kata monyet. “Baiklah, kita potong saja batang pohon pisang ini menjadi dua. Kamu bagian bawah sedang saya yang bagian atas” kata katak. “Ah, jangan curang! Yang dapat berbuah kan bagian atas! Saya sangat memerlukan buah itu dari pada kamu. Nanti yang bagian bawah juga dapat berbuah,” kata monyet membujuk katak. “Baiklah, kita kan bersahabat. Seorang sahabat haruslah saling mengerti dan saling menolong. Kita tidak boleh bertengkar hanya karena perkara kecil. Bawalah yang bagian atas! Saya cukup yang bagian bawah saja,” kata katak penuh perhatian. Mereka akhirnya membawa bagian masing-masing ke hutan. Moni membawa batang pisang bagian atas dan katak bagian bawah untuk ditanam. Setiap sebulan sekali monyet mengunjungi katak. Mereka saling menanyakan tanamannya. “Bagaimana tanaman pisangmu?” tanya moni. “Ha… ha…, lihat saja itu! Subur bukan?! Tanamanku sangat subur. Daunnya begitu lebat.” Jawab katak sambil menunjukkan tanamannya. “Bagaimana dengan tanamanmu?” tanya katak lebih lanjut. “Wah…, tanamanku juga demikian!” jawab moni membohongi temannya. Ia bohong karena tanamannya sudah mati. Batang bagian atas tak mungkin hidup bila ditanam. Bulan berikutnya moni datang lagi. Ia bertanya kepada katak tentang tanamannya. “Bagaimana tanamanmu?” tanya moni. “Wah, tanaman pisangku sangat subur, dan sekarang sudah berbuah. Bagaimana pula tanamanmu?” jawab katak sambil menanyakan tanaman si Moni. “Demikian juga tanamanku, sudah berbuah. Bahkan buahnya besar-besar,” jawab moni berbohong. Mereka kemudian berbincang-bincang sambil bergurau. Setelah selesai, moni kembali ke hutan. Pada kunjungan berikutnya ternyata buah pisangnya sudah masak tetapi katak tidak dapat memetiknya karena tidak dapat memanjat pohon pisang tersebut. Katakpun meminta bantuan kepada moni yang sedang berkunjung. “Moni, tolong petikkan pisangku yang sudah masak itu!” pinta katak kepada moni. “Wah, dengan senang hati, mari kita ke sana!” jawab
moni sambil mengajak katak. Monipun segera memanjat pohon pisang dan sesampainya di atas ia segera memetik dan mencoba memakannya. “Wah, ranum benar pisangmu!” teriak moni dari atas pohon pisang. “Hai moni, jangan kau makan sendiri saja. Cepat petikkan sesisir dulu untukku” teriak katak sambil memohon. “Ya, nanti dulu! Aku belum selesai memakannya. ” sahut moni. Satu, demi satu dimakannya pisang tersebut oleh moni, setiap katak meminta ada saja jawaban si Moni. Katak tak pernah diberi. Bahkan si Katak hanya dilempari kulitnya. “Kamu lebih baik makan kulitnya saja, Tak! Ini bagianmu, terimalah! kata moni. Katakpun berang dilecehkan oleh moni. Ia pun berkata dalam hati untuk memberikan pelajaran kepada moni yang serakah tersebut. “Baiklah, habiskan saja pisangku. Aku sudah tak berminat lagi. Aku sudah kenyang makan nyamuk. Makanan utamaku kan nyamuk, bukan pisang seperti makananmu.” kata katak dengan kesal. “Ha… ha… ha…, katak-katak…, salahmu sendiri kamu tak dapat memanjat. Kamu hanya dapat meloncat-loncat saja. Coba perhatikan saya! Saya dapat berjalan, meloncat dan memanjat. Makanankupun lebih banyak jenisnya daripada kamu. Kamu lebih baik makan nyamuk saja. Pisang ini sebenarnya untukku bukan untukmu,” kata moni dengan congkak. “Dasar moni serakah! Sudahlah, jangan banyak bicara! Cepat habiskan saja pisangku! Sebentar lagi batangnya akan saya tebang,” kata katak dengan marah. Selesai berbicara katakpun mulai menebang batang pohon pisangnya. Moni segera mempercepat makannya. Tak terasa ia mulai kenyang dan mengantuk. Batang pohon pisang mulai bergoyang dan akan roboh tetapi moni tak dapat menahan kantuknya. Lebih-lebih goyangannya batang pohon pisang dianggapnya sebagai ayunan yang meninabobokkan. Akhirnya ia jatuh. Perutnya terkena ujung pohon kayu kering yang runcing dan badannya tertimpa batang pohon pisang.
raja ikan: “Hai bangau! mengapa engkau menangis?”
Oh ikan, alangkah sedihnya aku, jawab bangau sambil terus mengisak-isak. “Mengapakah demikian, bangau?” tanya ikan lagi. Sebenarnya akan datang bencana yang bakal menimpa kita sekalian, penghuni danau indah ini. Aku telah mendengar kabar, bahwa tiada beberapa lama lagi para nelayan akan mengadakan penangkapan ikan besar-besaran. Mereka telah membuat jala, pancing dan bubu sebanyak- banyaknya. Oh ikan, itulah yang menjadi buah pikiranku selama ini. Karena itu ikan-ikan, aku hanya dapat berpesan, berhati-hatilah kalian menghadapi bencana yang bakal tiba. Aku berdosa tidak bisa melindungi agar kalian dapat menyelamatkan diri masing-masing terhadap nelayan yang serakah itu.” Mendengar berita itu alangkah sedihnya hati para ikan. Mereka saling bertangisan di hadapan bangau sambil meratap-ratap. Oh bangau, tiadakah engkau dapat memberi pertolongan agar kami dapat terlepas dari bencana itu? Hm, ikan-ikan, aku punya akal. Aku bersedia memberi pertolongan, memindahkan kalian satu persatu ke danau lain tak jauh dari sini. Karena rasa takutnya terhadap bencana yang akan menimpa ikan-ikan itu, maka satu-persatu ikan-ikan diterbangkan. Tetapi bangau itu tidak terbang menuju tempat yang dijanjikan. Melainkan dibawanya ke sarang mereka. Disana dengan lahapnya dimakannya ikan-ikan itu. Demikian seterusnya, sampai ikan-ikan di danau itu habis.
Kini tinggallah seekor ketam di danau itu yang belum dipindah. Iapun dibawa terbang oleh bangau. Tapi serentak ia hendak menukik kesarangnya, ketam itu melihat banyak sekali darah dan duri-duri ikan disana. Tahulah ketam itu, bahwa iapun hendak dimangsa bangau yang serakah itu. Ketika bangau itu menukik
turun, cepat-cepat ketam itu menjepit leher bangau itu. Bangau itu segera menggelepar tak berdaya. Lepaskan aku! Lepaskan! teriaknya parau. Ketam itu makin memperkeras jepitannya hingga akhirnya putuslah leher bangau itu. Darahnya mengucur. Jadi bangau itu binasa juga, ya nek? tanyaku. Ya, setiap kejahatan pasti berakhir demikian. Sambung nenek menyudahi ceritanya.
tersebutlah seekor tupai bersahabat dengan seekor ikan gabus. Persahabatan tersebut sangatlah kuatnya. Pada suatu hari si Ikan Gabus jatuh sakit. Badannya sangatlemah.
Dengan setianya si Tupai menunggui temannya itu. Sudah beberapa hari si Ikan Gabus tidak enak makan. Maka si Tupai berusaha membujuknya. Namun si Ikan Gabus hanya mau makan
kalau diberi makan hati ikan Yu. Mendengar permintaan si Ikan Gabus, Si Tupai menjadi sangat sedih. Sulit sekali memenuhi permintaan sahabatnya itu. Ikan Yu adalah hewan yang sangat ganas dan hanya hidup di
lautan lepas. Namun akhirnya ia memutuskan juga untuk mencarikannya. Maka iapun meloncat-loncat dari pohon ke pohon hingga sampai ke sebuah pohon kelapa yang batangnya menjorok ke laut. Dengan perlahan si Tupai melobangi sebutir biji kelapa. Setelah airnya habis, iapun masuk ke dalam kelapa itu. Dari dalam kelapa itu ia masih dapat menggerogoti tangkai buah kelapa itu. Tak lama kemudian buah kelapa itu sudah terlepas dari tangkainya dan tercebur ke laut lepas. Ombak laut itu sangat besar. sehingga dalam waktu tidak lama, buah kelapa itu sudah berada ditengah laut lepas. Tiba-tiba datanglah seekor Ikan Yu besar. Dengan segera ia menelan biji kelapa tersebut bulat- bulat. Setelah berada di dalam perut ikan itu, si Tupai lalu mengigiti hatinya. Ikan itu menggelepar- gelepar menuju pantai. Sesampainya di pantai, Ikan Yu sudah kehabisan tenaga dan akhirnya mati. Dengan senang hati si Tupai membawa hati Ikan Yu itu untuk sahabatnya. Dengan ajaibnya setelah memakan hati Ikan Yu, Si Ikan Gabus menjadi sembuh total. Ia meloncat-loncat dengan gembiranya. Ia pun berjanji akan menolong si Tupai kalau ia sakit di hari kemudian.
hukuman apapun dari bapak. Apapun hukumannya, asalkan bapak memaafkan saya”. “Ya, ya ya…. Kalau begitu kau akan menerima hukuman dariku”. Kata kakek itu seraya terus menatap tajam mata ahmad. “Silahkan kek, apa hukuman yang akan aku terima ?” “Kau harus membersihkan kebunku selama satu bulan penuh” “Baiklah kek, saya akan menjalankan hukuman itu dengan ikhlas karena Allah” Kata Ahmad sabar. Demikianlah, berhari-hari Ahmad membersihkan kebun apel itu dengan rajin dan senang. Dia berharap dapat menghapus kesalahan yang telah dilakukannya. Hingga tidak terasa satu bulan penuh Ahmad telah menjalankan hukuman. Ahmadpun kemudian mendatangi pemilik kebun itu. “Saya telah menjalankan hukuman untuk membersihkan kebun selama satu bulan penuh. Dan
hari ini adalah hari yang terakhir, Apakah ada hukuman lain untuk menebus kesalahan saya?” Tanya Ahmad. “Ada. Aku mempunyai seorang anak gadis bernama Rokayah. Dia buta, tuli, bisu dan lumpuh. Kau harus menikahinya.Jawab Kakek pemilik kebun Bukan cuman terkejut, Ahmadpun gemetar. Tubuhnya berkeringat. Karena Ahmad berfikir begitu berat ujian dan hukuman yang dia terima. pemilik kebun itupun bertanya. “Kenapa, apakah kau tidak bersedia?” tanya pemilik kebun itu membuat ahmad berfikir. Tidak lama kemudian ahmad dapat menguasai diri. Dia yakin apabila pemilik kebun tidak memaafkannya, maka Allahpun tidak akan memaafkan kesalahannya yang telah memakan apel yang bukan miliknya. “Baiklah, saya akan penuhi. Saya ikhlas karena Allah untuk menikahi anak kakek. Jawab Ahmad Dengan kesabaran dan keikhlasan Ahmadpun kemudian menikahi gadis pemilik kebun apel. Disaat
usai pernikahan, Ahmad hendak memasuki kamar pengantin yang didalamnya telah menunggu gadis pemilik kebun apel “Assalamu’alaikum”…. Ucap Ahmad seraya membuka tirai kamar. “Wa’alaikummussalam, Silahkan masuk. Aku telah menunggu sedari tadi” Seorang gadis menjawab dari dalam kamar Ahmad terkejut bukan kepalang mendengar jawaban itu. “Oh, maafkan saya. Mungkin saya salah memasuki kamar ini. Sebenarnya saya mencari gadis bernama Rokayah. Dia anak pemilik kebun apel”. Kata Ahmad bingung. “Sayalah yang engkau cari”. Jawab gadis itu “Oh tidak…. Tidak mungkin”. Ahmadpun berlalu dengan tergesa meninggalkan gadis itu dan menemui pemilik kebun. “Sebelumnya maafkan saya yang telah lancang memasuki sebuah kamar seorang gadis cantik. Tapi… dimanakah sebenarnya kamar Rokayah istri saya?” Tanya Ahmad “Kau tidak salah. Yang kau masuki memang kamar rokayah anakku satu-satunya. Dan yang didalam kamar memang anakku. Dialah rokayah”. “Tetapi kenapa saya tidak melihat dia buta, tuli, bisu dan lumpuh?” Tanya Ahmad. “Anakku….. Rokayah memang buta, tuli, bisu dan lumpuh. Tapi yang aku maksud dia buta, karena dia tidak pernah menggunakan kedua matanya untuk melihat hal-hal yang buruk. Dia tuli, karena telinganya tidak pernah digunakan untuk mendengarkan pembicaraan-pembicaraan yang buruk. Dia bisu, karena dia tidak pernah menggunakan mulutnya untuk berbicara kotor. Dan dia lumpuh, karena dia tidak pernah berjalan ketempat-tempat maksiat. Sekarang segeralah kau kembali kekamarnya. Temuilah dia yang sekarang menjadi istrimu”. Betapa bahagianya Ahmad yang ternyata mendapatkan seorang istri yang bukan cantik jelita, namun seorang gadiis yang beriman dan taat kepada Allah.
“Aku menangis mengenang dosaku yang amat banyak. Saking banyaknya, rasanya pundakku tiada kuasa lagi memikulnya.”, jawab anak muda. Terjadilah tanya jawab antara Rasulullah SAW dengan pemuda itu.
Rasulullah SAW bertanya, “Apakah engkau menyekutukan Tuhan, syirik?”
“Tidak!” jawab pemuda.
“Kalau demikian, Tuhan akan mengampuni dosa- dosamu, walaupun dosamu itu seberat langit, bumi dan gunung,” sahut Rasulullah SAW. “Dosaku lebih berat daripada itu lagi,” kata pemuda itu.
“Apakah dosamu itu lebih berat dari seluruh tahta?” tanya Rasulullah SAW.
“Memang, lebih berat dari itu, ya Rasulullah,” jawab pemuda itu. Rasulullah SAW bertanya lagi, “Apakah lebih berat daripada Arsy?”
Jawab pemuda itu, “Lebih berat lagi!”
“Apakah dosamu itu lebih berat dari Tuhanmu sendiri, yang mempunyai sifat pengampun dan penerima taubat?” sahut Rasulullah SAW.
Jawab pemuda itu, “Tidak ya Rasulullah, ampunan Tuhan lebih berat daripada dosaku. Tidak ada sesuatu yang lebih berat daripada ampunan Tuhan.” Tanya Rasulullah SAW, “Terangkanlah dosa yang telah engkau lakukan itu, dan jangan engkau segan dan merasa malu-malu.” Akhirnya, anak muda itu menerangkan, “Saya bekerja sebagai penjaga kuburan, sudah tujuh tahun lamanya. Pada suatu hari, meninggal seorang budak
perempuan milik seorang golongan Anshar, dan dikuburkan di pemakaman yang saya jaga itu. Saya digoda oleh iblis sehingga diwaktu malam aku bongkar kuburan itu kembali. Saya curi kain kafan yang membalut mayat wanita itu. Kemudian saya meninggalkan tempat itu. Pada suatu ketika yang lain, saya berjalan kembali ke dekat kuburan itu. Tiba-tiba wanita yang sudah mati itu bangkit dari kuburnya dan berkata kepada saya dengan suaranya yang lantang, “Celakalah engkau hai anak muda! Tidakkah engkau melakukan perbuatan kejam terhadap seorang wanita yang tidak berdaya lagi? Sampai hatikah engkau membiarkan aku menghadap Tuhan dalam keadaan telanjang?” Mendengar keterangan itu, maka Rasulullah SAW sangat marah seraya berkata, “Engkau memang seorang yang fasik dan akan masuk neraka!” Seketika itu juga beliau mengusir anak muda itu. Dengan gemetar tetapi masih dalam keadaan kesadaran, anak muda itu menyesali perbuatannya itu tiada putus-putusnya. Setiap malam ia berkhalwat dan tak habis-habisnya menyesali perbuatannya yang zalim itu. Dia selalu memohon do’a kepada Tuhan, “Ya Tuhanku, aku menyatakan taubat dari perbuatan yang sesat itu. Jika Engkau, ya Tuhan, masih memberikan ampunan atas dosa yang aku perbuat itu, maka sampaikan hal itu kepada Rasulullah SAW. Jika dosaku itu memang tidak Engkau ampuni lagi, maka turunkanlah api dari langit untuk membakar kulitku sehingga aku menjadi hangus, sebagai balasan atas dosa yang aku lakukan itu.” Sementara tidak berapa lama, kemudian Malaikat Jibril menyampaikan kepada Rasulullah SAW wahyu
yang menyatakan bahwa Tuhan mengampuni dosa anak muda itu, sebab taubatnya itu dilakukan dengan tulus ikhlas. Setelah wahyu turun, maka Rasulullah SAW memanggil anak muda itu menyampaikan kepadanya berita yang menggembirakan itu.
menjalankan pekerjaan tersebut.” Ibunya menyela : “Hai, apakah dalam pekerjaan mencuri itu ada ketakwaan?” Kemudian anaknya yang begitu polos menjawab : “Ya, begitu kata guruku.” Lalu dia pergi bertanya kepada orang-orang dan belajar bagaimana para pencuri itu melakukan aksinya. Sekarang dia mengetahui tehnik mencuri. Inilah saatnya beraksi. Dia menyiapkan alat-alat mencuri, kemudian shalat isya’ dan menunggu sampai semua orang tidur. Sekarang dia keluar rumah untuk menjalankan profesi ayahnya, seperti perintah sang guru (syaikh). Dimulailah dengan rumah tetangganya. Saat hendak masuk ke dalam rumah dia ingat pesan syaikhnya agar selalu bertakwa. Padahal mengganggu tetangga tidaklah termasuk takwa. Akhirnya, rumah tetangga itu ditinggalkannya. Ia lalu melewati rumah lain, dia berbisik pada dirinya : “Ini rumah anak yatim, dan Allah memperingatkan agar kita tidak memakan harta anak yatim.” Dia terus berjalan dan akhirnya tiba di rumah seorang pedagang kaya yang tidak ada penjaganya. Orang-orang sudak tahu bahwa pedagang ini memiliki harta yang melebihi kebutuhannya. “Ha, di sini”, gumamnya. Pemuda tadi memulai aksinya. Dia berusaha membuka pintu dengan kunci-kunci yang disiapkannya. Setelah berhasil masuk rumah itu ternyata besar dan banyak
kamarnya. Dia berkeliling di dalam rumah, sampai menemukan tempat penyimpanan harta. Dia membuka sebuah kotak, didapatinya emas, perak dan uang tunai dalam jumlah yang banyak. Dia tergoda untuk mengambilnya. Lalu dia berkata : “Eh, jangan, syaikhku berpesan agar aku selalu bertakwa. Barangkali pedagang itu belum mengeluarkan zakat hartanya. Kalau begitu, sebaiknya aku keluarkan zakatnya terlebih dahulu.” Dia mengambil buku-buku catatan di situ dan menghidupkan lentera kecil yang dibawanya. Sambil membuka lembaran buku-buku itu dia menghitung. Dia memang pandai berhitung dan berpengalaman dalam pembukuan. Dia hitung semua harta yang ada dan memperkirakan berapa zakatnya. Kemudian dia pisahkan harta yang akan dizakatkan. Dia masih terus menghitung dan menghabiskan waktu berjam-jam. Saat menoleh, dia lihat fajar telah
menyingsing. Dia berbicara sendiri : “Ingat takwa kepada Allah! Kau harus melaksanakan shalat dulu!” Kemudian dia keluar menuju ruang tengah rumah, lalu berwudhu di bak air untuk selanjutnya melakukan shalat sunnah. Tiba-tiba tuan rumah itu terbangun. Dilihatnya dengan penuh keheranan, ada lentera kecil yang menyala. Dia lihat pula kotak hartanya dalam keadaan terbuka dan ada orang sedang melakukan shalat. Isterinya bertanya : “Apa ini?” Dijawab suaminya : “Demi Allah, aku juga tidak tahu.” lalu dia menghampiri pencuri itu: “Kurang ajar, siapa kau dan ada apa ini?” Si pencuri berkata : “Shalat dulu, baru bicara . Ayo pergilah berwudhu’ lalu shalat bersama. Tuan rumahlah yang berhak jadi imam.” Karena khawatir pencuri itu membawa senjata si tuan rumah menuruti kehendaknya. Tetapi wallahu a’lam, bagaimana dia bisa shalat. Selesai shalat dia bertanya : “Sekarang, coba ceritakan, siapa kau dan apa urusanmu?” Dia menjawab : “Saya ini pencuri”. “Lalu apa yang kau perbuat dengan buku-buku catatanku itu?”, tanya tuan rumah lagi. Si pencuri menjawab : “Aku menghitung zakat yang belum kau keluarkan selama enam tahun. Sekarang aku sudah menghitungnya dan juga sudah akau peisahkan agar
kau dapat memberikannya pada orang yang berhak”.
Hampir saja tuan rumah itu dibuat gila karena terlalu keheranan. Lalu dia berkata : “Hai, ada apa denganmu sebenarnya. Apa kau ini gila?” Mulailah si pencuri itu bercerita dari awal. Dan setelah tuan rumah itu mendengar ceritanya dan mengetahui ketepatan serta kepandaiannya dalam menghitung, juga kejujuran kata-katanya, juga mengetahui manfaat zakat, dia pergi menemui isterinya. Mereka berdua dikaruniai seorang puteri. Setelah keduanya berbicara, tuan rumah itu kembali menemui si pencuri, kemudian berkata : “Bagaimana sekiranya kalau kau aku nikahkan dengan puteriku. Aku akan angkat engkau menjadi sekretaris dan juru hitungku. Kau boleh tinggal bersama ibumu di rumah ini. Kau kujadikan mitra bisnisku.” Ia menjawab : “Aku setuju.” Di pagi hari itu pula sang tuan memanggil para saksi untuk acara akad nikah puterinya.