It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
“Wow, rupanya si Hitam ini kuda manja. Makan saja disuapi!” komentar Raja. Segera Raja membungkuk, mengambil segenggam rumput dan mencoba menyuapi si Hitam. Olala, si Hitam melengos, tak mau disuapi Raja. Tanpa banyak bicara, Raja segera meninggalkan kuda kesayangannya. Hatinya marah, wajahnya merah padam.
“Keterlaluan! Disuapi Raja, malah tidak mau! Si Hitam benar-benar telah menghinaku!” umpat Raja sambil berjalan masuk ke dalam istana. “Kalau kusuruh orang membuang si Hitam ke hutan, tentu orang-orang akan heran. Dan si Mista pasti akan bercerita, bagaimana si Hitam menghinaku. Huh, namaku tentu akan cemar!” pikir Raja. Di dalam istana Raja menyibukkan diri membaca surat-surat yang masuk. Ia berusaha melupakan ulah si Hitam yang tak mau ia suapi. Namun hatinya tetap marah. Kepada siapa ia harus bercerita? Saat makan malam, Raja makan dengan murung. Selesai makan, akhirnya raja tak tahan lagi. Ia menceritakan kejadian pagi itu pada permaisuri.
“Bayangkan, seekor kuda menolakku. Si Hitam tak mau kusuapi. Benar-benar aku merasa terhina!” keluh Raja. Permaisuri mendengarkan cerita Raja dengan serius lalu berkata,
“Aaah, tak usah diambil hati. Mungkin saja si Hitam sudah kenyang! Pergilah ke kandang dan coba berikan rumput saat si Hitam sedang lapar!” Jawaban permaisuri sedikit menghilangkan kekesalan di hati Raja. Namun, Raja tetap ingin tahu, apa sebabnya si Hitam tak mau makan rumput
dari tangannya. Raja akhirnya menyuruh Pak Kosim untuk menyelidiki hal ini. Pak Kosim adalah tukang cukur raja. Raja sangat mempercayainya, sebab Pak Kosim pandai menjaga rahasia.
“Baiklah, Baginda. Hamba akan mencari tahu, mengapa si Hitam tidak mau makan rumput dari tangan Baginda. Hamba akan mengadakan acara cukur gratis untuk karyawan-karyawan istana. Tempatnya di depan kandang si Hitam!” usul Pak Kosim. Raja setuju, dan Pak Kosim segera membuka kios cukur di depan kandang kuda. Beberapa karyawan istana mulai berdatangan untuk mencukur rambut mereka. Sambil mencukur Pak Kosim memperhatikan gerak-gerik Mista, penjaga si Hitam. Setelah tak ada lagi orang yang dicukur, Pak Kosim membereskan peralatannya. Pak Kosim lalu mendekati Mista yang sedang menyuapi si Hitam. Ia mengambil segenggam rumput, memasukkannya ke dalam baskom kecil berisi cairan dan menyuapi si Hitam. Si Hitam menyambut rumput itu dengan lahap.
“Kuda istimewa, makannya disuapi oleh penjaga yang istimewa juga!” puji Pak Kosim.
“Aah, Pak Kosim! Kudanya memang hebat. Penjaganya sih biasa saja!” kata Mista merendah. Pak Kosim tersenyum,
“Jangan merendah. Akan kubuktikan kalau kau memang istimewa!” ujar Pak Kosim. Ia lalu mengambil segenggam rumput, dan menyuapi si Hitam. Namun si Hitam melengos. Pak Kosim tertawa, “Tuh, lihat sendiri! Si Hitam tak mau kusuapi. Ia hanya mau disuapi olehmu, penjaganya yang istimewa!” ujar Pak Kosim. Mista tertawa juga. “Hahaha, kalau tahu caranya, si Hitam sih mau saja disuapi siapa pun. Buat si Hitam
yang penting bukan siapa yang menyuapinya. Yang penting rumputnya harus dicelup ke air madu dulu!” Mista menjelaskan. Ia mengambil segenggam rumput, mencelupkannya ke dalam air madu dan menyuapi si Hitam. Pak Kosim mengikuti jejak Mista. Ternyata benar! Si Hitam memakan rumput dari tangan Pak Kosim dengan lahap. Hati Pak Kosim berbunga-bunga karena ia sudah berhasil menyeselaikan tugas dari Raja.
“Apa pun, kalau tahu caranya jadi mudah. Kalau belum tahu caranya ya susah!” kata Mista. Pak Kosim bergegas menghadap Raja. Ia menjelaskan rahasia rumput si Hitam. Betapa lega hati raja.
“Hahaha, bodoh sekali. Mengapa aku bisa tersinggung pada kuda, hahaha…” tawa Raja di dalam hati.
Pak Kosim mendapat sekantung uang emas. Ia pulang ke rumahnya dengan amat gembira.
Tanpa banyak buang waktu, Putri Kajal langsung melaporkan kejadian itu pada Raja Salman. Karuan saja Raja Salman terkejut. Ia sudah menugaskan dua pengawal di pintu kamar Putri Kajal, jadi bagaimana bisa seorang pencuri masuk ke dalam kamar putri kesayangannya. Raja Salman segera menitahkan Patih Rangga menyelesaikan masalah ini. “Aku percaya kau bisa menyelesaikan kasus ini seperti biasanya,” titah Raja Salman di hadapan Patih Rangga.
Patih Rangga mengangguk menyatakan kesanggupannya. Ia segera menanyakan pengawal yang bertugas menjaga kamar Putri Kajal semalam. Akhirnya didapat keterangan, ada tiga orang yang memasuki kamar Putri Kajal. Mereka adalah para pengasuh Putri Kajal yang memang mempunyai hak istimewa dapat memasuki kamar Putri Kajal dengan leluasa.
“Sekarang juga aku menginginkan mereka menghadapku satu persatu,” seru Patih Rangga kemudian. Pengasuh pertama seorang wanita yang rambutnya sudah memutih. Ia telah mengasuh Putri Kajal sejak masih bayi. Atas permintaan Patih Rangga ia mulai bertutur apa yang dilakukannya semalam.
“Hamba masuk ke dalam kamar Tuan Putri tak lama setelah Tuan Putri tertidur. Seperti biasa hamba hanya membetulkan letak selimut Tuan Putri,” papar pengasuh pertama.
“Apa kau tidak melihat kotak kayu tempat menyimpan tiara emas itu semalam?” selidik Patih Rangga.
“Hamba melihatnya. Peti itu seperti biasa ada di atas meja rias. Tapi hamba tidak berani menyentuhnya tanpa seizin Tuan Putri,” jawab sang pengasuh.
Patih Rangga berpikir sebentar. Ia kemudian menyuruh pengasuh pertama keluar dan menitahkan pengasuh kedua menghadapnya. Pengasuh kedua lebih muda dari pengasuh pertama. Ia bertugas mengasuh Putri Kajal sejak masa kanak-kanak. Seperti sebelumnya, pengasuh kedua diminta menceritakan apa yang dilakukannya semalam di kamar Putri Kajal. “Hamba menyiapkan pakaian Putri Kajal untuk dikenakan hari ini. Itu sudah menjadi tugas hamba,” tuturnya.
“Apa kau melihat peti kayu tempat Tuan Putri menyimpan tiara emas itu?”
“Ya, tentu saja. Tapi hamba tidak berani menyentuh peti itu tanpa izin Tuan Putri,” jawab pengasuh kedua.
Patih Rangga menganggukkan kepalanya. Ia menyuruh pengasuh kedua keluar dan pengasuh ketiga dimintanya masuk. Pengasuh ketiga paling muda di antara yang lain. Ia baru mengasuh ketika Putri Kajal menginjak usia remaja. Patih Rangga segera memintanya menceritakan apa yang dilakukannya semalam di kamar Putri Kajal. “Tugas hamba adalah mempersiapkan perhiasan yang akan dipakai Putri Kajal hari ini. Tapi hamba sama sekali tidak tahu dengan hilangnya tiara emas itu. Hamba tidak berani menyentuhnya kecuali seizin Tuan Putri,” tutur pengasuh ketiga.
Patih Rangga mengerutkan keningnya. Ia kemudian menyuruh dua pengasuh sebelumnya masuk kembali. Bahkan Putri Kajal dimintanya ikut bergabung.
Suasana jadi begitu tegang karena biasanya Patih Rangga memang dapat segera menyelesaikan masalah apa pun yang terjadi di dalam istana.
“Terus terang saja, aku tidak bisa menemukan siapa
yang telah mencuri tiara emas milik Putri Kajal. Ketiga pengasuh yang menjadi tersangka dalam masalah ini semuanya lepas dari tuduhan pencurian.
Untuk itu aku hanya bisa memutuskan kesalahan pada Putri Kajal. Tentu saja bukan sebagai pencuri, melainkan telah lalai menjaga barang berharga miliknya sendiri. Dan untuk kelalaiannya itu, Tuan Putri harus menerima hukuman. Selama sebulan Putri Kajal tidak boleh keluar dari kamar, kecuali tiara emas itu dapat ditemukan,” Patih Rangga mengeluarkan keputusan. Putri Kajal terkejut. “Itu tidak adil, Patih Rangga. Lagi pula apa yang dapat kulakukan selama sebulan di dalam kamar? Aku juga ingin bermain di halaman istana, mengunjungi rakyatku, membaca di perpustakaan, menyanyi di pendopo, dan lain- lainnya seperti biasa, protes Putri Kajal.
Patih Rangga tak mengeluarkan suara. “Putusan ini tidak bisa diubah kecuali oleh Baginda Raja Salman,” kata Patih Rangga kemudian.
Putri Kajal menitikkan air mata. Ia mulai menangis sedih. Ayahnya pasti tidak akan memenuhi permintaannya agar Patih Rangga merubah keputusannya, karena dia tahu ayahnya begitu menghargai setiap keputusan Patih Rangga. Tiba-tiba saja pengasuh pertama bersujud di depan Patih Rangga. “Ampuni Putri Kajal, Patih Rangga. Hambalah yang bersalah telah mengambil tiara emas milik Putri Kajal. Tapi, hamba tidak bermaksud mencurinya, hamba hanya menyembunyikannya untuk sementara waktu. Malam tadi, hamba masuk ke dalam kamar dan mengambil tiara emas itu dari dalam kotak kayu. Hamba tahu tidak ada yang akan dicurigai dari kami bertiga karena kami tidak pernah menyentuh kotak itu tanpa seizin Tuan Putri. Tiara emas itu masih ada di dalam kamar. Hamba menyembunyikannya di
kolong lemari pakaian,” tutur pengasuh pertama.
“Mengapa kau lakukan itu?” tanya Patih Rangga.
“Hamba mempunyai seorang anak lelaki di perbatasan kerajaan. Ia pemilik sebuah kedai. Kemarin ia datang menemuiku dan menceritakan ada segerombolan penjahat yang mabuk di kedainya. Saat mabuk itu, seorang penjahat bercerita punya rencana untuk merampok Tuan Putri
saat melintas perbatasan. Mereka mengincar tiara emas milik Putri Kajal. Hamba tidak ingin terjadi hal merugikan Tuan Putri, makanya sengaja hamba sembunyikan tiara itu agar Tuan Putri tidak jadi pergi hari ini,” kata pengasuh pertama.
“Seharusnya kau memberitahukan hal itu padaku. Tapi baiklah, aku mengampunimu. Sekarang ambilkan tiara emas itu. Tuan Putri tetap akan berangkat hari ini,” titah Patih Rangga. Patih Rangga segera menyusun rencana menjebak gerombolan penjahat yang akan merampok Putri Kajal. Berkat kecerdikannya dan kesigapan prajurit istana, dua puluh penjahat berhasil diringkus.
“Masalah ini tidak hanya selesai dengan ditemukannya tiara emas milik Putri Kajal dan siapa pencurinya. Bahkan tidak cukup selesai dengan membatalkan rencana kepergian Putri Kajal. Kerajaan harus mampu mengatasi kejahatan yang menjadi penyebabnya,” kata Patih Rangga ketika memberi laporan terhadap Raja Salman usai menjalankan tugas.
anak perempuan yang baru lahir itu sangat kecil dan sering sakit-sakitan. Seorang tabib memberitahu laki-laki tersebut agar mengambil air yang ada pada suatu sumur dan memandikan anak perempuannya yang sakit-sakitan dengan air dari sumur itu agar anak tersebut memperoleh berkah dan kesehatan yang baik. Sang ayah lalu menyuruh salah seorang anak laki-lakinya untuk mengambil air dari sumur tersebut. Enam orang anak laki-laki lainnya ingin ikut untuk mengambil air dan masing-masing anak laki-laki itu sangat ingin untuk mendapatkan air tersebut terlebih dahulu karena rasa sayangnya terhadap adik perempuan satu-satunya. Ketika mereka tiba di sumur dan semua berusaha untuk mengisi kendi yang diberikan kepada mereka, kendi tersebut jatuh ke dalam sumur. Ketujuh anak laki- laki tersebut hanya terdiam dan tidak tahu harus melakukan apa untuk mengambil kendi yang jatuh, dan tak satupun dari mereka berani untuk pulang kerumahnya. Ayahnya yang menunggu di rumah akhirnya hilang kesabarannya dan berkata, “Mereka pasti lupa karena bermain-main, anak nakal!” Karena takut anak perempuannya bertambah sakit, dia lalu berteriak marah, “Saya berharap anak laki-lakiku semua berubah menjadi burung gagak.” Saat kata itu keluar dari mulutnya, dia mendengar kepakan sayap yang terbang di udara, sang Ayah lalu keluar dan melihat tujuh ekor burung gagak hitam terbang menjauh. Sang Ayah menjadi sangat menyesal karena mengeluarkan kata-kata kutukan dan tidak tahu bagaimana membatalkan kutukan itu. Tetapi walaupun kehilangan tujuh orang anak laki-lakinya, sang Ayah dan Ibu masih mendapatkan penghiburan
karena kesehatan anak perempuannya berangsur- angsur membaik dan akhirnya anak perempuan tersebut tumbuh menjadi gadis yang cantik. Gadis itu tidak pernah mengetahui bahwa dia mempunyai tujuh orang kakak laki-laki karena orangtuanya tidak pernah memberitahu dia, sampai suatu hari secara tidak sengaja gadis tersebut mendengar percakapan beberapa orang, “Gadis tersebut memang sangat cantik, tetapi gadis tersebut harus disalahkan karena mengakibatkan nasib buruk pada ketujuh saudaranya.” Gadis tersebut menjadi sangat sedih dan bertanya kepada orangtuanya tentang ketujuh saudaranya. Akhirnya orangtuanya menceritakan semua kejadian yang menimpa ketujuh saudara gadis itu. Sang Gadis menjadi sangat sedih dan bertekad untuk mencari ketujuh saudaranya secara diam-diam. Dia tidak membawa apapun kecuali sebuah cincin kecil milik orangtuanya, sebuah roti untuk menahan lapar dan sedikit air untuk menahan haus. Gadis tersebut berjalan terus, terus sampai ke ujung dunia. Dia menemui matahari, tetapi matahari terlalu panas, lalu dia kemudian menemui bulan, tetapi bulan terlalu dingin, lalu dia menemui bintang- bintang yang ramah kepadanya. Saat bintang fajar muncul, bintang tersebut memberikan dia sebuah tulang ayam dan berkata, “Kamu harus menggunakan tulang ini sebagai kunci untuk membuka gunung yang terbuat dari gelas, disana kamu akan dapat menemukan saudara-saudaramu. Gadis tersebut kemudian mengambil tulang tersebut, menyimpannya dengan hati-hati di pakaiannya dan pergi ke arah gunung yang di tunjuk oleh bintang fajar. Ketika dia telah tiba di gunung tersebut, dia baru sadar bahwa tulang untuk membuka kunci gerbang gunung telah hilang. Karena dia berharap untuk menolong ketujuh saudaranya, maka sang Gadis lalu mengambil sebilah pisau, memotong jari kelinkingnya dan meletakkannya di depan pintu gerbang. Pintu tersebut kemudian terbuka dan sang Gadis dapat masuk kedalam, dimana seorang kerdil menemuinya dan bertanya kepadanya, “Anakku, apa yang kamu cari?” “Saya mencari tujuh saudaraku, tujuh burung gagak,” balas sang Gadis. Orang kerdil tersebut lalu berkata, “Tuanku belum pulang ke rumah, jika kamu ingin menemuinya, silahkan masuk dan kamu boleh menunggunya di sini.” Lalu orang kerdil tersebut menyiapkan makan siang pada tujuh piring kecil untuk ketujuh saudara laki-laki sang Gadis yang telah menjadi burung gagak. Karena lapar, sang Gadis mengambil dan memakan sedikit makanan yang ada pada tiap-tiap piring dan minum sedikit dari tiap-tiap gelas kecil yang ada. Tetapi pada gelas yang terakhir, dia menjatuhkan cincin milik orangtuanya yang dibawa bersamanya. Tiba-tiba dia mendengar kepakan sayap burung di udara, dan saat itu orang kerdil itu berkata, “Sekarang tuanku sudah datang.” Saat ketujuh burung gagak akan mulai makan, mereka menyadari bahwa seseorang telah memakan sedikit makanan dari piring mereka. “Siapa yang telah memakan makananku, dan meminum minumanku?” kata salah satunya. Saat burung gagak yang terakhir minum dari gelasnya, sebuah cincin masuk ke mulutnya dan ketika burung tersebut memperhatikan cincin tersebut, burung gagak tersebut berkata, “Diberkatilah kita, saudara perempuan kita yang tersayang mungkin ada disini, inilah saatnya kita bisa terbebas dari kutukan.” Sang Gadis yang berdiri
di belakang pintu mendengar perkataan mereka, akhirnya maju kedepan dan saat itu pula, ketujuh burung gagak berubah kembali menjadi manusia. Mereka akhirnya berpelukan dan pulang bersama ke rumah mereka dengan bahagia.
“Hai Akim, ikutlah bersama kami. Kita akan bersenang-senang dan berkumpul dengan anak muda lainnya di desa sebelah,” kata salah seorang dari mereka.
“Oh, aku ingin sekali ikut bersama kalian. Tapi maafkan aku! Aku tidak bisa karena masih banyak pekerjaan yang harus aku lakukan,” kata Akim sambil memperlihatkan tempayan-tempayan kosong yang harus diisinya. Ketujuh gadis itu sebenarnya merasa iri dengan kecantikan Akim. Mereka sering berkumpul hanya untuk menceritakan kebencian mereka kepada Akim. Peristiwa kemarin semakin menambah ketidaksukaan mereka. Mereka mencari ide untuk memberi pelajaran kepada Akim. Akhirnya mereka sepakat untuk datang ke rumah Akim setiap hari dan membantunya bekerja, dengan demikian Akim akan menganggap mereka sahabatnya. Esoknya mereka memulai rencana mereka. Akim tentu terkejut tapi juga senang dengan kedatangan mereka. Pekerjaannya menjadi cepat selesai dan ia bisa berkumpul dengan teman sebayanya. Tapi orang tua Akim yang tidak percaya dengan ketulusan mereka, tetap melarang Akim bergaul dengan mereka. Akhir tahun pun tiba. Seperti biasa di akhir tahun, selalu diadakan pesta besar untuk menyambut tahun baru. Kedua orang tua Akim pun turut diundang untuk datang ke pesta yang diadakan di desa yang jauhnya dua hari berjalan kaki. Akim ingin sekali ikut, tapi orang tuanya memberinya banyak sekali pekerjaan supaya ia tidak bisa datang. Pada hari perayaan, ketujuh gadis itu datang ke rumah Akim untuk mengajaknya pergi ke pesta.
“Sayang sekali aku tidak bisa ikut,” kata Akim sedih. “Lihatlah! Aku harus mengisi semua tempayan ini, membersihkan dinding dan mengepel lantai. Setelah itu aku harus membersihkan semua ranting di halaman dan membereskan rumah. Jadi aku tidak akan sempat pergi ke pesta.” Ketujuh gadis itu segera mengambil alih pekerjaan Akim dan dalam beberapa saat saja semuanya beres.
“Nah sekarang kau bisa ikut dengan kami,” kata mereka.
Maka Akim pun dengan senang hati pergi dengan mereka. Sekitar setengah perjalanan menuju desa tempat diselenggarakannya pesta, ada sebuah sungai kecil yang harus disebrangi dengan menggunakan rakit. Dan di sungai itu tinggallah dewa sungai yang sangat berkuasa dan kejam. Siapapun yang menyebrangi sungai itu dua kali atau bolak-balik, maka saat penyebrangan keduanya ia harus melemparkan sesajen berupa makanan untuk sang dewa sungai. Jika tidak, maka dewa Sungai akan menariknya ke dalam air dan menawannya di dalam istananya di dasar sungai. Ketujuh gadis itu tentu saja tahu betul karena mereka sering bepergian ke banyak tempat. Tetapi Akim yang selalu tinggal di rumah, tidak tahu menahu mengenai hal itu. Mereka menyebrangi sungai tanpa kesulitan. Seekor
burung kecil yang terpesona dengan kecantikan Akim, berkicau riang di atas sebuah ranting, membuat ketujuh gadis itu bertambah berang. Mereka meneruskan perjalanan, dan setelah perjalanan yang melelahkan, tibalah mereka di tempat pesta berlangsung. Meskipun ketujuh gadis itu memakai baju dan perhiasan terbaiknya, namun Akimlah yang menjadi pusat perhatian di pesta itu. Semua pemuda berebut untuk mengajaknya berdansa. Dan tentu saja hal ini membuat ketujuh gadis ini semakin murka. Akhirnya orang tua Akim mengetahui kehadiran Akim di pesta itu. Mereka marah dan menyuruh Akim untuk segera pulang. Ketika Akim menceritakan hal itu kepada ketujuh gadis itu, mereka berkata “Baiklah, kami akan mengantarmu pulang. Tapi sebelumnya kami harus makan dulu. Jadi, tunggulah sebentar lagi.” Tanpa sepengetahuan Akim, ketujuh gadis itu masing-masing menyembunyikan sedikit makanan di kantung mereka. Sementara Akim yang tidak tahu menahu, meninggalkan pesta itu tanpa membawa sepotong makanan pun. Ketika tiba di tepi sungai, ketujuh gadis itu berjongkok, meminta ijin kepada dewa Sungai lau melemparkan makanan yang dibawanya. Akim terkejut, ia memohon kepada mereka untuk membagi sedikit makanannya, namun mereka menolak.
Benar saja, ketika rakit yang mereka tumpangi tiba di tengah sungai, dewa sungai menarik Akim ke dasar sungai. Ketujuh gadis itu pulang dengan hati puas, karena telah berhasil menjalankan rencananya. Orang tua Akim yang tiba esok harinya, terkejut mendapati rumah mereka masih terkunci dan anak mereka hilang entah kemana. Ketujuh gadis yang mereka tanyai mengaku Akim telah pulang dengan selamat dan setelah itu mereka belum bertemu lagi dengannya. Dengan putus asa, orang tua Akim bertanya pada tukang rakit yang menyebrangkan mereka. Darinya ia tahu bahwa Akim telah ditawan oleh dewa Sungai.
Burung di pinggir sungai itu juga ikut memberi kesaksian mengenai kekejaman ketujuh gadis yang tidak mau memberi sedikit makanan mereka kepada Akim.
“Oh, celakalah anakku,” kata ayah Akim dengan sedih.
“Jangan khawatir! Aku tahu caranya membujuk dewa Sungai,” kata tukang rakit.
“Bagaimana caranya?” tanya ayah Akim.
“Besok, bawalah seekor sapi, sekeranjang telur dan segulung kain putih untuk ditukar dengan anakmu. Dewa sungai akan melemparkan anakmu sebanyak 7 kali. Tapi jika kau gagal menangkapnya pada lemparan yang ke tujuh, maka gadis itu akan hilang selamanya,” jelasnya. Esoknya orang tua Akim membawa persyaratan yang diminta dan melemparkannya ke tengah sungai dan memohon agar anak mereka dikembalikan. Tiba-tiba dari dalam sungai, terlontarlah tubuh Akim yang langsung ditangkap oleh ayahnya. Maka mereka pun pulang dengan bahagia. Ayah Akim yang masih mendendam kepada ketujuh gadis itu, merencanakan untuk membalas dendam. Dia menggali sebuah lubang yang dalam di salah satu sudut rumahnya. Lubang itu kemudian diisinya dengan daun-daun kering. Di atasnya ia gelar sebuah kasur tipis. Kemudian ia mengundang warga desa untuk berpesta merayakan kembalinya Akim. Ketujuh gadis itu awalnya tidak mau datang karena takut, namun ayah Akim sengaja datang ke rumah mereka masing-masing dan memohon mereka untuk
datang. Ayah Akim pura-pura menyambut mereka dengan ramah dan mepersilahkan mereka untuk duduk di kasur yang telah disediakan. Begitu mereka duduk di atasnya, mereka pun jatuh ke dalam lubang.
“Inilah balasan bagi kalian,” kata ayah Akim sambil melemparkan sebatang obor ke dalam lubang yang langsung membakar daun-daun kering di dalamnya.
Ketujuh gadis itu berteriak minta ampun, namun api dengan cepat melahap tubuh mereka sehingga tewas. Sebenarnya dendam tidaklah baik. Balas dendam hanya akan melahirkan dendam yang lain. Lebih asyik memaafkan, dengan begitu orang yang pernah berbuat salah akan menjadi segan dan hati kita pun tenang.
curiga. Akhirnya dia menuju ke tanah pekuburan di luar desa. Mencari-cari di antara kuburan yang ada, dan dengan cepat dia menemukan dirinya berdiri di dekat nama yang selama ini dicari-carinya. Tanggal pada batu nisan itu menunjukkan bahwa ayah dan ibunya meninggal tidak lama setelah dia berangkat; dan dia menemukan bahwa dia telah pergi dari rumah itu selama tiga ratus tahun. Dengan penuh kesedihan dia membungkuk untuk menghormati orangtuanya yang terakhir kali dan kembali menuju desanya. Di setiap langkah dia berharap bahwa dia akan terbangun dari mimpinya, tetapi orang-orang yang ditemui dan jalan yang dilalui adalah nyata. Kemudian dia teringat akan sang Putri dan kotak emas yang diberikan kepadanya. Dia berpikir bahwa mungkin saja sang Putri telah menyihirnya, dan kotak ini mempunyai jimat-jimat untuk mematahkan sihir itu. Dengan tidak sabar dia membuka kotak tersebut, dan seberkas asap berwarna ungu keluar meninggalkan kotak yang kosong. Dengan terkejut, dia tersadar melihat tangannya yang langsung menjadi tua dan gemetaran. dia menjadi sadar bahwa kotak tersebut berisi jimat yang menahan dirinya dari proses penuaan selama tiga ratus tahun, dan kotak itu telah kehilangan sihirnya. Dengan ketakutan, dia berlari ke tepi aliran air yang mengalir dari atas gunung, dan melihat bayangan dirinya yang terpantul di air itu adalah bayangan seseorang yang sangat tua. Dia kembali ke desa itu dengan ketakutan, dan tak ada satu orangpun yang mengenali dia sebagai anak
muda yang kuat beberapa jam yang lalu. Dengan kelelahan, dia akhirnya mencapai tepi pantai, dimana dia duduk di atas sebuah batu dan memanggil penyu laut yang membawanya ke istana laut. Tetapi panggilannya sia-sia belaka, penyu itu tidak pernah muncul, dan akhirnya suaranya hilang di telan kematian. Sebelum kematiannya, orang-orang se-desa berkumpul di dekatnya dan mendengarkan ceritanya yang sangat aneh. Lama setelah kejadian itu, orang- orang desa menceritakan kepada anak-anaknya tentang seseorang yang sangat mencintai orangtuanya, meninggalkan istana bawah laut dan seorang Putri yang sangat cantik, dan orang itu bernama Urashima Taro.
pantai. Suatu hari seperti biasa Willem dan Irene menunggu kepulangan ayah mereka di pinggir dermaga. Satu persatu nelayan-nelayan yang pulang melaut merapat ke pantai dan disambut keluarga mereka. Pagi sudah beranjak siang namun belum terlihat tanda-tanda kepulangan ayah mereka.
“Pak, apakah bapak melihat ayah kami?” tanya Irene pada salah satu nelayan.
“Oh, kami memang melihat ayah kalian di tengah laut. Tapi sepertinya mereka menuju ke utara, katanya mau menangkap ikan tuna lebih banyak lagi,” jawab si nelayan.
Irene menatap langit di utara, tampak awan mendung bertumpuk, sepertinya akan turun hujan lebat dan badai. Irene sangat khawatir sampai lututnya tak mampu menyangga tubuhnya hingga ia jatuh terduduk.
“Oh ayah…,” isak Irene.
“Jangan khawatir Irene,” hibur Willem. “Mereka pasti baik-baik saja.”
“Tapi mendung begitu tebal,” tangis Irene. “Bagaimana kalau mereka terjebak badai? Kapalnya bisa terbalik dan tenggelam. Oh seandainya aku bisa menolong mereka.”
“Tentu saja kita bisa menolong ayah kita,” kata Willem.
“Benarkah? Bagaimana caranya?” tanya Irene.
“Dengan berdoa,” jawab Willem dengan mantap.
Irene memandang Willem. “Apakah Tuhan akan mendengar doa kita?” tanyanya.
“Ya, aku yakin. Karena Tuhan yang mengendalikan alam. Kita harus berdoa semoga Tuhan mau menghentikan hujan dan membuat laut menjadi tenang,” kata Willem. Mereka lalu berlutut dan berdoa dengan khusyuk. Ajaib tiba-tiba langit menjadi terang dan angin yang tadinya kencang tiba-tiba bertiup lembut. Tidak berapa lama dari tengah laut nampak sebuah perahu yang makin lama makin dekat.
“Semoga itu ayah kita,” seru Irene.
Ternyata itu memang perahu ayah mereka. Kedua anak itu berseru mengucap syukur, mereka pun segera berlari menyongsong ayah mereka. Wah, ternyata ayah mereka selain membawa tangkapan yang banyak, juga berhasil menangkap seekor ikan tuna yang sangaaaaat besar. Belum pernah ada nelayan lain yang pernah menangkap tuna sebesar itu. Pak Hendrik dan Pak Jansen bersyukur bias pulang dengan selamat. Mereka tadinya berpikir akan terjebak badai, syukurlah tiba-tiba saja langit menjadi cerah seperti terkena sihir. Willem dan Irene
saling berpandangan dan tersenyum. Ayah mereka membawa hasil tangkapan mereka ke tempat pelelangan ikan. Pembeli berebut ingin membeli ikan tuna yang besar itu. Akhirnya seorang pemuda yang menawar dengan harga tinggi berhak atas ikan tersebut.
“Aku ingin membuat pesta disini,” kata si pemuda. “Bagaimana kalau aku undang kalian untuk makan ikan ini bersama-sama.”
Semua menyambut gembira ajakan si pemuda.
“Baiklah saya yang akan memasak ikannya,’ kata ibu Irene. Willem dan Irene membawa ikan itu ke dapur untuk dibersihkan. Saat mengeluarkan isi perut ikan, tiba- tiba sebuah benda berkilauan terjatuh. Irene memungut benda tersebut. Ternyata sebuah cincin berlian.
“Waaaah, indah sekali cincin ini!” seru Irene. “Harganya pasti mahal sekali. Oh, aku ingin sekali memilikinya.”
“Jangan Irene,” cegah Willem. “Karena cincin itu berada di perut ikan tuna yang telah dibeli pemuda tadi, maka cincin itu adalah miliknya. Ayo kita serahkan kepadanya” Willem dan Irene menyerahkan cincin itu kepada si pemuda. Pemuda itu kagum akan kejujuran kedua anak tersebut.
“Seandainya mereka tidak menyerahkan cincin itu padaku, akupun tidak akan tahu kalau ada cincin berlian di dalam perut ikan yang kau beli,” batin si pemuda. “Tapi mereka tetap menyerahkannya padaku. Benar-benar anak yang luar biasa.”
Pemuda itu tersenyum pada Willem dan Irene. Dia lalu membuka jubah yang menutup tubuhnya. Ternyata dibaliknya adalah baju kebesaran kerajaan.
Ternyata pula pemuda itu adalah pangeran yang sedang menyamar. “Kalian anak yang jujur,” katanya. “Aku sangat menghargainya. Untuk itu mulai besok aku akan membawa Willem ke istana. Kau kuangkat sebagai pengawal pribadiku. Dan Irene ibuku pasti akan sangat senang bertemu denganmu. Dia sangat ingin punya anak perempuan. Bagaimana kalau kau kuangkat sebagai adikku?”
Sejak saat itu Willem dan Irene menjadi anggota kehormatan kerajaan. Berkat sebuah kejujuran, mereka bisa hidup mulia.
orang lain kecuali muhrimnya lebih sulit dari meniti sehelai rambut”. Rasulullah SAW berkata, “seorang yang mendapat taufiq untuk ber’amal adalah lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, ber’amal dengan ‘amal yang baik itu lebih manis dari madu, dan berbuat ‘amal dengan ikhlas adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut”. Malaikat Jibril AS berkata, “menegakkan pilar-pilar agama itu lebih cantik dari sebuah mangkuk yang cantik, menyerahkan diri; harta; dan waktu untuk usaha agama lebih manis dari madu, dan mempertahankan usaha agama sampai akhir hayat lebih sulit dari meniti sehelai rambut”. Allah SWT berfirman, ” Sorga-Ku itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik itu, nikmat sorga-Ku itu lebih manis dari madu, dan jalan menuju sorga-Ku adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut”
“Hai Miskin! Besok pergilah merakit dan carilah sebuah mata air di sungai Sepunjung!” kata si kakek
yang kemudian menghilang. Pak Miskin terbangun dengan bingung. “Wahai, mimpi apa aku tadi? Kenapa kakek tadi menyuruhku
pergi merakit?” kata pak Miskin dalam hati. Hari masih pagi, ketika pak Miskin akhirnya memutuskan untuk mengikuti pesan si kakek.
“Tidak ada salahnya mencoba. Siapa tahu aku mendapatkan keberuntungan,” pikir pak Miskin. Maka pergilah ia dengan menggunakan perahu satu- satunya. Dia terus mendayung di sepanjang sungai sambil mencari mata air yang dimaksud si kakek dalam mimpinya. Tidak berapa lama dilihatnya riakan air di pinggir sungai pertanda bahwa di bawah sungai itu terdapat mata air.
“Hmmm, mungkin ini mata air yang dimaksud,” pikir pak Miskin. Dia menengok ke kanan dan ke kiri mencari si kakek dalam mimpinya. Namun hingga lelah lehernya, si kakek tidak juga kelihatan. Ketika dia sudah mulai tidak sabar, tiba-tiba muncullah seutas tali di samping perahunya. Tanpa pikir panjang ditariknya tali tersebut. Ternyata di ujung tali itu terikat rantai yang terbuat dari emas. Alangkah senangnya pak Miskin. Cepat-cepat ditariknya rantai itu.
“Oh, ternyata benar, ini adalah hari keberuntunganku. Dengan emas ini aku akan kaya!,” kata pak Miskin dengan gembira. Dia menarik rantai itu dengan sekuat tenaga dan mengumpulkan rantai tersebut di atas perahunya. Tiba-tiba terdengar kicau seekor burung dari atas pohon: “Cepatlah potong tali itu dan kembalilah pulang!” Namun karena terlalu gembira, pak Miskin tidak mengindahkan kicauan burung itu. Dia terus menarik
rantai emas itu hingga perahunya tidak kuat lagi menahan bebannya. Dan benar saja, beberapa saat kemudian perahu itu miring dan kemudian terbalik bersama pak Miskin yang masih memegang rantai emasnya. Rantai emas yang berat itu menarik tubuh pak Miskin hingga terseret ke dalam sungai. Pak Miskin berusaha menarik rantai itu. Namun rantai itu malah melilitnya dan menyeretnya semakin dalam. Pak Miskin yang kehabisan udara, gelagapan di dalam air. Dengan susah payah dia melepaskan diri dan kembali ke permukaan. Dengan nafas tersengal-sengal dilihatnya harta karunnya yang tenggelam ke dalam sungai. Dalam hati dia menyesal atas kebodohannya. Seandainya dia tidak terlalu serakah pasti kini hidupnya sudah berubah. Tapia pa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Dan pak Miskin pun pulang ke rumahnya dengan tangan hampa
Suatu hari, ia sedang duduk di tempat kerjanya sembari menghisap rokok dengan nikmatnya (sesuai kebiasaan masa itu). Tangan kanannya memegang tasbih yang senantiasa berputar setiap waktu di tangannya. Tiba-tiba seekor ular besar menghampirinya dengan tergopoh-gopoh. Rupanya, ular itu sedang mencoba menghindar dari kejaran seorang laki-laki yang (kemudian datang menyusulnya) membawa tongkat. “Kek,” panggil ular itu benar-benar memelas, “kakek kan terkenal suka menolong. Tolonglah saya, selamatkanlah saya agar tidak dibunuh oleh laki-laki yang sedang mengejar saya itu. Ia pasti membunuh saya begitu berhasil menangkap saya. Tentunya, kamu baik sekali jika mau membuka mulut lebar- lebar supaya saya dapat bersembunyi di dalamnya. Demi Allah dan demi ayah kakek, saya mohon, kabulkanlah permintaan saya ini.” “Ulangi sumpahmu sekali lagi,” pinta si kakek. “Takutnya, setelah mulutku kubuka, kamu masuk ke dalamnya dan selamat, budi baikku kamu balas dengan keculasan. Setelah selamat, jangan-jangan kamu malah mencelakai saya.” Ular mengucapkan sumpah atas nama Allah bahwa ia takkan melakukan itu sekali lagi. Usai ular mengucapkan sumpahnya, kakek pun membuka mulutnya sekira-kira dapat untuk ular itu masuk. Sejurus kemudian, datanglah seorang pria dengan tongkat di tangan. Ia menanyakan keberadaan ular yang hendak dibunuhnya itu. Kakek mengaku bahwa ia tak melihat ular yang ditanyakannya dan tak tahu di mana ular itu berada. Tak berhasil menemukan apa yang dicarinya, pria itu pun pergi. Setelah pria itu berada agak jauh, kakek lalu berbicara kepada ular: “Kini, kamu aman. Keluarlah dari mulutku, agar aku dapat pergi sekarang.” Ular itu hanya menyembulkan kepalanya sedikit, lalu berujar: “Hmm, kamu mengira sudah mengenal lingkunganmu dengan baik, bisa membedakan mana
orang jahat dan mana orang baik, mana yang berbahaya bagimu dan mana yang berguna. Padahal, kamu tak tahu apa-apa. Kamu bahkan tak bisa membedakan antara makhluk hidup dan benda mati.” “Buktinya kamu biarkan saja musuhmu masuk ke mulutmu, padahal semua orang tahu bahwa ia ingin membunuhmu setiap ada kesempatan. Sekarang kuberi kamu dua pilihan, terserah kamu memilih yang mana; mau kumakan hatimu atau kumakan jantungmu? Kedua-duanya sama-sama membuatmu sekarat.” Kontan ular itu mengancam. “La haula wa la quwwata illa billahi al`aliyyi al-`azhim [tiada daya dan kekuatan kecuali bersama Allah yang Maha Tinggi dan Agung] (ungkapan geram), bukankah aku telah menyelamatkanmu, tetapi sekarang aku pula yang hendak kamu bunuh? Terserah kepada Allah Yang Esa sajalah. Dia cukup bagiku, sebagai penolong terbaik.” Sejurus kemudian kakek itu tampak terpaku, shok dengan kejadian yang tak pernah ia duga sebelumnya, perbuatan baiknya berbuah penyesalan. Kakek itu akhirnya kembali bersuara, “Sebejat apapun kamu, tentu kamu belum lupa pada sambutanku yang bersahabat. Sebelum kamu benar-benar membunuhku, izinkan aku pergi ke suatu tempat yang lapang. Di sana ada sebatang pohon tempatku biasa berteduh. Aku ingin mati di sana supaya jauh dari keluargaku.” Ular mengabulkan permintaannya. Namun, di dalam hatinya, orang tua itu berharap, “Oh, andai Tuhan mengirim orang pandai yang dapat mengeluarkan ular jahat ini dan menyelamatkanku.” Setelah sampai dan bernaung di bawah pohon yang dituju, ia berujar pada sang ular: “Sekarang, silakan lakukanlah keinginanmu. Laksanakanlah rencanamu. Bunuhlah aku seperti yang kamu inginkan.” Tiba-tiba ia mendengar sebuah suara yang mengalun merdu tertuju padanya:
“Wahai Kakek yang baik budi, penyantun dan pemurah. Wahai orang yang baik rekam jejaknya, ketulusan dan niat hatimu yang suci telah menyebabkan musuhmu dapat masuk ke dalam tubuhmu, sedangkan kamu tak punya cara untuk mengeluarkannya kembali. Cobalah engkau pandang pohon ini. Ambil daunnnya beberapa lembar lalu makan. Moga Allah sentiasa membantumu.” Anjuran itu kemudian ia amalkan dengan baik sehingga ketika keluar dari mulutnya ular itu telah menjadi bangkai. Maka bebas dan selamatlah kakek
itu dari bahaya musuh yang mengancam hidupnya. Kakek itu girang bukan main sehingga berujar, “Suara siapakah yang tadi saya dengar sehingga saya dapat selamat?” Suara itu menyahut bahwa dia adalah seorang penolong bagi setiap pelaku kebajikan dan berhati mulia. Suara itu berujar, “Saya tahu kamu dizalimi, maka atas izin Zat Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri (Allah) saya datang menyelamatkanmu.” Kakek bersujud seketika, tanda syukurnya kepada Tuhan yang telah memberi pertolongan dengan mengirimkan seorang juru penyelamat untuknya.” Di akhir ceritanya, si Saudi berpesan:
“Waspadalah terhadap setiap fitnah dan dengki karena sekecil apapun musuhmu, ia pasti dapat mengganggumu. Orang jahat tidak akan pernah menang karena prilakunya yang jahat.” Kemudian si Saudi memelukku dan memeluk anakku. Pada istriku dia mengucapkan selamat tinggal. Ia berangkat meninggalkan kami. Hanya Allah yang tahu betapa sedihnya kami karena berpisah dengannya. Kami menyadari sepenuhnya perannya dalam menyelamatkan kami dari lumpur kemiskinan sehingga menjadi kaya-raya. Namun, belum beberapa hari dia pergi, aku sudah mulai berubah. Satu persatu nasehatnya kuabaikan. Hikmah-hikmah Sulaiman dan pesan-pesannya mulai kulupakan. Aku mulai menenggelamkan diri dalam lautan maksiat, bersenang-senang dan mabuk-mabukan. Aku menjadi suka menghambur- hamburkan uang. Akibatnya, para tetangga menjadi cemburu. Mereka iri melihat hartaku yang begitu banyak. Mengingat mereka tidak tahu sumber pendapatanku, mereka lalu mengadukanku kepada kepala kampung. Kepala kampung memanggilku dan menanyakan dari mana asal kekayaanku. Dia juga memintaku untuk membayarkan uang dalam jumlah yang cukup besar sebagai pajak, tetapi aku menolak. Ia memaksaku untuk mematuhi perintahnya seraya menebar ancaman. Setelah membayar begitu banyak sehingga yang tersisa dari hartaku tak seberapa, suatu kali bayaranku berkurang dari biasanya. Dia pun marah dan menyuruh orang untuk mencambukku. Kemudian ia menjebloskan aku ke penjara. Sudah tiga tahun lamanya saya mendekam di penjara ini, merasakan berbagai aneka penyiksaan. Tak sedetikpun saya lewatkan kecuali saya meminta kepada Zat yang menghamparkan bumi ini dan menjadikan langit begitu tinggi agar segera melepaskan saya dari penjara yang gelap ini dan memulangkan saya pada isteri dan anak-anak saya. Namun, tentu saja, saya takkan dapat keluar tanpa budi baik dari Baginda Rasyid, Baginda yang agung dan menghukum dengan penuh pertimbangan. Khalifah menjadi terkejut dan sedih mendengar ceritanya. Khalifah pun memerintahkan agar ia dibebaskan dan dibekali sedikit uang pengganti dari kerugian yang telah ia derita dan kehinaan yang dialaminya. Ia pun memanjatkan doa dengan khusyu kepada Allah, satu-satunya Dzat yang disembah, agar Khalifah Amirul Mukminin senantiasa bermarwah dan berbahagia, selama matahari masih terbit dan selama burung masih berkicau. Para napi di penjara Baghdad semakin banyak mendoakan agar Khalifah berumur panjang setelah Khalifah meninggalkan harta yang cukup banyak buat mereka. Khalifah lalu kembali ke istananya yang terletak di pinggir sungai Tigris. Di istana telah menunggu siti Zubaidah. Khalifah lalu menceritakan apa yang sudah dilakukannya, Zubaidah pun senang mendengarnya. Ia mengucapkan terima kasih dan memuji Khalifah karena telah berbuat baik. Zubaidah
juga mendoakan agar Khalifah panjang umur.
akan berakar, semakin banyak dan semakin kuat. Walau tidak tampak kehidupan
di atas permukaannya, tetapi dibawah, akarnya terus menjalar. Setelah dirasa cukup barulah tunas nya akan muncul perlahan. Pohon ara itu akan tumbuh semakin besar dan kuat hingga akhirnya akan sanggup menggulingkan batu yang menindihnya. Demikianlah pohon ara itu hidup. Dan hampir di setiap pohon ara
akan kau temui, sebuah batu, seolah menjadi peringatan bahwa batu yang pernah menindih benih pohon ara itu tidak akan membinasakannya. Selanjutnya benih itu menjadi pohon besar yang mampu menaungi segala mahluk yang berlindung dari terik matahari yang membakar.” “Apakah itu semua tentang kehidupan ini Bapa ?”, tanya anaknya. Sang Saudagar menatap anaknya lekat-lekat sambil tersenyum, kemudian meneruskan penjelasannya. “Benar anak ku. Jika suatu saat engkau di dalam masa-masa hidupmu, merasakan terhimpit suatu beban yang sangat berat ingatlah pelajaran tentang batu dan pohon ara itu. Segala kesulitan yang menindihmu, sebenarnya merupakan sebuah kesempatan bagi mu untuk berakar, semakin kuat, bertumbuh dan akhirnya tampil sebagai pemenang. Camkanlah, belum ada hingga saat ini benih pohon ara yang tertindih mati oleh bebatuan itu. Jadi jika benih pohon ara yang demikian kecil saja diberikan kekuatan oleh Sang Khalik untuk dapat menyingkirkan batu diatasnya, bagaimana dengan kita ini. Dzat Yang Maha Perkasa itu bahkan sudah menanamkan keilahian-Nya pada diri-diri kita. Dan menjadikan kita, manusia ini jauh melebihi segala mahluk dimuka bumi ini. Perhatikanlah kata-kata ini anak ku. Pahatkan pada loh-loh batu hatimu, sehingga engkau menjadi bijak dan tidak dipermainkan oleh hidup ini. Karena memang kita ditakdirkan menjadi tuan atas hidup kita.
Suatu hari, ia sedang duduk di tempat kerjanya sembari menghisap rokok dengan nikmatnya (sesuai kebiasaan masa itu). Tangan kanannya memegang tasbih yang senantiasa berputar setiap waktu di tangannya. Tiba-tiba seekor ular besar menghampirinya dengan tergopoh-gopoh. Rupanya, ular itu sedang mencoba menghindar dari kejaran seorang laki-laki yang (kemudian datang menyusulnya) membawa tongkat. “Kek,” panggil ular itu benar-benar memelas, “kakek kan terkenal suka menolong. Tolonglah saya, selamatkanlah saya agar tidak dibunuh oleh laki-laki yang sedang mengejar saya itu. Ia pasti membunuh saya begitu berhasil menangkap saya. Tentunya, kamu baik sekali jika mau membuka mulut lebar- lebar supaya saya dapat bersembunyi di dalamnya. Demi Allah dan demi ayah kakek, saya mohon, kabulkanlah permintaan saya ini.” “Ulangi sumpahmu sekali lagi,” pinta si kakek. “Takutnya, setelah mulutku kubuka, kamu masuk ke dalamnya dan selamat, budi baikku kamu balas dengan keculasan. Setelah selamat, jangan-jangan kamu malah mencelakai saya.” Ular mengucapkan sumpah atas nama Allah bahwa ia takkan melakukan itu sekali lagi. Usai ular mengucapkan sumpahnya, kakek pun membuka mulutnya sekira-kira dapat untuk ular itu masuk. Sejurus kemudian, datanglah seorang pria dengan tongkat di tangan. Ia menanyakan keberadaan ular yang hendak dibunuhnya itu. Kakek mengaku bahwa ia tak melihat ular yang ditanyakannya dan tak tahu di mana ular itu berada. Tak berhasil menemukan apa yang dicarinya, pria itu pun pergi. Setelah pria itu berada agak jauh, kakek lalu berbicara kepada ular: “Kini, kamu aman. Keluarlah dari mulutku, agar aku dapat pergi sekarang.” Ular itu hanya menyembulkan kepalanya sedikit, lalu berujar: “Hmm, kamu mengira sudah mengenal lingkunganmu dengan baik, bisa membedakan mana
orang jahat dan mana orang baik, mana yang berbahaya bagimu dan mana yang berguna. Padahal, kamu tak tahu apa-apa. Kamu bahkan tak bisa membedakan antara makhluk hidup dan benda mati.” “Buktinya kamu biarkan saja musuhmu masuk ke mulutmu, padahal semua orang tahu bahwa ia ingin membunuhmu setiap ada kesempatan. Sekarang kuberi kamu dua pilihan, terserah kamu memilih yang mana; mau kumakan hatimu atau kumakan jantungmu? Kedua-duanya sama-sama membuatmu sekarat.” Kontan ular itu mengancam. “La haula wa la quwwata illa billahi al`aliyyi al-`azhim [tiada daya dan kekuatan kecuali bersama Allah yang Maha Tinggi dan Agung] (ungkapan geram), bukankah aku telah menyelamatkanmu, tetapi sekarang aku pula yang hendak kamu bunuh? Terserah kepada Allah Yang Esa sajalah. Dia cukup bagiku, sebagai penolong terbaik.” Sejurus kemudian kakek itu tampak terpaku, shok dengan kejadian yang tak pernah ia duga sebelumnya, perbuatan baiknya berbuah penyesalan. Kakek itu akhirnya kembali bersuara, “Sebejat apapun kamu, tentu kamu belum lupa pada sambutanku yang bersahabat. Sebelum kamu benar-benar membunuhku, izinkan aku pergi ke suatu tempat yang lapang. Di sana ada sebatang pohon tempatku biasa berteduh. Aku ingin mati di sana supaya jauh dari keluargaku.” Ular mengabulkan permintaannya. Namun, di dalam hatinya, orang tua itu berharap, “Oh, andai Tuhan mengirim orang pandai yang dapat mengeluarkan ular jahat ini dan menyelamatkanku.” Setelah sampai dan bernaung di bawah pohon yang dituju, ia berujar pada sang ular: “Sekarang, silakan lakukanlah keinginanmu. Laksanakanlah rencanamu. Bunuhlah aku seperti yang kamu inginkan.” Tiba-tiba ia mendengar sebuah suara yang mengalun merdu tertuju padanya:
“Wahai Kakek yang baik budi, penyantun dan pemurah. Wahai orang yang baik rekam jejaknya, ketulusan dan niat hatimu yang suci telah menyebabkan musuhmu dapat masuk ke dalam tubuhmu, sedangkan kamu tak punya cara untuk mengeluarkannya kembali. Cobalah engkau pandang pohon ini. Ambil daunnnya beberapa lembar lalu makan. Moga Allah sentiasa membantumu.” Anjuran itu kemudian ia amalkan dengan baik sehingga ketika keluar dari mulutnya ular itu telah menjadi bangkai. Maka bebas dan selamatlah kakek
itu dari bahaya musuh yang mengancam hidupnya. Kakek itu girang bukan main sehingga berujar, “Suara siapakah yang tadi saya dengar sehingga saya dapat selamat?” Suara itu menyahut bahwa dia adalah seorang penolong bagi setiap pelaku kebajikan dan berhati mulia. Suara itu berujar, “Saya tahu kamu dizalimi, maka atas izin Zat Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri (Allah) saya datang menyelamatkanmu.” Kakek bersujud seketika, tanda syukurnya kepada Tuhan yang telah memberi pertolongan dengan mengirimkan seorang juru penyelamat untuknya.” Di akhir ceritanya, si Saudi berpesan:
“Waspadalah terhadap setiap fitnah dan dengki karena sekecil apapun musuhmu, ia pasti dapat mengganggumu. Orang jahat tidak akan pernah menang karena prilakunya yang jahat.” Kemudian si Saudi memelukku dan memeluk anakku. Pada istriku dia mengucapkan selamat tinggal. Ia berangkat meninggalkan kami. Hanya Allah yang tahu betapa sedihnya kami karena berpisah dengannya. Kami menyadari sepenuhnya perannya dalam menyelamatkan kami dari lumpur kemiskinan sehingga menjadi kaya-raya. Namun, belum beberapa hari dia pergi, aku sudah mulai berubah. Satu persatu nasehatnya kuabaikan. Hikmah-hikmah Sulaiman dan pesan-pesannya mulai kulupakan. Aku mulai menenggelamkan diri dalam lautan maksiat, bersenang-senang dan mabuk-mabukan. Aku menjadi suka menghambur- hamburkan uang. Akibatnya, para tetangga menjadi cemburu. Mereka iri melihat hartaku yang begitu banyak. Mengingat mereka tidak tahu sumber pendapatanku, mereka lalu mengadukanku kepada kepala kampung. Kepala kampung memanggilku dan menanyakan dari mana asal kekayaanku. Dia juga memintaku untuk membayarkan uang dalam jumlah yang cukup besar sebagai pajak, tetapi aku menolak. Ia memaksaku untuk mematuhi perintahnya seraya menebar ancaman. Setelah membayar begitu banyak sehingga yang tersisa dari hartaku tak seberapa, suatu kali bayaranku berkurang dari biasanya. Dia pun marah dan menyuruh orang untuk mencambukku. Kemudian ia menjebloskan aku ke penjara. Sudah tiga tahun lamanya saya mendekam di penjara ini, merasakan berbagai aneka penyiksaan. Tak sedetikpun saya lewatkan kecuali saya meminta kepada Zat yang menghamparkan bumi ini dan menjadikan langit begitu tinggi agar segera melepaskan saya dari penjara yang gelap ini dan memulangkan saya pada isteri dan anak-anak saya. Namun, tentu saja, saya takkan dapat keluar tanpa budi baik dari Baginda Rasyid, Baginda yang agung dan menghukum dengan penuh pertimbangan. Khalifah menjadi terkejut dan sedih mendengar ceritanya. Khalifah pun memerintahkan agar ia dibebaskan dan dibekali sedikit uang pengganti dari kerugian yang telah ia derita dan kehinaan yang dialaminya. Ia pun memanjatkan doa dengan khusyu kepada Allah, satu-satunya Dzat yang disembah, agar Khalifah Amirul Mukminin senantiasa bermarwah dan berbahagia, selama matahari masih terbit dan selama burung masih berkicau. Para napi di penjara Baghdad semakin banyak mendoakan agar Khalifah berumur panjang setelah Khalifah meninggalkan harta yang cukup banyak buat mereka. Khalifah lalu kembali ke istananya yang terletak di pinggir sungai Tigris. Di istana telah menunggu siti Zubaidah. Khalifah lalu menceritakan apa yang sudah dilakukannya, Zubaidah pun senang mendengarnya. Ia mengucapkan terima kasih dan memuji Khalifah karena telah berbuat baik. Zubaidah
juga mendoakan agar Khalifah panjang umur.