It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
baru beranjak dewasa. Namanya Edo. Dia sangat
tinggi, jangkung, bahkan di antara teman-temannya,
Edo lah yang paling tinggi. Karena lehernya yang
paling panjang itu membuatnya menjadi anak yang
sombong. Sering dia mengajak teman-teman jerapahnya untuk lomba makan daun-daun di pohon
yang dahannya sangat tinggi. Dan sudah dapat
ditebak, Edo lah si pemenang perlombaan itu.
Berkali-kali dia memenangkan perlombaan makan
daun dari puncak pohon, membuat Edo semakin
besar kepala saja. Dia merasa anak yang paling hebat di kawasan padang rumput itu. Sampai –
sampai dia tidak menghormati para sesepuh
jerapahnya. Dia sering mengejek para jerapah-
jerapah tua itu dengan sebutan “leher bengkok”,
karena memang mereka sudah beranjak tua.
Sedangkan si Edo masih muda, secara fisik dia masih kuat, leher masih tegak, jenjang dan tinggi. Pernah satu hari Edo dimintai tolong oleh seorang
sesepuh jerapahnya; “Nak, tolong ambilkan nenek
daun yang segar di ranting ujung pohon itu yaa..
nenek ingiiiiiiiiiin sekali makan daun-daun yang
masih muda, hijau, lunak dan segar itu, tapi nenek
tidak bisa menjangkau sampai ke ujung pohon itu, Tolong ya, nak Edo..” Lalu dengan sombongnya Edo
menjawab nenek jerapah itu, “Aduh, nenek jerapah
bagaimana sih, sudah tua jangan bawel deh, udah
lah makan daun yang bisa nenek jerapah jangkau
sendiri saja lah!!! Salah sendiri nggak bisa ambil
daun di pucuk pohon!!”. Lalu nenek jerapah itu pun pergi dengan kecewa, melihat kelakuan Edo, si
jerapah jangkung yang sombong. Tidak hanya nenek jerapah itu saja yang ditolak
permintaan tolongnya. Pernah juga ada seekor anak
burung yang terjatuh, saat si burung kecil itu sedang
belajar terbang. Burung kecil itu tersangkut di dahan
pohon paling ujung. Edo pun dengan sombong
menolak permintaan teman-temannya untuk menolong si burung kecil itu. Jawaban Edo pada
saat itu, “Ahhh.. dasar anak burung bodoh, punya
sayap kok nggak bisa terbang, malah jatuh. Siapa
suruh terbang kalau ngga bisa terbang.” Lalu Edo
meninggalkan begitu saja, dan akhirnya teman-
teman Edo yang berusaha menolong burung kecil itu. Sampai pada suatu hari, si Edo saat berjalan- jalan
sendiri di padang rumput, dia sedang asik
melenggang bak anak yang sombong. Lehernya
tegak lurus ke atas, dengan kepala terangkat. Lalu
berhenti di suatu gundukan. Edo tidak sadar, bahwa
yang dia injak gundukan itu adalah seekor kura- kura. Seekor kakek kura-kura yang sudah berumur
setengah abad. Lalu, si kakek kura-kura berusaha
keras mengangkat tubuhnya dan berjalan maju
selangkah, bermaksud agar Edo merasa jika di
bawah kakinya berdiri menginjak seekor kura-kura.
Lalu Edo sedikit tersandung. “Aduhhh!!”. Edo malah tidak bereaksi untuk minta maaf bahwa dia telah
menginjak tempurung kakek kura-kura itu.
Sebaliknya, dia malah marah-marah. “Dasar kura-
kura peyot, aku jadi mau terjatuh nih.” Tidak puas
dengan cukup berkata-kata, Edo pun langsung
menendang tempurung kakek kura-kura, yang akhirnya kakek kura-kura terlempar beberapa
jengkal. Lalu kakek kura-kura hanya ringan menasihati Edo,
“Anak muda, janganlah kamu sombong. Kamu
masih muda, tubuhmu masih kuat, sebaiknya
sayangilah sesama makhluk hidup ciptaanNya.
Suatu hari nanti, kamu juga akan menjadi tua, pasti
akan banyak yang lebih hebat dan kuat darimu.” Lalu Edo cuek begitu saja sambil tidak
memperdulikan nasihat kakek kura-kura. Tidak lama
kemudian, awan mendung datang. Mendung yang
begitu tebal, langit yang sebelumnya biru cerah
menjadi abu-abu kelabu. Di padang rumput itu masih
tertinggal Edo dan si kakek kura-kura yang berjalan sangat lambat menuju ke tepi di bawah pepohonan.
Seakan masih ingin memperlihatkan kesombongan
dan kekuatannya, Edo malah tidak bergegas pergi
meninggalkan padang rumput yang hendak diguyur
hujan. Dia hanya ingin menunjukkan kehebatannya
ke kakek kura-kura, bahwa dia tinggi gagah di tengah padang rumput yang luas, dengan
melenggang santai dan sombong, sambil dirinya
membandingkan si kura-kura yang pendek dan
lambat berjalan. Lalu hujan sangat deras seketika itu datang
mengguyur. Dan tiba-tiba petir yang sangat hebat
menyambar, “DUARRRRRRRRRRR.” Akhirnya, Edo
si jerapah jangkung itu ambruk, terjatuh ke tanah.
Saat itu, kepala kakek kura-kura aman di dalam
tempurungnya, tidak kehujanan dan juga terhindar dari petir yang dahsyat menyambar padang rumput.
Tidak diam begitu saja, si kakek kura-kura dengan
langkah pelan tapi pasti, dia mendekati ke Edo, dan
memberikan perhatiannya. “Kamu tidak apa-apa,
anak muda? Bangunlah, kenapa malah terdiam
bengong tetap bersungkur di tanah?”. Lalu Edo menjawab, “kakek kura-kura,…aku takutttt..
huwaaaaaaaaaaaa…” sambil merengek bak anak
kecil yang lemah. “Maafkan aku ya, kakek kura-
kura, sudah menginjak tubuhmu dengan
sombongnya. Walaupun kakek kura-kura sudah tua,
tapi tetap kuat, tempurungmu mampu menopang berat badanku ini. Maafkan aku kakek kura-kura,
karena sudah menendangmu, sampai terlempar
beberapa langkah. Aku berjanji tidak akan menjadi
anak yang sombong lagi, menolong sesama
makhluk ciptaanNya.” Dan sejak saat itu, si Edo tidak lagi menjadi jerapah
yang sombong, namun berubah menjadi si jerapah
yang baik hati dan suka menolong teman-temannya.
Tiba-tiba, ia menundukkan kepalanya dan langsung menatap ke depan roknya dekat sekali. Sontak sang perempuan marah. “Kurang ajar!! Kamu apa-apaan hah?”
“Kamu juga apa-apaan, pake rok pendek di angkot
seperti ini.”
“Ini kan hak saya.”
“Ini juga hak saya. Saya punya mata, hak saya utk
melihatmu seperti itu.” “Saya kan tidak menganggu orang!”
“Kata siapa? Semua penumpang disini semua
terganggu dengan penampilanmu termasuk saya.”
“Iya tapi kamu telah kurang ajar!!”
“Hey, siapa yang sebenarnya kurang ajar telah
mengganggu kenyamanan umum. Kamu dengan pakaianmu atau saya?”
“Kita turun, jangan ribut disini.” kata perempuan itu.
“Oh ayo, dengan senang hati.” Dipinggir jalan, mereka terus ribut. Penumpang di
angkot pada melongo. Mereka berdecak, ada laki-
laki nekat seperti itu. Lelaki itu mendominasi
pembicaraan. Rupanya ia yakin betul dengan
tindakannya tadi dan punya misi. Nasihatnya keluar tentang aurat, tentang resiko kejahatan, tentang pelecehan seksual, berkah rizki, tentang kerja yang baik, dst … dst.
Karena penjelasannya masuk akal, lama kelamaan, si perempuan itu melemah dan takluk. Tapi lelaki nekad itu diminta menemui suaminya. “Siap, dengan senang hati,” katanya. Ini kesempatan untuk menyadarkan suaminya, pikirnya. Akhirnya janjian dan bertandanglah ke rumahnya. Terjadilah obrolan. Karena lelaki itu niatnya tulus untuk meluruskan dan memiliki kekuatan kata-kata, nasehatnya sangat
masuk akal, suami istri itu akhirnya sadar juga.
Suaminya malah sangat mengucapkan terima kasih. Selama ini ia mengakui tidak mendidik istrinya dengan agama, tidak bisa menasehatkan pesan- pesan agama pada istrinya. Untung laki-laki nekad itu bukan orang jahat, Mereka saling tukar nomor hape. Hubungan komunikasi dan nasehat terus berjalan. Lelaki itu akhirnya jadi penasehat mereka berdua. Seminggu kemudian, perempuan itu dan sudah tidak memakai rok pendek lagi. Beberapa bulan kemudian ia sudah berkerudung. Pasangan itu merasakan berkah bertemu dengan laki-laki aneh itu.
Ketika saya tanya pada laki-laki itu, mengapa caranya harus seperti itu, ia menjawab pendek, “Setiap kasus berbeda cara menghadapinya. Kadang-kadang ada yang caranya harus seperti itu, ada yang tidak, tergantung orangnya dan situasinya. Semuanya, ada cara-caranya masing-masing. Kalau saat itu di angkot saya menasehatinya atau menegurnya gak akan masuk, gak akan ngaruh.” Saya tanya lagi, bagaimana membedakannya? “Wadduh … susah menjelaskannya. Gimana ya, ketika itu hati saya saja mengatakan caranya harus begitu, ternyata ada hasilnya hehe …” Waah … ini bukan ilmu sembarangan, pikir saya. Laki-laki yang saya kisahkan ini adalah sahabat saya.
menghabiskan sarapan paginya penuh semangat.
Hari itu adalah peringatan Fathers Day (Hari Ayah),
dimana di sekolahnya semua siswa harus berbicara
tentang ayah. Ibunya kelihatan kuatir karena tahu
apa yang akan dihadapi putrinya nanti. Ia berbisik agar si kecil yang ceria tak usah masuk sekolah
saja hari ini, tetapi si anak berkuncir dua itu hanya
tertawa dan berkata ini ”ini kesempatan memberitahu teman-temanku siapa sebenarnya
ayahku, Ibu”. Mereka tiba di ruang pertemuan sekolah. Ruangan
itu ramai dengan para ayah yang menemani putra-
putri mereka, malah beberapa dari ibu mereka juga
ikut mendampingi. Hanya si gadis kecil yang duduk
bersama ibunya. Ibunya menunduk
menyembunyikan kegalauan sementara si putri sibuk menyapa teman-temannya dengan riang. Satu persatu anak-anak maju ke depan, bercerita
tentang ayah mereka. Si gadis kecil memperhatikan
dengan seksama membuat si ibu semakin gundah.
Tangannya yang gemetar tak mampu mengusir
kekuatiran menunggu giliran si gadis kecil. Akhirnya tibalah giliran si gadis kecil. Saat ia berdiri,
sang ibu sempat ragu namun si gadis kecil meraih
tangannya dan mengajaknya ke depan. Mereka
berjalan di tengah pandangan sinis orang-orang yang
berbisik “ayah macam apa yang tak bisa menemani putrinya di hari sepenting ini.” Si ibu duduk di mana seorang ayah seharusnya duduk menemani si gadis
kecil dan di depannya si gadis kecil memulai
kisahnya tentang ayah. “Ayah yang kukenal bukanlah ayah yang
menemaniku bermain bola, bukan ayah yang bisa
menciumku setiap saat dia inginkan, bukan ayah
yang bisa kusambut ketika ia pulang kerja, juga
bukan ayah yang bisa membelaku saat aku
diganggu anak yang nakal, dia juga bukan ayah yang bisa menemaniku saat aku sedang sakit,
bahkan ayah tak pernah mengucapkan selamat
ulang tahun untukku walaupun sekali saja. Tetapi
bukan karena ayahku jahat atau terlalu
mementingkan pekerjaannya, ayahku mungkin
terlalu baik hingga Tuhan ingin ayah bersamaNya. Aku tak membenci Tuhan karena aku tahu Tuhan
sangat sayang padaku dan Ayah, Tuhan pasti
punya rencana lain untuk kami hingga ia
memisahkan aku dan ayah.” Gadis kecil terdiam dan memandang
kesekelilingnya, menatap wajah-wajah di
hadapannya, “Ayah memang tak pernah ada di sisiku, tapi ia menemaniku setiap saat. Setiap kali
aku bersedih, aku hanya tinggal menutup mataku
sejenak dan memanggil namanya. Ia akan datang
meskipun cuma aku yang tahu karena hatiku
merasakannya. Ketika aku rindu menatap wajahnya,
foto ayah akan menemaniku dalam tidur. Ayah memang tak bisa mengajariku bermain ataupun
belajar, tapi ia mengajariku menjadi anak yang
mandiri karena aku tak punya ayah yang
membantuku, aku belajar menjadi anak yang berani
karena tak ada ayah yang membelaku, aku belajar
menjadi anak berprestasi karena aku ingin ayahku bangga di surga sana, aku ingin berhasil menjadi
dokter karena aku ingin ibu punya alasan untuk
melanjutkan hidupnya.” Lalu ia diam sejenak, menutup mata dan berbisik, “aku beruntung karena ada ibu yang menemaniku,
yang membantuku mengenal ayah sejak aku bayi
dan aku tahu ayah ada di sini, melihatku dengan
senang karena aku sudah memperkenalkannya
pada semua agar semua orang tahu betapa
berartinya ayah bagiku. Suatu hari nanti jika aku bisa bertemu dengannya di surga, aku akan berkata
bahwa aku sangat mennyayanginya dan selalu
bangga menjadi anaknya.”
besar yang di bawahnya hidup koloni semut hitam.
Ratusan semut dengan ratunya. Mereka hidup
sangat rukun. Kemanapun mereka pergi, selalu
berbaris rapi bak barisan tentara. Anty, si ratu semut itu. Dia sangat tegas memimpin
anak buahnya, memberi perintah kepada koloninya.
Kegiatan mereka setiap harinya hanya bekerja
dengan giat mencari makan dan membangun rumah
sarang mereka. Anty memerintahkan anak buahnya
untuk menggali tanah di bawah bebatuan untuk berteduh di musim panas dan bersembunyi di
musim hujan. Anty sangat adil terhadap anak buahnya, terutama
tentang makanan. Suatu hari mereka bergotong
royong mengangkut sisa-sisa pecahan buah
mangga harum manis yang jatuh ke tanah karena
busuk sudah terlalu matang tidak dipetik oleh
manusia si pemilik pohon mangga itu. Mungkin mangga yang terjatuh itu letaknya terlalu tinggi dan
tidak nampak, sehingga menjadi busuk dan jatuh
begitu saja ke tanah. Koloni semut Anty
mengangkut remahan mangga itu, untuk dibawa ke
dalam sarang mereka di bawah batu besar.
Makanan yang terkumpul di sarang tidak untuk dimakan sendiri oleh Anty, namun juga untuk dibagi
sama rata, untuk makan malam mereka. Begitupun saat teman-teman Anty berjalan
berpapasan, setiap berpapasan mereka berhenti
sejenak untuk bertegur sapa dan bertukar informasi
ke teman yang lain. “Di sana masih ada
makanannya, di dekat gundukan tanah.” Anty tidak pernah mengajarkan kepada koloninya
untuk saling berebut makanan, saling menyakiti,
apalagi untuk saling membunuh. Semua makanan
dibagi sama rata. Oleh karenanya semua anak
buahnya berukuran sama kecilnya. Kecuali dirinya,
takdir sejak lahir lah yang menjadikannya sebagai ratu semut. Karena Anty berbeda dengan teman-
temannya, dia memiliki kepala, karapas dan antena
yang lebih besar daripada teman-temannya. Karena ukuran kepalanya yang lebih besar dari
teman-temannya, Anty memiliki penciuman yang
lebih tajam daripada teman-temannya. Setiap Anty
mencium ada bau makanan, dia segera
menyiagakan pasukan koloninya berbaris,
bergotong-royong menuju makanan itu untuk kemudian diangkut ke dalam sarangnya. “Teman-
teman, di dekat pintu teras rumah ada potongan-
potongan kue sisa dari anak-anak yang bermain tadi
siang. Ayo semangat. Kita angkut kue itu untuk
makan malam nanti!” Begitu Anty berinstruksi,
dengan sigap teman-temannya berbaris mengangkut bersama-sama potongan kue itu. Karena mempunyai antena lebih panjang dari teman-
temannya, Anty lebih peka terhadap suara-suara.
Pada suatu hari ada suara mesin pemotong rumput
yang akan bekerja memotong rumput di kebun
belakang dekat pohon mangga rindang itu. Suaranya
bergemuruh “Bbrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrhhh…” Dengan cepat, Anty mengomando teman-temannya untuk
pergi dari sarang itu sementara, sampai keadaan
aman. “Teman-teman, ada mesin pemangkas
rumput datang, ayo kita pindah sekarang. Kita cari
tempat yang lebih aman dan nyaman. Kita cari
bebatuan di tempat lain yang sama rindangnya. Agar kita tidak kepanasan dan tidak kedinginan
karena hujan. Ayo jalan yang teratur dan percepat
langkah kalian, agar kita semua tidak ada yang
cidera terkena mesin itu.” Begitulah semut kecil, kehidupannya rukun, adil dan
damai. Walaupun sederhana, hidup mereka bahagia
dalam kebersamaan dan gotong-royong.
makanan ternak yang tidak begitu laku. Makin hari
makin sedikit orang-orang yang membeli makanan
ternak. Dalam keputusasaanya, pria tersebut mendapat ide gila yaitu menginvestasikan 50 dolar (uang yang cukup banyak pada zaman itu) untuk membeli 1000 ekor anak ayam.
Para tetangganya langsung mengejek dan
menganggap pria itu gila. Jual makanan ayam saja
tidak bisa, apalagi jual anak ayam. Mereka lebih
heran lagi ketika tahu bahwa pria ini tidak menjual
anak ayam tersebut. Namun sebaliknya, ia
memberikan anak-anak ayam tersebut secara GRATIS kepada pembeli makanan ternaknya. Benar-benar Gila! mereka berpikir, tokonya mau bangkrut, malah beli banyak anak ayam, lalu membagi-bagikan anak ayam tersebut secara gratis. Mana ada pebisnis waras yang melakukan hal seperti itu?
Nyatanya, setelah ada program gratis anak ayam tersebut, mulai banyak orang membeli ditokonya. Semakin hari ternyata tokonya semakin laris saja.
Setelah diselidiki ternyata pembeli yang menerima
anak ayam gratis itu kembali lagi. mengapa bisa
demikian? Tentu saja mereka beli makanan ayam
untuk anak ayam gratisan itu. Jangan pernah takut untuk memberi karena memberi adalah langkah pertama untuk kita menerima. Sayangnya banyak orang selalu berpikir yang sebaliknya yaitu ingin menerima dulu, baru berpikir untuk memberi. Ini yang membuat kita tidak mengalami terobosan apa-apa dalam hidup ini.
kedua dari empat bersaudara ini mengidap dua
macam gangguan kejiwaan –skizofrenia dan gangguan bipolar- sekaligus. Hana sering merasakan seperti mendengar suara bergemuruh
serta melihat bayangan hitam yang mengintai
dirinya dan membuat hidupnya dibayangi oleh rasa
takut. Ia juga sering tiba-tiba merasa dirinya sangat
bahagia dan sangat sedih tanpa sebab, tak kenal
waktu dan tempat, karena hal itu bisa terjadi kapan dan dimana saja.
Saat duduk di bangku SD, Hana mulai merasakan ada sosok bayangan hitam yang selalu
menghantuinya, seperti ingin menyakiti dirinya dan
membuat ia sering mengalami mimpi buruk.
Walaupun hanya bayangan, namun semua itu terasa sangat nyata untuknya. Gangguan yang dialami oleh Hana memuncak saat ia duduk di bangku SMP. Bayangan hitam yang menghantuinya semakin sering muncul sehingga membuat ia merasa sangat takut dan sering berteriak histeris. Bahkan, ia pernah mencoba mengakhiri hidupnya dan meminta ibunya untuk membunuhnya karena sudah tak tahan lagi menghadapi gangguan-gangguan yang ia alami. Sering berteriak dan menangis histeris serta
mengunci diri di dalam kamar saat ketakutan
membuat orangtua hana berpikir bahwa ia
kesurupan sehingga orangtuanya membawanya
untuk dirukiyah. Namun, rukiyah itu tak
membuatnya merasa lebih baik karena bayangan dan suara itu tetap menghantuinya. Perilakunya yang tak wajar dan dianggap seperti
orang gila membuat hubungan hana dan
orangtuanya retak. Hana sering pergi dari rumah dan menggelandang sampai hampir 2 minggu lamanya. Pergi dari rumah, tak ada tujuan dan tak
mengantongi uang sepeserpun. Menumpang tidur di masjid sampai waktu subuh datang dan seseorang membangunkannya karena masjid itu akan digunakan untuk salat berjamaah. Lalu, ia pindah ke pos satpam untuk melanjutkan tidurnya. Rasa lapar yang menyerang mengharuskan hana mencari uang dengan mengamen karena saat itu ia tak memegang uang sepeserpun.
Kini, Hana memilih untuk tinggal sendiri di sebuah
apartemen di daerah kalibata. Hobinya melukis
digunakan untuk menuangkan gambar-gambar
fantasi yang ada di pikirannya ke atas sebuah
kertas atau kanvas. Saat SMA, Hana bertemu dan
berkenalan dengan teman-teman yang pintar mendesain yang kemudian mengajarkannya untuk
mengoperasikan software desain di komputer. Dari situ Hana mulai menuangkan fantasinya menjadi
sebuah desain yang layak dijual. Hana mencetak
beberapa desainnya pada mug, kaos, dan kartu pos. Ia juga membuat booklet dari desain-desain yang ia buat. Bahkan, desain yang Hana buat pernah dibeli oleh perusahaan korek api untuk digunakan sebagai cover produknya. Saat ini Hana semakin aktif berkarya. Ia merasa menemukan ketenangannya saat menggambar.
Menggambar bagaikan terapi untuknya. Karya-karya yang ia buat terasa semakin jujur dan Hana mulai terbuka dengan keadaan jiwanya. Saat ini Hana sedang menulis sebuah buku psycho-memoar tentang perjuangannya menghadapi penyakit yang ia derita. Keadaan Hana saat ini sudah lebih baik. ia sudah bisa mengenali tanda-tanda jika akan relaps. Hubungan dengan orangtuanya pun sudah lebih baik.
Untuk saling menguatkan sesama penderita skizofrenia, Hana menjadi anggota KPSI (Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia) dan PJS
(Perhimpunan Jiwa Sehat) yang rajin
mensosialisasikan penyakit kejiawaan ini ke
masyarakat luas agar tidak lagi terjadi diskriminasi
kepada para penderitanya. ”Ya, aku memang sakit jiwa, tapi tidak berarti aku gila!”, ujar Hana. Gadis ini berharap untuk kedepannya agar semua orang bisa lebih menghargai sesama. Jangan pernah menganggap remeh kondisi orang lain yang dianggap tidak normal karena tidak mudah untuk melaluinya. Ia juga berharap untuk pengidap skizofrenia agar tidak terlalu berharap pada orang lain untuk mengerti keadaan kita karena mereka tidak merasakan apa yang kita rasakan. Tetapi justru kita harus berdamai dengan diri sendiri terlebih dahulu dan menerima kekurangan yang ada pada diri agar pengobatanyang kita jalani terasa maksimal.
yang memberikanku sebuah pengajaran tentangnya.
Ini bukanlah sebuah kisah cinta hebat dan
mengagumkan seperti dalam novel-novel romantis,
tetapi tetap bagiku ia adalah kisah yang jauh lebih
mengagumkan dari semua novela tersebut. Ini adalah kisah cinta ayahku, Mohammed Huda
Alhabsyi dan ibuku, Yasmine Ghauri. Mereka
bertemu di sebuah resepsi pernikahan dan kata
ayahku dia jatuh cinta pada pandangan pertama
ketika ibuku masuk ke dalam ruangan. Saat itu dia
tahu, inilah wanita yang akan dinikahinya. Hal ini menjadi kenyataan dan mereka telah bernikah
selama 40 tahun dengan tiga orang anak. Aku anak
sulung, telah menikah dan memberikan mereka dua
orang cucu. Ibu bapaku hidup bahagia dan selama
bertahun-tahun telah menjadi ibu bapa yang sangat
baik bagi kami, membimbing kami dengan penuh cinta kasih dan kebijaksanaan. Aku teringat suatu hari ketika aku masih berusia
belasan tahun. Beberapa tetangga kami mengajak
ibuku pergi ke pembukaan pasaraya yang menjual
alat-alat keperluan rumah tangga. Mereka
mengatakan bahwa hari pembukaan adalah waktu
terbaik untuk berbelanja barang keperluan kerana barang sangat murah dengan kualitas yang layak. Tapi ibuku menolaknya kerana ayahku sebentar lagi
akan pulang dari kerja. Kata ibuku,”Ibu tak akan pernah meninggalkan ayahmu sendirian”. Perkara itu yang selalu ditegaskan oleh ibuku kepadaku.
Apapun yang terjadi, sebagai seorang wanita, aku
wajib bersikap baik terhadap suamiku dan selalu
menemaninya dalam keadaan apapun, baik miskin,
kaya, sehat maupun sakit. Seorang wanita harus
menjadi teman hidup suaminya. Banyak orang tertawa mendengar hal itu. Menurut mereka, itu
hanyalah sumpah janji pernikahan, omongan kosong
belaka. Tapi aku tetap mempercayai nasihat ibuku. Sampai suatu hari, bertahun-tahun kemudian, kami
sekeluarga mengalami berita duka. Setelah ulang
tahun ibuku yang ke-59, ibuku terjatuh di kamar
mandi dan menjadi lumpuh. Doktor mengatakan
kalau saraf tulang belakang ibuku tidak berfungsi
lagi, dia harus menghabiskan sisa hidupnya di pembaringan. Ayahku, seorang lelaki yang masih sehat di usia
tuanya. Tetapi dia tetap setia merawat ibuku,
menyuapinya, bercerita segala hal dan membisikkan
kata-kata cinta pada ibu. Ayahku tak pernah
meninggalkannya. Selama bertahun-tahun, hampir
setiap hari ayahku selalu menemaninya. Ayahku pernah mengilatkan kuku tangan ibuku, dan
ketika ibuku bertanya ,”Untuk apa kau lakukan itu? Aku sudah sangat tua dan jelek sekali”. Ayahku menjawab, “Aku ingin kau tetap merasa cantik”. Begitulah pekerjaan ayahku sehari-hari, merawat ibuku dengan penuh kelembutan dan kasih
sayang. Suatu hari ibu berkata padaku sambil
tersenyum,”Kau tahu, Linda. Ayahmu tak akan pernah meninggalkan aku…kau tahu kenapa?” Aku menggeleng, dan ibuku berkata, “Karena aku tak pernah meninggalkannya…” Itulah kisah cinta ayahku, Mohammed Huda
Alhabsyi dan Ibuku, Yasmine Ghauri, mereka
memberikan kami anak-anaknya pelajaran tentang
tanggungjawab, kesetiaan, rasa hormat, saling
menghargai, kebersamaan, dan cinta kasih. Bukan
dengan kata-kata, tapi mereka memberikan contoh dari kehidupannya
merusakkan raket milik ayahnya. Karena takut, ia
menyembunyikan raket itu di bawah tempat tidur
dalam kamarnya. Setiap kali ayahnya memasuki kamar, hatinya ketakutan. Ia sengaja duduk di atas tempat tidur, khawatir sang ayah mengangkat tempat tidur kemudian menemukan raket yang ia rusakkan. Karena itulah ia selalu berusaha memindahkan raket yang ia rusakkan ke tempat lain sesering ia mampu dengan harapan sang ayah tidak akan dapat menemukannya.
Sejauh ini semuanya selalu bisa diatasi dengan
baik. Kesalahannya tetap tertutup rapat-rapat di
depan ayahnya. Namun, selama itu pula hatinya
tidak tenang. Setiap saat rasa bersalah muncul dan
menghakiminya. Ke mana pun ia pergi, hatinya
selalu tertuju kepada raket sang ayah yang pernah ia rusakkan. Semakin sering ia memindahkan raket yang ia rusakkan, ia semakin gelisah, karena itu berarti semakin sedikit tempat yang memungkinkan ia menyembunyikan raket rusak itu. Dalam
ketertekanannya, akhirnya ia mengambil raket rusak itu, membawanya di tangan kanannya, kemudian mendatangi ayahnya dengan takut.
Setelah berada di depan ayahnya, ia pun berkata
sambil menunjukkan raket rusaknya, “Ayah, maafkan aku karena telah merusakkan raket Ayah.
aku siap dihukum.” Mendengar pengakuan anaknya, sang ayah membungkuk dan berkata, “Nak, ayah sudah tahu semua itu dari minggu lalu. Ayah hanya menunggu kamu mempunyai keberanian untuk mengakuinya. Sekarang ayah hendak berkata kepadamu bahwa ayah memaafkanmu.” Kalimat terakhir sang ayah benar-benar membuat sang anak lega dan merasa bebas. Mengakui kesalahan adalah awal dari sebuah perbuatan besar, dan mempertanggungjawabkan kesalahan yang kita perbuat adalah langkah menuju kebahagiaan
Pandangan si pemuda terpaku saat melihat seorang wanita tua yang menggunakan penutup kepala. Wanita tua itu hampir tidak kelihatan wajahnya. Wanita tua itu berhati sangat besar tetapi tak berbentuk. si pemuda pun heran kenapa banyak sekali lubang yang ternganga di hati orang itu. Ia berjalan mendekat ke arah si wanita tua dan
bertanya kepadanya. “Kenapa hatimu seperti itu? kenapa tidak berbentuk sempurna dan indah seperti milik saya?” Katanya setengah pamer. Jawab wanita itu, “Mungkin karena
kamu masih terlalu muda dan belum begitu
memahami dunia.”
Wanita tua melanjutkan, “Setiap saya mencintai
seseorang, aku mencongkel hati ini dan kuberikan
padanya. Begitu pula jika saya menolong orang,
selalu ada serpihan hati yang kubagi pada orang itu. Dulu, saat saya masih muda dan bergaul dengan banyak sahabat, hati saya teriris-iris karena harus kubagi pada banyak sekali teman. Saat saya mulai menikah dan punya anak, hati saya hampir habis tersayat-sayat untuk memahami suami dan mengasuh anak.”
“Tetapi, ada suatu saat di mana orang-orang juga
mulai membagi hati pada saya. Mereka juga belajar mengiris hatinya untuk menutup setiap luka di hati saya hingga bertumpuk-tumpuk, itulah sebabnya kenapa hati saya beberapa kali lipat lebih besar dari hatimu, sekalipun tidak berbentuk lagi. Memang, tidak semuanya mau berbuat demikian, itulah sebabnya kenapa masih banyak sekali lubang menganga di hati ini. Sekarang, hati siapa yang lebih indah? hatiku atau hatimu?”
Sang pemuda tertegun untuk sekian lama. Ia mulai
menyadari bahwa hati wanita tua itu jauh lebih
sempurna dari hatinya. Luka, cacat, dan banyaknya tambalan di hati wanita itu justru menjadikannya lebih indah dan lebih besar dari miliknya. Setiap lubangnya seolah berbicara tentang cinta dan ketulusan di kehidupan yang dijalaninya. Sejenak, si pemuda mulai mengamati wajah wanita tua. Ia terperanjat ketika melihat wanita tua itu ternyata ibunya sendiri.
Ini adalah saat para ibu diciptakan-Nya. Seorang malaikat menghampiri Tuhan dan berkata
lembut, “Tuhan, banyak nian waktu yang Tuhan
habiskan untuk menciptakan ibu…” Tuhan menjawab pelan, “Tidaklah kau lihat perincian
yang harus dikerjakan?”
“Ibu ini harus waterproof tapi bukan dari plastik. Harus terdiri dari 180 bagian yang lentur, lemas dan tidak cepat lelah. Ia harus bisa hidup dari sedikit teh kental dan makanan seadanya untuk mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Memiliki kuping yang lebar untuk menampung keluhan anak-anaknya. Memiliki ciuman yang dapat menyembuhkan dan menyejukan hati anaknya. Lidah yang manis untuk merekatkan hati yang patah dan enam pasang tangan.”
Malaikat itu menggeleng-gelengkan kepalanya,
“enam pasang tangan?”
“Tentu saja! Bukan tangan yang merepotkan AKU,
melainkan tangan yang melayani sana sini,
mengatur segalanya menjadi lebih baik”, balas
Tuhan. “Juga tiga pasang mata.” Malaikat semakin heran. Tuhan mengangguk-angguk.
“Sepasang mata yang dapat menembus pintu yang tertutup rapat dan bertanya: apa yang sedang kau lakukan di dalam situ?” Padahal sepasang mata itu sudah mengetahui jawabannya. “Sepasang mata kedua sebaiknya diletakkan di
belakang kepalanya sehingga ia bisa melihat ke
belakang tanpa menoleh, artinya, ia dapat melihat
apa yang sebenarnya tak boleh ia lihat dan
sepasang mata ketiga untuk menatap lembut
seorang anak yang mengakui kekeliruannya. Ia pun harus memiliki sinar mata yang dapat bicara! Mata itu harus berkata: Ibu mengerti dan ibu sayang padamu. Meskipun tidak diucapkan sepatah katapun. Ia harus bisa menyembuhkan diri sendiri apabila anaknya sakit. Ia harus mampu membujuk anak umur 9 tahun mandi pada saat anak itu tidak mau diajak mandi.”
Akhirnya malaikat membalik-balikkan contoh ibu
dengan perlahan. “Terlalu lunak,” katanya memberi
komentar. “Tapi harus kuat!”, kata Tuhan bersemangat. “Tak akan kau bayangkan betapa banyaknya yang akan ia tanggung, ia pikul dan pengorbanan dalam kehidupannya nanti”.
“Apakah ia dapat berpikir?” tanya malaikat lagi.
“Ia bukan saja dapat berpikir, tapi ia juga dapat
memberi gagasan, ide dan kompromi,” kata Sang
Pencipta.
Kemudian malaikat menyentuh sesuatu di pipi. “Eh,
ada yang bocor di sini”. “Itu bukan kebocoran,” kata Tuhan. “Itu adalah air mata… air mata kebahagiaan, air mata kesedihan, air mata kekecewaan, air mata kesakitan, air mata
kesepian, air mata kebanggaan, air mata
keharuan…. air mata…..”
“Ah..Tuhan memang ahlinya,” akhirnya malaikat
berkata pelan sambil mengangguk takjub.
mendengar banyak gosip dan fitnah tentang dirinya. Seorang Ibu, salah seorang yang suka
menggosipkan Guru itu, menjenguknya dan minta
maaf, ” Guru, saya minta maaf karena saya telah membuat gosip dan fitnah terhadap Guru.Jika ada
sesuatu yang bisa menghilangkan fitnah dan gosip
itu, akan saya lakukan dengan senang hati!” Guru yang sakit itu menarik bantal dari kepalanya,
lalu memberikan bantal itu pada Ibu itu sambil
berkata, “Pergilah ke Menara. Di puncak menara sana, ambillah semua kapuk dari dalam bantal itu
dan sebarkanlah ke udara!”
Untuk menggembirakan hati Guru, Ibu itu
melakukan apa yang diperintahkan Guru. Semua
kapuk dari bantal itu disebarkannya ke udara dari
sebuah menara yang tinggi. Dalam sekejap, kapuk-kapuk itu terbang kesana kemari diterbangkan angin. Ibu itu kembali kepada Guru untuk meyakinkan bahwa dia telah melakukan apa yang diperintahkan dengan membawa sarung bantal yang sudah kosong. “Nah, sekarang pergilah keluar dan kumpulkan semua kapuk –kapuk itu kembali, lalu masukkan ke dalam sarung bantal ini,” Kata Guru.
” Itu mustahil, Guru !” Jerit Ibu itu.
” Angin telah menyebarkan kapuk-kapuk ke segala
arah!” “Begitu juga dengan apa yang anda lakukan pada saya! Gosip dan fitnah itu telah menyebar ke segala penjuru!” Sahut Guru itu dengan tenang.
Ada pepatah yang bilang, fitnah lebih kejam
daripada pembunuhan. Hati-hati dalam lisan dan
jagalah perkataan. Sesungguhnya, mulutmu adalah harimaumu.
pekerjaan. Sesuai undangan, wanita itu datang tepat jam 5 pagi di musim hujan yang dingin. Setelah sampai, dia dipersilakan masuk dan menunggu 3 jam sebelum wawancara. Dan apa yang ditanya penguji kepada wanita ini? Wanita itu hanya disuruh mengeja abjad dan menjawab pertanyaan sepele,”2+2 = berapa?” Setelah itu, ia disuruh pulang.
Jika kita menjadi wanita ini,bagaimana reaksi kita?
Tentu kita akan marah, merasa dipermainkan.
Datang jam 5 pagi, disuruh menunggu 3 jam, lalu
diberi pertanyaan yang sungguh konyol. Namun dari sekian banyak pelamar, ternyata wanita
inilah akhirnya yang diterima bekerja. Mengapa bisa demikian?
Si penguji menjelaskan alasannya, “Pertama, saya menyuruhnya datang jam 5 pagi sementara hujan turun saat ia datang, berarti dia punya KOMITMEN. Saat menyuruhnya menunggu selama 3 jam, dia
melakukannya, berarti dia punya KESABARAN. Saat saya memberikan pertanyaan sepele, dia tidak jengkel dan marah, berarti dia punya
PENGENDALIAN DIRI yang bagus”
pegunungan, hidup seekor kura-kura yang bawel.
Dia sangat cerewet sekali. Siapapun yang
ditemuinya akan diajak bicara banyak, panjang
lebar, tanpa jeda, dan sering membuat
pendengarnya bosan, terganggu, hingga akhirnya jengkel. Mereka sering merasa heran bagaimana si
kura-kura bisa bicara terus-menerus tanpa jeda dan tak berhenti-henti. Sehingga hewan-hewan lain mulai menghindari kura-kura karena tahu mereka akan mati kutu jika kura-kura mulai berbicara pada
mereka. Si kura-kura bawel menjadi kesepian karenanya.
Setiap musim panas, sepasang angsa putih datang
ke danau di pegunungan untuk berlibur. Mereka baik hati karena membiarkan si kura-kura berbicara
sepanjang yang dia mau. mereka tidak pernah
protes ataupun meninggalkan kura-kura. Si kura-
kura jadi merasa senang pada sepasang angsa itu. Ketika musim panas mulai berakhir dan hari-hari
menjadi dingin, sepasang angsa bersiap-siap pergi
dari danau itu. Si kura-kura mulai menangis. Dia
benci musim dingin dan kesepian. “Andai saja aku bisa ikut pergi bersama kalian,” desahnya. “Kadang, ketika salju menutupi lereng dan danau, aku membeku, aku merasa begitu kedinginan dan
kesepian.” Sepasang angsa itu merasa kasihan pada si kura- kura, karena itu mereka mengajukan sebuah penawaran untuknya, “Kura-kura, kamu jangan menangis. Kami dapat membawamu asalkan kamu bersedia memegang satu janji.” “Ya! Ya! Saya janji!” si kura-kura bawel segera menjawabnya, bahkan sebelum sepasang angsa
mengatakan janji apa yang harus dia penuhi. “Kura- kura selalu menepati janji. Pernah, aku berjanji pada kelinci untuk berdiam diri sebentar saja setelah aku memberi tahu tentang semua perbedaan cangkang kura-kura dan…………………………” Kura-kura itu bercerita lagi panjang lebar, tanpa ada yang
bertanya, dan tak berhenti-henti. Satu jam kemudian, Ketika si kura-kura berhenti bicara, sepasang angsa melanjutkan kata-kata mereka, “Kura-kura, kamu harus berjanji untuk tetap menutup mulutmu! ” “Gampang!” kata si kura-kura bawel. “Sebenarnya bangsa kura-kura terkenal sanggup menutup mulut kami dengan baik. Kami sebenarnya jarang sekali berbicara. Saya pernah menjelaskan hal ini kepada seekor ikan belum lama ini……………….” Si kura- kura bawel itu mulai bercerita panjang lebar lagi.
Satu jam kemudian ketika si kura-kura bawel diam
sejenak, sepasang angsa itu menyuruh si kura-kura untuk menggigit bagian tengah sebuah tongkat kayu yang panjang dan menyuruhnya untuk tetap menutup mulutnya dengan menggigit kayu tersebut. Lalu salah satu angsa memegang salah satu ujung tongkat dan yang lain memegang tongkat di ujung lainnya. Keduanya lalu mulai mengepakkan sayap dan terbang, pergi dari danau yang sebentar lagi akan membeku menjadi salju. Inilah pertama kali dalam sejarah dunia kita: kura-
kura terbang! Lebih tinggi dan lebih tinggi lagi mereka terbang menjulang. Makin lama danau di pegunungan itu makin mengecil. Bahkan gunung yang besar pun terlihat semakin mengecil dari atas langit biru. Si kura-kura yang merasa takjub berusaha mengingat pemandangan itu baik-baik untuk diceritakan pada teman-temannya nanti ketika dia sudah sampai ke tempat tujuan.
Mereka terus terbang dan semuanya berjalan lancar sampai mereka melewati sebuah sekolahan, dimana waktu itu siswa-siswanya baru pulang sekolah. Beberapa anak melihat sepasang angsa dan kura- kura bawel. Lalu seorang anak berteriak, “Hei, lihat! Ada kura-kura bodoh terbang!” Mendengar itu, kura-kura bawel tidak dapat
menahan dirinya. “Apa kau bilang… booo… doo..hhh???!!! ” BRAAAKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK! Terdengar suara keras ketika tubuh kura-kura menghempas tanah. Dan itu adalah suara terakhir yang dapat dia keluarkan. Si kura-kura bawel tewas karena dia tidak dapat menutup mulutnya pada saat yang benar-benar diperlukan.
galanya, tapi merasa hidupnya tidak bahagia.
Seorang teman lalu mengajak sang direktur ikut ke
sebuah panti asuhan di Jakarta agar hatinya
bahagia dan tenteram. Sang direktur pun
menurutinya. Namun setelah selesai acara, hati sang direktur masih belum bahagia. Ia bergumam, “Kamu bohong, katanya kalo main ke sini, hati bisa bahagia.” Ia pun pulang, melangkah ke arah mobilnya dengan lesu.
Tapi baru saja kakinya melangkah ke dekat
pintu panti asuhan, tiba-tiba seorang anak
perempuan kecil menarik tangannya.
“Oom mau pulang ya..?”
“Iya,” jawab sang direktur sambil tersenyum. “Oom.. boleh gak Nanda minta sesuatu ke Oom?” tanya anak kecil yang bernama Nanda itu.
“Boleh..”
“Tapi.. Nanda takut gak boleh sama Oom.”
Sang direktur tersenyum. Ia orang kaya, apa yang
tidak bisa dibelinya? Apalagi untuk anak yatim piatu yang manis ini, pastilah permintaannya akan
dipenuhi. “Memangnya Nanda mau minta apa?” tanya sang direktur sambil memegang bahu Nanda.
“Oom.. Nanda minta.. Nanda pengen manggil ‘ayah’ ke Oom, boleh?”
Sang direktur tercengang. Tenggorokannya terasa
tersumbat. Sebuah permintaan yang tidak pernah
diduganya. Ternyata bukan boneka yang diminta
Nanda, bukan juga uang, hanya sebuah sebutan
‘ayah’. Tanpa terasa hatinya bergetar.
“Boleh.. Nanda boleh panggil ayah ke Oom.” “Terimakasih, Ayah. Kapan Ayah datang lagi?
Nanda boleh minta lagi ke Ayah?”
“Boleh, sayang, Nanda mau minta apa?”
“Nanda minta, kalo Ayah datang lagi kesini, bawa
fotonya Ayah ya.. Nanda mau simpan di kamar
Nanda. Kalo Nanda kangen sama Ayah, Nanda bisa liat foto Ayah.”
Sang direktur pun mengangguk.
Dengan berlinang air mata sang direktur memeluk Nanda dan berkata, “besok Ayah datang lagi ke sini. Ayah akan bawa foto ayah, dan ayah akan sering ke sini ketemu sama Nanda.” Hati sang direktur sangat bahagia. Ya, ia bahagia sekarang. Ternyata bahagia itu bukan saat kita bisa memiliki segalanya, melainkan saat kita bisa memberi apa yang kita miliki untuk orang lain, meski hanya sebuah ungkapan cinta.
sudah terlelap. Sandal jepit yang berada di luar
rumah menggigil kedinginan. Tak pernah sekalipun
ia diajak masuk oleh si pemiliknya. Dengan tubuh
kotor penuh debu, kadang lumpur, ia selalu
dibiarkan tergeletak di depan rumah. Rupanya, keluhan itu sempat di dengar oleh Peci yang
tergantung di paku dinding ruang tamu. Melihat
rekannya yang berada diluar, Peci hanya tersenyum penuh kemenangan dan pura-pura tertidur tak mempedulikan Sandal Jepit yang mulai menangis. Dalam batinnya, Sandal berkata, “Sungguh enak menjadi Peci.. selalu ditempatkan diatas, dipakai atau tidak, tak pernah ia berada dibawah. Lain halnya dengan diriku, dipakai diinjak-injak, tak dipakai tetap tersingkir di pojokkan, ditanah atau dilantai dingin. Setiap kali hendak digunakan, tuan pemilik selalu membersihkan Peci, tak satupun debu dibiarkan hinggap, dan sepulang diajak pergi, kembali dibersihkan dan diletakkan kembali ke tempat yang lebih terhormat, jika tidak diatas lemari, didalam lemari, diatas buffet, paling rendah tergantung di dinding. Berbeda dengan nasibku sebagai Sandal Jepit, dipakai tak pernah dibersihkan, sepulangnya semakin tak dipedulikan sekotor apapun, mulai dari debu, sampai kotoran dengan aroma bau yang tak sedap.”
ketika diajak pergi, Sandal jepit tak pernah ke
tempat yang bersih, ke pasar, ke kebun, lapangan,
atau ke toilet. Jelas saja, tuan pemilik akan lebih
memilih sepatu atau sendal kulit untuk ke Mall, ke
pesta, atau ke tempat-tempat yang memang bukan
tempatnya Sandal berada disana. Tapi, Sandal jepit juga dipakai jika tuan pemilik hendak ke Masjid. Entah ini penghormatan atau sebaliknya buat Sandal Jepit karena jika nanti di Masjid ia harus berpindah kaki dengan orang lain alias hilang, toh tuan pemilik hanya berpikir, ”Untung cuma Sandal Jepit”. Sedangkan Peci, selalu dipakai ke tempat kondangan, bahkan para pemimpin negeri, pejabat- pejabat penting negara ini wajib menggunakan Peci saat pelantikan dan acara-acara resmi, acara kehormatan kenegaraan. Peci hampir tak pernah dipinjamkan kepada tuan
yang lain, karena biasanya masing-masing sudah
memiliki. Tapi Sandal, sekalipun ada beberapa, tak
pernah ia diberikan kehormatan untuk mengabdi
pada satu tuannya saja. Ia bisa dipakai sekeluarga
baik ayah, istri, tuan anak, atau juga pembantu. Tidak jarang, ia dipinjamkan juga ke tetangga, atau
teman-teman. Kalaupun usang dan berubah warna, Peci biasanya tak pernah dibuang. Disimpan dalam kardus di gudang dengan rapih, atau paling mungkin diberikan kepada anak-anak yatim atau siapa sajayang membutuhkannya. Intinya, masih bernilai paskaguna.
Sedangkan Sandal Jepit? Jelek sedikit diganti, apalagi kalau sudah putus talinya, tidak ada tempat yang paling pas kecuali tong sampah. Terkadang, ia juga harus merasakan kepedihan jika tubuhnya harus dipotong-potong untuk pengganti rem blong, atau dibuat ban mobil-mobilan mainan anak-anak. Tapi Sandal tetap menyadari status dan perannya
sebagai Sandal yang akan selalu terinjak-injak,
kotor, dan tak pernah diatas.
Sandal tak pernah iri dengan peran peci. Terlebih saat tuan pemilik berhadapan dengan Rabbnya, dan ditanya si pemilik ke dua nya ; “Mana dari dua barang milikmu yang paling sering kau gunakan dan paling bermanfaat, Sandal Jepit atau Peci, yang akan kau bawa bersamamu ke surga?” Dengan mantap tuan pemilik menyebut “Sandal Jepit jauh lebih memberikan manfaat bagiku”.
Tak penting apa status, peran dan kedudukan Anda di dunia ini, karena Tuhan tidak melihat Anda dari pakaian yang dikenakan, jabatan yang di emban, dan kehormatan yang disandang, tapi seberapa bermanfaatnya Anda bagi orang lain dengan status dan peran Anda tersebut