It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
sifat baik hati, senang membantu orang dan sangat sopan. Banyak yang menganggap bahwa putri termuda adalah wanita yang tercantik yang pernah mereka lihat.
Karena kecenderungan orang untuk menyukai hal yang sama dengan diri mereka, ibunya menjadi sangat sayang kepada putri yang tertua, sedangkan putri yang termuda diperlakukan dengan buruk, putri termuda sering disuruhnya bekerja tanpa henti dan tidak boleh bersama mereka makan di meja makan. Dia hanya diperbolehkan makan di ruang dapur sendiri saja. Putri yang termuda sering dipaksa dua kali sehari untuk mengambil air dari sumur yang letaknya sangat jauh dari rumah mereka. Suatu hari ketika putri yang termuda berada di mata air ini, datanglah seorang wanita tua yang kelihatan sangat miskin, yang memintanya untuk mengambilkan dirinya air minum. “Oh! ya, dengan senang hati,” kata gadis cantik ini yang dengan segera mengambil kendinya, mengambil air dari tempat yang paling jernih di mata air tersebut, dan memberikan kepada wanita itu, sambil membantu memegang kendinya agar wanita tua itu dapat minum dengan mudah. Setelah minum, wanita tersebut berkata kepada putri termuda: “Kamu sangat cantik, sangat baik budi dan sangat sopan, saya tidak bisa tidak memberikan kamu hadiah.” Ternyata wanita tua tersebut adalah seorang peri yang menyamar menjadi wanita tua yang miskin untuk melihat seberapa jauh kebaikan hati dan kesopanan putri termuda. “Saya akan memberikan kamu sebuah hadiah,” lanjut sang Peri, “Mulai saat ini, dari setiap kata yang kamu ucapkan, dari mulutmu akan keluar sebuah bunga atau sebuah batu berharga.” Ketika putri termuda yang cantik ini pulang kerumah, dimana saat itu ibunya memarahinya karena menganggap putri termuda tersebut terlalu lama kembali dari mengambil air. “Saya minta maaf, mama,” kata putri termuda, “karena saya terlambat pulang.” Saat mengucapkan kata itu, dari mulutnya keluarlah dua buah bunga, dua buah mutiara dan dua buah permata. “Apa yang saya lihat itu?” kata ibunya dengan sangat terkejut, “Saya melihat mutiara dan permata keluar dari mulutmu! Bagaimana hal ini bisa terjadi, anakku?” Untuk pertama kalinya ibunya memanggilnya dengan sebutan ‘anakku’. Putri termuda kemudian menceritakan semua kejadian yang dialami secara terus terang, dan dari mulutnya juga berturut-turut keluarlah permata yang tidak terhitung jumlahnya. “Sungguh mengagumkan,” kata ibunya, “Saya harus mengirim anakku yang satu lagi kesana.” Dia lalu memanggil putri tertua dan berkata “Kemarilah, lihat apa yang keluar dari mulut adikmu ketika dia berbicara. Apakah kamu tidak ingin memiliki hal yang dimiliki adikmu? Kamu harus segera berangkat ke mata air tersebut dan apabila kamu menemui wanita tua yang meminta kamu untuk mengambilkan air minum, ambilkanlah untuknya dengan cara yang sangat sopan.” “Adik termuda pasti sangat senang melihat saya mengambil air dari mata air yang jauh,” katanya dengan cemberut. “Kamu harus pergi, sekarang juga!” kata ibunya lagi. Akhirnya putri tertua berangkat juga sambil mengomel di perjalanan, sambil membawa kendi terbaik yang terbuat dari perak. Tidak lama kemudian dia tiba di mata air tersebut, kemudian dia melihat seorang wanita yang berpakaian sangat mewah keluar dari dalam hutan, mendekatinya, dan memintanya untuk mengambilkan air minum. Wanita ini sebenarnya adalah peri yang bertemu dengan adiknya, tetapi kali ini peri tersebut menyamar menjadi seorang putri bangsawan. “Apakah saya datang kesini,” kata putri tertua dengan sangat sombong, “hanya untuk memberikan kamu air? dan kamu pikir saya membawa kendi perak ini untuk kamu? Kalau kamu memang mau minum, kamu boleh meminumnya jika kamu merasa pantas.” “Kamu keterlaluan dan berlaku tidak sopan,” jawab sang Peri, “Baiklah, mulai sekarang, karena kamu sangat tidak sopan dan sombong, saya akan memberikan kamu hadiah, dari setiap kata yang kamu ucapkan, dari mulutmu akan keluar seekor ular atau seekor katak.” Saat dia pulang, ibunya yang melihat kedatangannya dengan gembira menyambutnya dan bertanya: “Bagaimana, anakku?” “Bagaimana apanya, ma?” putri tertua menjawab dengan cara yang tidak sopan, dan dari mulutnya keluarlah dua ekor ular berbisa dan dua ekor katak. “Oh! ampun,” kata ibunya; “apa yang saya lihat ini? Oh! pastilah adik mu yang sengaja telah merencanakan kejadian ini, tapi dia akan mendapatkan hukumannya”; dan dengan segera dia berlari mendekati putri termudanya dan memukulnya. Putri termuda kemudian lari menjauh darinya dan bersembunyi di dalam hutan yang tidak jauh dari rumahnya agar tidak mendapat pukulan lagi. Seorang anak Raja, yang baru kembali dari berburu di hutan, secara kebetulan bertemu dengan putri termuda yang sedang menangis. Anak Raja tersebut
kagum akan kecantikan putri termuda kemudian bertanya mengapa putri tersebut sendirian di dalam hutan dan menangis terisak-isak. “Tuanku, ibu saya telah mengusir saya dari rumah.” Saat itu, anak Raja melihat lima atau enam mutiara dan permata keluar dari mulut putri termuda, dia menjadi penasaran dan meminta putri termuda menceritakan mengapa dari mulutnya keluar permata saat berkata sesuatu. Putri termuda kemudian menceritakan semua kisahnya, dan anak Raja tersebut menjadi bertambah kagum akan kebaikan hati dan kesopanan tutur kata putri termuda. Anak Raja menjadi jatuh hati pada putri termuda dan beranggapan bahwa putri termuda sangat pantas menjadi istrinya. Anak Raja akhirnya mengajukan lamaran dan menikahi putri termuda. Sedangkan putri tertua, membuat dirinya sendiri begitu dibenci oleh ibunya sendiri karena kelakuannya yang sangat buruk dan di usir keluar dari rumah. Putri tertua akhirnya menjadi terlantar karena tidak memiliki rumah lagi, dia lalu masuk ke dalam hutan dan mulai saat itu, orang tidak pernah mendengar kabar tentangnya lagi
keledainya tersebut kembali ke pasar, dimana keledai tersebut di muati dengan keranjang- keranjang yang sangat besar dan berisikan spons. Ketika mereka kembali tiba di tengah sungai, sang keledai kembali dengan sengaja menjatuhkan diri, tetapi pada saat pedagang tersebut membawanya ke pinggir sungai, sang keledai menjadi sangat tidak nyaman karena harus dengan terpaksa menyeret dirinya pulang kerumah dengan beban yang sepuluh kali lipat lebih berat dari sebelumnya akibat spons yang dimuatnya menyerap air sungai.
sebelum orang lain mengetahuinya, kita harus pergi jauh kemana tidak seorang pun mengenal kita. Dengan begitu kita akan terhindar dari rasa malu dan penghinaan.” Malamnya, saat semua orang sedang terlelap, mereka menyelinap dan bergegas meninggalkan kerajaan. Mereka terus berjalan tak tentu arah melewati padang gersang yang hampir tanpa batas. Panas matahari yang membakar membuat mereka kehausan dan hampir pingsan. Tiba-tiba mereka menemukan genangan air di depan mereka.
“Adikku,” kata Putra raja, “aku tidak sanggup lagi menahan rasa haus ini. Sebaiknya kita minum saja air genangan itu.”
“Tapi kak, bagaimana kita tahu kalau itu adalah air yang bisa diminum,” kata Putri. “Lebih baik kita berjalan lebih jauh sedikit. Siapa tahu kita bisa menemukan kolam atau mata air, dan kita bisa minum di sana!”
“Tidak! Aku tidak sanggup melangkah sebelum rasa hausku hilang,” tolak Putra raja. Putri terpaksa menciduk air genangan itu dan memberikannya pada Putra yang segera meminumnya tanpa sisa. Dan wuzz, Putra raja tiba-tiba berubah menjadi seekor Kijang. Putri menangisi nasib saudaranya. Namun apa daya nasi telah menjadi bubur. Mereka tidak tahu bagaimana caranya mengembalikan wujud Putra ke bentuk aslinya. Mereka memutuskan untuk meneruskan perjalanan mereka hingga tiba di sebuah mata air yang sangat luas. Di sana mereka memutuskan untuk beristirahat.
“Adikku. Naiklah ke atas pohon! Aku akan pergi mencari makan,” kata Putra.
Putri memanjat pohon di pinggir mata air tersebut sementara Putra pergi berburu. Tidak berapa lama ia
kembali membawa seekor ayam hutan. Lalu Putri memasaknya untuk dimakan mereka berdua. Demikianlah mereka bertahan hidup dari hari ke hari dan minggu ke minggu. Suatu pagi seperti biasa Putri duduk di atas ranting pohon di pinggir mata air sementara Putra pergi berburu. Kebetulan seorang pekerja dari kerajaan yang menguasai wilayah itu datang untuk memberi minum kuda-kuda Raja. Kuda-kuda itu memang terbiasa minum di mata air karena airnya yang sangat jernih. Namun pagi itu kuda-kuda tersebut melihat bayangan Putri terpantul di permukaan mata air dan membuat kuda-kuda itu ketakutan. Pekerja istana mengira air yang diambilnya untuk memberi minum kuda-kuda itu kotor sehingga mereka menolak untuk meminumnya. Ia segera mengganti air di wadah dengan yang baru. Tapi tetap saja mereka menolaknya. Pekerja itu segera melaporkan kejadian itu kepada Raja.
“Mungkin airnya kotor,” kata Raja.
“Tidak Tuan. Saya sudah menggantinya berkali-kali dengan air yang baru langsung dari mata air, “ jawab Pekerja.
“Kembalilah ke sana dan periksalah di sekitar mata air, mungkin ada sesuatu yang membuatnya takut,” perintah Raja. Pekerja itu kembali ke mata air. Setelah memeriksa dengan teliti, ia melihat bayangan seorang gadis yang sedang bertengger di ranting pohon terpantul di permukaan mata air. Dengan terkejut ia bergegas melaporkannya kepada Raja. Raja tentu saja penasaran. Ia segera pergi ke mata air untuk melihat sendiri gadis tersebut. Raja terpesona saat melihat kecantikan Putri yang bagaikan sinar bulan.
“Wahai Gadis yang cantik, siapakah anda? Jinkah atau Peri?” seru Raja.
“Aku bukanlah Jin ataupun Peri melainkan adalah manusia biasa,” jawab Putri.
“Sudikah anda untuk turun kemari dan menemuiku,” pinta Raja.
“Ampun Tuan, aku tidak bisa karena aku telah berjanji pada saudaraku,” tolak Putri. Mula-mula Raja mencoba membujuknya supaya ia mau trun dari atas pohon, namun tidak berhasil. Lama-lama Raja menjadi kesal dan marah. Ia menyuruh pengawalnya untuk merobohkan pohon tersebut. Para pengawal menghunus pedangnya masing-masing dan mulai menebang cabang- cabangnya. Namun ketika pekerjaan mereka hampir selesai, sore pun tiba. Mereka memutuskan untuk meneruskannya esok hari. Ketika para penebang pergi, Putra datang dan heran melihat keadaan pohon yang menjadi gundul. Ia bertanya pada adiknya tentang apa yang telah terjadi. Putri menjelaskan bahwa Raja menyuruhnya turun namun ia menolaknya.
“Kau telah melakukan hal yang benar, adikku. Jangan turun, apapun yang terjadi,” perintah Putra.
Ia kemudian menjilati pohon itu. Ajaib, pohon yang telah kehilangan banyak cabangnya itu kembali menumbuhkan cabangnya lebih lebat dari semula. Para Pemburu terkejut melihat cabang pohon yang tumbuh lebih lebat dari sebelumnya. Namun tanpa mengeluh mereka kembali memotong-motong cabang pohon itu. Sayang sore keburu datang sebelum mereka dapat menumbangkan pohon itu dan memutuskan untuk kembali esok hari. Seperti kemarin, pohon itu kembali bercabang lebih lebat ketika para pemburu itu datang kembali. Dengan putus asa mereka menghadap Raja dan menceritakan semuanya. Raja mencari cara lain untuk mewujudkan keinginannya. Ia menemui seorang Nenek sihir dan menawarkan sejumlah hadiah seandainya ia dapat membuat si Gadis turun dari pohon.
“Serahkan padaku Tuan!” katanya. Nenek sihir pergi ke tepi mata air dengan membawa sebuah ketel. Berpura-pura buta ia mengisi ketel yang sengaja ia taruh terbalik sehingga tentu saja airnya tumpah.
“Nenek, anda menaruh ketelnya terbalik! Airnya jadi tumpah nek,” teriak Putri dari atas pohon.
“Oh Nak,” kata Nenek sihir “Dimanakah kamu? Aku tak bisa melihatmu? Bisakah kau membantuku membalikkan ketelnya?” Namun Putri teringat pesan kakanya, maka ia mengurungkan niatnya untuk menolong si Nenek. Esoknya Nenek sihir itu datang lagi. Ia berjongkok di bawah pohon, menyalakan api dan seolah-olah hendak memasak makanan. Namun bukannya makanan yang ia masukkan ke dalam penggorengan melainkan abu dan batu.
“Nenek buta yang malang, yang kau masukkan itu bukan makanan tapi abu dan batu!” teriak Putri dari atas pohon.
“Aku buta nak!” kata Nenek itu pura-pura marah. “Kalau kau baik hati, turunlah dan Bantu aku!”
Sekali lagi usaha Nenek sihir tidak berhasil karena Putri tetap bertahan untuk tidak turun dari atas pohon. Pada hari ketiga Nenek sihir kembali datang. Kali ini ia membawa seekor kambing untuk disembelih. Kemudian ia sengaja tidak menyembelih kambing itu dengan mata pisau melainkan dengan gagangnya. Putri yang menyaksikan peristiwa itu, kali ini benar-benar merasa kasihan. Tanpa pikir panjang ia segera turun dari pohon untuk menolong si Nenek. Tapi tiba-tiba hups…Raja yang sedari tadi bersembunyi di semak-semak menangkapnya dan membawanya ke istana. Raja begitu mengagumi kecantikan Putri sehingga ia ingin sekali menikahinya. Namun dengan tegas Putri menolaknya sebelum Raja menemukan saudaranya. Singkatnya para pengawal menemukan Putra yang masih berwujud Kijang dan membawanya ke istana. Sejak tinggal di istana, Putra dan Putri selalu bersama. Bahkan mereka tidur di kamar yang sama.
Ketika akhirnya Raja menikahi Putri, Putra tetap tidur bersama mereka. Setiap kali mereka hendak beristirahat, Putra akan mengelus Putri dengan keningnya sebagai tanda kasih sayangnya. Waktu berlalu begitu cepat bagi insan yang berbahagia. Namun kebencian juga muncul di hati seorang Gadis pelayan berkulit hitam yang keinginannya untuk mendapatkan Raja tak terwujud. Ia menanti kesempatan untuk membalaskan sakit hatinya pada Putri yang merebut cintanya. Di sekitar istana ada sebuah taman yang sangat indah dan di tengahnya ada sebuah kolam yang besar. Di sinilah biasanya Putri menghabiskan waktu senggangnya. Biasanya untuk menikmati minuman segar dari cangkir emasnya. Dan dengan sepatu peraknya ia berjalan-jalan di sekeliling kolam. Suatu sore saat Putri sedang berdiri di pinggir kolam, pelayan itu datang dan mendorong putri hingga terjatuh ke dalam kolam. Di dalam kolam itu ada seekor ikan yang sangat besar. Begitu tubuh Putri tercebur, ikan raksasa itu segera menelannya. Si pelayan lalu pergi ke kamar Putri dan mengganti baju yang dipakainya dengan pakaian Putri. Tak berapa lama Raja datang dan heran melihat wajah Putri yang begitu berubah.
“Tadi aku jalan-jalan di taman dan matahari begitu menyengat sehingga wajahku terbakar,” katanya berbohong.
Raja yang tidak menaruh curiga mencoba menghiburnya dengan memeluknya. Namun Putra segera mengetahui bahwa Gadis itu bukan saudaranya. Ia mendorongnya sehingga Gadis itu ketakutan. Ia memutuskan untuk menyingkirkan Putra karena dianggapnya berbahaya. Suatu hari putri berpura-pura sakit. Ia membayar seorang tabib untuk menyatakan bahwa ia hanya bisa sembuh jika ia makan hati seekor kijang. Raja lalu meminta izin untuk menyembelih saudaranya.
“Apa hendak dikata,” desah Gadis itu. “Jika ia tidak mau memberikan hatinya, maka aku akan mati. Lagipula kalau ia mati maka penderitaannya akan berakhir. Ia tidak perlu menjadi seekor Kijang lagi.”
Maka Raja menyuruh para pelayan untuk menyiapkan pisau yang tajam dan air yang mendidih. Putra yang malang menyadari bahwa ia dalam bahaya. Ia segera berlari ke pinggir kolam dan memanggil-manggil adiknya. “Oh adikku…
Pisau tajam tlah disiapkan
Air mendidih tlah dituangkan
Cepat tolonglah aku!” Lalu terdengar suara Putri dari dalam kolam “Inilah aku di perut ikan
Di tanganku cangkir emasku
Di kakiku Sepatu perakku
Dan di pangkuanku pangeran tampan” Raja dan pengawalnya datang dan mendengar suara Putri dari dalam kolam. Segera ia memerintahkan untuk menangkap ikan itu dan membelahnya. Benar saja, di dalamnya Putri duduk memangku seorang bayi. Ternyata ia melahirkan saat berada di dalam perut ikan. Sementara itu Putra tanpa sengaja terkena cipratan darah ikan ketika ikan itu dibelah. Dan lo! Ia pun kembali menjadi manusia. Mereka semua gembira bisa berkumpul kembali. Raja kemudian memanggil Putri palsu.
“Pilihlah mana yang lebih kau sukai: 40 pedang atau 40 kuda?” tanya Raja.
“Pedang adalah untuk membunuh musuhku. Aku memilih Kuda yang bisa kutunggangi,” jawab Putri palsu.
Pelayan wanita itu akhirnya tewas setelah ke 40 kuda tersebut menyeretnya dan menginjak-injaknya. Kini Raja, Putri, Putra dan Pangeran kecil kembali hidup damai dan bahagia untuk selamanya
sebuah keluarga. Kepala keluarganya bernama
Dheda. Dia tinggal bersama istrinya dan ketiga
anaknya. Mereka sangat miskin, hingga untuk
makan sehari-hari saja mereka sering kekuarangan.
Maklumlah, Dheda hanya mengandalkan hasilnya mencari kayu bakar di hutan yang kemudian dia jual
ke pasar. Hasilnya memang tidak seberapa. Tapi
dari sanalah mereka bisa bertahan hidup. Namun sudah seminggu ini hujan terus menerus
turun dengan lebatnya. Dheda tidak bisa pergi ke
hutan untuk mencari kayu bakar. Mereka terpaksa
bertahan dengan persediaan makanan di gudang.
Tentu saja lama-lama persediaan mereka semakin
sedikit, hingga suatu hari istri Dheda menghampirinya.
“Ayah, saya khawatir dengan keadaan anak-anak
kita. Kita tidak punya persediaan makanan lagi.
Makanan yang tersisa hanya tinggal 5 butir kentang.
Dan itupun tidak cukup untuk makan kita berlima.
Kita harus segera mencari uang untuk membeli makanan!” katanya.
“Aku tahu…,” kata Dheda. “Tapi bagaimana lagi?
Hujan tidak juga mau berhenti. Aku tidak bisa
mencari kayu ke hutan. Bersabarlah bu! Mudah-
mudahan besok hari terang dan aku bisa bekerja.
Biarlah persediaan terakhir kita anak-anak saja yang makan.” Menjelang sore ada yang mengetuk pintu rumah
Dheda. Ternyata seorang pengemis tua yang basah
kuyup berdiri di luar pintu rumahnya. Pengemis itu
tampak kedinginan. Dheda segera menyuruhnya
masuk supaya terhindar dari hujan.
“Terima kasih tuan,” kata pengemis tua, “saya sudah berhari-hari kehujanan. Tidak ada tempat
untuk berteduh. Dan perutku lapar sekali. Kalau
boleh, saya ingin meminta sisa makanan untuk
mengganjal perutku.”
Dheda terdiam. Dia kasihan sekali melihat pengemis
tua itu. Tapi mereka tidak punya persediaan makanan lagi.
“Sayang sekali aku tidak memiliki sisa makanan.
Karena saat ini kami pun sedang kekurangan
makanan,” kata Dheda.
“Oh kasihanilah saya Tuan! Sudah tiga hari ini saya
belum makan,” kata pengemis Dheda merasa sangat iba, maka dia segera
menghampiri istrinya dan berkata, “Bu, saya
kasihan melihat pengemis tua itu. Bagaimana kalau
kita berikan saja persediaan makanan terakhir kita.
Mudah-mudahan anak-anak bisa bertahan dan
besok hujan berhenti sehingga aku bisa bekerja mencari rizki.”
“Baiklah pak, saya akan segera memasak
kentangnya,” kata istrinya Akhirnya istri Dheda mengukus kentang yang
tinggal 5 butir tersebut dan menghidangkannya
kepada si pengemis tua. Pengemis itu memakan
keempat kentangnya dan menyisakan sebutir
kentang saja. Kemudian setelah beristirahat
sejenak, si pengemis itu pun berpamitan, “terima kasih tuan. Karena tuan, hari ini perutku tidak
kelaparan.”
“Sama-sama kek,” kata Dheda. “Sudah seharusnya
kita saling menolong. Tapi kenapa kakek tidak
menunggu hujan reda? Bagaimana kalau kakek
sakit?” “Tidak apa-apa! Perutku sudah terisi, jadi aku pasti
kuat meski kehujanan,” katanya.
“Baiklah kalu begitu! Hati-hati di jalan ya kek!” kata
Dheda.
“O ya, tadi aku menyisakan sebutir kentang di
piring. Jika nanti kalian ingin makan. Iris-iris kentang itu menjadi 5 iris. Pasti akan cukup unuk kalian
berlima. Nah selamat tinggal!” kata pengemis tua. Setelah kepergian pengemis tua itu, Dheda
memandang satu butir kentang yang tersisa di piring
dan berpikir, “mana mungkin 1 butir kentang ini bisa
cukup untuk kami?” Namun karena penasaran,
maka dia mengajak keluarganya untuk berkumpul
dan kemudian mengiris-iris kentang itu menjadi 5 iris. Ajaib! Ternyata kelima iris kentang itu berubah
menjadi 5 butir kentang Dan jika 1 butir kentang itu
diiris menjadi 5 iris lagi akan berubah menjadi 5 butir
kentang lagi demikian seterusnya. Alhasil Dheda
dan keluarganya tidak kekurangan makanan,
bahkan persediaan makanan mereka sekarang berlimpah. Dheda dan keluarganya sangat bersyukur
atas anugrah-Nya. Tidak lupa dia pun membagi-
bagikannya kepada tetangga-tetangga mereka yang
kekurangan. Sayang, Dheda tidak pernah bisa
menemukan pengemis tua yang telah memberikan
keajaiban bagi keluarganya. Mereka hanya bisa mendoakan keselamatan baginya dan berharap
yang terbaik untuknya.
Lo Sun meninggalkan rumah tanpa bekal apapun. Ia ditemani Fan, anjingnya yang setia. Mereka pergi ke kota. Mereka mencari nafkah dengan meminta- minta. Lo Sun berjalan memakai tongkat. Di jalanan yang terjal dan berbatu-batu, Fan menjadi penunjuk jalan.
Fan adalah anjing yang pandai. Sesekali ia membantu majikannya mencari uang. Apabila Lo Sun menepuk tangan tiga kali, Fan berlutut dan menjatuhkan kepalanya ke tanah. Orang-orang di jalan menyukai tontonan ini, sehingga mereka memberi Lo Sun uang receh.
Lima tahun telah berlalu. Sejak matahari terbit sampai tenggelam ke peraduan, Lo Sun menyusuri jalan-jalan kota, mencari sesuap nasi. Pada malam hari mereka tidur di sembarang tempat. Kadang di depan pintu rumah orang, kadang di lapangan terbuka.
Suatu malam, Fan menuntun majikannya ke sebatang pohon berdaun lebat di tepi jalan. Lo Sun menyantap makanan malam, berupa sekerat kecil roti. Roti itu dimakannya berdua dengan Fan. Mereka lalu tidur.
Dalam tidurnya Lo Sun bermimpi. Seorang peri cantik datang dan berbicara lembut padanya, “Lo Sun, apa kau dapat melihatku?”
Lo Sun menjawab sedih, “Tidak, aku buta.”
“Kasihan,” sahut sang peri, “Tapi jangan sedih. Barangkali aku bisa menolongmu.”
“Apa kau bisa memulihkan mataku?” tanya Lo Sun penuh harap.
“Maksudku, kau bisa menolong dirimu sendiri. Aku hanya membantu. Kalau kau berbuat baik, maka secercah cahaya kecil akan memasuki rongga matamu. Semakin banyak kau beramal kebaikan, semakin bertambah baik penglihatanmu.” Si peri lalu menambahkan, “Tapi ingat, apabila perbuatanmu kurang baik, sinar itu akan meredup, dan kau akan kembali buta.”
Suara itu menjadi sayup-sayup, dan Lo Sun terbangun. Matahari hangat menerpa wajahnya. Bocah pengemis itu menjadi penuh semangat. Begitu juga Fan yang menyalak-nyalak gembira.
“Fan, bantulah aku agar bisa melihat lagi,” cetus Lo Sun. “Tanpa kau, aku tak bisa berbuat banyak.”
Mereka berjalan bersama menyelusuri jalan-jalan di kota. Tanpa disadari, mereka melintas di depan seorang pengemis tua yang duduk di tepi jalan. Pengemis itu berkata, “Kasihani aku! Beri pengemis buta uang satu kepeng!”
Lo Sun menjawab, “Tapi aku juga buta, Kek. Aku juga pengemis, seperti Kakek.”
“Tapi kau lebih beruntung, anak muda,” sahut lelaki tua, “Karena kau masih bisa berjalan. Tapi aku…, aku buta dan lumpuh.”
“Oh, ya,” pekik Lo Sun. Ia segera memberi si Kakek sekeping uang receh. Itu satu-satunya uang yang dimilikinya.
Pengemis tua mengucapkan terima kasih. Tiba-tiba Lo Sun merasakan secercah cahaya melintas di depan matanya. Dikerjapkan matanya, dan ketika dibuka dunia nampak sedikit terang. Ia sudah tidak buta total. “Fan, mimpiku menjadi kenyataan!” pekiknya. “Kata Peri, kalau aku berbuat amal dan kebajikan, buta mataku jadi berkurang!”
Malam harinya Lo Sun tidur di Kuil Pengemis. Yaitu bangunan berupa puing-puing kuno, letaknya di luar kota. Kuil Pengemis adalah tempat singgah para pengemis. Di pojok kuil ada seorang nenek pengemis. Tubuhnya kurus kering. Ia sakit karena kurang makan. Lo Sun hanya memiliki sepotong kecil roti kering untuk makan malam. Tapi diberikannya roti itu kepada nenek itu. Nenek itu mengucapkan terima kasih. Tiba-tiba ada secercah cahaya lain melintas di depan mata Lo Sun. Dikerjapkan matanya. Sekarang ia bisa melihat malam itu ada bulan purnama.
Malam itu Lo Sun tidur dengan perut kosong. Tapi ia tidak peduli. Rasa bahagia karena matanya mulai pulih membuat ia lupa bahwa ia lapar.
Esok harinya, Lo Sun dan Fan kelaparan. Mereka tidak punya roti lagi. Lo Sun dan Fan kembali ke kota untuk mengemis. Mereka telusuri jalanan berdebu. Tiba-tiba mereka melihat seekor ayam tersesat di jalan. Fan mengejarnya, lalu menangkapnya, dan memberikannya kepada Lo Sun.
Lo Sun merasa amat lega. Ayam itu dijualnya di pasar. Tapi ketika Lo Sun menerima beberapa keping uang dari si pembeli, tiba-tiba seberkas awan gelap melintas di depan mata Lo Sun. Pemandangan di depannya pun menjadi gelap.
Lo Sun teringat kata-kata peri dalam mimpi. “Pasti ini hukuman karena aku berbuat jahat,” batinnya. “Ayam itu bukan milikku. Aku telah mencurinya.”
Meskipun merasa amat lapar, Lo Sun tidak mau berbuat dosa. Ia harus mengembalikan ayam itu kepada pemiliknya. Tapi karena pembelinya sudah pergi, Lo Sun kembali ke desa, mencari pemilik ayam, dan menyerahkan semua uang hasil penjualan ayam kepadanya. Maka seberkas cahaya kembali melintas di depan matanya. Bumi nampaknya lebih cerah daripada semula. Lo Sun kembali tersenyum senang.
Sebulan kemudian, Lo Sun sudah bisa membedakan benda-benda yang dilihatnya. Sekarang Fan tak perlu lagi menuntunnya.
Suatu hari, ia dan Fan sedang duduk di pinggir sungai. Semalam turun hujan lebat. Langit diselimuti mendung tebal. Air sungai meluap, arusnya deras sekali. Tiba-tiba terdengar jeritan seorang lelaki, “Tolong! Aku tenggelam!”
Lelaki itu pasti tercebur ke sungai, dan kini terseret arus deras! Batin Lo Sun. Lo Sun tidak tahu haru berbuat apa. Ia masih kecil dan matanya setengah buta. Bagaimana ia bisa menolong orang tenggelam? Tapi Lo Sun ingat, Fan bisa berenang dan pandai. Ia pasti bisa menolong orang itu. “Tapi bagaimana kalau Fan tenggelam?” gumam Lo Sun ragu. “Aku tak akan punya teman lagi.”
Teriakan laki-laki tadi terdengar lagi. Kali ini Lo Sun tidak ragu-ragu. “Lari, Fan! Selamatkan lelaki yang tenggelam itu!”
Lo Sun berdoa agar si pria dan Fan selamat.
Akhirnya terdengar suara si lelaki naik ke tepian dan merebahkan tubuh dari tepi sungai. Lo Sun menghampirinya, dan bertanya, “Apakah anda baik- baik saja? Di mana anjingku?”
Lelaki itu duduk nyaris tak bisa bicara. Tapi ia kemudian berkata pelan, “Menyesal sekali, anjingmu
terseret arus. Aku telah berusaha menariknya. Tapi kami berdua sama-sama lemah…”
Lo Sun menangis meraung-raung di rerumputan. “Fan! Apa yang bisa kulakukan tanpa kau di sampingku? Kau satu-satunya sahabatku!” Lo Sun terisak, membenamkan wajahnya di kedua telapak tangannya.
Lelaki itu duduk dan melingkarkan lengannya ke bahu Lo Sun yang malang. “Jangan menangis!” katanya menghibur. “Pulanglah, ceritakan pada ayahmu. Aku yakin dia akan membelikanmu anjing lain.”
“Tapi aku tak punya rumah,” jawab Lo Sun. “Aku buta, dan ayah mengusirku lima tahun lalu. Fan satu-satunya sahabatku.”
Tangisan lelaki itu pun meledak. “Angkatlah mukamu, Nak,” katanya. Lo Sun menengadah dan memandangi lelaki itu. Ya, ia dapat melihat wajah lelaki itu! Matanya telah pulih. Perbuatan baiknya yang terakhir telah menyembuhkan kebutaannya. Lelaki itu bicara dengan suara pelan, “Apakah namamu Lo Sun?”
“Ya, benar,” jawab Lo Sun. “Tapi darimana Anda tahu?”
“Lo Sun, anakku, maafkan aku!” ujar lelaki itu. “Aku ayahmu. Aku telah berlaku kejam dengan mengusirmu. Ayo pulang bersamaku, aku berjanji tak akan berbuat kejam padamu. Aku akan membelikan kau seekor anjing lain….”
Sesaat Lo Sun marah. Lelaki di depannya ternyata ayahnya yang telah membuat hidupnya sengsara! Tapi Lo Sun kemudian sadar, bahwa ia harus memaafkan. Jawabnya, “Aku maafkan, Ayah. Aku akan pulang bersama Ayah!”
Ayahnya memekik kegirangan. Saat mereka berjalan berangkulan pulang, Lo Sun bercerita tentang peri baik hati yang datang ke mimpinya.
Lo Sun kini mempunyai anjing lain bernama Min. Namun bagaimana pun akrabnya ia dengan Min, kenang-kenangan manisnya bersama Fan tak pernah bisa dilupakannya.
“Ayah saya ikut berperang, dan dia belum kembali,” jawabnya. ‘”Ibu dan adikku sudah mengungsi bersama paman Benito ke San Severino. Seandainya saya sudah lebih besar sedikit, saya pasti ikut berperang bersama ayah. Saya ingin jadi serdadu dan membela negara kita. Sayang kata ayah saya masih terlalu kecil. Maka saya tetap tinggal disini. Tugasku adalah menjaga rumah, dan kalau mungkin memberikan bantuan pada para serdadu. Oh, apakah saya boleh menyiapkan makanan? Ayah telah mengumpulkan jagung yang banyak. Saya bisa menyajikannya untuk para serdadu kita.” Kapten tersenyum mendengar penuturan anak kecil itu. “Simpan saja jagungmu nak! Para serdadu dan kuda-kuda sudah kenyang. Kau dan keluargamu akan memerlukan jagung-jagung itu saat kalian berkumpul kembali,” kata kapten. “O ya nak. Apakah akhir-akhir ini kau melihat serdadu Austria lewat sini?”
“Tidak! Tidak ada serdadu dalam tiga hari ini!” katanya mantap.
“Itu tidak mungkin!” pikir kapten dalam hati. “Serdadu Austria hanya bisa melarikan diri lewat desa ini.” Maka kapten turun dari kudanya dan meminta ijin untuk mengintai keadaan desa dari loteng rumah anak lelaki itu. Tapi ternyata loteng rumah itu terlalu pendek. Kapten hanya bisa melihat sebagian desa saja. Satu-satunya cara untuk bisa melihat seluruh desa adalah dengan meanjat pohon tinggi di depan rumah anak lelaki itu. Namun jika kapten atau salah satu serdadunya naik, musuh pasti bisa melihat keberadaan mereka, dan sudah tentu akan menembaknya.
Anak lelaki itu tahu apa yang dipikirkan kapten, maka dia berkata: “Saya bisa naik ke pohon itu untuk mengintai!”
“Apakah kau berani? Itu sangat berbahaya,” kata kapten.
“Saya pandai memanjat,” katanya “saya bisa sampai di puncak pohon dalam sekejap. Dan musuh pasti tidak akan menyadarinya. Lagipula mata saya tajam, jadi saya bisa memberi informasi dengan cepat.”
“Lalu apa yang bisa kuberikan sebagai hadiah atas keberanianmu?” tanya kapten.
“Saya tida meminta apapun,” jawabnya “saya senang bisa berbuat sesuatu untuk negara.”
Kapten terharu mendengar kata-katanya. Ditepuknya bahu anak lelaki itu. “Baiklah! Aku menyerahkan tugas ini padamu. Tapi berhati- hatilah!” kata kapten.
“Siap kapten!” katanya dengan gembira. Dengan sigap anak lelaki itu mendekap batang pohon dan mulai memanjat dengan lincah. Sekejap kemudian anak lelaki itu sudah berada di puncak pohon. Kakinya tertutup daun-daun, namun tubuhnya menyembul di atas pucuk pohon dan tidak terlindung.
“Lihatlah ke depan nak!” teiak kapten. “Apa yang kau lihat?”
“Aku melihat ada dua penunggang kuda sedang menuju kesini,” teriaknya.
“Berapa jaraknya dari sini?” tanya kapten.
“Kira-kira setengah mil,” jawabnya.
“Baiklah. Sekarang lihatlah di sebelah kananmu nak!
Apa yang kau lihat?” tanya kapten.
“Oh di dekat kuburan, aku melihat ada sesuatu yang mengkilat. Seperti sangkur senjata. Tapi saya tidak bisa melihat orangnya. Mungkin mereka bersembunyi di ladang gandum,” katanya. Tiba-tiba terdengar desingan peluru di udara, kapten sadar bahwa musuh telah mengetahui bahwa mereka sedang diintai.
“Kau harus turun nak!” katanya cemas. “Mereka sudah melihatmu!”
“Aku tidak takut!” kata anak lelaki. “Apakah kapten ingin tahu apa yang kulihat di sebelah kiriku?”
“Apa?” tanya kapten.
Kembali terdengar desingan peluru. Kali ini hampir menyerempet tubuh si anak lelaki.
“Oh, mereka membidikku, tapi tidak kena,” teriak si anak lelaki.
“Demi Tuhan turunlah nak! Lupakan apa yang di sebelah kirimu. Turun saja!” teriak kapten.
“Ya saya akan turun,” jawabnya. “Tapi pak di sebelah kiri saya, di dekat gereja, di sana ada aaaaaaaahhh…..!” Sebutir peluru lagi-lagi mendesing di udara. Kali ini tepat mengenai paru-paru anak lelaki itu. Dan dia pun jatuh tepat di hadapan kapten. Cepat-cepat kapten meraih tubuh kecil yang sudah bersimbah darah itu.
“Nak, maafkan saya!” kata kapten penuh penyesalan.
Anak itu tersenyum dan menggeleng. “Selamat tinggal ayah…ibu…sampai jumpa di surga!” bisiknya
lemah. Lalu kepala itu terkulai. Anak lelaki itu menghembuskan nafasnya yang terakhir. Kapten dan anak buahnya hanya bisa menatap haru. “Sungguh meski dia masih belia, tapi jiwa patriotnya luar biasa. Dia adalah pahlawan bangsa. Kita harus menguburkannya dengan layak!” kata kapten dengan penuh duka.
saya harus masuk kembali ke hutan itu untuk berbicara dengan mahluk yang tidak pernah saya lihat? Saya sekarang sangat kaya, mempunyai banyak teman, dan namaku sangat di hormati semua orang.” “Pergilah sekali lagi,” kata istrinya, “Kamu harus memberi dia salam dan berterima kasih atas segala kebaikannya.” Akhirnya penebang kayu itu dengan menunggangi kudanya, diikuti oleh dua orang pelayan, masuk ke dalam hutan dan mulai berteriak: “Merlot! Merlot! Saya tidak membutuhkan kamu lagi, karena sekarang saya cukup kaya.” Merlin membalasnya, “Sepertinya kamu lupa saat kamu masih miskin, tidak cukup makan, dengan hanya berbekal kapak, kamu dengan susah payah mendapatkan enam pence setiap hari! Saya saya memberikan kamu berkah pertama kali, kamu berlutut dengan kedua kakimu, dan memanggil saya ‘Tuan’, setelah berkah kedua, kamu hanya memanggil saya ‘Bapak’ dan setelah yang ketiga, kamu memanggilku dengan ‘Merlin’ saja, sekarang dengan sombongnya kamu memanggilku ‘Merlot’! kamu mungkin berpikir bahwa kamu sudah sangat kaya dan hidup dengan baik dan tidak memerlukan lagi saya, Mari kita lihat nanti, selama ini kamu tidak memiliki hati yang baik dan selalu bertindak bodoh, tetaplah menjadi bodoh, dan tetaplah menjadi miskin seperti saat pertama saya bertemu dengan kamu.” Penebang kayu itu tertawa terbahak-bahak, mengangkat bahunya dan tidak mempercayai apa yang dikatakan kepadanya. Dia kembali ke rumahnya, tapi dengan cepat anaknya yang sekarang menjadi pejabat tinggi, meninggal, putrinya yang menjadi istri seorang pejabat juga menderita sakit keras dan akhirnya meninggal. Kesialan menimpanya terus menerus dan saat perang pecah, serdadu dari kedua belah pihak yang berperang, memasuki rumahnya, merampas minuman dan makanan yang ada di lumbungnya, membakar semua ladangnya, juga rumahnya, hingga dia tidak memiliki uang satu penny pun. Ketika tiba masa untuk membayar pajak, dia tidak mempunyai uang di kantongnya, sehingga dia terpaksa menjual semua ladangnya. “Lihat,” kata penebang kayu yang tidak tahu berterimakasih itu, sambil menangis, “Saya telah kehilangan semua yang saya miliki, uang, ladang, kuda, anak-anakku! Mengapa saya tidak percaya kepada Merlin? hanya kematian yang belum menjemput saya, saya sudah tidak tahan dengan penderitaan ini.” “Tidak begitu,” kata istrinya yang bijaksana, “Kita harus mulai bekerja keras kembali.” “Dengan apa?” kata penebang kayu, “Kita bahkan sudah tidak memiliki seekor keledaipun untuk bekerja!” “Dengan apa yang Tuhan berikan kepada kita,” kata istrinya lagi. Tuhan hanya memberikan mereka sebuah keranjang, yang dipinjam dari tetangganya. Dengan keranjang ini di punggungnya dan kapak di tangannya, dia akhirnya masuk ke hutan untuk bekerja menebang kayu, mencoba untuk mencari kayu untuk mendapatkan enam pence sehari. Semenjak itu, dia tidak pernah mendengar suara Merlin lagi.
menetaskannya, Sungguh sangat indah kelihatannya apabila telur-telur tersebut telah menetas dan ladangku akan dipenuhi dengan ayam- ayam muda yang sehat. Pada suatu saat, saya akan menjualnya, dan dengan uang tersebut saya akan membeli baju-baju yang cantik untuk di pakai ke pesta. Semua pemuda ganteng akan melihat ke arahku. Mereka akan datang dan mencoba merayuku, tetapi saya akan mencari pemuda yang memiliki usaha yang bagus saja!” Ketika dia sedang memikirkan rencana-rencananya yang dirasanya sangat pandai, dia menganggukkan kepalanya dengan bangga, dan tanpa disadari, ember yang berada di kepalanya jatuh ke tanah, dan semua susu yang telah diperah mengalir tumpah ke tanah, dengan itu hilanglah semua angan-angannya tentang mentega, telur, ayam, baju baru beserta kebanggaannya. Jangan menghitung ayam yang belum menetas.
memberikannya hadiah yang sangat besar. Saat itu orang mengetahui bahwa reruntuhan rumah tua dan pekuburan yang di tunjuk oleh MacDonald adalah rumah yang berhantu dan banyak hal-hal yang menyeramkan terlihat di malam hari. Penjahit itu sadar akan hal ini; tetapi dia adalah orang yang selalu riang gembira, dan ketika MacDonald sang pemilik kastil menantangnya untuk membuat sepasang celana di rumah berhantu itu, penjahit itu tidak merasa takut, dan malah menerima
tantangan itu karena ingin mendapatkan hadiah yang besar. Sehingga ketika malam mulai tiba, dia naik ke atas lembah, sekitar setengah mil jaraknya dari kastil itu, hingga dia tiba di sebuah rumah tua. Kemudian dia memilih sebuah tempat yang nyaman untuk diduduki dan menyalakan lilinnya, menaruh peralatan untuk menjahitnya, dan mulai mengerjakan celana yang dipesan, dan memikirkan terus hadiah uang yang akan diberikan oleh MacDonald. Semuanya berjalan lancar, hingga dia merasakan lantai bergetar di bawah kakinya, dia melihat ke bawah tetapi jari tangannya tetap mengerjakan celana itu, dia melihat munculnya kepala manusia yang sangat besar dari bawah lantai batu di rumah tua itu. Dan ketika kepala tersebut sepenuhnya muncul dari lantai, sebuah suara yang sangat besar dan menakutkan berkata: “Apakah kamu melihat kepalaku yang sangat besar ini?” “Saya melihatnya, tetapi saya harus menjahit celana
ini!” balas penjahit yang riang, dan dia tetap menjahit celana tersebut. Kemudian kepala tersebut muncul lebih tinggi dari lantai, hingga lehernya pun kelihatan. Ketika lehernya sudah muncul, dengan suara yang menggelegar dia berkata lagi: “Apakah kamu melihat
leherku yang sangat besar ini?” “Saya melihatnya, tetapi saya harus menjahit celana
ini!” balas penjahit yang riang, dan dia tetap menjahit celana tersebut. Kemudian kepala dan leher yang besar itu bertambah naik hingga seluruh pundak dan dadanya terlihat di atas lantai. Dan kembali dengan suara yang menggelegar lebih besar dia berkata: “Apakah kamu melihat dadaku yang besar ini?” Dan kembali penjahit tersebut membalas: “Saya melihatnya, tetapi saya harus menjahit celana ini!” sambil tetap menjahit celana itu. Makhluk tersebut terus muncul dari lantai dan kelihatan bertambah tinggi hingga akhirnya makhluk tersebut menggoyangkan kedua tangannya di depan wajah penjahit itu dan berkata lagi, “Apakah kamu melihat tanganku yang besar ini?” “Saya melihatnya, tetapi saya harus menjahit celana
ini!” balas penjahit itu dan tetap menjahit celana tersebut, karena dia tahu bahwa dia tidak boleh kehilangan waktu. Penjahit yang riang akhirnya mulai menjahit dengan jahitan-jahitan yang panjang ketika dia melihat makhluk tersebut perlahan-lahan naik dari bawah tanah dan bertambah tinggi terus, hingga akhirnya satu kaki makhluk tersebut sepenuhnya muncul dari bawah tanah dan makhluk tersebut menghentakkan kakinya ke lantai dengan keras, berteriak dengan suara yang sangat menakutkan, “Apakah kamu melihat kakiku yang besar ini?” “Ya, ya.. saya melihatnya, tetapi saya masih harus menjahit celana ini!” kata penjahit itu, dan jari-jari tangannya seperti beterbangan saat menjahit celana tersebut dan penjahit itu menjahit dengan jahitan- jahitan yang sangat panjang, dan tepat pada saat dia menyelesaikan celana tersebut, makhluk tersebut telah mengangkat kakinya yang satu lagi dari bawah tanah. Tetapi sebelum makhluk tersebut mengeluarkan kaki yang satunya dari bawah tanah, penjahit itu telah menyelesaikan tugasnya, dan meniup mati lilinnya sambil meloncat dari tempat duduknya, mengambil semua peralatannya dan berlari keluar dari runtuhan rumah tua dengan celana yang di pegang erat-erat di bawah lengannya. Saat itu makhluk yang menyeramkan itu mengeluarkan teriakan yang menggelegar, dan menghentakkan kakinya di tanah dan berlari keluar juga untuk mengejar penjahit yang riang. Keduanya lari menuruni lembah, lari dengan sangat kencang dan lebih kencang dari aliran air sungai yang mengalir di sampingnya, tetapi penjahit yang telah menerima tantangan MacDonald dan berhasil menyelesaikan tugasnya, tidak ingin kehilangan hadiah yang dijanjikan. Walaupun suara di belakangnya menggelegar menyuruhnya untuk berhenti, penjahit itu bukanlah orang yang suka di tangkap oleh makhluk dan monster, sehingga dengan memegang erat celana tersebut, dia berlari tanpa berhenti hingga dia mencapai kastil. Secepatnya dia tiba di dalam pintu gerbang, dan menutup pintu gerbang. saat makhluk itu tiba di depan gerbang yang tertutup, makhluk tersebut menjadi sangat marah karena tidak berhasil menangkap penjahit, dan memukul dinding pintu gerbang dan meninggalkan bekas pukulan disana dengan lima jari-jarinya yang besar. Akhirnya penjahit yang riang menerima hadiahnya karena MacDonald memenuhi janjinya dan telah mendapatkan sepasang celana yang sangat indah. MacDonald tidak pernah menyadari bahwa beberapa jahitan pada celana itu, tidak sama panjangnya.
“Kalau kau besar nanti, kau akan mampu menebang pohon lebih banyak dari Ayah,” ujar ayah Sukresh sambil membetulkan sorbannya.
Sukresh hanya terdiam.
Ketika hari menjelang siang, ayah segera memotong
kayu menjadi kecil-kecil dan mengikatnya menjadi satu. Kayu-kayu itu akan diangkut dan dijual ke pasar. Pasti ibu senang melihat mereka mampu menjual kayu lebih banyak lagi pada hari itu.
Namun ketika akan mengangkut kayu ke pundaknya, tiba-tiba kaki ayah tergelincir. Tubuh ayah terperosok ke tepi tebing kecil. Sukresh terkejut. Dengan tertatih-tatih ia menuruni tebing. Diperiksanya setiap rerimbunan. Betapa terkejut ketika ia menemukan ayahnya yang pingsan. Namun lebih terkejut lagi ketika ia melihat seekor ular besar siap mematuk ayahnya.
“Jangan gigit ayahku!” teriak Sukresh keras.
Ajaib. Ular itu memandang Sukresh.
“Tubuh ayahmu menindih tiga anakku hingga mati. Maka balasan yang setimpal adalah nyawa ayahmu juga,” jawab ular itu.
“Apa pun akan kulakukan asal kau tidak menggigit ayahku,” pinta Sukresh.
“Baiklah. Sebagai gantinya, setiap mencari kayu bakar, kau harus menyediakan kayu bakar untukku sebanyak tiga ikat sebagai ganti nyawa tiga anakku. Kau hanya boleh membawa pulang satu ikat kayu bakar sebagai pengganti nyawa ayahmu. Dan ingat, perjanjian ini tidak boleh ada yang tahu. Termasuk ayah dan ibumu.”
“Baik, kalau itu yang kau minta. Asal kau lepaskan ayahku.”
Sejak saat itu Sukresh menggantikan ayahnya mencari kayu bakar di hutan. Ayahnya tidak dapat berjalan karena kakinya luka akibat tergelincir.
Hari-hari penuh kerja keras dilalui Sukresh. Setiap ia
menebang empat pohon, tiga pohon dilemparkannya ke dalam jurang. Satu pohon dibawanya ke pasar untuk dijual.
Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Tahun berganti tahun. Sukresh tumbuh menjadi pemuda berbadan besar dan kuat. Namun setiap kembali dari hutan dia hanya membawa satu ikat kayu bakar. Orang-orang desa mulai berbisik-bisik mengejek. Sungguh tidak pantas bila Sukresh hanya membawa satu ikat. Tidak sepadan dengan besar tubuhnya.
“Sukresh anak pemalas. Di hutan kerjanya hanya melamun,” begitu cibiran pemuda-pemuda di desa itu.
Sukresh hanya diam. Ia tidak marah, karena tidak boleh ada yang tahu kisah yang sebenarnya. Sementara itu, ayah Sukresh sedih mendengar ejekan terhadap anaknya. Dan karena hasil penjualan kayu Sukresh hanya sedikit, keluarga mereka hidup miskin.
Hingga suatu hari datanglah ke rumah reot mereka dua orang menunggangi kuda. Jubah mereka seperti yang dikenakan orang-orang kaya di sungai Indus.
“Benarkah anda yang bernama tuan Sukresh?” tanya tamu itu penuh hormat saat melihat Sukresh.
“Benar,” jawab Sukresh.
“Hamba diutus tuanku Raja untuk menyampaikan dua pesan. Pesan pertama, perjanjian antara tuan Sukresh dan tuanku Raja telah berakhir. Pesan kedua, apa yang saya bawa adalah milik tuan semuanya. Itu adalah hasil keikhlasan dan pengorbanan tuan selama bertahun-tahun dalam mencintai ayah Tuan,” ujar tamu itu sambil menunjukkan barisan gerobak berderet-deret berisi kayu bakar.
Sukresh terkesima. Bukankah itu hasil pekerjaannya selama ini. Sukresh ingat bagaimana cara dia memotong kayu-kayu itu.
“Apakah semua ini untuk saya…” tanya Sukresh terheran-heran kepada tamunya. Namun ketika Sukresh menoleh, tamu itu telah pergi. Tinggallah Sukresh dan kedua orang tuanya yang masih kebingungan.
Sejak saat itu Sukresh menjadi orang kaya di desanya. Dialah raja kayu yang memiliki gudang- gudang berisi kayu bakar terbesar siap untuk dikirim ke seluruh pelosok negeri.
tersebut terbang berputar-putar pada jerami yang sudah diikatkan pada sebatang ranting. “Wah menarik ya”, ujar Taro. Saat itu lewat kereta yang diikuti para pengawal. Di dalam kereta itu, seorang anak sedang duduk sambil memperhatikan lalat Taro. “Aku ingin mainan itu.” Seorang pengawal datang menghampiri Taro dan meminta mainan itu. “Silakan ambil”, ujar Taro. Ibu anak tersebut memberikan tiga buah jeruk sebagai rasa terima kasihnya kepada Taro. “Wah, sebatang jerami bisa menjadi tiga buah jeruk”,
ujar Taro dalam hati. Ketika meneruskan perjalanannya, terlihat seorang wanita yang sedang beristirahat dan sangat kehausan. “Maaf, adakah tempat di dekat sini mata air ?”, tanya wanita tadi. “Ada dikuil, tetapi jaraknya masih jauh dari sini, kalau anda haus, ini kuberikan jerukku”, kata Taro sambil memberikan jeruknya kepada wanita itu. “Terima kasih, berkat engkau, aku menjadi sehat dan segar kembali”. Terimalah kain tenun ini sebagai rasa terima kasih kami, ujar suami wanita itu. Dengan perasaan gembira, Taro berjalan sambil membawa kain itu. Tak lama kemudian, lewat seorang samurai dengan kudanya. Ketika dekat Taro, kuda samurai itu terjatuh dan tidak mampu bergerak lagi. “Aduh, padahal kita sedang terburu- buru.” Para pengawal berembuk, apa yang harus dilakukan terhadap kuda itu. Melihat keadaan itu, Taro menawarkan diri untuk mengurus kuda itu. Sebagai gantinya Taro memberikan segulung kain tenun yang ia dapatkan kepada para pengawal samurai itu. Taro mengambil air dari sungai dan segera meminumkannya kepada kuda itu. Kemudian
dengan sangat gembira, Taro membawa kuda yang sudah sehat itu sambil membawa 2 gulung kain yang tersisa. Ketika hari menjelang malam, Taro pergi ke rumah seorang petani untuk meminta makanan ternak untuk kuda, dan sebagai gantinya ia memberikan segulung kain yang dimilikinya. Petani itu memandangi kain tenun yang indah itu, dan merasa amat senang. Sebagai ucapan terima kasih petani itu menjamu Taro makan malam dan mempersilakannya menginap di rumahnya. Esok harinya, Taro mohon diri kepada petani itu dan melanjutkan perjalanan dengan menunggang kudanya. Tiba-tiba di depan sebuah rumah besar, orang-orang tampak sangat sibuk memindahkan barang-barang. “Kalau ada kuda tentu sangat bermanfaat,” pikir Taro. Kemudian taro masuk ke halaman rumah dan bertanya apakah mereka membutuhkan kuda. Sang pemilik rumah berkata,”Wah kuda yang bagus. Aku menginginkannya, tetapi aku saat ini tidak mempunyai uang. Bagaimanan kalau ku ganti dengan sawahku ?”. “Baik, uang kalau dipakai segera habis, tetapi sawah bila digarap akan menghasilkan beras, Silakan kalau mau ditukar”, kata Taro. “Bijaksana sekali kau anak muda. Bagaimana jika selama aku pergi ke negeri yang jauh, kau tinggal disini untuk menjaganya ?”, Tanya si pemilik rumah. “Baik, Terima kasih Tuan”. Sejak saat itu taro menjaga rumah itu sambil bekerja membersihkan rerumputan dan menggarap sawah yang didapatkannya. Ketika musim gugur tiba, Taro memanen padinya yang sangat banyak. Semakin lama Taro semakin kaya. Karena kekayaannya berawal dari sebatang jerami, ia diberi julukan “Saudagar Jerami”. Para tetangganya yang kaya datang kepada Taro dan meminta agar putri mereka dijadikan istri oleh Taro. Tetapi akhirnya, Taro menikah dengan seorang gadis dari desa tempat ia dilahirkan. Istrinya bekerja dengan rajin membantu Taro. Merekapun dikaruniai seorang anak
yang lucu. Waktu terus berjalan, tetapi Si pemilik rumah tidak pernah kembali lagi. Dengan demikian, Taro hidup bahagia bersama keluarganya.