It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
“Sayalah yang memakan bubur tepung beras nenek. Saya pikir itu adalah makanan untukku. Saya mohon maafkanlah saya. Twit! Twit! Twit!”
Nenek sangat marah mendengar pengakuan si burung pipit. Memang nenek tidak pernah menyukai Suzume. Baginya keberadaan Suzume hanya mengotori rumah saja. Ini adalah kesempatan si nenek untuk melampiaskan kemarahannya. Maka keluarlah cacian dari mulut nenek. Tidak cukup sampai disitu nenek yang kalap merenggut Suzume yang malang dan memotong lidahnya hingga putus.
“Ini adalah pelajaran buatmu!” kata nenek, “karena dengan lidah ini kamu memakan bubur tepung berasku! Sekarang pergilah dari sini! Aku tak mau melihatmu lagi!”
Suzume hanya bisa menangis menahan sakit, dan terbang jauh ke arah hutan. Sore harinya kakek pulang dari ladang. Seperti biasa kakek menghampiri kandang Suzume untuk mengajaknya bermain. Tapi ternyata kandang itu sudah kosong. Dicarinya Suzume di sekeliling rumah dan dipangilnya, namun Suzume tidak juga muncul. Kakek merasa yakin bahwa neneklah yang telah membuat Suzume pergi. Maka kakek pun menghampiri nenek dan bertanya:
“Kemana Suzume? Kau pasti tahu dimana dia.” “Burung pipitmu?” kata nenek, “Aku tidak tahu dimana dia. Aku tidak melihatnya sepanjang hari ini. Oh, mungkin dia jenis burung yang tidak tahu berterima kasih. Makanya dia kabur dan tak ingin kembali meskipun kau sangat menyayanginya.”
Kakek tentu saja tidak percaya dengan perkataan nenek. Dia memaksanya untuk berbicara jujur. Akhirnya nenek mengaku telah mengusir Suzume dan memotong lidahnya. Itu hukuman karena dia telah berbuat nakal” kata nenek.
“Kenapa kau begitu kejam?” kata kakek. Dia sebenarnya sangat marah, tapi dia terlalu baik untuk menghukum istrinya yang kejam. Namun dia tidak bisa berhenti mengkhawatirkan Suzume yang pasti sangat menderita.
“Betapa malangnya Suzume. Dia pasti kesakitan. Dan tanpa lidahnya dia mungkin tidak bisa berkicau lagi,” pikir kakek.
Dia bertekad untuk mencari Suzume sampai ketemu
besok pagi. Esoknya, pagi-pagi sekali kakek sudah berkemas dan bersiap pergi untuk mencari Suzume. Dia pergi ke bukit lalu ke dalam hutan. Di setiap rumpunan bambu yang ditemuinya, dia akan berhenti dan mulai memanggilnya: "Dimana oh dimana burung pipitku yang malang,
Dimana oh dimana burung pipitku yang malang" Kakek terus mencari Suzume tanpa kenal lelah. Dia bahkan lupa kalau perutnya belum diisi sejak pagi. Sore harinya, sampailah kakek di rumpunan bambu yang rimbun. Dia pun mulai memanggil lagi: "Dimana oh dimana burung pipitku yang malang,
Dimana oh dimana burung pipitku yang malang" Dari rimbunan bambu tersebut, keluarlah Suzume. Dia membungkukan kepalanya, memberi hormat pada kakek. Kakek senang sekali bisa menemukan Suzume, apalagi ternyata lidah Suzume telah tumbuh lagi sehingga dia tetap bisa berkicau. Suzume mengajak kakek untuk mampir ke rumahnya. Ternyata Suzume memiliki keluarga dan mereka tinggal di sebuah rumah seperti layaknya manusia.
“Suzume pasti bukan burung biasa,” pikir kakek.
Kakek mengikuti Suzume memasuki rumpunan bambu. Rumah suzume ternyata sangat indah. Dindingnya terbuat dari bambu berwarna putih cerah.
Karpetnya sangat lembut, bantal yang didudukinya sangat empuk dan dilapisi sutra yang sangat halus. Ruangannya sangat luas dan dihiasi ornamen- ornamen yang cantik. Kakek disuguhi berbagai makanan dan minuman yang sangat lezat, juga tarian burung pipit yang sangat menakjubkan. Kakek
juga diperkenalkan kepada seluruh anggota keluarga Suzume. Mereka semua sangat berterima kasih pada kakek yang telah merawat Suzume dengan baik. Sebaliknya kakek pun memohon maaf atas perlakuan istrinya yang kejam terhadap Suzume. Waktu berlalu tanpa terasa. Malam pun semakin larut. Akhirnya kakek meminta diri dan berterima kasih atas sambutan keluarga Suzume yang hangat. Suzume memohon supaya kakek menginap satu atau dua malam, namun kakek bersikeras untuk pulang karena pasti nenek kebingungan mencarinya. Kakek berjanji akan sering-sering menunjungi suzume lain waktu. Sebelum pulang Suzume memaksa kakek untuk memilih kotak hadiah untuk dibawanya pulang. Ada dua buah kotak yang ditawarkan. Satu kecil dan satu lagi besar. Kakek memilih kotak kecil.
“Aku sudah tua dan lemah,” katanya. “Aku tidak akan kuat jika harus membawa kotak yang besar.”
Suzume dan keluarganya mengantarkan kakek sampai keluar dari rumpunan bambu dan sekali lagi membungkukan kepalanya memberi hormat. Setibanya di rumah, nenek langsung mencecarnya:
“Kemana saja seharian? Kenapa begitu malam baru pulang?” tanyanya.
Kakek mencoba menenangkannya dan memperlihatkan kotak yang didapatnya dari Suzume. Kakek juga menceritakan pertemuannya dengan Suzume.
“Baiklah!” kata nenek. “Sekarang cepat buka kotak itu! Kita lihat apa isinya.” Maka mereka lalu membuka kotak itu bersama-sama. Betapa terkejutnya mereka, ternyata kotak itu penuh berisi uang emas, perak dan perhiasan-perhiasan yang sangat indah. Kakek mengucap syukur berkali-kali atas anugrah itu. Tapi nenek yang serakah malah memarahi kakek karena tidak memilih kotak yang besar.
“Kalau kotak yang kecil saja isinya bisa sebayak ini apalagi kotak yang besar,” teriaknya. Esok paginya setelah memaksa kakek untuk menunjukkan jalan ke tempat Suzume, nenek pergi dengan penuh semangat. Kakek mencoba melarangnya, namun sia-sia saja. Setelah melewati bukit dan masuk ke dalam hutan, sampailah si nenek di tepi rimbunan bambu, maka dia pun mulai memanggil: “Dimana oh dimana burung pipitku yang malang, Dimana oh dimana burung pipitku yang malang” Suzume pun keluar dari rimbunan bambu dan membungkukan kepalanya ke arah nenek. Tanpa membuang waktu dan tanpa malu nenek berkata:
“Saya tidak akan membuang waktumu. Aku datang kesini hanya untuk meminta kotak yang kemarin ditolak oleh kakek. Setelah itu aku akan pergi.”
Suzume memberikan kotak yang diminta, dan tanpa mengucapkan terima kasih, nenek segera meninggalkan tempat itu. Kotak itu sangat berat. Dengan terseok-seok nenek memanggulnya. Semakin lama kotak itu semakin berat, seolah-olah berisi ribuan batu. “Kotak ini pasti berisi harta karun yang sangat banyak,” pikir nenek. Dia sudah tidak sabar ingin mengetahui isi kotak tersebut. Maka dia menurunkan kotak itu dari punggungnya dan lalu membukanya. Wush!!! Dari dalam kotak itu keluar ribuan makhluk yang menyeramkan dan mengejar nenek yang langsung lari terbirit-birit. Beruntung nenek bisa sampai di rumahnya meski jantungnya serasa mau putus. Kepada kakek dia menceritakan apa yang dialaminya.
“Itulah hukuman bagi orang yang serakah,” kata kakek. “Semoga ini menjadi pelajaran buatmu.”
Sejak saat itu nenek tidak pernah lagi mengeluarkan kata-kata kasar dan selalu berlaku baik pada orang lain. Dan mereka berdua hidup bahagia selamanya.
Mahendra mengejarnya. Namun ia terperosok masuk ke lubang yang cukup dalam. Ia berteriak sekeras-kerasnya memanggil para pengawal. Namun suaranya lenyap ditelan lebatnya hutan. Selagi Raja Mahendra merenungi nasibnya, ia terkejut melihat seseorang berdiri di tepi lubang.
“Hei! Siapa kau?” tanya Raja. Orang itu tak menjawab. “Aku Raja Mahendra! Tolong naikkan aku!” pintanya dengan nada keras. “Tidak!” jawab orang itu. Raja menjadi geram. Ia ingin memanah orang itu. Namun sebelum anak panah melesat, orang itu lenyap. Tak lama kemudian, jatuhlah seutas tali. Raja mengira itu pengawalnya. Namun, ternyata orang tadi yang melempar tali. “Jadi kau mau menolongku?” “Tidak!” jawabnya lagi. Raja menjadi bingung. Katanya tidak, mengapa memberi tali? Apa boleh buat, yang penting orang itu mau menolongnya. Raja Mahendra berhasil naik. Ia mengucapkan rasa terima kasih. “Maukah kau kubawa ke kerajaan?” tawar Raja. “Tidak!” jawab si penolong. “Kalau tidak mau, terimalah beberapa keping emas.” “Tidak!” jawabnya lagi, tetapi tangannya siap menerima. Akhirnya Raja Mahendra sadar, bahwa orang itu hanya bisa bicara satu kata. Yaitu tidak. Walau berkata tidak, orang itu dibawa juga ke kerajaan. Sampai di kerajaan Raja Mahendra memanggil Patih. “Paman Patih, tolong berikan pekerjaan pada manusia satu kata ini. Ia hanya bisa berkata, tidak.” “Mengapa paduka membawa orang yang amat bodoh ini?” “Walau bodoh, ia telah menolongku ketika terperosok lubang.” Patih berpikir keras. Pekerjaan apa yang sesuai dengan orang ini. Setelah merenung beberapa saat, Patih tersenyum dan berkata,”Paduka kan bermaksud mengadakan sayembara untuk mencari calon suami bagi sang putri. Tetapi sampai kini Paduka belum menemukan jenis sayembaranya.” “Benar Paman Patih, aku ingin mempunyai menantu yang sakti dan pandai. Tetapi apa hubungannya hal ini dengan sayembara?” “Peserta yang telah lolos ujian kesaktian, harus mengikuti babak kedua. Yaitu harus bisa memasuki keputren dengan cara membujuk penjaganya.” “Lalu, siapa yang akan dijadikan penjaga keputren?” “Manusia satu kata itu, Paduka.” “Lho, ia amat bodoh. Nanti acara kita berantakan!” “Percayalah pada hamba, Paduka.” Pada hari yang ditentukan, peserta sayembara berkumpul di alun-alun. Mereka adalah raja muda dan pangeran dari kerajaan tetangga. Di babak pertama, kesaktian para peserta diuji. Dan, hanya tiga peserta yang berhasil. Ketiganya lalu dibawa ke depan pintu gerbang keputren. Patih memberi penjelasan pada mereka. Nampaknya mudah. Mereka hanya disuruh membujuk penjaga keputren sehingga dapat masuk keputren. Peserta hanya boleh mengucapkan tiga pertanyaan. “Penjaga yang baik. Bolehkah aku masuk keputren?” tanya peserta pertama. “Tidak!” jawab si manusia satu kata. “Maukah kuberi emas sebanyak kau mau, asal aku diperbolehkan masuk?” “Tidak!” Pertanyaan tinggal satu. “Kau akan kujadikan Senopati di kerajaanku, asal aku boleh masuk.” “Tidak!” ujar si manusia satu kata. Peserta pertama gugur. Ia mundur dengan lemah lunglai. Peserta kedua maju. Ia telah menyusun pertanyaan yang dianggapnya akan berhasil, “Penjaga, kalau aku boleh masuk keputren, kau akan kunikahkan dengan adikku yang cantik. Setuju?” pertayaan pertama peserta kedua. “Tidak!” “Separoh kerajaan kuberikan padamu, setuju?” “Tidak!” “Katakan apa yang kau inginkan, asal aku boleh masuk.” “Tidak!” Peserta kedua pun mundur dengan kecewa. Mendengar percakapan dua peserta yang tak mampu masuk keputren, Raja Mahendra tersenyum puas. Pandai benar patihku, katanya dalam hati. Peserta terakhir maju. Semua penonton termasuk Raja Mahendra memperhatikan dengan seksama. Raja muda itu tampak percaya diri. Langkahnya tegap penuh keyakinan. “Wahai penjaga keputren, jawablah pertanyaanku baik-baik. Tidak dilarangkah aku masuk keputren?” tanyanya dengan suara mantap. Raja Mahendra, Patih, dan penonton terkejut dengan pertanyaan itu. Dengan mantap pula penjaga menjawab. “Tidak!” Seketika itu sorak-sorai penonton bergemuruh, mengiringi kebehasilan peserta terakhir. Si raja muda yang gagah lagi tampan. Raja Mahendra sangat senang dengan keberhasilan itu. Calon menantunya sakti dan pandai. Sayembara usai. Manusia satu kata berjasa lagi pada Raja Mahendra. Ia dapat menyeleksi calon menantu yang pandai. Walau bodoh, Raja Mahendra tetap mempekerjakannya sebagai penjaga keputren.
diam. Ia sangat kesal. Betulkah Matahari sehebat itu? Sepanjang malam ia tak bisa tenang. Ia terus berpikir bagaimana mengalahkan Matahari. Akhirnya Bulan mendapat akal. Pagi datang. Matahari segera menghampiri bulan. “Selamat pagi, Bulan. Sudah saatnya aku bekerja. Sekarang kau boleh beristirahat.” “Tidak!” “Lo, kenapa?” tanya Matahari heran. “Aku pun ingin bekerja pada siang hari,” sahut Bulan. “Bulan, siang hari akulah yang bertugas. Kau harus beristirahat supaya bisa tampil segara malam nanti,” kata Matahari. “Tidak! Sebenarnya aku ingin bertarung denganmu,” kata Bulan. “Bertarung? Bertarung bagaimana?” Matahari makin bingung. “Bintang- bintang mengatakan kau lebih hebat dariku. Aku ingin lihat, apa benar kau lebih hebat?” “Bagaimana caranya?” tanya Matahari. “Aku akan tetap tinggal di sini bersamamu. Lalu kita lihat, siapa yang lebih disukai orang-orang,” kata Bulan. “Ha ha ha,” Matahari tertawa geli. “Bulan, di pagi hari kau tak kan terlihat. Sinarku lebih kuat dari sinarmu. Jadi apa gunanya?” Bulan tidak peduli. Ia ingin tetap tinggal bersama Mathari. Tetapi, kemudian ia kecewa. Sepanjang hari ia di sana, tak seorang pun menyapanya. Mereka hanya menyapa Matahari. “Hu hu, tak seorang pun menyukaiku. Bintang-bintang benar, Matahari lebih hebat dariku,” Bulan menangis sedih. “Benar ‘kan Matahari lebih hebat,” kata bintang- bintang yang mengelilinginya. “sekarang beristirahatlah, Bulan. Malam segera tiba.” “Tidak, aku tidak mau! Tak seorang pun menyukaiku. Apa gunanya aku ada di sana?” sahut Bulan sedih. “Bulan, dengarlah! Matahari itu tak sehebat yang kau kira. Tapi, kami senang pada Matahari. Karena ia tidak sombong. Kami pun senang padamu, asalkan kau tak sombong. Sebenarnya kau dan Matahari tak bisa dibandingkan. Masing-masing punya kelebihan. Sudahlah, jangan menangis lagi,” hibur sebuah Bintang pada Bulan. Bulan berhenti menangis. Benar apa yang dikatakan Bintang. Ia tak boleh sombong. “Bulan, coba lihat!” kata sebuah bintang. Di bawah, sekelompok anak melambai-lambaikan tangan. “Ya, mereka menginginkan kau menerangi tempat itu. “Tapi uaaaah….” Bulan menguap. “Bulan mengantuk karena sepanjang siang tidak tidur. Biarlah untuk malam ini ia istirahat,” kata bintang-bintang. Malam itu Bulan tidak bekerja. Ia tertidur dengan nyenyak. Biarlah malam itu langit tak dihiasi Bulan. Yang penting, Bulan telah menyadari kesalahannya. Ia tak lagi sombong dan tetap hadir setiap malam.
“Nah!” kata saudagar itu kepada ketiga putrinya. “Apa yang kalian inginkan untuk oleh-oleh nanti?”
“Biasa Yah,” sahut si Sulung. “Saya ingin sebuah baju yang paling cantik yang ada di negri itu.”
“Kalau saya sih minta dibawakan perhiasan yang paling indah yang ada di negri itu,” seru si Tengah.
Bungsu hanya diam. Teringat dia akan mimpinya semalam. Dia merasa cemas, takut kalau apa yang dimimpikannya itu akan menjadi kenyataan. “Bagaimana Bungsu?” Apa yang kau inginkan?” tanya saudagar itu karena si Bungsu hanya memandangi dirinya saja.
“Saya ingin ayah tidak pergi,” sahut si Bungsu dengan suara pelan.
“Huuuu!” seru si Sulung sebal. “Kalau Ayah tidak pergi bagaimana aku bisa mendapat baju yang cantik!”
“Iya, nih. Kamu bagaimana sih!” seru si Tengah tidak kalah kesal. “Kalau Ayah tidak pergi aku kan tidak bisa memiliki perhiasan yang indah.”
Saudagar itu menepuk bahu si Bungsu tanda mengerti. “Ayah mengerti mengapa kau merasa cemas melepas ayah pergi. Tapi percayalah. Ayah bisa menjaga diri.”
Bungsu menundukkan kepalanya. Ingin rasanya dia menceritakan mimpinya. Tetapi dia takut ditertawakan. Tentu kedua kakanya akan berkata, “Alaa, mimpi itu kan cuma bunga tidur.”
Karena itu setelah ayahnya pergi, Bungsu terus gelisah. Bayangan mimpi itu terus mengganggu pikirannya. Setiap kali memikirkan ayahnya air matanya menitik. Akhirnya dia mengambil keputusan untuk menyusul ayahnya. Diam-diam dia pergi meninggalkan rumahnya. Dia berjalan menuju luar kota. Setelah seharian berjalan, dia merasa lelah. Dia duduk menyandar di bawah sebatang pohon yang rindang. Pikirannya masih dipenuhi oleh bayangan mimpinya. “Oooh, seandainya aku menjadi burung, tentu aku bisa lebih cepat menyusul Ayah,” keluhnya. Tak terasa air mata menetes di pipinya. Angin sepoi- sepoi membuat matanya mengantuk. Apalagi badannya sudak capek sekali. Akhirnya dia tertidur lelap. Entah berapa lama dia tidur. Ketika sudah bangun dia merasa ada sesuatu yang aneh di tubuhnya.. Seluruh badannya telah ditumbuhi bulu- bulu. Tangannya berubah menjadi sayap. Dan mulutnya menjadi paruh. Dia tidak bisa lagi berbicara seperti semula. Yang keluar dari mulutnya hanyalah suara siulan yang sangat merdu.
Meskipun begitu Bungsu merasa gembira. Sebab dengan memiliki sayap, kini dia bisa lebih cepat menemukan ayahnya. Dia lalu terbang. Makin tinggi.
Makin jauh. Tapi dia belum juga menemukan ayahnya. Dia sudah merasa putus asa ketika tiba- tiba dari kejauhan dia mendengar suara pekik burung gagak. Dia mencoba terbang ke arah itu. Dilihatnya segerombolan burung gagak raksasa terbang mengelilingi sesuatu benda. Bungsu segera mendekati mereka. Astaga! Pekiknya dalam hati. Itu kuda ayahnya. Sepertinya kuda itu sudah mati. Berarti ayahnya ada
di sekitar tempat itu. Dengan rasa cemas dia memeriksa sekitar tempat itu. Akhirnya dia menemukan ayahnya. Tergeletak pingsan di balik segerombolan semak. Tubuhnya terluka. Nampaknya ayahnya telah menjadi korban perampokan. Mungkin sebelum merampok ayahnya disiksa lebih dulu.
Menetes air mata Bungsu melihat keadaan ayahnya itu. Teringat dia akan mimpinya. Apa yang ditakutkannya telah menjadi kenyataan. Dia harus segera mencari pertolongan agar ayahnya bisa diselamatkan.
Bungsu segera terbang mengelilingi gurun itu. Melihat kalau-kalau ada orang yang bisa dimintai pertolongan. Haaa! Ada seorang pemuda gagah yang sedang mengendarai kuda. Nampaknya dia bermaksud beristirahat, sebab kini dia menghentikan kudanya. Memasang kemah. Menurunkan perbekalan yang dibawanya, kemudian memberi kudanya minum dan makan. Nah, sekarang pemuda itu siap menikmati makan siangnya.
Bungsu segera menukik. Menyambar roti yang siap dimasukkan ke mulut pemuda itu. Si pemuda mula- mula kaget dengan kejadian tiba-tiba itu. Tetapi kemudian dia menjadi heran. Karena burung yang telah menyambar rotinya itu tidak segera terbang menjauhinya. Burung itu terbang rendah di hdapannya. Berputar-putar seolah ingin ditangkap.
Pemuda itu menjadi penasaran. Dia berdiri. Mencoba menangkap burung cantik yang kelihatan jinak itu. Tetapi si burung mengelak. Terbang menjauh sedikit lalu berputar-putar kembali. Pemuda
itu terus mengikuti burung itu. Dia penasaran. Tak sadar dia telah meninggalkan kemahnya. Kini dilihatnya burung cantik itu hinggap di atas sebuah pohon kecil. Si Pemuda mengendap-endap. Mengulurkan tangan, siap menangkap si burung. Tetapi tiba-tiba dia terbelalak kaget. “Astaga!” serunya tatkala melihat saudagar yang sedang tergeletak pingsan. Dia segera mengangkat tubuh saudagar itu. Segera dibawanya ke kemahnya. Sementara burung cantik mengikuti dari belakang.
Setelah berada di kemahnya, saudagar itu dirawatnya dengan baik. Luka-lukanya dibersihkan, diberi obat. Pakaiannya yang kotor diganti. Dan ketika saudagar itu siuman, dia menjadi heran.
“Siapa anda?” tanyanya menatap penolongnya.
“Saya kebetulan sedang lewat. Burung itu yang menunjukkan Bapak kepada saya. Rupanya Bapak telah menjadi korban perampok,” sahut pemuda itu.
Saudagar mengangguk. “Yaa … sungguh menyesal saya karena tidak mau mendengar kata-kata anak saya yang bungsu. Padahal dia sudah melarang saya pergi. Akh, dia tentu sangat sedih bila mengetahui keadaan saya sekarang,” kata saudagar itu seraya menitikkan air matanya. Aneh! Tiba-tiba saja si Bungsu berubah kembali menjadi seorang putri yang cantik. Dia segera memeluk ayahnya dengan gembira.
“Ayah! Syukurlah Ayah selamat,” katanya.
“Astaga! Jadi kau yang telah menunjukkan ayah kepada orang itu?” tanya saudagar itu. “Mengapa kau bisa menjadi burung?” Bungsu segera mengisahkan kejadiannya. Kemudian dia mengucapkan terima kasih kepada pemuda yang telah menolong ayahnya. Si Pemuda tersenyum.
“Saya kagum sekali mendengar bagaimana besarnya kasih sayangmu kepada ayahmu. Kebetulan saya melakukan perjalanan ini untuk mencari seorang istri. O, ya. Perkenalkan. Saya Pangeran dari negri seberang. Kalau kamu tidak keberatan saya ingin melamar kamu menjadi istri saya.”
Begitulah akhirnya, mereka kawin dan hidup berbahagia. Saudagar itu kembali pulang ke rumahnya tanpa membawa oleh-oleh bagi kedua putrinya yang lain. Namun Bungsu menitipkan sebuah gaun yang cantik dan sepasang perhiasan bagi kedua kakaknya.
ke gua harta. Disana ia sangat terkejut karena mendapati tubuh kakaknya sudah terpotong. Setibanya dirumah, istri Kasim menangis sejadi- jadinya. Untuk membantu kakak iparnya itu Alibaba memberikan sekantung uang emas kepadanya. Istri Kasim segera berhenti menangis dan tersenyum, ia sudah lupa akan nasib suaminya yang malang. Alibaba membawa tubuh Kasim ke tukang sepatu untuk menjahitnya kembali seperti semula. Setelah selesai, Alibaba memberikan upah beberapa uang emas. Dilain tempat, di gua harta, para penyamun terkejut, karena mayat Kasim sudah tidak ada lagi. “Tak salah lagi, pasti ada orang lain yang tahu tentang rahasia gua ini, ayo kita cari dan bunuh dia!” kata sang kepala penyamun. Merekapun mulai berkeliling pelosok kota. Ketika bertemu dengan seorang tukang sepatu, mereka bertanya,”Apakah akhir-akhir ini ada orang yang kaya mendadak ?”. “Akulah orang itu, karena setelah menjahit mayat yang terpotong, aku menjadi orang kaya”. “Apa! Mayat! Siapa yang memintamu melakukan itu?” Tanya mereka. “Tolong antarkan kami padanya!”. Setelah menerima uang dari penyamun, tukang sepatu mengantar mereka ke rumah Alibaba. Si penyamun segera memberi tanda silang dipintu rumah Alibaba. “Aku akan melaporkan pada ketua, dan nanti malam kami akan datang untuk membunuhnya,” kata si penyamun. Tetangga Alibaba, Morijana yang baru pulang berbelanja melihat dan mendengar percakapan para penyamun. Malam harinya, Alibaba didatangi seorang penyamun yang menyamar menjadi seorang pedagang minyak yang kemalaman dan memohon untuk menginap sehari dirumahnya. Alibaba yang baik hati mempersilakan tamunya masuk dan memperlakukannya dengan baik. Ia tidak mengenali wajah si kepala penyamun. Morijana, tetangga Alibaba yang sedang berada diluar rumah, melihat dan mengenali wajah penyamun tersebut. Ia berpikir keras bagaimana cara untuk memberitahu Alibaba. Akhirnya ia mempunyai ide, dengan menyamar sebagai seorang penari. Ia pergi kerumah Alibaba untuk menari. Ketika Alibaba, istri dan tamunya sedang menonton tarian, Morijana dengan cepat melemparkan pedang kecil yang sengaja diselipkannya dibajunya ke dada tamu Alibaba. Alibaba dan istrinya sangat terkejut, sebelum Alibaba bertanya, Morijana membuka samarannya dan segera menceritakan semua yang telah dilihat dan didengarnya. “Morijana, engkau telah menyelamatkan nyawa kami, terima kasih”. Setelah semuanya berlalu, Alibaba membagikan uang peninggalan para penyamun kepada orang-orang miskin dan yang sangat memerlukannya
Seketika Mogu menengok. Alangkah terkejutnya ia! Pohon yang disandarinya ternyata memiliki wajah di batangnya. “Jangan takut! Aku bukan makhluk jahat. Aku Tule, pohon pengetahuan. Nah, perkenalkan dirimu,” ujar pohon itu lagi lembut. “Aku Mogu. Pencari kayu bakar. Aku tersesat, jadi terpaksa bermalam disini,” jawab Mogu takut-takut.
“Nak, apakah kau tertarik pada ilmu pengetahuan? Apa kau bisa menyebutkan kegunaannya bagimu?” tanya pohon itu. “Oh, ya ya, aku sangat tertarik pada ilmu pengetahuan. Aku jadi tahu banyak hal. Aku tak mudah dibodohi dan pengetahuanku kelak akan sangat berguna bagi siapa saja. Sayangnya, sumber
pengetahuan di desaku amat sedikit. Sedangkan kalau harus ke kota akan membutuhkan biaya yang besar. Aku ingin sekali menambah ilmuku tapi tak tahu bagaimana caranya.” “Dengarlah, Nak. Aku adalah pohon pengetahuan. Banyak sekali orang mencariku, namun tak berhasil menemukan. Hanya orang yang berjiwa bersih dan betul-betul haus akan pengetahuan yang dapat menemukanku. Kau telah lolos dari persyaratan itu. Aku akan mengajarimu berbagai pengetahuan. Bersediakah kau?” tanya si pohon lagi. Mendengar hal itu Mogu sangat girang. Sejak hari itu Mogu belajar pada pohon pengetahuan. Hari-hari berlalu dengan cepat. Mogu tumbuh menjadi pemuda yang tampan. Pengetahuannya amat luas. Suatu hari pohon itu berkata, “Mogu, kini pergilah mengembara. Carilah pengalaman yang banyak. Gunakanlah pengetahuan yang kau miliki untuk membantumu. Jika ada kesulitan, kau boleh datang padaku.” Mogu pun mengembara ke desa-desa. Ia memakai pengetahuannya untuk membantu orang. Memperbaiki irigasi, mengajar anak-anak membaca dan menulis… Akhirnya Mogu tiba di ibukota. Di sana ia mengikuti ujian negara. Mogu berhasil lulus dengan peringkat terbaik sepanjang abad. Raja amat
kagum akan kepintarannya. Namun, ada pejabat lama yang iri terhadapnya. Pejabat Monda ini tidak senang Mogu mendapat perhatian lebih dari raja. Maka ia mencari siasat supaya Mogu tampak bodoh di hadapan raja. “Tuan, Mogu. Hari ini hamba ingin mengajukan pertanyaan. Anda harus dapat menjawabnya sekarang juga di hadapam Baginda,” kata pejabat Monda. “Silakan Tuan Monda. Hamba mendengarakan,” jawab Mogu. “Berapakah ukuran tinggi tubuhku?” tanyanya. “Kalau hamba tak salah, tinggi badan anda sama panjang dengan ujung jari anda yang kiri sampai ujung jari anda yang kanan bila dirintangkan,” jawab Mogu tersenyum. Pejabat Monda dan raja tidak percaya. Mereka menyuruh seseorang mengukurnya. Ternyata jawaban Mogu benar. Raja kagum dibuatnya. Pejabat Monda sangat kesal, namun ia belum menyerah. “Tuan Mogu. Buatlah api tanpa menggunakan pemantik api.”
Dengan tenang Mogu mengeluarkan kaca cembung, lalu mengumpulkan setumpuk daun kering. Ia membuat api, menggunakan kaca yang dipantul- pantulkan ke sinar matahari. Tak lama kemudian daun kering itupun terbakar api. Raja semakin kagum. Sementara Tuan Monda semakin kesal. “Luar biasa! Baiklah! Aku punya satu pertanyaan untukmu. Aku pernah mendengar tentang pohon pengetahuan. Jika pengetahuanmu luas, kau pasti tahu dimana letak pohon itu. Bawalah aku ke sana,” ujar Raja. Mogu ragu. Setelah berpikir sejenak, “Hamba tahu, Baginda. Tapi tidak boleh sembarang orang boleh menemuinya. Sebenarnya, pohon itu adalah guru hamba. Hamba bersedia mengantarkan Baginda. Tapi kita pergi berdua saja dengan berpakaian rakyat biasa. Setelah bertemu dengannya, berjanjilah Baginda takkan memberitahukanya pada siapapun,” ujar Mogu serius. Raja menyanggupi. Setelah menempuh perjalanan jauh, sampailah mereka di tujuan. “Salam, Baginda. Ada keperluan apa hingga Baginda datang menemui hamba?” sapa pohon dengan tenang. “Aku ingin menjadi muridmu juga. Aku ingin menjadi raja yang paling bijaksana,” kata raja kepada pohon pengetahuan.
“Anda sudah cukup bijaksana. Dengarkanlah suara hati rakyat. Pahamilah perasaan mereka. Lakukan yang terbaik untuk rakyat anda. Janganlah mudah berprasangka. Selebihnya muridku akan membantumu. Waktuku sudah hampir habis. Sayang sekali pertemuan kita begitu singkat,” ujar pohon pengetahuan seolah tahu ajalnya sudah dekat. Tiba-tiba Monda menyeruak bersama sejumlah pasukan. “Kau harus ajarkan aku!” teriaknya pada pohon pengetahuan. “Tidak bisa. Kau tak punya hati yang bersih.” Jawaban pohon itu membuat Monda marah. Ia memerintahkan pasukannya untuk membakar pohon pengetahuan. Raja dan Mogu berusaha menghalangi namun mereka kewalahan. Walau berhasil menghancurkan pohon pengetahuan, Monda dan pengikutnya tak luput dari hukuman. Mereka tiba- tiba tewas tersambar petir. Sebelum meninggal, pohon pengetahuan memberikan Mogu sebuah buku. Dengan buku itu Mogu semakin bijaksana. Bertahun-tahun kemudian, Raja mengangkat Mogu menjadi raja baru.
kota. Uang hasil penjualan dibelikannya makanan. Terus seperti itu setiap harinya. Hingga pada suatu hari ketika ia berjalan pulang dari kota ia melihat sesuatu yang menggelepar di atas salju. Setelah di dekatinya ternyata seekor burung bangau yang terjerat diperangkap sedang meronta-ronta. Yosaku segera melepaskan perangkat itu. Bangau itu sangat gembira, ia berputar-putar di atas kepala Yosaku beberapa kali sebelum terbang ke angkasa. Karena cuaca yang sangat dingin, sesampainya dirumah, Yosaku segera menyalakan tungku api dan
menyiapkan makan malam. Saat itu terdengar suara ketukan pintu di luar rumah. Ketika pintu dibuka, tampak seorang gadis yang cantik sedang berdiri di depan pintu. Kepalanya dipenuhi dengan salju. “Masuklah, nona pasti kedinginan, silahkan hangatkan badanmu dekat tungku,” ujar Yosaku. “Nona mau pergi kemana sebenarnya ?”, Tanya Yosaku. “Aku bermaksud mengunjungi temanku, tetapi karena salju turun dengan lebat, aku jadi tersesat.” “Bolehkah aku menginap disini malam ini ?”. “Boleh saja Nona, tapi aku ini orang miskin, tak punya kasur dan makanan.” ,kata Yosaku. “Tidak apa-apa, aku hanya
ingin diperbolehkan menginap”. Kemudian gadis itu merapikan kamarnya dan memasak makanan yang enak. Ketika terbangun keesokan harinya, gadis itu sudah menyiapkan nasi. Yosaku berpikir bahwa gadis itu akan segera pergi, ia merasa kesepian. Salju masih turun dengan lebatnya. “Tinggallah disini sampai salju reda.” Setelah lima hari berlalu salju mereda. Gadis itu berkata kepada Yosaku, “Jadikan aku sebagai istrimu, dan biarkan aku tinggal terus di rumah ini.” Yosaku merasa bahagia menerima permintaan itu. “Mulai hari ini panggillah aku Otsuru”, ujar si gadis. Setelah menjadi Istri Yosaku, Otsuru mengerjakan pekerjaan rumah dengan sungguh-sungguh. Suatu hari, Otsuru meminta suaminya, Yosaku, membelikannya benang karena ia ingin menenun. Otsuru mulai menenun. Ia berpesan kepada suaminya agar jangan sekali-kali mengintip ke dalam penyekat tempat Otsuru menenun. Setelah tiga hari berturut-turut menenun tanpa makan dan minum, Otsuru keluar. Kain tenunannya sudah selesai. “Ini tenunan ayanishiki. Kalau dibawa ke kota pasti akan terjual dengan harga mahal. Yosaku sangat senang karena kain tenunannya dibeli orang dengan harga yang cukup mahal. Sebelum pulang ia membeli bermacam-macam barang untuk dibawa pulang. “Berkat kamu, aku mendapatkan uang sebanyak ini, terima kasih istriku. Tetapi sebenarnya para saudagar di kota menginginkan kain seperti itu lebih banyak lagi. “Baiklah akan aku buatkan”, ujar Otsuru. Kain itu selesai pada hari keempat setelah Otsuru menenun. Tetapi tampak Otsuru tidak sehat, dan tubuhnya menjadi kurus. Otsuru meminta suaminya untuk tidak memintanya menenun lagi. Di kota, Sang Saudagar minta dibuatkan kain satu lagi untuk Kimono tuan Putri. Jika tidak ada maka Yosaku akan dipenggal lehernya. Hal itu diceritakan Yosaku pada istrinya. “Baiklah akan ku buatkan lagi, tetapi hanya satu helai ya”, kata Otsuru. Karena cemas dengan kondisi istrinya yang makin lemah dan kurus setiap habis menenun, Yosaku berkeinginan melihat ke dalam ruangan tenun. Tetapi ia sangat terkejut ketika yang dilihatnya di dalam ruang menenun, ternyata seekor bangau sedang mencabuti bulunya untuk ditenun menjadi kain. Sehingga badan bangau itu hampir gundul kehabisan bulu. Bangau itu akhirnya sadar dirinya sedang diperhatikan oleh Yosaku, bangau itu pun berubah wujud kembali menjadi Otsuru. “Akhirnya kau melihatnya juga”, ujar Otsuru. “Sebenarnya aku adalah seekor bangau yang dahulu pernah Kau tolong”, untuk membalas budi aku berubah wujud menjadi manusia dan melakukan hal ini,” ujar Otsuru. “Berarti sudah saatnya aku berpisah denganmu”, lanjut Otsuru. “Maafkan aku, ku mohon jangan pergi,” kata Yosaku. Otsuru akhirnya berubah kembali menjadi seekor bangau. Kemudian ia segera mengepakkan sayapnya terbang keluar dari rumah ke angkasa. Tinggallah Yosaku sendiri yang menyesali perbuatannya.
“Anakku!” kata ratu, “jaga sapu tangan ini baik-baik, jangan sampai hilang atau tercecer. Ini akan menjagamu selama perjalanan.” Maka diiringi tatapan sedih sang ratu, putri Anne dan pelayannya Aline, berangkat menuju kerajaan pangeran Henry.
Setelah berjalan beberapa lamanya, putri Anne mulai merasa haus, maka dia memanggil Aline.
“Aline! Isilah gelas emasku dengan air sungai. Aku merasa haus,” kata putri Anne.
“Jika kamu haus,” kata Aline, “turunlah dari kudamu dan ambil sendiri minummu. Aku tidak mau jadi pelayanmu”
Maka putri Anne turun dari kudanya dan membungkuk di tepi sungai untuk minum, karena dia tidak diijinkan untuk minum di gelas emasnya. “Oh Tuhan,” keluhnya. Lalu ketiga tetes darah sang ratu menjawab keluhannya: "Seandainya sang Ratu mengetahui,
beliau pasti kan sakit hati." Tapi putri Anne tetap bersabar. Dia tidak berkata apa-apa dan hanya menepuk Falada untuk meneruskan perjalanan. Mereka telah berjalan beberapa mil jauhnya ketika putri Anne kembali kehausan. Memang saat itu cuaca lumayan panas. Maka ketika melewati sebuah sungai, putri Anne kembali berkata pada Aline:
“Aline! Isilah gelas emasku dengan air sungai. Aku merasa haus,” kata putri Anne.
Tapi Aline tetap menjawab dengan sinis: “Jika kamu haus,” kata Aline, “turunlah dari kudamu dan ambil sendiri minummu. Aku tidak mau jadi pelayanmu”
Maka putri Anne kembali turun dari kudanya, membungkuk di tepi sungai untuk minum, karena dia tidak diijinkan untuk minum di gelas emasnya. “Oh Tuhan,” keluhnya. Lalu ketiga tetes darah sang ratu menjawab keluhannya: "Seandainya sang Ratu mengetahui,
beliau pasti kan sakit hati." Ketika dia sedang membungkuk, sapu tangan yang berisi tiga tetes darah ratu terjatuh ke sungai dan hanyut tanpa disadarinya. Hal tersebut dilihat oleh Aline. Aline tahu tanpa sapu tangan itu putri Anne tidak punya kekuatan lagi. Timbul niat jahat di hatinya untuk menguasai putri Anne. Maka ketika putri Anne hendak menaiki Falada, Aline menghadangnya dan berkata:
“Aku yang lebih cocok menunggangi Falada, berikan dia padaku. Dan kamu bisa pakai kudaku.”
Pelayan yang jahat itu memaksa putri Anne menukar pakaian kerajaannya dengan pakaian yang dipakainya dan mengancam akan membunuh putri Anne jika dia mengatakan kejadian ini pada pangeran Henry. Mereka meneruskan perjalanan, sampai akhirnya tibalah di kerajaan pangeran Henry. Mereka disambut dengan meriah. Pangeran Henry segera datang menghampiri Aline yang dia sangka adalah tunangannya, dan membawanya masuk ke dalam istana. Sementara putri Anne terpaku di luar istana. Secara kebetulan Raja sedang memandang keluar jendela dan melihat seorang gadis berdiri di luar istana. Raja melihat bahwa gadis tersebut sangat anggun dan cantik meski gaun yang dipakainya terlihat usang.
“Siapa gadis itu?” tanya raja.
“Oh, saya bertemu dengannya di jalan dan saya ajak dia untuk menemaniku. Jika paduka berkenan, berilah dia pekerjaan,” sahut Aline.
Raja tidak tahu apa pekerjaan yang cocok untuk gadis secantik putri Anne, maka raja pun berkata:
“Mungkin dia bisa membantu Conrad untuk mengembalakan itik.” Meski Aline puas karena bisa menjauhkan pandangan pangeran Henry dari putri Anne, tapi dia tetap khawatir rahasianya akan terbongkar mengingat Falada, kuda tunggangan putri Anne bisa berbicara dan dapat membocorkan rahasianya. Dia mencari akal untuk menyingkirkan kuda tersebut. Dia berkata kepada pangeran:
“Pangeran, bolehkah aku meminta tolong padamu?”
“Dengan senang hati,” jawab pangeran.
“Bunuhlah kuda tungganganku, karena saat perjalanan kemari dia telah melukaiku,” katanya. Pangeran lalu memerintahkan seorang algojo untuk memenggal kepala Falada sampai kuda yang malang itu tewas. Berita kematian Falada sampai juga ke telinga putri Anne yang segera mendatangi algojo dan memohon kepadanya:
“Wahai algojo, ijinkan aku menukar kepala Falada dengan segenggam emas.”
“Baiklah,” jawab algojo. “Apa yang harus kulakukan dengan kepala kuda ini?”
“Gantungkanlah di pintu gerbang istana, sehingga aku bisa memandangnya setiap kali aku melewatinya,” pinta putri. Algojo setuju dan melaksanakan permintaan putri Anne. Setiap pagi saat dia dan Conrad melewati pintu gerbang sambil menggiring itik-itik dia akan berkata kepada kepala Falada: “Halo Falada!”
Dan kepala Falada akan menjawab:
“Halo tuan putri, betapa pucatnya dirimu. Seandainya sang ratu tahu, hatinya pasti akan terluka.” Setiap hari Putri Anne dan Conrad menggembalakan itik di desa-desa sekitar kerajaan. Saat itik-itik itu mencari makan, putri Anne melepas lelah. Dia akan melepas ikatan rambutnya yang panjang dan bersinar. Begitu indahnya sampai-sampai Conrad ingin memegangnya. Berbisiklah putri Anne kepada angin: Bertiuplah wahai angin yang semilir
Terbangkanlah topi Conrad kesana kemari
Buatlah dia jauh berlari
Hingga rambutku kembali rapi
Dan bisa kuikat kembali! Tiba-tiba bertiuplah angin yang menerbangkan topi Conrad sehingga dia harus berlari mengejarnya. Dan ketika kembali, putri Anne telah selesai mengikat rambutnya. Conrad kecewa karena tidak bisa memegang rambut putri Anne, maka seharian itu dia tidak mau mengajaknya berbicara. Dan ketika sore datang mereka menggiring itik-itik kembali ke istana. Hal itu berlangsung berhari-hari, sampai suatu hari Conrad tidak tahan lagi dan mengadu pada raja:
“Saya tidak tahan lagi menggembala itik dengan gadis itu,” katanya.
“Tapi kenapa?” tanya raja.
“Oh karena dia membuatku jengkel sepanjang hari,” kata Conrad.
“Apa yang membuatmu jengkel?” tanya raja.
“Pada pagi hari saat kami melewati gerbang, dimana tergantung kepala seekor kuda, dia akan menyapanya dan kuda itu akan menjawab:
“Halo tuan putri, betapa pucatnya dirimu. Seandainya sang ratu tahu, hatinya pasti akan terluka.” Lalu Conrad menceritakan bagaimana putri Anne berbisik pada angin dan angin akan menuruti permintaannya. Raja memerintahkan Conrad untuk tetap menggembala itik bersama putri Anne, sementara raja akan menyelidiki kebenaran cerita tersebut. Maka esok paginya raja berdiri di balik pintu gerbang
menunggu Conrad dan putri Anne lewat. Raja mendengar sendiri bagaimana putri Anne menyapa kepala Falada dan kepala kuda itu menjawabnya. Raja juga melihat sendiri putri Anne berbisik pada angin dan angin tersebut membuat Conrad berlari kesana-kemari mengejar topinya yang diterbangkan angin.
Sore harinya raja memanggil putri Anne dan bertanya mengapa dia melakukan hal tersebut.
“Saya tidak akan mengatakannya pada siapa pun, karena saya telah bersumpah dan mungkin jiwa saya akan terancam,” kata putri Anne.
Putri Anne tetap menolak bercerita meski raja telah memaksanya. Maka raja berkata:
“Baiklah, jika kau tidak mau menceritakannya padaku. Kau bisa bercerita pada dinding disana, maka kau tidak melanggar sumpahmu dan bebanmu akan berkurang.” Lalu raja meninggalkan putri Anne sendiri. Namun diam-diam raja pergi ke belakang dinding. Putri Anne lalu mengeluarkan sakit hatinya kepada dinding, katanya:
“Di tempat asing ini aku terdampar, padahal dulu aku adalah putri raja, dan pelayanku merampas mahkotaku, juga tunanganku. Sementara aku harus menggembala itik sepanjang hari. Oh, seandainya ibuku tahu, hatinya pasti akan terluka.”
Raja keluar dari persembunyiannya dan membawa putri Anne ke istana. Raja menyuruh beberapa pelayan untuk mendandani putri Anne hingga terlihat sangat mempesona. Lalu raja memanggil pangeran Henry dan menceritakan kejadian tersebut. Malamnya, raja mengundang beberapa tamu, putri palsu Aline dan putri Anne untuk makan malam. Putri Anne duduk di samping kanan pangeran Henry, sementara Aline di samping kirinya. Namun Aline tidak memperhatikan keberadaan putri Anne. Setelah makan dan minum, raja betanya kepada Aline apa hukuman bagi seseorang yang berkhianat dan merebut hak majikannya.
“Dia seharusnya ditelanjangi, dimasukkan ke dalam tong yang telah ditancapi paku-paku. Lalu dua ekor kuda menyeretnya keliling kota sampai pengkhianat itu mati,” katanya.
“Itulah hukuman untukmu!” kata raja. “Kau telah memutuskan sendiri hukuman apa yang pantas bagi pengkhianat sepertimu,” kata raja. Maka Aline pun menerima ganjaran atas perbuatannya. Sementara itu putri Anne dan pangeran Henry akhirnya melangsungkan pernikahan mereka. Dan mereka hidup bahagia selamanya.
“Wah rupanya ada orang yang mendengar laguku,” pikir Morgan.
Maka dia bernyanyi dengan lebih bersemangat. Kembali terdengar ketukan di pintu.
“Hola! Masuklah! PIntu itu tidak dikunci. Mari. Mari,” kata Morgan. Pintu tebuka, dan masuklah 3 orang pengelana yang
berpakaian lusuh dan berantakan. Jika anda menebak mereka adalah peri yang menyamar, anda benar. Mereka ingin tahu bagaimana sikap Morgan saat menerima tamu yang tidak dikenalnya.
“Selamat malam tuan!” kata peri. “Kami kelelahan dan kelaparan. Bolehkah kami meminta sedikit makanan untuk mengisi kantung perbekalan kami. Dan setelah itu kami akan pergi.”
“Oh tentu! Tentu! Bagaimana kalau roti dan keju? Silahkan ambil sendiri sebanyak yang kau mau!” kata Morgan. Sementara para pengelana itu makan dan minum dengan lahap, Morgan menghibur mereka dengan bersenandung riang hingga tamunya merasa terhibur. Para pengelana yang adalah peri itu sangat senang dengan perlakuan Morgan terhadap mereka. Saat akan meninggalkan rumah Morgan mereka berkata: “Terima kasih. Anda baik sekali! Dan karena anda telah bersikap begitu baik, kami akan memberikan hadiah untukmu. Sebutkanlah satu keinginanmu dan kami akan memenuhinya!”
“Yah sebenarnya sih aku ingin sekali memiliki sebuah harpa. Yang seperti apapun aku memetik senarnya, dia akan menghasilkan musik yang bisa membuat orang bahagia dan menari. Meski seperti yang kau lihat, tidak ada jiwa pemusik sedikit pun di diriku. Tapi kalian kan cuma bercand….”
Wuzz!! Sebelum Morgan selesai bicara, secara ajaib muncul sebuah harpa yang indah di depannya. Dia terkejut dan kemudian menyadari bahwa tamu- tamunya telah menghilang. “Mereka pastilah peri!” pikirnya. Morgan mengelus-elus harpanya karena takut harpa itu akan hilang dan dia hanya berhalusinasi karena mabuk kebanyakan minum air jahe. Tapi tentu saja harpa itu tetap ada di situ meski pikirannya sudah kembali sejernih air. Maka dia pun mulai mencoba memetik senarnya. Begitu jari Morgan menyentuh senarnya, mengalunlah musik yang menghentak. Kemudian tiba-tiba istri Morgan dan beberapa orang lagi menyerbu masuk dan mulai menari. Dan selama
jari-jari Morgan masih menempel di harpanya, mereka terus menari seperti orang gila. Berita mengenai Morgan yang memiliki harpa ajaib tersebar fengan cepat. Banyak orang berdatangan hanya untuk melihat dan membuktikan kebenaran berita itu. Dan Morgan akan memetik harpanya sehingga mereka yang datang tidak bisa menahan diri untuk tidak menari. Orang-orang dari tempat jauh
berdatangan untuk menari. Orang tua jompo dan bahkan orang yang berkaki satu pun tiba-tiba dapat menari dengan lincah begitu mendengar musik dari harpa tersebut. Suatu hari datanglah seseorang yang pernah menghina Morgan dan Morgan yang masih merasa sakit hati memutuskan untuk membalas dendam. Dipetiknya harpanya dan mulailah orang itu menari. Semakin lama musiknya semakin cepat dan orang tersebut menari semakin gila hingga ia merasa kelelahan dan berteriak meminta Morgan untuk berhenti. Namun alih-alih mengentikan musiknya, Morgan semakin bersemangat dan tertawa terbahak-
bahak hingga berurai air mata. Barulah setelah orang itu terkapar pingsan karena kelelahan, Morgan mengentikan musiknya. Dia merasa puas dengan pembalasan dendamnya. Namun itulah terakhir kalinya Morgan memainkan harpa ajaibnya. Karena esok harinya ketika ia bangun dari tidurnya, harpa itu telah lenyap. Rupanya para peri tidak senang dengan kelakuan buruk Morgan dan memutuskan untuk mengambil kembali hadiahnya. Itulah pelajaran bagi orang yang menyia-nyiakan hadiah atau rizki dari Tuhan. Jangan sampai Dia murka dan mengambil kembali apa yang telah diberikan Nya pada kita.
Dengan sekuat tenaga si kakek menarik jalanya. Namun ternyata tidak ada apapun kecuali seekor ikan kecil yang tersangkut di jalanya. Rupanya ikan kecil itu bukan ikan biasa, badannya berkilau seperti emas dan bisa berbicara seperti layaknya manusia. “Kakek, tolong lepaskan aku. Aku akan mengabulkan semua permintaanmu!” kata si ikan emas.
Si kakek berpikir sejenak, lalu katanya, “aku tidak memerlukan apapun darimu, tapi aku akan melepaskanmu. Pergilah!”. Kakek melepaskan ikan emas itu kembali ke laut, lalu dia pun kembali pulang. Sesampainya di rumah, nenek menanyakan hasil tangkapan kakek. “Hari ini aku hanya mendapatkan satu ekor ikan emas, dan itupun sudah aku lepas kembali,” kata kakek, “aku yakin kalau itu adalah ikan ajaib, karena
dia bisa berbicara. Katanya dia akan memberiku imbalan jika aku mau melepaskannya.”
“Lalu apa yang kau minta,” tanya nenek.
“Tidak ada,” kata kakek.
“Oh, alangkah bodohnya!” seru nenek. “Setidaknya kau bisa meminta roti untuk kita makan. Pergilah dan minta padanya!”
Maka dengan segan kakek kembali ke tepi pantai dan berseru: Wahai ikan emas ajaib,
Datanglah kemari...
Kabulkan keinginan kami! Tiba-tiba si ikan emas muncul di permukaan laut. “Apa yang kau inginkan, kek?” katanya.
“Istriku marah padaku, berikan aku roti untuk makan malam, maka dia akan memaafkanku!” pinta si kakek.
“Pulanglah! Aku telah mengirimkan roti yang banyak ke rumahmu.” kata si ikan. Maka pulanglah si kakek. Setibanya di rumah, didapatinya meja makan telah penuh dengan roti.
Tapi istrinya masih tampak marah padanya, katanya:
“Kita telah punya banyak roti, tapi wastafel kita rusak, aku tidak bisa mencuci piring. Pergilah kembali ke laut, dan mintalah ikan ajaib memberikan
kita wastafel yang baru!” kata nenek.
Terpaksa si kakek kembali ke tepi laut dan berseru: Wahai ikan emas ajaib,
Datanglah kemari...
Kabulkan keinginan kami! “ups!” ikan emas muncul, “Apa lagi yang kau inginkan, kek?”
“Nenek menyuruhku memintamu agar memberikan kami wastafel yang baru,” pinta kakek.
“Baiklah,” kata ikan. “Kau boleh memiliki wastafel baru juga.” Si kakek pun kembali pulang. Belum lagi menginjak halaman, si nenek sudah menghadangnya. “Pergilah lagi! Mintalah pada si ikan emas untuk membuatkan kita sebuah rumah baru. Kta tidak bisa tinggal di sini
terus, rumah ini sudah hampir roboh.”
Maka si kakek pun kembali ke tepi laut dan berseru: Wahai ikan emas ajaib,
Datanglah kemari... Kabulkan keinginan kami! Dalam sekejap ikan emas itu muncul di hadapan si kakek, “apa yang kau inginkan lagi, kakek?”
“Buatkanlah kami rumah baru!” pinta kakek, “istriku sangat marah, dia tidak ingin tinggal di rumah kami yang lama karena rumah itu sudah hampir roboh.”
“Tenanglah kek! Pulanglah! Keinginanmu sudah kukabulkan.” Kakek pun pulang. Sesampainya di rumah, dilihatnya bahwa rumahnya telah menjadi baru. Rumah yang indah dan terbuat dari kayu yang kuat. Dan di depan pintu rumah itu, nenek sedang menunggunya dengan wajah yang tampak jauh lebih marah dari sebelumnya.
“Dasar kakek bodoh! Jangan kira aku akan merasa puas hanya dengan membuatkanku rumah baru ini. Pergilah kembali, dan mintalah pada ikan emas itu bahwa aku tidak mau menjadi istri nelayan. Aku ingin menjadi nyonya bangsawan. Sehingga orang lain akan menuruti keinginanku dan menghormatiku!”
Untuk kesekian kalinya, si kakek kembali ke tepi laut dan berseru: Wahai ikan emas ajaib,
Datanglah kemari...
Kabulkan keinginan kami! Dalam sekejap ikan emas itu muncul di hadapan si kakek, “apa yang kau inginkan lagi, kakek?”
“Istriku tidak bisa membuatku tenang. Dia bahkan semakin marah. Katanya dia sudah lelah menjadi istri nelayan dan ingin menjadi nyonya bangsawan” pinta kakek
“Baiklah. Pulanglah! Keinginanmu sudah dikabulkan!” kata ikan emas. Alangkah terkejutnya si kakek ketika kembali ternyata kini rumahnya telah berubah menjadi sebuah rumah yang megah. Terbuat dari batu yang kuat, tiga lantai tingginya, dengan banyak sekali pelayan di dalamnya. Si kakek melihat istrinya sedang duduk di sebuah kursi tinggi sibuk memberi perintah kepada para pelayan. “halo istriku,” sapa si kakek.
“Betapa tidak sopannya,” kata si nenek. “Berani sekali kau mengaku sebagai suamiku. Pelayan! Bawa dia ke gudang dan beri dia 40 cambukan!” Segera saja beberapa pelayan menyeret si kakek ke
gudang dan mencambuknya sampai si kakek hampir tidak bisa berdiri. Hari berikutnya istrinya memerintahkan kakek untuk bekerja sebagai tukang kebun. Tugasnya adalah menyapu halaman dan merawat kebun. “Dasar perempuan jahat!” pikir si kakek. “Aku sudah memberikan dia keberuntungan tapi dia bahkan tidak mau mengakuiku sebagai suaminya.” Lama kelamaan si nenek bosan menjadi nyonya bangsawan, maka dia kembali memanggil si kakek: “Hai lelaki tua, pergilah kembali kepada ikan emasmu dan katakan ini padanya: aku tidak mau lagi menjadi nyonya bangsawan, aku mau menjadi ratu.”
Maka kembalilah si kakek ke tepi laut dan berseru” Wahai ikan emas ajaib,
Datanglah kemari...
Kabulkan keinginan kami! Dalam sekejap ikan emas itu muncul di hadapan si kakek, “apa yang kau inginkan lagi, kakek?”
“Istriku semakin keterlaluan. Dia tidak ingin lagi menjadi nyonya bangsawan, tapi ingin menjadi ratu.”
“Baiklah. Pulanglah! Keinginanmu sudah dikabulkan!” kata ikan emas. Sesampainya kakek di tempat dulu rumahnya berdiri, kini tampak olehnya sebuah istana beratap emas dengan para penjaga berlalu lalang. Istrinya yang kini berpakainan layaknya seorang ratu berdiri di balkon dikelilingi para jendral dan gubernur. Dan begitu dia mengangkat tangannya, drum akan berbunyi diiringi musik dan para tentara akan bersorak sorai. Setelah sekian lama, si nenek kembali bosan menjadi seorang ratu. Maka dia memerintahkan para
jendral untuk menemukan si kakek dan membawanya ke hadapannya. Seluruh istana sibuk mencari si kakek. Akhirnya mereka menemukan kakek di kebun dan membawanya menghadap ratu. “Dengar lelaki tua! Kau harus pergi menemui ikan emasmu! Katakan padanya bahwa aku tidak mau lagi menjadi ratu. Aku mau menjadi dewi laut sehingga semua laut dan ikan-ikan di seluruh dunia menuruti perintahku.”
Kakek terkejut mendengar permintaan istrinya, dia mencoba menolaknya. Tapi apa daya nyawanya adalah taruhannya, maka dia terpaksa kembali ke tepi laut dan berseru: Wahai ikan emas ajaib,
Datanglah kemari...
Kabulkan keinginan kami! Kali ini si ikan emas tidak muncul di hadapannya. Kakek mencoba memanggil lagi, namun si ikan emas tetap tidak mau muncul di hadapannya. Dia mencoba memanggil untuk ketiga kalinya. Tiba-tiba laut mulai bergolak dan bergemuruh. Dan ketika mulai mereda muncullah si ikan emas, “apa yang kau inginkan lagi, kakek?”
“Istriku benar-benar telah menjadi gila,” kata kakek. “Dia tidak mau lagi menjadi ratu tapi ingin menjadi dewi laut yang bisa mengatur lautan dan memerintah semua ikan.” Si ikan emas terdiam dan tanpa mengatakan apapun dia kembali menghilang ke dalam laut. Si kakek pun terpaksa kembali pulang. Dia hampir tidak percaya pada penglihatannya ketika menyadari
bahwa istana yang megah dan semua isinya telah hilang. Kini di tempat itu, berdiri sebuah gubuk reot yang dulu ditinggalinya. Dan di dalamnya duduklah si nenek dengan pakaiannya yang compang- camping. Mereka kembali hidup seperti dulu. Kakek kembali melaut. Namun seberapa kerasnya pun dia bekerja. hasil yang didapat hanya cukup untuk makan sehari-hari saja