It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
"Iya,"
"Aku Ihdi,"
>-) >-) >-)
)
lagiiihh><
iih,abang @imt17 ogah banget aku dijodohin ma dia wkwkwk *peace mas @mustaja84465148
emang permintaan yg di onoh gk diturutin ihdi pa gk nyesel ntar,,, pa terlalu banyak tututan hingga kamu bingung he he he,,,
#cubit tsnya
eh, siapa yg nyapa dias ??
sebelum nya maaf,
jika ingin dimention atau unmention,tolong di beri
tahu ya,
soalnya aku tak tahu,mood pembaca kan bisa naik
turun,
salam : dias
@blackshappire
@mustaja84465148
@adinu
@Tsu_no_YanYan
@reenoreno
@elul
@san1204
@alfa_centaury
@3ll0
@d_cetya
@rezadrians
@Gabriel_Valiant
@kimo_chie
@bodough
@rezka15
@Xian_Lee
@DM_0607
@autoredoks
Aku heran, mengapa Dhika ada di tempat ini,
padahal jarak sekolah kami cukup jauh dari sini.
kenapa aku menyebutkan 'sekolah kami'?,
itu karena memang kami bersekolah di tempat yang sama, di Al Fattah.
wakil ketua kelas ini terlihat berberbeda dengan pakaian nelayannya, tampak sedikit lebih berumur,
ku kira dia akan melaut dengan jaring-jaring yang dia panggul di bahunya.
"ehh, iya" gugupku masih terheran,
jaring itu di letakkannya ke lantai papan, menggantung hampir mengenai air laut, lantas duduk disampingku.
"kenapa kau sampai disini?" sambil membersihkan beberapa sampah yang melekat di jaring ikan.
ku lihat lagi remaja berkulit gelap si pemilik hidung mancung ini kembali menatapku dengan raut penuh tanya.
"abang iparku bekerja di sini, aku hanya menemani dia" alis matanya bertaut,
"kau tak sekolah?" senyumnya terlihat canggung, pertanyaan bumerang, wajahnya memerah,
"kalau kamu? kenapa tidak masuk sekolah?" pertanyaanku membuat dia menjadi sedikit salah tingkah,
"aku harus bantu mamak sama bapakku 'melaut'(mencari ikan), lagi pulak hari sabtu, tak apalah aku libur, kan besok minggu" persis seperti alasan yang aku ajukan ke bang Ihsan, tadi.
"kamu tak takut kalau di hukum bu Anisa hari senin?" melihatnya merasa bersalah sekalian saja ku takut-takuti,
wajahnya semakin bingung, tapi sedetik kemudian berubah tenang kembali, mungkin menemukan ide,
"takut lah, tapi setidaknya, aku tak di hukum sendirian" ia tertawa pelan, setelah itu kembali tersenyum mencibir,
Deburan ombak kembali menyentuh ujung kaki kami setelah beberapa kapal melintas dengan suara mesin yang menyamarkan suara Dhika.
"lagi pulak aku belum punya catatan hitam di buku siswa bu Anisa" senyum cibiran belum hilang dari bibirnya, dan dia semakin jadi menakutiku,
"tapi kau...?" ia menggantung ucapannya, sepertinya dia mau aku yang meneruskannya,
sedikit ngeri memang jika mengingat hari senin, karena bu Anisa lah bertugas sebagai piket kesiswaan, belum lagi kemarin aku ketahuan melamun di kelas, dan hari ini libur tanpa alasan, benar yang di katakan Dhika, aku pasti di beri bonus oleh bu Anisa, sepertinya aku juga akan menjadi pembenci hari senin seperti orang-orang.
"mumpung lagi di laut, males ah mikirin bu Anisa, aku kesini mau bebasin beban, mau cuci mata" pengalihan topik,
tawa tipis itu kembali terdengar.
"mau cuci mata? apa yang mau kau lihat di sini, cuma kapal bot yang lewat, ikan, sama emak-emak tu lah yang ada" tunjuknya ke arah ibu-ibu yang masih rewel menawar harga ikan.
Tidak kah kau tau Dhika, kau dan teman-teman nelayanmu lah yang menjadi objek cuci mataku saat ini, selain melihat laut tentunya.
"di kampung ku tak ada laut, ini pertama kalinya aku di ajak ke sini" mataku kembali terlempar ke hamparan biru di depan sana, terpaksa kembali mengingat Abah yang selalu melarangku ke sini, ke laut.
"pantas lah dari tadi ku tengok kau melamun sendiri di sini"
"ya ka, air sebanyak ini, aku belum pernah melihatnya" kapal kembali melintas, suara Dhika pun terdengar samar, tapi tetap bisa ku dengar,
"kau boleh bawak pulang se timba(ember)" selera humor yang tinggi menurutku, Dhika memang terkenal ramah di kelas, tak membuatku terheran jika dia di pilih menjadi wakil ketua kelas karna pribadinya yang santun membuat banyak orang menyukainya, remaja periang ini juga suka bercanda sehingga siapa pun yang di ajaknya bercerita pasti terlarut dalam keceriaannya, seperti diriku saat ini.
saat Dhika tak terpilih menjadi ketua kelas, banyak teman-teman yang kecewa, dan harus terpaksa puas dengan keputusan bersama karna Rian Praitno lah yang menjabat sebagai ketua kelas terpilih, tapi pendukung Dhika tetap merasa senang, karna dia tetap berada di jajaran anak-anak OSIS.
melihat senyum itu, aku terbuai hingga tak sadar mengucapkan,
"kalau nelayannya, boleh tidak dibawa pulang?" kening remaja itu bertaut, sesaat kemudian kembali tersenyum.
aduhh, gawat kan?
bisa curiga Dhika kalau begini caranya,
ku alihkan pandanganku, malu rasanya jika harus bertatapan lagi, dengan pernyataanku tadi.
"boleh, bawak aja aku" haaaa?
telingaku pasti salah mendengar,
gantian kening ku yang berkerut bingung,
"tak ada yang marah" kemudian tertawa lagi.
ah, pasti lah dia bercanda,
mana mungkin kan, aku tak mau beranggapan yang bukan-bukan.
ku putuskan untuk ikut tertawa.
Bang Ihsan masih sibuk dengan beberapa dus putih yang di panggul dua orang kubu,
si toke memanggil bang Ihsan, menyodorkan buku besar dan pulpen yang ada di tangannya menulis sesuatu di buku tersebut.
sejenak kami terdiam,
sesekali Dhika ketahuan melirikku diam-diam, mungkin ingin mengajakku kembali bercerita,
suasana pelataran masih riuh bersahut bunyi mesin kapal dan beberapa camar yang terbang melintas, laut pasti selalu begini.
"rumahmu dimana ka?" ku pecahkan kebisuan ini,
"eeh, apa?" gantian dia yang melamun,
hingga tak mendengar apa yang ku katakan.
"hahaha kau melamun?" sindir ku,
"aku bilang rumahmu di mana?" dan wajah itu memerah,
"tak jauh dari sini, kau mau singgah(mampir)?" tawarnya,
bagaimana ya, sebenarnya aku mau, tapi waktunya sepertinya kurang pas, lagi pula aku tak tahu kerjaan bang Ihsan selesainya kapan,
"lain kali saja ya, sepertinya bang Ihsan sebentar lagi kerjaannya sudah selesai" raut wajahnya terlihat kecewa,
"lagi pula, kau mau melautkan?"
"padahal di dekat sini ada pantainya, aku bisa bawak kau jalan-jalan ke sana, kalau kau mau" ia masih berusaha, tidak lagi memperdulikan pekerjaannya,
"aku mau, tapi sekarang aku tak bisa, tak mungkin ku tinggalkan bang Ihsan kan?"
"ya sudah, tak apa, tapi kau harus janji, lain waktu kau harus mau mampir di gubuk kami" katanya merendah,
"dan mau ku tunjukkan pantai di belawan ini, tak lah cantik kali, tapi untuk kau yang baru ke sini, pasti suka" terangnya lagi,
"lain kali, pasti mau" janjiku mantap.
senyum itu kembali ter-tarik, raut ke kecewaan itu hilang,
"ya sudah aku ke laut dulu ya" pamitnya setelah melihat pria separuh baya menaiki sampan berukuran sedang, ku rasa itu bapaknya, perawakannya mirip, wajahnya juga,
Dhika bangkit dari tempat duduknya, berlalu setelah sebelumnya kembali memikul jaring.
"sampai jumpa hari senin" teriakku ketika Dhika hendak membuka tali pengikat sampan,
"di lapangan bendera kan?" dia juga berteriak, senyumnya melebar, sungguh pria yang ramah.
Sampan itu bergerak setelah mesin di hidupkan, Dhika duduk di haluan sampan sambil melambaikan tangan hingga sampan beranjak jauh, mengecil, dan berubah menjadi sebuah titik hitam, kemudian menghilang.
semoga tangkapan ikannya hari ini dapat banyak, ku doakan rezeky sahabat baruku itu.
"kau cepat kali dapat kawan di sini" suara bang ihsan tiba-tiba saja ada di sampingku, ber-jongkok di tempat Dhika duduk,
"mungkin karna penduduk di sini ramah bang" mata itu mengerling
"abang selalu becakap sama orang-orang di sini, tapi tak ramah kali macam kau sama anak itu, apa lagi pakai dada-dada macam tadi" gigi gingsul itu pun terlihat.
sial, kenapa ledekan bang ihsan menjurus seperti ini,
"ya sudah yok brangkat, nantik kesorean, abang mau mengantar kiriman tu ke pasar tembung" bang Ihsan berlalu meninggalkan aku dengan wajah memerah nyaris matang.
di tinggalkannya senyum misteri dengan sebelah kedipan yang genit.
oh tuhan, pasti suatu kesimpulan telah ada di benaknya, sial.