It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
sekarang uda sehat lagi,uda di benerin,
so ntar malam da bisa update. . .
tungguin ya. .
tak bisa ku tahan mata ini untuk tetap terpejam,
tempaan cahaya matahari membuat pupil-ku terganggu, membesar, hingga 'terpaksa' terjaga.
pandanganku mengitar melihat sekitar, aku masih di ruang ini,di depan tv.
selimut ber-motif 'chelsea' masih menutup separuh tubuhku.
tersenyum sendiri rasanya jika mengingat kejadian shubuh tadi,
sumpah, aku juga tak menyangka hal itu bisa terjadi.
mabuknya bang Ihsan membuat kami tidak tidur di kamar masing-masing.
ya seperti yang kalian tahu,
bang Ihsan dan aku tidur didepan televisi,di ruang keluarga.
Aku tak mungkin menciumnya, hampir saja tergoda.
entah setan dari mana yang menggodaku untuk melakukannya, nyaris saja bibir ini bersentuhan, namun tuhan berbaik hati untuk mengagalkannya,
saat itu bang Ihsan terbatuk, sedikit 'ngelindur', dan merubah posisi tidur, aku tak ingin meneruskan aksi 'cabul' itu,
dan memilih untuk tidur.
Satu bantal yang ku gunakan untuk alas di kepala bang Ihsan, ku bagi untukku,
tidurku membelakangi, di luar dugaan, bang Ihsan merubah lagi posisi tidurnya,
tangan kokoh itu merangkulku, mungkin lebih bisa ku sebut memeluk, karna tubuh ini terlalu dekat,rapat.
ku biarkan saja, malam dingin ini memang sudah sewajarnya bukan untuk memberi kehangatan, kasihan bang Ihsan, ditinggal kak Nissa.
lagi pula aku tidak bilang perbuatan bang Ihsan ini mengganggu, malah aku senang.
Jangan berharap lebih, aku juga tak ingin melakukannya.
ya aku akui, aku lah homo terbodoh yang pernah ada, seorang pria yang beberapa hari ini menjadi objek fantasi ku untuk ber-onani ria dikamar mandi, tergeletak mabuk tak berdaya, dan aku tak berbuat apa-apa.
aku juga harus membela diri, aku memang bodoh, tapi aku bukan homo yang tak beretika, tanpa izin si pemilik 'tubuh' dengan lancang 'menikmatinya' sungguh itu merusak citra kaum kita.
dan aku tak akan mau melakukannya jika tidak dengan dasar suka sama suka.
itulah yang menjadi alasan mengapa aku tak mencium bang Ihsan, dan tak melakukan apapun kecuali pelukan itu, itu juga bukan aku yang melakukannya, jadi bukan salahku.
Dari dapur, wajan dan spatula kompak bersuara, pasti bang Ihsan sudah memasak sarapan, lebih baik cepat menyusulnya ke sana sebelum gelar 'adik ipar' untuk ku di bubuhi 'tak tahu diri'.
Bang Ihsan menoleh sebentar, tersenyum.
lalu meneruskan proses masak-memasaknya yang terlihat mudah.
seulas senyumnya menyiratkan pagi ini keadaan sudah membaik, setidaknya itu yang terlihat.
"sebentar ya, sarapanmu masih abang masak ni" perhatian yang terdengar kasar bukan?
"sebelum kau abang antar sekolah, kita sarapan ya dek?"
oh iya, aku belum menjelaskan jika orang sumatra bagian utara memanggil seseorang yang lebih muda darinya itu pasti dengan sebutan 'adek', dan lihat lah kami, si abang memasak sarapan, dan si adek menunggu dengan manis, bukankah kami terlihat seperti pasangan gay yang bahagia hahaha lupakan.
"aku mau libur saja bang" entah mengapa jawaban itu keluar begitu saja dari mulutku, sebelumnya aku tak berniat libur hari ini,
jeda sejenak, suara wajan mendominasi.
"hari ni sabtu, sudah tanggung kali, besok pun minggu, tak payah lah kau hari ni mau libur" satu lagi perhatian yang terdengar begitu kasar, seperti membentak.
kini aku sudah lebih terbiasa.
"isi kepalaku buntu bang, boleh lah aku libur, dari pada aku setres" ku perhatikan wajah serius yang sedang memindahkan nasi dari wajan ke piring itu, berharap aku di izinkan untuk tak barsekolah hari ini.
"baghh, bahasa kau, macam banyak kali beban pikiran kau dek" dia tergelak, aktivitasnya dengan nasi goreng itu terhenti sejenak.
"ya sudah lah, kalau kau mau libur, tapi dari pada kau bosan dirumah, lebih baik kau ikut abang ke belawan" tawarnya,
berjalan menghampiriku dengan dua piring nasi goreng yang di atasnya terdapat telur mata sapi setengah matang,
senyumnya mengembang.
"ke belawan. . .?" tanyaku sedikit bergumam, bingung, sebenarnya itu tempat apa, dan dimana.
tak perlu aku bertanya, bang Ihsan ternyata tau apa yang ku pikirkan.
"abang ada kerjaan disana, belawan itu nama tempat dekat laut, kau pasti suka, di bengkalis tak ada laut kan?" jelasnya sedikit mencibir, senyum itu terlihat seperti tak ada duka yang tersimpan.
jika kau melihatnya hari ini, maka kau tak tahu bahwa ada seorang pria mabuk yang menggedor pintu rumah dalam keadaan setengah sadar semalam.
aku tak berniat membalas cibirannya, lebih tertarik dengan apa yang akan di lakukannya disana.
piring nasi terulur.
"makasih-, abang ada kerjaan apa disana?" ku sambut piring dan langsung menyuapkan nasi kemulut.
" . . . abang ada kerjaan di sana, toke ikan yang di belawan mintak antarkan ikan sama udang ke pasar -tembung-" dengan mulut penuh nasi goreng membuatnya sedikit kesulitan untuk menjelaskan.
Dan ku putuskan untuk ikut,
sebelum berangkat ke sana, bang Ihsan mempersiapkan semua yang di perlukan, sementara aku masih membereskan sisa sarapan pagi ini,
tadi bang Ihsan juga mengingatkan aku agar memakai baju yang berlengan, juga memakai topi, agar tak kepanasan. matahari 'laut' bisa membuat kau gosong kecoklatan dalam waktu yang singkat.
Pick up -Bella Swan- berwarna biru gelap terparkir di garasi,
semua yang di persiapkan bang Ihsan semua sudah dimuat di bak belakang,
gas diinjak, roda ban menggilas, kami pun berangkat.
sebelum nya maaf,
jika ingin dimention atau unmention,tolong di beri
tahu ya,
soalnya aku tak tahu,mood pembaca kan bisa naik
turun,
salam : dias
@blackshappire
@mustaja84465148
@adinu
@Tsu_no_YanYan
@reenoreno
@elul
@san1204
@alfa_centaury
@3ll0
@d_cetya
@rezadrians
@autoredoks
@Gabriel_Valiant
@kimo_chie
@bodough
@rezka15
@Xian_Lee
@DM_0607
sebenernya masih kurang . . semangat ts .. yooo
tampilannya makin bagus kok fitur yg ada d jaman readybb hampir semua balik lagi.. yg ngeganggu cuma chatboxnya doang..
Jalan yang kami tempuh awalnya melintas se arah menuju ke sekolahku.
hati ku senang, ini pertama kalinya aku akan berkunjung ke laut, melihat begitu banyaknya air di sana.
Kehilangan satu anak membuat Abah semakin ketat mengawasiku jika ingin kemana-mana,
termasuk saat aku ingin ikut berlibur bersama kakak kelas yang saat itu mengadakan liburan perpisahan yang tujuannya akan berwisata ke 'anyar' atau 'carita', aku lupa.
kata guru PPKN diSMP dulu, penyebrangan dari lampung di pelabuhan makaheuni begitu indah, disana kedua selat seperti mengapai jemari masing-masing,
apalagi jika penyeberangan feri di lakukan dimalam atau di senja hari, lampu yang bertuliskan 'lampung' akan dinyalakan dan penerangan warga sekitar juga menjadi pelengkap keindahan saat kita bertolak dari dermaga,
sungguh aku sangat ingin mengikuti liburan perpisahan itu.
Tapi, penolakan abah untuk mengizinkan ku pergi, praktis membuatku tak berniat mengingat apapun tentang liburan itu dan membuatku gagal melihat laut,
kata Amak aku harus maklum, sepeninggal kak Nissa dari rumah, secara tidak langsung hanya aku satu-satunya anak yang di miliki Abah dan Amak, alih-alih aku senang, malah membuatku menderita bathin, semua ruang kebebasan ku sebagai remaja laki-laki menjadi terkekang, sepertinya aku tak ubahnya dengan gadis desa,di pingit.
jika ingin kemana-mana harus minta izin,
hanya sebagian kecil dari perizinanku di amini,
selebihnya aku harus menelan pil pahit penolakan.
Baiklah, kita tinggalkan memori tentang almarhum Abahku,
sekarang ada bang Ihsan yang bersedia mengajakku untuk melihat laut,
meski dalam pengawasannya, setidaknya rasa penasaranku sebentar lagi akan terbayar, laut yang selama ini hanya bisa ku lihat dari layar kaca, akan ku saksikan langsung.
Mobil yang di bawa bang Ihsan terhenti sejenak, menunggu antrian mobil-mobil lain yang juga ingin melintas di jalan bebas hambatan, bang Ihsan yang ku kira dari tadi serius memperhatikan jalan ternyata membaca gelagat risau yang ada pada diriku.
"kau kenapa dek? dari tadi mukak kau macam jam dua belas, masam kali abang tengok?" belum sempat ku jelaskan, bang Ihsan rupanya telah menarik kesimpulan yang berbeda,
"kau tak senang ya kawani abang kerja?" tuduhnya.
"bukan bang, aku..." ragu untuk menjelaskan,
"aku cuma ingat Abah" jujurku, sedikit sayu, senyum itu berganti dengan wajah prihatin.
"kenapa? kau rindu?" sebenarnya bukan rindu, hanya mengingat kenangan yang kurang mengenakkan, aku juga tak ingin membuka album kelam itu, hanya saja ke ahlian ku dalam hal berdusta sangat payah.
"bukan bang, dulu aku tak pernah di izinkan Abah untuk pergi ke laut, bukan hanya ke laut, tapi kemana pun tempat yang jauh pasti Abah melarang" terang ku terpaksa kembali mengingat semua hal yang pernah ku alami,
"padahal aku laki-laki, aku juga ingin punya kebebasan sedikit seperti teman-temanku yang lain, orang tua mereka mengizinkan jika anak-anak mereka liburan kemanapun, tapi Abah tidak, Abah jadi mengekang aku bang, semenjak kak Nissa pergi sama Abang dulu" sial aku jadi curhat.
ku lihat wajah itu buntu, mencerna setiap kata-kata yang ku utarakan, aku tak bermaksud menuduhnya, tapi kenyataannya semenjak kepergian mereka, Abah memang jadi seperti itu.
"abang mintak maaf lah kalau gitu, gara-gara abang, kau jadi terkekang, tapi rasa abang si Abah sayang sama kau, si Nissa pigi dari rumah otomatis kau lah anak mereka satu-satunya," persis seperti yang Amak jelaskan padaku,
mungkin semua orang dewasa berpikiran massal,
"tapi memang dek, orang tua kadang tak paham apa yang di inginkan sama anaknya, abang tau, Abah sayang sama kak Nissa mu, makanya tak di kasi nya abang menikah dengan anaknya itu, mungkin karena takut anaknya hidup susah,melarat.
karna abang kerjaannya tak jelas macam ni, tapi Abah tak tau, sampai dia meninggal pun dia tak tau, abang sebagai laki-laki akan berusaha supaya sapa pun orang-orang yang abang cintai, akan abang perjuangkan untuk kebahagiaan mereka, tapi Abah tak mengerti, Abah tak mau tau, Abah tak pernah mau dengar sepatah kata pun penjelasan dari abang" aku tak menjawab, terlalu muda diri ini untuk menjadi pendengar dengan masalah sepelik ini,
suasana hening.
klakson di belakang mobil merusak momen haru kami, bang Ihsan kembali menjalankan mobil,
menatap lurus ke jalan dengan wajah semakin berduka, beban hatinya pasti bertambah,
ia menoleh sebentar dan kembali lagi menatap jalan,
"si Nissa ada cerita apa sama kau dek?" matanya masih menatap jalan tol dengan serius, suara yang di buat-buat ceria, namun terkandung badai besar disana, aku tak cukup bodoh untuk bisa merasakan getarnya.
"tak ada bang, tapi aku tau masalah sebenarnya itu ada pada kak Nissa" aku tak ingin menyambut basa-basinya, aku tau dia ingin membicarakan permasalahan kemarin denganku, dan aku tak mau ia berputar-putar.
"kemarin, kenapa kau tak membela Nissa, dia kakakmu.?" dia menganggap nepotisme masih berlaku untukku.
"umurku 16 tahun bang, sedikit lagi tujuh belas, aku sudah cukup mengerti untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah" penilaianku membuat dia tersenyum masam, pandangannya terbuang keluar jendela, aku terseret ke sana.
tiba-tiba di tertawa tak kalah getir dibanding dengan senyumnya.
"tenyata kau lebih dewasa dari kakakmu" wajahku meremang, itu pujian kan,
"Nissa seharusnya belajar macam mana memperlakukan suami dengan baik, kesabaranku di jadikannya permainan, dan permainannya, dia kira aku tak tau. . ." bang Ihsan berbicara denganku,tapi jiwa itu lari untuk berdialog sendiri, mencari dan mengumpulkan kekuatan dari kata-kata yang di keluarkan,
"nantik dia musti belajar, belajar macam mana menghargai waktu, macam mana rasanya sakit di kecewakan" kata-kata yang di rapal berurut, bagai mantra yang di sugestikan pada diri sendiri, tak hanya wajahku yang meremang sekarang bulu kuduk ku pun merinding, dan apa itu?
apa bang Ihsan menangis?
"bang kita ada dimana ini?" aku harus membawa suasana ini agar tak terlalu jauh hanyut terbawa arus gundah, senyumku berubah kikuk saat dia menatapku dengan senyum geli.
"hahaha usaha yang bagus, tapi pertanyaan kau bodoh kali" dia cukup pintar untuk tau sudah saatnya bertukar topik, kesedihan itu sedikit demi sedikit meluntur,
"kau tengok di mukak itu?" telunjuk itu terulur ke depan dan ku lihat hamparan biru membentang dari ujung ke ujung, sejauh mata ku memandang oh tuhan itu air kan?
semua yang ku lihat itu air?
belum pernah ku lihat air sebanyak ini...
sebelum nya maaf,
jika ingin dimention atau unmention,tolong di beri
tahu ya,
soalnya aku tak tahu,mood pembaca kan bisa naik
turun,
salam : dias
@blackshappire
@mustaja84465148
@adinu
@Tsu_no_YanYan
@reenoreno
@elul
@san1204
@alfa_centaury
@3ll0
@d_cetya
@rezadrians
@Gabriel_Valiant
@kimo_chie
@bodough
@rezka15
@Xian_Lee
@DM_0607
@autoredoks