It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
te es nya kajol
salam : dias
@blackshappire
@mustaja84465148
@adinu
@Tsu_no_YanYan
@reenoreno
@elul
@san1204
@alfa_centaury
@3ll0
@d_cetya
@rezadrians
@Gabriel_Valiant
@kimo_chie
@bodough
@rezka15
@Xian_Lee
@DM_0607
@autoredoks
Sore itu menjadi cukup lengkap,
dimana bang Ihsan yang menjadi temanku selama seharian membuat suasana penutup di senja yang indah,
meski perut ku tadinya ber-orasi menyampaikan maksudnya untuk dipenuhi, sekarang sudah menjadi tenang.
sekarang di sini lah kami,
menikmati hari yang sebentar lagi menyelimuti hitam ke segala penjuru, mungkin karena perut yang telah terisi penuh, atau langit yang begitu berbaik hati untuk sedikit pamer menunjukkan kebolehannya dalam melukis,
ia sajikan jingga yang berbias gelap, hingga warna langit tak lagi biru, namun terpaksa menggelap.
mobil ber-cup jantan ini masih setia menggilas aspal hitam di sepanjang perjalanan pulang,
jika aku mengatakan hari ini indah, mungkin saja, atau mungkin tidak.
penghuni Al Fattah cukup membuat lengkungan bibir ini tersungging, belum lagi kebersamaan yang ku rasakan bersama bang Ihsan sepanjang hari membuat daftar kesan ini bertambah,
jika ada Lucifer di hari yang indah ini, dia lah kak Nissa, pesan yang di sampaikannya cukup singkat ke bang Ihsan, namun cukup membuat rona jingga senja menjadi suram terterpa di raut wajah bang Ihsan,
'mungkin aku lama di jakarta, satu mingguan. kau jaga dias, rumah jangan sampai berantakan.' begitu lah mandat yang di sampai kan kak Nissa.
ya, bang Ihsan mengizin kan aku membacanya,
bukan karena ingin menarik simpati ku, mungkin lebih kepada rasa muak,
bang Ihsan kembali murung, padahal tadi sudah lumayan ceria,
mungkin aku harus mengajaknya ke-pakter tuak, agar dia bisa kembali gembira,
apakah ide ku buruk, entah lah.
Setibanya dirumah, mobil sengaja bang Ihsan parkir di depan halaman rumah, tak ia masukkan ke garasi, katanya nanti malam dia mau keluar untuk jalan-jalan,
mungkin perkiraanku ada benarnya, pasti si pemabuk akan berpesta malam ini, merayakan hari jadi sebagai suami pecundang di muka bumi indonesia raya,
aku tak bisa membayangkan jika hubungan rumah tangga ini berlangsung lebih lama lagi, aku tak ingin memikirkannya.
selepas mandi bang Ihsan langsung masuk kamar, biasanya kembali keluar jika ada keperluan untuk kekamar mandi, atau keluar untuk membeli keperluan,
aku menunggu di depan teve, sebenarnya aku juga cukup lelah, ingin segera beristirahat, tapi urung ku lakukan,
mobil bang Ihsan masih didepan rumah, dimedan ini kejahatan bukan hanya dilakukan para penjahat di malam hari, bahkan di siang bolong.
aku tak mau itu sampai terjadi.
aku segan untuk memintanya memindahkan mobil tersebut ke garasi, sungkan saja jika dia sedang tidur harus ku bangunkan hanya untuk memindahkan mobil,
lagi pula, bang Ihsan mau keluar rumah nanti.
siaran teve yang acak ku tonton membuatku bosan sendiri, baru saja beranjak ingin mengecek ke depan melihat keadaan mobil bang Ihsan,
suara derit pintu kamar bang Ihsan berbunyi, menunda niat ku.
aneh, bang Ihsan menggunakan setelan rapi, mau kemana dia?
"kita mau keluar, tapi kau masik pakai baju kayak gitu, macam mananya?" semburnya tanpa basa-basi dengan satu tangan setengah mengangkat dan tangan lain mengancing lengan baju yang berukuran panjang.
aku masih diam, duduk di atas sofa, masih mencerna kata-katanya,
"oke, kau ganti baju, abang masukkan si jantan(mobilnya) ke garasi", semakin bingung lah aku dibuatnya.
gini, bang Ihsan mengajakku keluar untuk jalan-jalan bukan?
tapi kenapa 'jantan' harus di garasikan?
baiklah, memang aku cukup lemah untuk berpikir, tapi bang Ihsan juga cukup tolol jika ia kira aku paham dengan maksudnya tanpa harus menjelaskan,
aku putuskan untuk diam saja selagi dia sibuk menyimpan si jantan.
teve masih menayangkan tayangan tak menarik minatku, mataku ke sana, tapi pikiranku... , layak kah ini di sebut menonton teve, kurasa tidak.
"bahh, kenapa kau tak siap lagi di?" kesalnya dengan nada heran,
"mau kemana bang?" sedikit malas aku menjawab, rebahan tubuhku semakin ku perdalam di sofa,
"kita mau jalan-jalan, kan sudah abang bilang tadi"
"mobil abang masukkan ke dalam, trus mau jalan-jalannya pakai apa bang? jalan kaki? malas lah bang, badan ku pegal ni, seharian tak ada istirahatnya" kesah ku menyampaikan apa yang ku rasakan,
"tadi abang pinjam keretanya(motor) si ilham, ingat? tukang ojek di mukak gang, haaaa kita naek itu lah, tak payah kau jalan kaki, ayok" terangnya, sambil menarik tanganku, memaksa untuk ganti baju,
mau tak mau, aku harus menuruti,
kalau saja dia bukan abang ipar yang baik, dan kalau saja keadaannya tidak seberantakan ini, mungkin aku akan menolak, tapi... ya sudah lah.
Medan, benar kata orang-orang, metropolitan jakarta kedua di pegang olehnya,
kehidupan malam disini hampir sama jika kau bandingkan dengan kota yang be icon monas,
tapi disini masih lumayan asri, tidak sesempit jakarta,
aku bisa membandingkannya karna uwak yang ada di jakarta pernah jatuh sakit, dan Abah, Amak bersama denganku berkunjung kesana, saat itulah, sedikit banyak aku tau bagaimana jakarta itu,
medan juga begitu, gemerlap.
gedung tinggi yang menjulang,
tapi kalau ke asrian, riau masih pegang predikat juara menurutku.
Aku dan bang Ihsan sedang duduk-duduk santai di cafe pinggir jalan yang berbaris di lapangan merdeka walk,salah satu tempat santai yang di tawarkan dhika padaku, siapa yang sangka bang Ihsan akan mengajakku kesini, menikmati martabak piring beserta jus jeruk tanpa es.
malam di medan cukup menusuk dinginnya, jadi aku hanya akan menambah penyakit jika minum minuman yang dingin,
di sini tersedia makanan dan minuman yang beragam, tapi bang Ihsan bilang, martabak ini yang special di sini,
kalau jus, itu hanya seleraku saja, padahal disini banyak disediakan aneka minuman, ada bandrek susu, kopi, teh tarik, bir juga ada, karna iseng, aku terbesit untuk menggoda bang Ihsan,
"kenapa abang tidak pesan bir saja? atau, di sini ada tuak?" cibirku dengan bibir sedikit miring,
"kenapa pesanannya teh tarik?" bang Ihsan menyimpul alis,
"malas lah, kasian kau nanti di" jawabnya dengan sedikit tertawa,
"kenapa kasian ke dias bang?"
"iya lah, kalau abang mabuk, kau yang uruskan?, macam semalam" gelaknya semakin keras.
tawanya mereda, dan terhenti digantikan asap rokok,
aku ikut merasa geli,
abang ipar yang nyentrik pikirku,
"kau tak suka kalau abang mabuk?" tiba-tiba tone riang berubah menjadi serius,
jeda sejenak, tanda aku kembali berpikir,
"dias tidak punya hak bang" kilah ku agar bang Ihsan tak terainggung.
"kalau kau abang kasi hak, kau mau melarang abang minum tidak?" pria bergingsul ini semakin serius saja,
aku semakin tak enak hati di buatnya,
aku enggan bersuara, mungkin beberapa gelengan kepala dapat mewakili.
"ahhh kau tak mau jujur, jawaban kau tak jelas dias" kesahnya sambil menyurutkan teh tarik yang tinggal setengah,
beberapa pengunjung masuk duduk di dekat meja kasir, dan pengunjung sebelah, di dekat kami sudah menuntaskan hidangannya dan memilih pergi,
aku menghela nafas, pertanyaan yang cukup berat ini harus ku tuntaskan, karna dia yang minta, semoga saja apa yang ku katakan tak menyinggung,
"bang, aku orang baru, orang baru di rumah ini, dan kita tau, suasana di rumah sedang tidak baik," kata-kata ku semakin melambat,
"jadi, pendapatku tentang pelarian abang ini hanya akan memperburuk semuanya..." aku berhenti di situ,
bang Ihsan memperhatikan setiap kali aku berbicara,
"jadi, kau tak suka lah!" tuduhnya, ringan.
"tak ada yang suka bang dengan perbuatan buruk seperti itu, tapi aku tak mau menghakimi bang Ihsan cuma karna abang suka minum-minum, lagi pula aku sudah bilang tadi kan, aku tak punya hak bang" jelasku sedikit berhati-hati, takut kalau sampai kata-kataku melukai perasaanya,
bang Ihsan semakin serius memperhatikanku,
"jika bang Ihsan abang kandungku, mungkin aku akan menasehati, tapi tidak dengan status bang Ihsan sebagai ipar,"
aku semakin enggan bicara,
"bahkan kak Nissa saja tak pernah melarang bang Ihsan untuk minum-minum, kenapa aku harus lancang melarang perbuatan abang" senyum miris itu melebar, canggung.
antara menerima untuk di dikte dan sungkan ingin membantah, mungkin begitu.
"kalau kau abang anggap sebagai adikku sendiri, apa kau mau bersikap lebih akrab?" terus terang aku tak mengerti maksud pertanyaannya, tapi ku coba sampaikan apa yang ingin ia tahu,
"dengan begitu, berarti sepak terjang bang Ihsan juga akan semakin sempit dengan adanya aku sebagai adik mu bang, bukannya tak mau, tapi, aku tak ingin bang Ihsan semakin terbebani dengan hadirnya aku yang menjadi polisi pengingat untuk melarang ini dan itu.
bang, suatu ikatan persaudaraan bukan hanya hubungan yang terjalin baik antara abang dan adik, namun juga ada konflik, tentang perbedaan pendapat, dan aku tak mau hubungan ini rusak kalau kita terlalu masuk dalam area personal masing-masing" senyumnya kembali terlihat setelah mendengarkan apa yang ku ucapkan, namun kali ini senyum itu seperti seseorang yang terpuaskan.
"ya kau harus jadi adik ku di" singkatnya dengan senyum yang lebar.
"maksudmu bang?" aku masih tak mengerti apa tujuannya meminta ku untuk menjadi adiknya, bukankah manjadi adik ipar saja aku sudah terlalu banyak merepotkannya.
"di, abang tak mau cerita soal rumah tangga abang dirumah ini, abang juga tak mau cerita macam mana perlakuan kakakmu sama abang selama ini, ku rasa, kau bisa tengok selama di sini macam mana abang jadi lakinya kakakmu kan?,
perhatian itu tak ada di, kasih sayang itu hilang, dia mau anak, sementara abang tak bisa kasi dia.
itu lah yang buat dia berubah macam ini" baik lah sesi curhat bang Ihsan sepertinya akan panjang malam ini,
"aku laki-laki di, aku suaminya, aku berhak dapat kasih sayang, aku berhak dapat perhatian dari istriku kan?, tapi, gara-gara aku tak bisa kasi dia anak, aku di acuhkan sama kakak kau di, dan aku butuh yang namanya kasih sayang." bang Ihsan berhenti sejenak, mengatur emosi,
aku masih menunggu apa yang akan dia luapkan, kekecewaan seorang suami yang selama ini diabaikan, kesedihan seorang suami yang luka hatinya,
di balik diam nya tersimpan luka yang begitu perih,
"jujur, abang bisa cari pelarian di medan ini di, maaf," suaranya mengecil,
"banyak lonte-lonte disini yang bisa abang bayar kalau hanya untuk memuaskan nafsu abang di, tapi abang tak buat semua itu, abang masih sangat menghargai Nissa sebagai istri ku, masih ku pegang janji aku ini di, untuk jaga dia, karna didunia ini tak ada lagi tempat sandaran hidupnya selain abang di, tapi kalau macam ini, abang juga punya perasaan, batas kesabaran yang abang buat juga bisa habis" bang Ihsan yang kaku, dingin, dan kuat selama ini dimataku, malam ini menjadi sosok yang berbeda, lemah dan tanpa asa,
"aku mau kau kasi perhatian itu ke abang di, abang mohon, gantikan posisi Nissa" belum sempat kalimat nya yang berduka tercerna dengan baik di pikiranku,
tatapan matanya yang meminta membuatku gugup.
menggantikan kak Nissa, berarti. . . aku bingung.
tak ada kalimat lain setelahnya,
kepalaku meng-angguk cepat,
dan tanganku di genggam karib olehnya,
mata yang berkaca tampak dari seorang pria yang duduk dihadapku malam ini.
sepertinya malam ini aku akan sulit untuk tidur.
lage bertapa digunung merapi he he he....