It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
***
Author Pov.
Sore itu hujan mengguyur bumi,
embunnya jatuh menetesi tanah
yang semula mengering menjadi
lembab akibat rintikannya.
Beberapa orang terlihat sibuk
berlalu lalang mencari tempat
untuk berteduh, sama halnya
yang tengah di lakukan oleh
kedua remaja yang masih
berseragam sekolah lengkap.
Salah satu dari pemuda ini sibuk
mengusapkan tangannya pada
helai kain seragam yang melekat
pada tubuhnya, sedangkan pria
di sampingnya juga menyibukkan
dirinya dengan mengibas ngibaskan tas selempangnya yang
basah akibat terkena hujan.
"Sudah ku bilangkan pasti hujan"
Pria di sampingnya berucap
keras diantara rintikan hujan
yang semakin deras.
Saat ini mereka berdua sedang
berteduh di sebuah gubuk kecil
di sisi jalanan setapak beraspal.
"Sudahlah, mau bagaimana lagi"
balas lelaki di sebelahnya sebut
saja dia Indra, ia mendengus kecil
melirik sinis pada kekasihnya.
"Huh baju ku kan jadi basah"
Evan memajukkan beberapa
senti bibirnya ke depan, merajuk
seperti anak kecil yang kehilangan
mainannya.
Indra menghela nafas berat,
tangannya terangkat memijit
pelan keningnya yang terasa
pening, ia mengelus surai
Hitam kekasihnya itu dengan
sayang.
"Sabarlah, nanti hujan reda"
bibirnya membentuk sebuah
senyuman, Evan merengkuh
tubuhnya yang menggigil kecil,
mencoba mengusir sedikit rasa
dingin yang seolah membekukan
diri.
Tatapan matanya melembut
memandang prihatin pada sosok
kekasihnya yang kedinginan.
Sebenarnya ia juga kedinginan
seluruh bajunya basah kuyup
terkena guyuran hujan, tetapi
melihat Evan yang tak kalah
menggigilnya ia berinisiatifkan
dirinya untuk lebih mendekati
sosok di sampingnya itu.
Evan tersentak tak kala rasa hangat mulai membungkus tubuhnya, mengusir rasa dingin
yamg tadi sempat melingkupi
dirinya. Matanya menangkap
sepasang lengan kokoh merengkuhnya dalam sebuah
pelukan yang menghangatkan.
"Ndra..."
serunya pelan.
"Hm?"
Indra bergumam lirih, tangannya
ia eratkan untuk mendekap
tubuh kekasinya.
"Bagaimana jika ada yang melihat?"
tangannya tak mampu membalas
pelukan itu, saat ini masing masing tangannya terkulai disisi
tubuhnya.
"Tidak akan. Percayalah"
bisiknya tepat pada telinga Evan,
akhirnya dengan keyakinan yang
besar ia pun membalas pelukan
Indra.
Evan menyandarkan kepalanya
dengan nyaman di dada bidang
Indra, merengkuh tubuhnya lebih
dalam lagi.
"Iya.."
Ucap Evan pelan, senyuman tulus
menghias di bibir pucatnya.
***
***
Mungkin ini bisa di sebut kesialan
beruntun bagi Kelvin, bagaimana
tidak awalnya dia ingin mengajak
Alvian jalan berdua dengannya
sekarang malah ada orang ketiga
yang menganggu acaranya.
Di tambah hari ini dia harus terjebak di dalam satu ruangan bersama seseorang yang paling
menyebalkan, itu menurut Kelvin
yang secara sepihak mencapnya
seperti itu tapi entahlah menurut
orang yang di sebut menyebalkan
itu bagaimana?.
Kelvin melipat kedua tangannya
kedada, ia bersandar nyaman
pada pilar resto, sedangkan orang
yang disampingnya hanya
menampakan emosi datar seperti
biasa.
"Ck, semua ini gara gara lu"
Kelvin mendengus kasar, matanya
menatap sinis Deka yang ada
di sebelahnya.
"Terserah, yang pasti Alvian tidak
berkomentar apapun kan dan
tidak protes dengan adanya
gue disini bersama kalian"
Deka memutar bola matanya
bosan, tangannya ia masukan
ke saku celananya, sejenak ia
mengangkat tangannya melihat
jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
Ponsel di saku celananya bergetar
menandakan ada satu pesan masuk, jemari Deka merogoh
ponselnya didalam kantung celananya lalu mengecek siapa
pengirim sms.
Kelvin hanya melirik sekilas lalu
ia membuang arah pandangannya
ke tempat lain, Deka menghela
nafas panjang lalu memasukkan
ponselnya kembali ke dalam
saku.
"Alvian pulang lebih dulu"
ucapnya tanpa beban, sontak
perkataan Deka tadi membuat
Kelvin tersentak seketika.
"Loh? Kok dia pulang tanpa beri
kabar ke gue sih. Main ngeloyor
pergi gitu aja"
Kelvin terus saja mengumpat
kesal, padahal dari tadi dia
menunggu sosok Alvian yang
tadi meminta izin sebentar untuk
ke kamar mandi, tapi ternyata
dia pulang lebih dulu pulang tanpa pamit terlebih dahulu
pada Kelvin setelah mereka selesai
dengan acara makan bersama
di restoran minimalis ini.
"Sudahlah mungkin dia ada urusan mendadak"
Ucap Deka kalem, ia menatap
Kelvin yang terlihat kesal.
"Masa bodolah"
Desis Kelvin tak suka, ia mencengkram dinding di belakangnya mungkin ini sudah
menjadi batas kesabarannya ia
merasa di permainkan.
"Lu pikir Alvian bakalan balas
cinta lu gitu ja"
Seru Deka lirih, matanya tak lepas
menatap jalanan yang basah
akibat guyuran hujan.
Kelvin mengerinyitkan keningnya
heran, matanya memandang Deka
tajam.
"Maksud lu apa, jangan sok tau"
dengus Kelvin. Deka memutar
pandangannya yang sempat
terpaku pada jalanan dan kini
memandang Kelvin lekat.
"Gue bukan orang bodoh Vin, gue
tau sebenarnya lu ada rasa kan
sama Alvian"
kata kata Deka terakhir sukses
membuat Kelvin mematung, ia
tidak tau harus membalas apa.
***
@ElninoS, @anan_jaya
****
Bungkam. Kelvin tak bisa membalas perkataan Deka, karna
ucapannya memang benar tapi
dengan susah payah ia menutupi
kebenarannya.
Kelvin diam mematung tanpa
menolehkan wajahnya sedikit pun
ke hadapan Deka, ia merasa kecil
dan bodoh di depan orang itu.
Ia tidak mau jika memandang Deka terlalu lama, seolah olah
hanya dengan tatapan tajam darinya mampu menelanjangi seluruh pikirannya.
Kelvin menundukkan kepalanya
tangannya mengepal erat, kenapa
ia harus gemetar seperti ini kenapa dia harus takut jika memang kenyataannya ia menyukai Alvian.
"Kenapa? Apa lu ga bisa jawab
karna apa yang gue bilang itu
bener?"
Deka menatap remeh sosok Kelvin yang terus saja menundukkan
kepalanya.
Deka menyilangkan kedua tangannya kedada, lalu mendekati
Kelvin yang masih bersandar dengan nyaman pada pilar resto.
Jika dilihat dari postur tubuh
mereka berdua memiliki badan
yang sama sama bagus tapi dari
segi tingginya mungkin Kelvin
kalah tinggi dari Deka.
Manik mata hitam Deka terus mencari jawaban yang keluar
dari bibir tipis Kelvin, dari jarak
sedekat ini dia bisa merasakan
harum aroma tubuh orang di depannya, wangi parfumnya dan
hembusan nafas lelaki itu.
Seolah terhipnotis tangannya tiba
tiba menangkup wajah yang tertunduk itu, Deka merutuk
kespontanannya itu di dalam hati,
kenapa hanya karna menghirup
wangi tubuh lelaki di depannya
ini membuatnya lupa dengan
bagaimana cara mengontrol diri.
Mata Kelvin melebar saat merasakan sentuhan hangat pada
sisi wajahnya. Kedua mata itu
saling beradu pandang, Deka
mengusap kikuk sisi wajah halus
itu.
Kelvin yang kembali tersadar dengan kekagetannya menepis
kasar telapak tangan Deka, ia
menatap tajam sosok yang beraninya menyentuh pipinya
tanpa izin.
"Lepas"
ia mengusap pipi bekas sentuhan
Deka di pipinya dengan keras,
Deka memandang Kelvin diam,
senyum usil menghias dari bibir
merahnya.
"Menarik"
ucapnya pelan, merasa semakin
tertantang untuk menaklukkan
pemuda di depannya ini.
"Keras kepala"
Deka mendengus kecil, menjauh
beberapa langkah dari Kelvin.
Kelvin mengumpat pelan dan
melangkahkan kakinya mendahului langkah kaki Deka.
****
****
Bugh.
Terdengar sebuah pukulan kuat
yang menghantam sisi wastafel
dengan kerasnya, tangannya terkepal kuat wajahnya merah
menahan amarah yang memuncak.
Ia membasuhkan air pada wajahnya dengan kasar, mengusap sedikit peluh di keningnya, wajahnya terlihat
kuyu pada pantulan cermin.
"Shit. Kenapa gue harus liat mereka berdua"
tangannya kembali terkepal
menghantamkannya pada dinding
berlapis kayu jati, matanya bergerak liar menatap bayangan
wajahnya pada cermin bulat di depannya.
Tubuhnya sedikit membungkuk
menghadap cermin, kedua tangan
itu bersandar nyaman pada sisi
wastafel. Air masih mengucur deras keluar dari keran yang belum sempat ia matikan.
"Evan"
desisnya pelan, ia menundukkan
kepalanya menatap air yang perlahan tersedot masuk kedalam
lubang yang ada di dalam wastafel.
Rasa kesal Alvian bermula saat
matanya tak sengaja melihat
kedua sosok pasangan kekasih
yang sedang berteduh di sebuah
gazebo saling berangkulan mesra,
kedua orang yang dimaksudkan
itu tidak lain adalah kakaknya dan
Evan, sejak didalam mobil rasa
kesal Alvian semakin menjadi
sehingga sesampainya di resto
pun Alvian hanya diam, ia pun
memutuskan untuk pulang setelah acara makan bersama itu
selesai tanpa pamit terlebih dahulu kepada Kelvin.
Ia tak memikirkan bagaimana nasib Kelvin disana bersama Deka
toh ia merasa Kelvin akan aman
bersama Deka disampingnya, ia
tak peduli dengan semuanya yang
ia butuhkan sekarang adalah
ketenangan.
Rasa amarahnya membutakan
mata hatinya, didalam hatinya
ia merasa cemburu melihat kaka
kandungnya sudah berbaikan
kembali dengan pacarnya Evan,
sejak kapan itu terjadi? Ia saja
tidak mengetahuinya yang jelas
saat ini ia merasa jengkel melihat
moment kemesraan kedua orang
itu.
Nafasnya memburu menahan
marahnya didalam dada, ia merasa bodoh mengemis cinta
yang tidak berbalas, ia ingin
merasakan cinta yang berbalas
tapi kenapa justru rasa sakit yang
terus datang menghampirinya.
Tangan Alvian mencengkram
surai hitamnya, kepalanya pening
ia mematikan keran pada wastfel
lalu melangkahkan kakinya masuk
kedalam kamarnya mencoba
menjernihkan kembali pikirannya
yang kacau.
****
****
Kaki jenjang yang berbalut celana
hitam panjang berlapis sepatu
pantofel hitam mengkilap turun
dari sisi pintu mobil yang terbuka.
Sosok tegap dan berwajah dewasa itu memiliki aura kebijaksanaan yang terpancar
dari wajahnya, garis rahang keras
nan tegas, bibir tipis dan hidung
yang mancung. Mata tajam bak
elang mengedar kesekeliling pemakaman.
Kakinya menapaki setiap jengkal
deretan makam, ditangannya
memegang sebuah bunga lili
segar. Kaki itu berhenti matanya
menatap sendu kearah sebuah
batu nisan lusuh di depannya.
Ia berjongkok di samping pusara
dan menaruh sebuket bunga lili
segar itu diatas tanah merah yang
basah akibat guyuran hujan.
Tangannya meraup tanah basah
itu lalu menggenggamnya dan
mendekatkannya pada hidung
mancungnya, menghirup aroma
tanah yang bercampur dengan air
hujan.
Matanya terpejam bibirnya mengatup tanpa ada niat bersuara sedikitpun, satu embun
menetes perih menganak basah
menetes jatuh di kedua pipinya.
"Maafkan aku, maaf..."
seulas senyum terpatri dengan
indahnya pada wajah tampannya.
"Maafkan aku jika aku baru sempat mendatangi makam mu,
pekerjaan ku semkain sibuk setiap
harinya . Semoga saja kau tidak
marah disana sayang"
tangannya mengelus batu nisan
itu dengan lembut. Matanya kosong memandang sebuah nama
yang terukir pada batu nisan itu.
****
@mahardhyka, @anan_jaya,
@Henry_13
@tyo_ary, @Rez1, @rulli_anto