BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

CERBUNG : This Pain is Called... LOVE [Bab 1]

11618202122

Comments

  • edited February 2009
    “Ya, Ri?” Aku menjawab HPku.

    ”Di mana?” Tanyanya dari seberang sana.

    Apa urusanmu? Urusi saja tunanganmu!

    ”Di Ranch Market.”

    ”Ngapain?”

    Beli senjata, buat bunuh Melinda. Atau bunuh kamu!

    ”Biasa, belanja keperluan dapur.”

    Aku mengambil sebotol BBQ sauce dan memasukkannya ke dalam trolley belanjaanku.

    ”Kamu ngapain?”

    ”Di rumah aja. Istirahat.”

    Bohong!

    ”Ok. Ya udah. Istirahat, ya. Mau titip apa mumpung aku di sini?”

    ”Jangan lupa thousand islands.” Saos salad kesukaannya.

    ”Ok.”

    ”I love you.” Katanya menutup pembicaraan.

    Really?

    ”You too.” kataku kemudian mematikan HPku.

    Tiba-tiba semuanya jelas di kepalaku. Bila ia begitu sukar memberitahuku soal Melinda, berarti keberadaanku sangatlah berarti baginya. Berarti ia memang mencintaiku, lebih daripada yang aku bayangkan.

    Aku rela melihatnya menikah dengan seorang wanita. Membangun keluarga dan statusnya di dalam masyarakat yang menghormatinya. Dengan kemampuan dan kepandaiannya, suatu saat ia akan menjadi seseorang yang berhasil dan terpandang. Dan seorang istri dan anak-anak akan menjadikannya sosok manusia yang sempurna. Yang dihormati masyarakat di sekelilingnya.

    Jika ia begitu merahasiakan rencana pernikahannya dengan Melinda kepadaku. Kemungkinannya ia sedang mempertimbangkan untuk melepaskan semua itu, untuk menjalin masa depannya sepenuhnya denganku.

    Yeah! you wish!
    Cibirku dalam hati menertawai skenarioku sendiri.

    Anehnya, tiba-tiba sekarang pikiranku sudah bulat.
    Aku telah mengambil keputusan dalam hatiku.
    Dan kelegaan muncul seperti air sejuk menyiram kepalaku.
    Rasanya belum pernah aku berpikir sejernih ini.
    I have made up my mind now.
    And it is much much easier than I thought.


    ***
  • Woow..
    Makin asoy aja critany..
    Lanjut mas, posting ny jgn sikit2 dong..
    Aku slalu mnungu mu..
    :-D :-D :-D
  • OH MY GOD . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .


    NNNOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

    THIS IS NOT HAPPENING!!!!!
    Melinda!! go away!!!!

    SYUH . . . . . . SYUH . . . . . . . . . . . . . .

    *lebay mode*
  • i wanna kill that melinda-bitch.. selalu ya, ada wanita buta..
  • Wah daerah edar nya di daerah PI jg ya.. :p
  • Semakin lama semakin menarik. BTW, bagian dimana Pak Willy cerita tentang Melinda itu sengaja nggak ditampilkan (karena kurang penting? :?: or maybe there is another reason?) ya?

    Penggalian emosi karakternya terasa banget. :wink: Top banget. Seperti yang sudah2, masih berharap bakalan berakhir bahagia untuk keduanya.
  • Kasian amat si Melinda, udh fixed relationship ama Riduan, eh taunya lakinya ACDC. Parah tuh si Riduan, maruk pengen dua2nya. :x
  • Hari Senin, aku sengaja datang lebih pagi ke kantor. Di kantor baru ada pak Kosim. Aku menyapanya dengan riang. Pak Kosim tersenyum senang. Mungkin berpikir ini akan menjadi permulaan minggu yang baik. Bila boss mu menyapa dengan riang, berarti waktu-waktu bekerja selanjutnya akan dipenuhi mood yang baik.

    Aku meminta pak Kosim membukakan pintu kantor pak Willy yang masih terkunci. Kemudian meletakkan sebuah amplop tertutup di atas mejanya. Aku memastikan letaknya persis di hadapannya pada saat ia duduk nanti. Surat pengunduran diriku. Enam minggu dari sekarang, I’ll be gone! Seharusnya aku merasa sedih meninggalkan kantor yang telah memberikan begitu banyak kenangan dan cerita dalam hidupku. Tetapi kelegaan di dalam hatiku mengalahkan rasa sedihku.

    Hidup dengan beragam tanda tanya di benakku, bukanlah sesuatu yang aku dambakan. Sejak kecil aku sudah cukup lelah hidup dengan penuh tanda tanya di hatiku. Bagaimana hidupku seandainya bila aku punya seorang ayah. Mengapa ibuku tega meninggalkan aku. Apakah suatu saat nanti aku akan dapat merasakan getar-getar cinta di hatiku kepada seorang wanita. Dan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lain yang tak terjawab. Tak perlu ditambahkan pertanyaan-pertanyaan lain yang bahkan tidak boleh aku tanyakan langsung kepada yang bersangkutan.

    Enough is enough!
    Perduli setan kata hatiku menuduhku bahwa aku sedang lari dari kenyataan.
    Kenyataan apa?

    Aku hanya ingin menata kembali kehidupanku.
    Start fresh.
    A new beginning.
    A new life.
  • Pak Willy memanggilku beberapa saat setelah ia tiba di kantornya. Riduan masih belum kelihatan batang hidungnya. Biasanya dia datang sebelum pak Willy. Mungkin masih sibuk dengan perempuan tunangannya itu. Biasanya dia menelponku bila akan datang terlambat, atau setidaknya kirim SMS. Pagi ini tidak.

    Wajah pak Willy ditekuk sedemikian rupa sehingga aku hampir tidak mengenalinya.
    Aku menutup kembali pintu kantornya kemudian duduk di kursi tamunya. Kursi sofa tamu itu berwarna hijau gelap. Nyaman dan empuk untuk diduduki. Cukup besar untuk tiga orang, atau bahkan empat orang. Dia berdiri dan berjalan menghampiriku dari balik meja kerjanya yang hampir 2 kali lebih besar dari mejaku. Di tangan kanannya surat pengunduran diriku yang telah dikeluarkan dari amplopnya.

    Pak Willy duduk di sofa di sampingku, di sofa satu seater dengan warna yang sama di sebelah kananku.

    ”Take this back. Saya tidak mau terima ini.” Katanya sambil meletakan surat itu di meja kaca di depanku. Matanya menatapku marah. Atau serius. Super serius.

    Ternyata dia menerima ini tidak setenang seperti pada saat aku memberitahunya secara lisan. Aku sedikit terkejut. Sedikit senang. Lebih banyak kasihan. Aku akan membebaninya dengan semua projects yang selama ini ada dalam pengawasanku. Hidupnya akan sangat jauh lebih sibuk tanpa keberadaanku di sampingnya. Aku hampir saja berpikir untuk menarik kembali surat itu karena rasa kasihanku. Sampai kemudian berpikir kembali bahwa sosok yang aku kasihani di depanku ini adalah seorang pedophil.

    No judgment please!
    Ok, but at least pikiran menghakimi itu lebih memudahkan aku untuk membulatkan tekadku.

    “I’m really sorry. I wish I could stay.” kataku perlahan.

    Dia menghela nafas perlahan. Mencoba mengontrol emosinya.

    “Kamu gak perlu resign. Soal Riduan kita bisa hadapi sama-sama, Jun.”

    Pak Willy menatapku dengan sungguh-sungguh. Bersungguh-sungguh meyakinkanku atas ketulusan kata-katanya. Tetapi ”kita”? apa maksudnya dengan kita? Tidak lelahkah ia berharap agar aku kembali kepadanya?

    Hhhhh.....
  • Aku menatapnya. Berusaha menahan semua gejolak rasa sedihku. Bagaimanapun ia menyayangiku. Tidak ada seseorangpun di dunia ini yang bisa aku ajak bicara seperti dengannya. Aku mengingat saat-saat kami berdua dan kasih sayangnya kepadaku. Aku juga menyayanginya. Setidaknya aku pernah menyayanginya.

    ”Bukan karena itu, Pak. Bapak ingat kan, saya ingin resign sebelum saya tahu soal Melinda.”

    Dia menatapku dalam-dalam. Kelihatannya ia mulai sadar akan kesungguhanku. Mengingatkanku saat-saat ia mengalah ketika keras kepalaku mulai timbul. Mengingatkanku betapa baiknya ia kepadaku.

    ”Ok, sebelum kita bicara soal hand-over pekerjaan kamu. Saya ingin kamu tahu ini...” Matanya menyelidik dalam-dalam ke dalam lubuk hatiku.

    ”You are always welcome here. Anytime you want to come back. This job is yours.”

    He means it. Every word. Menyentuh hatiku. Betapa baiknya dia kepadaku. Dan dari sinar matanya aku tahu kata-katanya bukanlah basa-basi.

    Mataku berkaca-kaca menahan tangisku. Membayangkan bahwa barangkali tidak akan ada seseorang lain yang dapat berkata seperti itu setelah semua perlakuanku kepadanya. Setelah aku meninggalkannya. Setelah sekian kali aku menolaknya. Yang dilakukannya hanyalah terus mencintaiku.

    ***
  • Pak Willy memberitahukan hal pengunduran diriku pada saat morning meeting. Beberapa saat setelah Riduan tergopoh-gopoh masuk karena terlambat sambil menggumamkan kata ”Sorry, I’m late”.

    Semua mata memandangku. Mengharapkan aku berbicara dan menjelaskan segala sesuatunya. Tetapi pak Willy masih berbicara.

    ”I’m sure that we’re all sad to see him go, however…” dan seterusnya. Suara pak Willy seperti terdengar di kejauhan saat aku menangkap sinar mata Riduan yang marah. Sorot mata marahnya membakarku dari seberang meja. Aku menghindar tatap matanya dan memperhatikan yang lain yang memandangku penuh tanda tanya. Aku mencoba memasang wajah dan senyum tenangku.

    Sejak selesai morning meeting itu huru-hara kehidupanku dimulai.
    Dina menerobos masuk ke kantorku dengan ngomel-ngomel.
    Andrew tidak mau pergi dari kantorku sampai aku harus mengingatkan pekerjaannya.
    Eddy menginterogasiku soal besarnya persentase kenaikan salaryku di tempat yang baru.
    Belum lagi aku harus memberitahu setiap klienku. Beberapa klien cukup dengan email pemberitahuan pengunduran diriku. Tetapi cukup banyak yang lain yang harus aku sampaikan secara pribadi melalui telpon.
    Telpon di mejaku tidak berhenti berdering.

    Hanya dua orang di kantor ini yang kelihatannya tidak perduli dengan resignationku. Pak Kosim dan Riduan. Pak Kosim, aku mungkin bisa mengerti. Tetapi Riduan? Aku tahu ia marah. Tetapi menjadi begitu tidak perduli?

    Mungkin itu caranya untuk mengatasi kemarahan dan kesedihannya.
    Aku juga sudah tidak perduli lagi. Hari-hariku cukup sibuk mempersiapkan segala macam laporan hand-over yang harus aku persiapkan dengan rapi dan mendetail untuk pak Willy. Di balik ketidak-perduliannya, Riduan tetap cekatan membantuku.

    Aku sudah tidak perduli lagi bahwa dia tidak pernah lagi sms kecil ini dan itu. Aku juga sudah tidak perduli lagi bahwa kami tidak pernah lagi membicarakan soal-soal pribadi. Tatapan matanya tidak lagi marah atau membakarku. Malahan ia lebih sering menghindar dari tatapan mataku.
  • edited February 2009
    Jika kamu menyembunyikan sesuatu dariku dan tidak merasa bersalah menyembunyikannya dariku, untuk apa aku harus perduli.
    If it is a break-up, it’s definitely a slow breaking up.
    Perlahan kami semakin menjauh.
    Perlahan kami semakin jarang berbicara.
    Hanya seperlunya saja.

    Mungkin dipikirnya aku berhutang penjelasan kepadanya atas keputusanku untuk resign tanpa memberitahu nya terlebih dahulu. Sementara aku berpikir dia yang berhutang penjelasan kepadaku. Penjelasan atas Melinda, atas tunangannya. Atas diamnya soal itu. Atas ketidak percayaannya bahwa aku akan berusaha mengerti apapun alasan ataupun keputusannya.

    Bagaimana caranya aku memberitahu kamu?
    Bagaimana caranya aku mencari penjelasan darimu?
    Lewat telepon sementara kamu bersama tunanganmu?

    Terbayang kembali cerita pak Willy. Melinda kembali ke Jakarta karena ibunya sakit dan telah divonis dokter tidak akan dapat bertahan hidup untuk waktu lama. Dan mereka harus menikah dalam waktu dekat sebelum ibunya meninggal. Ibu Melinda mengharapkan mereka menikah sebelum akhir tahun ini.

    So, aku mengerti kebingunganmu.
    Kamu tidak akan dapat meninggalkan perempuan itu untukku.
    Jika memang kamu mencintaiku, tentunya hatimu berat karena aku.
    Jika aku memang mencintaimu, aku tidak akan lebih memberatkanmu.

    Begini lebih baik. Mudah-mudahan kamu akan berpikir bahwa memang dengan begini, lebih baik bagimu untuk meninggalkan aku.

    Jika aku boleh mengatakannya, aku akan berkata; Aku rela mengakhiri ini tanpa memberatkan kamu, Ri. Mudah-mudahan dengan marahnya kamu, kamu akan lebih mudah melupakanku. Aku hanya bisa berdoa dalam hati dan doaku untuk kebahagiaan hidupmu.

    Tetapi dengan berkata seperti itu aku akan lebih membuatmu sedih. Jadi, bagaimanapun diam lebih baik. Aku sanggup menelan semua ini.

    Hanya Tuhan yang tahu kesedihanku. Hanya Tuhan, aku dan pak Willy yang tahu. Ketika air mataku mengalir dan ia memelukku. Kali pertama aku menangis di hadapannya. Setelah ia menceritakan semua tentang Riduan dan Melinda. Aku membiarkannya memelukku. Aku membiarkannya meyakinkanku bahwa ”Everything will be ok.”


    ***
  • Hari terakhir di kantor,

    Setelah mengucapkan pidato perpisahan di hadapan rekan-rekanku yang berkumpul di depan kantorku. Aku memandang terakhir kalinya ke dalam kantorku yang sudah kelihatan kosong dari pernak-pernik barang-barangku. Pak Willy memberikan sebuah hadiah perpisahan, sebuah kotak sebesar kotak tissue yang dibungkus kertas kado berwarna emas. Untuk mengingatkanku kepadanya dan semua yang ada di kantor ini, katanya. Kemudian memelukku sebagai ucapan perpisahan di hadapan teman-temanku di kantor ini. Pelukan seorang ayah kepada anaknya, diiringi tepuk tangan rekan-rekanku yang menyaksikannya. Dina sibuk dengan kamera digitalnya memfoto ke sana kemari.

    Aku menyalami setiap orang dan berpamitan. Mataku berkaca-kaca menahan tangis. Aku mencoba tersenyum dan bercanda. Berjanji untuk keep in touch dengan setiap orang. Setiap orang berlaku luar biasa baik hari ini. Bahkan pak Kosim terlihat sedih ketika aku berpamitan dengannya.

    Terakhir aku bersalaman dengan Riduan. Ia menghindar dari tatapan mataku.

    ”I’ll walk you to your car.” Katanya sambil meraih box bekas kotak kertas fotokopi A4 berisi sisa-sisa barangku dari atas meja di dekat pintu kantorku. Aku menyandangkan ransel laptopku dan melambaikan tanganku kemudian melangkah menuju pintu keluar.

    Kami tidak berbicara di dalam lift.
    Lagipula ada orang lain di dalam lift itu.

    Aku melangkah keluar di lantai basement menuju belakang mobilku. Aku menekan remote control membuka bagasi mobilku dan mengambil box barang-barangku dari tangan Riduan. Dia menungguku sampai selesai menutup kembali bagasi mobilku sementara aku sibuk berpikir kalimat apa yang harus kuucapkan kepadanya.

    Akhirnya aku menyalaminya sebelum memasuki mobilku.
    Aku menatap matanya.
    Dia menatap mataku.

    Aku menahan segala perasaanku.
    Sepertinya ia pun begitu.

    ”Thanks for everything, Ri.” Akhirnya aku berbicara.

    “Thank you.” Katanya mencoba tersenyum.

    “Don’t be a stranger, ok?” Kataku mencoba mencairkan suasana.

    Ia mengangguk. Aku ingin mengucapkan kata maaf. Kemudian sadar bahwa itu akan memperburuk suasana.

    Aku masuk ke dalam mobilku, menyalakan mesinnya dan menurunkan kaca jendelanya. Ia berdiri di samping mobilku.

    Aku menatap matanya untuk terakhir kalinya.
    Memaksakan senyum yang terbaik yang aku bisa.

    ”Bye, Ri.” Aku memindahkan tuas persnelling mobilku dari posisi P ke posisi maju.

    Perlahan aku melepaskan rem tangan dan mobilku mulai bergerak maju.

    ”Bye, Jun.” Ia melambaikan tangannya.

    Ia tidak punya cukup keberanian untuk menahanku.
    Aku ingin ia memanggilku untuk kembali.
    Supaya aku bisa tetap bersamanya.
    Dan ia tidak punya keberanian untuk itu.
    Ia cuma punya keberanian untuk terus menatapku menjauh.
    Menghilang.


    ******
  • BAB VIII



    Bali, Beberapa bulan kemudian.

    Aku baru saja selesai bersama beberapa petugas pengukur level tanah untuk memutuskan bagian mana saja dari tanah yang berbukit dan lembah ini yang harus di urug. Mereka menunjukkan dan mengusulkan bagian mana saja yang akan dipapas atau ditambahkan. Aku hanya tinggal menyetujuinya atau menyampaikan pendapatku. Mencoba membayangkan penjelasan mereka tentang garis-garis pada blue print yang besar itu dan mencocokkannya dengan tanah kosong di hadapanku. Pekerjaan baruku mengharuskan aku ikut terjun ke lapangan untuk menentukan jenis-jenis villa yang harus aku dirikan dan aku jual atau sewakan di tanah perbukitan ini. Di Ubud, tempat yang asri dan sejuk, di daerah yang masih belum terlalu komersil dibandingkan daerah Kuta, Bali.

    Waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi lewat sedikit ketika kami selesai dan beranjak meninggalkan tanah kosong tersebut. Kami memang sengaja datang pagi-pagi sekali untuk mencari pemandangan terbaik di pagi hari untuk villa-villa yang akan kami dirikan. Setelah bersalaman, beberapa sarjana teknik tersebut meninggalkanku menuju mobil Kijang innova mereka dan aku menuju mobilku.

    Kemudian aku melihat lelaki itu berjalan menghampiriku. Melambaikan tangannya kepadaku.
    Sosok yang sangat kukenal.
    Ia memakai kaca mata hitam, dan kaos polo shirt warna pastel, coklat muda.
    Sosok yang sempat mengisi kehidupanku.
    Ia berjalan perlahan mendaki jalan tanah itu menuju ke arahku.

    Aku melambai ke arah mobil kijang yang berisi beberapa arsitek dan insinyur teknik sipil itu berlalu menyusuri jalan tanah yang sepi dari keramaian orang. Meluncur perlahan, menurun ke arah jalan kampung yang tidak terlalu besar kurang lebih 100 meter di depan. Kemudian aku berdiri menunggu.

    Kami bersalaman.
    Hanya kami berdua sekarang.
    Dia menatapku dari balik kaca mata hitamnya. Aku menatapnya.
    Udara sejuk Ubud di pagi hari berhembus membelai rambut kami berdua.
    Hanya kami berdua.
    Di sisa sedikit debu yang ditinggalkan Kijang innova yang telah berbelok ke arah jalan kampung tadi.

    Di kejauhan di belakangku terhampar sawah-sawah berbukit yang rapi terisi padi-padi yang masih segar, tegak menghijau sebelum waktunya merunduk menguning. Kehijauan pepohonan yang tumbuh tidak teratur dan belum tersentuh tangan-tangan manusia mengelilingi kami. Beberapa pohon itu bahkan mungkin lebih tua umurnya daripadaku.

    Tiba-tiba aku merasakan kesunyian alam di sekelilingku.
    Tiba-tiba aku merasakan kerinduanku kepadanya.
    Dan aku merasakan kerinduannya kepadaku.
Sign In or Register to comment.