It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Gong Xi... gong xi....
sorry banget belom sempet aja buat nulis lagi...
buat semua yang udah ngasih atensi ... makassiiiiiiii banget. Pasti nulis lagi kok... sabar yaa...
o iya... yang mau japri silakan ke [email protected]
once again... thank u
Waaah, akhirnya suhu turun gunung juga.
Murid sampe terharu banget.
Pasti dah berlatih jurus yang lebih dahsyat.
ditunggu ceritanya ya ko Jun
Critanya baguuuuuusss bgt, Very Smart..., so Sweet, mudah dicerna,
what a Love Life!
iya bener kata siapa tadi diatas..
lebih ditekankan ke cerita kehidupannya aja.. jangan sexnya..
klo sexnya kan kita pasti punya majinasi liar masing2.. yang tentunya udah pada expert ya..
haha..
terus berkarya ya..
Kepalaku berdenyut-denyut sejak aku membuka mataku pagi ini. Aku mematikan alarm di sampingku dengan sedikit kasar. Bunyinya semakin menyakiti kepalaku. Riduan sudah tidak ada di ranjang. Aku melangkah ke kamar mandi untuk bersiap-siap diri berangkat ke kantor.
Ketika aku keluar dari kamar dengan rapi dan siap ke kantor, Riduan sudah duduk di meja makan dengan koran di tangannya. Dia telah menyiapkan sepiring cheese omelette untukku. Ia pun telah rapi berdasi siap berangkat ke kantor. Ia memang hampir selalu bangun lebih pagi dariku.
”You look like hell.” Ia memandangku tersenyum dari atas korannya ketika menatap mataku.
”Thanks. Good morning to you too.” Kataku berjalan menghampirinya. Aku membungkuk dan mengecup bibirnya sekilas. Kemudian duduk menghabiskan cheese omeletteku.
Kami tiba di kantor pukul delapan lewat sedikit. Aku mencari panadol di laci meja kerjaku setelah menyalakan laptop. 1 butir panadol setelah breakfast omelette tadi belum meredakan sakit kepalaku.
Riduan muncul di ambang pintu.
”Sudah mendingan, Jun?”
”Kayaknya musti minum satu panadol lagi.” Kataku melirik sebutir pil panadol di telapak tanganku.
”Pak Kosim. Pak Jun minta air putih hangat. Cepetan yaa...” Tiba-tiba dia berteriak keluar pintu. Kepalaku seperti mau pecah mendengar teriakannya.
”Sepertinya aku mau istirahat aja hari ini.” Kataku sambil memasukkan panadol itu ke dalam mulutku. Pak Kosim berdiri di sampingku tergopoh-gopoh menyodorkan segelas air putih hangat, kemudian bergegas keluar meninggalkan kantorku.
”Tolong kasih tau yang lain I’m taking a sick day.”
Aku enggan menyebut nama Pedophil itu.
Aku membereskan kembali laptopku.
”Jun. Sorry. Seharusnya semalam aku gak perlu cerita.”
”No no no...” Aku mencoba terseyum. ”I’m glad you did.”
Aku melangkah keluar meninggalkan kantorku.
Ketika melewati depan kantor pak Willy.
Nafasku terasa berat.
Perutku terasa mual.
Aku merasa aku begitu membencinya.
Dalam selang waktu yang singkat kata-kata I will always love you telah berganti menjadi I really hate you.
And I hate myself too,
for sleeping with that monster.
***
Setelah selesai mengetik surat resignation itu, mem-print nya dua lembar serta menanda tanganinya, aku sedikit merasa lega. Meskipun kepalaku masih terasa sakit. Aku merebahkan diri di ranjang dan menutup mataku. Sebentar saja aku mulai terlelap. Karena memang semalam aku tidak dapat langsung memejamkan mataku, mungkin sampai subuh.
Aku membuka mataku ketika merasakan sebuah telapak tangan meraba keningku. Riduan duduk di ranjang di sampingku meraba dahiku untuk merasakan panas tubuhku. Aku tidak demam. Aku merasa jauh lebih baik setelah tidur lelap beberapa jam.
”Feel better?” tanyanya. Aku mengangguk.
”Lapar.” Kataku.
Riduan tertawa.
”Sudah hampir jam tujuh malam. Tadi siang gak makan?”
Aku menggeleng. Kamarku remang-remang. Curtain jendela kamar yang aku tutup rapat sejak siang sebelum tidur tadi membuatku kehilangan sense of time. Kemudian aku teringat surat resignation yang aku letakkan di meja di samping ranjangku. Sudah tidak ada di sana.
”Sudah aku buang.” Kata Riduan. Matanya memperhatikan aku yang mencari surat itu.
Aku menghela nafas berat.
”Ayo makan dulu. Aku bawain bubur ikan kesukaan kamu.”
***
”Jangan memutuskan sesuatu dengan emosi yang berlebihan.” Riduan mengingatkanku.
”You cannot resign because of me. I won’t let you.”
Dia menghampiri aku yang sedang mencolokkan kabel USB printer ke laptopku. Ia memelukku dari belakang dan menarikku dengan lembut ke arah sofa. Aku terjatuh perlahan menindih tubuhnya di atas sofa. Ia menciumi leherku.
Aku melepaskan diri dan duduk di sampingnya menatapnya.
”Aku gak bisa, Ri.” Suaraku lirih, hampir berbisik. Bagaimana aku harus mengatakannya? Bahwa kata-kataku ke pak Willy Pak... you know I love you. I always will... akan selalu menghantuiku.
Bagaimana caranya sekarang aku memandang Pak Willy?
Setelah aku tahu yang sesungguhnya.
People say the truth will set you free
Why is this truth killing me?
Riduan memegang tanganku, menciumi punggung tanganku dengan lembut.
”Please Jun... ”
Aku menatapnya. Ia menatapku penuh harap.
”Please...”
*****
Akhrny d lanjutin..
Jgn lma2 y mas..
Jgn buat km mnungu lg..
LOL
Good story..
the collaboration between love and erotic stories
keep it going dude..
best regards
-erik (the new comer)-
Hampir dua minggu ini aku selalu berusaha menghindar dari Pak Willy. Tentu saja lebih sering tidak berhasil. Bagaimanapun aku adalah tangan kanannya di kantor marketing ini. Hampir semua clients dan permasalahannya ada dalam otak dan genggamanku. Boleh dikatakan aku merasa ia bergantung hampir 100% kepadaku untuk menangani setiap pekerjaan yang ada di kantor ini.
Ia tetap memulai morning meeting, dan aku tetap yang mengakhirinya. Ia tetap datang ke kantorku menanyakan ini dan itu. Ia kerap memanggilku ke kantornya untuk mendiskusikan berbagai hal. Ia tetap melontarkan gurauan-gurauannya. Ia tetap memberikan perhatian kepadaku seperti biasanya. Membuatku begitu susah menyembunyikan perasaanku. Sometimes rasanya aku ingin berteriak-teriak kepadanya. Dalam kesempatan lain aku ingin menanyakannya baik-baik, mengapa ia tega melakukan hal seburuk itu.
Mungkin saja ia mulai merasakannya.
Sebab aku tidak pernah lagi menatap matanya.
Jika aku tidak bisa menghindar darinya.
Paling tidak aku masih bisa menghindar menatap matanya.
Beberapa kali dia bertanya. ”Are you ok?”, “Kamu sakit, Jun?” atau memberikan perintah, “Kamu perlu medical check-up.”, ”Periksa ke dokter, kamu kelihatan gak sehat.” Atau bahkan bercanda ”Kamu kemasukan setan apa?”
Dan aku harus menatap matanya memaksakan senyum, menjawab meyakinkannya bahwa tidak ada apa-apa. ”I’m ok.” Atau ”Nothing is wrong”.
Kecuali bahwa I hate you.
Dan bahwa aku tidak boleh berkata apapun tentang perasaanku.
Aku tidak boleh mencari penjelasan apapun tentang itu.
So, everything is wrong.
Very wrong!
Aku berharap semakin waktu berlalu, semakin aku bisa meredakan kebencianku.
Mengapa aku begitu membencinya? Seharusnya aku tidak memperdulikannya. Begitu seharusnya lebih mudah. Bukankah yang dilakukannya di masa mudanya tidak ada sangkut pautnya denganku. Bukankah justru seharusnya aku berterima kasih kepadanya, karena perbuatannya telah membawa Riduan ke dalam pangkuanku.
***
Ketika aku bersiap-siap untuk mandi, HPku berdering. Aku melirik melihat nama Pak Willy di layarnya. Aku menekan tombol silence dan meninggalkan HP tersebut di atas meja kamarku tanpa me-reject ataupun mematikannya.
Setelah berlama-lama menikmati mandi di bawah shower hangat, aku keluar dari kamar mandi hampir 30 menit kemudian. Ada 2 buah missed calls di layar HPku. Aku memeriksanya dan melihat keduanya dari Pak Willy. Ada 3 buah SMS baru. 1 dari bank menawarkan discount ini dan itu, 1 dari Riduan ”I miss u.” dan 1 dari Pak Willy ”I’m coming to ur apt.”
Oh, no!