It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
ibunya yang terbaring sakit di rumah sakit. Ibu bernama Wang Hui Xian, 30, itu telah bercerai
dan mengalami kecelakaan lalu lintas yang juga
menewaskan orangtua serta melukai kakaknya. Hanya Yaya yang tidak terluka dalam kecelakaan
pada 25 September lalu itu. Karena tidak ada yang
bisa menjaga Wang, Yaya terpaksa tinggal di rumah sakit bersama ibunya itu yang mengalami cedera patah di beberapa bagian tubuh. Yaya-lah tempat Wang tergantung. Anak kecil itu harus membersihkan badan, menyuapi makan dan
menyeka air mata Wang setiap kali wanita itu
menangis membayangkan biaya yang harus
ditanggung ketika keluar dari rumah sakit itu. Yaya
juga tidak berganti baju sejak kecelakaan tersebut. Setelah mendengar kisah sedih ini, penduduk
setempat telah menyumbangkan uang kepada
mereka namun Wang masih berjuang untuk
membayar biaya pengobatannya. Penderitaan Wang dan Yaya semakin berat karena pihak rumah sakit kemungkinan akan melakukan operasi terhadap wanita tersebut dalam waktu beberapa hari lagi.
bersama travelmate dari Makassar. Kita ke Sumba
9-10 hari dan menjelajah dari ujung timur ke barat,
blusukan ke desa adat. Dalam perjalanan tersebut
saya menjumpai banyak anak sekolah tanpa
sepatu, akhirnya setelah sampai pulang Surabaya baru terpikirkan untuk bikin Charity in Unity buat
anak Sumba," kata Sherly kepada brilio.net, Selasa (13/10).
Usaha Sherly mendapat sambutan positif dari
teman-temannya. Bersama ketiga temannya, ia
membuat semacam penggalangan dana buat anak-anak Sumba. Kurang lebih selama 50 hari
penggalangan ini memiliki 11 pos di seluruh
Indonesia, seperti Surabaya, Jakarta, Jogja, Semarang dan Bekasi. Terkumpul 400 pasang
sepatu dan 100 lebih baju bekas. Untuk biaya
ekspedisi sendiri menghabiskan Rp 2,6 juta yang
memakan waktu pengiriman sebulan. Sebelumnya, perempuan yang lahir di Lampung, 30 Oktober 1989 ini sudah menunggu di Sumba untuk ikut mendistribusikan bantuan tersebut. Akan tetapi
karena ekpedisi molor karena cuaca buruk akhirnya distribusi sumbangan Charity in Unity dibantu oleh Yuli dan Sony penduduk asli Sumba. Sherly mengungkapkan, program sepatu untuk
Sumba tetap jalan terus. "Harapannya semakin
banyak orang yang terbuka untuk membantu
sesama," ungkapnya. Kemarin, Sabtu (10/10)
bersama Komunitas Satu Cakrawala, Charity In
Unity turut membantu memberikan bantuan tempat sampah, seragam, paket alat tulis lengkap 30 paket di SDN di Ponorogo.
Setyo Sampoerno, seorang letnan Angkatan Udara, secara kebetulan membawa Lely ke dunia olahraga menembak. Dikutip brilio.net dari berbagai sumber, Senin (12/10), pemilik nama asli Lely Koentratih ini awalnya adalah guru Sekolah Dasar (SD). Dua tahun menjadi guru, Lely kemudian dipersunting oleh Setyo Sampoerno. Pernikahannya dengan Letnan Angkatan Udara membuat Lely aktif dalam kegiatan persatuan istri AURI, khususnya dalam bidang olahraga. Awalnya Lely sangat terkejut mendengar letusan keras, tapi keikutsertaanya dengan suami dalam aktivitas menembak membawa ketertarikan tersendiri bagi wanita kelahiran Sukabumi, 2 Desember 1935 ini. Ia kemudian rutin berlatih menembak dan terus mengasah bidikannya.
Kemenangannya dalam kejuaraan menembak antar angkatan (Angkatan Darat, Angkatan Udara, serta Kepolisian Indonesia) membawa Lely dikirimkan sebagai wakil Indonesia pada Asian Games 1962. Ia menjadi atlet tembak putri pertama pada ajang tersebut. Keikutsertaannya sempat diprotes negara lain, tapi ia tetap bisa bertanding melawan para atlet putra karena saat itu belum ada aturan pemisahan atlet putra dan putri. Semakin lama prestasi Lely semakin moncer. Ia berhasil menjadi penembak putri terbaik di kejuaran
Asia pada 1983. Kemenangannya di berbagai
kompetisi menembak dunia akhirnya menempatkannya sebagai atlet menembak
peringkat 12 dunia. Ada 12 medali emas dan tujuh medali perak yang ia raih selama keikutsertaan enam kali di PON tahun 1961-1985. Selain itu ia juga meraih delapan medali emas dan lima medali perak pada South East Asia Shooting Association (SEASA) tahun 1968-1983. Pada Sea Games tahun 1977-1987 ia berhasil mengmpulkan 11 emas dan delapan perak, sedangkan pada Asian Games 1977-1986 ia membawa pulang dua emas, sembilan perak, dan dua perunggu. Lely juga berhasil mewakili Indonesia pada ajang Olimpiade 1984 di Los Angeles. Prestasi segudangnya itu hingga kini belum terkalahkan di Indonesia. Ia menjadi legenda bagi dunia olahraga menembak Indonesia. Lely resmi mengundurkan diri sebagai atlet menembak pada 1989 setelah selama tiga dekade berkecimpung di dunia menembak.
Meski telah pensiun menjadi atlet, dunia Lely tetap
tak bisa jauh dari senjata. Ia kemudian duduk
sebagai Manajer Pembelian dan Penjualan PT Lokta Karya Perbakin, sebuah perusahaan yang bergerak di bisnis impor senjata api dan amunisi, serta spare part-nya dari Eropa dan Singapura. Saat ini terdapat pistol, senapan laras panjang, lima buah medali dan piala menembak yang dihibahkan ke Museum Olahraga Nasional Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta untuk menjadi
kenangan dan pelajaran bagi generasi muda.
melakukan perjalanan dengan putranya yang berusia 6 tahun. Mereka naik taksi yang dikemudikan oleh seorang pria kulit hitam. Karena si anak tak pernah melihat orang kulit hitam sebelumnya, maka hatinya sangat ketakutan dan bertanya kepada ibunya: "Ibu, apakah orang ini
bukan penjahat? Mengapa kulitnya begitu hitam?" Sopir tadi sangat sedih mendengarnya. Saat itu
pula, sang ibu berkata kepada anaknya: "Paman
sopir ini bukan orang jahat, dia adalah orang yang
sangat baik."
Anak terdiam sejenak, lalu bertanya lagi: "Jika dia bukan orang jahat, lalu apakah dia pernah melakukan sesuatu yang buruk, sehingga kulitnya begitu hitam?"
Mendengar perkataan anak ini, mata pria kulit hitam itu berkaca-kaca dan merasa sedih, tapi dia ingin tahu bagaimana wanita kulit putih itu menjawab pertanyaan sang anak.
Sang ibu menjawab: "Dia adalah pria yang sangat
baik, juga tak pernah berbuat jahat. Bukankah
bunga-bunga di kebun rumah kita ada yang
berwarna merah, putih, kuning dan warna lainnya?"
"Benar Bu!"
"Bukankah biji benih dari semua bunga tersebut berwarna hitam?"
Anak ini berpikir sejenak, "Benar bu! Semuanya
berwarna hitam."
"Benih hitam itu yang memekarkan bunga-bunga
berwarna-warni yang indah, sehingga dunia menjadi penuh warna-warni juga, bukankah begitu anakku?"
"Benar Bu!" Anak ini seakan tiba-tiba tersadarkan dan berkata: "Kalau begitu pasti paman sopir ini bukan orang jahat! Terima kasih paman sopir! Anda telah membuat dunia menjadi penuh warna-warni, saya akan berdoa untukmu." Anak polos ini lalu mulai komat-kamit berdoa, sopir kulit hitam ini tak bisa menahan diri lagi untuk tidak mengalirkan air mata.
kasiahan orang, meski dalam keadaan yang serba
keterbasan. Dullah, misalnya. Meski kedua matanya tak mampu melihat, dirinya enggan menadah belas kasihan orang. Ia lebih memilih berjualan kerupuk kulit dengan cara berkeliling sepanjang jalan. Edho, seorang warga yang jalannya biasa dilalui, menceritakan bahwa bapak Dullah ini, sambil memegang tongkat yang menjadi penuntunnya, berjalan menyusuri jalan-jalan di sekitar Kota Bandarlampung. "Kiripik kulit-kripik kulit" teriak Dullah menawarkan barang dagangan, yang dititipkan seorang juragan kepadanya.
"Harga dagangannya 5.000 per bungkus" tutur Edho kepada brilio.net, Kamis (18/6). Yang lebih salut, imbuh Edho, Dullah ini dia tidak mau dikasih uang secara cuma-cuma. Ia lebih memilih mendapatkan uang yang sedikit, namun dari kerja kerasnya sendiri, dibandingkan mendapatkan uang banyak namun dari belas kasihan orang. "Saya ini lebih senang menjadi penjual, saya tidak ingin meminta-minta. Selama saya masih bisa berusaha saya akan melakukan apa pun demi keluarga, tanpa mengharapkan balas kasiahan orang" kata Edho, menirukan ucapan bapak Dullah ini.
Wiendarto pada Rabu (7/10) dan banyak dishare
oleh pengguna Facebook dan mendapatkan respons positif. "Mantab nih Pak Polisi... Patut dijadikan panutan. Kekerasan hanya menjadikan orang bertambah brutal tapi penghargaan seperti ini bisa meluluhkan dan meningkatkan kewaspadaan dan kesadaran diri. Sekarang udah ga jaman main keras pak, karena disiplin tidak harus dengan kekerasan," tulis akun Facebook Roebhie Satria di kolom komentar kisah Agung Wiendarto itu.
harus dengan tegar dijalani Mbah Selamet. Dengan membawa puluhan tremos bekas, kakek asal Imogiri, Yogyakarta ini harus kuat mengayuh
sepeda tuanya di bawah panas terik matahari agar
bisa bertahan hidup. Profesinya sebagai tukang servis tremos, memaksa mbah Slamet harus berkeliling kota agar jasanya ada yang memakai. “Kalau tidak keliling ya tidak laku mas,” ungkapnya kepada brilio.net, belum lama ini.
Tak bisa dipungkiri, di era yang serba canggih
keberadaan wadah penampung air panas manual ini mulai tersingkir dari penggunanya. Kebanyakan
orang lebih memilih menggunakan dispenser atau
tremos listrik yang lebih praktis dan otomatis. Meski sadar bahwa kini jasanya tak banyak dibutuhkan, Mbah Slamet percaya bahwa setiap kayuhan sepedanya akan mendekatkan kepada rezeki yang telah Tuhan persiapkan, untuk hamba-hambanya yang mau berusaha.
ini melakukan sesuatu yang mulia di usianya yang
masih tergolong muda. Dia membuat jembatan di
atas sungai yang menghubungkan dua desa di
kawasan kumuh Sathe Nagar, India. Jembatan ini
berguna untuk menyeberang anak saat akan berangkat maupun pulang sekolah.
Dilansir dari MumbaiMirror, Sabtu (3/10),
sebelumnya Eshan telah berbincang-bincang
dengan warga desa Sathe Nagar. Warga desa
mengeluhkan anak-anak mereka setiap hari harus
melintasi sungai yang kotor dan penuh bau busuk
untuk pergi sekolah. Sungai itu menjadi satu- satunya alternatif perjalanan tercepat untuk
mencapai sekolah daripada harus memutar jalan lain sepanjang 1,5 kilometer. "Bahkan para orangtua di sana terkadang menyuruh anaknya tidak sekolah saja daripada harus melewati sungai yang beresiko terkena infeksi kulit, malaria, demam berdarah dan penyakit lainnya. Belum lagi kalau hujan deras, bisa-bisa ada yang tewas karena terseret derasnya air," tutur Eshan
Berawal dari hal itulah, Eshan bertekad untuk
mengubah kehidupan anak di sana agar bisa tetap
bersekolah dengan nyaman. Dia kemudian
membangun jembatan bambu yang diselesaikannya dalam waktu delapan hari. Ke depannya dia juga ingin membangun toilet di desa tersebut agar warga disana bisa mendapat kehidupan yang lebih layak.
lebih keras untuk mendapatkan uang. Berbagai
pekerjaan pun mereka lakukan demi bisa
menambah pundi-pundi uang. Salah satunya seperti yang dilakoni seorang sopir taksi asal Filipina ini. Seorang pengguna facebook, Fred Aries Dimaro, baru-baru ini menceritakan pengalamannya saat naik taksi di Kota Cebu. "Aku memesan Grab Taxi di Kota Cebu untuk berangkat kerja dan aku kaget saat masuk dalam taksi tersebut," cerita Fred seperti dikutip dari viral4real, Minggu (20/9). "Sopir taksi ini sepertinya adalah tipe sopir yang bakal disukai oleh anak-anak. Bukan apa-apa, aku bisa berkata bahwa dia adalah orang yang sangat bertanggung jawab karena di dalam taksinya dia menjual camilan, permen dan biskuit untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, khususnya uang sekolah anak perempuannya di mana foto putrinya dipajang di dekat kaca kemudi untuk penyemangat," lanjutnya. Mendengar kisahnya, banyak netizen yang kemudian terharu dan ingin naik taksi tersebut. Beruntung Fred mencatat plat nomor taksi dan nama pengemudinya. Dia adalah Adones Mejasco, sopir dari taksi berplat nomor GXT-431.
gadis China bernama Wang Juan (19) baru-baru ini
membuat netizen menangis dan terharu. Saat
berumur 6 tahun dia mengalami kecelakaan mobil
yang membuat kedua kakinya harus diamputasi
hingga menyisakan setengah badan saja.
Penderitaan Wang tidak berhenti di situ saja.
Sesudah kecelakaan, ibunya memilih mengakhiri
hidupnya dengan bunuh diri. Tak berapa lama
kemudian ayahnya juga memilih untuk pergi dari
rumah dan tidak diketahui kabarnya hingga
sekarang. Otomatis sejak saat itu Wang menjadi yatim piatu dan hanya tinggal dengan kakeknya.
Meski mengalami berbagai penderitaan yang
bertubi-tubi, Wang tidak menyerah begitu saja. Dia
menjalani hidupnya secara mandiri, mulai dari
membersihkan rumah, pergi belanja hingga berhasil masuk ke universitas lewat beasiswa. "Kakek saya berkata bahwa jika saya menyerah
maka saat itu juga kehidupan saya bisa berakhir
begitu saja tanpa adanya perjuangan," ujar Wang
Juan.
di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
(UNS), di saat banyak temen yang kesusahan mauk perguruan tinggi negeri (PTN)," kata Syukri (22) kepada brilio.net, Jumat (4/9). Ternyata, menjalani kehidupan sebagai mahasiswa
Fakultas Kedokteran itu tak semudah yang
dibayangkan. Semester satu, dua, tiga, tak ada
kebanggaan yang bisa dibawa pulang karena selalu dapat nilai rendah. Bahkan di semester tiga, dia sempat terpikir untuk mundur dari FK UNS. Maka di semester tiga itu ia berusaha mengoreksi kembali perjalanan hidupnya, ia menemukan satu jawaban menarik bahwa dia terlalu sibuk dengan urusan pribadinya sendiri. Akhirnya, ia kuras semua tabungan yang dia miliki. Hampir Rp 3 juta ia bagi-bagikan ke satu per satu panti asuhan di Solo hingga uang di dompetnya tersisa Rp 15.000 saja. Karena tak punya uang lagi, maka dia kumpulkan baju-baju yang dia punya lalu dia berikan lagi ke panti asuhan yang sama. Hampir setiap pekan dia mengunjungi panti asuhan,
menyapa, mendengar cerita dan memberikan apa
pun yang dia punya. "Saya percaya pada tangan-tangan lain yang bergerak, di luar kuasa kita sebagai manusia yang bergerak menolong kita begitu kita menolong orang lain," tambahnya. Hal menarik lainnya, ternyata ia pernah menjual
sepeda motor kesayangannya demi membelikan
sahabatnya sebuah sepeda motor. Dia
melakukannya karena iba kepada sahabatnya yang harus naik angkot setiap hari ke kampus.
Sementara, dia sendiri memutuskan untuk berjalan kaki. Tak berapa lama keajaiban mendekatinya. Ia
mendapatkan sebuah motor yang jauh lebih bagus
dan mewah dari motor yang dulu dia jual. Pemuda yang suka berbagi ini rutin berkeliling ke tempat pembuangan sampah, bercerita dan ngobrol
tentang kehidupan mereka dan memberi sumbangan. Dia selalu berusaha dekat dengan
orang di bawah, dan saat ini hampir keliling
Indonesia dengan rencana yang tak terduga. Banyak kejadian yang diterimanya di luar dugaan,
dan hal itu menurutnya luar biasa. Saat ini ia telah
merampungkan kuliah dengan mengerjakan skripsi
menggunakan laptop pinjaman. Dia juga menulis
sebuah buku tentang inspirasi yang sebentar lagi
akan di cetak. Ia juga merintis gerakan baca 25 yang saat ini tersebar di beberapa daerah di
Indonesia seperti Aceh, Sorong, Pekalongan,
Medan, Maluku, dan Pontianak. Salut.
salah satu negara yang minat bacanya paling
rendah di ASEAN. Tanggung jawab meningkatkan
minat baca khususnya minat baca anak-anak adalah tanggung jawab semua pihak. Hal inilah yang menjadi keprihatinan Lusya Tawo Loko (28).
"Sejak dulu saya memang sudah memiliki keinginanuntuk berbuat sesuatu meski saya berada jauh di luar negeri," ujar Lusya Tawo Loko kepada brilio.net, Jumat (4/9). Perempuan asal Nusa Tenggara Timur (NTT) itu sekarang berprofesi sebagai pembantu rumah tangga di Hongkong. Sosoknya dikenal sebagi perempuan yang aktif membantu penyediakan buku bacaan bagi anak-anak di daerah pelosok seperti di daerah NTT. Melalui Buku Bagi NTT (BBNTT), Lusya menjadi salah satu yang menyumbangkan buku untuk anak- anak yang ada di Indonesia khususnya NTT. BBNTT menghubungkan para donatur buku dengan relawan yang sebagian besar berada di Jawa. Buku- buku dari para donatur kemudian dikirimkan ke rumah-rumah baca atau perpustakaan lokal yang ada di NTT. Lusya ingin anak-anak bisa mendapatkan ilmu pengetahuan meski fasilitas yang ada masih sangat terbatas. "Harapannya makin banyak orang yang membantu dan bisa bergerak bersama untuk Indonesia lebih baik," harap Lusya. Meski sedang bekerja di luar negeri sebagai pembantu rumah tangga, namun kepedulian Lusya terhadap pendidikan anak-anak sangat tinggi. Dengan menyisihkan penghasilan yang dia peroleh, saat ini dia telah berhasil memberikan sumbangan 300 buku untuk berbagai rumah baca di Indonesia. Bagi Lusya, menjadikan pendidikan Indonesia yang lebih baik adalah tanggung jawab bersama bukan hanya pemerintah. Lusya menyadari bahwa keterbatasan bahan bacaan masih menjadi kendala anak-anak yang ada di pelosok negeri dan dengan itulah Lusya bersama beberapa komunitas peduli pendidikan lainnya melakukan gerakan lebih peduli terhadap anak-anak yang ada di daerah terpencil.