BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Mari Berbagi Kisah Inspiratif

1363739414298

Comments

  • kita harus belajar banyak dari mereka sejujurnya dibalik ketidak sempurnaan mereka justru mereka adalah manusia sempurna ...
  • Dylan Benson, seorang warga Kanada, mengungkapkan perasaan sedihnya di sebuah blog pribadi. Pada akhir Desember tahun lalu Robyn, sang istri, mengalami pendarahan otak ketika masa kehamilannya berusia 22 minggu. Robyn mengalami muntah-muntah dan sakit kepala. Dylan menemukannya sudah tidak sadarkan diri sekembalinya dia dari apotik untuk membelikan istrinya obat.




    Dari hasil pemeriksaan dokter, Robyn mengalami pendarahan otak di pusat otaknya yang menyebabkannya mengalami mati otak. Dokter pun mengupayakan untuk mempertahankan hidup Robyn demi menyelamatkan sang jabang bayi. Rencananya setelah usia kehamilannya dianggap cukup memadai, pihak rumah sakit akan melakukan bedah caesar. “Di satu sisi, aku sudah tidak sabar ingin bertemu dengan putraku dan berusaha memberikan kehidupan yang terbaik untuknya dan akan mengupayakan sekeras yang kubisa untuk menjadi seorang ayah yang baik untuknya,” ujar pria ini di blognya. “Namun di sisi lain aku menyadari bahwa hari ketika putraku lahir atau keesokan harinya akan menjadi hari di mana aku mengucapkan perpisahan pada Robyn.”




    Pada hari sabtu malam tanggal 8 Februari kemarin, bedah caesar selesai dilakukan, dan alat bantu yang beberapa minggu ini membantu mempertahankan nyawa Robyn, dilepas pada Minggu keesokan harinya. Ketika sang suami, Dylan, berjuang mengumpulkan dana untuk biaya rumah sakit mereka, Robyn juga mungkin berjuang dalam komanya agar bisa bertahan demi kelangsungan hidup bayinya.
  • Semua orang di kompleks apartemen saya tinggal tahu siapa si Jelek itu. Jelek adalah seekor kucing jantan. Jelek mencintai tiga hal di dunia ini: berjuang, makan sampah, dan cinta. Ketiga hal-hal ini kemudian dikombinasikan dengan kehidupan, sangat berpengaruh terhadap Jelek. Kita memulai dengan, dia hanya memiliki satu mata, dan di mana mata yang lainnya hanyalah sebuah lubang menganga. Dia juga kehilangan telinga pada sisi yang sama, kaki kirinya terlihat seperti pernah mengalami luka patah yang parah, dan telah sembuh pada sudut yang tidak alami, sehingga membuatnya terlihat seakan-akan selalu seperti hendak berbelok. Ekornya telah lama hilang, dan hanya menyisakan potongan terkecil.




    Si Jelek adalah kucing berbulu dengan garis abu-abu gelap, kecuali luka yang menutupi kepala, leher, dan bahkan bahunya dengan tebal, koreng yang menguning. Setiap kali seseorang melihat si Jelek hanya akan ada satu reaksi yang sama. "Kucing itu sangat JELEK!" Semua anak-anak diperingatkan untuk tidak menyentuhnya, orang dewasa melempar batu ke arahnya, menyiramnya ketika ia mencoba datang ke rumah-rumah mereka, atau membanting pintu ketika ia tidak beranjak pergi. Jelek selalu memiliki reaksi yang sama. Jika Anda menyiramkan air padanya, ia akan berdiri di sana, basah kuyup sampai Anda menyerah dan berhenti. Jika Anda melemparkan sesuatu padanya, ia akan meringkukkan tubuh di sekitar kaki seakan memohon ampunan.




    Setiap kali dia melihat anak-anak, dia akan datang berlari mengeong dengan tergila-gila dan menyundulkan kepalanya ke tangan mereka, mengemis akan cinta mereka. Jika seseorang mengangkatnya ia segera akan mulai mengisap di baju Anda, anting-anting, atau apa pun yang bisa ia temukan. Suatu hari Jelek membagi kasih sayangnya dengan anak anjing tetangga. Tapi mereka tidak merespon baik, dan Jelek dianiaya dengan sangat parah. Dari apartemen saya, saya bisa mendengar jeritannya, dan saya mencoba untuk bergegas membantunya. Pada saat saya sampai di mana ia terbaring, tampak jelas kehidupan si Jelek yang menyedihkan hampir berakhir. Jelek tergeletak di genangan air, kaki belakang dan punggung bawah memutar keluar dari bentuk seharusnya, tetes air mata mengalir di bulunya.




    Saat saya mengangkatnya dan berusaha
    untuk membawanya pulang, saya bisa mendengarnya mendesah dan terengah-engah, dan bisa merasakan dia tengah berjuang. "Saya pasti telah menyakitinya dengan sangat," pikir saya. Lalu saya merasakan tarikan yang saya kenal, sensasi hisapan di telinga saya. Jelek, merasakan kesakitan yang teramat sangat, menderita dan sekarat namun ia berusaha mengisap telingaku. Saya menariknya lebih dekat, dan ia menabrak telapak tangan saya dengan kepalanya, lalu ia berbalik dan memandang dengan satu mata emasnya ke arah saya, dan saya bisa mendengar suara dengkurannya dengan jelas. Bahkan dalam rasa sakit terbesar, si kucing jelek dengan bekas luka itu berjuang untuk meminta kasih sayang sedikit saja, mungkin beberapa belas kasihan. Pada saat itu saya pikir Jelek adalah makhluk yang paling indah yang pernah kulihat. Tak pernah sekali pun dia mencoba untuk menggigit atau mencakar saya, atau bahkan mencoba melarikan diri dari saya, atau meronta-ronta dengan cara apapun. Jelek hanya menatapku dan benar-benar percaya saya dapat menghilangkan rasa sakitnya.




    Jelek meninggal dalam pelukanku sebelum saya bisa masuk ke dalam rumah, tapi saya duduk dan menggendongnya untuk waktu yang lama setelah
    itu, berpikir tentang bagaimana satu bekas luka, sedikit cacat bisa mengubah pendapat saya tentang apa arti dari kemurnian semangat, untuk
    mencintai dengan penuh dan sungguh-sungguh. Jelek mengajarkan saya lebih tentang memberi dan kasih sayang daripada ajaran seribu buku, kuliah, atau talk show spesial, dan untuk itu saya akan selalu bersyukur. Dia telah terluka di luar, tapi saya telah terluka di dalam, dan sudah waktunya bagi saya untuk maju dan belajar untuk mencintai sungguh-sungguh dan mendalam. Sudah waktunya untuk memberi kepada semua orang yang saya sayang.




    Banyak orang ingin menjadi kaya, lebih sukses, disukai, indah, cantik, tampan, tapi bagi saya, saya akan selalu berusaha menjadi seperti si Jelek. Tak kenal menyerah.
  • Romy adalah seorang pemuda yang cepat marah, tidak jarang dia membentak istrinya habis-habisan. Setiap kali ada perkara yang menurutnya tidak benar meskipun hanya sebuah masalah kecil dia akan langsung menyalahkan sang istri dan memarahinya. Suatu hari ayahnya mendapati keributan yang terjadi dalam rumah tangganya. Ayahnya pun memanggil Romu dan mengajaknya ke suatu tempat. Ternyata mereka tiba di sebuah pohon besar di pinggir danau.




    Sang Ayah menyerahkan sebilah pisau dan menyuruhnya melemparkan pisau tersebut ke batang pohon di hadapan mereka. "Untuk apa?" tanya Romy. "Lakukan saja!" perintah ayahnya keras. Dengan malas Romy melaksanakannya. Pisau dia lemparkan dengan asal ke arah pohon tersebut. Namun ternyata hanya membentur batang pohon dan terjatuh ke tanah. "Ayah, jika Ayah mengharapkan aku mampu melempar pisau hingga menembus kulit pohon itu, Ayah sama saja dengan bermimpi. Seandainya pun aku ahli dalam melempar pisau, tapi tidak bisakah Ayah lihat betapa tebalnya kulit pohon itu? Mustahil aku melakukan itu, Ayah." Tidak mengindahkan ucapan putranya, ayahnya kembali menyuruh Romy mengulangi melempar pisau. Berulangkali dia mencobanya, pada awalnya ia kembali gagal, gagal, dan gagal. Tetapi sekali, dua kali ia akhirnya berhasil menancapkan pisau di batang pohon yang besar tersebut meskipun tidak begitu dalam.




    Namun sang Ayah belum puas rupanya, dia terus
    meminta Romy untuk melanjutkannya. Sementara Romy yang mulai kehilangan kesabaran akhirnya tidak tahan lagi. "Pak Tua! Aku tidak peduli apabila dirimu adalah ayahku. Tapi aku sama sekali tidak mengerti dengan keinginanmu, apa pentingnya pisau dan pohon ini hingga aku harus menghabiskan waktuku di tempat ini?" "Dasar anak muda jaman sekarang, melakukan hal sekecil ini saja tak becus. Berhentilah menjadi sok jagoan jika melempar pisau saja kau tak mampu!" tegur ayahnya dengan suara lantang sembari mencabut pisau yang masih tertancap. Romy benar-benar tidak bisa lagi mengontrol emosinya. "Berikan pisau itu, akan aku buktikan betapa hebatnya aku. Tak ada hal yang tak bisa aku lakukan!" sentaknya marah dan kemudian dengan penuh amarah di lemparkannya kembali pisau tersebut.




    Kali ini tidak diragukan lagi pisau itu menghujam batang pohon begitu dalam. "Kau lihat itu!" serunya menatap lelaki tua di hadapannya dengan tatapan menantang. "Aku bisa melakukannya!". Ayahnya hanya tersenyum, sembari berjalan mendekati pohon itu ia berujar pelan, "Kau benar, anakku, kau bisa melakukannya." Dengan mengeluarkan tenaga yang lumayan besar dicabutnya pisau dari pohon yang ternyata benar-benar tertancap kuat, "Dengan luapan emosi seperti itu apapun bisa kau hancurkan, anakku...", "Kemari dan lihatlah ini..." panggilnya.




    Romy yang mulai bisa mengatur emosinya kini hanya terdiam bingung sembari mendekati ayahnya. "Apakah kau dapat melihat lubang yang ditinggalkan oleh pisau ini? Dapatkah kau melihat dalamnya kerusakan yang diakibatkan oleh lemparan pisau di kala kau sedang marah? Apakah menurutmu pohon ini akan kembali seperti sedia kala?", "Kurang lebih seperti itulah bekas yang akan kau tinggalkan setiap kali engkau mengambil sebuah tindakan untuk melampiaskan amarahmu. Tidak akan menjadi masalah jika engkau melampiaskannya pada masalah-masalah yang mengakibatkan amarahmu muncul, bila untuk mencari jalan keluar dalam mengatasinya. Namun pernahkah kau berpikir luka seperti apa yang akan kau berikan apabila kau melampiaskan setiap amarahmu kepada seseorang? Seseorang yang mempunyai hati dan perasaan." "'Maaf' mungkin bisa menyembuhkannya, tapi takkan pernah bisa menghapus bekas luka yang telah ditimbulkannya..."
  • Pada sebuah jamuan makan malam pengadaan dana untuk sekolah anak-anak cacat, ayah dari salah satu anak yang bersekolah disana menghantarkan satu pidato yang tidak mungkin dilupakan oleh mereka yang menghadiri acara itu. Setelah mengucapkan salam pembukaan, ayah tersebut mengangkat satu topik: Ketika tidak mengalami gangguan dari sebab- sebab eksternal, segala proses yang terjadi dalam alam ini berjalan secara sempurna/ alami.




    Namun tidak demikian halnya dengan anakku, Shay. Dia tidak dapat mempelajari hal-hal sebagaimana layaknya anak-anak yang lain. Nah, bagaimanakah proses alami ini berlangsung dalam diri anakku? Para peserta terdiam menghadapi pertanyaan itu. Ayah tersebut melanjutkan: “Saya percaya bahwa, untuk seorang anak seperti Shay, yang mana dia mengalami gangguan mental dan fisik sedari lahir, satu-satunya kesempatan untuk dia mengenali alam ini berasal dari bagaimana orang-orang sekitarnya memperlakukan dia” Kemudian ayah tersebut menceritakan kisah berikut:




    Shay dan aku sedang berjalan-jalan di sebuah taman ketika beberapa orang anak sedang bermain baseball. Shay bertanya padaku,”Apakah kau pikir mereka akan membiarkanku ikut bermain?” Aku tahu bahwa kebanyakan anak-anak itu tidak akan membiarkan orang-orang seperti Shay ikut dalam tim mereka, namun aku juga tahu bahwa bila saja Shay mendapat kesempatan untuk bermain dalam tim itu, hal itu akan memberinya semacam perasaan dibutuhkan dan kepercayaan untuk diterima oleh orang-orang lain, diluar kondisi fisiknya yang cacat. Aku mendekati salah satu anak laki-laki itu dan bertanya apakah Shay dapat ikut dalam tim mereka, dengan tidak berharap banyak. Anak itu melihat sekelilingnya dan berkata, “kami telah kalah 6 putaran dan sekarang sudah babak kedelapan. Aku rasa dia dapat ikut dalam tim kami dan kami akan mencoba untuk memasukkan dia bertanding pada babak kesembilan nanti.




    Shay berjuang untuk mendekat ke dalam tim itu dan mengenakan seragam tim dengan senyum lebar, dan aku menahan air mata di mataku dan kehangatan dalam hatiku. Anak- anak tim tersebut melihat kebahagiaan seorang ayah yang gembira karena anaknya diterima bermain dalam satu tim. Pada akhir putaran kedelapan, tim Shay mencetak beberapa skor, namun masih ketinggalan angka. Pada putaran kesembilan, Shay mengenakan sarungnya dan bermain di sayap kanan. Walaupun tidak ada bola yang mengarah padanya, dia sangat antusias hanya karena turut serta dalam permainan tersebut dan berada dalam lapangan itu. Seringai lebar terpampang di wajahnya ketika aku melambai padanya dari kerumunan. Pada akhir putaran kesembilan, tim Shay mencetak beberapa skor lagi. Dan dengan dua angka out, kemungkinan untuk mencetak kemenangan ada di depan mata dan Shay yang terjadwal untuk menjadi pemukul berikutnya.




    Pada kondisi yg seperti ini, apakah mungkin mereka akan mengabaikan kesempatan untuk menang dengan membiarkan Shay menjadi kunci
    kemenangan mereka? Yang mengejutkan adalah mereka memberikan kesempatan itu pada Shay. Semua yang hadir tahu bahwa satu pukulan adalah mustahil karena Shay bahkan tidak tahu bagaimana caranya memegang pemukul dengan benar, apalagi berhubungan dengan bola itu. Yang terjadi adalah, ketika Shay melangkah maju
    kedalam arena, sang pitcher, sadar bagaimana tim Shay telah mengesampingkan kemungkinan menang mereka untuk satu momen penting dalam hidup Shay, mengambil beberapa langkah maju ke depan dan melempar bola itu perlahan sehingga Shay paling tidak bisa mengadakan kontak dengan bola itu. Lemparan pertama meleset, Shay mengayun tongkatnya dengan ceroboh dan luput. Pitcher tersebut kembali mengambil beberapa langkah kedepan, dan melempar bola itu perlahan kearah Shay. Ketika bola itu datang, Shay mengayun kearah bola itu dan mengenai bola itu dengan satu pukulan perlahan kembali kearah pitcher.




    Permainan seharusnya berakhir saat itu juga, pitcher tsb bisa saja dengan mudah melempar bola ke basement pertama, Shay akan keluar, dan permainan akan berakhir. Sebaliknya, pitcher tersebut melempar bola melewati basement pertama, jauh dari jangkauan semua anggota tim. Penonton bersorak dan kedua tim mulai berteriak, “Shay, lari ke base satu! Lari ke base satu!”. Tidak pernah dalam hidup Shay sebelumnya ia berlari sejauh itu, tapi dia berhasil melaju ke base pertama. Shay tertegun dan membelalakkan matanya. Semua orang berteriak, “Lari ke base dua, lari ke base dua!” Sambil menahan napasnya, Shay berlari dengan canggung ke base dua. Ia terlihat bersinar-sinar dan bersemangat dalam perjuangannya menuju base dua. Pada saat Shay menuju base dua, seorang pemain sayap kanan memegang bola itu di tangannya. Pemain itu merupakan anak terkecil dalam timnya, dan dia saat itu mempunyai kesempatan menjadi pahlawan kemenangan tim untuk pertama kali dalam hidupnya. Dia dapat dengan mudah melempar bola itu ke penjaga base dua. Namun pemain ini memahami maksud baik dari sang pitcher, sehingga diapun dengan tujuan yang sama melempar bola itu tinggi ke atas jauh melewati jangkauan penjaga base ketiga.




    Shay berlari menuju base ketiga. Semua yang hadir berteriak, “Shay, Shay, Shay, teruskan perjuanganmu Shay” Shay mencapai base ketiga saat seorang pemain lawan berlari ke arahnya dan memberitahu Shay arah selanjutnya yang mesti ditempuh. Pada saat Shay menyelesaikan base ketiga, para pemain dari kedua tim dan para penonton yang berdiri mulai berteriak, “Shay, larilah ke home, lari ke home!”. Shay berlari ke home, menginjak balok yg ada, dan dielu-elukan bak seorang hero yang memenangkan grand slam. Dia telah memenangkan game untuk timnya. Hari itu, kenang ayah tersebut dengan air mata yang berlinangan di wajahnya, para pemain dari kedua tim telah menghadirkan sebuah cinta yang tulus dan nilai kemanusiaan kedalam dunia. Shay tidak dapat bertahan hingga musim panas berikut dan meninggal musim dingin itu.




    Sepanjang sisa hidupnya dia tidak pernah melupakan momen dimana dia telah menjadi seorang hero, bagaimana dia telah membuat ayahnya bahagia, dan bagaimana dia telah membuat ibunya menitikkan air mata bahagia akan sang pahlawan kecilnya.
  • Hari pertama kuliah, seorang professor di kelas kami memperkenalkan dirinya dan menantang kami untuk lebih mengenal seseorang yang sebelumnya belum pernah kita kenal. Aku kemudian berdiri dan melihat sekeliling, dan pada saat itu sebuah tangan menyentuh bahuku. Aku berbalik dan mendapatkan seorang wanita tua bertubuh kecil dengan rambut ikalnya menatapku dengan wajah yang tersenyum. Dia berkata, “Hai, tampan. Namaku Rose. Umurku enam puluh tujuh tahun. Bolehkah aku memberimu sebuah pelukan?” aku kemudian tertawa dan menjawab dengan senang, “Tentu saja kamu boleh!” dan dia pun memelukku dengan hangat. Mengapa kamu berada di kampus ini pada usia ini?” tanyaku. Sambil bercanda, dia menjawab, “Aku ada disini untuk mencari suami yang kaya, kemudian kami menikah, memiliki dua orang anak, kemudian kami mengambil pensiun dan melakukan travelling.” “Ayolah yang serius.” tanyaku lagi. Aku begitu sangat penasaran, hal apa yang telah memotivasi dirinya untuk berani mengambil tantangan ini di usianya yang tidak muda lagi. “Aku selalu bermimpi memiliki pendidikan yang tinggi di sebuah universitas dan saat ini aku sedang melakukannya!” dia kemudian memberitahuku.




    Seusai kelas, kami berjalan ke ruangan aula dan saling berbagi milkshake coklat. Dengan begitu cepat kami menjadi teman. Setiap harinya selama tiga bulan berikutnya kami selalu meninggalkan kelas bersama-sama dan mengobrol tanpa henti. Aku selalu seperti terhipnotis untuk mendengarkan “mesin waktu” ini pada saat ia membagi segala kebijaksanaan dan pengalaman-pengalamannya kepadaku. Selama tahun pelajaran itu, Rose menjadi seorang ikon kampus dan kemanapun dia pergi dia selalu begitu mudah untuk mendapatkan teman. Dia begitu menyukai segala perhatian yang ia dapatkan dari siswa-siswa lainnya, yang menurutnya adalah sebuah anugerah. Pada akhir semester, kami mengundang Rose untuk memberikan sebuah pidato dalam pembukaan pertandingan sepakbola di kampus kami.




    Aku takkan pernah bisa lupa apa yang telah ia ajarkan untuk kami. Ia dipanggil dan diperkenalkan ke seluruh siswa, dan ia kemudian melangkah menaiki podium. Saat ia mengambil lembaran-lembaran kertas yang berisi catatan pidatonya, ia menjatuhkan tiga dari lima lembar kertas yang di pegangnya ke lantai. Dengan wajah yang agak frustrasi dan merasa malu, ia maju ke mikrofon dan berkata ringan, “Maaf, aku merasa sangat gugup. Aku memberi bir ku untuk Lent dan wiski ini membunuhku! Aku takkan pernah dapat menyampaikan pidato seperti yang telah aku persiapkan sebelumnya, jadi ijinkan aku untuk menyampaikan apa yang aku tahu.” Kami pun tertawa mendengarnya, kemudian dia mulai berkata: “Kita tidak berhenti bermain karena kita tua; kita menjadi tua karena kita berhenti bermain. Ada empat rahasia untuk membuat kita tetap muda, berbahagia dan meraih kesuksesan.””Kamu harus tertawa setiap harinya. Kamu harus mempunyai sebuah mimpi. Saat kamu kehilangan mimpimu, maka kamu ‘mati’. Ada begitu banyak orang yang berjalan di sekitar kita yang sebenarnya telah ‘mati’ dan mereka tidak menyadarinya!” “Ada suatu perbedaan yang sangat besar antara tumbuh menjadi dewasa dan tumbuh menjadi lebih tua. Jika kamu berusia sembilan belas tahun dan berbaring di tempat tidur selama setahun penuh dan tidak melakukan satu kegiatan produktif apapun, kamu akan berubah menjadi duapuluh tahun. Dan jika aku berusia enam puluh tujuh tahun dan tetap berada di tempat tidur selama setahun dan tidak pernah melakukan apapun, aku akan menjadi enam puluh delapan. Semua orang bisa tumbuh menjadi lebih tua. Hal tersebut tidak akan mengambil bakat atau kemampuan apapun. Tapi yang terbaik adalah untuk dapat tumbuh dengan selalu menemukan kesempatan di dalam perubahan.” “Jangan pernah menyesal. Para orang-orang yang berusia cukup tua biasanya tidak memiliki penyesalan atas apa yang telah kami lakukan, tapi lebih pada penyesalan pada apa yang tidak kami lakukan. Orang-orang yang takut akan kematian hanyalah mereka yang mempunyai penyesalan.”




    Dia menyimpulkan pidatonya dengan menyanyikan The Rose dengan beraninya. Dia menantang semua dari kami untuk mempelajari lirik lagu tersebut dan menghidupkannya dalam keseharian kami. Pada akhir tahun Rose berhasil menyelesaikan kuliahnya yang telah ia mulai sejak bertahun- tahun yang lalu. Satu minggu setelah acara wisuda, Rose meninggal dengan tenang di dalam tidurnya. Lebih dari duaribu siswa menghadiri pemakaman dirinya sebagai wujud penghormatan kepada seorang wanita yang begitu hebat yang telah mengajarkan dengan memberikan contoh atas dirinya. bahwa tidak pernah ada kata terlambat untuk menjadi semua yang kemungkinan kamu bisa.
  • Ketika saya masih kecil, kami tinggal di kota New York, hanya satu blok dari rumah Kakek dan Nenek. Setiap malam, Kakek selalu melakukan “kewajibannya,” dan di setiap musim panas, saya selalu ikut dengannya. Pada suatu malam, ketika Kakek dan saya sedang jalan kaki bersama, saya menanyakan apa bedanya keadaan sekarang dengan dulu, ketika Kakek masih kecil di tahun 1964. Kakek bercerita tentang jamban-jamban di luar rumah dan bukan toilet mengkilap, kuda-kuda dan bukan mobil, surat- surat dan bukan telepon, serta lilin-lilin dan bukan lampu-lampu listrik.




    Sementara Kakek menceritakan semua hal-hal indah yang sama sekali tidak pernah terbayang di kepala saya, hati kecil saya mulai penasaran. Lalu saya tanyakan kepadanya,”Kakek, apa hal paling susah yang pernah terjadi dalam hidup Kakek?” Kakek berhenti melangkah, memandang cakrawala, dan membisu beberapa saat. Lalu Kakek berlutut, menggenggam tangan saya, dan berlinang air mata Kakek mengatakan: “Ketika ibumu dan adik- adiknya masih kecil-kecil, Nenek sakit parah dan untuk bisa sembuh, dia harus dirawat di satu tempat yang namanya sanatorium, untuk waktu yang lama sekali. Tidak ada orang yang bisa merawat ibu dan paman- pamanmu kalau Kakek sedang pergi kerja, jadi mereka Kakek titipkan di panti asuhan. Para biarawati yang membantu Kakek mengurusi mereka, sementara Kakek harus melakukan dua atau tiga pekerjaan untuk bisa mengumpulkan uang, agar Nenek bisa sembuh dan semua orang bisa berkumpul lagi di rumah.” “Yang paling sulit dalam hidup Kakek adalah, Kakek harus menaruh mereka di panti asuhan. Setiap minggu Kakek mengunjungi mereka, tetapi para biarawati itu tidak pernah mengijinkan Kakek mengobrol dengan mereka, atau memeluk mereka. Kakek hanya bisa memperhatikan mereka bermain dari balik sebuah cermin satu arah. Kakek selalu membawakan permen setiap minggu, berharap mereka tahu itu pemberian Kakek. Kakek hanya bisa menaruh kedua tangan Kakek di atas cermin itu selama tiga puluh menit penuh, waktu yang mereka ijinkan untuk Kakek melihat anak- anak Kakek, berharap mereka akan datang dan menyentuh tangan Kakek.”




    “Satu tahun penuh Kakek lalui tanpa menyentuh anak-anak. Kakek sangat merindukan mereka. Tetapi Kakek juga tahu bahwa itulah tahun yang lebih sulit lagi bagi mereka. Kakek tidak pernah bisa memaafkan diri Kakek sendiri karena tidak bisa memaksa biarawati itu mengijinkan Kakek memeluk mereka. Tetapi kata mereka, kalau diijinkan, itu malah akan lebih memperburuk keadaan, bukan memperbaikinya, dan mereka akan menjadi lebih sulit tinggal di panti asuhan itu. Jadi Kakek menurut saja.” Saya tidak pernah melihat Kakek menangis. Kakek memeluk saya erat-erat dan saya katakan kepadanya bahwa saya memiliki Kakek terbaik di seluruh dunia dan saya sangat menyayanginya. Lima belas tahun berlalu, dan saya tidak pernah menceritakan acara jalan-jalan istimewa dengan Kakek itu kepada siapapun. Dari tahun ke tahun kami tetap rajin jalan-jalan, sampai keluarga saya dan Kakek-Nenek saya pindah ke negara bagian yang berbeda. Setelah Nenek saya meninggal dunia, Kakek saya mengalami penurunan ingatan dan saya yakin itulah periode penuh tekanan baginya.




    Saya memohon kepada Ibu untuk memperbolehkan Kakek tinggal bersama kami, tetapi Ibu menolaknya. Saya terus merengek, “Ini kan sudah kewajiban kita sebagai keluarga untuk memikirkan apa yang terbaik baginya.” Dengan sedikit marah, Ibu membentak, “Kenapa? Dia sendiri sama sekali tidak pernah perduli pada apa yang terjadi terhadap kami, anak-anaknya!” Saya tahu apa yang Ibu maksud. “Dia selalu memperhatikan dan menyayangi kalian,” kata saya. Ibu saya menjawab, ”Kau tidak mengerti apa yang kau bicarakan!” “Hal tersulit baginya adalah harus menaruh Ibu dan Paman Eddie dan Paman Kevin di panti asuhan.” “Siapa yang cerita begitu padamu?” tanyanya. Ibu saya sama sekali tidak pernah membicarakan masa-masa itu kepada kami. “Bu, Kakek selalu datang ke tempat itu setiap minggu untuk mengunjungi anak-anaknya. Kakek selalu memperhatikan kalian bermain dari belakang cermin satu arah itu. Kakek selalu membawakan permen setiap kali Kakek datang. Kakek tidak pernah absen setiap minggu. Kakek benci tidak bisa memeluk kalian selama satu tahun itu!” “Kau bohong! Dia tidak pernah datang. Tidak pernah ada yang datang menjenguk kami.” “Lalu bagaimana aku bisa tahu soal kunjungan itu kalau bukan Kakek yang cerita? Bagaimana aku bisa tahu oleh-oleh yang dibawanya? Kakek benar- benar datang. Kakek selalu datang. Para biarawati itulah yang tidak pernah mengijinkan Kakek menemui kalian, karena kata mereka, akan terlalu sulit bagi anak-anak kalau melihat ayahnya sudah harus pergi lagi. Bu, Kakek menyayangimu, dan selalu begitu!” Kakek selalu beranggapan anak-anaknya tahu Kakek berdiri di balik cermin satu arah itu, tetapi karena mereka tidak pernah merasakan kehangatan
    dan kekuatan pelukannya, Kakek pikir mereka telah melupakan kunjungan-kunjungannya.




    Sementara, Ibu saya dan adik-adiknya beranggapan Kakek tidak pernah datang mengunjungi mereka. Setelah saya menceritakan kebenaran itu kepada Ibu, hubungannya dengan Kakek mulai berubah. Dia menyadari bahwa ayahnya selalu menyayanginya, dan akhirnya Kakek tinggal bersama kami sampai akhir hidupnya.
  • Di suatu masa terkisahlah sepasang merpati Geon dan Merri yang saling menyayangi dan mencintai satu sama lain. Masa muda mereka penuh dengan asmara yang menggebu-gebu, hingga keduanya tak dapat terpisahkan lagi. Menjelajahi langit biru bersama-sama, menapaki langkah-langkah kecil mereka di rimbunnya pepohonan. Sepasang merpati yang menyayangi, tumbuh dewasa, melewatkan masa-masa indah bersama.




    Namun pada suatu ketika, Merri si merpati betina mengalami kecelakaan saat ia terbang dan terjatuh dengan kepala lebih dahulu membentur tanah. Meskipun nyawanya masih bisa diselamatkan namun Merri terluka sangat parah. Geon yang begitu sangat mencintai pasangannya ini, tak sedikitpun pernah meninggalkan sisi Merri. Dirawatnya dengan penuh cinta kasih, berharap suatu saat kekasihnya bisa kembali membuka mata, menemani dirinya bersenda gurau, mengarungi masa tua hingga maut memanggil dalam tidur yang tenang di rumah kecil mereka. Tiap hari dia berdoa untuk kesembuhan Merri, asalkan kekasihnya bisa sembuh ia rela melakukan apa saja. Tak disangka, Merri akhirnya kembali sadar. Betapa bahagianya Geon mengetahui hal ini. Tak di pedulikannya apapun yang terjadi, ia terus mengucap syukur, bersenandung riang meskipun ia tahu ketika Merri kembali tersadar dari sakitnya, ada sesuatu yang kini telah berbeda pada merpati betina itu.




    Tahun berlalu... Suatu hari dikala Geon tengah dalam perjalanan ke rumah, sayapnya tergores ranting pohon, hingga ia harus berobat. Setibanya di tempat dokter Owlie, ternyata ruangan praktek si burung hantu ini penuh dengan pasien-pasien lainnya. Beberapa perawat terlihat melayani antrian pasien. Geon melirik jam dinding yang terpasang di tiang kayu dekat tempatnya berdiri. Jam setengah satu. 'Sebentar lagi waktu makan siang' pikirnya. Namun kesibukan masih saja berlanjut di ruangan itu. Seorang perawat yang baru saja selesai memasang perban di kaki salah satu pasien, memperhatikan tingkah laku Geon yang terlihat gelisah. "Tuan, bisakah saya mencoba memeriksa luka anda?" sapanya pada Geon. Seketika wajah merpati itu menjadi cerah. Dan perawat itu pun mulai memeriksa keadaan sayap Geon yang ternyata tidak begitu parah, hanya perlu sedikit diberi pengobatan.




    Perawat yang kini mulai memasang perban mencoba memulai percakapan. "Anda terlihat sangat gelisah, Tuan. Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiran anda?" "Oh, sesungguhnya tak ada yang tengah menggangguku. Hanya saja aku memang tengah mengejar waktu." jawab Geon. "Sebuah pertemuan penting rupanya menunggu anda?" tanya si perawat lagi. Diceritakanlah tentang keadaan istrinya, Merri, yang sampai hari ini kondisinya belum juga pulih total semenjak kecelakaan bertahun-tahun yang lalu hingga ia masih harus terus dirawat di pondok perawatan hewan. "Dan setiap hari aku menjenguknya untuk menemani istriku makan siang." tambah Geon pelan. Perawat yang masih muda ini memandang Geon dengan pandangan kagum. "Begitu rupanya...", "... tapi apakah istri anda akan merasa sangat kecewa apabila untuk kali ini saja anda tidak datang menjenguknya?"




    Geon menggeleng pelan sembari mencoba mengepak-ngepakkan sayapnya yang kini telah terbalut perban putih. "Merri tidak lagi mengenaliku... Kecelakaan itu mengakibatkan fungsi otaknya melemah, tak tersimpan sedikitpun memori tentang diriku atau bahkan lingkungan sekitarnya. Saat ini benaknya bagaikan sebuah ruang kosong...", "... begitulah kata dokter yang menangani kasus Merri." Penuh rasa terkejut si perawat kembali melontarkan pertanyaan, "Dan meskipun begitu anda tetap setia mendampingi dan mengunjunginya meskipun beliau tidak lagi mengingat tentang anda?" "Merri, mungkin tidak lagi mengenal siapa diriku
    ini. Tapi aku tetap mengenalinya sebagai kekasih yang sangat aku cintai..." dengan tersenyum Geon mengucapkan terima kasih untuk perawatan yang di dapatnya, dan dia pun pamit meninggalkan si perawat yang tak lagi hanya memandang Geon penuh rasa kagum, melainkan takjub dengan besarnya cinta kasih yang dimiliki Geon. Sosok merpati cinta...
  • Saat ditemui Monang tengah sibuk mengepak kerupuk jangek ke dalam plastik. Itu salah satu usaha sampingannya di Jalan SMAN 2 Medan kawasan Polonia yang belum lama dilakoninya, sembari mengontrol para pekerja yang terlihat sibuk memaku triplek dengan desain sebuah rumah kecil. Itulah usaha utamanya berupa Rumah Barbie. Miniatur rumah yang biasa digunakan anak-anak untuk boneka barbie. Usaha yang telah dilakoninya sejak 2002. “Beginilah ini usaha saya sejak kembali ke Medan tahun 2002. Saya lihat di sini kan belum ada seperti ini. Saya temukan ide ini melihat usaha kawan- kawan di Jawa. Jadi di awal saya langsung perkenalkan dengan membuka tiga cabang. Syukurnya banyak yang respon.
    Biasanya pembeli dari kalangan bermobil yang ingin membelikan buat anaknya,” kata Monang.




    Dengan sedikit modifikasi, rumah Barbie dari bambu yang diganti dengan triplek ini mengundang banyak peminat. Tidak hanya pembeli dari Medan, Monang menyebut produknya bisa sampai ke daerah-daerah lain di Sumut maupun provinsi luar seperti Pekanbaru, Jambi, Surabaya, dan Kalimantan Timur. “Kebanyakan sih dari Medan. Tapi saya juga pasarkan di luar. Biasanya saya produksi 30-40 rumah sebulan. Juga bisa permintaan sesuai selera,” ungkap pria kelahiran Kisaran ini. Ada tiga jenis rumah barbie yang ditawarkan sesuai ukuran dan jumlah lantai rumah. Selain itu Monang juga membuat kuda-kudaan, miniatur bus ALS. Ia juga menjual miniatur perabotan untuk menghias rumah barbienya. “ Yang paling kecil Rp350 ribu satu lantai. Ada yang Rp700 ribu dua lantai dan Rp800 ribu lebih lebar. Ada juga kuda-kudaan dan mobil- mobilan,” terangnya. Namun Monang tidak dengan mudah sampai di level ini. Ia memulainya dengan penuh kerja keras.




    Beberapa kali ia jatuh namun selalu punya semangat untuk bangun kembali. Sebelum menjadi pengusaha ia lebih dulu berkarir sebagai atlet cacat. Berawal dari pemungut bola di lapangan tenis, Monang bangkit dari kecelakaan yang merenggut satu kakinya. “Saya dulu SD merantau ke Jakarta. Kabur naik truk mengikuti jejak kawan yang berdagang di sana. Sekitar tahun 80-an saya ditawari kerja memungut bola tenis lapangan. Pagi jam 6 udah mulai kerja. Sorenya lagi,” katanya. Keadaan ini membuat Monang mulai menyukai tenis. Diberikan raket oleh seseorang yang biasa berlatih di lapangan itu, Monang mulai berlatih dengan kursi rodanya. “Karena kami kerja disitu kan bebas pakai lapangan. Selagi tidak ada yang main. Ya sudah saya latihan dengan sesama pemungut bola yang lain. Lambat laun saya mulai bisa main,” ujarnya.




    Dua tahun berselang ia mencoba peruntungan ikut Kejurnas Piala Ibu Tien Soeharto untuk cabang tenis kursi roda. “Saya berani-beranian ikut. Karena orang-orang di lapangan tenis menganggap saya bisa. Saya membela tim DKI. Masuk final dengan sesama DKI. Dari situ saya menang,” kenangnya. Sejak itu, pria kelahiran 10 Oktober 1962 ini pun serius menjalani karir sebagai atlet tenis meja kursi roda. Puncaknya ia terpilih mewakili Indonesia untuk berlaga di luar negeri. Di antaranya Thailand, Korea, Jepang. “Tahun 1995 saya main ke Belanda, Melbourne baru Olimpiade antar orang cacat di Inggris. Tapi saya gugur saat seleksi di Malaysia memperebutkan kejuaraan di Amerika tahun 1997,” ungkapnya. Dari situ ia mendapat perbekalan untuk membuat rumah boneka. Termasuk juga pembekalan di Yayasan Orang Cacat di Jakarta. Monang pun memutuskan hijrah ke Medan. Namun ia tak lantas meninggalkan karirnya sebagai atlet. Ia diminta memperkuat Sumut berlaga di PON antar orang cacat di tahun 2002 di Palembang. “Disitu sudah buat rumah Barbie. Tapi saya mendapat tawaran dari dikontrak jadi atlet Sumut karena saya juga kelahiran Kisaran. Saya mengikuti dua cabang olahraga. Cabang tenis saya meraih emas dan lari kursi roda meraih perunggu,” tambahnya. Setelah itu ia mulai memutuskan pensiun jadi atlet.




    Sempat menjadi sopir taksi lintas kota, berbekal uang bonus dari Alm Tengku Rizal Nurdin (ketika itu Gubernur Sumut, Red) Monang akhirnya konsentrasi mengembangkan usahanya. “Waktu itu dapat Rp30 juta. Dengan tabungan saya juga sebagai atlet saya kembangkan usaha ini,” lanjutnya. Begitupun cobaan kembali hadir. Kebakaran lima tahun silam menghanguskan seluruh usahanya. Namun ia bangkit dan kembali merintisnya hingga berkembang seperti saat ini. Bersama istri dan dua orang anaknya, Monang kini bisa tersenyum dengan kerja kerasnya. Ia juga bisa membuka lowongan kerja untuk lima pekerjanya. “Waktu kebakaran itu saya ikhlas saja. Yang penting keluarga saya selamat. Yang penting tetap semangat dan pantang menyerah,” pungkasnya.
  • Keterbatasan kemampuan tubuh ternyata memberi kelebihan dalam tekad dan semangat berusaha. Berbekal keahlian menyulam, menjahit dan ketrampilan lainnya sekelompok perempuan penyandang cacat maju ke arena persaingan pasar dengan membentuk Kelompok Usaha Bersama (KUB) Anggrek di Dusun Ketiron, Desa-Kecamatan Beji, Kabupaten Pasuruan, Jawa Barat.




    Dalam dua tahun saja, setiap bulan kelompok usaha ini sudah mampu mengirimkan 8.000 jilbab ke Jakarta, Surabaya serta kota-kota lainnya. “Awalnya, dua tahun lalu, kami beranggota lima orang yang semuanya cacat tubuh. Dengan modal seadanya ternyata produksi jilbab kami laris manis,” kenang Sapto Yuli Ismiarti ditemui Surya di sela- sela acara Pasar Ramadan yang berlokasi di halaman Pemkab Pasuruan. Dengan kerja kerasnya bersama empat kawannya yang lain, usaha perempuan berjilbab beranak tiga yang kakinya harus ditopang dengan besi ini berhasil berkembang pesat. Dari 5 orang itu, Yuli berhasil merekrut kawan-kawannya yang juga penyandang cacat hingga 20 orang. Bahkan Yuli dan keempat kawannya juga merekrut tenaga kerja dengan tubuh normal hingga sebanyak 30 orang. “Usaha kami berkembang berkat binaan instansi terkait yang sangat membantu, sehingga order semakin banyak. Kami terus merekrut pekerja baik yang cacat tubuh maupun yang normal dan total mencapai 50 orang,” terang Yuli.




    Kendati cacat fisik, masing-masing anggota KUB Anggrek memiliki keahlian khusus. Aprilia, perempuan dengan tinggi tubuh hanya 50 centimeter, ternyata kaki dan tangannya yang pendek itu sangat piawai mendesain motif jilbab. Lestari, yang kedua kakinya cacat, sangat ahli menjahit. “Kalau saya kebagian menyulam jilbab dan seharinya minimal dapat menyelesaikan 25 jilbab. Hasilnya dapat untuk membantu kebutuhan rumah tangga,” urai Hiroh yang tangan kirinya mengecil ini. Harga jilbab produksi KUB Anggrek bervariasi antara Rp 4.000 hingga Rp 70.000.




    Jilbab yang harganya termurah umumnya dibeli oleh para jamaah haji untuk dijadikan cinderamata bagi para tamu yang bertandang. Jilbab yang dihargai Rp 70.000 kualitasnya bagus dengan disain motif sangat indah, dan peminatnya rata-rata dari kelas ekonomi menengah ke atas.
  • Peristiwa mengharukan terjadi Minggu malam (13/10/2013) di Yogyakarta. Seorang gadis cantik berambut panjang, yang terlahir dan besar tanpa kedua tangan, Putri Herlina, menerima suntingan sang pacar, bernama Reza Hilyard Soemantri, yang diketahui adalah seorang musisi. Reza adalah putra dari mantan deputi gubernur Bank
    Indonesia Maman H Soemantri. Kini, keduanya pun hidup sebagai suami istri. Lalu, bagaimana sebenarnya kisah masa lalu dari gadis yang sanggup berjuang seorang diri ini?




    Menurut cerita sewaktu Putri lahir, orangtuanya tega meninggalkannya di rumah sakit, dan membiarkan anaknya itu hidup sebatang kara. Sampai pada akhirnya, pihak rumah sakit menitipkan Putri di sebuah panti bernama Yayasan Sayap Ibu, dan dirawat dengan tulus oleh sang pemilik panti, Bu Naryo. Meskipun gadis berambut panjang itu bukan anak kandungnya, Bu Naryo begitu sayang dengan Putri, dan tak ingin Putri lepas dari genggamannya. Suatu hari, ada seseorang yang datang ke panti itu, dan menginginkan Putri menjadi anaknya. Sayang, orang tersebut bukannya merawat Putri dengan penuh kasih seperti yang dilakukan Bu Naryo, ia malah meletakkan gadis mungil tanpa tangan itu di dalam sebuah kardus, dan meletakkannya di pinggir jalan untuk mengumpulkan uang hasil belas kasihan, alias mengemis. Di sepanjang hidupnya, Putri pernah tertidur beralaskan kardus, berselimut debu, dan bercahayakan panas sinar matahari. Dan belum tentu, semua orang mampu bila dihadapkan dengan hal seperti ini. Termasuk Anda! Tuhan memang memiliki caranya sendiri untuk menyelamatkan nyawa gadis berhati suci ini. Pihak panti asuhan menemukan Putri di jalan, dan menyelematkannya, lalu merawat Putri kembali. Di tangan orangtua angkatnya, Bapak dan Ibu Naryo, Putri tumbuh menjadi anak perempuan yang berbeda dan memiliki kelebihannya sendiri. Ia lincah dengan kedua kakinya, ia mampu menulis walaupun tidak memiliki kedua tangan, memakai baju tanpa bantuan siapa pun, dan melakukan semua kegiatannya seorang diri. Dengan kata lain, Putri Herlina cilik adalah sosok anak perempuan yang mandiri dan tegas.




    Ketika Putri Herlina duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA), ia tidak pernah mau disiapkan meja khusus, dan tidak ingin pihak sekolah memperlakukannya terlalu istimewa. Ia cukup duduk di sebuah kursi tambahan di sampingnya, sebagai alas buku ketika ia mengangkat kakinya, menorehkan tinta, dan goresan pensil sebagai bukti perjuangan hidupnya. Sebelum disunting Reza, Putri Herlina bekerja dan menghabiskan waktunya masih di area panti, dan memegang jabatan sebagai administrasi di panti itu. Semua pekerjaan yang dilakukannya pun, dikerjakan menggunakan kedua kakinya. Di dalam tulisan Saptuari, sang penulis menuliskan, Putri sempat bertandang ke rumahnya, dan mengabari bahwa ia akan menikah dengan pria pujaan hatinya dalam waktu dekat. Kepada Saptuari dan ibunya yang sudah dianggap seperti keluarga sendiri,




    Putri bercerita dirinya mantap untuk dipersunting dengan kekasihnya, Reza. Semua itu tanpa keraguan, tanpa kebimbangan, dan memang semua ini sudah rencana indah yang disiapkan Tuhan yang Maha Esa untuk keduanya. Ketika Saptuari mempertanyakan siapa jodoh dari Putri ke Bu Naryo, beliau mengatakan bahwa pria yang berprofesi sebagai musisi itu adalah anak dari keluarga terhormat, putra salah seorang petinggi Bank negeri ini
  • Terlahir sebagai seorang cacat dengan banyak kekurangan…ternyata tidak menghalangi seorang Nick Vujicic untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi sekitarnya. Sempat depresi dan ingin bunuh diri diusia 8 tahun….namun kemudian dia sadar bahwa hidup ini harus dia syukuri…apapun keadaannya. Akhirnya perlahan namun pasti…dia menjadi seorang motivator hebat yang mendunia…dan berhasil memotivasi jutaan orang di seluruh dunia untuk terus meraih mimpi.




    Nicholas James Vujicic (lahir 4 Desember 1982) adalah anak pertama lahir dari sebuah keluarga Serbia. Nick Vujicic lahir di Brisbane, Australia dengan gangguan Tetra-amelia langka: tanpa kaki, tanpa kedua lengan dan dengan dua kaki kecil, salah satu yang memiliki dua jari kaki.
    Pada masa kecilnya sering diintimidasi teman- teman sekolah. Pada usia delapan tahun, ia mulai memikirkan bunuh diri dan bahkan pada usia sepuluh tahun dia mencoba untuk menenggelamkan dirinya di bak mandi. Karena cintanya kepada orang tuanyalah yang membatalkan niat bunuh dirinya. Ia menyatakan dalam video musiknya “Something More” bahwa Tuhan memiliki rencana untuk hidupnya dan ia tidak bisa memaksa dirinya untuk tenggelam karena ini.




    Nick berdoa sangat keras bahwa Allah akan memberinya tangan dan kaki, dan pada awalnya dia mengatakan kepada Allah bahwa, jika doanya tetap belum terjawab, Nick tidak akan memuji Dia tanpa batas waktu. Namun, titik balik penting dalam imannya datang ketika ibunya menunjukkan kepadanya sebuah artikel surat kabar tentang seorang pria berhubungan dengan cacat berat. Dia menyadari bahwa ia bukan satu-satunya orang yang memperjuangkan dirinya. Nick akhirnya mulai menyadari bahwa prestasi adalah inspirasi bagi banyak orang, dan mulai bersyukur kepada Tuhan karena hidupnya.




    Nick secara bertahap menemukan cara hidup tanpa anggota badan. Dia menulis dengan dua jari pada kaki kirinya dan pegangan khusus yang meluncur ke ibu jari kakinya. Dia tahu bagaimana menggunakan komputer dan dapat mengetik hingga 45 kata per menit dengan menggunakan “tumit dan kaki”. Dia juga belajar untuk melemparkan bola tenis, bermain pedal drum, mendapatkan segelas air, sisir rambutnya, sikat gigi, menjawab telepon dan bercukur, selain berpartisipasi dalam golf, berenang, dan bahkan langit-diving.




    Selama sekolah menengah, ia terpilih menjadi kapten MacGregor Negara di Queensland dan bekerjasama dengan dewan mahasiswa untuk menggalang dana bagi orang cacat. Ketika ia berusia tujuh belas, ia mulai memberikan ceramah di kelompok doa nya, dan kemudian mendirikan organisasi non-profit nya, “Life Without Limbs.”
    Nick lulus dari universitas pada usia 21 dengan dua jurusan yaitu Akuntansi dan Keuangan Perencanaan. Ia memulai perjalanannya sebagai seorang pembicara motivasi . Ia secara rutin melakukan perjalanan internasional untuk berbicara dengan jemaat-jemaat Kristen, sekolah, dan rapat perusahaan. Dia telah berbicara kepada lebih dari tiga juta orang sejauh ini, di lebih dari 24 negara di lima benua (Afrika, Asia, Australia, Amerika Selatan, dan Amerika Utara).




    Dia mempromosikan karyanya melalui acara televisi dan melalui tulisannya. Buku pertamanya, “Life Without Limbs: Inspiration for a Ridiculously Good Life” (Random House, 2010) diterbitkan pada tahun 2010. Dia memasarkan DVD motivasi yang berjudul ” Life’s Greater Purpose” , sebuah film dokumenter pendek difilmkan pada tahun 2005 menyoroti kehidupan rumah tangganya dan kegiatan rutin. Bagian kedua dari DVD difilmkan di gereja setempat di Brisbane – salah satu dari pidato pertama profesional motivasi . Dia memasarkan DVD untuk kaum muda berjudul: MP Arms, No Legs, No Worries.
    Nick menulis bahwa ia menyimpan sepasang sepatu di lemari karena keyakinannya pada keajaiban.




    Pada tahun 2005 Nick dinominasikan untuk Penghargaan Anak Muda di Australia Nick
    Dia membintangi film pendek yang berjudul ”The Circus Butterfly”, yang memenangkan hadiah utama Film Doorpost Film Project‘s pada tahun 2009 dan penghargaan Film Pendek Terbaik di Festival Film Metode Fest, di mana Vujicic juga dianugerahi Aktor Terbaik dalam film pendek tersebut. The Butterfly Circus juga memenangkan penghargaan film pendek terbaik di Festival Film “The Feel Good Film Festival di Hollywood pada tahun 2010. Saat ini Nick tinggal di Los Angeles, California, Amerika Serikat dan pada tanggal 12 Februari 2012, ia menikah dengan tunangannya, Kanae Miyahara, dan pada tanggal 13 Februari 2013, anak mereka Kiyoshi James Vujicic lahir dengan berat 8 £ 10 ons.




    Menurut Vujicic, seandainya dia dilahirkan di sebuah negara dunia ketiga, kondisinya akan dianggap sebagai kutukan atau memalukan orang tuanya dan ia akan dibunuh pada saat kelahirannya.
  • Ketika Kevin Connolly berumur sepuluh tahun saat keluarganya membawanya ke Disney World, tapi untuk beberapa pengunjung taman hari itu, Connolly yang cepat menjadi daya tarik utama.




    Lahir tanpa kaki, Connolly sudah terbiasa dengan tatapan orang asing – tetapi saat itu akan membantunya mulai memahami bahwa lensa bisa bekerja di kedua arah. Pada perjalanan solo ke Eropa, lebih dari satu dekade kemudian, ia merasa orang menatapnya.Connolly mengangkat kamera ke pinggulnya, dan memotret tampang orang itu. Connolly akan mengulangi kegiatannya ini sampai 32.000 kali lebih selama perjalanannya, menciptakan beragam portfolio individu dari berbagai negara Dia memposting beberapa fotonya secara online, dengan judul “Pameran Rolling. Banyak dari orang- orang yang bertemu, tidak menunggu dia untuk menjelaskan alasan tidak adanya kakinya. Sebaliknya, mereka secara otomatis membuat narasi mereka sendiri, sesuai dengan lingkungan mereka sendiri atau perasaan pribadi.




    Sebagai contoh, saat bepergian di Selandia Baru seorang wanita bertanya Connolly jika dia adalah korban serangan hiu. Di Rumania beberapa orang mengira dia seorang pengemis, di sebuah bar di Montana seseorang membelikannya bir dan mengucapkan terima kasih atas jasanya,karena dia percaya bahwa Connolly adalah seorang veteran terluka dari Perang Irak.
  • Ming Ming adalah seekor anak burung kolibri. Ia gemar sekali bertualang. Ming Ming yang hanya diasuh oleh induk betinanya ini, seringkali tak mendengarkan petuah induknya yang melarang dirinya pergi terlalu jauh dari sarang karena ia masihlah sangat muda sementara di luar sana ada begitu banyak bahaya yang mengancam. “Tapi, Ibu, aku hanya ingin menyesap madu bunga-bunga nan indah di ladang bunga seberang hutan,” ujar Ming Ming memberi alasan pada induknya. “Di daerah dekat sarang kita tidak ada bunga-bunga seindah ladang bunga di sana.” “Iya, Nak, tapi tunggulah kau besar sedikit,” induk Ming Ming berujar lembut sembari menyapu sayang kepala anaknya itu. “Ibu hanya khawatir karena seringkali terlihat putra Adam dan putri Hawa mendatangi tempat tersebut. Bagaimana jika mereka menangkapmu?”




    Ming Ming akhirnya hanya diam saja jika diberi jawaban seperti itu oleh induknya. Tapi jangan salah... Bukan Ming Ming namanya jika ia akan begitu saja menurut petuah induknya. Ia sudah terlanjur menyukai petualangan kecilnya ke ladang bunga seberang hutan. Itu karena di sana memang terdapat bunga-bunga yang memekar nan indah, tentunya madu yang disesap oleh Ming Ming pun juga sangatlah manis. Karena itulah ia suka. Ming Ming memang menggemari manisnya madu. “Nantilah ketika Ibu sedang lengah baru aku pergi ke sana lagi,” bisik Ming Ming dalam hati.




    Dan benar saja, ketika induknya sedang sibuk melakukan pekerjaannya,Ming Ming langsung mengambil ancang-ancang untuk terbang memulai petualangannya ke ladang bunga indah. Sepanjang perjalanan menuju ke sana Ming Ming sudah membayangkan rasa manis bunga- bunga yang tumbuh indah di ladang bunga yang akan disesapnya nanti. “Hmm... Srrrp, manisnya,” liurnya bahkan sampai menetes membayangkannya. Tidak tunggu lama, selepas Ming Ming sampai di ladang bunga, ia langsung terbang ke sana ke mari menghampiri bunga-bunga indah untuk disesapi madunya. Beberapa puluh menit Ming Ming tenggelam dalam aktivitasnya yang mengasyikkan itu. “Akan kusesapi madu-madu kalian semua, wahai bunga-bunga indah,” seru Ming Ming dengan riang. Tapi celakalah bagi Ming Ming, saking asyiknya menyesap madu, ia tidak menyadari ternyata ada seorang putra Adam yang terus memperhatikannya. Bulu Ming Ming yang memang sangat cantik membuat dia berniat menangkap Ming Ming si Kolibri Petualang itu. Dan dengan Ming Ming yang tidak memperhatikan sekelilingnya, tidaklah sulit untuk menangkapnya.




    Haph! Ming Ming masuk dalam perangkap. Ming Ming terkejut mendapati dirinya telah berada di dalam jaring perangkap. Ia meronta menggeliat, namun jaring tersebut terlalu kuat untuk bisa diterobosnya. “Matilah aku,” cerocosnya mulai menyesali kenakalannya tidak mengindahkan petuah induknya. “Ibu, Ibu, tolonglah aku, Ibu. Akan diapakan aku nanti, Ibu?” jeritnya lara. Ming Ming terus merasa khawatir, bertanya- tanya apa yang akan terjadi pada dirinya setelah tertangkap oleh pria itu. Tapi rupanya pria itu hanyalah seseorang yang gemar memelihara burung-burung liar. Di rumahnya terdapat berbagai macam burung di dalam sangkar-sangkar. Ming Ming dimasukkan ke dalam salah satu sangkar tersebut. Tak lupa pria itu juga mencarikan madu untuk diberi ke tempat makan burung kolibri, tentunya agar Ming Ming merasa betah. Dan, ya, tentu saja... Ming Ming berkicau riang karena rupanya ia hanya akan dipelihara dan bukan dibunuh. Belum lagi ia juga diberi madu- madu yang rasanya luar biasa manis. “Wah, enaknya hidupku,” pikirnya polos. Satu, dua, tiga hari dilaluinya dengan riang. Makan, tidur, dan kadang juga mengobrol dengan burung-burung tetangga sangkarnya.




    Tapi memasuki bulan ke dua ia tinggal di rumah barunya, Ming Ming akhirnya merasa jenuh. “Wahai kalian kawanku para burung, tidakkah kalian bosan tinggal di sini?” tanyanya. “Tidak juga,” balas Nunu, burung nuri tetangga sangkar sebelah kiri Ming Ming, "Aku sudah sekian lama berada dalam sangkar ini.” “Aku juga tidak. Setiap hari hanya tinggal makan dan tidur yang disediakan oleh putra Adam itu, bagaimana mungkin aku bosan?” tambah si Layang, yang sangkarnya tepat di hadapan sangkar Ming Ming, turut membenarkan perkataan Nuri. “Justru itu, aku bosan setiap hari hanya tinggal menerima apa yang diberikan padaku,” ujar Ming Ming lemas setelah mendengar jawaban kawannya sesama burung dalam sangkar, “Aku rindu melakukan petualangan kecilku terbang ke sana ke mari menghampiri bunga-bunga. Aku juga sangat merindukan indukku.” Beberapa hari kemudian dihabisi Ming Ming dalam kegelisahan. Tidak lagi terdengar kicauan riang darinya. “Aku ingin pulang. Keluar dari sini...” lirihnya. Dan Ming Ming akhirnya membulatkan tekad. Pokoknya bagaimanapun caranya ia harus keluar dari sangkarnya dan kembali ke sarangnya. Ia mencari-cari kesempatan ketika pria tersebut lengah dalam mengunci sangkarnya.




    Dengan sabar dinantikannya saat tersebut, walau bulan demi bulan berlalu. Tidak dipedulikannya celotehan burung-burung lain yang menyuruhnya mengurungkan niat ataupun mencibirnya karena terlalu tinggi bermimpi. “Sudahlah, lupakan saja keinginanmu, kolibri kecil,” cibir Koko, si kakatua, “Untuk apa kau meninggalkan tempat yang sudah memberikanmu kemudahan ini?” “Benar. Lagipula bagaimana kau akan bisa keluar dari sangkarmu? Sangkar itu terpasang kokoh,” tambah Layang. “Aku tahu itu. Tapi entah kenapa, batinku tidak bisa membenarkan diriku yang terus-menerus hanya menerima segala sesuatunya tanpa berbuat apapun,” jawab Ming Ming.




    Dan akhirnya suatu hari, putra Adam lupa mengunci sangkar Ming Ming setelah membersihkan sangkar tersebut. Ming Ming pun tidak menunda-nunda memanfaatkan kesempatan yang telah lama dinantikannya tersebut. Ia langsung keluar dari sangkar kecilnya berusaha kembali menuju alam bebas. Tak lupa diajaknya pula kawan-kawannya sesama burung yang lain, ia mencoba membantu membukakan kunci sangkar mereka. Tapi rupanya mereka tidak ingin beranjak pergi ke manapun. “Pergilah kau, kolibri kecil, jika kau memang hendak pergi. Kami tidak akan meninggalkan tempat ini. Di luar sana lebih banyak bahaya- bahaya yang justru mengancam kelangsungan hidup kami daripada tinggal di tempat ini,” Koko mewakili burung-burung lainnya memberi jawaban yang membuat Ming Ming geleng- geleng kecewa. Ming Ming pun terbang meninggalkan tempat yang telah mengurungnya selama berbulan- bulan. Ia berusaha mencari-cari jalannya untuk bisa pulang kembali ke sarangnya tempat ia tinggal bersama induknya. Untuk beberapa lama ia hanya berputar-putar di daerah yang sangat asing baginya, ia nyaris menyerah dan mulai menyesali keputusannya meninggalkan tempat putra Adam tersebut.




    Tapi kemudian ia kembali mendengarkan kata-kata batinnya yang menolak untuk hidup dengan terus menerus disuapi segala sesuatunya. “Itu bukanlah hidup,” pikirnya dalam hati. “Aku merasa hidup ketika aku melakukan petualangan-petualangan kecilku. Tak mengetahui apa yang akan aku temui di jalan di depanku, tapi aku terus saja berjalan, karena senang rasanya ketika yang aku temukan adalah sesuatu yang luar biasa misalnya saat aku menemukan ladang bunga nan indah itu. Ataupun ketika aku menemukan sesuatu yang mengerikan misalnya tertangkap oleh putra Adam kala itu, dan aku bisa memetik pelajaran untuk tak selalu lupa awas diri ketika berada di alam bebas,” lanjut Ming Ming menyemangati dirinya. Dengan semangat yang kembali membanjiri dirinya, Ming Ming, si kolibri petualang, menghabiskan sisa hidupnya dengan terus mencari jalan pulang menuju sangkarnya.




    Walaupun sangkar tempatnya dulu tinggal bersama induknya tidak ia temukan sampai akhir hayatnya, Ming Ming tidak pernah putus semangat. Ia tidak terus menerus menengok ke belakang meratapi kesalahannya yang tidak mengindahkan petuah induknya hingga akhirnya mereka terpisah. Oh, dia menyesalinya, sungguh sangat menyesalinya. Tapi ia tidak terpuruk meratapinya dan membiarkan rasa penyesalan tersebut mengaburkan masa depan lebih cerah yang bisa direngkuhnya. Ming Ming menghabiskan sisa hidupnya dengan terus melakukan petualangan-petualangannya. Ia tidak takut akan petualangan meskipun pernah tersandung karenanya. Ia pun bertemu dengan beragam macam makhluk hidup lainnya yang banyak mengajarkannya tentang hidup. Ia juga bertemu dengan kolibri-kolibri lain dan bahkan ia pun memiliki bayi-bayi kolibri miliknya sendiri yang ia asuh penuh suka cita dan ia ajarkan tentang kehidupan di alam raya ini.
  • Di sebuah hutan rimba terdapat sebuah kota hewan yang dihuni oleh berbagai macam hewan- hewan. Kota kecil itu begitu tenteram, namun ada satu peraturan penting yang bila dilanggar maka hukumannya sangat berat. Yaitu mereka tidak boleh mencuri terhadap sesama penghuni kota.




    Hingga suatu hari ada seekor kancil muda yang tertangkap oleh anjing penjaga saat dia hendak melancarkan aksi pencuriannya. Dia pun dibawa ke tengah hutan untuk menerima hukuman dari Raja Hutan, namun ketika hendak diadili, dia meminta untuk dipertemukan terlebih dahulu dengan ibunya. Permintaan ini disetujui. Ibu kancil pun segera dipanggil, dan ketika sang ibu telah datang, kancil muda berkata: "Ibu, aku ingin membisikkan sesuatu." Ibu Kancil pun mengikuti permintaan anaknya dan berjalan mendekatinya.




    Ketika telinga ibunya telah begitu
    dekat dengan mulutnya, tiba-tiba kancil muda ini
    menggigit telinga ibunya. Binatang-binatang yang ikut menyaksikan kejadian menjadi terkejut, dan bertanya pada si kancil muda alasan dia tega melakukan perbuatan tersebut pada ibunya. "Ini hukuman untuknya," jawab kancil muda dengan enteng. "Saat aku masih kecil dulu, dan mulai mencuri beberapa barang kecil, aku membawanya pulang dan menunjukkannya pada ibuku. Tetapi dia sama sekali tidak mengomeli atau menghukumku, dia hanya tertawa dan berkata bahwa takkan ada yang menyadari perbuatanku. Dan karena dialah aku berdiri disini saat ini."




    Seorang teladan yang baik sangatlah penting. Dimana dia menunjukkan kita arah dan tujuan yang benar. Menginspirasi kita untuk mencapai impian, dan ketika situasi tidak berjalan sebagaimana mestinya, dia ada untuk berbagi pikiran bagaimana cara mengatasi jalan buntu ini.Dan selama kita berada dalam posisi sebagai seseorang yang memiliki pengaruh terhadap orang lain, entah itu kita sebagai orang tua terhadap anak, atau atasan terhadap bawahan, kita haruslah berhati-hati. Ingatlah kita akan selalu saja di awasi
Sign In or Register to comment.