It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Murid SMKN 2 Yogyakarta itu bergegas menyiapkan buku pelajaran dan barang dagangannya. Sebelum matahari bersinar, dia sudah membuka toko.
Tak hanya buku pelajaran yang dibawanya ke sekolah. Murid kelas 1 SMK itu membawa sepeda ontelnya yang dipasangi gerobak berisi aneka makanan ringan yang akan dijual. Bersepeda sejauh 12 kilometer menjadi rutinitas paginya menuju sekolahnya yang terletak di Jalan AM Sangaji, Jetis, Yogyakarta.
Dalam perjalanan menuju sekolah, tak jarang dia dicegat oleh beberapa langganannya yang sudah menunggu untuk membeli slondok, camilan tradisional Yogya yang terbuat dari singkong. Sesampai di sekolah, belum ada yang datang kecuali satpam, Desi menyempatkan diri untuk belajar di kelasnya.
“Slondok itu gini lho, terbuat dari telo (singkong),” kata Desi sembari menunjukkan bungkusan slondok dari gerobak di sepeda onthelnya.
Aktivitas berjualan ini sudah dilakoni Desi sejak dia masih duduk di bangku sekolah dasar. Saat itu Desi yang masih duduk di kelas tiga SD melihat tetangganya yang laris berjualan roti. Melihat itu Desi tertarik untuk berjualan roti di sekolahnya.
“Pertama kali lihat tetangga jualan roti, kok untung banyak, terus pengin,” kenang Desi.
Dengan bermodal 10 bungkus roti, dia mulai berjualan di sekolahnya. Di sekolah ternyata rotinya laris dibeli dan habis sebelum jam pulang sekolah.
“Dari situ tambah jadi 30 roti, tapi karena pabrik rotinya di Solo bangkrut, jadi ganti jualan yang lain, telur bebek, sampai terakhir jualan slondok,” tutur Desi.
Meski ke sekolah sambil berjualan slondok dengan sepeda ontel dengan gerobak, Desi mengaku tidak pernah merasa malu dengan teman sebayanya yang kebanyakan berangkat sekolah dengan sepeda motor. Desi merasa apa yang dilakukannya bukanlah sesuatu yang memalukan.
“Saya justru senang, bisa membantu bapak, adik juga. Kalau naik motor belum tertarik nunggu sudah kerja mapan baru beli motor,” tukasnya.
Siang hari sepulang sekolah, Desi tak langsung pulang. Sembari menunggu matahari tak begitu terik, dia menyempatkan menawarkan slondok ke teman-teman atau gurunya dan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler.
“Karena sudah terbiasa kalau ngontel berangkat sekolah nggak terasa, kalau pulangnya panas, jadi nunggu agak teduh sambil jualan, kadang juga ikut kegiatan OSIS,” ujar remaja kelahiran tahun 1995 tersebut.
“Tuhan, aku masih kecil dan begitu lemah, mengapa aku harus lahir ke dunia? Siapakah yang akan melindungiku nantinya?’’ tanya si bayi.
Tuhan pun menjawab, “Dari sekian banyak malaikat-Ku, telah Kupilihkan satu untukmu. Dia akan merawat dan menjagamu.’’
Si bayi berkata lagi, “Tapi di surga ini, aku bisa bebas bernyanyi dan tersenyum sepanjang hari dan aku sangat bahagia jika boleh berada di sini selamanya.”
Tuhan kembali berkata, “Dia akan menyanyikan lagu untukmu setiap saat dan dia akan membuatmu selalu tersenyum. Kau akan merasakan cinta dan kasih sayang sepanjang hari dan itu pasti membuatmu bahagia.”
Namun, si bayi bertanya lagi, “Bagaimana aku mengerti bahasa mereka, sedangkan aku tidak pernah tahu bahasa apa yang mereka pakai?”
Tuhan pun menjawab, “Malaikatmu itu akan membisikkan kata-kata paling indah di telingamu dan akan mendampingimu sepanjang hari. Dengan kasihnya, dia akan mengajarimu berbicara dalam bahasa manusia.”
Si bayi lagi-lagi bertanya, “Bagaimana kalau aku ingin berbicara dengan-Mu?”
Tuhan menjawab, “Malaikatmu akan membimbingmu. Dia akan menengadahkan tangannya bersamamu dan dia akan mengajarimu cara berbicara kepada-Ku, yaitu berdoa.’’
Si bayi kembali menyidik, “Tapi, kudengar di bumi banyak orang jahat. Siapa yang akan melindungiku?”
Tuhan pun menjawab, “Tenang, malaikatku akan terus melindungimu meski harus mempertaruhkan nyawanya. Bahkan, dia akan melupakan kepentingan pribadinya demi menyelamatkanmu.’’
Entah mengapa, si bayi menjadi sedih, “Tuhan, aku sedih jika tidak bisa melihat-Mu lagi.”
Tuhan menjawab, “Malaikatmu akan mengajarimu tentang keagungan-Ku dan dia akan mendidikmu agar selalu patuh dan taat kepada-Ku. Dia akan selalu membimbingmu untuk selalu mengingat-Ku. Walau begitu, Aku akan selalu di dekatmu.’’
Sesaat, keheningan surga menerpa, tetapi suara-suara panggilan dari bumi terdengar sayup-sayup. “Tuhan, aku akan pergi sekarang, tolong sebutkan siapa nama malaikatku itu.”
Tuhan pun menjawab, “Namanya tidak begitu penting. Kamu akan memanggilnya dengan sebutan Ibu.”
Kami mengunjungi setiap toko yang menyediakan gaun wanita, dan ibu saya mencoba gaun demi gaun dan mengembalikan semuanya. Seiring hari yang berlalu, saya mulai lelah dan ibu saya mulai frustasi. Akhirnya pada toko terakhir yang kami kunjungi, ibu saya mencoba satu stel gaun biru yang cantik terdiri dari tiga helai. Pada blusnya terdapat sejenis tali di bagian tepi lehernya, dan karena ketidaksabaran saya, maka untuk kali ini
saya ikut masuk dan berdiri bersama ibu saya dalam ruang ganti pakaian, saya melihat bagaimana ia mencoba pakaian tersebut, dan dengan susah mencoba untuk mengikat talinya.
Ternyata, tangan-tangannya sudah mulai
dilumpuhkan oleh penyakit radang sendi dan sebab itu dia tidak dapat melakukannya, seketika ketidaksabaran saya digantikan oleh suatu rasa
kasihan yang dalamkepadanya. Saya berbalik pergi dan mencoba menyembunyikan air mata yang keluar tanpa saya sadari. Setelah saya mendapatkan ketenangan lagi, saya kembali masuk ke kamar ganti untuk mengikatkan tali gaun
tersebut. Pakaian ini begitu indah,dan dia membelinya. Perjalanan belanja kami telah berakhir, tetapi kejadian tersebut terukir dan tidak dapat terlupakan dari ingatan saya.
Sepanjang sisa hari itu, pikiran saya tetap saja kembali pada saat berada di dalam ruang ganti pakaian tersebut dan terbayang tangan ibu saya yang sedang berusaha mengikat tali blusnya. Kedua tangan yang penuh dengan kasih, yang pernah menyuapi saya, memandikan saya, memakaikan baju, membelai dan memeluk saya, dan terlebih dari semuanya, berdoa untuk saya,
sekarang tangan itu telah menyentuh hati saya dengan cara yang paling membekas dalam hati saya. Kemudian pada sore harinya, saya pergi ke kamar ibu saya, mengambil tangannya, menciumnya ... dan yang membuatnya
terkejut,memberitahukannya bahwa bagi saya kedua tangan tersebut adalah tangan yang paling indah di dunia ini.
Saya sangat bersyukur bahwa Tuhan telah membuat saya dapat melihat dengan mata baru, betapa bernilai dan berharganya kasih sayang yang penuh pengorbanan dari seorang ibu. Saya hanya dapat berdoa bahwa suatu hari kelak tangan saya dan hati saya akan memiliki keindahannya tersendiri.
Dunia ini memiliki banyak keajaiban, segala ciptaan Tuhan yang begitu agung, tetapi tak satu pun yang dapat menandingi keindahan tangan Ibu...
Keesokan harinya pada saat membayar tagihan, pria tua itu berkata pada si pegawai hotel ” Kamulah orang yang seharusnya menjadi boss sebuah hotel terbaik di USA, karena kamu melakukan pekerjaanmu dengan hati yang mau melayani, mungkin suatu hari saya membangunkan sebuah hotel untukmu “.
Pegawai hotel itu hanya tersenyum lebar melupakan kata – kata pria tua itu, karena dia pikir dirinya hanya seorang pegawai biasa.
Kira – kira dua tahun kemudian, ia menerima surat yang berisi tiket ke New York permintaan agar ia menjadi tamu pasangan tua tersebut. Setelah berada di New York, pria tua mengajak si pegawai hotel itu ke sudut jalan antara Fifth Avenue Thirty – Fourth Street, dimana ia menunjuk sebuah bangunan baru yang luar biasa megah dan mengatakan ” Itulah hotel yang saya bangun untuk kamu kelola “.
Pegawai hotel itu adalah George Charles Boldt, yang menerima tawaran William Waldorf Astor, si pria tua itu, menjadi pimpinan dari hotel Waldorft – Astoria, yang menjadi hotel terbaik di dunia.
saya bertemu dua manusia super. Mereka makhluk – makhluk kecil, kurus, kumal berbasuh keringat. Tepatnya di atas jembatan penyeberagan Harmoni, dua sosok kecil berumur kira – kira delapan dan sepuluh tahun menjajakan tissue dengan wadah kantong plastik hitam. Saat menyeberang untuk makan siang mereka menawari saya tissue di ujung jembatan, dengan keangkuhan khas penduduk Jakarta saya hanya mengangkat tangan lebar – lebar tanpa tersenyum yang dibalas dengan sopannya oleh mereka dengan ucapan “Terima kasih Om…!” Dan saya masih tak menyadari kemuliaan mereka dan cuma mulai membuka sedikit senyum seraya mengangguk ke arah mereka.
Kaki – kaki kecil mereka menjelajah lajur lain diatas jembatan, menyapa seorang laki – laik lain itupun menolak dgn gaya yang sama dgn saya, lagi – lagi sayup – sayup saya mendengar ucapan terima kasih dari mulut kecil mereka, kantong hitam tempat stock tissue daganggan mereka tetap teronggok di sudut jembatan tertabrak derai angin Jakarta. Saya melewatinya dengan lirikan ke arah dalam kantong itu, dua pertiganya terisi tissue putih berbalut plastik transparan. Setengah jam kemudian saya melewati tempat yang sama dan mendapati mereka tengah mendapatkan pembeli seorang wanita, senyum di wajah mereka terlihat
berkembang seolah memecah mendung yang sedang menggayut di langit Jakarta. “Terima kasih ya Mbak, semuanya dua ribu lima ratus rupiah!”
tukas mereka, tak lama si wanita meronggoh tasnya dan mengeluarkan uang sejumlah sepuluh ribu rupiah. “Maaf, nggak ada kembaliaanya. .. ada
uang pas nggak Mbak?” mereka menyodorkan kembali uang tersebut, si Mbak menggeleng, lalu dengan sigapnya anak yang bertubuh lebih besar
menghampiri saya yang tengah mengamati mereka bertiga pada jarak empat meter. “Om boleh tukar uang nggak, receh sepuluh ribuan…? suaranya
mengingatkan kepada anak lelaki saya yang seusia mereka.
Sedikit terhenyak saya merongoh saku celana dan hanya menemukan uang sisa kembalian Food Court sebesar empat ribu rupiah. “Nggak punya, tungkas saya…!” lalu tak lama si wanita berkata “Ambil saja kembaliannya, dik…!” sambil berbalik badan dan meneruskan langkahnya kearah ujung sebelah timur. Anak ini terkesiap, ia menyambar uang empat ribuan saya dan menukarnya dengan uang sepuluh ribuan tersebut dan meletakannya kegenggaman saya yang masih tetap berhenti, lalu ia mengejar wanita tersebut untuk memberikan uang empat ribu rupiah tadi. Si wanita kaget setengah berteriak ia bilang “Sudah buat kamu saja, gak apa – apa ambil saja…!” namum mereka berkeras mengembalikan uang tersebut. “Maaf Mbak, cuma ada empat ribu, nanti kalau lewat sini lagi saya kembalikan.. !”
Akhirnya uang itu diterima si wanita tersebut karena si kecil pergi meninggalkannya. Tinggallah episode saya dan mereka, uang sepuluh ribu
di genggam saya tentu bukan sepenuhnya milik saya. Mereka menghampiri saya dan berujar “Om.. tunggu ya, saya kebawah dulu untuk tukar uang ke tukang ojek..!”. “Eeeeh.. nggak usah… nggak usah… biar aja…, nih…!” saya kasih uang itu ke si kecil, ia menerimanya tapi terus berlari ke bawah jembatan menuruni tangga yang cukup curam menuju ke kumpulan tukang ojek. Saya hendak meneruskan langkah tapi dihentikan oleh anak satunya, “Nanti dulu om, biar ditukar dulu… sebentar”. “Nggak apa – apa…, itu buat kalian” lanjut saya. “Jangan… jangan om, itu uang om sama Mbak yang tadi juga” anak Itu bersikeras. “Sudah nggak apa – apa…. saya ikhlas, Mbak tadi juga pasti ikhlas!” saya berusaha menghalangi, namum ia menghalangi saya sejenak dan berlari ke ujung jembatan berteriak memanggil temannya untuk segera cepat, secepat kilat juga ia meraih kantong plastik hitamnya dan berlari ke arah saya. “Ini deh Om …. kalau kelamaan, maaf ya…” ia memberikan saya 8 pack tissue. “Lho buat apa…?” saya terbenggong. “Habis teman saya lama sich Om.. maaf tukar pakai tissue aja dulu” Walau dikembalikan ia tetap menolak. Saya tatap wajahnya, perasaan bersalah muncul pada rona mukanya. Saya kalah set, ia tetap kukuh menutup rapat tas plastik hitam tissuenya.
Beberapa saat saya mematung di sana, sampai si kecil telah kembali dengan genggaman uang receh sepuluh ribu dan mengambil tissue dari tangan saya serta memberikan uang empat ribuan. “Terima kasih Om…!” mereka kembali ke ujung jembatan sambil sayup – sayup terdengar
percakapan.. ..”Duit Mbak tadi bagaimana ya..?” suara kecil yang lain menyahut “Lu hafal kan orangnya, kali aja kita ketemu lagi ntar kita
berikan uangnya” Percakapan itu sayup – sayup menhilang, saya terhenyak dan kembali ke kantor dengan seribuperasaan.
Tuhan …. hari ini saya belajar dari dua manusia super, kekuatan kepribadian mereka menaklukan Jakarta membuat saya trenyuh dan terharu, mereka berbalut baju lusuh tapi hati dan kemuliaannya sehalus sutra. Mereka tahu hak mereka dan hak orang lain, mereka berusaha tak
meminta minta tap dengan berdagang tissue. Dua anak kecil yang bahkan belum akil balik, memiliki kemuliaan di umur mereka yang begitu sangat
belia. Saya membandingkan keserakahan kita, yang tak pernah ingin sedikitpun berkurang rejeki kita meski dalam rejeki itu sebetulnya ada hak atau milik orang lain…. “Usia memang tidak menjamin kita menjadi bijaksana tapi kitalah yang memilih untuk menjadi bijaksana atau tidak.
Ulat naik dan mulai makan daun-daunan. Ia hidup di atas pohon itu sampai menjadi kepompong dan akhirnya berubah menjadi kupu-kupu yang cantik. “Hai pohon mangga, lihatlah aku sudah menjadi kupu-kupu. Terima kasih karena telah mengizinkan aku hidup di tubuhmu. Sebagai balas budi, aku akan membawa serbuk sari hingga bungamu dapat berbuah.”
Dalam hidup kita sering memperhitungkan untung rugi pengorbanan yang dilakukan. “Jika saya memberi, saya akan kekurangan. Bagaimana mengatasinya?” Atau, “Bagaimana kalau ternyata saya ditipu?” Tapi sadarkah kita, setiap kita memberi, ada sepercik sukacita di hati.
sibuk mempersiapkan segala sesuatu sejak pagi tadi. Begitu juga dengan aku. Sesudah misa malam Natal, biasanya kami sekeluarga berkumpul untuk saling mengucapkan selamat Natal dan makan malam bersama. Siang ini aku berencana untuk membeli dua loyang kue kesukaan keluarga kami. Satu untuk keluarga orang tuaku dan satu lagi untuk keluarga suamiku. Setelah menentukan toko roti tempat kami akan membeli kue, kami segera berangkat ke tempat tujuan.
Setibanya di toko kue, kami segera memilih kue yang dimaksud. Karena belum sempat sarapan, suamiku memintaku untuk membelikannya roti isi. Satu bungkus plastik berisi tiga buah roti dengan rasa yang berbeda. Sesudah membayar semua belanjaan kami, segera kami menuju ke rumah mertuaku untuk mengirimkan kue yang baru aku beli. Dalam perjalanan menuju rumah mertuaku, kami sempat tercegat oleh lampu merah. Begitu aku mengerem mobil, tidak berapa lama kemudian seorang gadis kecil peminta-minta menghampiri kaca jendelaku.
Seperti pengemis lain, ia langsung menengadahkan tangannya memohon sekeping uang. Refleks aku langsung melambaikan tanganku, menandakan menolak untuk memberi. Tanpa menunggu lebih lama, gadis kecil itu langsung meninggalkan mobilku. Pada saat yang bersamaan, suamiku memberikan roti terakhirnya kepadaku. Ia memintaku untuk memberikan roti terakhirnya kepada gadis kecil tadi. Segera kubuka jendela mobil, dan setengah berteriak kupanggil gadis kecil tadi. Setelah mendekat, kuberikan roti tadi sambil tersenyum. Gadis itu segera menerima roti dariku sambil mengucapkan terima kasih. Sambil memegang roti itu, gadis kecil segera
berlari ke arah ibu-ibu berpakaian lusuh yang
duduk di tepi jalan. Mungkin perempuan tua itu
adalah ibunya, begitu pikirku. Gadis kecil itu
menyerahkan roti tadi kepada ibunya sambil
menunjuk-nunjuk dan tertawa lebar, ke arah mobilku. Begitu lampu hijau menyala, aku segera
melajukan mobilku.
Tepat saat mobilku melewati mereka, si ibu menganggukkan kepalanya sambil tersenyum, begitu juga dengan gadis kecil itu. Tampak sukacita di wajah mereka. Sungguh, ucapan syukur yang terungkap lewat segaris senyum yang tulus. Aku baru menyadari, betapa berartinya pemberian yang kami pikir tidak seberapa, tapi bagi mereka, roti itu mungkin adalah sesuatu yang
membahagiakan mereka. Terima kasih Tuhan, karena engkau telah membuat hatiku menjadi peka dengan orang di sekitarku.
Begitulah pengemis miskin ini melakukan kebiasaannya setiap harinya.
Pada suatu hari, seseorang yang berpakaian sedikit rapih, berjubah panjang, datang menghampiri pengemis tadi dan meminta agar pengemis itu meminjamkan biola usangnya. Tentu saja dengan sigap pengemis itu menolak, dan berkata "tidak!! Ini adalah hartaku yang paling mahal!". Pendatang ini tidak putus asa, dan terus
membujuk si pengemis agar mau meminjamkannya biola tersebut hanya untuk sebuah lagu. Sepertinya ada rasa kepercayaan pada pengemis buta itu, dan dengan perlahan ia memberikan biola tuanya kepada pendatang tersebut. Pendatang tersebut mengambil biola tersebut, dan mulai memainkan sebuah lagu dengan begitu merdu. Suara biola yang begitu halus ditangan si pendatang membuat orang yang lalu lalang berhenti dan mereka mulai berkeliling mengelilingi si pendatang dan pengemis tersebut. Begitu merdunya lagu dan bagusnya permaina biola si pendatang tersebut membuat semua orang terdiam, dan si pengemis buta ternganga tanpa dapat berkata-kata. Kaleng yang tadinya kosong kini telah penuh dengan uang, dan lagu demi lagu telah dimainkan oleh si pendatang tersebut.
Akhirnya iapun harus menyelesaikan permainannya, dan sambil mengucapkan
terimakasih, ia mengembalikan biola tersebut
kepada si pengemis. Si pengemis sambil berurai air mata, dan dengan gemetar bertanya: "Siapakah
anda orang budiman?". Si pendatang tersenyum dan dengan perlahan menyebutkan namanya
"Paganini".
Semua orang terdiam, seorang maestro biola yang
bernama Paganini, telah memberikan banyak
berkat kepada sang pengemis yang telah
memberikan harta kesayangannya untuk
dipergunakan oleh sang maestro, betapa
menakjubkan!
terjatuh dan terbenam di antara tingginya tumpukan serbuk kayu. Arloji itu adalah sebuah
hadiah dan telah dipakainya cukup lama. Ia amat mencintai arloji tersebut. Karenanya ia berusaha sedapat mungkin untuk menemukan kembali arlojinya. Sambil mengeluh mempersalahkan keteledoran diri sendiri si tukang kayu itu membongkar tumpukan serbuk yang tinggi
itu. Teman-teman pekerja yang lain juga turut membantu mencarinya. Namun sia-sia saja. Arloji kesayangan itu tetap tak ditemukan.
Tibalah saat makan siang. Para pekerja serta pemilik arloji tersebut dengan semangat yang lesu meninggalkan bengkel kayu tersebut. Saat itu seorang anak yang sejak tadi memperhatikan mereka mencari arloji itu, datang mendekati tumpukan serbuk kayu tersebut. Ia menjongkok dan mencari. Tak berapa lama berselang ia telah menemukan kembali arloji kesayangan si tukang kayu tersebut. Tentu si tukang kayu itu amat gembira. Namun ia juga heran, karena sebelumnya banyak orang telah membongkar tumpukan serbuk namun sia-sia. Tapi anak ini cuma seorang diri saja, dan berhasil menemukan arloji itu. "Bagaimana caranya engkau mencari arloji ini ?",
tanya si tukang kayu.
"Saya hanya duduk secara tenang di lantai. Dalam
keheningan itu saya bisa mendengar bunyi tik-tak,
tik-tak. Dengan itu saya tahu di mana arloji itu
berada", jawab anak itu.
Keheningan adalah pekerjaan rumah yang paling sulit diselesaikan selama hidup. Sering secara tidak sadar kita terjerumus dalam seribu satu macam 'kesibukan dan kegaduhan'. Ada baiknya kita menenangkan diri kita terlebih dahulu sebelum mulai melangkah menghadapi setiap permasalahan.
"Segenggam ketenangan lebih baik dari pada dua
genggam jerih payah dan usaha menjaring angin."
Setelah semuanya penuh, dibawanya ke gubug mungilnya untu k disimpan disana. Kucuran uang terus mengalir sementara si petani mengisi semua karungnya, seluruh tempayannya, bahkan mengisi penuh rumahnya.
Masih kurang! Dia menggali sebuah lubang besar untuk menimbun emasnya. Belum cukup, dia membiarkan mata air itu terus mengalir hingga akhirnya petani itu mati tertimbun bersama ketamakannya karena dia tak pernah bisa berkata cukup.
Kata yang paling sulit diucapkan oleh manusia
barangkali adalah kata "cukup".
fenomenal “menemukan” benua Amerika, berbagai
penghargaan dan penghormatan datang melimpahinya. Namanya tenar dan perjalanannya
menjadi pembicaraan di mana-mana. Walaupun
banyak orang yang mengakui pekerjaannya sebagai sebuah prestasi, ternyata tidak semua orang dapat mengapresiasi dan menerima penghargaan yang diberikan atas kepeloporan Columbus. Apapun motif yang ada di benaknya, mereka senantiasa mencela Columbus. “Ah, kalau cuma melakukan perjalanan seperti itu aku juga bisa, cuma aku saja yang nggak mau,” kata mereka.
Mendengar kata-kata miring yang ditujukan kepadanya, Columbus mendatangi mereka sambil membawa sebutir telur. Katanya, “Kalau kamu
memang bisa melakukan seperti yang aku lakukan,
sekarang tolong kamu buat supaya telur ini dapat
berdiri tegak pada ujungnya.” Mendapat tantangan Columbus, orang-orang itu satu persatu mencoba memberdirikan telur itu. Semua mencoba dan semua gagal karena telur itu selalu terguling setiap dicoba untuk diletakkan pada posisi berdiri. Setelah berulang-ulang mencoba dan gagal, akhirnya mereka menyerah. “Kalau kalian menyerah, maka aku akan tunjukkan kepada kalian bagaimana membuat telur itu dapat berdiri di meja, ” kata Columbus.
Maka diambilnya telur itu, lalu diletakkannya dengan keras di meja sehingga bagian bawahnya retak. Dan telur itupun dapat berdiri di atas meja. Melihat telur dapat berdiri di meja tapi dilakukan
dengan cara seperti itu, orang-orang kemudian
protes. “Kalau caranya seperti itu, kami semua juga
dapat membuat telur itu berdiri di atas meja.” “Kalau kamu dapat melakukan seperti yang aku
lakukan, mengapa kamu tidak melakukannya sejak
tadi..?”
Kalau tidak berhati-hati menjalani keseharian, kita
bisa jatuh pada sikap seperti orang-orang yang
mencela Columbus; meremehkan sebuah prestasi
hanya karena menganggap diri kita bisa melakukan hal yang sama. Yang kadang kita lupa dan sering abaikan, “merasa bisa” dan “terbukti bisa” adalah dua hal yang berbeda.
Baratayuda! Bukan pula perang Teluk! Perang itu
terjadi antara bangsa burung melawan bangsa
binatang buas. Saat pertempuran fajar hari itu,
burung-burung nyaris kalah. Lalu kelelawar melihat
gelagat bahwa mereka akan kalah total. Ia menjauh dan bersembunyi di balik pohon, dan berdiam diri hingga pertempuran itu berakhir. Lalu binatang-binatang buas meninggalkan medan
pertempuran, dan kelelawar ikut bergabung bersama mereka!
Setelah beberapa saat para binatang buas
itu saling bertanya, “Lho, bukankah kelelawar itu
termasuk burung yang bertempur melawan kita?” Percakapan itu didengar kelelawar, ia pun berkata,
“Oh, tidak. Aku termasuk bangsa kalian. Aku bukan
bangsa burung. Apa kalian pernah melihat burung
bergigi ganda? Kalian bisa periksa mulut burung-
burung itu, pasti tidak ada yang bergigi ganda. Kalau kalian bisa menemukan seekor burung saja yang bergigi ganda, maka aku boleh kalian tuduh sebagai burung. Tapi, kalau tidak, itu artinya aku adalah sebangsa dengan kalian, binatang buas!” Binatang-binatang buas terdiam. Dibiarkanlah
kelelawar hidup di perkampungan mereka.
Perang sempat jeda, sampai akhirnya tiba-tiba bangsa burung menyerbu perkampungan binatang buas. Binatang-binatang buas itu kalang kabut.
Pertempuran itu berlangsung tak lama. Kelelawar hanya menyaksikan pertempuran itu dari balik
ranting-ranting pohon. Berakhirlah perang itu dengan kemenangan bangsa burung! Dan, kelelawar ikut pulang ke perkampungan bangsa burung. Saat para burung melihatnya, mereka menegur kelelawar, “Hai, kamu itu musuh kami. Kami melihat engkau bersama binatang buas itu dan ikut melawan kami!” “Tidak, kalian salah lihat!” kelelawar mengelak. “Aku ini bangsa kalian. Apa kalian buta dengan mengatakan aku sebagai binatang buas? Apakah kalian pernah melihat seekor binatang buas memiliki sayap? Temukan seekor yang bersayap, baru kalian bisa tuduh aku si binatang buas!” gertak kelelawar. Burung-burung tak lagi berkicau, mereka diam dan membiarkan kelelawar membuat sarangnya berdampingan dengan mereka. Tak ada perang yang tak berakhir! Pepatah itu ternyata berlaku untuk kedua bangsa binatang itu. Mereka berdamai dan sepakat mendirikan Persatuan Bangsa Binatang.
Dalam sidang perdana PBB itu, mereka gunakan untuk membahas kelelawar. Setelah sekian banyak prajurit memberikan kesaksian, maka pimpinan sidang PBB berkesimpulan: “Jadi, kelelawar itu selalu berpindah- pindah pihak selama peperangan berlangsung? Siasat kelelawar itu benar-benar menunjukkan bahwa dia itu cacat moral, tercela sebagai binatang. Kelelawar tidak memiliki integritas!”
Sidang PBB pun menjatuhkan vonis kepada kelelawar, “Hai, kelelawar, kami akan kenakan sanksi embargo kepadamu! Mulai sekarang kamu hanya boleh terbang pada malam hari. Kamu tidak akan pernah mempunyai teman, baik mereka yang terbang maupun yang berjalan!” Kelelawar pun tertunduk lesu meratapi nasibnya. Ia tidak pernah menyadari bahwa integritas itu merupakan kekayaan yang bisa dipakai untuk mengatasi kesulitan hidup ini.
itu. Aku mendudukkan Erik di kursi khusus untuk
anak dan mulai memperhatikan orang-orang yang
dengan tenang makan sambil berbincang-bincang. Erik memekik gembira dan berteriak “Halo!”. Dia menepuk-nepukkan tangan bayinya yang montok ke nampan di kursinya. Matanya membelalak gembira dan ia tersenyum lebar memperlihatkan mulutnya yang masih belum bergigi. Dia menggeliat-geliat dan tertawa-tawa kesenangan. Aku melihat ke sekeliling dan segera menemukan sumber kegembiraannya.
Ada seorang pria dengan jas yang compang-camping, kotor, berminyak, dan usang. Dia memakai celana baggy dengan resleting yang setengah terbuka dan jempol kakinya menyembul dari sepatunya yang sudah hampir hancur. Bajunya kotor dan rambutnya yang kotor tidak disisir. Cambangnya terlalu pendek untuk bisa disebut sebagai jenggot, dan hidungnya penuh guratan sehingga tampak seperti peta jalanan. Kami duduk cukup jauh sehingga tidak mencium baunya, tapi aku yakin dia pasti bau sekali. Dia melambaikan dan menggoyang-goyangkan
tangannya. “Halo, sayang. Halo anak pintar. Ciluk
ba!”, dia berkata pada Erik. Suamiku dan aku saling berpandangan, “Apa yang harus kami lakukan?” Erik terus tertawa dan menjawab “Halo, Halo.”
Semua orang di restoran memandangi kami dan pria itu. Orang tua yang aneh sedang mengganggu bayi manisku. Makanan kami datang dan pria itu mulai berteriak dari seberang ruangan. “Kamu tahu kue pastel? Kamu bisa cilukba? Hei, dia bisa ciluk ba.” Tak ada seorangpun yang menganggap pria itu lucu. Menurutku dia pasti mabuk. Suamiku dan aku sangat malu. Kami makan dengan diam, kecuali si Erik, yang mulai menyanyikan semua lagu yang dikenalnya untuk si gembel yang mengaguminya, yang memberikan komentar yang lucu-lucu. Akhirnya kami selesai makan dan beranjak pulang.
Suamiku membayar ke kasir dan menyuruhku
menunggu di tempat parkir. Pria tua itu duduk di antara kami dan pintu keluar. “Tuhan, biarkan aku keluar dari sini sebelum dia sempat berbicara dengan aku atau Erik.” doaku. Saat mendekati pria itu, aku berjalan menyamping untuk menghindari baunya. Saat aku melakukan itu, Erik menyandar pada lenganku dan merentangkan kedua tangannya minta digendong. Sebelum aku
sempat menghentikannya, Erik sudah meronta dari
tanganku dan menuju tangan pria itu. Tiba-tiba, pria tua yang sangat bau dan seorang bayi yang masih kecil mewujudkan rasa sayang mereka. Erik,
dengan penuh kepercayaan, sayang, dan pasrah
merebahkan kepalanya yang mungil ke atas pundak pria itu. Mata pria itu terpejam dan aku bisa melihat air mata menggenang di bawah bulu matanya. Tangan tuanya yang kotor dan penuh tanda-tanda kepenatan karena terlalu sering dipakai untuk bekerja keras, dengan lembut, sangat lembut menimang bayiku dan mengelus punggungnya.
Belum pernah ada dua insan yang dapat menyayangi dengan begitu dalam hanya dalam waktu sesingkat itu. Aku terpaku. Pria tua itu menggoyang dan menimang Erik di pelukannya selama beberapa saat, dan kemudian matanya terbuka dan memandangku dalam-dalam. Dia berkata dengan tegas, “Jaga bayi ini dengan
baik.” Kerongkonganku bagai tersumbat batu. Entah bagaimana caranya, aku berhasil menjawab, “Baik”. Dia menjauhkan Erik dari dadanya, dengan tak rela, dan berlama-lama, seolah merasakan nyeri yang mendalam. Aku menerima bayiku dan kemudian pria itu berkata, “Tuhan memberkati anda, Nyonya. Anda telah memberiku hadiah Natal.” Aku tidak dapat berkata apapun selain
menggumamkan terima kasih. Dengan memeluk
Erik, aku berlari ke mobil.
Suamiku bertanya kenapa aku menangis sambil memeluk Erik dengan eratnya, dan berkomat-kamit, “Ya Tuhan, Tuhanku, ampunilah aku.” Aku baru saja menyaksikan kasih terpancar melalui
kepolosan seorang anak kecil yang tidak
memandang dosa, tidak menghakimi; seorang anak yang memandang jiwa, dan seorang ibu yang hanya melihat penampilan luar saja. Aku adalah seorang Ibu yang buta, memeluk seorang anak kecil yang dapat melihat.
kedudukannya sebagai rektor diUniversitas
Internasional Columbia dengan alasan merawat
istrinya Muriel yang sakit alzheimer yaitu gangguan
fungsi otak. Muriel sudah seperti bayi,tidak bisa
berbuat apa-apa, bahkan untuk makan,mandi dan buang airpun ia harus dibantu. Robertson
memutuskan untuk merawat istrinya dgn tangannya sendiri,karena Muriel adalah wanita yg sangat istimewa baginya.
Pernah suatu kali ketika Robertson membersihkan
lantai bekas ompol Muriel dan di luar kesadaran,
Muriel malah menyerakkan air seninya sendiri,
sehingga Robertson kehilangan kendali emosinya.
Ia menepis tangan Muriel dan memukul betisnya,
guna menghentikannya. Setelah itu Robertson menyesal dan berkata dalam hatinya, “Apa gunanya saya memukulnya,walaupun tidak keras, tetapi itu cukup mengejutkannya. Selama 44
tahun kami menikah,saya belum pernah menyentuhnya karena marah, namun kini di saat ia
sangat membutuhkan saya, saya memperlakukannya demikian. Ampuni saya, ya Tuhan.” Tanpa peduli apakah Muriel mengerti atau tidak, Robertson meminta maaf atas hal yang telah
dilakukannya.
Pada tanggal 14 Februari 1995, hari itu adalah hari
istimewa untuk Robertson dan Muriel, karena pada
tanggal itu di tahun 1948, Robertson melamar
Muriel. Pada hari istimewa itu Robertson
memandikan Muriel, lalu menyiapkan makan malam dengan menu kesukaan Muriel.Menjelang tidur ia mencium dan menggenggam tangan Muriel lalu berdoa, “Tuhan yang baik, Engkau mengasihi Muriel lebih dari aku mengasihinya, karena itu jagalah kekasih hatiku ini sepanjang malam dan biarlah ia mendengar nyanyian malaikatMu. Amin.”
Pagi harinya, ketika Robertson berolahraga dengan menggunakan sepeda statisnya,Muriel terbangun dari tidurnya. Ia berusaha untuk mengambil posisi yang nyaman, kemudian melempar senyum manis kepada Robertson. Untuk pertama kalinya setelah selama berbulan-bulan Muriel tidak pernah berbicara, memanggil Robertson dengan suara yang lembut dan bening, “Sayangku … sayangku …” Robertson melompat dari sepedanya dan segera memeluk wanita yang sangat dikasihinya itu. “Sayangku, kau benar2 mencintaiku bukan ?” tanya Muriel. Setelah melihat anggukan dan senyum diwajah Robertson, Muriel berbisik, “Aku bahagia !” Itulah kata-kata terakhir yang diucapkan Muriel kepada Robertson.