It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
ntar buka, lanjut baca lagi.. tandai dulu :P
balas berbalas puisi gitu ih ih ih ♡♥
jadian donk jadian~ ;;)
te amo
@callme_DIAZ
@ramadhani_rizky
@hananta
@mustaja84465148
@haha5
@waisamru
@caetsith
@angga_rafael2
@nakashima
@aries18
@san1204
@adam25
@bayumukti
@farizpratama7
@rizky_27
@fends
@eldurion
@Tsu_no_YanYan
@arieat
@YANS FILAN
@beepe
@MikeAurellio
@Shishunki
@3ll0
@agova
@Gabriel_Valiant
@leviostorm
@kimo_chie
@Dimz
@blackshappire
@Agova
@just_Pj
@Dhika_smg
@arieat
@boljugg
@siapacoba
@Edmun_shreek
@The_jack19
@WYATB
@bonanza
@Zazu_faghag
@4ndh0
@yo_sap89
@nand4s1m4
@d_cetya
@Ray_Ryo
@icha_fujo
@elul
@Zhar12
@Anju_V
@hehe_adadeh
@aicasukakonde
@amira_fujoshi
@anohito
@admmx01
@adam25
@touch
@meong_meong
@YSutrisno
@ardi_cukup
@angelsndemons
@Cowoq_Calm
@eswetod
@line
@kikyo
@Bintang96
@haha5
@hiruma
@Soni_Saja
@kikyo
@san1204
@andre_patiatama
@Dhika_smg
@dafaZartin
@MikeAurellio
@dimasalf
@Akukamukita
@Lenoil
@FransLeonardy_FL
@reenoreno
@zeva_21
@TigerGirlz
@alfa_centaury
@eizanki
@alvaredza
@ardi_cukup
@9gags
@Adityashidqi
@hananta
@Gabriel_Valiant
@abiDoANk
@Zhar12
@d_cetya
@sasadara
@boy_filippo
@3ll0
@Tsu_no_YanYan
@eizanki
@Fikh_r
@tarry
@4ndh0
@Just_PJ
@adamy
@GeryYaoibot95
@Fuumareicchi
@haha5
@doel7
@kikyo
@Ananda_Ades
@AkhmadZo
@Yohan_Pratama
@Dityadrew2
@diditwahyudicom1
@eka_januartan
@tarry
@EllaWiffe10
@Needu
@andi_andee
@cloudsquirrel
::::::::::::Inilah Cinta!::::::::::::
Bogor, Januari-Juni 2001
(Kelas 3 SMP)
Sejak SD kelas 5, aku sudah gemar menulis catatan harian pada buku agendaku. Jadi segala kejadian yang pernah kualami dalam hidupku tertulis rapi dalam agenda tersebut. Setiap aku membaca kembali catatan-catatan peristiwa itu, akan terbayang kembali dengan sangat jelas, detail, dan runut dalam ingatanku. Oleh karena itu semua kenanganku itu dapat kutuliskan di sini secara terperinci. Bersyukurlah aku memiliki daya ingat yang begitu kuat sehingga semua dapat kupaparkan sebagaimana mestinya.
Di saat-saat aku dan teman-temanku gencar-gencarnya sibuk menyiapkan ujian kelulusan atau EBTANAS, para siswi di kelasku gempar oleh kehadiran guru baru di ruang sebelah. Kelasku bersebelahan dengan ruang lab komputer. Adalah Pak Asman, guru baru yang tiba-tiba menjadi sosok idola di sekolahku. Genk borju yang diketuai oleh Nia mendadak berubah haluan dari yang semula mengidolakan Adit, beralih mengidolakan Pak Asman. Aku sangat terkejut melihat paras tampan guru baruku itu. Beliau sangat mirip dengan Om Kasmin, mantan pacar mama yang mama tinggalkan begitu saja sepuluh tahun lalu. Belakangan tersiar kabar kata Bibi Laela yang pernah bertemu dengannya, katanya Om Kasmin membuka usaha toko kain di Tanah Abang, Jakarta. Dia masih tetap membujang karena terus menantikan mama. Berulang kali kakaknya mendesaknya untuk segera menikah, namun jawabannya selalu, "Aku tidak akan menikah selain dengan Iis!" Aku sungguh terperangah mendengar penuturan cerita Bibi Laela. Andai saja aku bisa membujuk mama untuk kembali kepada Om Kasmin, sayangnya itu tidak dapat kulakukan karena mama masih terkenang akan almarhum papa. Di luar sepengetahuanku rupanya mama sering bertemu dengan Om Kasmin saat aku sedang tidak ada di rumah. Mama selalu berbohong padanya bahwa papa masih ada agar Om Kasmin pergi menjauhinya. Lantas Om Kasmin bertekad, sampai matipun tidak akan pernah menikah selain dengan mama. Cinta... Oh, cinta. Sekuat itukah cinta Om Kasmin kepada mama?
Selvi, Hikmah, dan Karina para pengikut genknya Nia mulai menghindari Adit semenjak kedatangan Pak Asman di sekolah kami. Bagaimana tidak tergila-gila, penampilan Pak Asman lebih pantas menjadi seorang eksekutif muda dibandingkan menjadi seorang guru. Gaya berpenampilannya senantiasa memakai kemeja berlengan panjang, dan terkadang dipadu dengan dasi membuatnya terlihat sangat rapi dan ganteng. Kalau kubandingkan beliau dengan Ary, menurutku mereka berdua sama-sama memiliki tampang yang sama keren. Bedanya, hanya usia saja. Jika Pak Asman termasuk kategori dewasa, maka Ary termasuk kategori remaja.
"Pagi semuanya!" Sapa Adit kepada Selvi, Hikmah, dan Karina yang sedang berdiri di balkon mengecengi para siswa yang sedang melintas di lantai bawah seberang.
Ketiga gadis itu tak menyahut.
"Gie, hari ini bawa apa?" Tanya Adit padaku.
"Hari ini ada pastel kentang, dan bihun udang!" Jawabku menunjukkan plastik daganganku.
"Yayang Selvi, beliin gue donk!" Suara Adit terdengar manja.
Selvi tak menggubris.
"Yah, kok diam?" Adit menyentuh lengan gadis berambut panjang sepinggang itu.
"Iih, apa sih pegang-pegang?" Selvi menepis tangan Adit.
"Hem, ya udah. Yayang Karina aja yang beliin gue pastel, ya?" Adit pun membujuk Karina.
Namun sayang gadis berkarang di dagu itupun bersikap cuek padanya.
"Nah, pasti yayang Hikmah ya, yang mau traktir gue bihun udang?" Adit menggoda gadis berkulit hitam manis.
"Dasar cowok kere, sukanya morotin cewek tajir!" Umpat Hikmah dengan tampang bete.
Adit tertegun mendengar ucapan Hikmah. Ia sama sekali tak menyangka kalau para gadis itu mulai berusaha melupakannya.
"Gak usah ketus gitu kalee! Biasanya juga kalian yang suka maen traktir gue. Kalau emang udah gak suka lagi sama gue ya udah, gue juga bisa kok beli sendiri!" Adit benar-benar tersinggung kepada Hikmah.
"Gie, beli pastel kentangnya Rp20.000,00!" Kata Adit menyodorkan dua lembar uang sepuluh ribuan.
"Ya Allah, Dit, banyak amat. Mau lu habisin sendiri?" Mataku terbeliak, buru-buru kusiapkan pesanan Adit.
"Ini Dit!" Kataku.
"Thanks ya, Gie!" Adit meraih bungkusan jajanannya.
"Siapa yang mau?" Teriak Adit ke seisi kelas.
"Eh, mau, mau, donk!" Sahut para anak lelaki berebut.
"Siapa yang kere?" Sungut Adit sengaja menyindir Hikmah.
"Nah, itu dia! Pak Asman sudah datang!" Sorak Karina girang.
"Mana? Mana?" Selvi dan Hikmah celingak-celinguk mencarinya.
Buru-buru mereka berdandan secantik mungkin. Selvi mengeluarkan cermin dari dalam tasnya. Ia menyisir rambutnya yang diikat menggunakan pita karet. Hikmah merapikan bedak yang dipupuri di wajahnya. Sementara Karina mempertebal lipgloss yang dipakai di bibirnya.
"Bapak...." Sapa mereka serempak begitu Pak Asman melintas di depan kelas kami.
"Pak, kami boleh maen komputer di lab kan? Mumpung belum bel masuk, kami mau minta diajarin yang kemarin Bapak terangkan. Bisa kan Pak?" Selvi mengarang-ngarang cerita agar ia bisa dekat dengan idola barunya.
"Oya Pak, aku bikin kue bolu lho untuk Bapak!" Karina tak mau kalah mencuri perhatian.
"Nanti siang kalau Bapak capek ngajar, biar Hikmah pijitin ya Pak? Hikmah jago lho Pak, soal pijit-memijit!" Hikmah turut agresif.
"Dasar ganjen! Dulu aja gue dipuja-puja, dikejar-kejar ke manapun gue pergi. Sekarang aja, mentang-mentang ada barang baru, gue ditinggalin. Habis manis sepah dibuang. Emangnya gue tebu apa?" Rutuk Adit kesal sambil duduk di sebelahku.
"Yang sabar ya, Dit!" Aku menyemangatinya.
"Pagi semua!" Sapa Nia yang baru datang di ambang pintu.
"Pagi miskin!" Sapanya lagi padaku.
"Yang sabar ya, Gie!" Adit menepuk pundakku.
"Jualan apa hari ini lu?" Nia mengamati daganganku.
"Nih, gue beli bihun udangnya 4, sama pastelnya 6. Kembaliannya ambil aja buat lu semuanya! Kasihan sih, biar dikasih kembalian juga gak bakal cepat kaya!" Nia menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan padaku.
"Gue gak perlu belas kasihan, kok! Biar nanti kembalian lu ini gue masukin ke kotak amal mesjid sekolah. Semoga amal ibadah lu diterima Allah subhanawata'alla," kataku senewen.
"Terserah lu aja deh, kalo gitu. Mau dikasih ke pengemis juga boleh!" Ucap Nia asal, pandangannya mencari-cari sosok ketiga teman genknya.
Saat jam pelajaran tiba, kami semua turun ke lapangan untuk mengikuti ujian praktek penjas. Para anak laki-laki berganti seragam olah raga di toilet sekolah yang ada di dekat mesjid. Sedangkan para anak perempuan berganti seragam di dalam kelas.
Letak toilet sekolah berada persis di sebelah kelas Ary. Dan ketika melintas di depan kelasnya, aku melihat Pak Yusuf sedang mengajar Matematika di kelas Ary, kelas 3-F. Perhatian Ary tertuju padaku. Ia tahu kalau hari ini aku sedang ujian praktek penjas. Ia memberi isyarat padaku agar aku selalu semangat saat menjalani tes.
Tiba-tiba Ary berdiri menghadap ke arahku dari balik jendela kelasnya. "Jalan lupa berdoa ya!" Teriak Ary lantang.
TUK!
Sebatang kapur telah mengenai kepalanya.
"Huuuuu..." Seisi kelas menyorakinya.
Ia tidak ingat kalau Pak Yusuf sedang berada di kelasnya.
"Kamu kalau tidak mau mengikuti pelajaran saya, silakan keluar!" Tegur Pak Yusuf tegas.
"Maaf Pak, saya refleks tadi!" Ary menunduk malu.
Aku tertawa cekikikan melihat tingkahnya. Kasihan juga Ary. Untunglah Pak Yusuf tidak jadi mengusirnya dari kelas. Ary kembali fokus terhadap pelajarannya.
Saat aku masuk ke dalam toilet, semua bilik sudah penuh terisi. Terpaksa aku harus mengantri. Di saat aku sedang menunggu, tiba-tiba aku mendengar sebuah suara memanggilku.
"Sst... Sst... Gie! Ugie, sini!" Panggil suara dari dalam bilik.
Kuhampiri bilik toilet yang sedang terbuka itu.
"Novan?" Aku memekik.
Tanpa basa-basi, Novan langsung menarik tubuhku masuk ke dalam bilik toilet bersamanya.
"Mau ngerokok gak, Gie?" Novan mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam saku celananya.
"Sorry, gue gak ngerokok!" Aku menolak tawarannya.
"Payah lu, ah! Sok alim!" Katanya meledekku.
"Biarin!" Balasku cuek.
"Lu mau ganti baju ya? Bareng gue aja yuk! Pagi ini kelas kita ujian prakteknya bareng kan?" Novan menanggalkan kemeja seragam yang dikenakannya.
GLEKH!
Kutelan air liurku di kerongkongan. Tubuh Novan benar-benar seksi, putih mulus dan indah. Tidak menyesal aku sering berkhayal bercinta dengannya saat aku pertama mengenalnya dulu. Aku jadi teringat ketika aku mulai mengenalnya di kelas 2 dulu.
Flashback 1 tahun lalu...
"Gie, daripada baca komik di situ mending gabung sama kita!" Ajak Teguh yang sedang berlatih basket di lapangan.
Hari itu aku sengaja menungguinya karena aku ingin pulang bareng dengannya. Rencananya setelah Teguh selesai latihan basket nanti, kami berdua akan pergi ke Toko Buku 88 untuk membeli sejumlah peralatan tulis yang kami perlukan. Cuaca siang itu cukup teduh. Sambil menunggui Teguh yang sedang latihan, aku duduk-duduk di tangga depan kelasku yang menghadap ke lapangan. Kubaca sebuah komik Detektif Conan yang baru saja kubeli kemarin sore di Gramedia Baranang Siang.
Di tengah asyiknya membaca komik, tiba-tiba saja...
DUENG!
"Anjrit, sakit banget!" Wajahku terkena lemparan bola.
Aku pikir pasti Teguh yang sengaja melempar bolanya ke arahku. Kacamataku sampai terjatuh ke atas buku komik di pangkuanku. Untunglah tidak sampai ke lantai, mungkin bisa pecah.
"Sorry! Sorry! Gak sengaja!" Lelaki itu menghampiriku.
Aku meringis kesakitan. Teguh, Ule, dan Adit turut menghampiriku.
"Ah elu Van, gimana sih? Si Ugie mukanya sampai merah tuh!" Ule mencak-mencak kepada anak laki-laki yang telah salah melempar bola ke arahku.
"Sakit ya?" Tanya anak laki-laki itu menyentuh pipiku.
Di saat itulah aku menatap wajah si anak pelempar bola. Rasa sakit yang tadi kurasakan mendadak berubah jadi sejuk karena sentuhan tangannya di pipiku.
"Tuhan, cowok ini cakep banget!" Gumamku dalam hati.
"Ng... Enggak apa-apa kok! Gak apa-apa!" Aku menjadi kikuk.
"Yakin enggak apa-apa? Mau kuantar ke UKS?" Tawarnya.
"Nggak usah!" Tolakku halus. "Cuma kena bola aja!"
"Besok-besok, muka kamu aja nabrak bibir aku!" Racauku dalam hati.
Aku pikir Adit, Teguh, dan Makbul saja para lelaki yang patut diidolakan di sekolah. Nyatanya hari ini aku menemukan bidadara keren yang super ganteng dan kalem. Tatapan matanya teduh dan memabukkan.
"Mengapa aku baru bertemu dengannya hari ini? Helloooo... Ke mana saja aku selama ini? Sampai ada cowok seganteng ini di sekolahku pun aku tidak tahu?" Rutukku pada diriku sendiri.
"Syukurlah kalo lu nggak apa-apa! Yuk, kita main lagi!" Teguh turun kembali ke lapangan.
Ule dan Adit menyusul di belakangnya.
"Kalian lanjutin aja maennya! Gue mau istirahat!" Teriak si lelaki ganteng tadi.
"Nama lu Ugie, kan?" Katanya menoleh padaku dan duduk di sampingku.
"Itu nama panggilan akrabku!" Kataku menjelaskan.
"Gue boleh donk, manggil Ugie juga?" Tanyanya.
"Eerrr... Boleh!" Jawabku gugup.
Rasanya hatiku jadi kebat-kebit, lelaki ini malah semakin mepet ke sebelahku. Perlu kuakui anak lelaki ini lebih keren daripada Adit, meskipun tubuhnya tidak seatletis tubuh Makbul yang super gagah.
"Kenalin, gue Novan! Anak kelas 2-C!" Ia menyodorkan tangannya.
"Sugih!" Ucapku menyebutkan namaku.
"Udah tahu! Lu anak kelas 2-A kan? Dulu waktu kelas 1, kelas lu 1-I kan?" Timpalnya penuh percaya diri.
"Kok tahu?" Aku bengong menatapnya.
"Siapa sih yang nggak kenal sama lu di sekolah ini?" Ucapnya tersengih.
Wah, wah, berasa jadi seleb dikatakan demikian.
"Hari gini masih baca komik ginian?" Novan membalikkan komik yang sedang kubaca.
"Bagusan komik gua! Lu mau baca?" Tawarnya lagi.
Lalu ia meraih tasnya yang terletak tidak jauh dari tempatku duduk.
"Nih, komik super keren!" Katanya memamerkan.
Kuamati komik-komik yang diserahkannya padaku. Aku terlonjak melihat gambar-gambar dalam komik tersebut. Ternyata komik-komik itu adalah komik hentai. Isinya adegan sex semua.
"Dari mana lu dapat komik-komik seperti ini?" Tanyaku penuh rasa heran.
Dialog dalam komik tersebut menggunakan Bahasa Indonesia. Tetapi bagaimana bisa komik-komik seperti itu diterbitkan di negara ini?
"Sst... Ini rahasia kita berdua ya! Gue membelinya di Pasar Glodok!" Kata Novan setengah berbisik.
"Gimana, mau baca nggak?" Tawarnya lagi.
Aku ragu. Sebenarnya aku sangat ingin membacanya, tetapi aku malu mengutarakannya.
"Dasar alim! Nih, gue pinjemin selama satu minggu!" Tiba-tiba saja ia meraih tasku dan memasukkan komik-komik itu ke dalam tasku.
"Kalo suka, entar gue kasih pinjam komik yang lain!" Tawarnya sekali lagi.
Tampangnya kalem tapi kelakuannya kok melenceng ya? Aku geleng-geleng sendiri. Tapi sejak perkenalan hari itu dengannya, benar-benar menambah daftar baru fantasi percintaanku. Bila biasanya aku memimpikan Adit atau Makbul, maka Novan menjadi jagoan baru yang sering kuimpi-impikan. (www.astagfirullahaladzim.com)
End of Flashback...
"Woy, lu kok bengong?" Novan mengejutkanku.
"Astagfirullah!" Aku beristigfar.
"Mau gue bukain?" Novan melucuti kancing-kancing kemeja seragamku.
Sebenarnya aku sudah memakai baju dobel dari rumah. Hanya tinggal melepas kemeja seragam saja.
Novan masih belum mengenakan kaus olah raganya, tetapi ia sudah mengenakan celana trainingnya. Tadi aku sempat melihatnya full hanya mengenakan sempak dan singlet. Novan benar-benar seksi.
Diamatinya jam di pergelangan tangannya, "Masih sepuluh menit, Gie! Ngocok dulu, yuk!"
Tanpa malu-malu Novan langsung menurunkan celananya hingga mencapai lutut. Dikeluarkanlah si Buyung dari dalam sempak yang dipakainya. Wow, benar-benar panjang! Mulutku pun ternganga.
Mataku sukses terbeliak.
"Novan!" Desisku pelan.
"Gue kan dah janji mau ngajarin elu, cepat keluarin!" Novan pun menurunkan celana training yang baru saja kupakai.
Entah setan apa yang merasuki pikiranku, aku tak kuasa menolak segala yang dilakukan Novan terhadapku. Kami berdua saling membungkam agar tidak mendesah dan ketahuan orang lain. Selang 5 menit berlalu, kami sudah tuntas melakukannya. Novan telah mengajariku sesuatu yang tak seharusnya kupelajari. Aku bahkan berhasil melupakan Ary selama sepuluh menit di dalam bilik WC bersama Novan.
"Entar kalo lu maen ke rumah gue, gue ajarin yang belum pernah elu rasain!" Janji Novan begitu kami keluar dari toilet.
Kami memang bukan habis bercinta. Kami hanya berbagi mengenai masalah laki-laki. Jadi, aku merasa tidak mengkhianati Ary sama sekali. Apa itu salah? Segera kami berlari menuju lapangan karena mendengar suara peluit yang ditiupkan oleh Pak Ramedy guru penjas kami.
Begitu ujian praktek selesai, buru-buru aku berlari ke dalam kelas untuk mengambil botol minuman di dalam tas sebelum para anak perempuan mengambil alih ruangan untuk kembali berganti pakaian. Setibanya di depan kelas kuurungkan niatku untuk mengambil minuman di dalam kelas. Kudengar suara dua orang perempuan tengah membicarakan sesuatu.
"Sampai kapan sih Vi, lu bakal nolak gue?" Itu kan suara Tresya, anak yang minggu lalu mengaku lesbian padaku. "Gue tuh cinta mati sama elu!"
"Tres, please jangan pernah deketin gue lagi! Gue gak bisa nerima elu. Gue takut dosa! Tolong jangan paksa gue karena gue gak bakal pernah mau nerima elu!" Sangat jelas sekali kali ini adalah suara Selvi.
"Gue yakin Vi, lu pasti bisa mencintai gue!" Tresya terus mendesak.
"Kalo lu sampai maksa gue terus buat nerima cinta elu, gue gak akan segan-segan laporin lu sama semua guru dan kepala sekolah!" Ancam Selvi dengan suara menggelegar.
"Gue gak peduli!" Tegas Tresya.
BRAK!
Pintu kelas pun dibanting sangat keras. Terlihat Selvi berlari ketakutan. Kami sempat berpapasan. Selvi berhenti sejenak menatapku sekilas. Kemudian ia kembali berlari sambil menutupi kedua bibirnya.
"SELVI!" Teriak Tresya mengejarnya di belakang.
Tresya memandangiku. Buru-buru aku masuk ke dalam kelas dan mengambil botol minumanku. Dan setelahnya aku segera bergegas turun hendak berganti seragam kembali.
Saat itulah kulihat Meta berjalan tergopoh-gopoh menghampiri Tresya. "Tresya! Sia dinaonkeun si Selvi nepi ka ceurik kitu?" (Kamu apakan si Selvi sampai menangis gitu?) Hardik Meta kalap.
Tresya menggeleng acuh tak acuh, "Gak diapa-apain!"
"Katanya dicium?" Bibir Meta sampai monyong-monyong mengucapkan kalimat pertanyaannya.
"He-eh!" Tresya mengangguk.
"Dasar lesbi sia! Gak sangka gue punya temen kaya lu! Lu kalo pengen ciuman, tuh ciuman aja sana sama tembok!" Meta mendorong kepala Tresya dengan ujung telunjuknya.
"Cium tuh tahi di WC! Orang kaya elu mah biang penyakit! Mulai sekarang lu jangan duduk lagi sama gue! Gue jijik sama lu!" Tandasnya lagi sambil mengambil tas milik Tresya dari laci meja yang kemudian dilemparnya keluar.
"Kurangajar lu, Met! Lu pikir gue gak berani sama lu?" Tresya menggulung lengan seragam olah raganya.
"Hayoh sia gelut jeung aing!" (Ayo kamu kelahi sama aku!) Meta semakin berang.
Suasana mendadak tegang. Para anak perempuan mulai berdatangan. Tidak terkecuali para anak lelaki pun mulai ikut menonton.
"Ayo, ayo, seribu, seribu, buat yang milih Meta!" Ule mulai berkoar mengajak para anak lelaki untuk bertaruh.
"Gue berani lima ribu!" Kata salah seorang teman.
"Gue sepuluh ribu!" Yang lain tak mau kalah.
"Gue seratus ribu!" Tak diduga perkelahian Meta dan Tresya telah menjadi ajang perjudian.
Acara perkelahian dua manusia betina itupun telah mencapai tahap jambak-menjambak rambut, cakar-mencakar wajah, tonjok-menonjok perut, sampai tendang-menendang 'mei-mei' masing-masing.
"Meta! Meta! Meta!" Para anak lelaki memberi dukungan.
"Tresya! Lawan Tres!" Seru anak-anak lelaki yang mendukung Tresya.
"Hajar Met!" Para anak perempuan tak mau kalah bersorak.
"Tangkis Tres!" Sorak yang lain.
Suasana mendadak ricuh. Orang-orang berjubelan ingin menyaksikan perkelahian tersebut. Tampaknya Meta mendominasi kemenangan. Beberapa kali serangan Tresya berhasil dipatahkan. Meta bahkan berhasil menonjok hidung Tresya sampai berdarah. Tresya pun mengerang kesakitan. Namun ia tak mau kalah begitu saja kepada Meta. Berulang kali ia membenturkan kepala Meta ke dinding hingga Meta memekik.
"Adow, sia, sirah aing nyeri, goblog!" (Adaw, kamu ini, kepalaku sakit, goblok!) Kata Meta melontarkan cacian-cacian kasar.
"Fuck you, bitch!" Cerca Meta lagi.
Para guru dari ruang lab komputer sebelah pun berdatangan mencoba melerai. Namun keduanya sangat sulit dipisahkan. Pak Asman guru baru yang menjadi idola para murid di kelasku pun turut kena tonjok saat berusaha menarik Meta dari pergumulan tersebut. Sampai akhirnya para guru komputer yang ketakutan itupun meminta kami para murid lelaki untuk memanggilkan Pak Fadil, guru yang terkenal paling garang seantero sekolah.
"Tolong panggilkan Pak Fadil! Suruh ke sini secepatnya!" Teriak salah seorang guru komputer kepada kami yang berdiri di ambang pintu.
Hanya dalam hitungan menit Pak Fadil telah berada di tempat kami. Kupikir beliau akan berusaha melerai dua anak manusia yang saling melukai itu. Nyatanya beliau datang membawakan dua buah tongkat pemukul kasti untuk diserahkan kepada mereka masing-masing.
"Pak Asman, tolong siapkan dua buah peti mati untuk mereka berdua!" Titah Pak Fadil tegas.
"Siap!" Sahut Pak Asman lugas.
"Ayo, pukul satu sama lain! Pecahkan kepalanya!" Seru Pak Fadil menjadi wasit di antara mereka berdua.
PRIIIIIIIT!
Pak Fadil pun meniup peluit untuk mereka. Tak satupun bergerak untuk mulai memukul. Tresya dan Meta saling terdiam, tak ada yang berani memulai duluan.
"Laki-laki mana lagi yang kalian rebutkan kali ini?" Tanya Pak Fadil mengadili mereka.
"Si Adit? Si Ule? Si Dean? Si Devan? Si Novan? Si Teguh? Si Makbul?" Pak Fadil menyebutkan satu-persatu para siswa idola angkatanku.
Wah, Pak Fadil menyebutkan semua lelaki tipe kesukaanku, terkecuali Ule yang tidak termasuk kriteriaku.
"Atau si Ary murid baru yang pindahan dari Filipina itu?" Ucap Pak Fadil lagi menatap mereka satu-persatu.
JLEG!
Di saat yang bersamaan pangeran tampanku itu telah berdiri di sampingku. Mulutnya melongo tatkala mendengar Pak Fadil menyebutkan namanya. Anak-anak kelas bawah berdatangan ke kelasku ingin menyaksikan kehebohan yang terjadi. Waduh, Pak Fadil... Kenapa Ary disebutkan juga? Bikin aku sebal mendengarnya. Kok beliau tahu semua ya, anak laki-laki yang diidolakan para kaum perempuan di sekolah? Pasti beliau sering menonton Cek dan Ricek! (Wew, nggak nyambung!)
Tresya dan Meta terdiam saling bungkam. Mata Tresya berulang kali melirik tajam ke arah Meta. Pun demikian pula dengan halnya Meta. Ia terus melotot ke arah Tresya. Seakan sedang saling mengancam dengan isyarat tatapan mata masing-masing.
"Awas lu ngatain gue lesbi ke Pak Fadil, gue robek 'mei-mei' lu!" Mungkin begitu ancam Tresya kepada Meta melalui tatapan matanya.
"Gue sih tinggal bilang aja ke Pak Fadil kalo lu itu lesbi!" Mungkin itu pula jawaban Meta kepada Tresya dengan isyarat yang sama.
"Oke, berani lu ngaduin gue ke Pak Fadil, tinggal gue aduin elu sekalian kalo elu pernah ngelempar penghapus ke bokong istrinya! Biar tahu rasa lu digampar sama Pak Fadil!" Balas Tresya lagi masih dengan tatapan yang sama.
Secara kebetulan istri Pak Fadil adalah seorang guru juga yang mengajar Bahasa Indonesia di sekolah kami. Nama beliau adalah Bu Heni, dan mengajar di kelasku. Pasangan suami-istri ini sangat ditakuti oleh para siswa seantero sekolah karena kegarangan tampangnya. Mungkin karena tubuh mereka berdua sangat gemuk dan memiliki sorot mata yang tajam, pasangan guru suami-istri tersebut dinilai menakutkan oleh para siswa di sekolah. Namun sebenarnya mereka berdua sangat baik. Terbukti dari nilai rapor yang diberikan kepada kami, mereka berdua tidak pernah pelit nilai kepada murid-muridnya.
"Saya atas nama guru BK, akan memberikan skorsing kepada kalian berdua karena telah melanggar tata tertib dan ketenteraman di sekolah!" Tegas Pak Fadil begitu keduanya tak ada yang saling bicara.
Tugas Pak Fadil di sekolah memang merangkap sebagai guru fak Bahasa Indonesia, sekaligus guru Bimbingan Konseling.
"Pak, Ule jadi bandar judi Pak!" Seru Nia melaporkan perbuatan Ule.
"Masya Allah, mau jadi apa kamu Ule?" Gerutu Pak Fadil menjewer telinga Ule.
"Adaw... Aw, ampun, ampun, Pak!" Ule pun meringis kesakitan.
"Kamu dan teman-temanmu yang berjudi, Bapak hukum menyikat WC sekarang!" Kata Pak Fadil lagi menjatuhkan hukuman.
Tanpa banyak cakap Ule dan sejumlah pengikutnya beranjak turun menjadi Cleaning Service dadakan. Para penonton pun bubar seketika.
"Gie, jajan bakso di kantin yuk!" Ajak Ary menggandeng tanganku.
Ia tidak merasa canggung sama sekali. Tak seorangpun memperhatikan kemesraan kami.
"Tenang, gue yang traktir!" Katanya kemudian.
Aku senang sekali bisa makan berdua dengan Ary di kantin. Bahkan kami saling menyuapi satu sama lain.
"Awas nih, Maradona mau nendang bola ke gawangnya David Beckham!" Ary berancang-ancang memasukkan bakso ke dalam mulutku.
HAP!
Kulahap bakso yang disuapkan Ary ke dalam mulutku. Kemudian Ary pun berseru, "GOOOL!"
Kami memang tidak pernah jadian. Tahu-tahu hubungan kami sudah sejauh layaknya orang berpacaran. Ary senantiasa mengantarku ke manapun aku pergi. Termasuk siaran tiga kali seminggu di RRI. Sejak bertukar album kumpulan puisi minggu lalu, Ary menjadi sangat perhatian padaku. Ke mana aku pergi, Ary pasti mengikuti.
"Ry, kemaren lu pergi ke mana sama Anton dan Ryan?" Selidikku padanya.
"Kapan?" Ary mengernyitkan keningnya.
"Sore! Gue lihat elu jalan sama Ryan dan Anton, pake mobilnya Anton!" Kataku menjawab pertanyaannya.
"Oh, itu. Anton ngajakin kami jalan ke rumah pacarnya," tukas Ary seraya menyeruput es melon dalam gelasnya.
"Kok gue gak diajakin?" Ucapku iri.
"Kami pikir lu pasti sibuk ngajar les di rumah. Iya kan?" Ary menyandarkan tubuhnya ke dinding tempat kami makan.
"Hem..." Gumamku pelan.
"Ry, bisa nggak ya, gue maen bareng lagi sama Ryan? Gue pengen banget kita bisa maen lagi kaya dulu. Maen langit lupa, petak umpet, in line skate, wah pokoknya banyak deh!"
"Kayanya bisa," balas Ary.
"Bilangin donk Ry ke Ryan, masak berteman aja harus pandang bulu! Mentang-mentang gue udah gak tajir lagi, gue disepak gitu aja?" Kataku berkiasan.
"Iya, entar gue bilangin. Si Ryan emang gitu anaknya, sukanya temenan cuma sama anak orang kaya aja!" Tutur Ary padaku.
Kugenggam kepal tangan Ary erat, "Janji ya Ry, bantu gue supaya bisa sahabatan lagi sama Ryan! Gimanapun dia adalah bagian dari masa kecil gue!"
Ary meremas-remas jemari tanganku hangat seraya tersenyum simpul begitu indahnya, "Sorry gua gak bisa janji, tapi gua akan berusaha semampu gua! Ya?"
Kubalas senyumannya semanis mungkin seraya menyandarkan kepalaku di bahunya manja.
***
"Woy, Gie! Kita kapan latihan buat ujian praktek seni musik?" Tanya Akhriza yang duduk di sebelahku.
"Hari Minggu besok gimana?" Kataku balik bertanya.
"Boleh. Di mana?" Tanyanya kemudian.
"Di rumah lu, ya? Alamatnya di mana?" Ucapku memberi keputusan.
"Rumah gue di Loji!"
Aku tersentak mendengar alamat yang disebutkan oleh Akhriza.
"Loji-nya sebelah mana?" Tanyaku penasaran.
"Jalan PRAMUKA!" Ucap Akhriza menyebutkan alamat rumahnya.
"Gak salah? Lu kenal gak sama Azhary anaknya Pak Kasim?" Aku memburunya dengan pertanyaan.
"Itu sih tetangga belakang rumah gue! Lu kenal sama si Azhary?" Akhriza keheranan melihat reaksiku.
"Dia tetangga depan rumah gue pas kami masih kecil!" Kataku menjelaskan. "Wah, kaya apa ya dia sekarang? Udah lama gak ketemu!"
"Anaknya pendiam, sekolah di Insan Kamil. Katanya sih, juara umum. Dia siswa paling pintar di sekolahnya!" Beber Akhriza memberitahuku.
"Wah, hebat banget tuh! Keren ya dia sekolah di Insan Kamil. Pasti alim banget tuh!" Aku berdecak membayangkannya penuh kekaguman.
"Apakah dia masih terlihat ganteng seperti waktu kecil?" Pikiranku berkecamuk.
"Oh ya Za, dari sini kalau mau ke rumah lu naik angkot apa?" Tanyaku meminta petunjuk lokasi rumahnya.
"Dari depan minimarket Mawar, lu naik angkot 05, terus berhenti di pertigaan jalan baru! Dari situ lu naik aja angkot nomor 32! Bilang aja sama supirnya minta turun di Jalan PRAMUKA! Atau bisa juga lu tinggal naik angkot jurusan Leuwiliang dan Ciomas yang lewat jalan baru, di depan Mawar!" Akhriza memberiku petunjuk yang sangat detail.
Akhirnya, setelah 9 tahun tak bertemu, aku akan bertemu kembali dengan si anak De Javu yang mengingatkanku kepada Adi, lelaki yang menjadi cinta pertamaku di masa kecil. Aku sangat penasaran apakah wajah Adi dan Azhary itu benar-benar mirip seperti dugaanku dulu. (Belakangan aku baru menyadari kalau wajah Adi agak mirip dengan aktor Andy Arsyil Rahman, baik dari bentuk wajah, mata, dan tatanan rambut, setelah kami sama-sama dewasa).
Pada hari yang telah dijanjikan, aku sengaja menyempatkan diri untuk bersilaturrahim ke rumah Azhary begitu latihan musikku selesai di rumah Akhriza. Rumah Azhary sederhana, tidak tingkat namun cukup besar. Di halaman depan terdapat garasi mobil dan motor.
"Assalamualaikum!" Aku mengucapkan salam.
"Wa'alaikumsalam!" Terdengar sahutan dari dalam.
Seorang ibu berperawakan sedang menemuiku di ambang pintu.
"Ibu, mamanya Azhary ya?" Tanyaku memastikan.
"Iya, betul! Temannya Azhary ya? Silakan masuk!" Kucium tangan beliau penuh kesopanan.
"Ary ada temanmu datang, nih!" Panggil mama Azhary ke dalam ruangan.
"Ibu masih ingat enggak sama saya? Saya Sugih cucunya Umi Wati dan Aki Eben di Cimanggu!" Ucapku mengingatkan.
"Oh, ya Allah! Ini Sugih anaknya Bu Iis itu? Tentu Ibu masih ingat! Wah, sudah besar ya sekarang!" Ibu Azhary mengusap-usap rambutku seakan penuh kerinduan.
"Siapa Ma?" Seorang pemuda tanggung muncul ke hadapanku.
Tubuhnya tinggi ramping sepertiku. Kulitnya sedikit lebih putih dariku. Rambutnya disisir belah dua. Namun sayang, aku harus mengubur semua bayangan yang kukhayalkan sepanjang perjalanan dalam angkot tadi. Wajah Ary dipenuhi jerawat yang membuatku illfeel dan terpaksa mencapnya tidak ganteng lagi seperti waktu kecil.
"Ini lho, Ry! Teman bermain kamu dulu waktu di Cimanggu, masih ingat enggak? Sugih lho Ry! Yang rumahnya persis di depan kontrakan kita dulu!" Mama Azhary mengingatkan.
"Hai, apa kabar?" Kusapa dan kusalami Azhary sedikit canggung.
"Alhamdulillah, baik. Kabarmu sendiri bagaimana?" Ia membalas uluran tanganku.
Ternyata Azhary sangat ramah dan murah senyum. Kemudian kami duduk mengobrol di ruang depan.
"Alhamdulillah, baik juga. Ary kenapa enggak pernah main ke Cimanggu?" Aku mencoba mencairkan kekakuan di antara kami.
Azhary hanya tersenyum sekilas, "Takut enggak dianggap sama orang Cimanggu," katanya tergelak.
"Ih, Ary segitunya. Aku tuh kangen banget sama kamu, tahu!" Kataku spontan.
"Mama sama papa bagaimana kabarnya, Gie?" Mama Azhary membawakan kami minuman dan aneka cemilan dalam toples.
Wah, sifat mama Azhary sama sekali tidak berubah. Beliau selalu baik kepada semua orang. Kehadiranku dianggap laksana tamu agung yang sedang berkunjung. Tanpa sungkan kuteguk segelas es sirup yang disuguhkan oleh beliau setelah mempersilakanku menikmati hidangan yang disajikannya.
"Alhamdulillah, kabar mama baik. Kalau papa sudah lama meninggal," jawabku santun.
Mama Azhary turut bercengkerama bersama kami. "Inallillahi... Papanya meninggal kenapa?"
"Serangan jantung, Bu!" Kataku kalem.
"Ya Allah. Gemuk sih badannya ya?" Mama Azhary turut merasa kehilangan.
"Iya, orang yang berbadan gemuk rentan terhadap penyakit jantung ya Bu," responku.
"Semoga papamu diterima Allah subhanawata'alla ya!" Ary turut bersimpati.
"Amin ya rabbal'alamin. Makasih ya Ry, atas doanya!" Ucapku tulus.
Cukup lama kami mengobrol mengenang masa kecil kami dulu. Mulai dari mobil tamiya yang sering kami mainkan, kuda-kudaan dari pelepah daun pisang, sampai kelakuan Oman yang sering menjahili kami.
"Jadi kegiatan sehari-hari kamu sekarang apa?" Tanya Azhary semakin hangat dan cepat akrab kembali denganku.
"Biasanya selain mengajar les untuk anak-anak SD di rumah, aku juga sering siaran seminggu tiga kali di RRI," jawabku penuh keceriaan.
"Oya? Siaran apa?" Azhary begitu antusias menyimak ceritaku.
"English Service Program!" Jawabku singkat.
Azhary sungguh terkejut mendengar ucapanku.
"Aku sering banget mendengarkan acara itu. Wah, ternyata kamu yang membawakan acaranya? Hebat! Aku nggak nyangka kalau itu kamu. Subhanallah!" Azhary berdecak kagum.
"Kenapa cuma mendengarkan? Kamu kan bisa ikut menelepon memberikan opini kamu untuk setiap topik yang kami bahas!" Kataku kemudian.
"Insya Allah deh, nanti aku ikutan memberikan opiniku. Sumpah, acara itu tuh keren banget!" Azhary tak henti-hentinya memujiku.
"Kalau mau kamu ikutan jadi member aja sekalian! Kebetulan kami juga telah membentuk Bogor English Club, organisasi perkumpulan pecinta Bahasa Inggris terbesar se-Kota Bogor. Anggotanya lumayan banyak lho, ada seratus orang lebih!" Ajakku padanya.
"O, boleh, boleh! Aku mau banget jadi member organisasi itu. Biasanya pertemuannya di mana?" Azhary benar-benar antusias dan penuh minat.
"Kalau indoor biasanya di RRI. Kadang di Hotel Pangrango dan di kampus IPB Baranang Siang. Kalau outdoor biasanya di Kebun Raya, atau ke tempat wisata lainnya," kataku detail.
Sejak saat itu aku jadi sering bertemu dengan Azhary. Biasanya kami pergi jalan-jalan berdua mengelilingi Kota Bogor. Atau belajar bersama di rumahku. Sedikitnya satu bulan sekali kami janji bertemu. Hubungan kami saat ini adalah murni persahabatan sejati. Tidak ada lagi perasaan suka seperti yang kupendam dulu kepadanya.