BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Sepanjang Hidupku

1343537394064

Comments

  • --Berjualan di Sekolah dan Menjadi Guru Les--


    Semenjak papa meninggal dunia, hidup kami menjadi jatuh miskin. Mama mengalami shock berat dan sulit bangkit dari keterpurukan. Meskipun Kak Bambang telah menjanjikan uang bulanan untuk Dyah, namun jumlahnya tidak seberapa. Tidak cukup untuk membayar keperluan kami sehari-hari. Tidak cukup untuk biaya makan apalagi sampai membayar sejumlah rekening yang biasa kami pakai sehari-hari seperti listrik, PDAM, gas alam, dan telepon. Belum lagi biaya sekolahku dan Mang Ega. Setelah beberapa bulan berjalan, kami baru mengetahui bahwa usaha bengkel las bubut milik mendiang papa yang diwariskan kepada Kak Bambang, tidak sepenuhnya dikelola oleh Kak Bambang. Di balik semua masalah itu rupanya manajemen bengkel diambil alih oleh Kak Elize, istri Kak Bambang yang otoriter. Kak Elize sengaja mengambil alih manajemen bengkel mendiang papa karena Kak Elize ketakutan kalau Kak Bambang bakal melakukan poligami seperti yang dilakukan papa. Dipikirnya buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Karena itulah uang bulanan yang dikirimkannya untuk Dyah sangat jauh dari cukup.

    "Aku gak mau Mas Bambang berselingkuh dariku seperti yang dilakukan papa dulu semasa hidupnya!" Ungkap Kak Elize saat mama menghubunginya via telepon guna menanyakan uang bulanan Dyah yang jumlahnya tidak sesuai seperti yang telah dijanjikan.

    "Belum tentu Dek Bambang seperti itu, Dek Elize!" Mama merasa tersinggung akan perkataan menantu almarhum papa itu.

    "Lho, siapa bilang? Air cucuran atap jatuh ke pelimbahan juga!" Sindir Kak Elize berperibahasa.

    "Tapi kelihatannya Dek Bambang tipe suami yang setia!" Mama berusaha menjaga nama baik Kak Bambang.

    "Luasnya langit tak ada yang tahu, Bu! Hati orang juga belum tentu kita tahu bagaimana isinya!" Sanggah Kak Elize lagi.

    "Ya sudah, Ibu cuma mau menanyakan masalah uang bulanan Dyah saja. Kalau bisa jumlahnya sesuai perjanjian. Kalau soal rumah tangga Dek Elize sama Dek Bambang, Ibu tidak mau campur tangan!" Tutur mama melemah agar tidak saling mengotot satu sama lain.

    "Maaf Bu, jatah untuk Dyah tidak bisa aku tambahkan lagi! Ibu cari kerja aja sendiri! Sudah ya Bu, aku lagi sibuk kerja. Dan terima kasih sudah tidak mencampuri urusan keluargaku!" Ucap Kak Elize mengakhiri pembicaraan.

    Mama benar-benar depresi berat dan sering termenung di ambang pintu. Terkadang mama menangis seorang diri di dalam kamar sambil memandangi foto-foto papa saat mama, Dyah, dan papa berekreasi bertiga keliling Pulau Jawa. Di tengah keterpurukan kami sebenarnya mama masih bisa bekerja, namun mama enggan melamar pekerjaan ke manapun. Padahal setidaknya mama masih bisa membuka usaha menjahit seperti yang pernah dilakukannya ketika aku masih kecil.

    "Gie, mulai sekarang kamu harus bantu Mama. Kamu berjualan di sekolah ya! Mama akan membuat aneka makanan untuk jajan!" Pinta mama saat aku akan mulai kembali bersekolah.

    Liburan kenaikan kelas telah usai. Tahun ajaran baru telah dimulai. Aku berangkat sekolah menjinjing sebuah kresek berisi 40 bungkus keripik singkong pedas. Harga perbungkusnya kujual seharga Rp500,00. Harga jajanan anak sekolah. Seperti yang telah diumumkan pada catur wulan sebelumnya, karena aku mendapat peringkat ke-3, secara otomatis aku langsung naik ke kelas 2-A, satu-satunya kelas unggulan di sekolahku. Begitu aku memasuki ruang kelasku, rasanya aku benar-benar minder. Rata-rata anak-anak di kelas baruku ini adalah anak keluarga berada. Banyak orang tua mereka yang terkenal sebagai 'para konglomerat Kota Bogor'. Aku ragu untuk menjajakan daganganku. Apakah mungkin aku bisa berjualan? Selama ini aku kan sangat pemalu. Disuruh bernyanyi oleh guru kesenian di depan kelas saja harus sampai ditarik-tarik oleh teman-teman sekelasku.

    "Aku pasti bisa! Mama telah menggantungkan harapan padaku untuk mencari uang!" Kutarik napas mencoba meyakinkan diriku sendiri.

    "Gie, lu bawa apaan?" Tanya teman-teman sekelas baruku yang mengenaliku.

    "Gue jualan keripik singkong pedas nih, beli ya!" Tawarku pada teman-teman yang mengerubungiku.

    "Eh, tumben lu kok jualan?" Tanya Hasan yang turut menyerbu isi kantong plastik yang kubawa.

    "Mulai hari ini sampe seterusnya gue mau dagang di kelas!" Kataku seakan sedang memberi pengumuman.

    "Berapaan nih harganya?" Tanya salah seorang anak perempuan yang belum kuketahui namanya.

    "Lima ratus aja!" Kataku menjawab pertanyaannya.

    "Oh, nih seribu, gue beli dua ya!" Anak itu kemudian menyodorkan uang dari dalam kantungnya.

    "Makasih!" Sahutku.

    Ternyata antusias teman-teman sekelasku sangat baik. Aku mulai memiliki rasa percaya diri untuk bisa berdagang di sekolah. Semua karena keadaan yang membuatku seperti ini. Aku harus kuat mental, dan aku tidak boleh lemah. Apa yang kukerjakan adalah perbuatan halal. Selama seminggu pertama aku berjualan keripik singkong pedas. Singkong-singkong itu aku dapat dari hasil memanen tanaman singkong yang kutanam di kebun belakang rumah.

    Setiap sepulang sekolah aku dan Mang Ega bertugas mengupas kulit singkong dan memotongnya tipis-tipis. Kemudian mamalah yang menggoreng bahan keripik itu dan membumbuinya. Setelah itu aku dan Mang Ega membungkusinya ke dalam plastik berukuran kecil. Mang Ega tidak pernah diminta mama untuk membantu menjualkan keripik pedas kami di sekolahnya. Mama khawatir Mang Ega merasa malu kepada teman-temannya.

    Selain berjualan keripik singkong pedas, mama juga terkadang membuatkan aneka gorengan dan makanan lainnya seperti pastel, panada, bakwan, donat, pempek, batagor, cilok, cireng, onde-onde, bolu kukus, bihun goreng, dan nasi uduk. Khusus untuk nasi uduk tarifnya memang lebih mahal, yakni Rp1.500,00 perbungkus.

    "Gie, lu kok jualan?" Teguh dan Makbul menghampiriku tatkala mereka akan menuju kelasnya masing-masing yang secara kebetulan melewati kelasku.

    Teguh sekarang satu kelas dengan Adit, Indra, dan Meta di kelas 2-D. Sedangkan Makbul naik ke kelas 2-F.

    "Iya nih Guh, mulai sekarang gue mesti bantu nyokap karena bokap gue udah meninggal!" Kataku pada Teguh tidak menutup-nutupi.

    "Gue udah dengar sih soal meninggalnya bokap elu. Yang tabah ya Gie, gue cuma bisa ngedoain semoga bokap elu diterima di sisi Allah Subhanawataalla!" Ucap Teguh mengusap bahuku.

    "Aku turut bela sungkawa atas meninggalnya ayah kamu. Aku juga minta maaf ya sama kamu kalau sikap aku ke kamu selama ini sering kasar!" Makbul meraih tubuhku ke dalam pelukannya.

    "Makasih ya Guh, Bul! Kalian sangat baik sama aku!" Ucapku tulus.

    Sejak saat itulah sikap Makbul berubah manis kepadaku. Namun sayangnya Teguh dan Makbul tidak satu kelas denganku. Tidak semua teman di kelas bersikap baik kepadaku. Suasana di kelas baruku ini penuh dengan persaingan. Mereka memang baik padaku saat jam istirahat karena mereka gemar membeli daganganku. Namun bila jam pelajaran tiba, suasana kelas berubah horor bagiku. Sikap mereka semua berubah apatis saling menjatuhkan sama lain. Mungkin karena kelas kami adalah kelas unggulan, jadi kami semua tergerak untuk berlomba-lomba menjadi yang terdepan. Bila aku kesulitan memahami pelajaran, aku sering bertanya kepada Hasan yang duduk di sebelahku. Namun keberadaan Hasan tidak berlangsung lama, karena pada bulan keempat selepas pembagian rapor catur wulan pertama Hasan pindah sekolah ikut dinas orang tuanya ke Malaysia. Maka aku tinggal duduk sendiri dan merasa terasing di tengah apatisme teman-teman sekelasku yang hanya mau mengenalku sebagai seorang pedagang di luar jam pelajaran.

    Kadang bila sedang membantu mama membungkusi barang dagangan, akupun sering turut melamun mengingat kebahagiaan yang pernah kupunya saat papa masih ada. Masa-masa saat kami bersama papa. Jalan-jalan ke tempat wisata seperti Dufan, Ancol, Pelabuhan Ratu, Telaga Tujuh Warna, Taman Safari, Kebun Raya, Kebun Raya Cibodas, Pantai Anyer, Pantai Carita, Taman Mini Indonesia Indah, Sea World, dan masih banyak lagi tempat wisata lainnya yang telah kami kunjungi bersama sekeluarga. Bahkan Umi Wati pun sering ikut mengajak Bibi Laela dan Bibi Laeli turut serta. Rasanya masa itu adalah masa-masa yang paling indah.

    Lamunanku mendadak buyar tatkala mama menyebut namaku, "Gie, tolong bantu mama bungkusi kerupuknya!"

    Ah, nyaris aku menitikkan air mata karena mengenang kepergian papa yang sungguh tak pernah kami relakan. Secepat inikah dia pergi meninggalkan kami? Hidup menjadi terasa hampa, pahit, dan perih teramat-sangat penuh derita. Karena tiada lagi pohon yang merindangi kami yang selama ini berteduh di bawahnya.

    Akupun bergegas, karena mengejar waktu takut terlambat ke sekolah.

    "Ma, sambalnya agak banyak lagi, teman-teman di sekolah doyan sambal!" Pintaku pada mama sambil membungkusi kerupuk gelang yang berwarna-warni seperti karet gelang.

    Mama sedikit terkejut mendengar permintaanku, "Wah, nanti teman-temanmu sakit perut bagaimana?"

    "Tak apalah Ma, itu sudah permintaan mereka!"

    Akhirnya kami berdua selesai membungkus 40 nasi uduk komplit dengan sambal plus kerupuk. Urgh, lumayan berat juga plastik yang kuangkat, mungkin mencapai 7-8 kg.

    Pagi itu seperti biasa aku berangkat bersama Indra, berjalan kaki menuju sekolah yang jaraknya berkisar 4 km dari rumah kami. Sekitar 30 menit perjalanan. Biasanya kalau ada uang kami menaiki angkot sampai pasar dekat sekolah, tarif pelajar Rp500,00. Namun terkadang meski ada uang pun kami jalan kaki juga ke sekolah, agar uang yang seharusnya untuk membayar angkot dapat kusimpan untuk keperluan lain seperti membayar uang kas, uang sumbangan, membeli buku, dan lain-lain. Pernah suatu hari aku berangkat sendiri, karena Indra sudah berangkat lebih dulu berhubung dia sedang mendapat piket kelas hari itu. Pada hari itu aku menaiki angkot, namun aku lupa membawa uang saku. Dalam perjalanan aku mulai panik dan gelisah, takut dimarahi pak supir, pikiranku berkecamuk takut dipukul pak supir atau paling tidak diomeli. Pasti aku malu kepada para penumpang lain.

    Tiba-tiba di tengah perjalanan, turunlah seorang ibu di sebuah pertigaan jalan dekat KOREM. Sambil membayar trayek kepada supir, ibu itu berkata, "Sekalian Pak, anak yang di belakang 1, nanti dia turun dekat pasar!"

    Aku menatap seorang anak sekolah dalam angkot yang dimaksud ibu tadi. Wah, syukurlah ternyata dalam angkot ini ada banyak anak sekolah seperti aku, entah dari sekolah mana mereka berasal. Ketika pasar mulai dekat, buru-buru kustop mobil angkot yang kunaiki, dengan langkah tergesa-gesa akupun turun sambil membawa sekeresek nasi uduk daganganku.

    Lalu kuberkata pada pak supir, "Tadi sudah dibayarkan ya, Pak!" Ujarku berbohong sambil berlari kencang, takut sang supir menyadari kekeliruan ini.

    Mohon maaf ya Pak Supir (u_u).

    Akhirnya tibalah aku di gerbang sekolahku. Untunglah, aku tidak pernah terlambat masuk. Sejak kecil mama selalu menanamkan kedisiplinan kepadaku. Sekolahku gedungnya megah, meskipun merupakan bekas gedung perkantoran pemerintah kolonial Belanda, namun sebagian besar telah mengalami perluasan area, dengan penambahan gedung-gedung modern dan bertingkat. Sekolah ini merupakan sekolah terfavorit No.2 di kotaku setelah SLTP Negeri 1. Hanya anak pintar dan rata-rata berasal dari keluarga berada yang dapat menuntut ilmu di sekolahku ini. Anak-anak artis dan pejabat banyak yang bersekolah di sekolahku. Beruntung aku memiliki otak yang cerdas dan mama sanggup membiayaiku untuk bersekolah di sini. Awalnya aku bangga bisa bersekolah di sini, namun seiring berjalannya waktu sejak kepergian papa aku menjadi minder kepada teman-temanku. Jarang ada teman yang mau bergaul denganku. Karena sekarang hidupku berputar 180 derajat, menjadi anak miskin yang tidak memiliki apapun untuk dibanggakan. Sejak kepergian papa, semua harta benda habis terkuras dijual demi memenuhi kebutuhan hidup. Mulai dari lukisan kaligrafi, televisi, blender, mixer, kipas angin, sofa, spring bed, lemari, hingga akuarium bulat yang merupakan satu-satunya barang terakhir yang papa belikan sebagai kado ulang tahun untuk Dyah. Rumah kami menjadi kosong melompong bak gelanggang olah raga, tak ada barang harta benda. Hanya tinggal sedikit barang yang dapat kami pertahankan. Mama merasa sudah tidak bisa produktif untuk bekerja di luar rumah seperti dulu, dengan alasan faktor usia. Padahal waktu itu usia mama baru mencapai 34 tahun, kurasa sebenarnya mama masih dapat diterima bekerja atau paling tidak mama masih bisa membuka usaha dengan sedikit modal yang kami punya dari hasil penjualan barang-barang peninggalan almarhum papa. Karena mama enggan bekerja kembali menjadi wanita karier, maka satu-satunya tumpuan harapan mama hanyalah aku. Hanya mengandalkan kepada dagangan yang kubawa setiap hari ke sekolah, dari situlah kami dapat menyambung nyawa. Selain itu mama pun menitipkan kue-kue basah di warung Bang Lubis, seorang Batak Mandailing yang beragama islam, beranak 2 : Anggi dan Leman. Kepadaku Bang Lubis memintaku memberikan bimbingan pelajaran kepada Leman. Setiap bulan Bang Lubis memberiku uang Rp20.000,00-Rp40.000,00 sebagai pengganti uang lelah. Lumayanlah hitung-hitung untuk uang jajan aku sendiri. Seringpula aku diberi barang gratisan dari warungnya seperti deodoran, parfum, sabun, buku dan alat tulis, serta masih banyak lagi barang lainnya yang Bang Lubis berikan padaku.

    Tiap hari dagangan yang kubawa ke sekolah berganti menu, terkadang nasi uduk, pempek, somay, kentang goreng, fried chicken, panada, pastel, kacang bawang, bihun goreng, tergantung pesanan teman-temanku. Biasanya mereka kompak dalam memesan makanan, apalagi tarif harga yang kujual pas sesuai kantong pelajar Rp500,00/bungkus, kecuali nasi uduk Rp1.500,00/bungkus. Bila giliran nasi uduk tiba, aku sering meminta sendok bebek bekas teman-temanku makan jangan dibuang, agar dapat kucuci untuk dipakai kembali saat hari pesanan nasi uduk lagi. Terkadang sangat menyakitkan bila ada teman yang tidak menghiraukan permohonanku tersebut, akhirnya mau tak mau aku harus memunguti sendok bekas mereka makan di luar kelas dekat gundukan sampah. Sebagian teman yang melihatku, menatap dengan wajah miris. Mungkin mereka iba kepadaku, atau mungkin jijik sehingga karena itu pula mereka tidak mau berkawan denganku. Di kelas teman-teman hanya menganggapku sebagai pedagang. Pada jam istirahat mereka menyapaku hanya untuk membeli jajanan. Namun selepas itu mereka berkumpul berdasarkan strata sosial masing-masing karena kebanyakan dari mereka bersikap apatis tak mau berbaur dengan yang dirasa tidak sederajat. Mereka yang kaya sudah pasti tentu berkelompok dengan yang kaya pula. Biasanya kelompok seperti ini topik pembicaraan yang dibahas adalah jalan-jalan ke luar negeri, artis luar yang sedang diidolakan, buku best seller yang harganya selangit dan novel terjemahan dari luar negeri, atau kadang pula mereka membahas mainan yang sedang ngetrend kala itu seperti playstation, tamagochi, tamiya rakitan, sampai model baju mahal yang sedang trendy.

    Di kelas 2 ini aku tak pernah bergaul ke luar rumah. Aku juga sudah tidak pernah lagi berkunjung ke rumah Anton. Pasalnya aku sangat sibuk membantu mama menyiapkan dagangan untuk keesokan hari. Bila malam tiba, aku sibuk memberi bimbingan privat untuk Leman, anak Bang Lubis yang baru kelas 4 SD. Aku memberi jadwal les kepada Leman seminggu 3 kali setiap Senin, Rabu, dan Jumat. Aku bahkan memberanikan diri untuk membuka kursus Bahasa Inggris di rumah khusus untuk anak-anak SD. Cukup banyak anak tetangga yang mendaftar les padaku setelah melihat keberhasilanku membimbing Leman dari yang awalnya tidak pernah masuk peringkat 10 besar di sekolahnya tiba-tiba langsung menembus peringkat pertama. Bukan main bangganya Bang Lubis melihat prestasi anak sulung kesayangannya. Bang Lubis pun sangat berterima kasih kepadaku karena itu Bang Lubis sering mengembalikan uang ke tanganku bila aku membayar belanjaan yang kubeli di warungnya.

    "Simpan saja uangnya untuk jajan Ugie di sekolah!" Kata Bang Lubis waktu itu.

    "Terima kasih, Bang!" Balasku seraya tersenyum mengembang.

    "Pokoknya Abang titip Leman sampai lulus SD nanti!" Pesan Bang Lubis penuh permohonan.

    "Baik Bang, insya Allah Ugie selalu siap membimbing Leman belajar!" Kataku sembari pamit pulang.

    "Jangan takut soal bayaran, apapun yang Ugie minta Abang kasih!" Bang Lubis membusungkan dadanya yang bidang, kemudian ia membalas salam perpisahan yang kuucapkan.

    Aku sering salting sendiri, Bang Lubis terlalu baik dan perhatian padaku. Entah dia merasa kasihan padaku karena keluargaku jatuh miskin, entah karena ada maksud lain di balik kebaikannya...

    Setiap pulang sekolah aku sering bertemu Lucky di kelas. Secara kebetulan kelasku ternyata dipakai oleh sekolah Lucky yang menumpang di sekolahku. Hari ke hari Lucky semakin ganteng dan menjadi playboy di sekolah. Banyak teman-teman perempuan yang tergila-gila kepadanya. Kami sering menyempatkan diri untuk mengobrol berdua guna membahas pertemuan keluarga yang sering dilakukan secara rutin setiap bulan.

    "Gie, lu sering ditanyain Umi Ating di rumah. Katanya 'Gimana Ugie di sekolah, Ky? Sering menghadapi kesulitan pelajaran enggak?'" Ucap Lucky menirukan perkataan neneknya.

    "Bilang aja sama Umi Ating, gue baek-baek aja gitu, Ky!" Kataku pada Lucky agar Umi Ating tidak mengkhawatirkan keadaanku.

    "Tapi gue perhatiin lu kok gak pernah gaul sih sama teman-teman lu?" Katanya menyelidik.

    "Teman sekelas gue pada borju Ky, gak asyik kaya waktu kelas 1 dulu. Sengak semuanya kalau di kelas! Gue jadi minder sama mereka," kataku berterus terang.

    "Lu kok jadi kaya kakek lu pas SMP-nya dulu sih? Kata Umi Ating waktu Apih Hada di SMP, sifatnya minderan kan?" Tatap Lucky menyerangku dengan beberapa pertanyaan.

    "Mungkin begitu!" Sahutku lemah.

    "Lu harus semangat donk! Meskipun teman sekelas lu kaya gitu, tapi kan masih ada gue!" Lucky memberiku semangat.

    "Thanks ya, Ky. Lu emang saudara gue yang baek banget!" Kuhamburkan diriku memeluk tubuh sepupu jauhku itu.

    "Sama-sama! Lu juga saudara gue yang paling baek!" Lucky membalas pelukanku seraya menepuk punggungku pelan.

    Meskipun keluarga Lucky tidak senang bila mengetahui Lucky berpacaran di sekolah, aku tidak pernah menceritakan kepada keluarganya kalau Lucky seorang playboy. Sebagai saudara sekaligus sahabatnya aku menutup rapat semua kelakuan Lucky di sekolah.

    Sejak aku naik kelas 2, aku jarang bertemu dengan Fitri yang dulu naksir berat kepadaku. Kami sudah tidak satu kelas lagi sekarang, Fitri malah mendapat satu kelas dengan Fery di kelas 2-H yang letaknya sangat jauh dari kelasku. Sepertinya Fitri pun sudah memiliki gebetan baru di kelasnya sehingga setiap kali bertemu denganku sikapnya berubah drastis menjadi biasa-biasa saja tak ada tatapan cinta seperti biasanya. Berbeda dengan Sachi yang masih kerap menemuiku saat aku berjualan di kelas. Dia masih sering mengajariku Bahasa Jepang meskipun hanya sedikit-sedikit. Dia menjadi pelanggan jajananku yang setia. Dia juga sering memberiku bocoran soal ulangan bila kelasnya mendapat ulangan lebih dulu. Kelas Sachi berada di sebelah kelasku, lagi-lagi ia masih satu kelas dengan Yasmine di kelas 2-B. Saat itu Yasmine sedang hangat-hangatnya berkasmaran dengan Adeeb yang telah menembaknya saat di kelas 1. Aku sangat cemburu melihat kemesraan mereka berdua. Namun aku harus mengikhlaskannya, karena aku sendiripun merasa tak layak untuk bersanding dengan Yasmine. Hidupku sekarang kan sudah jatuh miskin.

    Selain Sachi yang terus mendekatiku, ternyata ada juga seorang teman sekelasku yang menaruh perhatian besar kepadaku. Namanya adalah Patricia. Aku memanggilnya Tessa atas permintaannya. Berbeda dengan Sachi yang cenderung polos, Tessa terkesan sangat agresif padaku. Hampir setiap hari dia meneleponku sampai berjam-jam lamanya membuat mama kesal melihatku yang tak kunjung bergerak membantunya karena keasyikan mengobrol di telepon.

    "Lagi apa Gie? Udah makan siang belum?" Sapa Tessa di ujung telepon.

    "Udah, Tes. Lu udah?" Jawabku bertanya balik.

    "Sama gua juga udah! Gua lagi bete nih, di rumah sendirian!" Katanya melanjutkan pembicaraan.

    "Oh, kenapa gak jalan-jalan aja? Ke mana kek, cari hiburan!" Himbauku padanya.

    "Ogah ah, males! Mendingan ngobrol sama lu aja!" Timpal Tessa.

    Akhirnya obrolan pun berjalan sampai satu jam lamanya.

    "Gie, bilang sama teman perempuan kamu itu, kalau menelepon jangan suka lama-lama! Kamu kan punya kerjaan!" Tegur mama menasihatiku.

    "Iya Ma!" Jawabku patuh.

    "Menelepon kok lama banget. Apa nggak sayang pulsa? Tarif telepon kan mahal!" Ucap mama menggeleng-geleng kepala.

    "Bokap gua pegawai Telkom!" Tawa Tessa berderai panjang penuh canda.

    "Udah dulu ya, Tes! Lu dengar sendiri tadi kan omongan nyokap gue?" Kataku seraya menutup telepon.

    "Yoi, sampai ketemu besok di sekolah ya, Gie!"

    TUT!

    Sambunganpun terputus.

    Setelah satu minggu melakukan pendekatan, akhirnya Tessa menembakku di hadapan teman-teman sekelas. Hari itu kebetulan kelasku sedang jam kosong karena guru yang mengajar sedang cuti melahirkan.

    "Gie, lu mau gak jadi cowok gua? Terus terang sejak ketemu sama lu di kelas 2, gua langsung jatuh cinta sama elu!" Ungkap Tessa blak-blakan.

    Ini adalah pertama kalinya aku ditembak oleh seorang perempuan. Aku sama sekali tidak menyangka. Sebenarnya pesona apa yang kupunya sehingga ada saja perempuan yang memendam perasaan kepadaku. Benar-benar membuatku tak habis pikir. Puluhan pasang mata tertuju pada kami.

    "Terima Gie! Terima!" Para anak perempuan bersorak kencang.

    "Tolak Gie! Tolak!" Para anak lelaki tak kalah kencang teriakannya.

    Aku jadi gamang. "Please, lu mau ya jadi cowok gua?" Tessa mengulangi permohonannya.

    Di kaca jendela Sachi mengintip ke dalam kelas kami. Dia melambaikan tangannya memberi isyarat agar aku menolak Tessa.

    "Terima! Terima!" Para anak perempuan tak berhenti bersorak.

    "Gie, daripada sama Tessa mending lu sama Sachi aja!" Kata seorang teman laki-laki yang menunjuk ke kaca jendela.

    "Sugih! Sachi! Sugih! Sachi!" Para anak lelaki berkoor serempak membuat Tessa bad mood.

    "Maaf ya, Tes!" Ucapku melirik ke arah jendela tepat ke arah Sachi.

    Terlihat Sachi menyentuh dada menarik napas lega.

    "Huuuuuu..." Para anak perempuan menyorakiku sebal dan melempariku dengan gumpalan kertas.

    Merekapun memberiku jempol terbalik saking dongkolnya padaku.

    "Sok kecakepan lu, Gih!" Sungut mereka bersamaan.

    "Oh, jadi lu milih dia, ya?" Kata Tessa sambil melirik sinis ke arah Sachi.

    Tessa kemudian pergi meninggalkan kelas tanpa kuketahui ke mana tujuannya. Dalam hati aku merasa bersalah kepadanya karena sudah membuatnya malu di depan teman-teman sekelas. Namun itulah konsekuensi yang harus berani diambilnya, dia berani menembakku, maka dia juga harus berani menerima penolakanku.

    "Untung ditolak ya!" Sachi menghampiriku saat aku menyendiri di ruang perpustakaan.

    "Boleh aku tahu kenapa kamu memintaku untuk menolak Tessa tadi?" Tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari buku yang sedang kubaca.

    "Itu..." Sachi terdiam sejenak.

    "Ah, sudahlah tidak usah diteruskan! Lagipula aku memang tidak mempunyai perasaan khusus padanya!" Kataku menoleh pada Sachi sekilas.

    Senyum Sachi mengembang dan ikut duduk membaca buku di sebelahku.

    ***

    Tepat di awal tahun 2000, berita duka kembali melanda keluargaku. Mang Rahmat yang pulang dari Kalimantan bersama Aa Fariz, terkena wabah Malaria. Awalnya Mang Rahmat pulang ke Sumedang, menemui bibi bungsuku, Bibi Harti, untuk tinggal bersamanya. Namun Bibi Harti merasa kerepotan karena tinggal di rumah mertua. Beliau merasa malu kepada ayah dan ibu mertuanya. Akhirnya Mang Rahmat diantar ke Cilacap untuk menumpang tinggal bersama keluarga Mang Wana yang membuka usaha meubel di sana. Sementara Aa Fariz disuruh pulang ke Bogor, ke rumah kami.

    "Harti, kenapa Ade kamu antarkan ke Cilacap? Aku ingin bertemu dengannya!" Kata mama menelepon Bibi Harti sedikit kesal.

    "Buat apa kuantar ke tempat Teteh? Keadaan Teteh saja sedang kesusahan seperti itu!" Tukas Bibi Harti tak mau mempersulit keadaan kami.

    "Walaupun keadaan Teteh sekarang sedang susah, tapi untuk makan saja selalu ada rizkinya untuk kami sekeluarga!" Mama tak mau dikasihani.

    "Sudahlah Teh, Harti tidak mau menambah beban Teteh. Di situ kan sudah ada Ega, jadi biar Ade dengan Aa Wana saja! Biar Aa Wana bisa merasakan bagaimana repotnya mengurus adik!" Tutur Bibi Harti menegaskan.

    Tak lama setelah Mama menelepon Bibi Harti, Mang Rahmat menelepon dari Cilacap.

    "Teh, Ade kangen sama Teteh. Ade pengen ketemu sama Teteh, Ugie, Aa Ega, dan Dyah!" Mang Rahmat berbicara terisak-isak seperti sedang menangis.

    "Iya, Teteh juga kangen sama Ade!" Balas Mama trenyuh mendengar keluh kesah Mang Rahmat.

    "Teh Harti dan Teh Ridha jahat! Mereka tidak mau ketumpangan Ade. Andai Ade sedang tidak sakit malaria, Ade ingin pulang ke Cimanggu, ke rumah Teteh. Ade pengen tinggal lagi sama Teteh di Bogor, boleh kan Teh?" Ucap Mang Rahmat sesenggukan di ujung telepon.

    "Iya Ade, boleh! Rumah Teteh selalu terbuka untuk Ade!" Mama menenangkan perasaan paman bungsuku itu.

    Setelah mama menutup pembicaraan dengan Mang Rahmat di telepon, mama termenung seharian memikirkan keadaan keluarga kami. Sampai malam tiba mama masih larut dalam pikirannya yang terus melamun. Di saat yang bersamaan telepon kembali berdering dan kuangkat ternyata dari Mang Wana. Beliau mengabarkan bahwa keadaan Mang Rahmat sedang kritis dan diopname di rumah sakit. Seketika mama langsung panik dan mengemasi pakaian untuk segera menyusul ke Cilacap.

    Mama berangkat hanya berdua dengan Dyah menumpangi bis malam yang berangkat pukul 9 malam. Tepat pukul 6 pagi mama sudah mengabariku bahwa mama telah sampai di tempat tujuan. Kondisi Mang Rahmat sangat kritis, sampai kesulitan berbicara saat ia sadarkan diri. Pada hari ketiga mama mengabariku lagi yang membuat sekujur tubuhku lemas seketika.

    "Gie, kita harus ikhlas! Kita relakan kepergian pamanmu dengan tenang!" Ucap mama terisak di horn telepon yang kupegang.

    "Ma, apa maksud Mama?" Aku tidak yakin kalau Mang Rahmat telah meninggal.

    "Baru saja pamanmu berpulang ke Rahmatullah!" Kata mama dengan suara yang lemah.

    "MANG ADEEEEE...." Aku jatuh terduduk di lantai. "Ini tidak mungkin, Ma! Ini tidak mungkin!" Jeritku menangis sekencang mungkin.

    Mang Iyan yang kebetulan datang ke rumahku langsung merengkuh tubuhku dan berusaha menenangkanku.

    "Sudah, kamu jangan nangis! Mang Ade sekarang sudah beristirahat dengan tenang!" Hibur Mang Iyan.

    Kulihat Mang Ega terduduk lesu tidak jauh dariku, "Bapak di mana sekarang? Ade sudah meninggal, Pak!" Gumamnya lirih menitikkan air mata.

    Beberapa minggu setelah meninggalnya Mang Ade, mama mendapat pencairan dana yang dipinjamnya dari BRI sejak pengajuan sebulan yang lalu. Mama telah menyerahkan sertifikat rumah sebagai jaminan. Rencananya kami akan membuka usaha warung kecil-kecilan di rumah. Namun sayang, baru satu malam uang itu mama taruh dalam laci lemari, keesokan harinya uang itu raib bersama menghilangnya Aa Fariz dari rumah. Aa Fariz telah membawa kabur uang mama ketika semua orang di rumah sedang tertidur lelap.

    "Kurangajar Fariz! Tidak tahu keluarga kita sedang susah. Mulai hari ini Mama telah mencoret namanya dari daftar silsilah keluarga!" Kata Mama geram.

    "Tapi Ma..." Ucapanku tersendat.

    "Kamu jangan pernah lagi menganggapnya sebagai kakak! Mama nggak punya anak durhaka seperti dia!" Tegas mama seraya membakar semua foto-foto Aa Fariz dari album keluarga kami.

    Sejak saat itu Aa Fariz menghilang dari hadapan keluarga kami tanpa jejak. Apih Hada pun turut menghilang tanpa pernah diketahui di mana keberadaannya sekarang. Kami semua sangat sedih dan hanya bisa memanjatkan doa untuknya, semoga beliau dalam keadaan baik-baik saja.

    ***

    Saat aku naik ke kelas 3, aku merasa senang sekali karena aku ditempatkan di kelas 3-I. Di mana kala itu aku gagal masuk kelas 3-A dan 3-B, dua buah kelas unggulan khusus untuk para murid yang telah diseleksi lebih dulu kemampuannya tidak hanya berdasarkan nilai rapor saja. Tetapi juga didukung oleh prestasi yang pernah diukir selama bersekolah di SLTPN 4. Aku tidak pernah menjuarai apapun di setiap cabang lomba tingkat SMP yang diselenggarakan di kotaku, selain lomba mendeklamasikan puisi. Dan prestasi tersebut hanya kuraih sekali-kalinya selama SMP. Oleh sebab itulah aku gagal masuk kelas unggulan berikutnya. Aku sama sekali tidak menyesal atas kegagalanku itu, justru aku menjadi senang karena aku bisa satu kelas lagi dengan Adit. Teman-temanku di kelas 3-I ini pada dasarnya adalah teman-teman habitatku saat di kelas 1-I dulu, jadi aku merasa sudah tidak asing lagi dengan mereka.

    Tapi masih saja terdapat gejala perubahan sikap di antara sebagian temanku ini. Ada saja kelompok anak borju yang bersikap angkuh padaku. Di antara anak-anak borju yang kaya itu terdapat pula Nia, perempuan yang merasa paling tajir di sekolah. Dia sangat klop satu genk bersama Hikmah, Karina, dan Selvy sebagai perempuan-perempuan paling centil di sekolah yang sangat mengidolakan Adit. Sering mereka bersikap arogan padaku, karena aku anak miskin. Kecuali Selvy yang sedikit mau menerima keadaanku. Terbukti dia mau mengajakku mengobrol walau sekedar berbasa-basi.

    Tapi yang paling membuatku sebal adalah lagi-lagi kali ini aku harus sekelas dengan Meta, perempuan tomboy yang paling aneh sedunia. Saban hari selalu ada saja masalah yang dibuatnya, biasanya dia berkelahi dengan teman perempuan dari kelas lain gara-gara memperebutkan seorang cowok seperti saat memperebutkan Kak Gia dengan ketua Genk Versus 416 dulu. Kebiasaannya pun tak pernah berubah, dia kerap mengupil setiap saat dan mencolekkan upilnya ke tangan orang yang berada di dekatnya. Dia juga masih sering berteriak-teriak memaki orang dengan Bahasa Inggris yang dikuasainya.

    Meski tak punya teman akrab, aku masih bisa meraih prestasi. Buktinya aku selalu juara kelas, dan nilai-nilai ulanganku senantiasa mencapai angka sempurna selama aku di kelas 3. Membuat Nia dan genknya selalu iri padaku, karena dia sangat berambisi untuk mendapatkan rangking satu.

    "Sialan lu, padahal gue kan cewek paling tajir di sekolah ini. Kok bisa-bisanya sih, elu si anak miskin ngalahin gue dalam prestasi di rapor?" Sungut Nia padaku seusai pembagian rapor catur wulan pertama.

    Aku sama sekali tak menggubrisnya. Kubiarkan Nia terus ngedumel bersama para gadis teman satu genknya.

    Sebenarnya sejak tahun ajaran baru di kelas 3 ini di kelasku datang seorang murid baru pindahan dari Filipina. Tubuhnya tinggi, rambut lurus, berkacamata sepertiku, dan hidungnya dipenuhi komedo. Namanya adalah Akhriza, biasa dipanggil Riza. Ia adalah orang Indonesia yang lama tinggal di luar negeri antara lain di Amerika Serikat, Australia, dan Filipina. Meski fasih berbahasa Indonesia secara lisan, namun Riza kurang menguasai Bahasa Indonesia secara tertulis. Dia duduk bersamaku di bangku paling depan. Sayangnya meski kami sering mengobrol, tetapi kami tidak pernah bermain bersama ketika jam istirahat tiba. Ya, hal ini karena aku sibuk berjualan pada jam istirahat. Biasanya sampai jam istirahat ke-2 pun aku masih berjualan karena dagangan belum habis. Kalaupun daganganku habis pada jam istirahat pertama, maka pada jam istirahat ke-2 sering kugunakan untuk membaca buku di perpustakaan atau menemui guru di kantor untuk menanyakan pelajaran yang masih belum kumengerti. Atau terkadang aku hanya duduk di kelas mengamati perbincangan teman-temanku yang asyik berdiskusi. Ada pula teman yang mau menghampiriku untuk menanyakan pelajaran yang belum dimengerti. Mereka sungkan untuk bertanya pada guru langsung seperti yang sering kulakukan.

    "Riza, waktu di Filipina, kamu tinggal di kota mana?" Tanyaku pada Riza suatu hari.

    "Di Los Banos! Memangnya kenapa?" Riza memperbaiki posisi kacamatanya.

    "Kamu sekolah di CIS ya?" Kulikku lagi mencoba mencari tahu keberadaan Ary.

    "Kok tahu?" Riza sedikit terkejut.

    "Kenal gak sama Ary Wibowo?" Tanyaku penuh harap.

    "Kenal sih, tapi kita enggak satu kelas! Aku di kelas A dia di kelas F! Kelas kita jauh banget. Meskipun satu komplek, tapi dia jarang banget keluar rumah. Dia anaknya pendiam," tutur Riza menceritakan tentang Ary.

    "Wah, kapan ya dia pulang?" Gumamku pelan.

    "Kayanya sebentar lagi, kan tugas papanya juga sudah selesai bareng dengan tugas papaku!" Ungkap Riza sambil memandang ke arahku.

    "Syukurlah! Semoga aku bisa bertemu lagi dengannya!" Harapku dalam hati.

    Aku sering termenung bila daganganku tidak habis, mama sering menangis seakan bingung harus melakukan usaha apa lagi untuk menopang keluarga ini. Uang hasil jualan yang sedikit hanya bisa dijadikan modal untuk dagang esok hari. Sedangkan biaya makan masih berhutang pada warung-warung sembako yang mau berbaik hati memberikan utang belanjaan kepada kami, sehingga kami dapat menyambung hidup sebagaimana mestinya. Bila mengenang semua itu, ingin rasanya aku mati daripada harus mengalami penderitaan batin yang teramat sangat perih menyayat hati ini. Sanak saudara yang dulu sering kami tolong semasa almarhum papa masih hidup, kini mereka pergi menjauh karena tak mau direpotkan kami.

    Tidak lama lagi EBTANAS di depan mata, semua teman telah memutuskan selepas SMP akan melanjutkan ke mana. Sedangkan aku hanya gelisah, dan pesimis, tak punya harapan. Aku memang punya keinginan, tapi aku tahu tidak mungkin bagiku untuk dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Biaya masuk SMA di kotaku relatif mahal meski sekolah negeri sekalipun. Aku hanya dapat menggigit bibir memimpikan semua itu. Namun itu tak mematahkan semangatku untuk terus belajar. Setiap jam 3 subuh mama membangunkanku untuk belajar dan menghafal. Pelajaran yang sangat kusukai kala itu adalah matematika. Pak Yusuf adalah guru matematika kami yang sangat disiplin, beliau sudah pensiun, namun masih bersedia mengajar di sekolah kami untuk mengisi hari-harinya yang sepi. Cara beliau dalam mengajar sangat telaten dan sabar. Apabila terdapat siswa yang belum memahami penjelasan dari beliau, maka pelajaran belum dapat dilanjutkan sampai siswa yang bersangkutan sudah benar-benar mengerti. Pelajaran lain yang kusukai adalah geografi, Bu Eni mengajar kami dengan metode tanya jawab, di mana beliau sambil menerangkan pelajaran yang sedang dibahas selalu melontarkan pertanyaan selingan kepada siswa, dan menyuruh siswa angkat tangan bila mengetahui jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan oleh beliau. Dalam hal ini aku tak pernah absen dari mengacungkan jariku secepat kilat, dan semua pertanyaan Bu Eni selalu dapat kujawab dengan tepat, membuat teman-temanku terkagum-kagum melihatku. Sampai-sampai mereka merasa bosan karena yang mengacungkan tangan selalu aku terus. Tak jarang nilai geografiku mendapat 100. Bukan main bangganya aku akan wawasanku mengenai peta dunia. Nia sering iri kepadaku, karena meskipun ia kaya tapi tak dapat menyamai kemampuan otaknya dengan kemampuan otakku. Padahal waktu kami kelas 1, aku sering kalah oleh Nia. Bahkan Nia sering mengatakan bahwa lafal Bahasa Inggrisku sangat buruk, dan tak perlu sok berbahasa Inggris bila aku tak bisa mengucapkan Bahasa Inggris. Juga kata-kata yang kuucapkan dalam Bahasa Inggris tak pernah ada artinya. Aku dianggapnya sembarang bicara.

    "Lu kalo gak bisa ngomong Inggris gak usah sok-sokan pake Bahasa Inggris pas ngomong sama Mrs.Neneng! Omongan lu tuh amburadul tahu! Gak ada artinya sama sekali. Mending lu ngecaprak deh sana sama tembok!" Ujar Nia ketus menceramahiku seusai pelajaran Bahasa Inggris.

    "Lho kata Mrs.Neneng, kita diharuskan berlatih berbicara. Kalo enggak pernah dicoba, kapan kita bakal bisa?" Timpalku padanya.

    "Orang miskin kaya lu itu gak pantes ngomong Inggris! Lagipula lu juga mana mungkin bisa keluar negeri, jangan mimpi deh lu!" Sambarnya lagi kesal.

    Ya, begitulah gaya orang kaya! Selalu melecehkan orang miskin! Tapi aku tak peduli, toh Mrs.Neneng guru Bahasa Inggris kami selalu memberi semangat padaku. Beliau juga sering membeli makanan yang kujual di kelas saat jam istirahat, dan tak pernah mengambil uang kembaliannya. Semua sisa uangnya malah diberikan padaku. Aku sangat mengagumi Mrs.Neneng, beliau adalah guru yang cantik, berjilbab, enerjik, dan rajin. Selalu tekun mengontrol siswa yang piket di kelas, datang ke sekolah selalu awal saat beliau piket dan selalu mengepel lantai kantor, melap jendela ruang guru dan lain sebagainya. Padahal di sekolah sudah banyak petugas/pesuruh sekolah, namun beliau masih suka melakukan pekerjaan tersebut. Dari sering mengamati Mrs.Neneng, dalam hati aku selalu berkata, kelak bila aku berkesempatan menjadi guru, aku ingin menjadi guru yang baik seperti Mrs.Neneng! Rajin, enerjik, ulet, dan selalu memperhatikan psikologi peserta didiknya. Semoga saja aku bisa seperti beliau.


    #Kembalinya Ary#

    Bogor, November-Desember 2000
    (Kelas 3 SMP)

    Mungkin Adit adalah cowok terganteng di kelasku, namun di atas langit masih ada langit! Selain Adit masih ada Dean, Devan, dan Novan, para lelaki yang menjadi idola di sekolah selain Makbul dan Teguh. Sayangnya Devan dan Novan, berkelakuan melenceng di sekolah. Mereka kerap membolos, nongkrong di mall selama jam pelajaran, dan merokok di toilet sekolah. Novan yang gantengnya tidak ketulungan sering mengajakku berbuat mesum di toilet seusai jam bubar sekolah.

    "Gie, kita ngocok yuk di WC!" Ajak Novan padaku.

    "Ngocok apaan?" Tanyaku polos.

    "Itu lho, kita coli! Lu suka coli nggak?" Novan melingkarkan tangannya persis di depan celananya.

    "Astagfirullah! Kata Pak Hamim itu kan dosa!" Seruku beristigfar.

    "Alah, gak usah muna lu! Lu pasti suka ngelakuinnya juga kan?" Pancingnya tak peduli. "Lu ngebayangin siapa kalo pas ngocok?"

    "Ngebayangin elu juga pernah!" Kataku dalam hati, lalu aku menjawab padanya, "Nggak ada!" Kataku berbohong.

    "Payah lu, ah! Gue donk, ngebayangin si Leisya!" Kata Novan bangga seraya cengengesan.

    Leisya adalah gadis primadona di sekolah. Wajahnya sangat cantik, dengan tubuh tinggi ramping dipadu dengan kulitnya yang sangat putih dan mulus. Mata dan hidungnya sangat mungil menghiasi wajahnya yang berdagu lancip. Rambutnya hitam, panjang, lurus sebahu. Tutur katanya sangat halus dan lembut. Wajar saja bila ia diidolakan oleh para lelaki di sekolah.

    "Lu mau gue ajarin kagak gimana caranya ngocok?" Tawar Novan kemudian membuat wajahku memerah.

    "Gue mau! Gue mau Novan!" Teriakku dalam hati. Akan tetapi aku malah bersikap jaim padanya.

    Sampai sejauh ini aku masih mengharapkan Ary pulang dari Filipina. Semenjak kepergiannya dua setengah tahun lalu, aku tak pernah bermain lagi dengan Ryan yang sangat akrab dengannya. Ryan berubah bersikap sombong padaku. Bila kami berpapasan di jalan sikapnya sangat cuek seolah kami tak pernah saling mengenal.

    Tanpa terasa sudah tiba saatnya bulan puasa, aku mulai berhenti berjualan di kelas untuk sementara waktu. Beberapa hari awal puasa, sekolah libur. Namun terdengar kabar duka dari teman-temanku, Bapak Hamim guru agama kami yang juga merupakan wali kelas kami telah berpulang ke Rahmatullah. Kami merasa sangat sedih dan kehilangan. Meskipun beliau mengajar tidak seasyik guru yang lain, namun beliau adalah guru panutan bagi kami. Berbondong-bondong kami semua ke Bantar Kemang untuk melayat jenazah. Aku teringat akan almarhum papa. Almarhum Papa memiliki watak yang sama dengan almarhum Pak Hamim, yaitu pendiam, bijak dan tidak suka banyak bicara, tetapi lebih banyak bersikap.

    Selama bulan Ramadhan ini mama mengandalkan usaha dengan berjualan pempek di rumah, kami sangat resah, takut tidak mendapatkan rejeki. Alhamdulillah, Allah Maha Mendengar doa umat-Nya yang sedang susah. Pernah betapa miris hatiku ketika melihat Bibi Laela dan Bibi Laeli membayar zakat fitrah kepada mama karena mama seorang janda dan kepada Dyah karena Dyah anak yatim.

    Hatiku sedih teriris-iris, "Seperti inikah roda kehidupan?"

    Aku sering berkhayal, andai saja papa masih ada, tentu kami tidak akan menjadi seperti ini. Untuk makan saja terkadang tidak kami temukan. Lantas pelarian kami adalah menjual sisa harta yang kami miliki. Seringkali tagihan listrik, telepon, gas alam, dan ledeng menunggak, karena kami tak mampu membayar. Sampai akhirnya mama terpaksa menggadaikan sertifikat rumah ke bank lagi untuk mendapatkan pinjaman modal usaha setelah utang sebelumnya berhasil kami lunasi. Aku bekerja mati-matian, mulai dari mengajar les untuk anak-anak tetangga yang masih duduk di bangku SD hingga berdagang kue keliling sambil menunggu waktu berbuka demi menghidupi seluruh keluargaku. Sungguh perjuangan yang sangat berat, karena ini tidak semudah membalikkan telapak tangan!

    Ketika lebaran tiba, aku berkeliling kampung untuk bersilaturrahim dan halal-bihalal. Tatkala melewati sebuah rumah yang sangat kukenal, aku terkejut, karena rumah yang selama 30 bulan ini kosong kini telah ditempati penghuninya kembali. Ary telah pulang!

    "Ini... Ini Ary kan?" Tanyaku gugup memastikan.

    "Iya, ini Ary! Apa kabar, Gie?" Mama Ary yang menjawab.

    Ary hanya tersenyum di kulum dengan gayanya yang cool. Sudah lama aku tidak melihat senyumannya ini.

    "Alhamdullillah baik, Tante! Oya, minal aidin walfaidzin ya," ucapku seraya mencium tangan mama Ary santun.

    "Maaf lahir batin ya, Ry!" Kusalami juga tangan Ary.

    Ary menyambut uluran tanganku hangat. Ingin sekali aku menghamburkan diri untuk memeluknya melepas kerinduan yang membuncah dalam jiwaku selama ini. Namun semuanya terpaksa kutahan, karena aku sedikit sungkan.

    Aku sempat pangling bertemu Ary. Setelah dua setengah tahun tak bertemu, wajah Ary semakin ganteng, tubuhnya tinggi ramping, kulit putih, rambut dan alis tebal, wajah persegi, hidung agak mancung. Keren sekali! Jauh dari parasnya saat SD dulu. Selain itu dia juga pintar. Ary sangat pendiam, tidak banyak bicara. Tapi wataknya pro-aktif, cepat tanggap apabila melihat kejadian ganjil atau hal yang janggal. Aku benar-benar mengaguminya. Sikapnya sangat dewasa. Nyaris perfect!

    Setelah 30 bulan lamanya aku menunggu, kini Ary datang kembali ke hadapanku. Sekarang kami sama-sama beranjak remaja. Kucoba mendekati dia lagi, mengorek rasa ingin tahuku di mana dia bersekolah. Ary sangat ganteng, tubuhnya atletis, banyak perempuan yang tergila-gila padanya. Namun sikapnya padaku sekarang agak canggung, seakan kami baru saja kenal. Dia tak pernah mau mengingat kenangan masa kecil kami, walaupun sebenarnya dia masih merekam jelas semua itu di dalam ingatannya.

    Akhirnya liburan sekolah telah usai, ternyata Ary bersekolah di sekolahku. Namun aku kecewa, ia tidak satu kelas denganku. Ia malah satu kelas dengan Indra di kelas 3-F. Tapi syukurlah Ary tidak ditempatkan di kelas 3-G, kelas yang terkenal dijuluki sebagai kelas NERAKA oleh para guru di sekolah kami. Konon kelas 3-G adalah gudangnya anak-anak bandel di sekolah kami termasuk para anggota Genk Versus 416 yang selalu menyalahi aturan sekolah baik tata aturan berseragam maupun kelakuan. Mereka semua bermarkas di sini bersama Devan dan Novan yang kutaksir sejak di kelas 2.

    Dalam hitungan hari Ary berhasil menjadi idola baru di sekolah kami, pamor Adit pun menurun karena kedatangan Ary yang jauh lebih ganteng daripada Adit.

    "Eh, eh, lihat deh! Siapa tuh cowok yang lagi jalan sama si Ugie?" Desis seorang anak perempuan kepada teman-temannya.

    "Gila, keren banget! Kok gue baru ngeliat ya?" Timpal teman si anak perempuan tadi.

    "Iya, bener! Ganteng ya! Gue mau donk jadi ceweknya!" Seru temannya yang lain.

    Sejauh ini aku benar-benar bahagia bisa berteman dengan Ary. Banyak perempuan yang berusaha mengorek informasi mengenai Ary melalui aku. Mereka sekedar ingin tahu tanggal lahir Ary, zodiak Ary, hobby Ary, warna kesukaan Ary, makanan kesukaan Ary, dan lain sebagainya.

    Namun sayang, pertemananku dengan Ary tidak semulus yang aku harapkan, karena sikapku yang tak jujur. Aku tak pernah berterus terang kepadanya mengenai alasanku berjualan di sekolah. Setiap kali aku membawa dagangan ke sekolah, Ary selalu mengamati dan menanyakan apa yang kubawa. Aku sangat malu kepada Ary. Aku takut bila aku jawab bahwa aku berjualan di kelas, karena ingin membantu menopang perekonomian keluargaku, Ary akan menjauhiku. Aku belum bercerita kepadanya kalau sekarang aku sudah jatuh miskin. Aku tidak mau kehilangan Ary untuk ke-2 kalinya seperti saat ia meninggalkanku untuk mengikuti dinas ayahnya ke Filipina. Tidak! Aku tidak mau kehilangan dia lagi!

    Aku sangat senang ketika pulang sekolah Ary selalu menungguku di gerbang sekolah. Kami naik angkot, dan berjalan bersama. Siang itu Ary bercerita tentang kisahnya selama di Filipina, sambil melayangkan tas ke udara secara berulang-ulang. Ary bercerita ada seorang gadis yang ia tinggalkan di sana.

    "Ry, lu udah punya cewek?" Tanyaku padanya penuh rasa ingin tahu karena aku jengah banyak teman perempuan di sekolah yang menanyaiku tentangnya.

    "Gak ada!" Jawabnya pendek.

    "Kalau gebetan?" Pancingku lagi.

    "Gua gak punya gebetan. Adanya cewek Filipina yang ngegebet gua! Haahaa..." Ary tertawa renyah.

    "Oh, syukurlah!" Aku berkata dalam hati seraya mengusap dada.

    "Emangnya kenapa?" Ary melirikku dengan ujung matanya.

    "Ah, enggak! Teman gue banyak yang naksir sama lu!" Kataku tanpa mengada-ada.

    Ary tersenyum geer.

    Keesokan paginya kami berjalan bersama lagi berangkat ke sekolah. Cuaca agak mendung, dan perlahan langit menurunkan rinai hujan gerimis. Segera kumasukkan daganganku yang tidak seberapa banyak. Untunglah pelajaran hari ini semuanya praktek, mulai dari penjaskes, komputer, seni tari, dan seni musik, sehingga tidak terlalu banyak buku pelajaran yang kubawa hari ini, dan tidak memberatkan tasku. Aku senang kami berlari menuju sekolah bersama, ia menarik tanganku agar aku dapat menyamakan langkahnya.

    "Ayo Gie, hujannya semakin deras!" Teriak Ary memegangi pergelangan tanganku.

    Sumpah, rasanya deg-degan. Dari hari ke hari perasaanku kepadanya semakin besar dan semakin dalam. Tidak ada lagi bayangan-bayangan Adit, Makbul, Dean, ataupun Novan yang selalu mengganggu pikiranku selama ini. Semua tertutupi karena Ary. Cukup Ary yang bertahta di benakku!

    "Ayo Ry, kita harus cepat sampai sebelum hujannya semakin deras!" Aku berlari menyamai langkahnya.

    Kami berlari-lari sambil berpegangan tangan. Oh, indahnya dunia kurasa. Genggaman tangannya terasa hangat menjalar ke seluruh tubuhku.

    "Awas Gie!" Ary menghalangi tubuhku agar tidak terkena cipratan air saat sebuah mobil melintas di sebelah kami.

    CREEEEET!

    "Yah Ry, seragam lu jadi basah!" Kataku penuh sesal.

    "Gue sih gak apa-apa asal jangan elu yang kena!" Ary tak mempedulikan kemeja seragamnya yang terkena cipratan.

    Sungguh, hatiku berbunga-bunga mendengar perkataannya.

    "Temenin gue ke WC, yuk!" Ajaknya setibanya kami di sekolah.

    Kuikuti langkahnya menuju toilet yang bersebelahan dengan ruang kelasnya. Ary menanggalkan baju seragamnya. Buru-buru aku menghalanginya agar tidak ada seorangpun yang melihatnya. Ary membasahi kemejanya dengan air kran di dalam WC, lalu diperasnya kemejanya itu sampai air perasannya berkurang. Lantas setelah itu seragamnya itu dipakainya kembali.

    "Nanti lu sakit lho, Ry!" Cegahku sambil menyerahkan sweater yang biasa kupakai.

    Ary menyambut sweater yang kuserahkan, "Kepalang basah, Gie! Ya dibasahin aja sekalian!" Timpalnya kalem.

    Rasanya aku tak perlu bersedih lagi dengan perlakuan teman di sekolah yang selalu mengasingkanku, dan tidak mau berteman denganku. Karena di dekatku kini sudah ada Ary, sahabat yang telah kembali ke hadapanku. Bersamanya aku mulai merajut hari-hari bahagia.

    ::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::

    Next episode, hari-hari indahku bersama Ary!
    Terima kasih sudah membaca dan berkomentar, rasa sayangku semakin besar pada kalian. Terus semangat berpuasa bagi yang menjalankan ya... :)
  • selamat datang kembali ary buatlah omku bahagia walau hanya sedetik :D
  • Menjawab pertanyaan guru sampe temen kelas bosen? Hahaha aku pernah ngalamin itu pas kelas 6 sd. Tapi waktu kelulusan malah gk dapet juara.. Cuma masuk 10 besar #nasiiibbbb
  • Menjawab pertanyaan guru sampe temen kelas bosen? Hahaha aku pernah ngalamin itu pas kelas 6 sd. Tapi waktu kelulusan malah gk dapet juara.. Cuma masuk 10 besar #nasiiibbbb
  • Ini kisah nyata kah?
  • baru sempe bca ,lumayan dah,duh ksian ugie.
  • @hidingPrince mention ya om buat update-annya
  • Makasih ya dah dimention. Ditunggu lanjutannya ya @HidingPrince.
  • gw udah baca bang. sumpah kejadian di angkot itu menurut gw konyol bin lucu.
    ternyata abang bisa nakal juga ye.
    sebenernya banyak yang mau gw bilang bang, tapi lupa. hehehe
    lanjut aja deh
  • hrs coment apa? semangat aja dech...
  • semoga gk ada cerita sedihnya lagee
  • #11

    :::::::Menjadi Penyiar:::::::




    Bogor, Januari-Juni 2001
    (Kelas 3 SMP)


    Di sekolahku membentuk sebuah genk sudah hal biasa yang dianggap lumrah. Ada genk cewek centil, genk cewek bandel, genk berandalan, genk narsis, genk anak alim, genk anak pintar, genk ekskul, dan genk borju. Di antara semua genk yang ada, genk borju yang diketuai oleh Nia adalah genk yang mencolok selain Genk Versus 416. Aku sering dibuat malu oleh genk borju tersebut. Pernah suatu kali Adit menyatakan cinta padaku di hadapan teman sekelas. Waktu itu sehabis istirahat, aku mengemasi kresek bekas dagangan, Adit datang menghampiri ke depan mejaku. Dia menatap mataku seraya tersenyum-senyum raja gombal.

    “Gie, gue suka ma…lu!” Desisnya terdengar seisi kelas.

    Walau berdesis ternyata Nia telah mengomando teman-teman sekelas agar memperhatikan ke arahku dan Adit. Adit tergolong dalam genk Borju. Adit memang sengaja ditarik masuk ke
    dalam genk tersebut karena Nia sangat menyukainya. Namun Adit tidak pernah menanggapi perasaan Nia padanya.

    Mungkin Nia tahu, kalau selama ini sebelum Ary pulang dari Filipina, aku sering mencuri pandang pada Adit. Dia menyadari ada sebuah perasaan yang pernah kupendam kepada Adit. Oleh sebab itulah Nia menghasut genknya untuk membenciku. Ya, meskipun tidak blak-blakan. Tapi sangat jelas terpancar dari perilakunya.

    “Gie, gue suka ma…lu!” Adit mengulangi kalimatnya.

    Aku terpana. Mukaku bersemu merah. Aku malu. Apalagi ini di hadapan teman sekelas. Rasanya tengsin, ingin menyelusup ke dalam tanah dan tidak muncul lagi ke hadapan mereka.

    “Dit, gue… enggak bisa jawab!” Aku tertunduk.

    “Yeee… Lu kira apaan? Gue kan cuma bilang SUKA MALU! BUKAN SUKA SAMA ELU!” Adit tersenyum nyengir kuda.

    "Ja.. Jadi… Itu cuma bercanda?" Seluruh teman di kelas ikut tergelak. Terutama Nia dan genknya.

    “Woy, kagak nyangka ya teman-teman, kita punya teman homreng di kelas ini!” Cibir Nia setengah berteriak.

    "Bikin malu kelas kita aja, ya nggak?" Kata Hikmah menimpali.

    Sejumlah mata anak laki-laki memandang iba padaku. Adit menggaruk-garuk kepala seakan merasa bersalah.

    "Woy, pada diam napa sih! You're all rubbish!" Teriak Meta yang merasa tidurnya terganggu.

    "Huuuuuu...." Koor satu kelas menyorakinya.

    "Maksud gue Dit, buat apa gue jawab kalo lu suka malu? Emangnya lu suka malu sama siapa? Malu sama si Nia ya, enggak pernah nanggapin perasaan dia ke elu?" Singgungku pada Adit sengaja mencoba berkelit agar teman-teman sekelasku tidak terlalu menilaiku buruk seperti yang dihasut oleh Nia dan genknya.

    "Kasihan lho Nia ngemis-ngemis cinta sama elu! Tapi elunya malah cuma ngemanfaatin ketajiran dia doank!" Sindirku lagi.

    JLEGER!

    Puas rasanya melihat perubahan ekspresi wajah Nia yang semula tersenyum ceria penuh kemenangan tiba-tiba mendadak merah padam. Sementara Adit hanya terdiam mematung. Aku yakin Adit mengakui kebenaran ucapanku, karena itu dia hanya diam saja mendengar sindiranku.

    "Elu benar! Gue emang gak suka sama Nia!" Aku Adit jujur.

    Nia menitikkan air mata di pelupuk matanya. Dia menangis menelungkup menghadap meja. Teman-teman genknya berusaha menghiburnya.

    "Lu jahat, Dit! Selama ini gue udah berkorban banyak buat elu tapi lu tega sama gue!" Isaknya pelan.

    "Sorry Nia, tapi perasaan gue gak bisa dipaksain!" Kata Adit penuh penyesalan.

    "Lu tega! Tega! Tega!" Nia meronta tak mau membalas uluran tangan Adit yang meminta maaf padanya.

    "Huuuuu...." Seisi kelas menyoraki Nia yang bersikap kolokan dan melankolis.

    Suasana mendadak sepi tatkala Ibu Eni, guru Geografi memasuki ruang kelas kami. Beliau berdeham seakan telah mencuri dengar keributan dalam kelas sebelum beliau masuk tadi. Untunglah, aku dapat bernafas lega. Karena lolos dari bulan-bulanannya Nia.

    Aku kembali semangat belajar, walau hatiku sedang miris melihat keadaan Nia, namun aku tak ingin larut dalam kesedihan. Semaksimal mungkin aku tetap fokus terhadap pelajaran. Geografi merupakan pelajaran favoritku selain Bahasa Inggris dan Matematika. Dalam mata pelajaran Geografi aku selalu mendapat nilai sempurna baik dalam tugas PR, latihan, ulangan harian, maupun ulangan umum. Bu Eni sendiri sampai bingung harus memberi nilai berapa untukku di rapor. Karena tidak mungkin mengisi angka 10 dalam rapor, aku sendiri tak pernah tahu apa alasan sebenarnya.

    Yang aku tahu pemikiran sederhananya seperti ini: Bila ada siswa yang mendapat nilai 10 di rapor, 1 harus disumbangkan untuk sang guru, dan 9 untuk murid! Tapi maksudnya disumbangkan itu apa ya? Sampai saat inipun aku masih belum paham makna sebenarnya.

    Selain Nia yang congkak padaku, Meta juga sangat sering mengomeliku di kelas karena aku dianggap menyaingi kemampuan Bahasa Inggris-nya. Aku memang sangat menyukai pelajaran tersebut, bukan semata karena aku kerap diajarkan oleh Umi Ating yang dulunya pernah menjadi seorang guru Bahasa Inggris, tapi juga karena aku ingin lancar berbicara Bahasa Inggris. Siapa tahu kapan-kapan aku dapat membantu turis asing yang sedang kesasar. Lumayan kan kalau aku menjadi tour guide-nya lalu mendapat imbalan pakai dolar. Aku pasti bisa mendadak tajir.

    Untuk mengasah kemampuanku, aku rajin duduk manis di depan radio untuk mendengarkan siaran Bahasa Inggris di RRI, judul programnya: English Service Program. Mrs. Mery sebagai pemandu acara memberikan topik yang akan dibicarakan, kemudian ia membuka layanan via
    telepon kepada sidang pendengar untuk menyumbangkan pemikiran mereka. Aku tergugah untuk mengikuti setiap topik. Biasanya setelah topik dibacakan oleh Mrs. Mery, aku bergegas mengambil secarik kertas dan kamus untuk membuat rumusan komentarku. Tak lupa aku pun berlatih membaca pronunciation setiap kata yang akan kuucapkan. Setelah konsep selesai, aku meminta izin pada mama agar membolehkanku menggunakan telepon rumah. Tentu saja aku harus menggunakannya sehemat mungkin. Mengingat tarif pulsa relatif mahal. Dan untunglah mama selalu mengizinkan selama itu digunakan untuk kebaikanku sendiri. Terutama dalam meraih prestasi.

    "Sugih, I heard your voice last night! Your opinion about gamblank is very good! I like it!" (Sugih, saya mendengar suaramu tadi malam! Opinimu tentang perjudian sangat bagus! Saya suka itu!) Sapa Mrs. Neneng ketika kami berpapasan di koridor sekolah.

    "O, really Ma'am? Thank you. Do you like English Service Program?" (O, sungguh Bu? Terima kasih. Apakah Anda suka acara pelayanan Bahasa Inggris?) Tanyaku pada beliau.

    Mrs. Neneng tersenyum simpul, "Actually, I never heard that program before. But Mrs. Rara told me that you are an active member! Do you know Mrs. Rara?" (Sebenarnya, saya tidak pernah mendengar acara itu sebelumnya. Tapi Bu Rara memberitahu saya bahwa kamu anggota yang aktif. Apakah kamu mengenal Bu Rara?) Ucap Mrs. Neneng penuh rasa bangga.

    "Yes, I know her. But she never taught me along I study here!" (Ya, saya mengenalnya. Namun beliau belum pernah mengajar saya sepanjang saya bersekolah di sini!) Ucapku santun.

    "Well, god job Sugih! Later you will know her closer! I think I will suggest Meta to join you in the program!" (Baiklah, selamat ya Sugih! Nanti kamu akan mengenalnya lebih dekat! Ibu rasa Ibu akan menyarankan Meta untuk bergabung dengan program itu!) Tukas Mrs. Neneng seraya berlalu dari hadapanku.

    "See you Ma'am!" (Sampai jumpa Bu!) Ucapku menyalaminya dan dibalas dengan ucapan yang sama tanpa embel-embel Ma'am di belakangnya.

    Selang beberapa menit berlalu terdengar suara teriakan Meta memanggil namaku di dalam kelas.

    “Sugiiiiiih, sialan loe kampret! What the hell you are! Gara-gara loe sering dengerin siaran Bahasa Inggris di RRI, gue disuruh sama Mrs. Neneng ikutan dengerin juga! Kampret loe dasar! Loe tahu kagak sih, kalau tiap malam gue diapelin sama cowok-cowok gue! Malam Minggu gue diapelin sama Kak Gia yang cute! Malam Senin gue diapelin sama Aa Irwan yang macho! Malam Selasa gue diapelin sama Kang Jaka yang kasep! Malam rabu gue diapelin sama Mas Dito yang keren bin tajir! Malam Kamis gue diapelin sama Bang Rizal yang caem! Malam Jumat gue diapelin sama….” Air liur Meta muncrat ke mana-mana.

    “Pocong!” Timpalku melanjutkan perkataannya yang terputus tadi.

    Meta memang suka bicara ceplas-ceplos, ngedumel yang tidak jelas. Nada bicaranya selalu tinggi di atas satu oktaf! Perilakunya pun sangat
    kasar dan aneh. Hampir tidak ada sosok feminin dalam dirinya sebagai seorang perempuan.

    Dia sering tidur mendengkur saat jam pelajaran. Mengupil kotoran di hidung lalu mencolekkannya ke teman yang duduk di dekatnya. Dan lucunya Meta sangat menghayati kegiatan mengupil tersebut, sementara telunjuk
    tangannya menggali lubang, hidungnya bergerak kembang kempis. Sedangkan kedua bola matanya berputar-putar ke atas, ke kanan, ke bawah, ke kiri, lalu kembali ke atas dan begitu seterusnya. Hiii… Menjijikkan! Tapi Meta melakukannya dengan cuek. Rasa percaya dirinya terlalu tinggi alias over!

    “Tahi loe! Emang dasar loe ya, suka cari muka depan guru!” Sungut Meta sebal.

    Tangan kanannya meraih kerah kemejaku, matanya melotot mendekatkan wajahnya dengan
    wajahku.

    “Fuck you, Man!” Cacinya lagi meniru adegan di layar kaca.

    “Met, emangnya gue salah kalau gue suka dengerin siaran Bahasa Inggris di radio? Gue kan cuma mau meningkatkan kemampuan gue aja!”
    Jawabku menatap lurus bola matanya.

    “Sheet! Bahasa Inggris loe tuh gak becus tahu gak sih! Your pronunciation is very bad! Even worse than me! Udah deh gak usah sok ngomong Inggris lagi sama Mrs. Neneng! Lidah loe musti digunting dulu supaya fasih ngomongnya jadi kaya gue!” Meta berlagak sombong.

    Ia melepaskan cengkeramannya di kerah bajuku.
    Aku tak peduli teman-temanku mau menilaiku apa, dan bagaimana. Yang penting aku tak pernah mengusik mereka. Meski tak punya teman
    akrab, aku masih bisa meraih prestasi. Buktinya aku selalu juara kelas dan masuk nominasi juara
    umum selama di kelas 3 ini, walaupun bukan juara umum pertama.

    “Gie, ajarin gue Matematika donk!” Adit memelas padaku.

    “Gie, gue belum ngerti PR Bahasa Inggris yang dikasih Mrs. Neneng!” Risau Selvy.

    “Gie, jawaban soal ulangan geografi yang nomor…. Jawabannya….. Benar nggak?” Tanya teman yang lain.

    Begitulah konsultasi teman-teman yang merasa otaknya lemah dibanding aku. Tapi mereka datang hanya saat butuhnya saja. Dan aku selalu meladeni dengan senang hati. Senang dapat berbagi!

    ***

    “Gie, tolong ambilkan setoran kue di warung Bang Lubis!” Titah mama padaku yang asyik mengerjakan PR.

    “Baik, Ma!” Sahutku seraya melangkah menuju ke luar.

    Warung Bang Lubis berjarak 500 meter dari rumahku. Lumayan jauh, harus melewati 2 RT tetangga. Warung Bang Lubis menghadap lapangan bola. Maka tidak heran bila sore hari warung itu selalu ramai menjadi tongkrongan para supporter sepak bola antar RT. Saat aku datang ke warungnya, hari sudah larut malam,
    dan warung sudah hampir tutup.

    “Assalamualaikum, Bang saya mau narik kue yang dititip tadi pagi!” Aku memberi salam.

    “Waalaikumsalam! Wah, si Ugie lama nggak kelihatan makin jangkung aja!” Sahut Bang Lubis.

    “Alhamdulillah, mungkin karena saya sering jalan kaki ke sekolah, Bang!” Kusunggingkan sebuah senyuman hangat untuknya.

    “Hari ini habis Bang?” Repetku.

    “Coba minta diantar jemput sama Abang ke sekolahnya! Alhamdulillah hari ini kue buatan mamamu habis terjual!” Bang Lubis menyerahkan uang setoran berikut baki kue mama.

    “Terima kasih ya Bang!” Kusambut uluran tangan Bang Lubis.

    GREPH!

    Bang Lubis menahan tanganku. “Gie, Abang mau minta tolong boleh kan?”

    “Minta tolong apa, Bang?” Tanyaku tanpa curiga.

    Bang Lubis menarik tanganku masuk ke dalam rumahnya.

    “Mbak Irma sama Anggi lagi pulang ke Medan. Sementara Leman lagi nginep di rumah neneknya di RT5. Sudah sebulan Abang nggak ada yang
    melayani!” Bang Lubis membelai-belai punggungku.

    Aku mengernyitkan kening. Pikiranku masih hijau tak mengerti apa yang diinginkan Bang Lubis.

    “Maksud Abang?” Tanyaku.

    “Pegangin titit Abang donk! Nanti Abang kasih uang!”

    Tanpa persetujuanku Bang Lubis telah membawa masuk tanganku menyusup ke dalam celananya. Aku sempat memekik, tapi tangan Bang Lubis berhasil membungkam mulutku dan tangannya sulit kulepaskan.

    "Sst, jangan teriak!" Ujar Bang Lubis setengah berbisik.

    Tubuh Bang Lubis terlampau kuat untuk kulawan. Bang Lubis memiliki postur tubuh layaknya petinju dunia semacam Mike Tyson! Dia paling sering bertelanjang dada memamerkan otot perutnya yang sixpack dan puting susunya yang melenting sempurna dengan gunungan dada yang membulat sedikit keras tapi kenyal mirip kue bakpao. Aroma tubuhnya begitu maskulin. Kulitnya sedikit gelap, tapi wajahnya terlihat manis dengan matanya yang agak sipit.

    “Bang, jangan!” Aku berusaha menarik tanganku keluar dari celana boxernya.

    “Gak apa-apa, Gie! Pegang aja! Abang sering terangsang tiap lihat kamu!” Bang Lubis memejamkan kedua matanya.

    Tangannya masih menahan tanganku di balik boxer. Tak ada jalan lain selain diam saja. Meski tanganku tertahan, tapi tak ada yang dapat kulakukan. Bang Lubis terus menggoyang-goyang tanganku di lingkar batang kemaluannya.

    “Aaahh… Nikmat Gie!” Racaunya.

    “Bang, ini dosa! Tolong hentikan!” Aku menangis ketakutan.

    “Sudahlah Gie, nikmati aja! Nanti kamu boleh ambil apa saja yang kamu mau di warung Abang!”

    “Sebenarnya Abang suka anak cowok seumuran kamu Gie! Abang bahkan sama sekali tidak mencintai Irma, istri abang! Menikahinya adalah mimpi buruk untuk Abang!” Bang Lubis semakin belingsatan.

    “Tapi Bang, kenapa harus saya yang Abang ajak berbuat begini!?” Kurasakan batang kemaluan Bang Lubis semakin mengeras dan mengejang.

    Ini adalah kali pertama bagiku memegangi batang kemaluan bukan milik pribadiku. Aku takut, ragu
    sekaligus malu. Dulu waktu kecil aku memang suka membelai-belai dada Om Kasmin, Mang Iyan, Aa Yatman, dan Aa Yatna. Namun beranjak usia remaja, aku jadi kurang suka pada postur tubuh orang dewasa. Apalagi umur Bang Lubis sudah kelewat tua untukku. Dan sekarang pikiranku telah dipenuhi oleh Ary. Hanya Ary yang dapat membuatku terlena.

    “Karena kamu mempunyai aura yang menggairahkan buat Abang! Sini, tangan yang satu pelintirin ini ya!” Tangan Bang Lubis menuntun tangan kananku menuju puting susunya.

    Kepalaku pun dibenamkannya di dadanya. Aku meronta. Tapi aku tak kuasa memberontak melawannya. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Tak ada yang bisa kulakukan selain bersikap pasrah padanya. Badan Bang Lubis jauh lebih besar dari badanku. Aku belum terlalu paham kalau apa yang dilakukan Bang Lubis terhadapku ini adalah pedofilia. Jujur aku sangat tidak suka diperlakukan seperti ini oleh Bang Lubis.

    “Assalamualaikum, Bang Lubis, Sugih ada di sini kah?”

    Itu… Suara mama! Syukur alhamdulillah ya Allah, akhirnya aku terbebas dari perbuatan nista ini. Bang Lubis bangkit dari duduknya. Kami berjalan keluar menuju warung di beranda rumah.

    “Mama kok nyusul?” Tegurku.

    “Kamu ngapain lama banget di sini?” Mama balik bertanya.

    “Sugih habis bantuin saya Bu, menghitung barang yang baru masuk di gudang belakang!” Jawab Bang Lubis berbohong.

    “Nah, Gie ini untuk kamu! Makasih ya, udah bantuin Abang malam ini!” Bang Lubis menyodorkan beberapa lembar uang sepuluh ribuan plus sekantong kresek berisikan sabun, deodoran, parfum, minyak rambut dan beberapa
    produk khusus remaja.

    Mulutku ternganga kelu tak dapat berkata-kata. Sebelum aku dan mama pamit permisi pulang, Bang Lubis sempat mengedipkan sebelah matanya kepadaku.

    “Besok lagi ya!” Ujarnya menutup pertemuan kami malam ini.

    “Bang Lubis baik banget ya, Gie!” Puji mama dalam perjalanan pulang menuju rumah.

    Aku hanya terdiam. Dalam benakku terbayang kejadian tadi. Tergambar kembali dalam ingatanku sebuah batang kemaluan yang mengeras dan mengejang. Setiba di rumah, buru-
    buru aku mandi membersihkan badan meskipun hari sudah larut malam. Tak lupa mengambil wudhu. Aku ingin menunaikan shalat taubat atas apa yang telah kuperbuat bersama Bang Lubis.

    Di hari yang lain sepulang dari pasar untuk berbelanja bahan dagangan, aku kembali berpapasan dengan Bang Lubis yang baru pulang dari kelurahan guna membayar rekening listrik.

    "Eh, Ugie! Kok jalan kaki? Ayo naik!" Tawar Bang Lubis menyuruhku naik ke atas boncengan Vespanya.

    Aku sedikit ragu memenuhi permintaannya.

    "Udah! Mau pulang kan?" Ia menarik tanganku.

    Mau tak mau akupun harus naik ke atas boncengannya.

    "Dari mana, Gie?" Tanyanya seraya menoleh ke belakang memandang wajahku.

    "Habis dari pasar, Bang!" Jawabku singkat.

    "Kenapa jalan kaki? Coba bilang sama Abang! Biar Abang antar ke pasarnya!" Kata Bang Lubis lagi dengan logat Bataknya yang khas.

    "Gak apa-apa Bang! Udah biasa jalan kok!"

    Di tengah perjalanan tiba-tiba Bang Lubis menghentikan motornya. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan. Suasana sangat sepi kala itu. Jalan yang kami lalui memang sebuah jalan baru yang menghubungkan Cimanggu dengan Komplek LPPH (Lembaga Penelitian Penyakit Hewan) yang sekarang berganti nama menjadi BALITVET (Balai Penelitian Veteriner). Sehingga jalanan ini belum terlalu ramai dilalui orang.

    "Bang, kok berhenti?" Tanyaku gelisah.

    Bang Lubis menarik tanganku agar menyentuh selangkangannya. "Pegangin 'punya' Abang ya, Gie! Remas-remas yang pelan!"

    Kutarik tanganku dari selangkangannya, namun Bang Lubis berhasil menarik tanganku lagi.

    "Gie, kita ngewek yuk di situ!" Tunjuk Bang Lubis ke arah semak belukar dengan ujung bibirnya.

    Mata Bang Lubis berkedip-kedip genit.

    "Lindungi hamba, ya Allah! Jauhkanlah hamba dari perbuatan yang diinginkan Bang Lubis!" Ucapku berdoa dalam hati.

    Semak belukar itu sangat rimbun agak masuk ke dalam kebun yang dipenuhi dengan pohon kayu putih. Mungkin siapapun yang berbuat mesum di sana tidak akan ketahuan oleh siapapun. Namun aku sangat takut. Aku teringat berita yang pernah kutonton di televisi saat aku kelas 6 SD dulu. Berita yang sangat menghebohkan Indonesia kala itu. Kasus pencabulan anak di bawah umur yang dilakukan oleh Siswanto si Robot Gedek. Kurang-lebih 6 orang anak laki-laki disodomi, dihisap air liurnya, kemudian dibunuh dan dikubur. Aku mulai was-was jangan-jangan Bang Lubis akan melakukan hal yang sama terhadapku seperti yang dilakukan oleh Robot Gedek.

    "Tuhan lindungilah aku!" Aku tak henti-hentinya berdoa.

    Baru sekejap aku memohon, beberapa motor dan mobil mulai melintas. Takut aku turun dari motor dan meminta pertolongan kepada orang-orang yang kebetulan lewat, Bang Lubis pun buru-buru menyalakan motornya kembali dan mengantarku pulang.

    "Alhamdullillah ya Allah, terima kasih atas perlindungan-Mu!" Aku mengucap syukur.

    ***

    Malam itu aku mendapat panggilan dari Mrs. Mery, salah seorang penyiar senior RRI Bogor. Berkat rekomendasi yang diberikan oleh Mrs. Rara, guru Bahasa Inggris yang tidak pernah mengajarku di sekolah, tapi beliau juga adalah member aktif English Service Program sama denganku, aku diminta untuk mendampingi Mrs. Mery siaran radio sebagai asistennya dan menjadi penyiar khusus acara English Service Program.

    "Halo, ini Sugih ya?" Sapa Mrs. Mery di ujung telepon.

    "Iya, betul. Ini Mrs. Mery kan?" Aku balas menyapa.

    "Gih, kamu mau menemani saya siaran ESP?" Ajak Mrs. Mery padaku.

    "Serius Mrs. Mery?" Aku tak percaya.

    "Rencananya saya nanti hanya memantau di belakang, kamu telah terpilih untuk menggantikan saya membawakan acara tersebut. Kamu mau?" Ucapnya meyakinkan.

    "Wah, saya sangat mau Mrs. Mery. Kapan saya bisa memulainya?" Tanyaku girang.

    "Besok malam ya! Saya tunggu di Jalan Pangrango!" Tukas Mrs. Mery dengan suaranya yang renyah.

    "I'll be there!" (Saya akan ke sana!) Sahutku cepat.

    Mrs. Mery pun menutup teleponnya.

    "Ma, Ugih diminta jadi penyiar sama Mrs. Mery!" Ceritaku pada mama.

    "Wah, yang benar Gih?" Tanya mama sedikit terkejut.

    "Iya, barusan Mrs. Mery menelepon, katanya Ugih diminta menggantikan dia khusus buat acara ESP!" Mataku berbinar bahagia.

    "Semoga honornya lumayan ya, Gih!" Mama meremas-remas jemari tangannya.

    "Mama bangga sama kamu, meskipun masih SMP kamu sudah bisa cari uang sendiri. Maafin Mama ya Gih, Mama tidak bisa membahagiakan kamu selama ini. Kamu kan tahu sendiri, semua rumah ini beserta isinya kan peninggalan almarhum papanya Dyah. Jadi, semua ini miliknya Dyah!" Mata mama menerawang memandangi sekeliling ruangan.

    "Sudahlah Ma, tidak usah diungkit lagi! Ugih akan tunjukkan kepada Mama kalau Ugih anak yang mandiri!" Tekadku.

    Keesokan harinya aku menghampiri Ary di sela-sela istirahat kedua setelah daganganku habis. Ary sedang berdiri menungguku di balkon depan kelasku.

    "Ry, ini!" Kusodorkan sebuah buku tebal bersampul biru metalik dihiasi seutas pita merah.

    "Apa ini?" Tanya Ary mengamati buku yang kuberikan.

    "Kumpulan puisi yang gue buat, selama lu gak ada!" Kataku tersipu malu.

    "Banyak banget!" Ary terus mengamati halaman demi halaman.

    "Elu kan perginya 30 bulan. Tiga puluh bulan itu sama dengan 910 hari. Tapi gue nggak bikin puisinya setiap hari kok! Gue bikinnya cuma seminggu sekali, jadi jumlah puisinya ada 125 aja!" Terangku padanya malu-malu.

    "Buat gue?" Ary mengangkat alisnya tinggi.

    "Kalo sempet, lu bales ya, puisi-puisi gue!" Pintaku padanya.

    "Lu mau ngerjain gue nih, nyuruh gue balesin puisi elu sebanyak ini?" Ary tercengang.

    "Gue gak minta sekarang kok, sesempatnya elu aja!" Kubalas permainan alisnya yang turun naik menggodaku.

    "Oya, gue denger dari Ryan katanya bokap lu dah meninggal, ya?" Selidik Ary penasaran. "Terus tadi gue lihat lu sekarang jualan di kelas ya?"

    "Ry..." Lidahku kelu untuk berkata. "Gue sekarang jatuh miskin. Keluarga gue udah gak tajir lagi kaya dulu, apa lu bakal ngejauhin gue kaya Ryan?"

    "Lu kok ngomong gitu?" Ary menatapku lekat namun aku tak kuasa membalas tatapannya.

    "Semenjak bokap gue meninggal, Ryan gak pernah lagi mau maen sama gue. Dia sekarang cuek, gak kaya dulu lagi. Kalo ketemu di jalan, dia bersikap seolah gak kenal sama gue! Benar kata si Indra. Kalian itu sombong!" Aku menunduk takut Ary marah kepadaku.

    "Hey... Gue gak sama dengan Ryan!" Ary menyela.

    Aku terkesima mendengar ucapannya. "Anton juga gak sama, dia tetap baik kok sama gue!"

    "Gue kagum sama elu! Di saat terpuruknya keluarga elu, elu mau berkorban demi keluarga elu!" Ary mengangkat daguku agar pandanganku sejajar dengan pandangannya.

    Mataku berkaca-kaca, "Thanks ya Ry, elu enggak ngejauhin gue setelah apa yang terjadi di antara kita selama ini!" Kulingkarkan tanganku mendekap tubuh Ary.

    Ary membelai punggungku hangat. "Gue kangen elu, Ary! Gue kangen banget! Dua setengah tahun gue selalu nungguin elu!" Tanpa terasa air mata yang tak ingin kukeluarkan menetes di kedua belah pipiku.

    "Udah, jangan mewek! Kaya cewek aja, lu!" Lerainya.

    Segera kuseka air mata di pipiku. Tengsin juga menangis di depan orang yang kusukai.

    "Eh, entar malem gue mau minta diajarin matematika. Lu ada waktu gak?" Tanyanya kemudian.

    "Gue belum ngerti soal garis singgung lingkaran dalam segitiga!" Lanjutnya lagi.

    Aku berpikir sejenak, "Gue pengen banget sih ngajarin elu. Tapi entar malem gue mau siaran di RRI!"

    "Lu jadi penyiar?" Ary benar-benar surprised.

    Kujawab dengan anggukan.

    "Keren!" Ia memujiku.

    "Apanya yang keren?" Aku mengernyitkan keningku.

    "Jarang ada lho penyiar masih SMP di Bogor ini!" Ary sungguh takjub. "Gue juga sebenarnya suka ngedengerin siaran KISSI FM sama Lesmana FM! Gila penyiarnya keren-keren kaya gua! Haahaa..."

    "Gue juga suka banget siaran KISSI FM! Gila sumpah Kak Mahendra itu penyiar paling top and cool sama kaya elu!" Seruku.

    "Udah ah, gue mau balik dulu ke kelas. Thanks buat kumpulan puisinya, entar gue baca di rumah!" Katanya berpamitan.

    "Bye!" Lambaiku padanya.

    Ary berlari sambil bersiul riang menuruni tangga menuju kelasnya yang terletak di bawah seberang kelasku. Setibanya di bawah ia mengangkat-angkat buku pemberianku ke atas.

    "Hubungan lu sama cowok tadi kelihatannya spesial banget ya?" Terdengar suara seseorang di belakangku.

    "Tresya?" Gumamku menyebut nama si pemilik suara. Dia adalah teman duduk sebelah Meta di kelas.

    "Jadi lu beneran homreng ya?" Ia menghampiriku sambil bicara perlahan.

    "Gue..." Tenggorokanku tercekat.

    "Nyantai aja lagi! Gue gak bakalan comel kok! Pada dasarnya gue juga sama kaya lu! Gue suka sama Selvi, tapi Selvi malah suka sama Adit!" Tresya mengurut keningnya.

    "Haah?" Aku terkesiap.

    "Biasa aja lagi! Gak usah aneh gitu! Buat gue, inilah hidup! Gak ada yang gak mustahil di dunia ini!" Tandasnya membuatku terkesima.

    "Lu ngomong apaan sih?" Elakku berkelit.

    Namun Tresya terus menyerocos tanpa jeda.

    "Ngomong-ngomong lu udah berapa lama hubungan sama dia? Tadi gue denger dua setengah tahun ya? Lama juga hubungan kalian. Jarang ada lho hubungan sesama jenis selama itu!" Decaknya seolah sedang iri padaku.

    "Kalo boleh kasih saran ya, lu pertahankan bokin lu itu! Jangan sampai ada yang ngerebut dari pelukan lu! Soalnya dia lagi jadi rising star di sekolah kita kan? Banyak lho cewek-cewek yang ngejar cowok lu itu. Jadi lu mesti hati-hati kalo gak mau kehilangan dia!" Tandas Tresya mengingatkanku.

    Ia berjalan berlalu dari hadapanku.

    "Tresya..." Panggilku sedikit tertahan.

    Ia menoleh menantikan ucapanku.

    "Thanks buat sarannya!" Senyumku mengembang dan dibalasnya dengan melambaikan sebelah tangan sambil terus berjalan.

    Pada malam harinya...

    "Ma, Ugih pamit dulu!" Kucium tangan mama yang baru saja mengantar Dyah tidur ke kamarnya.

    "Hati-hati di jalan ya, kalau ada apa-apa jangan lupa baca ayat kursi!" Pesan mama.

    "Iya Ma!" Sahutku seraya menarik handle pintu depan bergegas ke luar.

    Saat ini di rumah tinggal kami bertiga. Mang Ega sudah tidak tinggal lagi bersama kami. Sejak tiga bulan yang lalu beliau telah pindah ke Tangerang dan bekerja di sana. Hanya dua minggu sekali beliau pulang ke rumah kami di Cimanggu. Alhamdulillah sejak mendapat pekerjaan selepas SMA, Mang Ega sering memberi mama uang walau sedikit-sedikit ala kadarnya. Namun sangat membantu meringankan beban kami dalam memenuhi kebutuhan hidup.

    Aku sangat terkejut tatkala aku membuka pintu pagar rumahku. "Lho, Ary?"

    Pangeranku itu tengah duduk di atas sebuah motor lelaki dengan gayanya yang super cool. Ary memakai kaus Hasenda warna oren dipadu jeans biru dan jaket jumper biru gelap.

    "Nih, pake!" Ary menyodorkan sebuah helm padaku.

    "Gue kan mau siaran, emang lu mau ngajak ke mana?" Aku tercengang.

    "Udah naik, cepetan!" Perintahnya.

    "Lu kan belum punya SIM! Entar kalo ketangkap polisi gimana?" Aku masih cerewet menanyainya.

    Ary mengeluarkan dompet dari celananya, "Nih!"

    Ia menyodorkan sebuah kartu SIM.

    "Tegar?" Mulutku ternganga, "Ini kan SIM kakak lu!"

    "Bawel lu, ah! Mau gue antar enggak?" Sungut Ary pura-pura jengkel.

    Baik Kak Tegar maupun Ary wajah keduanya sangat mirip karena mereka berdua adalah kakak beradik yang hanya terpaut 3 tahun. Saat ini Kak Tegar masih berada di Filipina karena terlanjur sedang berkuliah di sana sejak keluarga Ary pindah ke sana mengikuti tugas dinas ayahnya. Mungkin dengan menggunakan SIM Kak Tegar, Ary akan merasa aman.

    "Dah naik?" Ary melirik ke belakang.

    Aku nyaris turun lagi, "Eh, bentar, bentar! Emang lu bisa nyetir motor?" Aku sedikit sangsi.

    "Lu ngeraguin kemampuan gue? Jangankan motor, truk tronton aja gue sanggup!" Gayanya berlagak.

    "Tancap Mang!" Sorakku ceria di atas boncengan Ary.

    "Mang Mang Mang, emang gue tukang ojek!" Celetuk Ary memanyunkan bibirnya.

    "Yoi! Lu kan lagi ngojekin gue nih!" Sentilku mencandainya.

    "Oke, entar kalo dah sampe, jangan lupa bayar ya!" Ary mulai menstarter motornya.

    "Berapa gue harus bayar? Bayar pake ciuman boleh gak?" Candaku lagi.

    "Nafsu lu!" Sungut Ary cemberut.

    Tak lama kami pun meluncur menembus jalanan kota. Kulingkarkan tanganku di depan perutnya sambil bersandar pada punggungnya. Malam sungguh indah bertabur bintang. Hanya dalam waktu 15 menit kami telah sampai di tempat tujuan.

    "Hai, Sugih ya? Kenalin saya Dian!" Sapa seorang perempuan muda cantik yang berdiri di dekat Mrs. Mery.

    Kusalami mereka berdua. "Oya, kenalin Mbak, ini sahabat saya, Ary!"

    "Hai!" Mbak Dian menyalami Ary, "Kalian anak SLTPN 4 kan? Wah, anak SLTPN 4 sekarang cakep-cakep ya! Saya juga alumni sekolah kalian lho!"

    Sumpah! Tutur kata Mbak Dian sangat lembut sekali. Dia adalah mahasiswi IPB Fakultas MIPA yang didaulat oleh Mrs. Mery untuk siaran bersamaku membawakan acara English Service Program.

    "Do you speak English, Ary?" (Apakah kamu berbicara Bahasa Inggris, Ary) tegur Mrs. Mery.

    "Of course!" (Tentu saja!) Jawab Ary mantap.

    "Lu kenapa gak ngomong siaran lu khusus program Bahasa Inggris?" Bisik Ary di telingaku.

    "Memang kenapa?" Aku menautkan kedua belah alisku.

    "Gue kira program full musik anak muda!" Tukas Ary cekikikan.

    "Jadi gini, mumpung kita pada kumpul, rencananya kita mau bikin English Club. Nah, hari minggu nanti semua member ESP kita kumpulin, terus kita bentuk organisasi kita. Sekalian kita pilih siapa presidennya!" Urai Mrs. Mery menjelaskan.

    "Do you want to join us, Ary?" (Apakah kamu mau bergabung bersama kami, Ary?) Tawar Mrs. Mery.

    Tanpa berpikir panjang Ary langsung menjawab, "By all means!" (Dengan senang hati!)

    Dalam hati aku bersorak, "YES!" Ini artinya Ary akan sering-sering bersamaku. "Terima kasih Tuhan, Engkau telah mengembalikan pangeranku yang tampan!" Aku memanjatkan rasa syukur dalam hati.

    Siaran perdanaku bersama Mbak Dian berhasil kami bawakan tanpa rasa canggung sedikitpun. Mungkin aku terlalu bersemangat karena di dekatku ada Ary yang begitu setia menungguiku.

    "Good evening listeners, English Service Program come again to serve you practise speaking English! Here I am Sugih, and I'm sitting not alone, because tonight a very beautiful girl with her beautiful smile is sitting beside me, do you know her anyway? Let her introduce herself to all of us!" (Selamat malam pemirsa, English Service Program datang lagi untuk melayani kalian semua berlatih berbicara Bahasa Inggris! Di sini saya Sugih, dan saya tidak sedang duduk sendiri, karena malam ini seorang gadis cantik dengan senyuman indahnya sedang duduk di samping saya, apakah kalian mengenalnya? Mari kita minta dia untuk memperkenalkan dirinya kepada kita semua!) Gayaku penuh aksi.

    Ary mengacungkan jempolnya padaku dari luar studio. Ruangan tempat Ary menunggu hanya dibatasi oleh sebuah dinding kaca transparan yang membuatnya terlihat jelas olehku dari dalam studio. Sementara Mrs. Mery tampak sibuk mengatur kejernihan suara agar suaraku dan suara Mbak Dian terdengar stabil.

    "Wow, Sugih, why do you cheat everyone if I am beautiful? Hello listeners... I'm so happy to address you here at English Service Program. My name is Meidiana, you can call me just Dian! Well, English Service progam is broadcasted on air from First Studio RRI Pro 1 Bogor, at 94,25 FM. And as usual we have a topic. Sugih will tell us what topic that we are going to discuss!" (Wow, Sugih, kenapa kamu membohongi orang-orang kalau saya cantik? Halo pemirsa... Saya sangat senang menyapa kalian di sini, dalam acara English Service Program. Nama saya adalah Meidiana, kalian bisa memanggil saya hanya Dian! English Service Program disiarkan secara langsung dari studio satu RRI Pro 1 Bogor, di 94,25 FM. Dan seperti biasa kita mempunyai sebuah topik. Sugih akan memberitahu kita topik apa yang akan kita diskusikan!) Mbak Dian tampak lebih profesional daripada aku. Gayanya benar-benar penyiar sejati.

    "Listeners, our topic tonight is Harajuku Style! We want you all to share your opinion with us, about what do you know about Harajuku Style as we know that style is originally from Japan but nowadays has been a big influence among the youth, especially Indonesian teenagers. Does Harajuku Style give negative impacts to us, or positive impacts? So, if you have an opinion or so many many opinions, please let us know your ideas! Just please dial 312450! But, before we start our discussion today, I and Miss Dian would like to present a lovely song, Roger Kelly-I Believe I Can Fly! So, here it is..." (Pemirsa, topik kita malam ini adalah Harajuku Style! Kami ingin kalian semua berbagi opini kalian dengan kami, mengenai apa yang kalian ketahui mengenai Harajuku Style seperti yang kita ketahui bahwa Harajuku Style sebenarnya berasal dari Jepang namun saat ini telah memberi pengaruh besar terhadap para pemuda, terutama para remaja Indonesia. Apakah Harajuku Style memberi dampak negatif kepada kita, ataukah dampak positif? Jadi, bila kalian memiliki sebuah opini atau banyak sekali opini, mohon izinkan kami mengetahui pendapat kalian! Silakan hubungi 312450! Tapi sebelum kita memulai diskusi kita malam ini, saya dan Mbak Dian akan mempersembahkan sebuah lagu yang asyik, Roger Kelly-I Believe I Can Fly! Jadi, ini dia...) Aku semakin asyik bercuap-cuap.

    "Wah, gila, grogi banget gue, Ry!" Kataku seusai siaran selama dua jam.

    Ary mengacungkan kedua jempolnya, "Lu lebih pantes jadi VJ ketimbang nge-DJ!" Cerocos Ary.

    "Pengen banget gue jadi VJ MTV tampil bareng sama VJ Utt. Dia kan keren abis!" Selorohku melayang-layang dalam angan-angan.

    "Ngarep lu, masih keren juga gua daripada dia!" Protes Ary.

    "Iya deh, iya!" Aku mengalah sambil cengengesan.

    Lantas tanpa menunggu lama karena malam semakin larut kami segera pulang berboncengan. Lagi-lagi kusandarkan tubuhku pada punggung Ary yang membuatku merasa nyaman dan hangat.

    "Gie, dah tidur?" Ary menepuk pahaku.

    "Apa Ry?" Aku terbuai pada sandaran punggungnya.

    "Dah sampe!" Katanya memberitahuku.

    "Haah? Cepet amat?" Kuamati sekelilingku.

    Kami sudah ada di depan rumahku sekarang.

    "Pembalap!" Ary mengusap hidungnya dengan ibu jarinya, berlagak.

    Kupikir Ary akan langsung pulang ke rumahnya. Namun ternyata Ary malah membawa masuk motornya ke dalam pekarangan rumahku.

    "Lho, Ry?" Aku benar-benar kaget.

    "Waktu tadi siang pas elu gak ada, gue dah minta izin sama nyokap elu mau nginap di rumah elu! Lu mau kan bergadang sama gue, ngajarin gue matematika?" Tutur Ary sambil mengunci stang motornya agar aman dari maling.

    Kutepuk-tepuk kedua belah pipiku. "Ary nginep?" Hatiku bersorak riang bukan kepalang.

    "Kenapa lu? Digigit nyamuk? Makanya cepat masuk!" Ary melengos ke dalam rumah.

    Rasanya seperti mimpi. Ini adalah kali pertamanya Ary bermalam hanya berduaan denganku. Dulu ia pernah menginap tetapi beramai-ramai dengan Teguh, Asep, Ryan, Anton, dan Erfan. Tapi sekarang, kami hanya akan tidur berdua! Wow, ini akan menjadi malam paling romantis dalam hidupku!
Sign In or Register to comment.